BAB II TEORI DASAR
II.1. Pengenalan Struktur Baja II.1.1. Struktur baja Baja merupakan logam yang berunsurkan Fe dan C, yang umumnya digunakan dalam bentuk plat, lembaran, pipa, dan batang. Kekerasan dan keuletan baja secara garis besar dikelompokkan sebagai berikut : 1. Baja Karbon rendah (0.08-0.35 % C) digunakan untuk kawat, baja profil, skrup, ulir baut. 2. Baja Karbon sedang (0.35-0.55 % C) digunakan untuk rel kereta api, as roda gigi dan lain-lain. 3. Baja Karbon tinggi (0.55-1.77 % C) digunakan untuk perkakas potong, gergaji, pisau dan bagian yang tahan gesekan. II.1.2. Kelebihan dan kelemahan baja sebagai material konstruksi Berikut keunggulan baja sebagai material konstruksi : 1. Kekuatan Tinggi ( High Strength ) Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength) antara 400 s/d 900 Mpa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada struktur – struktur yang memiliki bentang panjang dan struktur pada tanah lunak. 2. Keseragaman ( Uniformity ) Sifat – sifat baja tidak berubah karena waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat – sifat yang sama sehingga menjamin kekuatannya. 3. Elastisitas ( Elasticity ) Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang direncanakan oleh perencana, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan tekan. 4. Daktalitas ( Ductility ) Daktalitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk melakukan deformasi inelastik bolak – balik berulang diluar batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung bebannya. Manfaat daktalitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja mengalami 6 Universitas Sumatera Utara
pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung hancur tetapi akan meregang sampai batas daktalitas. Demikian juga pada beban siklik, daktalitas yang tinggi menyebabkan baja dapat menyerap energi yang besar. 5. Kuat Patah / Rekah ( Fracture Toughness ) Baja dalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul beban yang berulang – ulang. Komponen struktur baja yang dibebani sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya – gaya yang cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih dibawah batas yang diizinkan. Pada bahan yang tidak memiliki keuletan yang tinggi, keruntuhan dapat terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas ( keruntuhan secara langsung ).
Berikut kelemahan baja sebagai material konstruksi : 1. Biaya Perawatan ( Maintenance Cost ) Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh sebab itu, baja harus dicat secara berkala 2. Biaya Penahan Api ( Fire Proofing Cost ) Kekuatan baja dapat berkurang drastis pada temperatur tinggi. 3. Kelelahan ( Fatigue ) Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding ( leleh ) atau deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik ataupun pembebanan berulang – ulang dalam jangka waktu yang lama. Kejadian ini sering terjadi dengan adanya konsentrasi tegangan karena adanya lubang. 4. Rekah Kerapuhan Struktur baja ada kalanya tiba – tiba runtuh tanpa menunjukkan tanda – tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban statik.
II.1.3. Kategori Baja Struktural Baja sendiri terbagi-bagi menjadi beberapa kategori.
7 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.1.31 Mutu Baja berdasarkan SNI 03 – 1729 – 2002 ; RSNI T-03-2005 Tipe
Kuat leleh min (Mpa)
Kuat Tarik min
Elongasi min
(Mpa)
(%)
BJ – 34
210
340
22
BJ – 37
240
370
20
BJ - 41
250
410
18
BJ – 50
290
500
16
BJ - 55
410
550
13
Tabel II.1.3.2 Mutu baja berdasarkan ASTM (2004) Kuat leleh
Kuat Tarik min
Elongasi min.
(Mpa)
(MPa)
@200mm, %
t≤ 75
250
400 ~550
20
t≤ 40
345
485
40< ≤ 75
315
460
t>50
290
435
t≤ 65
690
760 ~895
65< ≤ 150
620
690 ~895
Tipe
Tebal (mm)
A36
A242
18
18
A514 A529 – Gr.50
18
345 t≤ 40
485 ~690
A529 – Gr.55
380
A572 – Gr.42
290
415
20
345
450
18
380
485
17
415
520
16
A572 – Gr.65
450
550
15
A588
345
485
18
A572 – Gr.50
semua
A572 – Gr.55 A572 – Gr.60
17
t≤ 50
A633 – Gr.A
t≤ 100
290
430~570
A633 – Gr.C
t≤ 65
345
485~620
A633 – Gr.D
65< ≤ 100
315
450~590
18
8 Universitas Sumatera Utara
A709 – Gr.E
t≤ 100
415
550~690
A709 – Gr.36
t≤ 75
250
400~550
20
A709 – Gr.50
345
450
18
A852
485
620~760
19
A871 – Gr.60
415
520
16
A871 – Gr.65
450
550
15
A913 – Gr.50
345
450
18
A913 – Gr.60
415
520
16
A913 – Gr.65
450
550
15
A913 – Gr.70
485
620
14
A992
345~450
450
18
A1026 – Gr.50
345~450
450
18
A1026 – Gr.65
450~550
550
15
A1043 – Gr.36
250
400~550
20
A1043 – Gr.50
345
450
18
250
400~550
20
345
450
18
A1077 – Gr.36 t≤ 100 A1077 – Gr.50
Tabel II.1.3.3 Spesifikasi baja bangunan menurut ASTM ASTM Keterangan A36
Carbon Structural Steel Catatan : jenis baja karbon yang umum dipakai untuk konstruksi
A242
High–Strength Low - Alloy Structural Steel Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan.
A441
High–Strength Low - Alloy Structural Manganese Vanadium Steel Catatan : sudah tidak berlaku dan telah digantikan A572.
A514
High–Yield Stremgth, Quenched and Tempered Alloy Steel Plate Suitable for Welding. 9 Universitas Sumatera Utara
Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las A529
High–Strength Carbon-Manganese Steel of Structural Quality Catatan : jenis baja karbon- mangan untuk konstruksi
A572
High-Strength Low-Alloy Columbium-Vanadium Steel Catatan : baja mutu tinggi dengan lima grade mutu (42,50,55,60, dan 65), adapun grade 50 setara dengan baja A992 yang lebih baru.
A588
High-Strength Low-Alloy Structural Steel, up to 50 ksi (345 Moa) Minimum Yield Point, with Atmospheric Corrosion Resistance. Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan
A633
Normalized High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plates Catatan : cocok untuk temperature rendah , -50°F [-45°C] ke atas.
A709
Carbon and High-Strength Low-Alloy Structural Steel Shapes, Plates, and Bars and Quenched-and-Tempered Alloy Structural Steel Plates for Bridges Catatan : baja pelat untuk struktur jembatan.
A852
Quenched and Tempered Low-Alloy Structural Steel Plate Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las, punya ketahanan korosi yang tinggi, tetapi tahan 2010 ditarik lagi karena tidak popular.
