TANTANGAN KARIR MANAJER PEREMPUAN SEKTOR PERBANKAN DI KOTA MAKASSAR Mahlia Muis 1) , Cepi Pahlevi 2) , Otto Randa Payangan 3) 1)
Economic faculty, Hasanuddin University (
[email protected]) 2) Economic faculty, Hasanuddin University (
[email protected]) 3) Economic Faculty, Hasanuddin University (
[email protected])
Abstrak - Meskipun adanya data dan fakta mengenai perkembangan posisi kepemimpinan perempuan, menerima perempuan sebagai seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Adanya konstruksi sosial yang terbentuk dari sebuah realitas bahwa perempuan memiliki aspirasi untuk menjadi pemimpin di dalam sektor publik, bisnis, dan politik seringkali mengalami dan harus menerima kenyataan :‟look like a lady‟ versus „act like a man‟. Ini mendukung asumsi adanya Glass ceiling (langit-langit kaca) bagi perempuan untuk meniti posisi kepemimpinan dalam manajemen sebuah organisasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor Stereotip jender, diskriminasi seksual, network access , work-family conflict, dukungan keluarga dan dukungan mentor berpengaruh terhadap keberadaan glass ceiling pada manajer perempuan di sektor perbankan di Kota Makassar. Populasi penelitian adalah seluruh manajer perempuan pada level low-middle-top manajer yang bekerja pada 108 bank (45 jenis bank dan 63 kantor cabang) yang beroperasi tahun 2013 di Kota Makassar. Teknik penarikan sampel menggunakan stratified random sampling terhadap 45 jenis bank. Hasil penelitian menemukan bahwa akses ke jaringan professional dan dukungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap keberadaan glass ceiling pada manajer perempuan sektor perbankan di kota Makassar.
Kata kunci: glass ceiling, stereotip jender, diskriminasi seksual, network access, work-family conflict, dukungan keluarga, dukungan mentor. atas ke-khasan kepemimpinan yang mereka jalankan. I. PENDAHULUAN Keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan pekerjaan Sejak dekade 1990-an jumlah perempuan yang (employment) mengisahkan dua sisi yang berbeda yakni bekerja di perusahaan- perusahaan maupun organisasi good stories dan bad stories sebagaimana diungkap pemerintahan, baik di posisi managerial maupun non dalam tulisan Randy Albenda, yang berjudul Industrial managerial mengalami kenaikan, saat ini, banyak relation Journal mengenai peningkatan peran perempuan yang bekerja di perusahaan maupun di perempuan dalam organisasi juga mampu menembus instansi pemerintah. Berdasarkan Badan Pusat statistik posisi manajerial, sekalipun dalam posisi yang sangat (2012), selama setahun belakangan ini pekerja terbatas yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. perempuan di Indonesia bertambah hampir 4 juta orang. Namun ada pula kabar buruk yakni adanya perlakuan Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga diskriminatif kebijakan manajemen organisasi/ terjadi di negara lain. Partisipasi perempuan dalam perusahaan terhadap kaum perempuan. pembangunan terlihat di berbagai bidang, perempuan Keterlibatan dan peningkatan karier perempuan sedang membuat terobosan dan memainkan peranan dalam organisasi tidak hanya terjadi di negara benua baru sebagai jawaban atas tuntutan dalam masyarakat Amerika, terutama di Amerika Serikat dan Kanada serta masa kini. Perempuan diberdayakan sebagai tenaga di negara lainnya di Eropa, Negara Asia seperti Jepang, kerja dan secara signifikan memberikan kontribusi bagi China, Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, kehidupan masyarakat dan kemajuan ekonomi. Dunia Thailand, dan bahkan Indonesia (Hess, 1997). Jumlah mengenal nama-nama seperti Indira Gandhi, Corazon manager perempuan di negara-negara tersebut terus Aquino, Benazir Bhutto, Golda Meir, Margaret bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang Thatcher, Megawati Soekarno Putri dan Hilary Clinton. terjadi secara kontras serta rata-rata tingkat pendidikan Semuanya adalah perempuan yang berkecimpung di kaum perempuan yang mengalami peningkatan. bidang politik, yang diakui banyak orang memiliki Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan kharisma tersendiri karena mampu bersaing dengan para diyakini mampu membangun martabat dan kapasitas politikus laki-laki dan mendapatkan tempat tersendiri individu sehingga pada akhirnya kaum perempuan Proceedings SNEB 2014: Hal. 1
