BAB II TINJAUAN PUSRAKA 2.1
PERANCANGAN PRODUK 2.1.1 Definisi Produk Produk memiliki beberapa definisi sebagai berikut: a.
Produk ialah sesuatu yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen (Ulrich&Eppinger, 2001).
b.
Sesuatu yang ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan, dipakai, dimiliki atau dikonsumsi sehingga dapat memuasakan keinginan atau kebutuhan.
c.
Segala sesuatu tang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, digunakan atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan.
2.1.2 Perancangan produk Perancangan produk mengidentifikasi produk-produk yang sebelumnya sudah pernah dikembangkan oleh organisasi dan waktu pengenalannya dipasar. Untuk merancang sebuah produk pelaku usaha perlu mepertimbangkan peluang peluang pengembangan produk. Peluang peluang itu di diidentifikasikan oleh banyak sumber, mencakup usulan bagian pemasaran, penelitian,pelanggan,tim pengembangan produk dan analisis keunggulan yang dimiliki produk pesaing. Berdasarkan peluang peluang ini,suatu portfolio proyek dipilih, waktu proyek
11
12
ditentukan secara garis besarnya dan sumberdaya dialokasikan. penggambaran rencana produk yang akan dikembangkan pada periode waktu tertentu. Rencana
produk
secara
teratur
diperbarui
secara
teratur
agar
mensermiunkan adanya perubahan dalam lingkungan persaingan, teknologi dan informasi keberhasilan produk yang sudah ada. Rencana produk dikembangkan dengan memprediksi sasaran perusahaan, kemampuan, batasan dan lingkungan persaingan. Memutuskan perencanaan produk melibatkan manajemen senior organisasi dan memakan waktu bertahun tahun atau beberapa waktu dari setiap tahun.Pada umumnya sebuah organisasi memiliki seorang direktur perancangan yang mengatur proses ini. Organisasi yang tidak berhati-hati dalam merencanakan protfolio suatu proyek pengembangan produk sering mengalami hal hal yang tidak efesien seperti: a. Pasar target dibandingkan produk-produk pesaing tidak memenuhi. b. Perencanaan waktu untuk mengenal produk di pasar tidak tepat. c. Adanya ketidaksesuaian antara kapasitas pengembangan keseluruhan dalam jumlah proyek yang diikuti. d. Distribusi sumberdaya kurang baik, misalnya beberapa proyek kelebihan tenaga kerja, sementara ada proyek yang kurang tenaga kerja. e. Dalam memulai proyek dan adanya pembatalan proyek yang tidak menguntungkan. f. Frekuensi banyaknya pengaturan proyek yang sering berubah.
13
2.2
Pengembangan Produk Proses merupakan urutan langkah-langkah pengubahan input menjadi
sekumpulan output. Kebanyakan orang terbiasa dengan proses proses secara fisik, seperti halnya proses pengembangan kue atau proses merakit sebuah mobil. Proses pengembangan produk adalah urutan langkah langkah atau kegiatankegiatan di mana suatu perusahaan berusahan untuk menyusu, merancang dan mengkomersialkan suatu produk. Kebanyakan langkah-langkah dan kegiatankegiatan tersebut lebih bersifat intelektual dan organisasional daripada bersifat fisik. Beberapa organisasi mendefinisikan dan mengikuti proses pengembangan secara rinci dan tepat, sedangkan yang lainnya mungkin malahan tidak mampu menggambarkan proses-proses mereka. Lebih daripada itu, setiap organisasi menggunakan sesuatu proses yang berbeda. Suatu proses pengembangan yang terdifinisi dengan baik berguna karena alasan berikut: a. Jaminan
kualitas
(quality
assurence):
Proses
pengembangan
menggolongkan tahap takap proyek pengembangan yang dilalui butirbutir pemeriksaan. Bila fase-fase dan titik-titik pemeriksaan ini dipilih secaa bijaksanan, mengikuti proses pengembangan merupakan sebuah cara untuk menjamin kualitas dari proyek yang hasilkan. b. Koordinasi: Prose pengembangan yang diterjemahkan secara jelas berlaku sebagai rencana utama yang mendefinisikan aturan-aturan untuk
tiap
pemain
pada
tim
pengembangan.
Rencana
ini
14
menginformasikan kepada anggota tim kapan kontribusi mereka dibutuhkan dan dengan siapa mereka harus bertukar informasi dan bahan. c. Perencanaan: Suatu proses pengembangan terdiri dari tolak ukur yang sesuai dengan penyelesaian tiap fase, Penentuan waktu dari tolak ukur mengikuti jadual keseluruhan proyek pengembangan. d. Manajemen: Suatu proses pengembangan merupakan alat ukur untuk memperkirakan
kinerja
dari
usaha
pengembangan
yang
berlangsung.Dengan membandingkan peristiwa-peristiwa aktual dengan proses-proses yang dilakukan, seorang manajer dapat mengidentifikasi kemungkinan lingkup perusahaan. e. Perbaikan: Pencatatan yang cermat terhadap proses pengembangan suatu organisasi sering membantu untuk mengidentifikasi peluangpeluang perbaikan. Salah satu cara utuk berfikir tentang proses pengembangan adalah sebagai kreasi pendahuluan dari sekumpulan alternatif-alternatif dan menambah spesifikasi produk hingga produk dapat diandalkan dan diproduksi ulang dalam sistem produksi. Sebagai catatan, kebanyakan fase pengembangan didifinisikan berdaarkan keadaan produk, meskipun proses produksi dan rencana pemasaran, yang merupakan output-output berwujud yang lain, juga turut berproses mengikuti kemajuan pengembangan. dalam
15
Cara lain untuk berfikir tentang proses pengembangan adalah sebagai sistem pemrosesan informasi. Proses dimulai dengan input seperti sasaran perusahaan dan kemampuan teknologi yang tersedia, plaform produk dan sistem produksi. Berbagai
kegiatan
memproses
informasi
perkembangan,
memformulasi
spesifikasi, konsep dan desain detail. Proses dimulai ketika selutuh informasi yang dibutuhkan akan mendukung produksi dan mejual yang telah dirancang dan dikomunikasikan. (Ulrich&Eppinger, 2001).
2.3
Pengertian Anhtropometri Istilah anthropometri berasal dari kata anthro yang berati “manusia” dan
metri yang berarti “ukuran”. Anthropometri adalah studi tentang dimensi tubuh manusia (Pullat, 1992). Namun demikian pelopor bidang keilmuan ini sebenarnya adalah Quetlet seorang ahli matematika berkembangsaan Belgia, yang pada tahun 1870 memperkenalkan karyanya yang berjudul Anthropomety. Beliau tidak hanya disebut penemu atau pencetus ilmu tersebut, namun juga meropakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah “anthropometry”. Sebenarnya, permulaan pemanfaatan athropologi secara fisik dapat ditelusuri hingga pada akhir abad ke18 serta digunakannya anthropometri untuk perbandingan antar ras pertama kali dikembangkan oleh Linne, Buffon dan White. Anthropometri merupakan suatu ilmu yang secara khusus mempeljari tentang pengukuran tubuh manusia guna merumuskan perbedaanperbedaan ukuran pada tiap individu ataupun kelompok dan lain sebagainya (Panero dan Zalnik, 2003).
