BAB II Teori Rujukan Perempuan Karir (Suatu Kajian Terhadap Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Perempuan Karir dalam Rumah Tangga di GKJ Salatiga menurut Kajian Jender) Teori rujukan diperlukan sebagai kajian untuk memahami hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan, sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir dalam rumah tangga maupun karirnya. 2.1 Budaya Patriarki 2.1.1 Istilah Patriarki Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan berada di tangan bapak (laki-laki)/ patriack.1 Secara etimologis, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana bapak menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa lakilaki (suami) lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan (istri), bahwa perempuan (istri) harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Di dalam keluarga, perempuan kehilangan kekuasaan terhadap laki-laki, atau laki-laki dianggap memegang kekuasaan karena keluarga membutuhkan seorang pemimpin.2 Masyarakat beranggapan bahwa laki-laki (suami) dilahirkan untuk berkuasa dan perempuan (istri) untuk dikuasasi, baik dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat. Kekuasaan 1
Asnath Niwa Natar, Ketika Perempuan Berteologi : Berteologi Feminis Kontekstual...................................25 J.M. Lehmann, Durkheim’s Women : Sexist Ideology at the Heart of Sosiological Theory.” Current Prespectives in Social Theory. ( New York : 1990). Hlm, 33.
2
16
ini meliputi kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi dan mengontrol daya kerja perempuan (istri) secara formal dan informal. Adanya perlawanan dari perempuan (istri), memiliki konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan sosial bagi mereka sendiri dan anak-anak mereka. Perempuan yang terahir dari keluarga Jawa dengan prinsip adat istiadat patriarki yang kental, pasti merasa dididik menjadi perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarki. Jika dilihat dari pengertian perempuan atau wanita, berasal dari kata gabungan dua bahasa jawa (kerata basa) wani (berani) dan tata (teratur).3
Secara “gathukologis”
(menyamakan) kata ini mengandung dua konotasi wani ditata (berani diatur) dan wani nata (berani mengatur).4 Dalam konotasinya wani ditata berarti perempuan tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur. Seorang perempuan Jawa yang dididik dengan nilai-nilai budaya patriarki tentu tidak asing dengan nasehat, jadi perempuan itu harus tahu ungguh-ungguh (sopan santun), kalau tertawa jangan keras-keras apalagi tertawa lebar mulutnya. Jadi perempuan itu harus menurut apa kata orang tua, jangan seenaknya sendiri, perempuan itu harus bisa masak, merawat diri, bisa melahirkan anak dan lain sebagainya. Dalam budaya patriarki tidak hanya keluarga saja yang berhak untuk mendidik perempuan, tetapi juga lingkungan, keluarga besar, tetangga pun seakan-akan punya hak. Berbagai pandangan dan aturan yang mereka berikan, seakan-akan justru mengerdilkan perempuan, karena kontruksi sosial dan budaya patriarki. Dampaknya perempuan tersubordinasi dianggap second class baik dalam politik dan hak mengenyam pendidikan tinggi sebagai akses untuk menaikan kualitas hidupnya. Perempuan Jawa dianggap tidak penting sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya mengurus dapur dan
rumah tangga. Perempuan Jawa hanya dianggap sebagai kanca
3
http://dragus.cd/2009/03/05/gathukoogy-ilmubaru/. Diakses pada tanggal 09 Juni 2014, pkl 09.06. Anang Prasongko., 2012., (http://m.kompasiana.com/post/read/465060/3/wanita-itu-wani-di-tata.html). Diakses pada tanggal 09 Juni 2014, pkl 19.45.
4
17
wingking (teman belakang)5
yang kerjanya di dapur, sumur dan kasur yang kemudian
dipetakan lagi dalam rangkaian tugas:6
Masak : mengurusi dapur, karena mengurusi dapur perempuan sering disebut dengan istilah kanca wingking. Namun, kepandaian memasak tidak hanya mengolah dan menyediakan makan dan minum, tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan sebaik-baiknya. Sebagai wujud dari sikap bekti terhadap suami, dalam urusan masakmemasak dan segala sesuatu yang berhubungan makan dan minum, istri juga harus memperhatikan selera dan kesenangan suami.
Macak : yang berarti seorang perempuan harus bisa merias diri, berdandan, ataupun berbusana yang
sebaik-baiknya
agar
senantiasa tampak cantik, menarik dan
mempesona. Hal ini merupakan kewajiban pokok yang harus dijaga sebagai bentuk perwujudan bekti dalam melayani suami. Dengan demikian, jika perempuan selalu tampil menarik, ia akan membuat suami betah tinggal dirumah.