memiliki kemampuan untuk terlibat dalam proses yang terjadi di sektor publik dan bisnis yang lebih dahulu didominasi oleh kaum laki-laki. Sekalipun demikian harus disadari bahwa kaum perempuan masih mengalami sejumlah diskriminasi dalam beberapa bidang. Dalam perusahaan-perusahaan, perempuan masih mengalami berbagai perlakuan negatif terutama berkaitan dengan promosi karyawan, kelanjutan karier setelah berumah tangga, diskriminasi upah dan berbagai hal lainnya, karena masih dianggap lebih pantas sebagai perempuan yang berada di rumah sebagai pengurus anak dan keluarga, berkaitan dengan peran kodrat alami sebagai perempuan pegurus rumah tangga. International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah antar gender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Meskipun adanya data dan fakta mengenai perkembangan posisi kepemimpinan perempuan, menerima perempuan sebagai seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Adanya konstruksi sosial yang terbentuk dari sebuah realitas bahwa perempuan memiliki aspirasi untuk menjadi pemimpin di dalam sektor publik, bisnis, dan politik seringkali mengalami dan harus menerima kenyataan :‟look like a lady‟ versus „act like a man‟. Ini mendukung asumsi adanya Glass ceiling (langit-langit kaca) bagi perempuan untuk meniti posisi kepemimpinan dalam manajemen sebuah organisasi. Istilah glass ceiling ini pertama kali dikemukakankan oleh Gay Bryant pada suatu artikel di Adweek pada tahun 1984. Istilah ini kemudian menjadi leksikon Amerika setelah ada tulisan di Wall Street Journal pada tahun 1986 tentang barikade tak nampak yang menghalangi peningkatan karier perempuan di jajaran angkatan kerja Amerika (invisible barriers that impede the career advancement of women in the American workforce). Istilah ini bahkan ditanggapi secara serius oleh Kementerian Tenaga Kerja AS dengan membentuk suatu badan kajian pada tahun 1991. Temuan dari komisi ini mengkonfirmasikan adanya glass ceiling barrier pada pekerja perempuan bahkan sudah dimulai pada awal-awal kariernya. Istilahnya, sesama pekerja laki-laki sudah jauh melejit kariernya, sementara pekerja perempuan itu masih tetap berada di posisi terendah. Temuan dari komisi ini mengindikasikan bahwa glass ceiling ini utamanya disebabkan karena sikap stereotyping, prejudice, dan bias jender (memandang kedudukan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki secara sadar ataupun
tidak sadar). (ilust.holykaw.alltop.com., Diakses tanggal 7 Desember 2013) Di Indonesia, kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan menjadi lebih terakomodir dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep pengarusutamaan gender merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan serta evaluasi terhadap program pembangunan nasional (Silawati, 2006). Peraturan tersebut sangat diharapkan berdampak pada peningkatan kesetaraan gender untuk memperoleh kesempatan dalam berpartisipasi pada berbagai kegiatan, kesetaraan dalam pengembangan karir, sehingga pemberdayaan dan keberdayaan mereka juga akan meningkat. Di Kota Makassar khususnya saat ini beroperasi 45 jenis Bank (BPS Sul-Sel 2012). Ke 45 jenis Bank tersebut terdiri dari 4 Bank Persero, 7 bank umum syariah non-devisa, 4 Bank Pembangunan Daerah, 4 bank campuran, 1 bank asing, dan 25 bank devisa. Jadi secara total terdapat 45 jenis bank yang beroperasi di Kota Makassar.(Statistik BI, Oktober 2013). Adapun Jumlah pegawai bank di kota Makassar adalah 1425 orang terdiri dari 570 orang perempuan dan 855 orang laki-laki. Karyawan yang berada pada level manajer adalah 203 orang (pimpinan unit) dan level officer adalah berjumlah 315 orang (pemegang kewenangan).(statistik BI, Oktober 2013) Adapun data tentang jenis bank yang beroperasi di kota Makassar seperti terlihat pada tabel berikut Tabel 1. Jenis-Jenis Bank yang beroperasi di Kota Makassar (2013)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Bank PT Bank Negara Indonesia Tbk PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Bank Tabungan Negara Tbk PT Bank Mandiri Tbk PT Bank Bri Syariah PT Bank Kesejahteraan Ekonomi PT Bank Pundi Indonesia Bank Syariah Bukopin Bank Tabungan Pensiunan Nas. PT Centratama Nasional Bank PT Nasional Nobu Bpd Sulsel-Barb Bpd Jabar Dan Banten Bank Papua Proceedings SNEB 2014: Hal. 2