A871
High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plate With Atmospheric Corrosion Resistance Catatan : baja tahan korosi untuk pipa atau tiang (pole)
A913
High-Strength Low-Alloy Steel Shapes of Structural Quality, Produced by Quenching and Self-Tempering Process (QST) Catatan : baja mutu tinggi mutu grade 50, 60, 65, dan 70, karena karakter proses pembuatannya maka tipe ini tidak boleh dipanasi lebih dari 600°C
A992
Steel for Structural Shapes for Use in Building Framing Catatan : spesifikasi baru (1998) profil baja hot-rolled setara A572 Gr.50 untuk bangunan tahan gempa dimana ratio Fy / Fu ≤ 0.8 untuk menjamin daktailitasnya. Populer digunakan sebagai pengganti baja karbon A36 (Zpruba dan Grubb 2003)
10 Universitas Sumatera Utara
A1026 Alloy Steel Structural Shapes for Use in Building Framing Catatan : ratio Fy / Fu ≤ 0.8 tidak boleh galvanis dan dipanasi lebih dari 400°C A1043 Structural Steel with Low Yield to Tensile Ratio for Use in Buildings Catatan : material baru untuk struktur bangunan dengan ratio Fy / Fu ≤ 0.8 A1077 Standard Specification for Structural Steel with Improved Yield Strength at High Temperature for Use in Buildings Catatan : spesifikasi baru (2012), material baja tahan api (fire resistant steel) untuk struktur bangunan gedung tanpa perlu tambahan lapisan fire proofing, karena mempunyai kuat leleh yang ditingkatkan pada temperature tinggi
Tabel II.1.3.4. Mutu baja profil canal panas menurut JIS G3101 – 2004 (Jepang) Kuata Leleh (Mpa) Kuat Tarik (Mpa) Tebal (mm) Tipe > 16
> 40
> 100
≤ 40
≤ 100
≤ 150
≤ 16
3≤ ≤ 100 (
SS330
205
195
175
165
330~430
SS400
245
235
215
205
400~510
SS490
285
275
255
245
490~610
SS540
400
390
-
-
540 min
)
Tabel II.1.3.5.. Material baja standar JIS (Jepang) – JASS 6 (1996)
Kategori kuat
Standar
Kuat leleh
Kuat tarik
(Mpa)
(Mpa
Mutu Min
Mak s
Min
Mak
Rasio
Elongasi
leleh %
%
s
JIS G 400
3101 (SS
N/mm2
Steel) JIS G
SS400
235
400
510
-
21
SM400
235
400
510
-
24 11
Universitas Sumatera Utara
3106 (SM Steel)
A SM400B 235
400
510
-
21
SM400C 235
400
510
-
22
JIS G
SN400A
235
-
400
510
-
24
3136 (SN
SN400B
235
355
400
510
80
21
Steel)
SN400C
235
355
400
510
80
22
SS490
275
490
610
-
21
315
490
610
-
24
SM490B 315
490
610
-
21
SM490C 315
490
610
-
22
JIS G 3101 (SS Steel) SM490 JIS G 490
3106 (SM
N/mm2
Steel)
A
SN490B
325
445
490
610
80
21
SN490C
325
445
490
610
80
22
JIS G 3136 (SN Steel)
II.1.4 Jenis – Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan Adapun jenis – jenis baja struktural yang umum digunakan adalah baja canai panas (hot-rolled ) dan baja canai dingin (cold formed) atau sering disebut juga dipasaran sebagai baja ringan. Adanya design-code yang dibedakan menunjukkan bahwa karakter kedua macam baja tersebut berbeda, yang menyebabkan ahli di bidang struktur baja canai panas belum tentu juga ahli di bidang struktur baja canai dingin. Standar perencanaan yang ada selama ini adalah untuk baja canai panas saja. Adapun standar perencanaan baja canai dingin, baru diterbikan yaitu SNI 7971 : 2013 (Struktur baja canai dingin) yang mengacu standar dari Australia. Pemakaian baja canai dingin berbeda dibanding baja canai panas. Meskipun ringan, tetapi perilaku bahan dan keruntuhannya relative kompleks, sehingga risiko gagal lebih tinggi apalagi jika dipakai untuk konfigurasi struktur yang tidak biasa. 12 Universitas Sumatera Utara
Tentang hal itu, sudah banyak Negara yang memahami sehingga dibuat peraturan perencanaan yang berbeda.
II.1.5. Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja Dalam peraturan AISC 2005, perhitungan rumus kekuatan nominal (Rn) menggunakan tegangan leleh (Fy) maupun tegangan ultimate (Fu), pemilihan tegangan
baik
itu
Fy maupun Fu didasarkan atas
kemampuan struktur
mempertahankan stabilitasnya setelah beban maksimum diberikan.
Gambar II.1.5. Grafik hubungan tegangan regangan [Salmon, Charles G, STEEL STRUCTURE)
Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan tegangan - regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik tersebut hanya dapat diperoleh pada percobaan tarik baja lunak (mild). Benda uji baja diberikan beban tarik sehingga tegangan baja meningkat dari titik O sampai ke titik A. Ordinat titik A disebut tegangan proporsional (Fp). Hubungan tegangan – regangan dari titik awal sampai titik A masih linear. Daerah antara titik O dengan titik A disebut juga daerah elastis yang artinya jika suatu bahan baja
13 Universitas Sumatera Utara
mengalami tegangan tidak melewati titik A dan apabila dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau panjang semula. Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B, maka hubungan tegangan regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik leleh (Fy) dari baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan regangan yang meningkat. Daerah antara titik A dan titik C merupakan daerah plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati titik A ( masuk kedalam daerah A s/d C ) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut. Apabila beban diperbesar lagi, maka yang terjadi adalah regangan akan terus meningkat tanpa disertai tegangan. Titik C disebut dengan pengerasan regangan, pada titik C terdapat kenaikan tegangan yang disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maksimum. Bahan masih mampu menahan tegangan tambahan sampai pada titik D, yang disebut dengan tegangan ultimate (Fu). Daerah anatara titik C dan titik D merupakan daerah strain hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah melewati batas plastis. Jika beban ditambah samapi melewati batas tegangan ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan struktural yang ditandai dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai benda uji putus.
II.1.6. Pengaruh suhu terhadap material baja Bangunan konstruksi baja memang tidak terbakar jika terkena panas api, tetapi akibat suhu tinggi dapat mengalami penurunan kekuatan secara drastic, sehingga sampai-sampai tidak kuat memikul berat sendiri yang dapat mengakibatkan keruntuhan bangunan total.
14 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.1.6. Pengaruh suhu pada baja (Brockenbrough – Merrit 2011)
Dari kurva kekuatan baja terhadap kenaikan suhu (Gambar II.1.7), terlihat, ketika suhu naik melebihi 800°F atau 427°C kekuatannya memikul beban berkurang. Bahkan ketika suhu naik terus sampai 1200°F atau 649°C, maka kekuatannya yang dilihat berdasarkan parameter kuat leleh (Fy) dan kuat tarik (Fu) hanya tinggal 30%
15 Universitas Sumatera Utara
dibanding kekuatan pada suhu ruang. Padahal factor keamanan struktur baja umumnya 1.5, yang berarti hanya mengakomodasi penurunan sampai 66% nya saja. Wajar jika terjadi kebakaran pada bangunan baja dan terjadi peningkatan suhu sampai 646°C, system struktur baja akan mengalami keruntuhan karenan tidak kuat menahan beban bahkan dari berat sendirinya saja. Pemberian fireproofing agar kenaikan temperatur ekstrim saat kebakaran dapat dihambat. Fungsinya tentu tidak membuat agar bangunan menjadi tahan api, tetapi minimal memerlukan waktu yang lama untuk terjadinya kenaikan temperature, sehingga ada waktu pemadaman api, tanpa struktur mengalami kerusakan yang berarti. Pemberian fireproof juga baik untuk melindungin baja dari risiko terjadinya korosi.
