BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu. Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan erat dan mendasari adanya penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah seperti yang terlihat dalam Tabel 2.1. berikut ini. Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Alat analisis
Hasil penelitian
Bayuaji Darus Setiobudi
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Structural Selling Skill Terhadap Kinerja Tenaga Penjual. Equation Modelling (2007) (SEM)
Adanya hubungan yang signifikan antara ketrampilan menjual dan kinerja tenaga penjualan dalam meningkatan profit perusahaan.
Niken Pratiwi
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Tenaga Penjual (Studi kasus pada Tenaga Penjualan di PT HM Sampoerna.Tbk cabang Semarang, Pati, Tegal dan Tuban. (2007)
Desain wilayah kerja berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual
1
2
Andi Setiawan 3
Judul
Analisis Kinerja Tenaga Penjualan Berdasarkan Sistem Kontrol Dan Sinergi Aktivitas Tenaga Penjualan (Studi Empiris Tenaga
Structural Equation Modelling (SEM)
Structural Equation Modelling (SEM)
Sistem kontrol dan sinergi aktivitas tenaga penjualan berpengaruh positif terhadap kinerja Tenaga penjual.
Universitas Sumatera Utara
Penjualan pada Distributor Farmasi di Kota Semarang). (2003) Lanjutan Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No
4
Peneliti Adhitya Nur Pratama
Judul Pengaruh Pelatihan Kerja Dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Penjualan PT ASTRAGRAPHIA TBK. (2001)
Alat analisis
Hasil penelitian
Regresi berganda
Pelatihan kerja dan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan bagian penjualan
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Kemampuan Menjual Seorang tenaga penjual harus memiliki kemampuan dalam mengendalikan perilaku disetiap situasi, permintaan-permintaan yang timbul didalam interaksi hubungan dengan orang lain. Singkatnya seorang tenaga penjual harus mempunyai pengetahuan tentang produk yang ditawarkan dan bagaimana cara kerjanya, melakukan presentasi penjualan dengan efektif dan ketrampilan atau kemampuan menjual lainnya. Rahasia keberhasilan seorang tenaga penjual terletak pada kesediaan untuk senantiasa mengetahui kebutuhan orang dengan melakukan pengamatan dan memperhatikan setiap orang di lingkungan tempat ia berada dan memenuhinya. Untuk itu, seorang winaniaga dituntut untuk kreatif.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Machfoedz, (2012, p.20) menyatakan bahwa ada tiga tahapan dalam proses kreatif 1. Latar belakang dan akumulasi pengetahuan Kreasi yang berhasil biasanya
didahului dengan penelitian dan
pengumpulan informasi yang meliputi membaca, percakapan dengan orang lain yang bekerja dalam bidangnya, atau mengikuti pertemuan professional. 2. Proses inkubasi Alam bawah sadar orang kreatif memungkinkan mereka untuk dapat merinci dengan seksama informasi yang mereka dapatkan selama tahan persiapan. 3. Pengalaman ide Tahap proses kreatif ini sering kali dianggap sebagai tahap yang paling menyenangkan, karena merupakan saat ditemukannya solusi atau ide yang dicari oleh seseorang. Menurut Machfoedz, (2012, p.20) menjual kepada prospek merupakan tujuan dari aktivitas personal selling. Prospek yang telah membeli suatu produk atau jasa yang ditawarkan dalam personal selling kemudian disebut pembeli. Ada beberapa cara sistematis untuk mengkualifikasikan prospek. Rencana yang akan dibuat harus didasarkan pada wilayah, wiraniaga, dan produk. Pada umumnya wiraniaga bekerja dengan metode prospecting sebagai berikut: 1. Metode pusat pengaruh 2. Metode rantai bersambung 3. Metode observasi
Universitas Sumatera Utara