16
Data anthropometri yang ada dibedakan menjadi dua kategori, antara lain (Pullat, 1992) :
a. Pengukuran dimensi struktur tubuh (structural body dimensions). Disini tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak (tegak). Istilah lain dari pengukuran ini dikenal dengan “static anthropometry”. Dimensi tubuh yang diukur dalam posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi atau panjang lutut pada saat berdiri/duduk, panjang lengan sebagainya.
b. Pengukuran dimensi fungsional tubuh (fungsional body dimensions). Disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan. Hak pokok yang ditekankan dalam pengukuran dimensi fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang nantinya akan berkaitan erat dengan gerakangerakan tertentu. Berbeda dengan cara pengukuran yang pertama yang mengukur tubuh dalam posisi tetap, maka cara pengukuran kali ini dilakukan pada saat tubuh melakukan gerakan-gerakan kerja atau dalam posisi dinamis. Cara pengukuran ini akan menghasilkan Dynamic anthropomety (Wignjasoebroto, 1995).
2.3.1 Pengukuran antropometri Pengukuran antropometri pada hakekatnya adalah pengukuran jarak antara dua titik pada tubuh manusia yang ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan
17
kebutuhan dalam perancangan fasilitas kerja (alat bantu), dimana jarak tersebut merupakan garis penghubung terpendek di permukaan kulit atau lebih. Pada umumnya, manusia berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Dimensi tubuh manusia itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang harus menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan sempel data yang akan diambil.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah (Nurmianto, 2004) : a. Umur Ukuran manusia akan tumbuh dan bertambah besar dari saat lahir seiring dengan bertambahnya umur. Laki-laki akan tumbuh dan berkembang sampai sekitar usia 20 tahun dan 17 tahun untuk wanita. Ada kecenderungan berkurang atau mengalami penyusutan setelah 60 tahun akibat berkurangnya elastisitas tulang belakang (interveberal discs).
b. Jenis kelamin Ada perbedaan yang signifikan antara dimensi tubuh pria dan wanita secara distribusi statistik. Pria pada umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan wanita, kecuali pada bagian dada dan pinggul.
c. Rumpun dan Suku Bangsa
18
Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnik tertentu akan memiliki karakteristik tubuh yang berbeda satu dengan yang lainnya.
d. Sosio ekonomi Tingkat sosio ekonomi sangat mempengaruhi dimensi tubuh manusia. Pada negara-negara maju dengan tingkat sosial, ekonomi tinggi, penduduknya mempunyai dimensi tubuh yang sangat besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
e. Posisi Tubuh (Posture) Sikap dan posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh, oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survey pengukuran.
Berikut ini adalah 2 cara pengukuran : 1. Pengukuran dimensi struktur tubuh Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi badan, ukuran kepala,panjang lengan dan sebagainya. Ukuran dalam hal ini menggunakan percentile tertantu seperti 5-th dan 95-th percentile. 2. Pengukuran dimensi fungsional tubuh Disini pengukuran dilakukan saat tubuh ,elakukan gerakangerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan.
19
2.3.2 Prinsip Perancangan Produk Dengan Ukuran Rata-Rata Terdapat dua pilihan dalam merancang sistem kerja berdasarkan data anthropometri, yaitu : 1. Sesuai dengan tubuh pekerja yang bersangkutan (perancangan individual), yang terbaik secara ergonomi. 2. Sesuai dengan populasi pemakai/pekerja. Sedangkan perancanganuntuk populasi sendiri memiliki tiga pilihan yaitu: a. Design for extreme individuals b. Design for adjustable range c. Design for average Pada perancangan yang sesuai dengan populasi pakaian/pekerja, dimana biasanya produk dirancang dan di buat unruk mereka yang berukuran sekitar ratarata, sedangkan bagi mereka yangg memiliki ukuran ekstrim akan dibuatkan rancangan tersendiri. Konsep percentile banyak digunakan untuk memudahkan dalam merancang. Penggunaan konsep percentile ditunjukkan untuk memberi aspek keamanan dan kenyamanan serta nilai fungsi yang tinggi dengan biaya rendah bagi manusia di dalam alat atau sistem kerja yang dirancang.
2.3.3 Data Anthropometri Untuk Perancangan Fasilitas Kerja Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses perancangan fasilitas kerja (alat bantu) adalah merupakan faktor penting dalam menjunjang peningkatan efisiensi kerja. Perlu memperhatikan faktor ergonomi dalam proses rancang fasilitas kerja pada jaman sekarang ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi. Hal tersebut
20
tidak lepas dari pembahasan mengenai uukuran anthropometri tubuh operator tau pekerja maupun penerapan data-data anthropometrinya terhadap rancangan fasilitas kerja yang akan digunakan.
Data anthropometri dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang dan isesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan memakainya. Data anthropometri juga merupakan pedoman dalam perancangan produk atau fasilitas kerja, sehingga dapat menyesuaikan ukuranukuran postur tubuh dengan produk atau fasilitas kerja. Disamping itu, perancangan yang optimum dari suatu fasilitas kerja yang harus diperhatikan adalah faktor-faktor ukuran tubuh manusia baik dalam posisi statis maupun dinamis.
1.
Antrhopometri Statis Pengambilan data yang diukur menggunakan Anthropometri statis
diambil dengan cara linier (lurus) pada permukaan tubuh. Agar mendapat hasil yang maksimal, pengukuran harus dilkukan berdasar metode tertentu terhadap berbaga individu, tubuh dalam keadaan diam. Di bawah ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tubuh manusia, diantaranya: a. Umur Ukuran tubuh manusia sangat berkaitan dengan tumbuh kembang tubuh manusia, dari rentang lahir sampai berumur 20 tahun untuk pria dan 17
21
untuk wanita. Saat berumur 60 tahun tubuh manusia mengalami penyusutan. b.
Jenis Kelamin Pada umumnya dibanding dengan wanita pria memiliki tubuh yang lebih besar keculi bagian dada dan pinggul.
c.
Suku bangsa (etnis) Perbedaan etnis juga berpengaruh dalam ukuran tubuh manusia.
d.
Pekerjaan Selain faktor diatas, rutinitas kerja sehari-hari juga berpengaruh terhadap perbedaan ukuran tubuh manusia.