Manak : pengertian tersebut
tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan
menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak. Perempuan Jawa juga jarang diikutkan dalam membuat keputusan besar dalam keluarganya, karena dianggap tidak memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan dalam hal tersebut. Jika pun perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik dicela “kamu tidak tahu apa-apa”, atau “perempuan tidak usah ikut campur”. Hal itu kemungkinan masih terjadi pada keluarga Jawa yang masih konservatif. Tentu pernah mendengar ungkapan Jawa swarga manut, neraka tumut (surga dan neraka ikut suami), seperti itulah hubungan antara suami dan istri yang tergambar dalam nilai-nilai budaya patriarki budaya Jawa. Suami bisa dianggap wakil atau dewa, jadi apa yang dikatakan harus dituruti. Hal-hal semacam itu 5
Budi Munawar-Rachman, Rekontruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern, ............47-48. Pujiwulansari., 2011., Peran Ganda Perempuan (http:// Peran Ganda Perempuan.htm),Diakses Pada tanggal 20 Agustus 2013, pkl 13.00. 6
18
membuat perempuan (istri) tidak diberi ruang pendapat, hak kebebasan untuk mengatakan pilihananya, hanya bisa terkukung oleh budaya yang terkadang berlawanan dengan hati nuraninya. Banyak dasar-dasar nilai budaya patriarki dalam masyarakat Jawa yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Segala keputusan yang berkaitan dengan diri perempuan (istri) seakan-akan diputuskan oleh laki-laki entah ayahnya, pamannya, suaminya, ataupun saudara laki-lakinya. Dibandingkan laki-laki perempuan diberi aturan ketat, ia dibatasi dengan kata kodrat perempuan. Kodrat perempuan harus beginilahbegitulah. Tidak boleh menuntut ilmu tinggi, hingga urusan reproduksi diputuskan juga oleh laki-laki, meskipun dalam hati perempuan hal tersebut berlawanan. Tapi apa boleh buat, kembali lagi pada istilah kodrat perempuan. Durkheim, Spencer dan Comte mengungkapkan sifat-sifat alamiah perempuan yang inheren menciptakan
suatu pembagian kerja, hierarki kekuasaan laki-laki, dan struktur
moralitas.7 Sifat-sifat alamiah tersebut menempatkan kaum perempuan di bawah kontrol logis kaum laki-laki dalam suatu keluarga patriarkat dan stuktur sosial. Mereka beranggapan bahwa budaya patriarki selalu ada dan akan terus ada, dan seperti tatanan alam lainnya tidak bisa di rubah. Tetapi ada juga pedapat yang menyatakan bahwa patriarki sifatnya bukan nature, tetapi nurture dan kerena itu bisa diubah seiring dengan berjalannya waktu. Untuk memahami budaya patariarki di dalam rumah tangga dan masyarakat yang pada akhirnya melahirkan pembagian kerja berbasis jender, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertian seks dan jender. Hal ini menjadi penting karena jender seringkali diidentikkan dengan seks atau kodrat Tuhan, padahal jender berbeda dengan seks. Agar
7
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita..................................................................7
19
memudahkan dalam memberikan definisi jender tersebut, maka sangat penting menjernihkan perbedaan pemahaman antara seks dan jender.
2.2 Seks, Seksualitas dan Jender
2.2.1
Istilah Seks (jenis kelamin)
Seks adalah perbedaan fisik biologis, yang mudah dilihat melalui ciri fisik primer dan secara sekunder yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan.8 Menurut Tan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dari segi biologis, yang dianggap sebagai sesuatu yang “alami” atau tidak dapat diubah.9 Jenis kelamin ini melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya laki-laki memiliki penis, testis, sperma yang berfungsi untuk alat reproduksi dalam meneruskan keturunan. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, mempunyai alat menyusui dan sebagainya.10 Dengan
demikian seks mengandung arti perbedaan jenis
kelamin antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis memiliki perbedaan, fungsifungsi dan ciri-ciri tersendiri.11 Secara biologis alat-alat terbut melakat pada lelaki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan.12 2.2.2
Istilah Seksualitas
Seksualitas adalah rekayasa atau rekonstruksi mayarakat/sosial.13 Diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Gagasan tentang seksualitas 8
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, ........................................................, 77. Judith Lober dan Susan A. Farell dalam pengantar yang ditulis untuk buku The SosialConstruction of Gender (California : Sage Publications, 1991). 10 Trisaksi Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, ............................................... 4. 11 Op.cit., Mely G. Tan., “Doing Gender” dalam buku The Social Construction of Gender......................286. 12 Trisaksi Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, ...............................................5 13 (http://www.referensimakalah.com/2012/11/definisi-seks-dan-seksualitas.html). Diakses pada tanggal 01 Mei 2014, pkl 22.08. 9
20
itu sendiri sebagai suatu konstruksi sosial dan bukan entitas lahiriah secara biologis yang tidak
bisa berubah, menjadi penting. Seksualitas dilihat sebagai cara yang rumit dan
beraneka ragam dimana emosi, hasrat dan hubungan kita dibentuk oleh masyarakat di mana kita hidup.14 2.2.3
Istilah Jender
Istilah jender berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti jenis atau tipe.15 Jender menurut Oakley dalam bukunya yang berjudul Sex, Jenderand Society memaknai jender sebagai perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan.16
Perbedaan biologis seks (jenis kelamin) merupakan kodrat Tuhan dan oleh
karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara jender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat, melainkan diciptakan dan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Konsepsi jender sebagai suatu perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan melahirkan perbedaan seperti karakteristik sifat (maskulin vs feminin); ruang lingkup kerja (publik vs domestik); dan fungsi sosial budaya (produksi vs reproduksi), rasional versus emosional, superior versus inferior, ordinat versus subordinat, sebagai suatu fakta biologis dan fakta sosial. Dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan bahwa jender merupakan suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.17 Pendapat lain mengatakan bawa jender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tangung jawab, dan perilaku yang dibetuk oleh tata
14
Julia Cleves Moses, Gender Pembangunan, ........................................................................................70. K. Prent, J Adisubrata dan WJS Purwadarminto, Kamus Latin Indonesia, .........................................29. 16 A. Oakley, Sex, Gender and Society. (New York: Harper Colophon 1972) 17 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.............................................................................. 8 15
21
nilai sosial, budaya dan adat istiadat.18 Mansour Fakih juga berpendapat mengenai jender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural.19
Caplan juga sependapat dengan Fakih, dalam The Cultural
Contruction of Sexuality ia menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial kultural.20 Selanjutnya Santrock
mengemukakan
bahwa
istilah jender mengacu pada dimensi sosial-budaya
seorang laki-laki dan perempuan.21 Selain itu, istilah jender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan kultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan.22 Baron juga mengartikan bahwa jender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan.23 Dalam memahami konsep dan realita jender ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu mengenai ketidakadilan dan keadilan jender. 2.3. Ketidak-adilan (Jender Inequality) Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender (Jender Inequality).24
Ketidakasilan jender merupakan sistem dan
struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.25 Ketidakasilan jender itu menurut para feminis akibat dari kesalahpahaman terhadap konsep
18
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, .............................................76. Mansour Fakih, Analisis Jender & Transformasi Sosial,......................................................................8. 20 Mansour Fakih, Analisis Jender & Transformasi Sosial ......................................................................72 21 J.W. Santrock, Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. ............................................ 365. 22 A. Rahmawati, 2004, Presepsi Remaja tentang Konsep maskulin dan Feminim Dilihat dari Beberapa Latar Belakangnya. Skripsi pada Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI. (Bandung : Tidak Diterbitkan). Hlm, 19. 23 A. R. Baron (Alih Bahasa Ratna Juwita). (2000). Psikologi Sosial. Bandung : Khazanah Intelektual). Hlm, 188. 24 Mansour fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial................................................................. 21 25 Mansour fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial................................................................. 12. 19
22
seks yang disampaikan dengan konsep jender.26 ketidakadilan.
