Bab II Tinjauan Geologi
BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1
GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian secara geologi regional merupakan bagian dari Cekungan Kutai,
yang termasuk dalam Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995). 2.1.1 Fisiografi Regional
Gambar 2.1. Fisiografi Cekungan Kutai (Biantoro, 1992).
Fisiografi Cekungan Kutai seperti terlihat pada Gambar 2.1. Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan Tersier yang terbesar di Indonesia, luasnya 165.000 km2 dan kedalamannya kurang lebih mencapai 14.000 m. Di bagian utara, Cekungan Kutai dibatasi oleh Sesar Sangkulirang dan Sesar Bengalon, sedangkan dibagian selatan dibatasi oleh Sesar Adang (Biantoro dkk., 1992).
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
8
Bab II Tinjauan Geologi
Secara tektonik, Cekungan Kutai dipisahkan dari Cekungan Tarakan di utara oleh Punggungan Mangkalihat dan dipisahkan dari Cekungan Barito di selatan oleh Adang flexure. Bagian barat Cekungan Kutai dibatasi Tinggian Kuching yang tersusun oleh batuan metasedimen berumur Kapur dan sedimen berumur Paleosen, sedangkan bagian timur Cekungan Kutai terbuka ke Selat Makassar dengan kedalaman air laut mencapai lebih dari 2000 meter (Allen & Chambers, 1998; op.cit. Resmawan, 2007). 2.1.2
Geologi Regional Cekungan Kutai
2.1.2.1 Kerangka Tektonik Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Pasifik, Hindia-Australia dan Eurasia, juga dipengaruhi oleh tektonik regional di bagian Asia Tenggara. Cekungan Kutai di Kalimantan merupakan cekungan busur belakang atau back arc di bagian barat yang terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua dan lempeng samudera. Peregangan di Selat Makassar sangat mempengaruhi pola pengendapan terutama pada bagian timur cekungan (Ibrahim, 2005). Pada Tersier Awal, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito merupakan satu cekungan besar berarah utara timurlaut–selatan baratdaya. Kedua cekungan tersebut mulai terpisah setelah pengangkatan Blok Meratus, dicirikan oleh kelurusan zona patenosfer yang dikontrol oleh Sesar Adang atau disebut South Kutai Boundary Fault. Pemisahan ini diduga terjadi selama Miosen Tengah, berdasarkan fasies yang berbeda pada lapisan sedimen antara kedua cekungan dari Miosen Akhir sampai Resen (Biantoro dkk., 1992). Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada Kala Eosen Tengah yang diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen Akhir. Peningkatan tekanan karena tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan dasar cekungan ke arah baratlaut yang menghasilkan siklus regresif utama sedimentasi klastik di Cekungan Kutai dan tidak terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang (Ferguson & McClay, 1997; op.cit. Resmawan, 2007). Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar cekungan dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke arah timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga terjadi susut laut yang berlangsung terus-menerus sampai Miosen Akhir. Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
9
Bab II Tinjauan Geologi
Gambar 2.2. Peta Geologi Lembar Sangatta, Kalimantan Timur Skala 1:250.000 (Sukardi dkk., 1995). Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
10
Bab II Tinjauan Geologi
2.1.2.2 Stratigrafi Regional Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995) (Gambar 2.2 dan 2.3), membagi satuan lithostratigrafi daerah Kutai Timur menjadi 6 (enam) formasi dengan urutan dari tua ke yang muda adalah sebagai berikut: Formasi Pamaluan (Tmp) : Batulempung dengan sisipan tipis napal, batupasir dan batubara. Bagian atas terdiri dari batulempung pasiran yang mengandung sisa tumbuhan dan beberapa lapisan tipis batubara. Secara umum bagian bawah lebih gampingan dan mengandung lebih banyak foraminifera plankton dibanding dengan bagian atasnya. Fosil penunjuk terdiri dari Globigerinoides primordius, Globigerinoides trilobus, Globigerinita sp. yang berumur N.4-N.5 atau Te5 Bawah (Miosen Awal). Lingkungan pengendapan berkisar dari neritik dalam sampai neritik dangkal. Formasi Bebuluh (Tmbe) : Batugamping dengan sisipan batulempung, batulanau, batupasir dan sedikit napal. Batugamping mengandung koral