2.
Antrhopometri Dinamis
Dibagi menjadi tiga kelas pengukuran dinamis, yaitu: a.
Diukur dalam hal kertampilan, bertujuan untuk mengetahui keadaan mekanis dalam suatu aktufitas. Contoh : Mengukur produktifitas operator produksi secara individu.
b.
Pengkuran jangkauan ruangan yang dibutuhkan saat bekerja. Contoh : efektifitas dari gerakan tangan dan kaki saat menjangkau dalam berdiri maupun duduk.
c.
Pengukuran variabilitas kerja. Contoh : analisa kinematika dan kecepatan operator produksi pada saat mengemas produk.
22
2.3.4 Pedoman Pengukuran Anthropometri Selanjutnya untuk memperjelas mengenai data anthropometri untuk bisa diaplikasikan dalam berbagai rancangan fasilitas kerja maka Gambar 2.1 informasi tentang ukuran berbagai macam anggota tubuh sebagai berikut :
Gambar 2.1 Pedoman Pengukuran Sumber : (Wignjosoebroto, 2003) Keterangan : 1.
Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung kepala).
2.
Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.
3.
Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4.
Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak.
5.
Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam gambar tidak ditunjukkan).
6.
Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk sampai pantat sampai kepala).
7.
Tinggi mata dalam posisi duduk.
8.
Tinggi bahu dalam posisi duduk.
23
9.
Tinggi siku dalam posisi duduk.
10. Tebal atau lebar paha 11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai ujung lutut. 12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai bagian belakang dari lutut atau betis. 13. Tinggi lutut yang bisa dukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk. 14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha. 15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk). 16. Lebar pinggul atau pantat. 17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung (dalam gambar tidak ditunjukkan). 18. Lebar perut. 19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai jari-jari dalam posisi siku tegak lurus. 20. Lebar kepala. 21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai ujung jari. 22. Lebar telapak tangan. 23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan (dalam gambar tidak ditunjukkan). 24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur dari lantai s/d telapak tangan yang terjangkau lurus keatas.
24
25. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur sepertihalnya no. 24 tetapi dalam posisi duduk (dalam gambar tidak ditunjukkan). 26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan. 2.3.5 Aplikasi Data Anthropometri Dalam Perancangan Data anthropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat bermanfaat dalam merancang suatu produk/fasilitas kerja. Prinsip-prinsip yang harus diambil dalam menerapkan data anthropometri, (Nita, 2014) yaitu : a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim Perancangan produk dibuat agar dapat memenuhi 2 sasaran produk, yaitu: 1. Sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim, dalam arti tertentu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-ratanya. 2. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas dari populasi yang ada). b. Prinsip perancangan produk yang dapat dioperasikan diantara rentang tertentu. Disini rancangan dapat diubah-ubah ukurannya sehingga cukup fleksibel sioperasikan oleh tiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh. Pada umumnya aplikasi data anthropometri untuk
25
perancangan produk/fasilitas kerja akan menetapkan nilai 5th s/d 9th, persentil. c. Perinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata Perinsip perancangan produk didasarkan pada rata-rata ukuran manusia. Permasalahan pokok yang ada disini adalah sedikit sekali mereka yang berbeda dalam ukuran rata-rata. Mereka yang berbeda dalam ukuran ekstrim akan dibuatkan rancangan tersebut (Wignjosoebroto 2000). 2.3.6 Tahapan Perancangan (Work Space) dalam kaitannya dengan Data Anthropometri. Berkaitan dengan aplikasi data anthropometri yang diperlukan dalam proses perancangan produk ataupun fasilitas kerja. Mereka ada beberapa saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti berikut (Nurmianto, 2003): a.
Pertama kali harus ditetapkan anggoto tubuh mana yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut.
b.
Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut, dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data structural body dimensions ataukah functional body dimensions.
c.
Tetapkan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasi dan menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut. Disebut juga
26
sebagai market segmention seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita. d.
Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut ukuran individual yang ekstrem, rentang ukuran yang fleksibel, atau ukuran rata-rata.
e.
Pilih persentasi populasi yang akan diikuti 90th , 95th, atau nilai persentil lain yang dikehendaki.
f.
Untuk tiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data anthropometri yang sesuai. Aplikasikan data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran bila diperlukan, seperti misalnya: tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian, pemakaian sarug tangan, dll.
27
Tabel 2.1 Antropometri Masyarakat Indonesia yang didapat dari Interpolarsi Masyarakat British dan Hongkong terhadap Masyarakat Indonesia (semua dimensi dalam satuan mm) (Nurmianto, 1996)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Pria
Dimensi Tinggi tubuh posisi berdiri tegak Tinggi mata Tinggi bahu Tinggi siku Tinggi genggaman tangan pada posisi rileks kebawah Tinggi badan pada posisi duduk Tinggi mata pada posisi duduk Tinggi bahu pada posisi duduk Tinggi siku pada posisi duduk Tebal dada Jarak dari pantat ke lutut Jarak dari lipat lutut (popliteal) ke pantat tinggi lutut Tinggi lipat lutut (popliteal) Lebar bahu Lebar panggul Tebal dada Tebal Perut Jarak siku ke ujung jari Lebar kepala Panjang tangan Lebar tangan Jarak bentang dari ujung dari jari tangan kiri ke
Wanita
5Th
50Th
95Th
SD
5Th
50Th
95Th
SD
1532
1632
1732
61
1464
1563
1662
60
1425 1247 932
1520 1338 1003
1615 1429 1074
58 55 43
1350 1184 886
1446 1272 957
1542 1361 1028
58 54 43
655
718
782
39
646
708
771
38
809
864
919
33
775
834
893
36
694
749
804
33
666
721
776
33
523
572
621
30
501
550
599
30
181
231
282
31
175
229
283
33
117 500
140 545
163 590
14 27
115 488
140 537
165 586
15 30
405
450
495
27
488
537
586
30
448
496
544
29
428
472
516
27
361
403
445
26
337
382
428
28
382 291 174 174 405 140 161 71
424 331 212 228 439 150 176 79
466 371 250 282 473 160 191 87
26 24 23 33 21 6 9 5
342 298 178 175 374 135 153 64
385 245 228 231 409 146 168 71
428 392 278 287 287 157 183 78
26 29 0 34 34 7 9 4
1520
1663
1806
87
1400
1523
1645
75
28
kanan 24
Tinggi pegangan tangan (grip) pada posisi tangan vertikal keatas dan berdiri
1795
1932
2051
78
1713
1841
1969
79
(Sumber : Nurmianto, 1996) Tabel 2.2 Antropometri Telapak Tangan Orang Indonesia (semua dimensi dalam mm) (Nurminato, 1996)