II.1.7. Kelelahan baja akibat beban monotonic dan siklik Beban monotonic adalah pembebanan tetap, yang berlangsung terus menerus di dalam kondisi yang tetap. Beban siklik atau cyclic load adalah pembebanan berulang, seperti tekanan berulang yang teratur pada suatu bagian, yang kadangkadang menyebabkan fraktur kelelahan (fatigue). Deformasi selama pembebanan siklik akan tergantung pada kepadatan tanah, besarnya dan durasi beban siklik, dan jumlah pembalikan tegangan geser. Jika pembalikan tegangan (stress reversal) terjadi, tegangan geser yang efektif bisa mencapai nol, maka pencairan (likuifaksi) siklik dapat terjadi. Jika pembalikan stres tidak terjadi, tegangan efektif nol tidak mungkin terjadi, maka mobilitas siklik terjadi. Istilah pembebanan siklik menyarankan sistem pembebanan yang menunjukkan tingkat keteraturan baik dalam besarnya dan frekuensinya. Sistem pembebanan yang cenderung siklik dalam arti ini memang ditemui dalam praktek. banyak mesin dan bahkan struktur lepas pantai, misalnya, menyalurkan tekanan (stress) cukup ritmis ke pondasi. Namun, dalam kasus tersebut membatasi lingkup pekerjaan untuk membatasi volume tidak hanya dibenarkan tetapi yang lebih penting juga akan gagal untuk mengidentifikasi banyak fitur – fitur yang membedakan perilaku statis dari perilaku siklik. Sedangkan kejadian dari beberapa fenomena, seperti resonansi pondasi, tergantung pada frekuensi dan keteraturan beban yang diterapkan, keteraturan pembebanan memiliki konsekuensi kecil dalam banyak kasus.
16 Universitas Sumatera Utara
Menurut Egor Popov (1979), akibat beban siklik (bolak balik) yang terus menerus akan terjadi penurunan kapasitas daya tekan batang yang bisa mencapai 50% dari kapasitas awalnya bahkan cukup hanya dengan sebuah beban siklik kuat saja.
Gambar II.1.7. Hubungan load-displacement akibat beban monotonic (kiri) dan beban siklik (kanan) Pada grafik Kumazawa dan Ohkubo diatas diperoleh bahwa kurva evelope akibat beban monotonic tidak mengalami perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan kurva envelope pada hubungan beban perpindahan akibat beban siklik.
II.2. Metode Perencanaan Konstruksi Baja II.2.1. Metode ASD ( Allowable Stress Design ) Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang paling konvensional dalam perencanaan konstruksi. Metode ini menggunakan beban servis sebagai beban yang harus dapat ditahan oleh material konstruksi. Agar konstruksi aman maka harus direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu konstruksi saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh (σy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan leleh (σy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin yang boleh terjadi. ′ ≥
≥
17 Universitas Sumatera Utara
Dimana :
= Tegangan Terjadi (MPa) ′ = Tegangan Izin (MPa) = Safety Factor = Tegangan Leleh Baja (Mpa)
Besaran faktor keamanan yang diberikan lebih kurang sama dengan 1,5 ; sehingga boleh dipastikan bahwa tegangan maksimum yang diizinkan terjadi adalah 2/3 Fy yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis. Perencanaan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih konvensional.
II.2.2. Metode LRFD ( Load Resistance Factor Design ) Metode LRFD ( Load Resistance Factor Design ) lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada saat terjadinya keruntuhan. Seperti kita ketahui bahwa suatu bahan (khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan yang terjadi melebihi tegangan leleh (Fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut. Apabila tegangan yang tejadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke tegangan runtuh / tegangan ultimate (FU). Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan bahan. Metode LRFD umumnya menggunakan perhitungan dengan menggunakan tegangan ultimate (FU) menjadi tegangan izin, namun tidak semua perhitungan metode LRFD menggunakan tegangan ultimate (FU) ada juga perhitungan yang menggunakan tegangan leleh (Fy), terutama pada saat menghitung deformasi struktur yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur tersebut. Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun di pabrik. ≤ Dimana : Ru = Kuat perlu = Faktor tahanan = Kuat rencana 18 Universitas Sumatera Utara
Kuat perlu, Ru adalah nilai maksimum dari berbagai kombinasi beban terfaktor yang dicari dengan bantuaan analisis struktur. Faktor beban di atas disiapkan untuk analisis struktur cara elastic. Dapat dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang akan didapat dari metode LRFD akan lebih tinggi dari metode ASD. Jika alat analisis struktur dilengkapi opsi memperhitungkan efek P-Δ (non liniear geometri), maka ketentuan analisis stabilitas strukstur selain memakai cara ELM (Effective Length Method ) juga dapat memakai cara DAM (Direct Analysis Method).
Tabel II.2.2 Faktor tahanan Ø (AISC 2010) Komponen struktur
Faktor tahanan Ø
Lentur
0,9
Tekan aksial
0,9
Tarik aksial - tarik leleh
0,9
- tarik fraktur
0,75
Geser
0,9
Sambungan baut -
Baut geser
0,75
-
Baut tarik
0,75
-
Kombinasi geser dan tarik
0,75
-
Baut tumpu
0,75
Sambungan las -
Las tumpul penetrasi penuh
0,9
-
Las sudut/tumpul penetrasi sebagain
0,75
-
Las pengisi
0,75
19 Universitas Sumatera Utara
Perbedaan cara lama, ELM dengan cara DAM, adalah pada analisis stabilitas struktur global. Cara ELM, stabilitas struktur yang terkalibrasi hanya pada elemen tunggal (local), dan itu juga dipakai bersama dengan cara DAM. Pada kondisi tersebut, keduanya sama. Ketika struktur tidak terdiri dari elemen tunggal, amak tinjauan stabilitas perlu dilakukan secara menyeluruh (global). Pada kondisi ini baru terjadi perbedaan antara kedua cara tersebut. Cara ELM mengandalkan analisa struktur elastic, baik yang linier atau non linear, khususnya efek P-Δ (nonlinear geometri). Jika tersedia opsi menghitung efek P-Δ, maka factor pembesaran momemn untuk Ru tidak diperlukan. Tetapi karena masalah stabilitas adalah tidak sekedar efek P-Δ saja, maka antara stabilitas struktur (global) dan stabilitas elemen (local) yang telah dikalibrasi perlu dibuatkan penyesuaian, yaitu dengan factor K yang sesuai.