15 16
Bank Dki Bank Commlonwealth
17 18 19 20 21 22
Bank Anz Indonesia Bank Dbs Indonesia PT Rabo Bank Int.Indonesia Standard Chartered Bank Bank Briagro Tbk Bank Arta Graha Tbk
23 24 25 26 27 28
PT Bni Syariah Tbk Bank Bukopin Bank Central Asia Tbk Bank Cimb Niaga Tbk Bank Danamon Indonesia Bank Ekonomi Raharja Tbk
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Bank Icb Bumiputera Tbk PT Bii Tbk Bank Mayapada Int. Bank Mega Bank Muamalat Bank Mutiara Tbk Bank Ocbc Nisp Bank Of India Ind. Bank Permata Tbk Bank Sinarmas Bank Syariah Mandiri Bank Mega Syariah
41 42
Bank Uob Indonesia Pan Indonesia Bank
43 44
Qnb Bank Kesawan Tbk PT Bank Bumi Artha
45 Bank Ocbc Syariah Sumber : statistik BI oktober 2013 Di Kota Makassar khususnya saat ini beroperasi 45 jenis Bank (BPS Sul-Sel 2012). Ke 45 jenis Bank tersebut terdiri dari 4 Bank Persero, 7 bank umum syariah non-devisa, 4 Bank Pembangunan Daerah, 4 bank campuran, 1 bank asing, dan 25 bank devisa. Jadi secara total terdapat 45 jenis bank yang beroperasi di Kota Makassar.(Statistik BI, Oktober 2013). Adapun Jumlah pegawai bank di kota Makassar adalah 1425 orang terdiri dari 570 orang perempuan dan 855 orang laki-laki. Karyawan yang berada pada level manajer adalah 203 orang (pimpinan unit) dan level officer adalah berjumlah 315 orang (pemegang kewenangan).(statistik BI, Oktober 2013)
II.
LANDASAN TEORI, KAJIAN EMPIRIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Praktik manajemen sumber daya manusia khususnya topik tentang pengembangan karir dalam perusahaan merupakan topik yang banyak diangkat dalam penelitian. Isu tentang perbedaan karir perempuan dan laki-laki menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti. Menurut Gibson et. al. (1995), karir merupakan rangkaian sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang. Karir juga merupakan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Jika berbicara mengenai karir, maka tidak lepas dari perempuan. Perempuan dalam manajemen menjadi topik penting (Wentling,2003). Hal itu terkait dengan adanya peningkatan pekerja perempuan tetapi hanya sedikit yang menduduki posisi senior level management. Perempuan hanya mampu mencapai posisi Middle level management yaitu seseorang yang menjalankan strategi atau kebijakan dari senior level management (Wentling, 2003). Fenomena yang dikenal sebagai glass ceiling dan terkenal mulai tahun1980-an (Burke, 2006). Glass ceiling merupakan pandangan bahwa, perempuan dapat diterima sebagai karyawan perusahaan, tetapi mempunyai kesulitan untuk dipromosikan, terutama pada posisi senior level management (Stoner et. al., 1996). Perempuan dapat melihat peluang di atas tetapi tidak dapat mencapainya. Menurut Burke (2006), glass ceiling merupakan hambatan yang membatasi kelanjutan karir perempuan mencapai posisi yang lebih tinggi. Dalam mencapai posisi tersebut seolah-olah ada hambatan yang tidak nampak (Stoner et. al., 1996). Ada tiga hambatan menurut Federal Glass ceiling Commision dalam Wentling (2003). Pertama, hambatan organisasional yang meliputi kegagalan dalam rekrutmen, pengembangan, dan dukungan terhadap perempuan untuk mencapai posisi senior level management. Kedua, hambatan societal yang bersumber dari hambatan organisasional. Hambatan ini menganggap perempuan kurang mempunyai komitmen terhadap karir. Ketiga, hambatan govermental, disebutkan bahwa pemerintah kurang terlibat dalam fenomena glass ceiling. Penelitian lain yang mendukung tentang adanya glass ceiling ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Maggie Madimbo (2012) yang dilakukan di Malawi yang memberikan kesimpulan bahwa hambatan yang dihadapi oleh perempuan di Malawi untuk mencapai posisi kepemimpinan puncak bukan hanya glass ceiling, tetapi juga keseluruhan struktur termasuk, dinding (wall) dan juga atap (the roof), diperlukan perombakan besar struktur sosial secara keseluruhan untuk memberikan respek kepada perempuan.