4. Metode kunjungan Menurut Prasetyo (2013, p.95) seorang penjual dalam menjual memiliki tujuan tertentu yaitu: 1. Sales for informing (know) Sekedar mengenalkan produknya kepada calon pelanggan, agar calon pelanggan tahu dan mengenalnya. 2. Sales for educating (intuitive) Membantu calon pelanggan untuk tahu cara menggunakan dan member pengertian tentang pentingnya memiliki barang/jasa tersebut. 3. Sales for inspiring (willing) Orang tergerak dan bersedia untuk membeli. Menurut Prasetyo (2013, p.96) ada beberapa tipe menjual, yaitu: 1. Consultative Menjual dengan tipe konsultatif sangatlah berfokus pada bagaimana mengajukan pertanyaan untuk mengetahui permasalahan dan bagaimana mengkorelasikan permasalahan dengan solusinya. 2. Relationship Focus tipe menjual relationship adalah membangun kedekatan hubungan dan keakraban. 3. Display Penjual hanya menjual dan menguasai produk yang di pajang dan pelanggan mendatanginya. 4. Hard closer
Universitas Sumatera Utara
Tipe ini tidak dapat menerima jawaban tidak dari calon pelanggan. Focus mereka adalah bagaimana membuat calon pelanggan tertarik dan segera membeli. Kemampuan menjual dipelajari pada saat melakukan tugas atau pekerjaan yang penting. Kemampuan menjual merupakan salah satu hal yang penting untuk meningkatkan kinerja tenaga penjual (Rentz, 2002, p.12). Baldauf et al (2001, p.109) dalam penelitiannya menguji hubungan antara orientasi strategi perusahaan, pengawasan, dan manajemen penjualan, desain wilayah penjualan dan kinerja tenaga penjualan serta pengaruhnya terhadap efektifitas penjualan perusahaan. Kemampuan menjual (selling skill) merupakan keyakinan akan adanya pengetahuan khusus yang dimiliki oleh tenaga penjualan tersebut yang mendukung hubungan bisnis (Liu and Leach dalam Setiobudi 2007, p.48). Selling skills adalah kemampuan seseorang untuk menjual sesuatu barang atau jasa (elqorni.wordpress.com,2010). Semua orang pasti ingin menjadi penjual yang sukses tetapi tidak semua penjual tahu bagaimana caranya. Dengan mempelajari pengetahuan tentang produk bukan berarti kita sudah mempelajari pengetahuan tentang menjual produk. Anggapan ini tentu sangat keliru karena pengetahuan produk tentu saja berbeda dengan pengetahuan menjual. Selling skill merupakan bagaimana cara menjual dengan baik melalui teknik probing. Teknik probing digunakan oleh penjual untuk menyelidiki, mencaritahu, menggali informasi/peluang dan kebutuhan prospek dengan cara mengajukan pertanyaan yang tepat dan mengena kepada calon pembeli atau yang disebut dengan prospek. Dalam hal ini, prospek bisa perorangan, perusahaan,
Universitas Sumatera Utara
kantor, instansi, organisasi, dan lain-lain. Namun dalam menghadapi pelanggan juga harus mempelajari sikap pelanggan yang berbeda beda (elqorni.wordpress.com,2010). Menurut Spiro dan Weitz (1990, p.61), kemampuan tenaga penjual dalam menjual terdiri dari beberapa hal seperti, kemampuan tenaga penjual dalam melakukan pendekatan dengan pelanggan dalam situasi yang berbeda, memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuannya dalam membangun hubungan baik dengan pelanggan, dan percaya diri dalam menyakinkan pelanggan. Ketrampilan menjual sering juga ditunjukkan dengan kemampuan tenaga penjualan untuk memberikan solusi yang dibutuhkan oleh pelanggannya, sehingga pelanggan merasakan adanya nilai tambah yang diperoleh. Kemampuan menjual yang dimiliki tenaga penjualan akan semakin meningkat, peningkatan ini terjadi seiring pembelajaran seorang tenaga penjualan terhadap kondisi yang dihadapi didalam melaksanakan tugas penjualan. Ketrampilan menjual juga sebuah orientasi dari seseorang meningkatkan
untuk berusaha
digambarkan sebagai
melakukan
perbaikan
dan