II.3. Pembebanan Beban adalah gaya luar yang bekerja pada suatu struktur. Pada umumnya penentuan besarnya beban hanya merupakan perkiraan. Meskipun beban yang bekerja pada suatu lokasi dari struktur dapat diketahui secara pasti, namun distribusi beban dari elemen ke elemen lainnya umumnya memerlukan asumsi dan pendekatan. Jenis beban yang biasa diperhitungkan pada perencanaan struktur bangunan antara lain sebagai berikut:
II.3.1 Beban Mati Menurut (peraturan pembebanan Indonesia,2013), beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi tetap, finishing, klading gedung dan komponen arsitektural dan structural lainnya serta peralatan layan terpasang lain termasuk berat crane. Dalam memperhitungkan beban mati (dead load), biasanya berat elemen struktur disebut berat sendiri (self weight), berat bagian non-struktur disebut beban mati tambahan (superimposed dead load).
20 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.3.1. berat bangunan berdasarkan SNI 03-1727-1989-F No
Konstruksi
Berat
Satuan
1
Baja
7850
Kg/m3
2
Beton Bertulang
2400
Kg/m3
3
Beton
2200
Kg/m3
4
Dinding pas. Bata ½ bt
250
Kg/m3
5
Dinding pas. Bata 1 bt
450
Kg/m3
6
Curtain wall + rangka
60
Kg/m3
7
Cladding + rangka
20
Kg/m3
8
Pasangan Batu kali
2200
Kg/m3
9
Finishing lantai (tegel)
2200
Kg/m3
10
Plafon + penggantung
20
Kg/m3
11
Mortar
2200
Kg/m3
12
Tanah, Pasir
1700
Kg/m3
13
Air
1000
Kg/m3
14
Kayu
900
Kg/m3
15
Aspal
1400
Kg/m3
16
Instalasi Plumbing
50
Kg/m3
II.3.2 Beban Hidup Menurut (Peraturan Pembebanan Indonesia, 2013), beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu struktur termasuk bebanbeban pada lantai yang berasal dari berat manusia, barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari struktur dan dapat diganti selama masa layan dari struktur tersebut sehingga menyebabkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap tersebut. Khusus untuk atap, beban hidup dapat termasuk beban yang berasal dari air hujan, baik akibat genangan maupun akibat tekanan jatuh butiran air.
21 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.3.2 Beban hidup menurut kegunaan Berdasarkan SNI 1727;2013 Hunian atau penggunaan
Merata (kN/m2)
Terpusat (kN)
Apartemen (lihat rumah tinggal) Sistem lantai akses Ruang kantor
2,4
8,9
Ruang computer
4,79
8,9
Gudang persenjataan dan ruang latihan
7,18 a
Ruang pertemuan Kursi tetap (terikat di lantai)
4,79 a
Lobi
4,79 a
Kursi jenis dapat dipindahkan
4,79 a
Panggung siding
4,79 a
Lantai podium
7,18 a
Balkon dan dek
1,5
kali
beban
hidup
untuk
daerah
yang
dilayani. perlu
Tidak melebihi
7,79 kN/m2 Jalur untuk askses pemeliharaan
1,92
Koridor
4,79 sama seperti
Lantai pertama
pelayanan hunian
Latai lain
kecuali disebutkan lain
Ruang makan dan restoran
4,79 a
Hunian (lihat rumah tinggal) Ruang mesin elevator (pada daerah 50mm x 50mm
1,33
Konstruksi pelat lantai finishing ringan (pada area
0,89
25mm x 25mm)
22 Universitas Sumatera Utara
Jalur penyelamatan terhadap kebakaran
4,79
Hunian satu keluarga saja
1,92
Tangga permanen
Lihat pasal 4.5
Garasi/Parkir
192a,b,c
Mobil penumpang saja Truk dan bus Susunan tangga, rel pengaman dan batang pegangan
Lihat pasal 4.5
Helipad
2,87 de tidak boleh direduksi
Rumah sakit : Ruang operasi, laboratorium
2,87
4,45
Ruang pasien
1,92
4,45
Koridor diatas lantai pertama
3,83
4,45
Ruang baca
2,87
4,45
Ruang penyimpanan
7,18 a,h
4,45
Koridor diatas lantai pertama
3,83
4,45
Ringan
6a
8,9
Berat
11,97a
13,4
4,79
8,9
2,4
8,9
3,83
8,9
Hotel (lihat rumah tinggal) Perpustakaan
Pabrik
Gedung perkatoran : Ruang arsip dan computer harus dirancang untuk beban yang lebih berat berdasarkan pada perkiraan hunian Lobi dan koridor lantai pertama Kantor Koridor diatas lantai pertama Lembaga hokum 23 Universitas Sumatera Utara
Blok sel
1,92
Koridor
4,79
Tempat rekreasi Tempat bowling, kolam renang, dan penggunaan 3,59 a yang sama
Bangsal dansa & Ruang dansa
4,79 a
Gimnasium
4,79 a
Tempat menonton baik terbuka/tertutup
4,79 a,k
Stadium & tribun/arena dengan tempat duduk tetap
2,87 a,k
Rumah tinggal Hunian(satu keluarga dan dua keluarga) Loteng yang tidak dapat didiami tanpa gudang
0,48 l
Loteng yang tidak dapat didiami dengan gudang
0,96 m
Loteng yang dapat didiami dan ruang tidur
1,44
Semua ruang kecuali tangga dan balkon
1,92
Semua hunian rumah tinggal lainnya Ruang pribadi dan koridor yang melayani mereka
1,92
Ruang publica dan koridor yang melayani mereka
4,79
Atap Atap datar, berbubung, dan lengkung
0,96 n
Atap digunakan untuk taman atap
4,79
Atap yang digunakan untuk tujuan lain
Sama
seperti
hunian dilayani Atap yang digunakan untuk hunian lainnya Awning dan kalnopi Konstruksi pabrik yang didukung oleh struktur 0,24 tidak boleh direduksi rangka kaku ringan Rangka tumpu layar penutup
0,24 tidak boleh 0,89 direduksi dan
24 Universitas Sumatera Utara
berdasarkan luas tributary dari atap yang
Semua konstruksi lainnya
ditumpu
8,9
oleh rangka Komponen struktur atap utama, yang terhubung 0,96
langsung dengan pekerjaan lantai Titik panel tunggal dari batang bawah rangka atap
0,96 1,33