Proceedings SNEB 2014: Hal. 3
jenis bank, menjelaskan tujuan penelitian dan diperoleh sampel sebanyak 70 orang. Unit analisis dalam penelitian ini adalah lower-middle-top manajer perempuan yang bekerja di sektor perbankan di Kota Makassar.
2.1 Kerangka Pikir Penelitian GENDERSTEREOTYPING DISKRIMINASI SEKSUAL
3.4 Teknik Sampling
NETWORK ACCESS
WORK- FAMILY CONFLICT
KEBERADAAN GLASS CEILING
DUKUNGAN KELUARGA DUKUNGAN MENTOR Gambar 1. Kerangk Pikir Penelitian 2.2 Hipotesis 1. Diduga bahwa faktor-faktor Stereotip jender, diskriminasi seksual, network access , workfamily conflict, dukungan keluarga dan dukungan mentor berpengaruh terhadap keberadaan glass ceiling pada manajer perempuan di sektor perbankan di Kota Makassar? 2. Diduga bahwa diantara keenam faktor tersebut, faktor work-family conflict yang berpengaruh paling kuat terhadap keberadaan glass ceiling pada manajer perempuan di sektor perbankan di Kota Makassar. III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain survei yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Singarimbun, 2013). 3.2 Populasi Populasi penelitian adalah seluruh manajer perempuan pada level manajerial yang bekerja pada 45 jenis Bank di Makassar dengan 63 kantor cabang dengan jumlah total seluruhnya adalah sebesar 108 bank. 3.3 Sampel Peneliti melakukan kontak dengan Departemen Personalia atau Departemen Public Relation setiap bank yang beroperasi di kota Makassar yang berjumlah 45
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling terhadap 70 manajer perempuan dari 45 jenis bank yang beroperasi di Kota Makassar. Purposive Sampling artinya bahwa penentuan sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap objek yang sesuai dengan tujuan penelitian dalam hal ini penelitian dilakukan pada para karyawan lower-middle-top manajer perempuan yang telah menikah dan mempunyai anak. 3.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel independen a. Work-family conflict Work-family conflict terjadi ketika partisipasi dalam peran kerja dan peran keluarga tidak dapat saling melengkapi (Greenhause dan Beutell dalam Romaniali, 2007). Frone (2000) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Work-family conflict diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Li dan Leung (2001). Pertanyaan pada item work-family conflict berjumlah 3 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=sangat setuju, 2=setuju, 3=netral, 4=tidak setuju dan 5=sangat tidak setuju. b. Network Access Menurut Greenwald, et al., (2002) networking merupakan sesuatu yang dapat mendorong perempuan dan kaum minoritas untuk berkomunikasi dan bertukar informasi dan ide-ide tentang kerja (untuk terlibat dalam jaringan). Networks diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Kattara (2005). Pertanyaan pada item networks berjumlah 3 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=tidak ada sama sekali, 2=sedikit, 3=sedang, 4=banyak, dan 5=sangat banyak. c. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga merupakan keadaan dimana individu merasa sangat membutuhkan dukungan individu lain untuk membantu mengatasi perubahan keadaan dan situasi yang akan mempengaruhi sistem dukungan internal, keadaan peralihan (pindah, cerai), perubahan situasi (kematian pasangan, perubahan anggota keluarga), sikap atau perilaku atau karakteristik tertentu (kemarahan atau kemampuan sosial yang kurang). Dukungan keluarga bisa berupa sikap, dukungan emosi atau material (Greenhaus dan Beutell dalam Romaniali, 2007). Dukungan keluarga diukur
Proceedings SNEB 2014: Hal. 4
dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Kattara (2005). d. Dukungan Mentor Mentor pada umumnya adalah seseorang yang berusia lebih tua, memiliki banyak pengalaman, dan senioritas dalam dunia kerja. Mentoring adalah hubungan yang saling mendukung antara seorang yunior dengan seniornya yang menawarkan dukungan, arahan, dan bantuan secara nyata ketika si yunior melalui periode-periode sulit, yaitu memperoleh tugas-tugas penting atau memperbaiki masalah-masalah yang sudah ada. Dukungan mentor diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Kattara (2005). Pertanyaan pada item dukungan mentor berjumlah 4 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=sangat setuju, 2= setuju, 3=netral, 4=tidak setuju, dan 5=sangat