Perbedaan jender
mengakibatkan
Ketidakadilan tersebut bisa disimpulkan dari manifestasi ketidakadilan
tersebut yakni : Marginalisasi, subordinasi, stereotipe, violence (kekerasan) dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) atau (duble burden). Berikut uraian masing-masing dari bentuk ketidakadilan jender tersebut. Marginalisasi Marginalisasi artinya suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan mengunakan asumsi jender misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan jender. Subordinasi Subordinasi artinya suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran jender, lakilaki dan perempuan. Perempuan dianggap bertangung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung. Stereotipe (pelabelan negatif)
26
Yunahar ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontenporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998). Hlm, 42.
23
Semua bentuk ketidakadilan jender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu streotipe jender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti Stereotipe pemberian citra baku atau label/cap kepada seorang atau keompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pikak lain. Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan jender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpahkan kepada perempuan. Violence (kekerasan) Kekerasan artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran jender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semenamena berupa tindakan kekerasan. Beban ganda (double burden) Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah
24
perempuan yang bekerja diwilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mesubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun, demikian tangung jawanya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
2.4. Teori Pembagian Kerja Berbasis Jender Salah satu faktor signifikan dari fenomena kesenjangan jender, adalah karena ada fakta pembagian kerja berbasis jender. Untuk menjelaskan adanya pembagian kerja berbasis jender, akan dipilih tiga teori dasar yang dapat digunakan, yaitu teori nature, teori nurture dan teori equilibrium. 2.4.1
Teori Nature
Teori ini menggangap bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki bersifat alami.27 Menurut Budiman dalam bukunya Pembagian Kerja Secara Seksual, teori nature memusatkan perhatian pada ciri-ciri yang alami dari insan manusia, atau yang seringkai disebut dengan kodrat, yang
pada gilirannya
menghasilkan pembagian kerja yang
didasarkan atas perbedaan antara jenis kelamin.28 Pembedaan kerja yang didasarkan pada perbedaan seksual, ini tak jarang menimbulkan adanya perbedaan status sosial serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Karena secara alamiah perempuan bertugas untuk mengurusi urusan domestik, maka posisi dan status sosialnya berada cenderung berada lebih rendah. Sedangkan status sosial kaum laki-laki yang bekerja di ruang publik relatif lebih tinggi dalam masyarakat. Pembagian kerja yang menempatkan perempuan dalam ruang domestik, membuat mereka cenderung tidak berkembang sebagai sesama makluk ciptaan 27 28
Riant Nugroho, Gender Strategi pengarus-utamaan di Indonesia, ................................................................ 22 Arif Budiman, Pembagian kerja Secara Seksual, .......................................................................................... 1
25
Tuhan. Pada akhirnya mereka cenderung menjadi semakin kerdil seumur hidupnya, karena berada
dilingkungan
domestik
yang
serba
terbatas.
Sementara
laki-laki
dapat
mengembangkan dirinya secara optimal di wilayah publik. 2.4.2
Teori Nurture
Teori nurture bertentangan dengan teori nature, atau teori kodrat. Teori ini mengungkapkan bahwa realita biologis tidak menyebabkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pemilihan sektor domestik dan publik, sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki sebetulnya merupakan upaya elaborasi terhadap faktor biologis masing-masing seks dengan lingkungan.29 Perbedaan sifat dan sikap yang dianggap kelelaki-lakian dan keperempuanan juga merupakan rekayasa lingkungan sosial, hasil pemupukan proses sosialisasi atau melalu usaha pendidikan. 2.4.3
Teori Equilibrium
Teori Equilibrium menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki–laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki – laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki – laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. Seiring dengan modernitas zaman, pola gerak dan aktivitas perempuan berubah dan turut mempengaruhi ideologi, pemikiran, serta peran yang selama ini dijalaninya. Sekarang perempuan sudah banyak yang menekuni aktivitas di ranah publik dengan berkarir dan mampu mandiri dari segi ekonomi.
29
Pratiwi Sudarmona yang adalah seorang ilmuan
S.K Sanderson Sosiologi Makro, Sebuah pendekatan Terhadap Realita....................................................... 42.
