10
BAB II TIJAUA PUSTAKA
2.1 Unsur dan Pola Permukiman 2.1.1 Pengertian permukiman Menurut Finch dalam Wayang (1980), permukiman merupakan tempat hidup manusia dan melakukan berbagai macam aktivitas, sedangkan pola permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya. Pengertian pola permukiman dan persebaran permukiman bervariasi sifatnya, dari sangat jarang sampai sangat padat, dapat mengelompok, dapat tidak teratur, atau teratur. Pertama, permukiman lebih banyak terdapat pada tanah-tanah yang subur dengan relatif datar yang menguntungkan untuk pertanian, kedua persebaran yang mengelompok atau tidak teratur umumnya terdapat pada wilayah-wilayah yang topografinya tidak seragam. Menurut Dwi Ari & Antariksa (2005:79), pola permukiman membicarakan sifat dari persebaran permukiman dengan kata lain pola permukiman secara umum merupakan susunan sifat berbeda dari hubungan faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman. UU No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman disebutkan bahwa satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat bagi yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Menurut Dwi Ari & Antariksa (2005:78), permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia karena dalam menjalankan segala bentuk aktivitasnya, manusia membutuhkan tempat bernaung dan melindungi dirinya dari berbagai macam bahaya seperti hujan dan bahaya lainnya yang dapat muncul sewaktu-waktu. Dalam memilih tempat tinggal, masyarakat tidak selalu terpaku pada kondisi rumah itu sendiri tetapi lebih memperhatikan kelengkapan dari fasilitas kegiatan dan sosial di lingkungan tempat tinggal serta kemudahan aksesibilitasnya.
11
Permukiman merupakan sekelompok rumah yang terorganisasi dalam suatu sistem sosial budaya dan religius yang tercermin pada fisik lingkungannya. Organisasi ruang yang terbentuk akan memperlihatkan hirarki ruang dari faktor teritorial yang diinginkan (Vincent dalam Mulyati, 1995).
2.1.2 Unsur permukiman Menurut Sujarto (1977), unsur permukiman terdiri dari unsur Wisma (tempat tinggal), Karya (tempat berkarya), Suka (tempat rekreasi/bersantai/hiburan), dan Penyempurna (peribadatan, pendidikan, kesehatan, utilitas umum) atau berintegrasi di dalam suatu lingkungan dan hubungan satu sama lain oleh unsur Marga (jaringan jalan). Perumahan adalah suatu lingkungan mukim (tempat tinggal) manusia yang terdiri dari sekelompok rumah dengan berbagai macam fasilitas sosial, fasilitas umum, jaringan pergerakan, serta sarana dan prasarananya (Frick, 1988:46). Lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana lingkungan yang terstruktur (Nuraini, 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, sarana lingkungan adalah kelengkapan lingkungan yang berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan pemerintah, pelayanan umum, peribadatan, rekreasi, dan lapangan terbuka. Menurut bentuknya, sarana dapat dibagi menjadi dua kelompok (Jayadinata, 1999:33-34), antara lain: 1.
Bentuk ruang atau bangunan (space) Sarana yang berbentuk ruang terdapat dua macam, antara lain: a.
Ruang tertutup −
Perlindungan, yaitu rumah.
−
Pelayanan umum berupa sarana kesehatan dan keamanan, misalnya balai pengobatan, rumah sakit, pos pemadam kebakaran, dan sebagainya.
−
Kehidupan ekonomi, misalnya los pasar, bangunan bank, bangunan toko, pabrik, dan sebagainya.
−
Kebudayaan pada umumnya, misalnya bangunan pemerintah, bangunan sekolah, bioskop, museum, gedung perpustakaan, dan sebagainya.
12
b.
Ruang terbuka −
Kebudayaan, misalnya lapangan olahraga, kolam renang terbuka, taman, kampus universitas, dan sebagainya.
−
Kehidupan ekonomi (mata pencaharian), misalnya sawah, kebun, kolam, hutan, pasar, pelabuhan, dan sebagainya.
−
Kehidupan sosial, misalnya kawasan rumah sakit, kawasan perumnas, tanah lapang untuk latihan militer, danau untuk rekreasi berperahu, dan sebagainya.
2.
Bentuk jaringan (network) Prasarana yang berbentuk jaringan terdapat empat macam, antara lain: −
Sistem pengangkutan, misalnya jaringan jalan, jaringan rel kereta api, jaringan sungai untuk berlayar, dan sebagainya.
−
Utilitas umum (public utility), misalnya jaringan pipa air minum, jaringan pipa gas, jaringan kawat listrik, jaringan pipa penyehat (riol dan selokan), dan sebagainya.
−
Sistem komunikasi perseorangan dan komunikasi massa, misalnya jaringan kawat telepon, jaringan kawat/kabel telegram, dan sebagainya.