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pria Dimensi Panjang Tangan Panjang telapak tangan panjang ibu jari Panjang jari telunjuk Panjang jari tengah Panjang jari manis Panjang jari kelingking Lebar ibi jari (IPJ) Tebal ibu jari (IPJ) Lebar jari telunjuk (PIPJ) Tebal jari telunjuk (PIPJ) Tebal telapak tangan (metacorpal) Lebar telapak tangan (sampai ibi jari) Lebar telapak tangan (minimum) Tebal telapak tangan (metacorpal) Tebal telapak tangan (sampai ibu jari) Diameter genggaman (maksimum) Lebar maksimal (Ibu jari ke jari kelingking) Lebar fungsional maksimal
Wanita
50Th
95Th
163 92 45 62 70 62 48 19 19 18 16
176 100 48 67 77 67 51 21 21 20 18
189 108 52 72 84 72 54 23 23 22 20
S D 8 5 2 3 4 3 2 1 1 1 1
74
81
88
88
98
68
5Th
50Th
95Th
155 87 42 60 69 59 45 16 15 15 13
168 94 45 65 74 64 48 18 17 17 15
181 101 48 70 79 69 51 20 19 19 17
8 4 2 3 3 3 2 1 1 1 1
4
68
73
78
3
108
6
82
89
96
4
75
82
4
64
59
74
3
28
31
34
2
25
27
29
1
41
48
47
2
41
44
47
2
45
48
51
2
43
46
49
2
177 122
192 132
206 142
9 6
169 113
184 123
199 134
9 6
5Th
SD
29
20
(ibu jari ke jari lain) segi empat minimum yang dapat dilewati telapak tangan
57
62
67
3
51
56
61
(Sumber : Nurmianto, 1996) 2.4 Ergonomi 2.4.1 Pengertian Ergonomi Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain atau perancangan (Nurmianto, 2008). Secara umum definusi-definisi ergonomi yang ada membicarakan masalah-masalah hubungan antara manusia pekerja dengan tugas-tugas dan pekerjaannya serta desain dari objek yang digunakan. Pada dasarnya kita boleh mengambil definisi ergonomi dari nama saja, namun dari semunya perlu adanya penyesuaian dengan apa yang sedang kita kerjakan. Dibawah ini ditampilkan beberapa difinisi ergonomi yang berhubungan dengan tugas, pekerjaan dan desain (Tatwaka, dkk, 2004): 1. Ergonomi is application of scientific information about human being (and scientific methods of acquiring such information) to the problem of desain (Pheasant 1988). 2. Ergonomi is the study of human abilities and characteristics which offect the design of equipment, system and job (Corlett & Clark, 1995).
3
30
3. Ergonomic is the ability to apply information reganding human characters, capacities and limitation to the design of human tasks, machine system, living spaces and environment so that people can live, work and play safety, confortably and efficiently (annis & Mc Conville, 1996). 4. Ergonomic design is the application of human factors, information to the design of tool, machine, system, tasks, jobs, and environments for produktive,
safe,
confortable
and
effective
human
factioning
(Manuaba,1998).
Berdasarkan uraian diatas maka selanjutnya kita dapat mendefinisikan ergonomi sebagai berikut: ergonimi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam aktifitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, dkk, 2004). 2.4.2 Tujuan Ergonomi Tujuan utama dari ergonomi adalah mempelajari batasan-batasan pada tubuh manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan kerjanya baik secara jasmani maupun psikologis. Selain itu juga untuk mengurangi datangnya kelelahan yang terlalu cepat dan menghasilkan suatu produk yang nyaman, enak dipakai oleh pemakainya. Menurut (Tarwaka, 2004), secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah sebagai berikut:
31
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi, dan kepuasan kerja. b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna, dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. c. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
2.5 Keluhan Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
musculoskeletal
disorder,
(MSDs)
atau
cedera
pada
system
muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Tarwaka,dkk,2004): 1. Keluhan sementara (reversible), yairtu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila tubuh tidak lagi menerima beban.
32
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun keluhan pada otot masih terus berlanjut. 2.5.1 Faktor penyebab Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal Dikutip dari tarwaka, (2004), menurut Peter VI (2000) menjelaskan bahwa, terdpat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu: 1. Peregangan otot yang berlebihan. Peregangan ototr yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktifitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktifitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melebihi kekuatain optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan tubuh dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. 2. Aktifitas berulang . Aktifitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah bongkahan batu, angkat angkat dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. 3. Sikap kerja tidak alamiah.
33
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjahui posisi alamiah, misalnya pergerakan tanda terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
4. Faktor pentyebab sekunder Tekanan Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot lunak, seperti saat tangan harus memegang alat pada jangka waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan pada otot tersebut akibat tekanan langsung yang diterima. Apabila hal ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan keluhan yang menetap. Getaran Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini akan menyebabkan peredaran darah tidak lancar, menimbulkan asam laktat meningkat dan akibatnya menimbulkan rasa nyeri otot.
34
2.5.2 Faktor Resiko Sikap Kerja Terhadap Gangguan Musculoskeletal Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjlan dan lain lain. Sikap kerja tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dalam sistem kerja yang ada. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Sikap kerja yang salah , cenggung dan diluar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian musculoskeletal (Bridge, 1995). 1.
Sikap Kerja Berdiri Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan
ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu ataupun kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban berat tubuh mengalir pada kedua kaki menuju tubuh. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya grafitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi oleh posisi kedua kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota tubuh bagian atas dengan anggota tubuh bagian bawah. Sikap
kerja
berdiri
memiliki
beberapa
permasalahn
sistem
musculoskeletal. Nyeri punggung bagian bawah (low back pain) menjadi salah satu permasalahan posisi sikap kerja berdiri dengan sikap punggung condong ke depan. Posisi berdiri yang terlalu lama akan menyebabkan penggumpalan
35
pembuluhdarah vena,Karena aliran darah berlawanan dengan gravitasi. Kejadian ini bia terjadi pada pergelangan kaki dapat menyebabkan pembengkakan. 2.
Sikap kerja duduk Kerika sikap duduk kerja dilakukan,otot bagian paha semakin tertarik dan
bertentangan dengan bagian pinggul seperti dapat dilhat pada gambar 2.2. Akibatnya tulang pevis akan miring kebelakang dan tulang belakang lumbar akan mengendor. Mengedornya bagian lumbar menjadikan sisi depan invertebratal disk tertekan dan sekelilingnya melebar atau merenggang. Kondisi ini akan membuat rasa nyeri pada punggung bagian bawah dan menyebar pada kaki.