26
Indonesia mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah “Mitra Sejajar” dalam menunjang perekonomian keluarga.30 Dalam konteks pembicaraan keluarga yang modern, tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung pada penghasilan suaminya. Di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, perempuan di Indonesia perempuan mendapat kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan untuk bekerja.31 Mengenai kesetaraan pendidikan dapat dilihat juga pada UU No.7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan disingkat Konvensi CEDAW32 (“Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Agains Women”)33 yang membahas penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk pendidikan.34 Didukung pula oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.35 Saat ini kesempatan bagi perempuan (istri) untuk bekerja di berbagai bidang pekerjaan serta mengenyam pendidikan tinggi semakin terbuka dan semakin banyak yang berkualitas. Ini bukan berarti perempuan (istri) ingin merebut apa yang selama ini hanya di dominasi oleh laki-laki (suami). Perempuan (istri) hanya berusaha mensejajarkan dan
30
http:// pandangan suami/Dampak Positif dan Negatif Wanita Karir.htm. Diakses pada tangga 12 Juni 2014, pkl 10.00 Wib. 31 2012.,PengarusutamaanJenderLingkupDepartemenKehutanan,(http://www.dephut.go.id/index.php/news/detai ls/269), Diakses pada tanggal 08 September 2013, pkl 11.00. 32 Singkatan CEDAW dipakai dalam penerbitan Unifem seperti “ In Pursuit of Justice” dan “ Do our laws promote gender equality : A handbook for CEDAW –based legal reviews”. Istilah Konvendi CEDAW sebenarnya dua kali kata konvensi dan dapat rancu dengan istilah Komite CEDAW, yang merumuskan Rekomendasi Umum dan Komentar/Obsevasi Akhir yang dijelaskan lebih lanjut dalam Bab I.C.E) tentang Dinamika Konvensi CEDAW. 33 L.M. Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, ................................................ 1. 34 Makalah., Palupi Ciptoningrum., 2009.,Hubungan Peran Ganda Dengan Pengembangan Karier Wanita (Kelurahan Menteng, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat . Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 35 http://www.google.co.id/search?hl=id&q=perempuanpunya kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam GBHN. Diakses pada tanggal 20 September 2013, pkl 13.00.
27
mengambil perannya yang dulu masih di anggap tabu, salah satunya yaitu menjadi perempuan karir. 2.5 Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga sekaligus Perempuan Karir 2.5.1 Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga (Domestik) Ibu rumah tangga yaitu seorang yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Pengertian Ibu rumah tangga adalah perempuan yang hanya bekerja di rumah saja sebagai ibu dan istri yang setia.36 Mies mendefinisikan ibu rumah tangga secara sosial sebagai pasangan dari definisi sosial kaum lelaki yang dianggap sebagai pencari nafkah, tanpa melihat sumbangan
nyata mereka pada kelangsungan hidup keluarga.37
Seorang ibu dikatakan sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting yaitu
mengatur
pengeluaran hidup rumah tanggayang menyangkut kesehatan dan gizi keluarga, pendidikan anak-anak, dan kelangsungan hidup dalam masyarakat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan home economic. Menurut Mulyani peran tersebut merupakan kodrat dan kewajiban yang harus dijalani oleh perempuan.38 Dapat dikatakan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat ditentukan oleh peran seorang ibu. Menurut Sa’ad Karim, jika ibu adalah seorang perempuan yang baik, akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya, apabila ibu adalah perempuan yang bersikap buruk, hancurlah keluarga.39 Sedangan menurut Baqir Sharifal-Qarashi, bahwa para ibu merupakan sekolahsekolah paling utama dalam pembentukan kepribadian anak serta saran untuk memenuhi
36
http://www.google.co.id/search ?hl=i&Pengertian Peran Ganda menurut Kartini.html.Diakses 2 Februari 2014. Pkl 15.23. 37 Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara : Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. (Jakarta : Komunitas Bambu, 2011). Hlm, 1. 38 Mulyawati, “Peran Ganda Seorang Wanita”, (Yogyakarta: Pustaka Semesta Pers,1986). 39 Gm. Susanto., 2014., (http://jawabanpasti.com/ibu-rumah-tangga.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2014, Pkl. 17.38
28
mereka dengan berbagai sifat mulia.40 Konsep ibu rumah tangga ini secara tidak langsung mengantarkan perempuan untuk mendalami peran-peran rumah tangga dengan berbagai konsekuensinya. Menurut Walkel dan Woods dalam Guhardja, ia mendefinisikan pekerjaan rumah tangga ke dalam 6 kategori, yaitu : 41
1. Penyediaan pangan atau makanan 2. Pemeliharaan keluarga (anggota keluarga) 3. Pemeliharaan rumah 4. Pemeliharaan pakaian (termasuk mencuci, seterika) 5. Manajemen (termasuk pencatatan atau record keeping) 6. Marketing (termasuk kegiatan berbelanja)
Menurut pandangan Rosaldo Zimbalist yang menyimpulkan pengamatannya dari berbagai kebudayaan manusia, memang hampir merupakan gejala umum bahwa citra perempuan selalu diketengahkan dalam fungsi sebagai ibu : jadi, fungsi mata rantai reproduksi.42
Peran
sentral
ibu dalam keluarga merupakan profesi yang tidak bisa
digantikan oleh siapapun. Sadli mengungkapkan mengenai romantisasi seorang perempuan sebagai ibu yang diperkuat dengan adanya mitos dan stereotip tentang “naluri keibuan”, “kodrat” perempuan, dan tentang perempuan yang kasih sayangnya terhadap anak tidak dapat ditukar dan ditakar.
Peran perempuan dalam rumah tangga ditampilkan melalui
dikotomi peran, yaitu sebagai istri dan sebagai ibu.43
40
Haryanto., 2010., (http://belajarpsikologi.com/peranan-ibu-dalam-keluarga.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2014, Pkl. 18.20 41 http://ichrisdianms.wordpress.com/2013/05/11/peran-ganda wanita sebagai ibu rumah tangga dan civitas akademika. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2013, pkl 20.00. 42 Dalam Sumiyatiningsih, Michelle Zimbalist Rosaldo, Women, Culture, and Society ...............................17-41. 43 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, ....................................... 19.