atau setiap titik sepanjang komponen struktur utama yang mendukung atap diatas pabrik, gudang dan perbaikan garasi Semua komponen struktur atap utama lainnya 1,33 Semua permukaan atap dengan beban pekerja pemeliharaan Sekolah Ruang kelas
1,92
4,5
Koridor diatas lantai pertama
3,83
4,5
Koridor lantai pertama
4,79
4,5
Bak-bak/scuttles, rusuk untuk atap kaca dan langit-
0,89
langit yang dapat diakses Pinggir jalan untuk pejalan kaki, jalan lintas 11,97a,p
35,6q
kendaraan, dan lahan/jalan untuk truk-truk Tangga dan jalan keluar
4,79
300 r
RUmah tinggal untuk satu dan dua keluarga saja
1,92
300 r
Gudang diatas langit-langit
0,96
Gudang penyimpan barang sebelum disalurkan ke pengecer
(jika
diantisipasi
menjadi
gudang
penyimpanan, harus dirancang untuk beban lebih berat) Ringan Berat
6a 11,97a
Toko Eceran 25 Universitas Sumatera Utara
Lantai pertama
4,79
4,45
Lantai diatasnya
3,59
4,45
Grosir, disemua lantai
6a
4,45
Penghalang kendaraan
Lihat pasal 4.5
Susuran jalan dan panggung yang ditinggikan (selain 2,87 jalan keluar) Pekarangan dan teras, jalur pejalan kaki
4,79 a
II.3.3 Beban Angin Beban angin adalah beban yang terjadi akibat adanya perbedaan selisih tekanan udara. Semakin tinggi suatu bangunan, maka selisih tekanan udara akan semakin besar sehingga beban angin yang terjadi akan semakin besar juga. Dalam merencanakan beban angin yang terjadi, berikut parameter yang harus diperhatikan menurut SNI 1727;2013, yaitu : 1. Kecepatan angin dasar, V ( Pasal 26.5) 2. Faktor arah angin, Kd (Pasal 26.6) 3. Kategori eksposur (Pasal 26.7) 4. Faktor topografi, Kzt (Pasal 26.8) 5. Faktor efek-tiupan angin (Pasal 26.9) 6. Klasifikasi ketertutupan (Pasl 26.10) 7. Koefisien tekanan internal (GCpi) (Pasal 26.11) Keterangan : 1. Kecepatan angin dasar, V Kecepatan angin dasar untuk tiap daerah berbeda. Untuk Negara Indonesia, kecepatan angin maksimal yang mungkin terjadi adalah 7meter/detik. 2. Faktor arah angin, Kd Tabel II.3.3.1 Faktor arah angin, Kd Tipe Struktur
Faktor Arah Angin (Kd)
Bangunan Gedung Sistem Penahan Beban Angin Utama
0,85 26 Universitas Sumatera Utara
Komponen dan Klading Bangunan Gedung
0,85
Atap Lengkung
0,85
Cerobong asap, Tangki, dan Struktur yang sama Segi empat
0,90
Segi enam
0,95
Bundar
0,95
Dinding pejal berdiri bebas dan papan reklame pejal berdiri bebas dan papan reklame terikat
0,85
Papan reklame terbuka dan kerangka kisi
0,85
Rangka batang menara Segitiga, segiempat, persegi pnajang
0,85
Penampang lainnya
0,95
3. Kategori eksposur Eksposur B : untuk bangunan gedung dengan tinggi atap ≤ 9,1 meter Eksposur C : untuk bangunan yang bukan eksposur B dan D Eksposur D : untuk kekasaran permukaan tanah yang lebih besar dari 20x tinggi bangunan.
4. Faktor topografi
Tabel II.3.3.2 Faktor topografi Parameter untuk peningkatan kecepatan di atas bukit dan tebing K1 / (H/Lh)
Bentuk bukit
μ
Eksposur
ɣ
B
C
D
1,30
1,5
1,55
Sisi angin
Sisi angin
datang dari
pergi dari
puncak
puncak
1,5
1,5
Bukit memanjang 2 dimensi (atau lembah
3
dengan negative H dalam K1 / (H/Lh)
27 Universitas Sumatera Utara
Tebing 2 dimensi Bukit simetris 3
0,75
0,85
0,95
2,5
1,5
4
0,95
1,05
1,15
4
1,5
1,5
dimensi
Kzt = ( 1 + K1 K2 K3)2 Kzt = 1 jika semua kondisi tidak memenuhi
5. Faktor efek tiupan angin Faktor efek-tiupan angin untuk bangunan kaku diambil sebesar 0,85. 6. Klasifikasi ketertutupan
Bangunan terbuka
Bangunan tertutup sebagian
Bangunan tertutup
7. Koefisien tekanan internal (GCpi) Tabel II.3.3.3. Nilai koefisien tekanan internal (GCpi) Klasifikasi Ketertutupan Bangunan gedung terbuka
(GCpi ) 0,00 +0,55
Bangunan gedung tertutup sebagian
-0,55 +0,18
Bangunan gedung tertutup
-0,18
8. Pengaruh angin terhadap bentuk atap
Gambar II.3.3 Pengaruh gaya angin pada portal 28 Universitas Sumatera Utara
Dimana : G
= Faktor tiupan angin
Cp = Koefisien tekanan eksternal qz
= tekanan velositas pada ketinggian z
qh
= tekanan velositas pada ketinggian h
V
= kecepatan angin
qz = tekanan velositas pada ketinggian z qh = tekanan velositas pada ketinggian h V
= kecepatan angin
qz
= 0,613 Kz Kzt Kd V2 N/m2
qh
= 0,613 Kh Kzt Kd V2 N/m2
Kz = 2,01 ( ) ; Kh = 2,01 ( )
Gambar II.5.3.4 Penentuan nilai α dan zg berdasarkan kategori eksposur
II.3.4. Kombinasi beban Kombinasi beban mengacu pada SNI Pembebanan gedung 1727:2013 ; pasal 2.3.2. (metode LRFD). 1. 1,4D 2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lr atau S atau R) 3. 1,2D + 1,6 (Lr atau S atau R) + (L atau 0,5W) 4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R) 5. 1,2 D + 1,0E + L + 0,2S 6. 0,9D + 1,0W
29 Universitas Sumatera Utara
7. 0,9D + 1,0E
II.4. Kondisi batas baja Stabilitas portal baja dapat terpenuhi apabila kondisi batas strukturnya dapat menahan gaya yang terjadi. Kriteria perencanaan memastikan bahwa kondisi batas harus kecil kemungkinan terlampaui, caranya dengan memilih kombinasi gaya, factor tahanan dan nilai ketahanan yang tidak mungkin terlampaui berdasarkan criteria perencanaan yang ada. Ada dua jenis kondisi batas yang diterapkan pada struktur, yaitu :
Konfisi batas kekuatan (ultimate strength) yang menetapkan besarnya keamanan terhadap kondisi beban ekstrim selama masa pakai struktur.
Kondisi batas layan yang menetapkan batasan-batasan agar struktur dapat berfungsi sesuai yang direncanakan.