Gambar 2.2 Kondisi invertebratal disk bagian lumbar pada saat duduk (Sumber : Bridger, 1995) Keterangan saat melakukan sikap duduk seharusnya dapat dihindari dengan melakukan perancangan tempat duduk. Hasil penelitian mengindikasikan
36
bahwa posisi duduk tanpa memakai sandaran akan menaikan tekanan pada invertebratal disk sebanyak 1/3 hingga ½ lebih banyak daripada posisi berdiri (Kroemer , 2000). Sikap kerja duduk pada kursi memerlukan sandaran punggung untuk menopang punggung. Sandaran yang baik adalah sandaran punggung yang bergerak maju-mundur untuk melindungi bagian lumbar. Sandaran tersebut juga memiliki tonjolan kedepan untuk menjaga ruang lumbar tulang sedikit menekuk. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan pada bagian invertebraal disk. 3.
Sikap kerja membungkuk Salah satu sikap kerja yang tdak nyaman untuk diterapkan dalam pekerjaan
adalah mmbungkuk seperti dilihat pada Gambar 2.3. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja. Pekerja mengalami keluhan rasa nyeri pada bagian punggung bagian bawah (low back pain) bila dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama.
Gambar 2.3 Mekanisme rasa nyeri pada posisi membungkuk (sumber : Bridger, 1995)
37
2.5.3 Penanganan Material Secara Manual (Manual Material Handling) Meskipun telah banyak mesin yang digunakan pada berbagai industri untuk mengerjakan tugas memindahan, namun jarang otomasi sempurna di dalam industri. Disamping pula adanya pertimbangan ekonomis seperti tingginya harga mesin otomasi atau juga situasi praktis yang hanya memerlukan alat yang sederhana. Sebagai konsekuensinya adalah melakukan kegiatan manual di berbagai tempat kerja. Bentuk kegiatan manual yang dominan dalam industri adalah Manual Material Handling (MMH) (Nita, 2014). Didalam dunia industri selama ini MMH hanya sebatas pekerjaan yang mengacu pada lifting dan lowering yang melihat pada aspek kekuatan vertikal, sebenarnya bukan hanya sebatas itu, masih ada kegiatan pushing dan pulling didalam kegiatan MMH, Kegiatan MMH menurut pendapat McCormick dan Sanders (1993) serta Alexander (1986) kegiatan MMH yang biasa dilakukan pekerja didalam industri antara lain : 1. Kegiatan pengangkutan benda (Lifting Task) 2. Kegiatan pengantaran benda (Caryying Task) 3. Kegiatan mendorong benda (Pushing Task) 4. Kegiatan menarik benda (Pulling Task) Pemilihan manusia sebagai tenaga kerja dalam melakukan kegiatan penanganan material bukanlah tanpa sebab, Penanganan material secara manual memiliki keuntungan tersendiri sebagai berikut :
38
1. Fleksibel dalam proses bekerja dalam ruang yang terbatas dan pekerjaan yang tidak beraturan. 2. Untuk beban yang ringan penggunaan MMH lebih efektif dibanding penggunaan mesin. 3. Tidak semua material dapat dipindahkan dengan alat. Mccormick dan sanders (1993) mendefinisikan ergonomi dengan menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif. Pendekatan ini dilakukan melalui tiga hal pokok yaitu: Fokus, tujuan dan ilmu ergonomi. 1. Fokus dari ergonomi adalah manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan pekerjaan serta kehidupan sehari-hari. 2. Tujuan ergonomi adalah meningkatkan efektifitas dan efesiensi pekerjaan, memperbaiki keamanan, mengurangi kelelahan dan sterss, meningkatkan kenyamanan, meningkatkan kepuasan kerja dan memperbaiki sistematika pekerjaan. 3. Pendekatan yang dilakukan dalam ergonomi adalah aplikasi yang sistematis
dari
informasi
kemampuan,keterbatasan,
yang
karakteristik
relevan,
manusia,
tentang
perilaku
dan
motivasi manusia terhadap rancangan produk dan prosedur yang digunakan untuk lingkungan tempat menggunakannya. Berdasarkan pendekatan diatas maka chappins (1995) merangkum definisi ergonomi sebagai ilmu yang menggali dan mengaplikasikan
39
informasi-informasi mengenai perilaku, kemampuan, keterbatasan dan karakteristik manusia lainnya untuk merancang peralatan, mesin, sistem, pekerja dan lingkungan untuk meningkatkan produktifitas, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas pekerjaan manusia.
1. Penanganan Resiko Kerja Manual Material Handling Dalam memperbaiki fasilitas kerja, penanganan terhadap resiko kerja pada MMH salah satu yang perlu diperhatikan, Pencegah terjadinya kecelakaan kerja terutama pada bagian musculuskeletal, adalah mengurangi dan menghilangkan pekerjaan yang beresiko terhadap keselamatan kerja. Dibawah ini beberapa tindakan untuk mengurangi resiko gangguan musculuskeletal pada pekerja manual material handling : a. Perencanaan ulang pekerja a. Mekanisasi Penggunaan sistem mekanis untuk menghilangkan pekerjaa yang berulang. Jadi dengan penggunaan peralatan mekanis mampu menampung pekerjaan yang banyak menjadi sedikit pekerjaan.
b. Rotasi Pekerjaan Pekerja tidak hanya melakukan satu pekerjaan, namun beberapa pekerjaan dapat dilakukan oleh pekerja tersebut. Tujuan dari langkah ini adalah memulihkan ketegangan otot melalui beban kerja yang berbedabeda.
40
c. Perbanyakan dan Pengayaan Kerja Sebuah pekerjaan sebisa mungkin tidak dilakukan dengan monoton, melainkan dilakukan dengan beberapa variasi . Tujuan dari langkah ini adalah untuk menghindari beban berlebih pada satu bagian otot tulang pada anggota tubuh. d. Kelompok Kerja Pekerjaan yang dilakukan beberapa oran mampu membagi beban kerja pada otot secara merata. Hal ini disebabkan anggota kelompok bebas melakukan pekerjaan yang dilakukan. b. Perancangan Tempat Kerja Prinsip
yang
dilaksanakan
adalah
perancangan
kerja
dengan
memperhatikan kemampuan dan keterbatasn pekerja. Tempat kerja menyesuaikan dengan bentuk dan ukuran pekerja agar aktifitas MMH dilakukan dengan leluasa. Kondisi lingkungan seperti cahaya, suara, lantai dan lain-lain juga perlu perhatian untuk menciptakan kondisi kerja yang nyaman. c. Perancangan peralatan dan perlengkapan Perancangan peralatan dan perlengkapan yang layak mampu mengurangi penggunaan tenaga yang berlebihan dalam menyelesaikan pekerjaan. Menyediakan pekerja dengan alat bantu dapat mengurangi sikap kerja yang salah, sehingga menurunkan ketegangan otot.