29
Berkaitan dengan citra tersebut, peranan
perempuan
dibatasi
terutama dalam
urusan-urusan domestik, yaitu urusan yang berkaitan dengan kehidupannya di dalam rumah tangga yang berhubungan dengan ikatan ibu dengan anak-anaknya.
Serta peranannya
sebagai istri yang hampir tidak atau sedikit sekali memberinya alokasi peran dalam urusan publik atau yang berkaitan dengan hubungan-hubungan luas di luar rumah tangga. 2.5.2. Perempuan sebagai Perempuan Karir (Publik) Istilah karir di tafsirkan beragam oleh banyak para ahli sesuai disiplin ilmunya. Karir adalah sebuah kata dari bahasa Belanda carier yang berarti, perkembangan dan kemajuan dalam
kehidupan, pekerjaan dan jabatan seseorang.44 Menurut Kamus besar
Bahasa Indonesia, Karir (Belanda) yang berarti pertama,
perkembangan dan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan dan jabatan. Kedua, pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.45
Selain itu, kata karir selalu dihubungkan dengan tingkat atau jenis pekerjaan
seseorang. Menurut Simamora karir merupakan urutan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku-perilaku, nilai-nilai dan aspirasi seseorang hidupnya.46
dalam
rentang
Sedangkan Dalis S mengartikan karir sebagai suatu proses yang
sengaja
diciptakan perusahaan untuk membantu karyawan agar berpartisipasi ditempat kerja.47 Sedangkan Glueck menyatakan karir adalah urusan pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan yang di alami seseorang selama masa kerjanya.48
Selanjutnya Ekaningrum
44
S.C. Utami Munandar, Wanita Karir tatangan dan Peluang, “Wanita dalam Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan ............................................... 301 45 http://kamusbesarbahasaindonesia.org/karier/mirip.htm. Diakses Pada tanggal 5 Februari 2014, pkl 13.00. 46 Simamora Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia...................................................................505. 47 Dalil, Soendoro, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia..........................................277. 48 Glueck, Greer, C.G, Strategy ang Human Resouces a General Managerial Perspective, (NJ: Prentice Hall, Englewood Clifft, 1997). Hlm, 134.
30
berpendapat bahwa karir digunakan untuk menjelaskan mengenai orang-orang pada masingmasing peran atau status.49 Sedangkan perempuan karir seperti yang disampaikan Munandar, adalah perempuan yang bekerja untuk mengembangkan kemampuannya.50 Pendapat lain menambahkan bahwa perempuan karir adalah perempuan yang mempergunakan waktunya untuk bekerja baik di dalam rumah maupun di luar rumah dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan yang akan dipergunakan bagi kebutuhan keluarga.51
Menurut Vauren perempuan karir adalah
perempuan yang digaji seseorang untuk melaksanakan tugas pada waktu dan tempat tertentu untuk menjadi pekerja atau karyawan.52 Sedangkan menurut Anoraga, perempuan karir adalah perempuan yang memperoleh atau mengalami perkembangaan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan dan lain-lain.53 Keterlibatan dan alasan yang mendorong ibu rumah tangga menjadi perempuan karir, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan yaitu: 54
Bertambahnya sumber finansial bagi keberlangsungan hidup anggota keluarga.
Meluasnya network (jaringan penghubung) atau Kebutuhan sosio-rasional
Tersedianya kesempatan untuk menyalurkan bakat dan hobi.
Terbukanya kesempatan untuk mewujudkan citra diri yang positif dan kebutuhan aktualisasi diri. Seperti yang di ungkapkan oleh Abraham Maslow, tingkat tertinggi manusia adalah aktualisasi diri.55
49
(http://www.sarjanaku.com/2012/09/pengertian karir menurut para ahli dan.html?m=1).Diakses Pada tanggal 5 Februari 2014, pkl 13.00. 50 S.C Utami Munandar, Wanita Karir Tantangan dan Peluang, “Wanita dalam Mayarakat Indonesia Akses, pemberdayaan dan Kesempatan.................................................301. 51 M.W., Endar, Erni M., dan Mu’arifudin, Peranan Perempuan dalam Mencegah Bahaya Korupsi, Karya Tulis Ilmiah Bidang Sosial. Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES, Semarang, 2008. 52 Vauren (dalam Sagita, R. (2003). Hubungan antara intelegensi dengan kemampun menghadapi stress pada wanita karir di PEMDA Situbondo. Skripsi, Program Sarjana Psikologi. Digilib Universitas Muhammadiyah, Malang. 53 Panji, Anoraga. Psikologi kerja, ............................................. 33. 54 Khairiya.,2011.,(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2206415-pengertian-wanita-karier/). Diakses 01 Februari 2014, pkl 18.00.
31
Sementara itu, ada juga faktor-faktor yang menghambat perempuan dalam menjalani karirnya yaitu: 56
Aspek pengasuhan anak,
Komunikasi dan interaksi dengan anak dan suami,
Waktu untuk keluarga,
Dukungan anggota keluarga,
Tekanan karir, ketika perempuan yang bekerja dituntut untuk menunjukkan dedikasi, keuletan, ambisius, mandiri, progresif dan bermotivasi tinggi.
Stres akibat tuntutan bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (lelah secara psikis), tekanan yang timbul akibat peran ganda itu sendiri (kemampuan manajemen waktu dan rumah tangga merupakan kesulitan yang paling sering dihadapi oleh para ibu berkarir), dan pekerjaan di kantor sangat berat.