−
Sistem pelayanan dalam kehidupan sosial ekonomi, misalnya irigasi dan pengairan, parit pelayaran, dan sebagainya.
2.1.3 Pola permukiman Norberg Schulz dalam Sasongko (2002:117) menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat dengan lingkungan akan membentuk organisasi ruang yang di dalamnya mengandung makna komposisi elemen-elemen pembentuk ruang dengan batasan tertentu. Komposisi ruang ini menunjukkan suatu pola tertentu seperti square, rectangle, circle, atau oval. Setiap pola ini bukan hanya menunjukkan tatanan saja, akan tetapi juga memiliki rangka struktur pembentuk ruang dan di dalamnya mengandung makna centres dan axes. Faktor-faktor ekonomi, budaya, kelembagaan, adat istiadat, serta pengaruh politik sangat menentukan bentukan pola dan struktur lingkungan fisik. Faktor-faktor tersebut akan membawa pula terhadap perkembangan dan perubahan struktur dan bentuk suatu tempat (kota, lingkungan, dan arsitektur). Hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan citra terhadap kota tentang memori atas peristiwa-peristiwa yang
13
pernah terjadi. Secara empiris terdapat tiga konsep struktur ruang kota yang dihasilkan (Chapin, 1979:32-37), antara lain: 1.
Konsep Konsentrik dikemukakan oleh Burgess pada tahun 1925, yaitu zona-zona dalam kota berkembang secara radial, perkembangan pola penggunaan lahannya berpusat pada satu titik kemudian berkembang ke segala arah.
2.
Konsep Sektoral dikemukakan oleh Hoyt pada tahun 1939, yaitu terjadi pemisahanpemisahan penggunaan lahan yang sebenarnya gradial, terjadi seperti itu karena adanya kegiatan-kegiatan fungsional, misalnya permukiman untuk orang menengah atas mereka menjauhi CBD (Central Business District). Hal inilah yang menyebabkan pergerakan yang berbentuk gradial.
3.
Konsep Multiple "uclei yang dikemukakan oleh Mc Kenzie tahun 1933, Haris tahun 1945 dan Ullman tahun 1962. Dalam konsep ini, CBD tidak hanya satu tempat hal ini disebabkan oleh adanya kesempatan-kesempatan yang dipergunakan sektor-sektor,
sehingga
membentuk
kumpulan-kumpulan
aktivitas
yang
dipengaruhi juga oleh harga lahan. Dwi Ari & Antariksa (2005:79) membagi kategori pola permukiman berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain: a.
Pola permukiman bentuk memanjang, terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai.
b.
Pola permukiman bentuk melingkar.
c.
Pola permukiman bentuk persegi panjang.
d.
Pola permukiman bentuk kubus. Pola spasial permukiman menurut Wiriaatmadja (1981:23-25), antara lain:
a.
Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal ini disebabkan karena belum ada jalan besar, sedangkan orang-orangnya mempunyai sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu harus diusahakan secara terus-menerus.
b.
Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, memanjang mengikuti jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya.
c.
Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung.
14
d.
Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya. Berikut merupakan gambaran pola spasial permukiman yang tersusun menurut
Wiriaatmadja (1981) yang terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tipe-tipe pola permukiman Sumber: Wiriaatmadja (1981)
Bentuk pola permukiman menurut Sri Narni dalam Mulyati (1995), antara lain: a.
Pola permukiman memanjang (linier satu sisi) di sepanjang jalan baik di sisi kiri maupun di sisi kanan saja.
b.
Pola permukiman sejajar (linier dua sisi) merupakan permukiman yang memanjang di sepanjang jalan.
c.
Pola permukiman cul de sac merupakan permukiman yang tumbuh di tengahtengah jalan melingkar.
d.
Pola permukiman mengantong merupakan permukiman yang tumbuh di daerah seperti kantong yang dibentuk oleh jalan yang memagarnya.
e.
Pola permukiman curvalinier merupakan permukiman yang tumbuh di daerah sebelah kiri dan kanan jalan yang membentuk kurva.
15
f.
Pola permukiman melingkar merupakan permukiman yang tumbuh mengelilingi ruang terbuka kota. Berikut merupakan gambar dari bentuk pola permukiman menurut Sri Narni
dalam Mulyati (1995) yang terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Bentuk pola permukiman Sumber: Sri Narni dalam Mulyati (1995)
Pola permukiman memiliki bermacam-macam bentuk sesuai dengan pendapat masing-masing ahli. Menurut Rogers & Burdge dalam Tulistyantoro (1990) terdapat beberapa bentuk pola permukiman, antara lain: 1.
The Scattered Farmstead Community, pada tipe ini komunitas penduduk berada di pusat pelayanan, sedang yang lain berpencar di sawah ladangnya.
2.
The Cluster Village, penduduk berdiam terpusat di suatu tempat, sedangkan lainnya adalah sawah ladangnya.
3.