dan foraminifera besar. Batugamping dari formasi ini adalah terumbu dan tebaran batugamping terumbu. Berumur Miosen Awal, dengan tebal diperkirakan 2000 meter, formasi ini ditutupi selaras oleh Formasi Pulau Balang. Formasi Pulau Balang (Tmpb) : Perselingan batupasir dengan batulempung dan batulanau, setempat bersisipan tipis lignit, batugamping atau batupasir gampingan. Berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Sedimentasinya diperkirakan terjadi di daerah pro-delta, dengan tebaran terumbu di beberapa tempat. Formasi Balikpapan (Tmbp) : Batupasir, batulempung, lanau, tuf dan batubara. Pada perselingan batupasir kuarsa, batulempung dan batulanau memperlihatkan struktur silang siur. Setempat mengandung sisipan batubara dengan ketebalan antara 20-40 cm. Batulempung berwarna kelabu, getas, mengandung muskovit, bitumen dan oksida besi. Tebal formasi ±2000 meter, dengan lingkungan pengendapan muka daratan-delta. Umur formasi ini Miosen Tengah - Miosen Akhir. Formasi ini tertindih selaras oleh Formasi Kampungbaru. Formasi Kampungbaru (Tmpk) : Batulempung pasiran, batupasir dengan sisipan batubara dan tuf, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi dan bintal limonit. Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
11
Bab II Tinjauan Geologi
Berumur Miosen Akhir hingga Plio-Plistosen, dengan lingkungan pengendapan delta sampai laut dangkal dengan tebal formasi antara 500-800 meter. Endapan Aluvial (Qal) : Material lepas berupa lempung dan lanau, pasir, lumpur, dan kerikil, merupakan endapan pantai, rawa, dan sungai.
Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi daerah Kutai Timur, Cekungan Kutai bagian utara (Supriatna & Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007).
2.1.2.3 Struktur Geologi Regional Pembentukan struktur geologi di Cekungan Kutai sangat dipengaruhi oleh adanya spreading di sepanjang Selat Makassar yang menimbulkan sesar-sesar mendatar dengan arah pergerakan baratlaut-tenggara serta memisahkan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Pola struktur Cekungan Kutai dipengaruhi oleh pengangkatan Tinggian Kuching yang tegasannya berasal dari arah baratlaut. Pengangkatan ini terus berlangsung hingga mengakibatkan berkurangnya kestabilan. Akibat ketidakstabilan ini maka terjadi pelengseran batuan ke arah timur. Gambar 2.4 menunjukkan gambaran struktur geologi regional yang mempengaruhi pembentukan Cekungan Kutai, struktur yang ada adalah
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
12
Bab II Tinjauan Geologi
Antiklinorium Samarinda yang berarah baratlaut-tenggara, Sesar Bengalon, Sesar Sangkulirang dan Sesar Adang. Struktur geologi yang berkembang di dalam Cekungan Kutai adalah lipatan dan sesar. Batuan tua seperti Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh dan Formasi Pulau Balang umumnya terlipat kuat dengan kemiringan sekitar 400, tetapi ada juga yang mencapai 750, sedangkan batuan yang berumur lebih muda seperti Formasi Balikpapan dan Formasi Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah, namun di beberapa tempat dekat zona sesar ada yang terlipat kuat. Di daerah ini terdapat 3 (tiga) jenis sesar, yaitu sesar naik, sesar normal dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian dipotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan sesar turun terjadi pada Kala Pliosen (Supriatna dan Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007). Proses pembentukan lipatan di Cekungan Kutai terdapat dua pendapat, yaitu: 1) Menurut Ott, 1987; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa pola struktur pada Cekungan Kutai disebabkan oleh adanya proses gelinciran akibat gaya gravitasi (gravity sliding) pada batuan dasar yang mempunyai plastisitas tinggi akibat adanya pengangkatan Tinggian Kuching selama Zaman Tersier. 2) Menurut McClay dkk., 2000; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa struktur di daerah dataran Cekungan Kutai merupakan hasil dari tektonik delta, yaitu gabungan dari sedimentasi yang cepat dan gaya tektonik. Akibat penumpukan terjadi pelengseran lateral yang mengakibatkan pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesarsesar turun, kemudian mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya kompresi.