kemampuan serta penguasaan atas pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya (Sujan et al dalam Setiobudi, 2007, p.48). Dengan kata lain, ketrampilan menjual merupakan pengetahuan dan penguasaan untuk melakukan tindakan tertentu sebagai pengetahuan prosedural maupun tindakan khusus yang mengacu pada keberhasilan penjualan. Ketrampilan menjual merupakan hal penting yang perlu menjadi pemikiran bagi pihak perusahaan, sehingga pengelolaan tenaga penjualan yang baik harus benar-benar menjadi suatu perhatian. Ketrampilan menjual yang baik akan memberi kemudahan dalam menguasai serta menangani proses penjualan.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan tenaga
penjualan dalam melakukan aktivitas penjualan
dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki, sehingga tenaga penjualan memahami perencanaan yang akan disusun untuk meningkatkan kinerjanya. Ketrampilan tenaga penjual sangat diperlukan dalam memaksimalkan pekerjaannya, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai produk dan cara kerjanya, presentasi penjualan, kemampuan bertanya serta kemampuan beradaptasi dari seorang tenaga penjualan. 2.2.2. Desain Wilayah Setiap wilayah penjualan menggambarkan lingkungan dimana ia harus bersaing dan bekerja. Desain wilayah penjualan mencakup sejumlah isu seperti menentukan batas wilayah (pengalokasian tanggung jawab pelanggan), memutuskan ukuran tenaga penjual dan pengalokasian beban kerja tenaga penjual kepada pelanggan serta prospeknya. Menurut Kotler dan Amstrong (2008, p.97) dalam struktur tenaga penjualan territorial (territorial sales force structure), masing-masing wiraniaga ditugaskan pada daerah geografis tertentu dan menjual seluruh lini produk atau layanan perusahaan kepada seluruh pelanggan di daerah tersebut. Struktur ini juga meningkatkan keinginan wiraniaga untuk membangun hubungan dengan pelanggan lokal yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas penjualan. Pengaturan wilayah penjualan yang baik bermanfaat untuk memperluas cakupan pelanggan (customer coverage), meningkatkan penjualan, mendukung system evaluasi dan rewards yang adil, serta memperkecil biaya perjalanan (Zoltners dan Lorimer, 2000, p.140)
Universitas Sumatera Utara
Grant and Cravens, (1999, p.945) menyatakan desain wilayah penjualan terdiri dari unit kerja dimana tenaga penjualanlah yang bertanggung-jawab. Pengaturan wilayah yang ideal tentunya disesuaikan dari seberapa banyak outlet yang ada, jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan. Desain wilayah dapat terdiri dari desain area geografis dan seperangkat tanggungan atau kombinasi dari keduanya. Pemetaan area distribusi dapat berdasarkan outlet, geografis yang ada, volume penjualan, dan caracara penanganan outlet. Desain wilayah penjualan yang efektif memberikan suatu bidang yang penting untuk meningkatkan efektifitas organisasi penjualan. Pihak manajemen harus tepat menentukan berapa jumlah pelanggan bagi masing masing tenaga penjualan, tanggung jawab produk dan wilayah geografis yang dicakup (Baldauf et al, 2001, p.109). Rajagopal dalam Pratiwi (2007, p.23) menyatakan desain wilayah penjualan menetapkan jangkauan tanggung jawab kerja untuk tenaga penjualan secara individual yang ditentukan melalui geografi atau jumlah konsumen yang menjadi tanggung jawabnya. Manajer penjualan harus memutuskan jumlah penugasan pada tenaga penjualan, tanggung jawab produk dan area berdasarkan geografi (atau dasar lain seperti, tipe industri). Beberapa pertimbangan mungkin penting dalam menentukan desain wilayah, termasuk kekuatan dalam pembelian pada, penyebaran secara geografi, waktu yang dibutuhkan untuk melayani dan intensitas persaingan. Manfaat dari pengaturan wilayah yang baik adalah (Zoltner and Lorimer, 2000, p.143) 1. Pengaturan wilayah penjualan yang baik meningkatkan cakupan pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengaturan wilayah penjualan yang baik meningkatkan penjualan. 