The Line Village, pada tipe ini rumah-rumah penduduk berdiam mengikuti alur jalan raya atau alur sungai. Leibo dalam Tulistyantoro (1990) menyebutkan “…. desa-desa yang terdapat di
Pulau Jawa pada umumnya berpolakan seperti The Scattered Farmstead Community dan The Cluster Village, sedangkan pola The Line Village berada atau banyak terdapat di daerah Sulawesi dan Kalimantan”. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kondisi geografis yang menunjang untuk terjadi pola permukiman yang seperti ini.
16
Pendapat Yudono Pribadi dalam Tulistyantoro (1990) membagi pola tersebut, sebagai berikut: 1.
Bentuk linier;
2.
Bentuk radial;
3.
Bentuk desa yang mengelilingi lapangan atau alun-alun; dan
4.
Bentuk desa pantai (tersebar memanjang atau terkonsentrasi).
Pertimbangan ini didasarkan pada pengelompokkan rumah-rumah yang terdapat dalam suatu kompleks permukiman yang berindikator pada hal-hal, sebagai berikut: 1.
Mata pencaharian hidup;
2.
Ekologi; dan
3.
Bangunan pusat. Pola-pola yang demikian ini pada umumnya terjadi karena sarana yang ada,
kemudian timbul permukiman-permukiman tersebut, seperti misalnya pola yang mengikuti sungai adalah pola yang terbentuk karena sungai tersebut. Menurut Jayadinata (1999:61-65), permukiman di perdesaan secara umum terbagi menjadi dua, antara lain: 1.
Permukiman memusat, yaitu yang rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement) dan merupakan dukuh atau dusun (hamlet) yang terdiri atas lebih bahkan ratusan rumah. Di sekitar kampung atau dusun terdapat tanah bagi pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja sehari-hari untuk mencari nafkahnya. Dalam perkembangannya, suatu kampung dapat mencapai berbagai bentuk, tergantung kepada keadaan fisik dan sosial. Perkampungan pertanian umumnya mendekati bentuk bujur sangkar. Beberapa pola permukiman memusat terlihat pada Gambar 2.3.
2.
Permukiman terpencar, yaitu rumahnya terpencar menyendiri (disseminated rural settlement) terdapat di Negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sebagainya. Perkampungan terpencar di negara itu hanya terdiri atas farmstead, yaitu sebuah rumah petani yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak. Kadang-kadang terdapat homestead, yaitu rumah terpencil.
17
a
b
c
d
e
Gambar 2.3. Bentuk pola permukiman memusat Sumber: Jayadinata (1999:61-65) Keterangan : a. Permukiman memusat di pemukiman jalan b. Permukiman memusat di sepanjang jalan c. Permukiman memusat bujur sangkar d. Permukiman memusat belokan jalan e. Pengembangan permukiman memusat
2.2 Faktor Pembentuk Permukiman Menurut Tutuko (2003), terdapat tiga ciri utama yang harus diperhatikan dalam memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu budaya, teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial. Menurut Hidayatun (2004), pengaruh agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta lingkungan dan iklim pada bentuk-bentuk arsitektur yang terjadi pada masa dan tempat tertentu. Menurut Rapoport (1969), bentuk bangunan rumah tinggal sangat dipengaruhi oleh iklim, religi, dan lingkungan. Jadi, bentuk arsitektur hunian sebagai wujud lingkungan yang dibentuk oleh manusia ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, sosial budaya, dan iklim. Di samping itu, elemen ekistik juga turut sebagai faktor yang tidak terlepas sebagai elemen pembentuk permukiman.