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
13
Bab II Tinjauan Geologi
Gambar 2.4 Struktur Geologi Cekungan Kutai (Allen & Chambers, 1998; op.cit. Sukmayana, 2009).
2.1.3 Geologi Regional Daerah Sangatta Daerah Sangatta terletak di antara Delta Mahakam dan Tinggian Mangkalihat yang merupakan Cekungan Kutai bagian utara. Berdasarkan hasil analisis dari Formasi Balikpapan di daerah Sangatta, dapat disimpulkan bahwa sistem delta di Sangatta merupakan perkembangan delta tersendiri, yang berkembang di bagian utara Cekungan Kutai dan terpisah dari sitem Delta Mahakam purba di bagian selatan (Snedden dkk., 1996; op.cit. Setiadi, 2008). Di sebelah barat cekungan terjadi pengangkatan yang disertai erosi yang menyebabkan di daerah timurlaut (sekitar Sangatta) terjadi sedimentasi, sebaliknya jika pengangkatan di sebelah barat berkurang intensitasnya maka terjadi transgresi dari timurlaut berlangsung ke arah barat. Di kawasan Sangatta pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai membebani endapan lempung tebal berumur Tersier dan mengakibatkan masa lempung yang belum mampat (kompak) itu menjadi labil. Akibatnya masa lempung mencuat, Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
14
Bab II Tinjauan Geologi
berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya, sehingga di kawasan ini ditemui suatu struktur antiklin yang sempit, memanjang dan sejajar dengan garis pantai. Struktur antiklin sempit ini dipisahkan oleh sinklin-sinklin yang lebar. Proses pembentukan struktur ini berlangsung setahap demi setahap, beruntun bersamaan dengan progradasi pengendapan delta (Samuel, 1976; op.cit. Setiadi, 2008) (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Model Pembentukan Struktur Diapirik Massa Lempung di Sangatta (Biantoro dkk., 1992).
Sistem delta Sangatta ini terbentuk bersamaan dengan Proto-delta Mahakam dan diperkirakan mulai berlangsung sejak Miosen Awal (Duval dkk., 1992; op.cit. Setiadi, 2008). Penurunan dasar cekungan selama Kala Eosen hingga Oligosen Awal menyebabkan terjadinya transgresi regional yang berlangsung dari timurlaut ke barat-baratdaya (Setiadi, 2008).
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
15
Bab II Tinjauan Geologi
2.2
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
2.2.1 Morfologi Morfologi di daerah penelitian dapat dibagi menjadi morfologi perbukitan, dataran rendah dan endapan aluvial. Topografi daerah Pinang berupa morfologi bergelombang, daerah tertinggi adalah Kubah Pinang (Pinang Dome) dengan ketinggian 325 meter di atas permukaan laut. Morfologi dataran rendah rata-rata pada ketinggian 20-50 meter di atas permukaan laut. Terdapat aliran Sungai Sangatta yang mengalir di sebelah selatan, dan juga Sungai Murung yang merupakan anak sungai dari Sungai Sangatta yang membentuk endapan aluvial. Kondisi morfologi daerah Pinang diperlihatkan pada peta SRTM (Gambar 2.6). Dari peta SRTM dapat ditarik beberapa kelurusan punggungan dan lembah yang disajikan dalam diagram roset, merupakan arah kelurusan umum di daerah Pinang yaitu berarah hampir utara – selatan dan barat – timur.
Gambar 2.6 Interpretasi Kelurusan Peta SRTM Daerah Pinang.
Perkembangan morfologi lokal pada daerah penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : litologi, deformasi tektonik (struktur geologi) dan proses-proses eksogenik. Faktor struktur geologi sangat berpengaruh dalam pembentukan bentang alam pada daerah penelitian sehingga mengakibatkan lapisan-lapisan batubara mengalami Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
16
Bab II Tinjauan Geologi
perlipatan sampai tersesarkan. Dalam perkembangannya hingga saat ini, akibat pengaruh proses eksogen seperti erosi dan pelapukan serta aktivitas penambangan, maka morfologi perbukitan pada sebagian daerah penelitian tidak dapat terekspresikan dengan jelas dan memperlihatkan pola kelurusan yang tidak teratur. Saat ini bentuk morfologi permukaan daerah penelitian, khususnya di Pit J telah terubah dari kondisi alaminya akibat aktivitas tambang terbuka (open pit mining) dan membentuk lereng yang terjal dan tinggi (highwall) (Gambar 2.7).