Fokus perencanaan struktur berbasis AISC – LRFD adalah kondisi batas kekuatan (limit states of strength) yang menjamin keselamatan public (manusia dan barang miliknya). Kondisi batas kekuatan yang umum digunakan adalah :
Terjadinya leleh baja sampai terbentuknya sendi plastis, dan mekanisme plastisnya, ketidakstabilan elemen dan struktur
Tekuk torsi lateral, tekuk local
Fraktur tarik atau adanya kemungkinan retak akibat fatig
Ketidak-stabilan elemen atau struktur
Alternating plasticity
Deformasi yang berlebihan
Kondisi batas layan umumnya meliputi :
Lendutan atau drift elastic yang berlebihan
Struktur yang bergetar melebihi ambang tertentu
Lendutan permanen
30 Universitas Sumatera Utara
II.5. Batang Tekan Batang tekan ditujukan untuk komponen struktur yang memikul beban tekan sentries tepat pada titik berat penampang, atau kolom dengan gaya aksial saja. Namun, umumnya pastilah terdapat eksentrisitas, oleh ketidak lurusan batang, atau oleh ketidak tepatan pembebanan, juga kekangan dari tumpuannya yang menimbulkan momen. Tetapi jika momen relative kecil sehingga dapat diabaikan, maka prosedur desain berikut dapat digunakan. Parameter material Fy dan Fu akan menentukan kuat batang tarik, tetapi pada batang tekan hanya Fy yang penting, Fu tidak pernah tercapai. Selain material, maka batang tekan juga dipengaruhi oleh parameter lain, yaitu konfigurasi bentuk fisik atau geometri. Parameter geometri terjadi dari : -
Luas penampang (A)
-
Pengaruh bentuk penampang terhadap kekauan lentur (Imin)
-
Panjang batang dan kondisi pertambatan atau tumpuan, yang diwakili oleh panjang efektif (KL)
Ketiganya dapat diringkas lagi menjadi satu parameter tunggal, yaitu rasio kelangsingan batang (KL/rmin), dimana rmin =
adalah radius girasi pada arah
tekuk. Rasio kelangsingan batang menjadi parameter penting perencaaan, dan menjadi indicator batas kinerja sekaligus perilakunya. Contoh, kolom pendek (tidak langsing) kekuatannya ditentukan material. Adapun kolom pangsing, kekuatan ditentukan oleh beban kritis yang menyebabkan tekuk (buckling), tidak tergantung mutu material. Jadi kolom dengan bahan material bermutu tinggi maka rasio kelangsingannya perlu diperhatikan, agar efisien.
31 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5. Fenomena Tekuk (White et.al 1976)
Gambar II.5. memperlihatkan tekuk atau buckling pada kolom langsing. Keruntuhan tekuk umumnya terjadi pada kondisi tegangan yang relative rendah, dibawah tegangan leleh. Itu berarti keruntuhannya masih dalam kondisi elastic. Fenomena tekuk tidak terdeteksi oleh analisa struktur elastic-linier, diperlukan analisa struktur non-linier. Keruntuhan tekuk bersifat mendadak, khususnya jenis bifurcation, tanpa didahului oleh lendutuan yang besar. Jadi perlu dihindari. Secara visual, tekuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tekuk local pada elemen penampang dan tekuk global pada kolom atau batang tekan secara menyeluruh. Jika elemen-elemen profil penampang relatif langsing dan panjang kolomnya relatif pendek, dapat terjadi tekuk local. Sebaliknya, jika elemen-elemen profil penampang relatif tebal dan batang kolomnya langsing maka akan terjadi tekuk global yang sifatnya menyeluruh. Perilaku tekuk dibedakan, yaitu tekuk local dan tekuk global. Itu terjadi karena tempat terjadinya tekuk dan solusi penyelesaian untuk kedua fenomena itu ternyata berbeda. Penyelesaian masalah tekuk local lebih kompleks dibanding tekuk global, yang terakhir ini sudah dirumuskan oleh Euler (1757) dan menjadi pengetahuan dasar perancangan kolom untuk berbagai design-code di dunia. Jika terjadi tekuk local, 32 Universitas Sumatera Utara
selain penyelesaiannya tidak sederhana, maka pemakaian penampangnya akan tidak efisien karena terjadi pada kondisi beban elastic (belum leleh). Agar strukturnya optimal, maka risiko tekuk local harus dihindari. Untuk itu dibuat klasifikasi untuk memisahkan penampang tidak langsing dan langsing. Itu dilakukan dengan cara mengecauasi rasio lebar –tebal (b/t) tiap-tiap elemen dari penampang. Elemen-elemen dipilah berdasarkan kondisi kekangannya, apakah kedua sisinya tersambung kepada elemen lain, atau masih ada sisi bebas. Nilai b/t setiap elemen profil penampang selanjutnya dibandingkan dengan nilai batas rasio b/t dari tabel 5.1. Masing-masing elemen penampang perlu ditinjau, jika semua elemen tidak melebihi nilai batas rasio b/t di tabel II.5., maka penampang diklasifikasikan sebagai penampang tidak langsing (ideal) dan sebaliknya sebagai penampang langsing.
33 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.5. Klasifikasi elemen pada batang tekan aksial (Table B4.1a AISC 2010)
Tabel II.5. mengklasifikasikan profil penampang batang sebagai tidak langsing atau langsing. Struktur efisien jika penampangnya tidak langsing, karena tidak ada risiko tekuk local. Penyelesaian AISC 2010 untuk batang tekan dengan klasifikasi langsing, juga sekedar memberikan factor reduksi, sehingga beban kritis terhadap tekuk local tidak tercapai terlebih dahulu. Jadi pada dasarnya strategi perencanaan batang tekan AISC 2010 adalah didasarkan pada tekuk global. 34 Universitas Sumatera Utara
II.5.1. Teori tekuk (buckling) Perilaku tekuk perlu dipelajari karena menjadi salah satu penyebab keruntuhan batang tekan. Meskipun umumnya telah belajar banyak tentang analisa struktur, sehingga dapat menghitung gaya atau momen internal batang, serta reaksi struktur yang dibebani, tetapi itu tidak menjamin memahami perilaku tekuk tersebut. Analisa struktur yang diberikan pada level sarjanan umumnya analisis ebrbasis elastic liner, yang belum bisa memperhitungkan masalah tekuk. Tekuk sendiri hanya terjadi pada elemen langsing dan menerima gaya tekan. Pada material beton yang relative lemah dibanding bahan baja menyebabkan dimensi komponen strukturnya relative besar (tidak langsing). Oleh sebab itu pada perencanaan kolom beton, jarang yang memperhitungkan tekuk, cukup diatasi dengan diagram interaksi penampang berdasarkan prinsip kompatibilitas tegangan regangan pada material penampangnya. Untuk mengenal tentang tekuk, ada baiknya meilihat foto perilaku penggaris plastik yang ditekan sebagai berikut.
Gambar II.5.1.1. Perilaku tekuk elemen langsing (Ji-Bell 2008)
Gambar II.5.1.1. memperlihatkan penggaris plastik yang ditekan untuk mengungkapkan perilaku tekuk yang juga terjadi pada struktur sebenarnya, karena jika sampai seperti itu deformasinya maka strukturnya sendiri pasti telah runtuh. Deformasi struktur relative kecil dan tidak seperti penggaris plastic tersebut.