2.2.1 Lingkungan permukiman Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya (Rapoport dalam Nuraini, 2004:11). Untermann (1983:1) berpendapat bahwa lingkungan-lingkungan perumahan merupakan bentuk yang paling fundamental dari permukiman manusia. Secara
18
sederhana dapat dilukiskan sebagai perumahan yang saling dihubungkan sedemikian, sehingga unit-unit individualnya membagi bersama, baik dinding, lantai, ataupun langitlangitnya. Yang lebih penting lagi, unit-unit individual tersebut membagi bersama pemakaian ruang-ruang terbuka dan fasilitas-fasilitas yang ada. Secara historis, konfigurasi dan skala kelompoknya mengalami keterbatasan hanya dikarenakan oleh sumber-sumber bahan dan akal budi masyarakat yang membangunnya. Secara tradisional, skala, dan organisasi dari permukiman kelompok telah menggambarkan tidak hanya pengaturan fisis tetapi juga pengaturan sosialnya. Menurut Budiharjo (1989), kepekaan lingkungan dan keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan karakter spesifik lingkungan mereka adalah faktor yang sangat menentukan. Tampilan bangunan dapat juga didapatkan dari pemilihan-pemilihan elemen-elemen bangunan yang digunakan pada bangunan tersebut, misalnya dengan pertimbangan persediaan bahan-bahan tersebut di lokasi bangunan, lokasi produksi, kemungkinan transportasinya atau bahkan mengadopsi dari aktivitas apa yang diwadahi di dalamnya (Lippsmeier, 1980), yaitu bambu, kayu, tanah liat, pasir, batu alam, batu bata, serta blok beton. Dalam meninjau fenomena lingkungan hunian dapat menggunakan dasar yang ditawarkan oleh Schulz dalam Tjahjono (1993), yaitu topologi dan morfologi. Topologi diidentikkan dengan tatanan spasial yang nantinya dapat difokuskan dalam menelusuri notion of space masyarakat setempat. Morfologi merupakan artikulasi formal untuk membuat karakter arsitektur. Hal ini dapat dijadikan alat untuk analisis hubungan antara lingkungan buatan dengan alam. Rossi dalam Utomo (1982:139-140), mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang paling dominan dalam menentukan pertumbuhan lingkungan adalah faktor ekonomi. Walaupun kekuatan-kekuatan lain juga tidak sedikit andilnya dalam mempengaruhi pertumbuhan lingkungan fisik, namun penekanan pada faktor ekonomi bukan berarti bahwa faktor-faktor lain tidak mempengaruhi pertumbuhan lingkungan fisik. Ulasan Engel dalam Utomo (1990), menyimpulkan bahwa ternyata faktor politik dan ekonomi mempengaruhi dinamika pertumbuhan lingkungan fisik. Jadi, terdapat banyak faktor yang dapat mendukung terjadinya perubahan bahkan terkadang kekuatankekuatan tersebut saling mempengaruhi. Hanya saja tergantung faktor-faktor mana yang lebih dominan muncul sebagai kekuatan utama.
19
2.2.2 Sosial budaya Kebudayaan selalu senafas dengan zamannya. Ekspresi budaya berupa ilmu pengetahuan dan seni akan ditentukan oleh patron utama, yaitu ”penguasa”. Kebudayaan merupakan sistem dan nilai-nilai sosial (politik, ekonomi) yang dipengaruhi oleh religi, teknologi, dan ilmu pengetahuan (Widagdo, 2005). Manusia yang berkelompok dalam jumlah tertentu dalam satu ruang tidaklah semuanya memiliki strata sama. Setiap masyarakat memiliki kelompok dan strata tertentu dan setiap strata tersebut memiliki pola atau pengaruh ruang tertentu. Krancauer menyatakan bahwa setiap strata sosial memiliki ruang yang sesuai untuk mereka (Krancauer dalam Sasongko, 2002:119). Juga penataan ruang tertentu merupakan hasil dari perilaku masyarakat tertentu pula. Perancangan ruang harus juga bersesuaian dengan perilaku dan kontak sosial yang sesuai dengan tempatnya (Crowhurst & Lennard dalam Sasongko, 2002:119). Pembentukan ruang ini juga ditentukan oleh aturan-aturan yang berlaku. Lowson dalam Sasongko (2002:119) menyatakan bahwa dimanapun masyarakat berada tentu ada aturan tertentu dalam mengelola ruangnya. Beberapa aturan mungkin murni dari kesepakatan warga, tetapi sebagian besar lainnya adalah dari kebutuhan dan karakter masyarakatnya sendiri. Dalam hubungannya dengan faktor sosial di masyarakat, Rapoport dalam Nuraini (2004) memberikan penjelasan bahwa lingkungan (termasuk di dalam lingkungan
hunian)
harus
mencerminkan
kekuatan
sosio-kultural,
termasuk
kepercayaan, struktur keluarga dan klan, organisasi sosial, mata pencaharian, dan hubungan sosial antar individu. Sebuah unit hunian akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku dan sikap mental dari penghuninya. Namun, pada saat yang sama, gaya hidup penghuni juga akan mempengaruhi bentuk dan pola dari rumah yang dihuninya. Tatanan ruang permukiman dibentuk dalam suatu keterpautan antar elemen, sehingga membentuk struktur ruang yang bukan hanya ditentukan oleh satu elemen semata, tetapi lebih ditunjukkan oleh sistem perhubungan antar elemen ruang yang kompleks baik antar elemen pembentuk ruang itu sendiri maupun sistem sosial yang berlaku di masyarakat. Ruang terstruktur melalui berbagai cara dengan skala yang berbeda-beda mulai dari lingkup ruang individu sampai pada cakupan ruang wilayah terorganisasi. Sistem perhubungan setiap skala sangatlah kompleks, tetapi menunjukkan adanya suatu tatanan dan keteraturan tertentu (Rapoport dalam Sasongko, 2002:118).
20
Antara alam dan bangunan dalam tapak selalu mempunyai hubungan erat. Oleh sebab itu, keserasian bentuk dan jiwa bangunan harus tetap memperhatikan potensi alam yang di sekelilingnya. Keadaan alam yang berbeda melahirkan jenis kebudayaan yang berbeda pula, kebudayaan yang tertentu akan melahirkan corak arsitektur yang tertentu pula (Sumaryono, 1996).