Tuntutan sosial menghendaki perempuan dapat bersifat feminin (lembut, hangat, mementingkan keluarga, tidak berperilaku kompetitif, agresif dan ambisius); Peran ganda yang dilakukan perempuan merupakan perilaku dan tindakan sosial yang
diharapkan dapat menciptakan stabilitas dan harmoni dalam keluarga.57 Peran ganda yang diemban oleh perempuan ini sangat riskan dengan konflik keluarga-pekerjaan. Konflik dalam keluarga sangat berpengaruh dengan perilaku kerja dan kinerja seseorang. 58 Konflik-konflik tersebut akan menghambat proses pelaksanaan suatu pekerjaan. Apalagi pada perempuan yang bekerja, karena konflik yang dihadapi dapat menyebabkan seseorang tidak dapat
55
http://www.raswck.com/aktualisasi-diri-menurut-abraham-maslow. Diakses pada tanggal 20 Juni 2014 pkl 11.00. 56 Sekaran, U, Dual Career Families......................................, 8. 57 Sulqifli.,2010.,http://www.unm.ac.id/berita-unm/19-berita/30-peran-ganda-perempuan-menciptakanpergeseran-nilai-dalam-keluarga.html. Diakses 1 Februari 2014. Pkl 20.00. 58
B. S. Sastrohadiwiryo, Manajemen tenaga kerja Indonesia pendekatan administratif dan operasional. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Hlm,
32
berfungsi secara maksimal. Menurut Sekaran ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik peran ganda, yaitu pengasuhan anak dan bantuan pekerjaan rumah tangga, komunikasi dan interaksi dengan keluarga, waktu untuk keluarga, penentuan prioritas sebagai seorang istri, dan tekanan karir dan keluarga.59
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Cinnamon dan Rich menunjukkan perempuan yang bekerja ternyata lebih sering mengalami konflik dan permasalahan serta lebih menekankan pentingnya permasalahan keluarga dibandingkan pekerjaan, ketika keluarga sebagai domain yang paling penting bagi kebanyakan perempuan.60 Pandai membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan, tuntutan yang sangat penting bagi seorang perempuan karir. Hal inilah yang diungkapkan oleh Sri Dasa Utama. Meski sibuk dengan berbagai kegiatan dan aktivitas, namun harus berusaha tidak menomordukan keluarga.61 Selain itu menurut Suriyasam dalam Budiman, bahwa faktor penting yang dapat mengurangi dilema antara keluarga dan pekerjaan bagi perempuan adalah adanya dukungan dari suami.62 Sekaran mengatakan bahwa dukungan dan bantuan yang diberikan suami dan anggota keluarga lainnya akan memberikan kesempatan kepada istri untuk mengembangkan karirnya. Adanya dukungan sosial dari anggota keluarga ini akan memberikan rasa aman bagi perempuan untuk berkarir. Hal ini sangat berkaitan dengan hak dan kedudukan suami istri di dalam perkawinan dilindungi oleh Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 31 ayat 1 yaitu “ Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat”.63 Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, dimana individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa
59
U. Sekaran, Dual career families. ......................................., R. G. Cinnamon & Y Rich, Gender differences in the importance of work and family roles: Implications for work-family conflict..........................................531-541. 61 Sri Dasa Utama., 2014., www/radar-utara.com/berita/1122/sulit-atur-waktu-butuh-support-suami. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2014. Pkl 16.48 wib. 62 Budiman (2002), Persepsi efektivitas kinerja karyawan ditinjau dari konflik peran ganda isteri dan dukungan sosial rekan kerja. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. 63 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_no 74.htm, Diakses Pada tanggal 5 Agustus 2013, pkl 13.00. 60
33
dukungan seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan emosional sehingga individu merasa nyaman.64 Hal tersebut sesuai dengan penelitian French dan Tellenback, Breuner, Sten-Olof, dan Lofgren menemukan bahwa dukungan sosial dapat mencegah terjadinya psychological distress di lingkungan kerja. Menurut Riggio stres kerja sebagai reaksi fisiologis dan atau psikologis terhadap suatu kejadian yang dipersepsi individu sebagai ancaman.65 Evan dan Johnson menyebutkan bahwa stres kerja merupakan satu faktor yang menentukan naik turunnya kinerja karyawan. Penelitian ini juga didukung Luthans bahwa pemicu stres kerja tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang tidak nyaman.66 Menurut Beehr mengungkapkan bahwa gangguan psikologis yang paling sering terjadi sebagai akibat stres kerja adalah kecemasan dan depresi.67 Stres kerja merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang menghambat performance individu. Menurut Sheridan dan Radmacher serta Gibson, Ivancevich, dan Donnely stres kerja dipengaruhi oleh kondisi organisasi, seperti penetapan arah dan kebijaksanaan organisasi, perubahan strategi organisasi, dan keuangan, tuntutan kerja, tanggung jawab atas orang lain, perubahan waktu kerja, hubungan yang kurang baik antar kelompok kerja dan konflik peran. Akibatnya konsentrasi kerja terganggu, kinerja kurang memuaskan dan individu tidak dapat memenuhi tuntutan pekerjaannya karena kurangnya dukungan sosial.68
64
R. S. Lazarus, Emotional and adaptation. (New York: McGraw-Hill Publishing Company, 1991). E. R. Riggio, (2003). Introduction to industrial organizational psychology. (New York: Harper Collins Collage Publisher, 2003). Hlm, 25. 66 F. Luthans, Organizational behavior. (Singapore: McGraw-Hill Books Company, 1998). Hlm, 23. 67 T. A. Beehr, Psychological stress in the workplace. (London: Routledge, 1985) 68 F. Luthans, Organizational behavior. ............................................ 23. 65
34
Menurut Orenstein bahwa peran ganda dapat membuat perempuan sulit meraih sukses di bidang pekerjaan, keluarga, dan hubungan interpersonal sekaligus. 69 Penelitian Alfadiomi dan Fathul tentang ibu dan karir menunjukan bahwa ibu yang bekerja (berkarir) mengalami dilema.70 Seorang perempuan dalam statusnya sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir sering kali dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Memilih karir atau keluarga atau memilih keduanya dengan berbagai hambatan-hambatannya. Memang penyebab dan dampak pada tiap perempuan tidak sama, tetapi semuanya bersumber pada keinginan untuk menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Sehingga yang muncul dipermukaan kesadaran adalah bahwa karir adalah dilema bagi perempuan atau ibu rumah tangga yang berkarir.