tidak setuju. e. Stereotip jender Pengertian stereotip adalah pelekatan sifat terhadap individu atau kelompok tertentu. Jender stereotip berarti bahwa laki-laki memiliki karakter maskulin dan perempuan memiliki karakter feminin. Anggapan bahwa sifat-sifat yang dimiliki perempuan harus lembut, tidak agresif dan tidak dominan atau disebut feminin, mengkondisikan perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam meraih karir, karena dianggap sifat demikian tidak sesuai untuk memegang posisi yang lebih tinggi atau menduduki jabatan tertentu. Pertanyaan pada item stereotip jender berjumlah 3 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=sangat setuju, 2= setuju, 3=netral, 4=tidak setuju, dan 5=sangat tidak setuju. f. Diskriminasi seksual Diskriminasi seksual terjadi ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik jenis kelamin. Diskriminasi seksual di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya hanya karena karakteristik jenis kelamin yang dimilikinya. Pertanyaan pada item diskriminasi seksual berjumlah 4 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=sangat setuju, 2= setuju, 3=netral, 4=tidak setuju, dan 5=sangat tidak setuju. Variabel dependen Keberadaan glass ceiling Flanders dalam Li dan Leung (2001) menggunakan ungkapan glass ceiling untuk menyimpulkan kegagalan para perempuan pekerja pada setiap level yang mereka butuhkan untuk kemajuan tetapi mereka menemukan suatu penghalang yang tak kelihatan. Glass ceiling adalah suatu penghalang transparan yang berlaku bagi para perempuan sebagai suatu kelompok untuk naik tingkat ke posisi yang lebih tinggi hanya karena mereka adalah perempuan. Glass ceiling artinya praktik diskriminasi yang menghalangi perempuan dan anggota kelompok minoritas lainnya untuk naik ke posisi pekerjaan tingkat eksekutif . Keberadaan glass ceiling
diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Kattara (2005). Pertanyaan pada item keberadaan glass ceiling berjumlah 1 pertanyaan dengan alternatif jawaban 1=sangat setuju, 2= setuju, 3=netral, 4=tidak setuju, dan 5=sangat tidak setuju. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil olah data menunjukkan bahwa keseluruhan variabel mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberadaan glass ceiling, hal ini ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi (R) sebesar 0,499, dan besarnya variasi glass ceiling yang disebabkan oleh keenam variabel independen sebesar 0,249, dan sisanya sebesar 0,751 disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Model Summary Model R R Square Adjusted R Std. Error of Square the Estimate 1 .499a .249 .176 .78670 a. Predictors: (Constant), DUKKEL, DISKSEKS, AKSJARINGAN, DUKMEN, KONFKEL, STREOGEN Hasil olah data membuktikan bahwa ada pengaruh bersama yang signifikan antara variabel dukungan keluarga, diskriminasi seksual, akses ke jaringan, dukungan mentor, konflik pekerjaan-keluarga, dan stereotip gender terhadap keberadaan glass ceiling. Hal ditunjukkan oleh table di bawah ini yang menunjukkan signifikansi sebesar 0,006 yang lebih kecil dari pada 0,05, artinya hipotesis pertama yang menduga bahwa ada pengaruh antara variabel dukungan keluarga, diskriminasi seksual, akses ke jaringan, dukungan mentor, konflik pekerjaan-keluarga, dan stereotip gender terhadap keberadaan glass ceiling diterima. ANOVAa Model Sum of df Mean F Squares Square Regression 12.701 6 2.117 3.420 1 Residual 38.371 62 .619 Total 51.072 68 a. Dependent Variabel: GLASSCEILING b. Predictors: (Constant), DUKKEL, DISKSEKS, AKSJARINGAN, DUKMEN, KONFKEL, STREOGEN Berdasarkan hasil olah data menunjukkan bahwa secara parsial, dari keenam variabel independen, hanya ada dua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap keberadaan glass ceiling. Kedua variabel tersebut adalah dukungan keluarga dan akses ke jaringan (networks access) yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,012 dan 0,014, seperti diperlihatkan pada table berikut ini:
Proceedings SNEB 2014: Hal. 5
Sig. .006b
Model
(Constant) DISKSEKS STREOGEN 1 AKSJARINGAN KONFKEL DUKMEN DUKKEL Dependent Variabel: GLASSCEILING
Unstandardized Coefficients B Std. Error 4.389 1.459 .182 .211 -.156 .226 -.572 .225 -.177 .228 .384 .259 -.283 .109
Standardized Coefficients Beta .104 -.084 -.283 -.090 .169 -.303
t
Sig.