2.2.3 Iklim Indonesia merupakan kepulauan yang berada di daerah khatulistiwa, sehingga berilkim tropis basah. Menurut Hadinoto (1996), arsitektur kolonial Belanda sesudah tahun 1900-an merupakan hasil kompromi arsitektur modern yang berkembang di Belanda dengan iklim tropis basah di Indonesia. Menurut Juhana (2001), arsitektur tropis adalah arsitektur yang beradaptasi terhadap iklim tropis. Bentuk denah berorientasi utara selatan. Bukaan ditempatkan pada sisi ini dengan dimensi sepertiga luas lantai. Atap miring dengan digabungkan dengan penyekat akan membantu pendinginan ruangan. Kenyamanan termal merupakan ambang batas relatif yang menunjukkan bahwa kondisi iklim tertentu, lingkungan sekitar, jenis kelamin, kelompok usia, aktivitas, dan sebagainya. Dalam hubungan pola permukiman dan faktor yang mempengaruhinya, Archer dalam Rapoport (1969) berpendapat bahwa kita membangun rumah untuk menjaga iklim yang konsisten dan melindungi diri dari presator yang berupa cuaca dan iklim yang buruk. Orang seharusnya membangun sendiri dengan berbagai bentuk rumah yang berbeda dan berbeda pula iklimnya.
2.2.4 Elemen ekistik Dwi Ari & Antariksa (2005:78) memberikan pendapat tentang pemilihan tempat tinggal yang juga tidak terlepas dari lima unsur ekistik pembentuk sebuah pola permukiman, antara lain: 1.
"ature (fisik alam), meliputi tanah/geologi, kelerengan, ketinggian, iklim, hidrologi/sumber daya air, vegetasi/tanaman, dan hewan.
2.
Man (manusia), meliputi kebutuhan ruang untuk kegiatan manusia, sensasi dan persepsi, kebutuhan emosional dan nilai-nilai moral.
21
3.
Society, meliputi komposisi dan kepadatan penduduk, stratifikasi masyarakat, bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta hukum dan administrasi.
4.
Shell, meliputi rumah, pelayanan masyarakat, pusat perdagangan dan pasar, fasilitas rekreasi masyarakat dan pusat kegiatan, sektor industri, dan pusat pergerakan.
5.
"etwork, meliputi sistem jaringan air, sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem pembuangan dan drainase, dan bentuk fisik. Secara kronologis, kelima elemen ekistik tersebut membentuk lingkungan
permukiman. "ature (unsur alami) merupakan “wadah” manusia sebagai individu (man) berada di dalamnya dan membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi sebagai suatu masyarakat (society). Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan sebagai tempat untuk dapat melaksanakan kehidupannya, maka mereka menciptakan shell. Shell berkembang menjadi bertambah besar dan semakin kompleks, sehingga
membutuhkan
network
untuk
menunjang
berfungsinya
lingkungan
permukiman tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu permukiman terdiri dari “isi” (content) berupa manusia baik secara individual maupun dalam masyarakat dan “wadah” (container) berupa lingkungan fisik permukiman.
2.3 Permukiman Kolonial 2.3.1 Karakteristik kota dan permukiman kolonial Menurut Kano (1996), komunitas Belanda memiliki hak tertinggi dalam pemilihan kawasan tempat tinggal. Kawasan tempat tinggal komunitas Belanda ini memiliki fasilitas yang utama, seperti jaluran jalan yang memudahkan akses aktivitas, penyediaan air bersih, dan sebagainya, yang tidak akan dimiliki oleh pribumi (terkecuali beberapa golongan priyayi). Politik “rasis” terutama mengenai permasalahan permukiman dikenal dengan hak exhorbitante rechten, yaitu Gubernur Jenderal berhak menentukan tempat tinggal bagi golongan-golongan penduduk di Hindia Belanda. Permukiman masyarakat Belanda dan Eropa dilengkapi dengan fasilitas, seperti jalan beraspal, penerangan, air bersih, jalur kendaraan, dan sebagainya (Basundoro, 2004). Secara kasar, karakteristik permukiman di Indonesia dapat dibentuk dengan ditandainya tipe permukiman yang berbeda pada masing-masing periode dalam Sejarah
22