2.6 Gereja Kristen Jawa dan Perempuan Karir Dikatakan bahwa : “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat.Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan Hukum Taurat.” (1 Korintus 14:34) 71 Demikianlah Paulus menulis kepada orang-orang Korintus di pertengahan abad pertama, rasul yang sama menulis kepada orang-orang Galatia bahwa : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28).72 Mana yang benar? Persamaan dan kebebasan untuk menjadi “satu di dalam Kristus” atau diam? Sebagaiman kita tahu, kata-kata Paulus kepada orang-orang Korintus. Jemaat 69
(http://www.google.co.id/search?hl=id&q= peranganda perempuan menurut Orenstein). Diakses pada tanggal 05 Mei 2014, pkl 21.13 70 Alfadiomi dan Fathul, Ibu dan Karir : Kajian Fenomenologi Terhadap Dual-Career Family, Jurnal Psikologi, Vol 32, No 1, (Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 2005). 71 1 Kor. 14:34 72 Gal. 3:28
35
Korintus menguatirkan para perempuan yang menjadi anggota gereja baru itu akan melakukan sebagian dari praktek-praktek berhala ini. Hal pertama nasehat Paulus terhadap mereka merupakan pengertian umum yang murni : perempuan dalam jemaat Kristen harus menutupi rambut dan memakai cadar (1 Kor. 11:1-6),73 sehingga mereka tidak disamakan dengan pelacur-pelacur itu, yang rambutnya panjang dan terurai. Hal kedua lebih jauh adalah : “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkanuntuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemua Jemaat.” (1 Korintus 14 : 34-35)74 Ini adalah saran yang tidak mengherankan karena dikemukakan seorang lelaki yang dibesarkan dalam suatu kebudayaan di mana perempuan jelas ditentukan sebagai istri, ibu, pengurus rumah tangga, dan tidak akan pernah boleh terlibat dalam perdebatan-perdebatan. Akan tetapi, jika kita melihat apa yang terjadi sebelum zaman Paulus, hanya dua puluh atau tiga puluh tahun ke zaman Injil dan Kisah para Rasul, kita melihat karakter perempuan yang agak berbeda muncul. Pertama terdapat perempuan-perempuan yang diperbaharui oleh Kristus sendiri dan menjalani kehidupan sebagai murid yang sulit dan penuh resiko seiring dengan para rasul lelaki. Di abad-abad permulaan perempuan-perempuan gereja mengajar dan berkotbah dalam semangat kebangkitan. Paulus sendiri menulis dalam salah satu suratnya yang paling sering diceritakan, surat-surat kepada gereja di Filipi, bahwa perempuan memegang posisi-posisi kepemimpinan. Berabad-abad setelah itu, suara perempuan jarang didengar lagi. Sementara gereja mula-mula berjuang untuk hidup di dunia ini, mereka semakin tergantung pada
73 74
1 Kor. 11:1-6 1 Kor. 14:35
36
“peraturan-peraturan” seperti nasehat Paulus tentang perilaku perempuan.75 Dan betapa lebih mudahnya berpegang pada peraturan yang terpenggal dari pada suatu konsep yang mempertahankan laki-laki dan perempuan menjadi “satu dalam Kristus”. Sikap gereja sudah memberikan akibat-akibat yang sulit dijangkau dalam kehidupan perempuan selama hampir dua ribu tahun. Bahkan sekarang ini, di banyak gereja di seluruh dunia, khususnya di GKJ, para perempuan masih belum berpatisipasi penuh. GKJ merupakan gereja yang berciri sosiologis gereja suku artinya suku serta budaya Jawa merupakan faktor penting bagi perkembangan dan kelanjutannya. Berkenaan dengan masalah kedudukan dan peran perempuan dalam gereja, secara khusus dalam pemerintahan gerejawi, sebetulnya sudah lama GKJ menyadari dan merasakan adanya persoalan ini. Margareth Mead, menyatakan bahwa dikhotomi seks ada pada setiap masyarakat.76 Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, tidak secara otomatis menciptakan ketidaksetaraan di antara keduanya, yang oleh Francoise Heritier dinyatakan bahwa implikasi ketidaksetaraan dimaksud meresap ke semua aspek kehidupan. Apakah perempuan boleh dicalonkan menjadi anggota majelis, pertanyaan yang muuncul pada sidang Sinode tahun 1994. Pertanyaan serupa muncul lagi dalam sidang Sinode tahun 1956, dari GKJ Purworejo. Jawab sidang sinode tehadap pertanyaan tersebut yaitu, mboten kenging (tidak boleh). Delapan tahun kemudian, pada sidang Sinode tahun 1964, muncul lagi usulan berkenaan dengan perempuan dalam jabatan gerejawi. Sidang akhirnya menyetujui bahwa perempuan diperbolehkan memegang jabatan di dalam gereja, sebagai Pendeta, Penatua dan Diaken.77 Untuk jabatan Penatua dan Diaken di dalam gereja, beberapa jemaat kota telah mempraktekannya, meskipun masih dalam jumlah yang relatif 75
Penerjemah Oloria Silaen_Situmorang, Berita Pembebasan bagi Kaum Wanita, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994). Hlm, 8. 76 Fatmagul Berktay, “Dikhotomi Antara Jiwa dan Tubuh: Masalah Polarisasi di dalam Diri Manusia”, dalam Suralaga&Rosatria (ed), Perempuan: Dari Mitos, 42 77 Siwandargo, Himpunan Pokok Akta Sinode GKJ dalam Sumiyatiningsih.1998. Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa. Gema. STT. Duta Wacana. Hlm, 33.