3. Pengarturan wilayah berdampak pada reward dan konsekuensi moral. 4. Pengaturan wilayah dapat menghemat waktu perjalanan. Zoltner and Zolimer (2000, p.143) juga menyatakan terdapat empat langkah teknik sukses dalam pengaturan wilayah pertama, Menentukan kriteria pengaturan dan tujuan, kedua, mengembangkan database, ketiga, mengembangkan pengaturan wilayah keempat, finalize pengaturan wilayah review dan memodifikasi dengan first line sales manager (supervisor). Terdapat banyak kompetitor dan kendala yang harus dihadapi oleh perusahaan misalnya biaya yang makin tinggi. Pelanggan akan meminta pada perusahaan untuk memberikan nilai lebih terhadap produk dan servis yang diberikan. Karena itu, marketing data based harus berada pada level yang bertujuan untuk dapat mengatur knowledge dimana marketing database memberikan organisasi melanjutkan tujuannnya melalui pembelajaran dari masing-masing program yang digunakan untuk program selanjutnya. Menurut Prastiwi (2005, p.194), peninjauan terhadap desain wilayah penjualan dapat memastikan tercapainya peningkatan profitabilitas penjualan, peliputan teratur dan terkendali atas seluruh wilayah serta terbukanya banyak kesempatan menjual dengan lebih sedikit perjalanan, Desain organisasi penjualan juga penting bagi efektivitas organisasi penjualan karena menyediakan kesempatan bagi tenaga penjualan untuk mendapatkan level kinerja yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
Grant, et al.,( 2001, p.167), menyatakan bahwa desain wilayah penjualan merupakan elemen kunci yang mampu mendorong atau memotivasi tenaga penjualan untuk semakin efektif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tenaga penjualan. Baldauf, et al.,(2001, p.110) mempertegas bahwa desain wilayah penjualan dan penguasaan wilayah pemasaran yang kurang baik tidak akan memberikan konsekuensi dan kontribusi yang menguntungkan bagi aktivitas dan kinerja tenaga penjualan. Penelitian Baldauf dan Cravens (2002, p.1368), memberikan gambaran desain wilayah penjualan berpengaruh positif terhadap aktivitas dan kinerja tenaga penjualan. Desain wilayah penjualan yang buruk dapat menjadi penghalang besar untuk meningkatkan kinerja tenaga penjualan sehingga desain wilayah penjualan merupakan faktor penting dalam menghasilkan tenaga penjualan yang mempunyai kinerja yang baik. Jika wilayah penjualan terlalu luas, terlalu kecil, maupun terstruktur sehingga ketrampilan dan aktivitas tenaga penjualan tidak dapat digunakan secara efektif, maka kinerja akan terpengaruh secara negatif. Oleh karena itu manajer penjualan harus selalu waspada terhadap kesempatam untuk mengembangkan desain wilayah penjualannya serta harus tepat dan pasti dalam merancang wilayah penjualan sehingga membawa dampak positif terhadap efektivitas aktivitas tenaga penjualan. 2.2.3. Sistem Kontrol Tenaga Penjualan Untuk memastikan agar para tenaga penjualan dapat menghasilkan kinerja seperti yang diharapkan, maka perusahaan menerapkan sistem kontrol terhadap tenaga
Universitas Sumatera Utara