Indonesia1. Karakteristik ini dipergunakan untuk mempelajari morfologi pola permukiman yang didasari atas kriteria perilaku sosial budaya dan ekonomi. Struktur permukiman kota di Indonesia pada mulanya ditentukan oleh Perdagangan Regional and international yang melaksanakan atas perintah Penguasa dan Tuan Besar. Perintah ini dilaksanakan melalui adat atau hukum adat dan dipergunakan untuk mengontrol tenaga kerja dan pembagian lahan (Gill, 1990:45-46). Struktur kota permukiman di Jawa dan pulau-pulau lainnya hampir sama, dilandasi oleh prinsip yang sama menuju pembentukan pola yang seragam di tiap kota. Pola ini didominasi oleh benteng, struktur pertahanan yang dekat dengan tempat tinggal dan tempat bekerja dari pekerja perusahaan. Di samping benteng, elemen lain kota permukiman adalah adanya distrik kota, permukiman orang asing dan pendatang yang berdekatan dengan perdagangan, dan bagian kampung penduduk asli. Kota permukiman yang selanjutnya berkembang menjadi kota besar dengan variasi fungsi yang semakin tinggi, umumnya merupakan kubu dan benteng laut terdepan. Benteng yang menyerupai kota – tanpa karakteristik kota – dibangun pada lokasi strategis untuk mengontrol rute perdagangan dan daerah belakangnya (Gill, 1990:47). Pada akhir abad ke-19, kota dirancang berpola “grid” yang dijadikan sebagai pola tipikal kota pada masa itu. Popularitas pola grid untuk kota kolonial Belanda bersumber dari keuntungan nyata. Pola ini sangat mudah direncanakan dan memberi kemungkinan untuk menggunakan ruang seefisien mungkin serta dapat diperluas tanpa merubah pola dasar kesatuan organik kota, di samping sangat mudah diatur dan pembagian lahan dapat dibuat secepat dan seefisien mungkin (Gill, 1990:49). Periode pembentukan kota antara tahun 1900 hingga tahun 1950 ditandai dengan pencarian dan penyesuaian bentuk kota gaya Eropa ke dalam pola kota tropikal kepulauan Indonesia. Percampuran budaya kota Hindia Belanda berangsur-angsur digantikan oleh pemisahan budaya akibat dari masuknya pendatang baru yang sangat besar jumlahnya dalam memperkuat administrasi pemerintah dan perusahaan swasta yang muncul sejak tahun 1870-an (Gill, 1990:49). Perencanaan permukiman yang didasarkan pada pemisahan kelompok etnis merupakan dualisme dalam kehidupan masyarakat kota kolonial. Dualisme tersebut 1
Pencirian ini dimaksudkan sebagai dasar untuk studi morfologi permukiman di Indonesia. Dalam hal ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari 4 tahap pembangunan kota di Indonesia sebagai basis analisis sejarah menurut Nas (1986).
23
tidak hanya terlihat pada bentuk kotanya tetapi juga pada lingkungannya, yaitu antara penduduk yang tinggal di tepi jalan dan mereka yang tinggal di belakangnya. Konsolidasi peraturan kolonial pada permulaan abad ini menyebabkan adanya pemisahan/segregasi kebudayaan yang menggantikan percampuran kebudayaan abad ke-19 di kota-kota Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya prinsip dualisme dalam masyarakat kolonial. Eropanisasi – dimaksudkan untuk orang-orang Eropa dan Timur Asing – menganggap dimensi ekonomi kota sebagai tujuan utama; kota-kota dianggap sebagai “kantong-kantong Barat”. Hal ini tercermin dalam perencanaan dan konstruksi tempat tinggal bangsa Eropa pada perluasan perkampungan bangsa bukan Eropa (Gill, 1990:50-55). Kota kolonial adalah daerah urban di dalam komunitas kolonial yang secara tipikal sebagian besar ditandai dengan pemisahan fisik, kelompok-kelompok komponen etnis, sosial, dan budaya yang dihasilkan dari proses kolonialisasi (King, 1976). Pendapat lain menyebutkan bahwa kota kolonial merupakan wadah dari pluralisme budaya yang di dalamnya terdapat bagian satu budaya tertentu yang memiliki monopoli kekuasaan politis (Rex, 1970:20). Kota-kota Hindia Belanda merupakan perwujudan adanya proses kolonialisasi yang merupakan pengukuhan dan penerapan suatu aturan terhadap orang-orang asing (pribumi) yang terpisah dan tunduk pada kekuasaan mengatur selama jangka waktu tertentu (Emerson, 1968). Ciri-ciri kota kolonial, antara lain: 1.
Hasil dari kondisi kontak budaya antara kekuasaan industrialis kolonial Eropa dan ekonomi tradisional, agraris, atau berbasis keahlian.
2.
Mewujudkan karakteristik spasial tertentu baik dalam hal hubungan antara permukiman-permukiman dengan budaya yang berbeda, antara masing-masing area permukiman, dan antara komponen-komponen dalam area permukiman itu sendiri.
3.
Ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya.
4.
Membutuhkan dorongan untuk proses integrasi, pada tingkat nasional, kultural, sosial, ekonomi, dan etnis.
5.
Memiliki
masalah
perumahan,
keterbatasan
sumber-sumber
ekonomi,
keterbelakangan sistem komunikasi, dan kekurangan infrastruktur kelembagaan yang dibutuhkan berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial, administratif, dan politis.