3.009 .862 -.690 -2.536 -.779 1.484 -2.591
.004 .392 .493 .014 .439 .143 .012
Proceedings SNEB 2014: Hal. 6
Variabel yang paling besar mempengaruhi terhadap keberadaan glass ceiling adalah akses ke jaringan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar -0,572, artinya jika akses ke jaringan naik sebesar satu satuan persepsi, maka keberadaan glass ceiling akan turun sebesar 0,572, sebaliknya jika akses ke jaringan turun sebesar satu satuan persepsi maka keberadaan glass ceiling akan naik sebesar 0,572 satuan persepsi. Dengan demikian hipotesis yang menduga bahwa pengaruh yang terbesar dari keenam variabel independen dukungan keluarga, diskriminasi seksual, akses ke jaringan, dukungan mentor, konflik pekerjaankeluarga, dan stereotip gender terhadap keberadaan glass ceiling adalah variabel akses ke jaringan diterima. V.
KESIMPULAN
Kurangnya jaringan merupakan predictor pertama terbesar dari keberadaan glass ceiling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga jenis jaringan, manajer perempuan di Kota Makassar mempunyai akses yang terkecil terhadap jaringan professional dan jaringan perkumpulan laki-laki. Seperti yang terjadi di Negara Asia umumnya, wanita di Makassar tersingkirkan dari jaringan lakilaki. Nilai-nilai budaya merupakan kendala manajer perempuan untuk memberikan entertainment kepada rekan kerja mereka terutama di tempattempat seperti “private clubs” atau lapangan golf yang notabene adalah tempat-tempat yang dikenal sebagai tempat untuk melakukan perjanjian bisnis. Karena tempat-tempat tersebut sangat eksklusif, manajer perempuan mempunyai kesempatan yang terbatas untuk bersosialisasi dengan eksekutif yang berkuasa yang dapat membantu dalam pengembangan karir mereka. Penelitian ini juga menemukan bahwa manajer perempuan di sektor perbankan di kota Makassar merasa adanya kendala yang sangat kuat untuk memperoleh akses ke jaringan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh jadwal pekerjaan mereka yang sangat padat dan tidak fleksibel yang membatasi mereka bergabung dalam kegiatan-kegiatan asosiasi professional. Ketiadaan dukungan keluarga adalah prediktor kedua yang mempengaruhi keberadaan glass ceiling. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Tang (1988) yang menunjukkan bahwa untuk manajer perempuan di Asia menghadapi tantangan yang sangat sulit dalam menghadapi suami dan mertua mereka, yang senantiasa mengukur nilai-nilai mereka dari seberapa besar kadar perhatian yang diberikan terhadap keluarga. Secara sederhana yang mereka inginkan hanyalah bagaimana suami mereka dapat mengurus diri sendiri, tetapi yang terjadi umumnya adalah suami dan mertua menggunakan tekanan psikologis terhadap perempuan untuk melakukan peranan tradisional mereka terhadap keluarga. Manajer
perempuan yang menikmati status yang tinggi di kantor, harus kembali menjadi bawahan ketika berada dan kembali ke rumah. Ketika manajer perempuan menapaki karirnya ke posisi senior manajer, status mereka dalam keluarga meningkat dan mengancam kedudukan/status suami mereka di dalam keluarga. Sekitar 30% responden memberikan jawaban bahwa mengatasi ego dari pasangan mereka adalah salah satu tantangan yang mereka hadapi di masa yang akan datang. Di sisi yang lain, perilaku perempuan di dalam keluarga dan pekerjaan kemungkinan juga memberi kontribusi kurangnya dukungan suami. Kebanyakan perempuan Asia ingin memiliki suami yang “lebih menonjol” dibandingkan dengan status mereka. Nilai budaya di Asia menunjukkan bahwa sangat sedikit perempuan yang berpendidikan yang menginginkan memiliki suami yang kedudukan statusnya lebih rendah dari mereka (Tang, 1988). Karir perempuan di Asia ditempatkan pada urutan kedua, mereka akan rela mengorbankan karir mereka demi mendukung karir suami (Tang, 1988). Untuk mendapatkan dukungan dan penghargaan dari keluarga, manajer perempuan di kota Makassar harus menghadapi bukan hanya sanksi budaya tradisional yang ada tetapi juga harus menghadapi kendala psikologis yang diciptakan oleh diri mereka sendiri. VI. SARAN 1.