35 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5.1.2. Percobaan daya dukung kolom model (Ji-Bell 2008)
Kolom pinned-pineed di Gambar II.5.1.2. kiri dianggap sebagai kolom acuan, perhatikan kelengkungan pada sekitar tumpuan. Di sebelah kanannya, kolom fixedfixed dapat memikul beban lebih besar, jika tumpuan bawah dikembalikan lagi jadi pinned, beban berkurang. Perilaku ekstrim, adalah kolom paling kanan, dimana di bagian atas dianggap fixed (tidak bisa berotasi) dan dibagian bawah ujungnya bisa bertranslasi. Beban yang dipikul turun drastis, paling kecil dibanding kolom lain. Daya dukung kolom disini adalah kemampuan menerima beban sebelum kehilangan kekuatan akibat tekuk. Jumlah besi pemberat terpasang pada model kolom, menunjukkan besarnya daya dukung tersebut. Kolom fixed-fixed daya dukung terbesar, dan yang terkecil adalah kolom fixed-free. Selanjutnya ditinjau kolom langsing dengan tumpuan sendi-sendi, yaitu kolom kiri Gambar II.5.1.2. Dalam hal ini ditinjau kolom ideal, batangnya lurus sempurna, berat sendiri diabaikan kecuali beban aksial P yang dipikul, panjang kolom L, modulus elastic bahan E, penampang dengan luas A dan momemn inersia I. Semua parameter tersebut dapat terwakili pada model struktur sebagai berikut.
36 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5.1.3. Model kolom ideal dari Euler
Teori kolom ideal pada model diatas, dirumuskan oleh Leonhard Euler tahun 1744. Rumus Euler menghubungkan parameter geometri (L,A,I) ; material (E), dan beban aksial tekan P sesaat sebelum tekuk (Pcr). Rumus tekuk kolom yang terkenal itu adalah : Pcr =
2E (KL) 2
II.5.2. Panjang efektif Pada kolom, L pada model kolom ideal dari Euler (gambar II.5.1.3) dapat dipakai sebagai acuan mengevaluasi kolom dengan kondisi tumpuan lain. Caranya : membuat konversi panjang kolom real (L) menajadi panjang kolom efektif (KL), dengan K sebagai factor konversinya. Untuk mejelaskan apa itu factor K dan bagaimana pengaruhnya terhadap beban tekan kritis kolom menjelang tekuk, maka illustrasi pada gambar II.5.2. berikut dapat menjelaskannya.
37 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5.2. Konsep panjang efektif dan daya dukung kolom
Dengan cara panjang efektif kolom, maka rumus tekuk Euler dapat dipakai untuk berbagai kondisi kolom, dengan format berikut : Pcr =
2E (KL) 2
Karena rumus diatas hanya valid digunakan untuk memprediksi kolom pada kondisi elastic, yaitu kondisi tegangan sebelum nmencapai batas proposionalnya, maka setiap kali diapakai perlu dievaluasi terlebih dahulu terhadap kondisi tegangannya. Oleh sebabab itu bentuk rumus dalam format tegangan kritis memudahkan melihat validitas pemakainnya. Format yang dimaksud adalah cr =
2E Pcr Pcr A A(KL ) 2 ( KL ) 2 r
Dimana :
r
I atau “radius girasi penampang”, tergantung sumbu penampang yang A
ditinjaunya. Pada format tegangan kritis muncul paramenter KL/r atau “rasio kelangsingan kolom”. Ini parameter penting bagi insinyur karena berkorelasi langsung
38 Universitas Sumatera Utara
dengan daya dukung kolom. Sejak itu, untuk menjelaskan perilaku kuat tekan kolom maka digunakan variable rasio kelangsingan KL/r.
Perhitungan komponen struktur tekan haruslah memenuhi : < 200 dengan : K = Faktor panjang efektif L = panjang tanpa dibreising lateral dari komponen struktur R = radius girasi
II.5.3. Pengaruh bentuk penampang terhadap tekuk Batang tekan pendek tidak mengalami tekuk, jika dibebani aksial tekan tanpa eksentrisitas, tegangan bertambah dan dapat mencapai kondisi leleh, batang memendek.
Perilakunya seperti batang tarik,
kekuatannya tergantung luas
penampangnya, bentuk tidak berpengaruh. Beda dengan batang tekan langsing, jika dibebani yang sama, sebelum leleh bisa mencapai tekuk (buckling), yaitu adanya perpindahan lateral, seperti efek lentur balok, yang besar pada kondisi beban konstan. Terhadap tekuk, yang berpengaruh adalah luas dan momemn inersia penampang. Keduanya bersama panjang batang disebut factor kelangsingan batang, atau KL/r min yang diperoleh dari
KL Im in / A
Konstruksi baja beda dengan beton, bentuk penampangnya lebih bervariasi. Tidak hanya parameter momen inersia saja yang berpengaruh, parameter geometri terkait torsi juga menentukan. Bentuk penampang mempengaruhi perilaku tekuk yang berbeda. Ada tiga fenomena tekuk yang dijumpai, yaitu : tekuk lentur, tekuk torsi, dan tekuk lentur-torsi.
39 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5.3. Bentuk penampang dan perilaku tekuk kolom
Parameter kelangsingan penampang, yaitu radius girasi atau rmin =
(
Im in ) A
adalah tinjauan terhadap tekuk lentur. Memang, tekuk jenis ini yang umum dijumpai, dan hampir semua penampang kolom bisa mengalaminya. Meskipun demikian, jika kekakuan torsi penampang relative kecil, tekuk torsi akan terjadi terlebih dahulu. Parameter kelangsingan terhadap tekuk lentur, yaitu radius girasi r min merupakan cara mudah membayangkan kapasitas tekuk. Cara yang sama dapat digunakan juga untuk menghitung radius girasi ekivalen terhadap tekuk torsi, yaitu rt sebagai berikut Rt =
Cw 0,04 J ( KL ) 2 ) ( IpS
IpS adalah momen inersia polar terhadap pusat geser. Pada penampang simetri ganda, pusat berat berhimpit dengan pusat geser, sehingga IpS = IpG = Ix + Iy.Dengan membandingkan nilai rt terhadap rx atau ry maka r yang terkecil akan menunjukkan fenomena tekuk mana yang terjadi lebih dahulu, tekuk torsi atau tekuk lentur, jika dipakai penamapng kolom simetri ganda.
40 Universitas Sumatera Utara
II.5.4. Kuat Tekan Nominal Secara umum, kuat tekan nominal suatu batang ditentukan oleh persamaan berikut ini. Pu = φPn Dengan : = Gaya tekan terfaktor. ø
= Faktor reduksi kekuatan, 0.9 = Kuat tekan nominal komponen struktur.
Tekuk global ditentukan oleh kelangsingan elemen penampang dan bentuknya. Ada tiga perilaku tekuk, yaitu tekuk lentur, tekuk tori, dan tekuk torsi lentur. Adapun tekuk global atau local tergantung kalsifikasi penampang. Jika penamapnanya tidak langsing maka tidak terjadi tekuk local, dan sebaliknya penampang langsing berisiko tekuk local terlebih dahulu. Karena tekuk terjadi pada kondisi elastic, sebelum leleh maka agar efisien, perlu dipilihi kolom penampang tidak langsing.