24
Kondisi utama yang terdapat pada bentuk kolonalisasi, antara lain: 1.
Adanya situasi kontak antara dua kebudayaan dan sistem nilai dimana mereka berada.
2.
Kontak ini terjadi antara dua kebudayaan yang memiliki bentuk atau “tingkat” organisasi dan perkembangan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik yang berbeda.
3.
Kontak yang terjadi pada hubungan ini merupakan salah satu ketergantungan dominasi dimana sumber utama kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik terdapat pada masyarakat metropolitan dengan kekuatan fisik menjadi sarana penting dalam mengendalikan masyarakat yang dikolonisasi.
4.
Mengembangkan pola permukiman berdasarkan kepentingan perdagangan antar pulau.
5.
Percampuran kultur antara Indonesia-Belanda yang mempengaruhi pola kota.
6.
Awal pembuatan permukiman menyerupai kota di negeri asalnya, Amsterdam, rumah dibangun di sepanjang sungai.
7.
Struktur kota terdiri dari benteng sebagai struktur pertahanan yang mengontrol jalur perdagangan, distrik-distrik kota sebagai permukiman orang asing, pendatang, dan pribumi, serta lapangan luas yang dikelilingi bangunan umum, seperti gereja, istana gubernur, kantor, dan perkumpulan sosial (concordia). Kontak antara kebudayaan kolonial dengan metropolitan (kota tempat
perwakilan masyarakat kolonial berkedudukan) muncul dalam kondisi-kondisi khusus (Balandier, 1951), antara lain: 1.
Dominasi minoritas asing yang secara ras/etnis dan budaya berbeda terhadap penduduk asli yang berkedudukan lebih rendah dalam sudut pandang materi.
2.
Tautan perdaban yang secara radikal berbeda dalam beberapa bentuk hubungan.
3.
Timbulnya masyarakat industrial yang semula adalah masyarakat non industrial.
4.
Hubungan antagonis dimana masyarakat kolonial berlaku sebagai bagian dari kekuasaan. Kota kolonial bertipe ideal terdiri dari dua bagian utama (King, 1976), antara
lain: 1.
Daerah permukiman penduduk asli yang kadang-kadang timbul sebelum masa kolonialisasi dan perwujudan struktur sosio-spasial kota pra-industrial atau dapat juga berupa kota atau desa yang tumbuh sebagai hasil dari kedekatannya pada kekuasaan kolonial yang datang. Daerah ini biasanya memiliki kepadatan hunian
25
tinggi (1000 orang/acre), terdiri dari rumah-rumah tradisional yang dimodifikasi dan kurangnya sarana umum dan transportasi umumnya dilakukan dengan jalan kaki. 2.
Permukiman urban kolonial yang terdiri dari petak-petak perumahan yang luas dengan bangunan berlantai satu, dilengkapi dengan jalan-jalan lebar berjalur tiga, dan kepadatan hunian yang rendah (<20 orang/acre). Kelengkapan sarana umum, misalnya air, listrik, saluran air, telepon, dan ruang terbuka. Kedua daerah tersebut selalu dibangun terpisah dengan maksud (Balandier,
1951:47), antara lain: a.
Meminimalisasi kontak antara masyarakat kolonial dan yang dikolonialisasi.
b.
Kemudahan control pengawasan urusan-urusan “asli” yang secara ekonomis berguna dalam memangkas area total yang membutuhkan pemeliharaan dan pembangunan.
c.
Mempertahankan struktur sosial yang terdapat pemisahan hunian dalam lingkungan yang dibedakan dari tingkat kelengkapan sarana umum dan kualitas lingkungan mencerminkan hubungan sosial yang ada.
2.3.2 Karakter arsitektur kolonial Belanda Bangunan merupakan aspek yang memberikan dukungan kuat dalam memberikan warna pada karakteristik permukiman. BPM adalah perusahaan Belanda yang berdiri dan mulai melakukan eksploitasi terhadap minyak dan gas bumi di Tarakan pada masa kolonial, sehingga pengetahuan mengenai karakter arsitektur kolonial Belanda diperlukan untuk memahami karakter permukiman yang terbentuk. Arsitektur kolonial adalah arsitektur yang dibangun selama masa kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda pada tahun 1600-1942, yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia (Rachmawati, 1990:15). Namun, pembahasan arsitektur kolonial dalam studi ini dibatasi mulai tahun 1870 sesuai dengan awal mula kedatangan Belanda di Pulau Tarakan untuk mengekspolitasi sumber minyak bumi dan kemudian membangun perusahaan perminyakan dalam skala besar. Dalam merencanakan dan mengembangkan kota, permukiman, dan bangunanbangunan di Indonesia, para pengelola kota maupun arsitek Belanda menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam rancangannya. Menurut Sumalyo (1995:2), arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di
26
tempat lain, juga pada negara-negara bekas koloni yang lain. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah Belanda dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam di satu tempat dengan tempat lainnya. Desain arsitektur Belanda memiliki kekhasan bangunan yang berusaha mengadaptasikan pada kondisi lokal dan iklim setempat pada setiap desainnya. Apabila diteliti lebih jauh mempunyai perbedaanperbedaan dan ciri tersendiri. Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada zaman yang bersamaan dengan iklim tropis basah Indonesia. Beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda terdapat juga yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk yang khas dan berlainan dengan arsitektur modern yang terdapat di Belanda sendiri (Trianingrum, 2006:24). Menurut Handinoto (1996:172), arsitektur kolonial Belanda mempunyai bentuk dan tatanan yang khas; yang tidak sama dengan arsitektur modern di Belanda Gaya arsitektur ini sudah menyesuaikan dengan iklim tropis basah di Indonesia yang mempunyai curah hujan yang tinggi dan sinar matahari sepanjang tahun. Ciri gaya arsitektur kolonial Belanda, antara lain: 1.