2.
3.
Bagi manajer perempuan sektor perbankan di kota Makassar untuk menghadapi isolasi dari jaringan professional laki-laki, disarankan untuk menggalakkan jaringan professional perempuan yang dapat digunakan sebagai forum untuk komunikasi informal. Jaringan ini dapat membantu dalam perencanaan dan pengembangan karir manajer perempuan, disamping itu pula untuk menghadapi dan mengimbangi jaringan professional laki-laki yang ada. Masyarakat di kota Makassar khususnya harus focus untuk merubah perilaku sosial terhadap perempuan yang bekerja. Masyarakat ditantang untuk menetapkan kembali pembagian tanggung jawab dalam keluarga dan menentang stereotip budaya yang diberlakukan terhadap perempuan khususnya perempuan yang bekerja. Asosiasi perempuan professional dan pemerintah diharapkan lebih aktif memainkan peran dalam memberi pembelajaran kepada masyarakat terhadap kontribusi sosial dan ekonomi perempuan pekerja terhadap masyarakat di Kota Makassar.
REFERENSI
Proceedings SNEB 2014: Hal. 7
BPS, 2012. Keadaan Pekerja Indonesia, Jakarta: BPS. BPS, 2012., Sul-Sel dalam angka, BPS. Bank Indonesia.,Oktober 2013. Statistik Bank Indonesia. Bank Indonesia Burke, Ronald., et al., (2006), Advancing woman‟s careers. Career Development International. Vol.10.No.3. 165-167. Frone, M.R., Russell, M. Cooper M.L., (1992). Antecedents and outcomes of work-family conflict: Testing model of the work family interface, Journal of applied Psychology. 77(1). P.65-78. Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. Donnely, J.H. Konopaske (1995). Organizations: Behavior, Structure, Process, 8th edition, New York. McGraw Hill. Greenwald, A.G., Banaji, M.R, Rudman, L.A., Farnham, S.D., Nosek, B.A., Mellott, D.S. (2002). A unified theory of implicit attitudes, stereotypes, self-esteem, and self concept, Psychological Review, 109. P.325. Hess, Gregory, D., (1997). International and Intranational business cycles .Oxford Review of Economic Policy. P.93. Ilust holykaw.alltop.com,. (2011)., “Glass ceiling: Diskriminasi bagi wanita”. Diakses Desember 2013. Kattara, Hanan, (2005). Career challenges for female managers in Egyptian hotels. International Journal of contemporary Hospitality Management.
Li, Lan., Leung R.W., 2001. Females manajer in Asian hotels: profile and career challenges., International Journal of Contemporary Hospitality Management. p189-196. Madimbo, Maggie. 2012. Supportive leadership bahavior key to breaking the glass ceiling in religious communities in Malawi. The Journal of Pan African Studies.vol.5.,no.2. April. Romaniali, Anisa. (2007). Work-family conflict pada pengusaha di Surakarta. Jurusan Manajemen, UNS Surakarta. Silawati, H., (2006). Pengarusutamaan Gender: Mulai dari mana?. Jurnal perempuan. No.50, Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan. Singarimbun, M and Sofian, E. (2013). Metode Penelitian Survey. Pustaka LP3ES. Stoner, James.A.F.et al., Management. Jilid 1: Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta., PT Prenhalindo. Wentling, Rose Mary (2003). The career development and aspiration of woman in middle management revisited. Woman in Management Review. Vol.18. No.6. 311324. Tang,W.H. (1988). “The families and careers of high achieving women:cases of high women business executives”, Master’s thesis, Graduate Institute of Sociology, National Taiwan University
Proceedings SNEB 2014: Hal. 8