41
d. Pelatihan Kerja Program ini perlu dilakukan terhadap pekerja, karena pekerja melakukan pekerjaan sebagai kebiasaan. Pekerja harus mengetahui megenai pekerjaan yang berbahaya dan perlu mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan yang aman. Untuk melakukan kegiatan manual material handling (MMH) dengan aman, maka dalam melaksanakan pelatihan kerja MMH perlu memahami pedomannya. Empat prinsip yang dipegang selama melakukan manual
material
handling
(MMH)
(andy,
2008),
menurut
(Alexander,1986) yaitu: a. Berusaha menjaga beban pengangkatan selau dekat dengan tubuh (mencegah momen pada tulang belakang) b. Berusaha untuk menjaga posisi pingul dan bahu selalu dengan posisi segaris (mencegah gerakan berputar pada tulang belakang). c. Menjaga keseimbangan tubuh agar tidak mudah jatuh. d. Berfikir dan merencanakan metode dalam aktifitas MMH yang sulit dan berbahaya.
2.
Kelambatan kerja terhadap produktifitas Produktifitas kerja dalam sebuah produksi sangat berkaian erat dengan waktu yang dibutuhkan dalam produksi dan hasil yang didapat selama waktu produksi, untuk membuktikannya dengan cara mengukur produktifitas dalam ukuran hasil produksi per satuan waktu, apabila hasil produksi meningkat
42
tetapi waktu yang digunakan tetap (itu tidak bisa dikatakan kelambatan kerja, produktifitas dikatakan meningkat. Sebaliknya jika hasil produksi meningkat dan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih lama (terjadi kelambatan kerja), dapat dikatakan produktifitas menurun. Terjadinya kelambatan kerja menurut Sutalaksana (1979) dipengaruhi dalam 4 unsur, kelambatan yang tidak terhindarkan (unavoidable delay), kelambatan yang dapat dihindarkan (avoidable delay), perencanaan (plan) dan istirahat untuk menghilangkan kelelahan (rest to overcome fatique). Salahsatu unsur yang sangat pengaruh dengan produktifitas iyalah perencanaan (plan), perencanaan sangat berkaitan erat dengan metode kerja yang lebih sistematis yang membuat seorang operator melakukan pekerjaan dengan pola yang sama dan tertata dalam menghasilkan produk, fasilitas kerja sangat berkengaruh untuk menunjang metode kerja yang sistematis, jika sistem kerja kurang sistematis bisa terjadi pada operator yaitu berfikir untuk mengambil tindakan yang akan diambil selanjutnya. Dampak dari kurangnya fasilitas kerja, karena seorang tenaga kerja masih perlu proses berfikir yang lebih lama untuk mengambil tindakan selanjutnya (Sutalaksana, 1979). Selain memperbaiki fasilitas produksi kerja ada 2 faktor lain yang mempengaruhi peningkatan produktifitas yaitu mengubah dan mengatur secara fisik(faktor situasional), kemampuan pekerja (faktor manusia) juga sangat mempengaruhi peingkatkan produktifitas.
43
3.
Posisi tenaga kerja saat melakukan pekerjaan Dalam hal posisi kerja berdiri terlalu lama tidak disarankan sebagai posisi utama, posisi berdiri dalam perancangan produk pengeboran batu nisan digunakan hanya untuk variasi keja jika seorang pekerja jenuh dengan posisi duduk. Karena posisi kerja yang terlalu lama sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki. Jika memang alas kaki dibutuhkan saat bekerja sepatu yang aman dan dengan ukuran yang pas disarankan untuk untuk mengurangi resiko sobek (bengkak) pada jari kaki, mata kaki dan bagian sekitar telapak kaki. Oleh katena itu fasilitas kerja yang ergonomis termasuk dalam memilih jenis dan ukuran sepatu (Alan Glaser, 2001). Pada posisi duduk tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, bila posisi duduk tidak benar. Menurut nurmianto (1998), tekanan posisi pada saat duduk saja mencapai 100% jika posisi duduk salah akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk tegang dan kaku dan tekanan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak statis).
44
Gambar 2.4 Agar Posisi Duduk Tidak Membungkuk, Maka Alas Meja Dibuat Bisa Dimiringkan. (Ian FP,2001) Untuk mendapat posisi duduk yang baik kombinasi ukuran kursi dan meja sangat berpengerah dengan kenyamanan yang didapatkan tinggi dan lebar dudukan kursi berpengaruh terhadap posisi pelvic tulang belakang.(Alan Glaser, 2001) 1. Posisi duduk: Palvic merenggang ke belakang, columna spinal tegang, adbomen bawah tertekan dan sirkulasi terbatas. 2. Posisi duduk: putaran pelvic dapat sempurna, columna spinal tersusun baik, sirkulasi tidak terbatas dan bagian belakang tidak regang.
Gambar 2.5 Agar posisi duduk tidak membungkuk (Ian FP,2001)
45
2.6
Ovako Working Postures Analysis System (OWAS) OWAS adalah salahsatu metode untuk mengevaluasi beban posture
(postural load) selama bekerja. Metode OWAS didasarkan pada sebuah klasifikasi yang sederhana dan sistematis dari postur kerja yang dikombinasikan dengan pengamatan dari tugas selama bekerja. Metode OWAS pertama kali dilakukan untuk menganalisis postur kerja pada industry baja. Metode ini telah digunakan dalam penelitian dan pembangunan di Finlandia, Swedia, Jerman, Belanda, India dan australia. Prosedur OWAS dilakukan dengan melakukan observasi untuk mengambil data postur, beban/tenaga dan fase kerja untuk kemudian dibuat kode berdasarkan data tersebut. Evaluasi penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang ada dan selanjutnya dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus diambil. Metode OWAS adalah metode paling praktis dan efisien untuk mengidentifikasi dan menilai postur kerja yang tidak nyaman. Metode ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah teknik pengamatan untuk menilai postur kerja yang digunakan pada rutinitas pekerja sehari-hari. Bagian kedua dari metode ini adalah dengan membuat criteria untuk mendesain ulang postur kerja dan mengetahui hasil yang dipercaya setelah penggatian metode kerja dalam jangka pendek setelah penerapan postur yang disesuaikan. Dari para ahli ergonomi faktor ini mempertimbangkan faktor seperti kesehatan dan keselamatan, tetapi penekanan utama terletak pada ketidaknyamanan disebabkan oleh postur kerja.
46
Postur kerja OWAS disusun dengan kode yang terdiri dari empat digit dimana secara berurutan menggambarkan postur punggung, lengan, kaki dan berat beban saat melakukan aktifitas penanganan material secara manual. Kasifikasi kode ini berdasarkan pengaruh pada kesehatan . berikut ini adakah klasifikasi postur yang diamati untuk dianalisa dan dievakuasi adalah: 1.