penjualan. Hal ini terutama sekali dilaksanakan terhadap perusahaan-perusahaan yang menempatkan tenaga penjualan sebagai sarana paling penting dalam menjembatani hubungan perusahaan dengan pelanggan. Pendekatan teori yang dipergunakan dalam sistem kontrol tenaga penjual adalah agency theory, dimana teori ini bersifat analisis, normatif mikroekonomi atau pendekatan akutansi untuk mempertanyakan bagaimana prinsip-prinsip yang ada dapat mengendalikan aktivitas daripara agents untuk mendelegasikan wewenang dalam mengambil keputusan. Organization theory, yaitu teori secara implisit mengingatkan dua hal yang penting: a). Mengacu dari perbedaan antara salesperson dan perusahaan yang tidak membutuhkan perkiraan bahwa agents dapat mensosialisasikan dan mengidentifikasikan tujuan mereka dengan perusahaan. b). Mengukur baik input maupun output atau keduanya dimungkinkan diukur. Masih ada pendekatan lain seperti transaction cost analysis dan cognitive evaluation theory. Beberapa perusahaan menempatkan penjualan pada operasi sales kontrol systems, sebagai pelengkap dalam perilaku atau outcame based, meskipun hampir dari seluruh perhatian dari organisasi penjual saling memperhatikan satu dengan yang lain. Penelitian Shoemaker dalam Aisyah (2006, p.26) menyatakan bahwa peran seorang pengawas pada tenaga penjualan baik secara keseluruhan maupun secara individu dapat meningkatkan hasil penjualan melalui penjualan yang lebih efektif. Di sisi lain menekankan bahwa manajer penjualan selaku atasan harus bertanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
atas pekerjaan para tenaga penjualan, meluangkan waktu memberi arahan untuk dapat meningkatkan kinerja tenaga penjualan menjadi lebih terlatih dan efektif, karena tingginya kinerja tenaga penjualan dapat dilihat melalui penyelesaian tugas para tenaga penjualan dan pengendalian aktivitas. Sisi positif lain dari sistem kontrol tenaga penjualan adalah mampu mendorong produktifitas dan mengembangkan keinginan berinovasi serta mendukung budaya perusahaan yang terus berkembang ke arah tercapainya tujuan perusahaan. Kontrol merupakan kumpulan aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan profitabilitas bahwa rencana-rencana yang telah ditetapkan dilaksanakan secara tepat dan mencapai hasil-hasil diinginkan (Jaworski dan Kohli dalam Aisyah, 2006, p.13). Sistem kontrol merupakan salah satu sarana untuk memastikan bahwa sasaran-sasaran yang diinginkan oleh perusahaan dapat tercapai. Oleh karena itu tata cara dalam sistem kontrol sengaja didesain untuk mempengaruhi perilaku individu yang pada gilirannya diharapkan dapat mempengaruhi kinerjanya. Sementara itu sistem kontrol yang biasanya digunakan oleh bagian penjualan untuk mengarahkan aktifitas-aktifitas karyawannya adalah kontrol output dan kontrol perilaku/kontrol proses. Penerapan kontrol perilaku dilakukan oleh manajer penjualan dengan cara berusaha mempengaruhi bagaimana pelaksanaan tugas yang diberikan kepada tenaga penjualan, memusatkan perhatian pada penilaian individu dalam hal cara-cara yang digunakan, perilaku atau aktifitas-aktifitas yang dianggap mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan penerapan kontrol output dilakukan dengan cara menilai tenaga penjualan dari jumlah unit produk yang dijual relatif terhadap target yang telah ditentukan. Namun demikian kebanyakan penerapan dari sistem kontrol tenaga
Universitas Sumatera Utara
penjualan ini merupakan kecenderungan untuk memberi tekanan pada salah satu dari dua kutup tersebut (Cravens, et al, 1993, p.47). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meneliti dampak dari penerapan sistem kontrol terhadap tenaga penjualan, misalnya : dampak kontrol terhadap kinerja perilaku dan outcome serta efektifitas penjualan perusahaan (Baldauf, et al, 2001, p.112). Pada penelitian Baldauf et al. (2001, p.112) sistem kontrol oleh manajer penjualan, kepuasan terhadap desain wilayah penjualan, dan cakupan produk pasar mempengaruhi kinerja tenaga penjual akan lebih bersandar pada penggunaan aktivitas memonitor dan mengarahkan, sehingga tenaga penjual memperoleh kejelasan dalam melakukan pekerjaan. Tenaga