Overburden
Soil
Batulempung
Seam Batubara L1
Gambar 2.7 Kenampakan highwall akibat aktivitas tambang di Pit J.
2.2.2 Stratigrafi Berdasarkan Peta Geologi Daerah Pinang, Sangatta, Kalimantan Timur (Modifikasi dari PT KPC, 1996) (Lampiran G), batuan yang tersingkap di daerah penelitian terdiri dari 4 satuan batuan, yaitu dari umur yang paling tua Satuan Batupasir Batulempung (Temp), Satuan Batupasir (Tmpb), Satuan Batulempung (Tmba) dan Satuan Endapan Aluvial (Qal).
Satuan Batupasir Batulempung (Temp), terdiri dari batupasir sisipan batulempung, serpih dan batugamping, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir Batulempung disetarakan dengan Formasi Pamaluan yang berumur Miosen Bawah.
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
17
Bab II Tinjauan Geologi
Satuan Batupasir (Tmpb), terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dan batubara, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batupasir disetarakan dengan Formasi Pulau Balang yang berumur berumur Miosen Tengah.
Satuan Batulempung (Tmba), terdiri batulempung perselingan batulanau dan batupasir, sisipan batulanau dan batubara, berdasarkan kesamaan litologinya Satuan Batulempung disetarakan dengan Formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah hingga Miosen Atas.
Satuan Endapan Aluvial (Qal), merupakan satuan batuan yang paling muda berumur Holosen dan berlangsung hingga kini, yang menempati pinggiran sungai-sungai yang besar, satuan ini terdiri dari material lepas yang belum kompak berukuran lempung hingga pasir halus, serta material organik.
Gambar 2.8 menunjukkan kolom stratigrafi umum daerah Pinang yang terdiri dari 3 (tiga) formasi batuan, yaitu Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan. Kolom stratigrafi tersebut menunjukkan stratigrafi lapisan-lapisan batubara (seam) di daerah Pinang, batubara di daerah Pinang dibawa oleh Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan. Di dalam penelitian ini, lapisan batubara yang diteliti hanya batubara yang dibawa oleh Formasi Balikpapan. Berdasarkan kesamaan ciri litologi dan dominasinya secara horizontal dan vertikal, pada daerah penelitian merupakan Satuan Batulempung. Satuan batuan di daerah penelitian terdiri dari perselingan batulempung dengan batubara (Gambar 2.9). Satuan Batulempung Balikpapan ini merupakan anggota Formasi Balikpapan berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir atau 15 juta hingga 5 juta tahun yang lalu. Secara umum Satuan Batulempung ini dicirikan litologi berupa batulempung dengan sisipan batupasir, batulanau dan batubara. Batulempung berwarna abu-abu kecoklatan nonkarbonatan, getas. Batupasir, berwarna abu-abu kecoklatan, butir kasar, terdapat struktur laminasi, silang-silur, non-karbonatan dan ditemukan dalam bentuk lensa-lensa yang tidak menerus. Batubara berwarna hitam, kusam-mengkilap, terdapat cleat yang terisi lempung, serta lapisan roof dan floor dominan berupa mudstone. Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
18
Bab II Tinjauan Geologi
Daerah Penelitian
Gambar 2.8 Kolom Stratigrafi Daerah Pinang (Sumber : Dept. Geologi PT KPC).