Adanya bentuk-bentuk arsitektur Belanda yang dipakai seperti double tower yang dikombinasikan dengan gevel depan pada pintu masuk, serta bentuk-bentuk arch (lengkung).
2.
Banyaknya bukaan/ventilasi pada bangunan yang dipergunakan untuk aliran udara dengan bentuk bangunan yang ramping.
3.
Pembuatan galeri sepanjang bangunan untuk mengantisipasi air hujan dan sinar matahari, sehingga apabila jendela-jendela ruangan dibuka, maka ruang tersebut terlindung dari sinar matahari langsung dan tempias air hujan. Dengan adanya galeri keliling tersebut, maka tampak bangunan menjadi berbentuk yang sering disebut sebagai double gevel.
4.
Lay out bangunan juga diusahakan agar menghadap ke arah utara-selatan untuk menghindari sinar matahari.
27
2.4 Penelitian-Penelitian Sejenis Dalam hal ini, peneliti mendapat informasi bahwa belum adanya studi atau penelitian sejenis yang pernah dilakukan pada lokasi dan objek kasus yang akan diteliti, sedangkan studi sejenis yang pernah dilakukan di objek dan daerah lain telah ada, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Studi sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu mengenai perkembangan permukiman dan karakteristik permukiman tradisional. Kaitan beberapa studi atau penelitian tersebut dengan studi yang akan dilakukan peneliti terlihat pada skema di bawah ini (Tabel 2.1.).
28
29
30
31
32
33
34
35
2.5 Kerangka Teori Kerangka teori merupakan garis besar tinjauan pustaka penelitian yang tersusun dalam skema di bawah ini (Gambar 2.4.).
Unsur dan pola permukiman
A. Pengertian permukiman 1. Finch dalam Wayang (1980) 2. Dwi Ari & Antariksa (2005) B. Unsur permukiman 1. Sujarto (1977) 2. Jayadinata (1999)
Faktor pembentuk permukiman
A. Lingkungan permukiman 1. Rapoport dalam Nuraini (2004) 2. Untermann (1983) 3. Schulz dalam Tjahjono (1993)
C. Pola permukiman 1. Chapin (1979) 2. Dwi Ari & Antariksa (2005) 3. Wiriaatmadja (1981) 4. Sri Narni dalam Mulyati (1995) 5. Yudono Pribadi dalam Tulistyantoro (1990) 6. Jayadinata (1999)
C. Iklim 1. Hadinoto (1996) 2. Archer dalam Rapoport (1969) D. Elemen ekistik 1. Dwi Ari & Antariksa (2005)
B. Sosial budaya 1. Widagdo (2005) 2. Rapoport dalam Nuraini (2004) 3. Rapoport dalam Sasongko (2002)
Tinjauan permukiman kolonial
Penelitian-penelitian sejenis
A. Karakteristik kota dan permukiman kolonial 1. Kano (1996) 2. Basundoro (2004) 3. Gill (1990) 4. Emerson (1968) 5. Balandier (1951) 6. King (1976)
B. Karakter arsitektur kolonial Belanda 1. Sumalyo (1995) 2. Handinoto (1996)
1. Perkembangan Permukiman dan Tipologi Rumah-Tinggal pada Perumahan Karyawan Pabrik Gula Pesantren BaruKediri 2. Permukiman Masyarakat Petani Garam di Desa Pinggir Papas, Kabupaten Sumenep 3. Tipologi, Topologi, dan Morfologi Arsitektur Kolonial Belanda di Komplek PG. Djatiroto, Jatiroto, Lumajang 4. Studi Perbandingan Pola Struktur Pusat Pemerintahan Kota Kolonial Antara Kota-Kota Pesisir dan Pedalaman Pulau Jawa: Tinjauan Kota Surabaya dan Pasuruan dengan Kota Malang dan Blitar Gambar 2.4. Kerangka teori