penjualan menempati ujung tombak dalam menjual barang, peran tenaga penjualan dalam meningkatkan pertumbuhan penjualan telah lama menjadi salah satu strategi pemasaran. Dengan peran tenaga penjualan maka perusahaan akan mampu menjalin hubungan yang dekat dan baik dengan pelanggan. Hubungan yang dekat dan baik dengan pelanggan dapat meningkatkan penjualan dan profitabilitas dan loyalitas pelanggan melalui tenaga penjual yang unggul. Tiatira (2006, p.5) mengindikasikan bahwa citra yang diproyeksikan oleh tenaga penjual merupakan citra perusahaan itu sendiri, namun kurangnya perhatian pada personil pemasaran dapat menjadi masalah. Hal ini mengingat bahwa pengontrolan perilaku tenaga penjualan merupakan faktor yang penting dan mengingat tenaga penjual menempati porsi yang paling besar dalam bidang pemasaran. 2.2.4. Pelatihan Tenaga penjual
Universitas Sumatera Utara
Diadakannya pelatihan dan pengembangan yang diselenggarakan perusahaan terhadap pegawai dikarenakan perusahaan menginginkan adanya perubahan dalam prestasi kerja pegawai sehingga dapat sesuai dengan tujuan perusahaan. Jadi sebelum melakukan pelatihan dan pengembangan akan dijelaskan terlebih dahulu tujuan perusahaan tersebut. Wiraniaga baru mungkin memerlukan pelatihan selama beberapa minggu atau bulan sampai satu tahun bahkan lebih. Program pelatihan memiliki beberapa tujuan. Wiraniaga harus tahu tentang pelanggan dan cara membangun hubungan dengan mereka. Jadi, program pelatihan harus mengajarkan mereka tentang jenis pelanggan yang berbeda dan kebutuhan mereka, motif pembelian, dan kebiasaan pembelian. Dan program itu harus mengajarkan mereka tentang cara melakukan penjualan yang efektif dan melatih mereka dasar-dasar proses penjualan.(Kotler dan Armstrong, 2008, p.97) Menurut Mariam (2009, p.15) menjelaskan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan pegawai yaitu pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi, sikap kondisi dan kondisi fisik pegawai. Untuk meningkatkan kinerja karyawan bagian penjualan maka diperlukan peningkatan kemampuan karyawan dan memperhatikan motivasi. Berdasarkan dua pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemampuan pegawai adalah dengan pemberian pelatihan dan motivasi. Kemudian dengan meningkatnya kemampuan maka diharapkan akan meningkatkan kinerja karyawan. Menurut Tanjung (2003, p.50) pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan
Universitas Sumatera Utara
semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar. Biasanya pelatihan merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja yang dapat digunakan dengan segera. Sedangkan pengembangan sering dikategorikan secara eksplisit dalam pengembangan manajemen, organisasi, dan pengembangan individu karyawan. Pengembangan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan perusahaan jangka panjang. Menurut Rivai (2005, p.226), pelatihan secara singkat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja pada masa yang akan datang. Hal-hal berikut ini penting untuk mengetahui konsep pelatihan lebih lanjut, yaitu: 1. Pelatihan adalah proses secara sistematis mengubah tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pegawai untuk melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya. 2. Program pelatihan formal adalah usaha pemberi kerja untuk memberikan kesempatan kepada pegawai untuk memperoleh pekerjaan atau bidang tugas yang sesuai dengan kemampuan, sikap, dan pengetahuannya. Menurut Desler (2010, p.263) efek pelatihan diukur dari empat kategori dasar dari hasil pelatihan: 1. Reaksi Evaluasilah reaksi orang yang dilatih terhadapt program itu. Apakah mereka menyukai program itu? Apakah menurut mereka hal itu berharga?