37
kecil dan biasanya terbatas pada jabatan Diaken. Meskipun secara teoritis GKJ telah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk mengambil bagian di bidang pemerintahan gereja, tetapi di dalam praktik rupanya masih dijumpai banyak hambatan. Penyebab dari adanya perbedaan partisipasi perempuan dan laki-laki tersebut cukup banyak dan komplek. Disini akan dicatat dua penyebab utama yang menojol. Petama, karena GKJ adalah gereja suku, jelas sedikit banyak nilai-nilai di dalam kebudayaan dan tradisi Jawa mengenai citra perempuan dan kaitannya dengan kedudukan dan peranannya merembes dan mempengaruhi sikap dan perilaku gereja terhadap perempuan. Kedua, pengaruh dari pandangan Alkitab, khusunya pandangan yang kurang menguntungkan perempuan yang pada dasarnya berakar kepada cara berpikir, sistem kemasyarakatan dan cara bertehologia yang bercorak patriarkis. Salah satu ciri dari theologia patriakal adalah yang menyangkut pemahaman tentang Allah bersifat kepriaan. Secara dominan, ciri-ciri yang diberikan kepada Allah tersebut pada hakekatnya adalah identik dengan ciri-ciri yang diberikan kepada laki-laki. Dengan kata lain, deskripsi, secara patriarkal mengenai Allah adalah menggambarkan idealisme laki-laki terhadap dirinya sendiri. Menurut Kejadian 2, kaum perempuan dinomorduakan, karena penciptaan Hawa mengikuti penciptaan Adam dan Hawa diberikan sebagai penolong kepada Adam.
Sehingga pada waktu yang sama, semakin jauh
menyisihkan perempuan dari kehidupan agamawi dan kehidupan sosial. Keadaan ini diringkaskan oleh Mary Daly sebagai “Seluruh konsep sistem theologia dan etika berkembang di bawah kondisi ‘patriarchy’, merupakan produk kaum laki-laki dan cendrung melayani minat masyarakat yang’sexsit’.78
78
Mary Daly dalam Sumiyatiningsih.1998. Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa. .....................................38.
38
Selain itu juga, pengasingan perempuan dari kepemimpinan jemaat bermula dari sikap gereja awal yang tidak mampu meneruskan sikap Yesus yang memperlakukan dan menghadapi perempuan sebagai manusia secara penuh, dan tidak menghadapinya secara ‘stereotype’ (klise) sebagaimana pola kebiasaan yang belaku. Dalam beberapa hal tertentu, dan terutama dalam surat-surat pastoralnya kepada Jemaat dan beberapa pribadi, rupanya Paulus telah mengabaikan sikap Kristus terhadap perempuan. Hal ini merupakan titik awal dari proses jalannya sejarah gereja, khususnya yang berhubungan dengan masalah partisipasi perempuan dalam pemerintahan gereja. Hal yang kurang menguntungkan posisi perempuan tersebut dikemukakan pada saat gereja-gereja sedang mengorganisir diri dan mulai menginstitusikan pelayanannya. Oleh karena itu, pengasingannya terhadap perempuan tersebut telah turut menentukan pola keputusan-keputusan gereja selanjutnya, terutama bagi gereja-gereja protestan yang sikap dan perlakuannya kepada perempuan sering didasarkan kepada theologia Paulus. Selama berabad-abad kedudukan dan peran perempuan di dalam gereja, secara khusus dalam pemerintahan gereja, telah berkembang dalam bayang-bayang prasangka seksual dan diperkuat lagi oleh pengaruh institusi gereja pada abad pertama. Dari uraian di atas, bahwa di lingkungan GKJ masih terdapat keengganan untuk menerima perempuan sebagai Pendeta, Penatua dan Diaken. Hal ini rupanya pertama-tama disebabkan oleh karena pengaruh lingkungan yang menganggap bahwa citra pemimpin gereja tidak cocok dengan citra mereka mengenai perempuan. Keadaan ini lebih diperkuat lagi oleh pandangan theologis yang secara dominan bercorak patriarkal dengan predikat menomor duakan dan menganggap rendah kedudukan perempuan. Oleh karena itu perlu diadakan pemahaman dan pemikiran yang lebih mendalam agar suatu perubahan dapat terjadi. Adanya perubahan-perubahan tersebut perlu diperhatikan oleh gereja dalam perjalanannya menuju ke masa depan dan meninggalkan status quo yang begitu lama dipertahankan; agar pemborosan 39
potensi manusia, talenta dan karunia yang dimiliki oleh gereja tidak diboroskan dan disiasiakan, lebih jauh lagi tak ada pihak-pihak yang harus di korbankan. Kalau kita memahami identitas laki-laki dan perempuan sesuai dengan teks dalam kitab Kej. 1:26-27,79 ada dua hal yang ditekankan disitu : 1. Pada hakekatnya, Tuhan memberikan hubungan yang istimewa kepada perempuan dan laki-laki dan dengan diriNya sendiri, 2. Bahwa laki-laki dan perempuan menjadi wakil dan perantara Allah di dalam memerintah bumi dan segala isinya.80
79
Kej. 1:26-27 Letty M. Russell dalam Sumiyatiningsih.1998. Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa. ...................................................40. 80
40