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
19
Bab II Tinjauan Geologi
Gambar 2.9 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian Pit J. Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
20
Bab II Tinjauan Geologi
2.2.3 Struktur Geologi Struktur utama di daerah Kutai berupa antiklinorium yang berarah hampir utaraselatan yang dicirikan oleh antiklin asimetris yang dipisahkan oleh sinklin lebar yang berisi siliklastik berumur Miosen (Ferguson dan McClay, 1997; op.cit. Setiadi, 2008). Struktur geologi di daerah Pinang dapat dilihat pada Peta Geologi Daerah Pinang (Lampiran G). Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa perlipatan dan sesar, yang mempunyai arah umum Baratlaut–Tenggara dan Timurlaut–Baratdaya. Struktur perlipatan berupa sinklin dengan sumbu lipatan berarah Baratlaut–Tenggara, yaitu Sinklin Lembak melipat batuan sedimen pada Formasi Balikpapan dan Formasi Pulau Balang. Struktur geologi lainnya yang terbentuk adalah sesar naik yaitu Sesar Naik Villa, yang mempunyai sumbu berarah Timurlaut–Baratdaya, mengoyak batuan yang terdapat pada Formasi Pamaluan, Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan. Sesar tersebut diduga terjadi akibat adanya tektonik pada Miosen Akhir. Struktur Pinang Dome merupakan struktur yang terbentuk akibat pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah yang membebani endapan lempung tebal (Formasi Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa lempung kelebihan tekanan dan tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya (Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik, membentuk seperti intrusi menyebabkan terbentuknya struktur kubah (dome), terletak disebelah timur struktur SInklin Lembak. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High atau Tinggian Kucing di barat Cekungan Kutai. 2.2.4 Sejarah Geologi Daerah Pinang Pada Kala Oligosen, daerah Pinang merupakan Cekungan Kutai yang mengalami penurunan dan menjadi sedimen laut dangkal, terutama mudstone dan batupasir halus dari Bhongan Shale hingga terbentuk Formasi Pamaluan. Pada Kala Miosen Awal, pengangkatan wilayah ke arah barat telah menghasilkan banyak suplai sedimen yang masuk ke Cekungan Kutai dan menghasilkan formasi delta, salah satunya adalah wilayah Sangatta. Pengumpulan endapan delta pada saat awal Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
21
Bab II Tinjauan Geologi
mengakibatkan terbentuknya Formasi Pulau Balang terutama paparan delta yang lebih rendah dari endapan laut dangkal, dan diikuti oleh Formasi Balikpapan yang terdiri dari mudstone, batulempung dan batupasir. Di dalam Formasi Balikpapan tersebut terdapat sejumlah peat (lapisan gambut), yang pada akhirnya akan membentuk lapisan batubara di daerah Pinang. Penurunan yang terjadi di wilayah ini diduga tidak serentak sehingga menimbulkan terbentuknya patahan–patahan. Deposit yang membentuk Formasi Balikpapan kemudian diikuti dengan pembentukan Formasi Kampung Baru pada Kala Pliosen. Pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai membebani endapan lempung tebal (Formasi Pamaluan & Formasi Pulau Balang), mengakibatkan masa lempung kelebihan tekanan dan tidak stabil sehingga akan mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif di atasnya (Formasi Balikpapan). Akibat masa lempung yang berdiapirik, di daerah Pinang terbentuk struktur antiklin sempit menyerupai kubah (Pinang Dome) yang dipisahkan sinklin. Proses ini dipengaruhi oleh pengangkatan (uplift) Kucing High atau Tinggian Kucing di bagian barat Cekungan Kutai. Kala Miosen terjadi pemekaran di Laut Cina Selatan yang memacu proses subduksi sepanjang batas baratlaut Kalimantan dengan gaya kompresi berarah baratlaut–tenggara (NW-SE) (Setiadi, 2008). Akibat dari lapisan batuan yang kurang stabil dan gaya yang bekerja terus-menerus, terbentuk zona lemah sehingga menyebabkan lapisan batuan mengalami pensesaran (patahan) dan terbentuk struktur Sesar Naik Villa yang memanjang berarah timurlaut-baratdaya. Struktur Sesar Naik Villa ini terbentuk akibat gaya utama yang bekerja menekan dari arah baratlaut, akibat adanya zona lemah, blok di sebelah baratlaut relatif naik ke atas blok tenggara dan terus terlipat kuat membentuk struktur sesar naik, stuktur Sesar Naik Villa ini diperkirakan terjadi pada Kala Miosen Akhir.
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur
22