Punggung dideskripsikan pada Gambar 2.5 dibawah ini: a. Lurus b. Membungkuk c. Memutar atau miring kesamping d. Membungkuk ke depan memutar dan memutar menyamping.
Gambar 2.6 Penilaian pada Punggung (Sumber : Astuti, 2007) 2. Lengan, dideskripsikan pada Gambar 2.6 dibawah ini: a. Kedua lengan berada dibawah bahu. b. Satu lengan berada pada atau di atas bahu. c. Kedua lengan pada atau diatas bahu.
47
Gambar 2.7 Penilaian Pada Lengan (sumber : Astiri 2007)
3. Kaki dideskripsikan pada Gambar 2.7 dibawah ini: a. Duduk b. Berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus. c. Berdiri bertumpu pada kaki lurus. d. Berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk. e. Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk. f. Berlutut pada satu atau kedua lutut. g. berjalan
Gambar 2.8 Penilaian Pada Kaki (sumber : Astiri 2007)
48
4. Berat beban a.
Berat beban adalah kurang dari 10 kg W≤10 kg).
b.
Berat beban adalah 10 kg – 20 kg (10 kg <w ≤ 20 kg).
c.
Berat beban adalah lebih berat 20 kg (w>20 kg).
Dari penjelasa sebelumnya, maka pada tabel 2.2 dibawah ini merupakan ringkasan dari definisi score posture pada metode OWAS. Tabel 2.3 Kode posture OWAS
(Sumber : Ismail, 2009) Penjelasan ini adalah tentang pelengkap penjelasan klasifikasi sikap tabel diatas: a. Sikap punggung membungkuk. Sikap kerja dikatakan membugkuk jika terjadi sudut yang terbentuk pada kemiringan punggung minimal 20 derajat atau lebih. Begitu pula sebaliknya jika sikap
kerja
punggung
kurang
dari
20
derajad
maka
dinilai
tidak
membungkuk,Adapun posisi leher dan kaki tidak termasuk dalam penilaian punggung)
49
b. Siakap Lengan Yang di maksud lengan adalah dari lengan atas sampai tangan. Peilaian sikap lengan perlu memperhatikan posisi tangan. c. Sikap Kaki 1. Duduk, pada sikap ini adalah dududk di kurisi atau sejenisnya. 2. Berdiri, Bertumpu pada dua kaki lurus, pada sikap ini kedua kaki pada posisi lurus tidak bengkok dimana beban tubuh menumpu pada kedua kaki. 3. Berdiri bertumpu pada satu kaki yang lurus, pada sikap ini beban tubuh bertumpu pada satu kaki yang lurus dan satu kaki yang lain dalam keadaan menggantung (tidak menyentuh lantai). Dalam hal ini kaki menggantung untuk menyeimbangkan dan bila hanya jari kaki yang menyentuh lantai maka termasuk dalam sikap ini. 4. Berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk, sikap ini adalah kedua postur setengah duduk yang telah umum diketahui yanitu dengan keadaan lutut ditekuk dan beban tubuh bertumpu pada kedua kaki. 5. Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk, pada sikap ini adalah keadaan dimana berat tubuh bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk (menggunakan pusat gravitasi padasatu kaki dengan lutut ditekuk).
50
6. Berlutut pada satu atau dua lutut, pada sikap ini adalah sikap berlutut dimana satu atau kedua lutut menempel pada lantai. 7. Berjalan, pada sikap ini adalah pergerakan kaki yang dilakukan, tidak hanya berjalan atau bergerak kedepan, tetapi juga kebelakang dan kesamping, serta naik turun tangga.
d. Berat beban Dalam hal ini yang membedakan adalah berat beban yang diterima dalam satuan kilogram yang lebih kecil atau sama dengan 10 kg, lebih besar bdari 10 kg dan lebih kecil dari 20 kg, serta lebih besar dari 20 kg. Tabel 2.4 Kategori Tindakan Kerja OWAS
(Sumber: Ismail 2009) Hasil analisa diatas postur kerja OWAS terdiri dari empat kategori postur kerja (action Category) sebagai berikut: Kategori 1: Pada sikap ini tidak ada masalah pada system skeletal otot (posture tidak berbahaya). Tidak perlu adanya perbaikkan.
51
Kategori 2: Pada sikap ini berbahaya, posisi berpotensi menyebabkan kerusakan pada sistem muskuloskeletal. Tindakan perlu dilakukan boleh dengan jangka waktu.
Kategori 3: Pada sikap ini berbahaya pada system skeletal otot (posture mengakibatkan efek strain signifikan). Perlu perbaikan segera mungkin. Kategori 4: Pada sikap ini sangat berbahaya pada system skeletal otot (posture mengakibatkan
resiko
yang
jelas).
Perlu
perbaikan
secara
langsung/sekarang juga) Kelebihan dari metode ini antara lain : 1. Mudah digunakan. 2. Hasil observasi bisa dibandingkan dengan benchmarks untuk menentukan prioritas intervensi. 3. Angka pada tiap bagian tubuh biasa digunakan untuk perbandingan sebelum dan sesudah intervensi untuk mengevaliasi keefektifannya. 4. Angka pada tiap bagian tubuh biasa digunakan untuk studi epidemiologi. Kekurangan dari metode ini : 1. Tidak adanya informasi mengenai durasi waktu kerja mengenai waktu kombinasi.
52
2. Tidak ada perbedaan klasifikasi antara lengan kanan dan kiri.
2.6.1 Software WinOWAS Untuk menganalisa postur tubuh dengan metode OWAS ini dapat dibantu dengan menggunakan sofeware WinOWAS. Sofeware WinOWAS merupakan suatu program yang menganalisa posisi tubuh operator dalam bekerja, yang nantinya menghasilkan persentase dari masing masing posisi tubuh operator dalam bentuk grafik, dari grafik tersebut dapat diketahui keadaan dari sikap operator apakah sikap terdahulu perlu adanya perbaikan atau sudah baik.
2.7 Metode Postur yang Bisa Digunakan Selain Metode OWAS 2.7.1 Rapid Upper Limb Assessment (RULA) RULA (Rapid Apper Limb Assessmet) merupakan suatu metode penelitian untuk meninvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh (Lynn Mc Atammney dan Nigel Corlett (1993) yang menyediakan sebuah perhitungan tingkatan beban musculuskeletal di dalam sebuah pekerjaan yang memiliki resiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau anggota badan bagian atas.
Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan postur leher, punggung dan lengan atas. Setiap pergerakan diberi skor yang telah ditetapkan. Rula dikembangkan sebagai suatu metode untuk
53
mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor resiko. Metode ini didesain
untuk
menilai
para
pekerja
dan
mengetahui
beban
musculuskeletal yang memungkinkan menimbulkan gangguan pada anggota badan bagian atas (dessi,dkk, 2013) Metode ini mengunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan evaluasi faktor resiko. Faktor resiko yang telah diinvesrigasi dijelakan oleh McPhee sebagai faktor beban eksternal yaitu: 1. Jumlah pergerakan. 2. Kerja otot statis. 3. Tenaga/Kekuatan. 4. Penentuan postur kerja oleh peralatan. 5. Waktu kerja tanpa istirahat. Prosedur menggunakan RULA terbagi kedalam tiga langkah, yaitu : 1. Memilih postur yang akan dimulai. 2. Postur dinilai dengan menggunakan lembar pemilihan, diagram bagian tubuh dan tabel. 3. Nilai diubah kedalam kategori action level dari angka 1 hingga 4. (Stanton,dkk, 2005). Seperti metode penilaian ergonomi yang lain, RULA juga memiliki kelebihan diantaranya :
54
1. Panduan cepat dan mudah untuk mendeterminasi keberadaan WMSDs 2. Efektif untuk menilai postur bagian atas 3. Sudah mencakup postur, tekanan dan frekuensi 4. Dapat mengidentifikasi pada bagian tubuh mana yang beresiko paling besar pada suatu pekerjaan. 5. Skor pada RULA dilekngkapi dengan action level yang menggambarkan prioritas tindakan. Kelemahan yang dimiliki metode RULA, antara lain : 1. Tidak menilai postur pada selutuh badan 2. Hanya efektif pada sedentary task 3. Beban (force) dan waktu (frekuensi dan durasi) tidak dijelaskan secara spesifik pada setiap bagian tubuh. 4. Waktu dan intervensi tidak dijelaskan secara jelas.
2.7.2 REBA (Rapid Entire Body Assessment) REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr.sue Hignett dan Dr.Lynn McAtamney yang merupakan ergonomi dari universitas di Nottingham (Universitas of Nottingham Institute of Occupational Ergonomics). Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomi pada tahun 2002.
55
Rapid entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomic dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai postur kerja atau postur leher punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban ekxternal yang ditopang oleh tubuh serta aktifitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan
scoring
general
pada
daftar
aktivitas
yang
mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Miftahudin,2011). REBA dapat digunakan ketika penilaian postur kerja diperlikan dan dalam sebuah pekerjaan: 1.
Keseluruhan bagian badan digunakan.
2.
Postur tubuh statis, dinamis, cepat berubah, atau tidak stabil.
3.
Melakukan sebuah pembebanan seperti mengangkat benda baik secara rutin ataupun sesekali.
4.
Perubahan dari temat kerja, peralatan atau pelatihan pekerja sedang dilakukan dan diawasi sebelum atau sesudah perubahan.
Kelebihan metode REBA, antara lain : 1.
Nilai resiko pada hampir semua bagian tubuh seperti dada, leher, kaki, pergelangan tangan, anggota gerak atas dan bawah.
56
2.
Memisahkan penilaian untuk pergelangan tangan, anggota gerak atas dan bawah menjadi sisi kanan dan kiri.
3.
Menilai faktor resiko ergonomi lain, seperti postur janggal, durasi, frekuensi, couling dan force.
4.
Dapat digunakan untuk menilai postur statis, postur dinamis, postur tidak stabil yang selalu cepat.
5.
Dapat menilai hampir semua aktifitas tubuh.
6.
Dapat digunakan untuk menilai lebih dari satu spesifik task.
Kekurangan yang dimiliki oleh metode REBA ini, antara lain: 1. Kerangka waktu untuk intervensi tidak tidak diberitahukan dengan jelas. 2. Belum menilai faktor resiko ergonomi dari lingkungan. 3. Hanya menganalisis faktor resiko postur dan tidak ada analisis terhadap faktor resiko ergonomi secara lengkap. 4. Tidak ada analisis terhadap faktor resiko individu dan organisasi. 5. Faktor resiko fisik lainnya tidak diukur. 6. Tidak ada pengukutan durasi dan frekuensi tiap bagian tubuh secara lebih spesifik.
57
2.7.3
Metode Quick Exposure Check (QEC) QEC merupakan salah satu metode pengukuran beban postur yang
diperkenalkan oleh Li dan Buckle (1999). QEC memikik tingkat sensitivitas dan kegunaan yang tinggi serta dapat diterima secara luas reabilitasnya. QEC merupakan suatu metode untuk penilaian terhadap resiko yang terjadi pada bagian belakang punggung, bahu/lengan, pergelanhan tangan dan leher. QEC membantu untuk mencegah terjadinya WMSDs seperti gerak repetitive, gaya tekan, postur yang salah dan durasi kerja (Ezi,dkk 2014). Konsep dasar dari metode ini adalah mengetahui seberapa besar expsure score dihitung untuk masing-masing baguan tubuh tertentu yang dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Tujuan dari penggunaan QEC ini adalah : 1. Menilai perubahan paparan pada tubuh yang beresiko terjadinya mukuluskeletal sebelum dan sesudh intervensi ergonomi. 2. Melibatkan pengamat dan juga pekerja dalam melakukan penilaian dan mengidentifikasi kemungkinan untuk perubahan pada sistem kerja. 3. Membandingkan aparan resiko cidera diantara dua orang atau lebih yang melakukan pekerjaan yang sama, atau diantara orang-orang yang melakukan ekerjaan yang berbeda.
58
4. Meningkatkan kesadaran diantara para manager,
engineer,
desainer, praktisi keselamatan dan kesehatan kerja dan para operator mengenai faktor musculeskeletal pada stasiun kerja. Dimana faktor resiko yang ada dipertimbangkan dan digabungkan dalam implementasi dengan tabel skor yang memperkecil bias penilaian subjektif dan peneliti/observer. Adapun kelebihan lain dari metode ini adalah : 1.
Dapat digunakan untuk sebagisn besar faktor resiko fisik dari MSDs.
2.
Mempertimbangkan peneliti dan bisa digunakan oleh peneliti yang tidak berpengalaman.
3.
Mempertimbangkan kombinasi dan interaksi berbagai faktor resiko di tempat kerja (multiple risk faktors), baik yang bersifat fisik maupun spikososial. Disamping berbagai keuntungan tersebut, metode ini juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
1.
Metode yang berfokus pada faktor fisik di tempat kerja.
2.
Hipotesisi skor pajanan yang disarankan pada action level membutuhkan validasi.
3.
Penelitian dan praktek tambahan diperlukan oleh pengguna yang belum
berepengalaman
untuk
pengukuran (Stanton, dkk,2005).
pengembangan
reliabilitas