Universitas Sumatera Utara
2. Pembelajaran Ujilah orang-orang itu untuk menentukan apakah mereka telah mempelajari prinsip, keterampilan, dan fakta yang seharusnya mereka pelajari. 3. Perilaku Tanyakanlah apakah perilaku dalam bekerja orang-orang yang dilatih itu mengalami perubahan, karena program pelatihan tersebut. 4. Hasil Yang terpenting adalah menanyakan: hasil akhir yang dicapai dalam sasaran pelatihan yang telah ditentukan sebelumnya. 2.2.5. Kinerja Tenaga penjual Definisi kinerja menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja, kinerja atau hasil kerja yang merupakan salah satu wujud dari hasil karya seorang pekerja. Hasil karya pekerja ini dapat berupa pencapaian terhadap kinerja yang telah ditetapkan ataupun hasil karya tersebut dibandingkan dengan hasil karya pekerja lainnya. Menurut Robbins (2002, p.304) kinerja adalah suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Dalam penelitian Tansu Barker dalam Maurisa (2007, p.30) menyatakan bahwa kinerja tenaga penjual dapat dievaluasi dengan menggunakan faktor-faktor yang dikendalikan oleh tenaga penjual dan hasil yang diperoleh tenaga penjual. Menurut Mathis and Jackson (2009, p.378) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana individu yang ada bekerja:
Universitas Sumatera Utara
(1) kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, (3) dukungan organisasi. Kinerja pemasaran yang baik menunjukkan tingkat penjualan yang tinggi, meningkatnya jumlah penjualan baik dalam unit produk maupun dalam satuan moneter. Membaiknya kinerja pemasaran ditandai dengan pertumbuhan penjualan yang baik dari tahun-tahun sebelumnya dan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pesaing, serta memiliki porsi pasar yang lebih luas dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan kinerja pemasaran yang buruk ditandai dengan penurunannya penjualan, kemunduran penjualan dibanding tahun sebelumnya maupun kompetitor industri yang sama, dan menurunnya porsi pasar. Dua maksud diperlukannya standar kinerja (Wibowo, 2012, p.73) : 1. Membimbing perilaku pekerja untuk menyelesaikan standar yang telah dibangun. Apabila manajer menciptakan standar kinerja pekerja dengan pekerja dan memperjelas apa yang diharapkan, hal tersebut akan merupakan latihan yang berharga. Hal ini karena orang menginginkan melakukan pekerjaan yang dapat diterima. 2. Untuk standar kinerja adalah menyediakan dasar bagi kinerja pekerja dapat dinilai secara efektif dan jujur Sampai standar kinerja dibuat, penilaian sering bias terhadap perasaan dan evaluasi subjektif. Tanpa memandang pendekatan dan bentuk yang digunakan dalam program review kinerja dan penilaian, proses klasifikasi dari
Universitas Sumatera Utara
apa yang diharapkan merupakan hal yang penting jika program berjalan efektif.standar kinerja merupakan cara terbaik untuk melakukannya. Dalam pelaksanaannya setiap organisasi perlu melakukan penilaian kinerja pegawai. Pelaksanaan penilaian kinerja berhubungan dengan tujuan dari organisasi, misalnya untuk menetapkan kebijakan gaji pegawai, mengevaluasi hasil kerja yang telah diselesaikan dalam periode tertentu, promosi jabatan atau untuk memenuhi keperluan lain. Menurut Mangkunegara (2007, p.69) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja (performance) dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu: 1. Faktor individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang, demografi; 2. Faktor Psikologis yang terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran, motivasi 3. Faktor Organisasi yang terdiri
dari sumberdaya, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, job design Menurut (Robbins, 2002, p.38), penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan dalam organisasi , yaitu: 1. Manajemen menggunakan penilaian untuk mengambil keputusaan personalia secara umum, misalnya dalam hal promosi, transfer, ataupun pemberhentian 2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penilaian menjelaskan keterampilan dan daya saing
Universitas Sumatera Utara
para pekerja yang belum cukkup tetapi dapat diperbaiki jika suatu program yang memadai dikembangkan. 3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan 4. Memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka. 5. Sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menentukan penghargaan Menurut Gibson (2001, p.55) ada empat indikator untuk mengukur kinerja pegawai yaitu: 1. Kualitas hasil pekerjaan, dapat diukur dari ketepatan waktu, ketelitian kerja dan kerapian kerja; 2. Kuantitas hasil pekerjaan, dapat diukur dari: jumlah pekerjaan dan jumlah waktu yang dibutuhkan; 3. Pengertian terhadap pekerjaan, dapat diukur dari pemahaman terhadap pekerjaan, dan kemampuan kerja; 4. Kerja sama yaitu kemampuan bekerja sama.
2.3. Kerangka Konseptual Kemampuan menjual dipelajari pada saat melakukan tugas atau pekerjaan yang penting. Kemampuan menjual merupakan salah satu hal yang penting untuk meningkatkan kinerja tenaga penjual (Rentz, 2002, p.13). Baldauf et al (2001, p.120) dalam penelitiannya menguji hubungan antara orientasi strategi perusahaan,
Universitas Sumatera Utara
pengawasan, dan manajemen penjualan, desain wilayah penjualan dan kinerja tenaga penjualan serta pengaruhnya terhadap efektifitas penjualan perusahaan. Menurut Grant, et al.,(2001, p.170), menyatakan bahwa desain wilayah penjualan merupakan elemen kunci yang mampu mendorong atau memotivasi tenaga penjualan untuk semakin efektif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tenaga penjualan. Baldauf, et al.,(2001, p.120) mempertegas bahwa desain wilayah penjualan dan penguasaan wilayah pemasaran yang kurang baik tidak akan memberikan konsekuensi dan kontribusi yang menguntungkan bagi aktivitas dan kinerja tenaga penjualan. Penelitian Baldauf dan Cravens (2002, p.1385), memberikan gambaran desain wilayah penjualan berpengaruh positif terhadap aktivitas dan kinerja tenaga penjualan. Menurut Baldauf et al. (2002, p.120) sistem kontrol oleh manajer penjualan, kepuasan terhadap desain wilayah penjualan, dan cakupan produk pasar mempengaruhi kinerja tenaga penjual akan lebih bersandar pada penggunaan aktivitas memonitor dan mengarahkan, sehingga tenaga penjual memperoleh kejelasan dalam melakukan pekerjaan. Wiraniaga baru mungkin memerlukan pelatihan selama beberapa minggu atau bulan sampai satu tahun bahkan lebih. Program pelatihan memiliki beberapa tujuan. Wiraniaga harus tahu tentang pelanggan dan cara membangun hubungan dengan mereka. Jadi, program pelatihan harus mengajarkan mereka tentang jenis pelanggan yang berbeda dan kebutuhan mereka, motif pembelian, dan kebiasaan pembelian. Dan
Universitas Sumatera Utara
program itu harus mengajarkan mereka tentang cara melakukan penjualan yang efektif dan melatih mereka dasar-dasar proses penjualan.(Kotler dan Armstrong 2008, p.98) Berkaitan dengan variabel-variabel yang ditetapkan untuk mengidentifikasi kinerja tenaga penjual, maka kerangka pemikiran teoretis yang telah dibangun dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kemampuan menjual (X1)
Desain wilayah penjualan (X2) Kinerja Tenaga Penjual (Y) Sistem kontrol tenaga penjual (X3)
Pelatihan (X4)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, didasarkan pada tinjauan kepustakaan dan kerangka konseptual yang telah dikembangkan di atas adalah sebagai berikut: Hipotesis 1 :
Kemampuan menjual berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual.
Hipotesis 2 :
Desain wilayah penjualan berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual.
Hipotesis 3 :
Sistem Kontrol tenaga penjual berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual.
Hipotesis 4 :
Pelatihan berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual.
Hipotesis 5 :
Kemampuan menjual, desain wilayah penjualan, sistem kontrol tenaga penjual dan pelatihan secara serempak berpengaruh positif terhadap kinerja tenaga penjual.
Universitas Sumatera Utara