II.5.4.1. Tekuk lentur Tekuk lentur yang dimaksud adalah fenomena tekuk global pada penampang dengan klasifikasi elemen tidak langsing. Beban kritis yang menyebabkan tekuk tersebut telah dirumuskan oleh Euler. Sampai saat ini rumus tersebut tetap dijadikan dasar menentukan kuat nominal batang tekan (P n). Agar berkesesuaian dengan cara perencanaan batang tarik, maka luas penampang utuh atau gross (Ag) dijadikan konstanta tetap, adapun variabelnya adalah tegangan kritis (Fcr), yang dituliskan dalam format berikut.
Pn = Fcr Ag
Tegangan kritis, Fcr dihitung berdsarkan syarat berikut : 41 Universitas Sumatera Utara
≤ 4,71
a. Bila
E Fy
Fy ≤ 2.25, tekuk inelastic, maka : atau Fe
Fy Fcr = [0,658 Fe ] Fy
Nb : Tegangan kritis kolom pada daerah kelangsingan ini banyak dipengaruhi oleh : tegangan residu dan konfisi imperfection atau tidak kelurusan dari batang. Fenomena keruntuhannya disebut tekuk inelastic. Rumus Euler tidak bisa memprediksi tekuk jenis ini, sehingga dikembangkan teori Double Modulus (Considere) dan Modulus Tangent (Engesser) tahun 1889 secara terpisah. Itupun hasilnya masih perlu dikoreksi lagi berdasarkan data hasil uji empiris yang diolah secara statistic. b. Bila
> 4,71
E Fy > 2.25, tekuk elastis, maka : Fy atau Fe
Fcr = 0,877 Fe Dimana : Fe = tegangan tekuk Euler (elastic) sebagai berikut
2E
Fe = (
KL 2 ) r
Catatan : Tegangan kritis di daerah kelangsingan ini disebut tekuk elastic. Rumus
Euler
tidak
bisa
dipakai
secara
langsung
karena
belum
memperhitungakan imperfection. Koreksi yang diberikan didasarkan hasil kalibrasi dengan data uji kolom secara empiris. Adanya kondisi batas tekuk inelastis atau elastic mempengaruhi efisien tidaknya pemakaian mutu baja. Jika kelangsingan kolom lebih besar dari 4,71
E Fy maka mutu baja tidak berpengaruh. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan kurva tegangan kritis (Fcr) dari berbagai mutu baja ASTM terhadap kelangsingan kolom.
42 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.5.4.1. Perbandingan kurva Fcr berbagai mutu baja ASTM terhadap KL/r
II.5.4.2. Tekuk Torsi dan Tekuk Lentur-Torsi Fenomena tekuk, selain lentur ada lagi yaitu puntir (tekuk torsi) atau gabungan keduanya yaitu tekuk lentur-torsi. Biasa terjadi pada penampang dengan kekakuan torsi yang relative kecil atau pusat geser dan pusat beratnya tidak berhimpit. Penampang dengan kekakuan torsi relative kecil, yaitu profil built-up simetri ganda bentuk I atau X, atau penampang simetri tunggal dengan pusat geser dan pusat berat tidak berhimpit, missal profil siku atau tee, harus dihitung kapasitasnya terhadap tekuk torsi atau tekuk lentur torsi. Jika kapasitasnya lebih kecil dibanding kapasitas tekuk lentur, maka perilaku tekuk torsi atau lentur-torsi yang akan terjadi lebih dahulu (menentukan). Kapasitas tekan nominal penampang kolom tidak langsing terhadap tekuk torsi dan lentur torsi adalah sebagai berikut. Pn = Fcr Ag
43 Universitas Sumatera Utara
Pada profil dengan simetri ganda, tegangan kritis, Fcr dihitung berdasarkan syarat berikut :
(
2 ECw
Fe = ( KzL)
2
GJ )
1 Ix Iy
Dengan : E
= Modulus elasticitas baja (200000 MPa)
G
= Modulus elastisitas geser baja (77200 Mpa)
J
= konstanta torsi (mm4)
KzL = factor panjang efektif untuk tekuk torsi Cw = konstanta pilin/warping (mm6) IxIy = momen inersia terhadap sumbu utama , mm4
Berikut parameter penentuan tekuk yang terjadi merupakan tekuk inelastic atau elastic. Jika
Fy < 2.25 ; tekuk inelastic Fe
Fy Maka : Fcr = [0,658 Fe ] Fy
Jika
Fy > 2.25 ; tekuk elastic Fe
Maka : Fcr = 0,877 Fe
II.6. Balok Lentur Istilah balok lentur umumnya merujuk struktur yang ditempatkan secara horizontal, dan dibebani pada arah vertical, tegak lurusnya. Untuk analisa struktur dapat dibuat model dengan elemen garis, dimana dianggap perilaku lentur yang dominan.
44 Universitas Sumatera Utara
Jika pembebanan relatif kecil, mekanisme lentur tidak mengubah konfigurasi bentuk balok secara permanen. Jadi ketiga bebannya hilang, balok akan kembali pada kondisinya yang semula. Jika itu terjadi maka perilaku yang dimaksud disebut elastic. Mekanisme lentur bukanlah satu-satunya mekanisme pada suatu balok yang dibebani. Untuk konfigurasi tertentu, mekanisme lain yang tidak mengandalkan mekanisme lentur, bisa saja itu terjadi.
Gambar II.6.1. Dimensi balok dan perilakunya
Akibat perbedaan rasio bentang terhadap tinggi (L/h), maka perilakunya dalam memikul beban menjadi berbeda. Bentuk geometri balok biasa, beban dialihkan dengan mekanisme lentur sedangkan pada balok tinggi beban dialihkan menjadi diagonal gaya tekan (struc) di sisi tas, dan gaya tarik (ti) di sisi bawah tanpa terjadinya efek lentur. Perilaku balok biasa dan balok tinggi sangat berbeda. Hal itu jadi perhatian penting pada perencanaan struktur beton. Maklum cara konstruksi keduanya tidak berbeda banyak, penampangnya sama-sama berbentuk persegi dan umumnya tidak ada masalah terkait kelangsingan elemen-elemennya. Kondisi itu akan berbeda jika diaplikasikan pada struktur baja, yang penampang baloknya tidak persegi tetapi berbentuk profil I.
45 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.2. Dimensi balok dan perilakunya
Struktur baja menggunakan produk hasil industry, yang terbatas dalam menentukan dimensi profulnya. Ini memang kelemahannya dibanding struktur beton yang relative bebas dalam menetapkan ukuran atau dimensi. Pada struktur beton, membuat balok (biasa) atau balok tinggi (deep-beam), tidaklah ditemukan kesulitan yang berarti. Padahal di struktur baja, dimensi penampang umumnya adalah tertentu, mengikuti standardiasi yang telah ditetapkan, yaitu agar produksinya efisien. Jika memakai profil baja hot-rolled maka kemungkinannya sangat kecil menghasilkan struktur yang berperilaku sebagai balok tinggi. Kalaupun ada hanya mungkin jika digunakan profil I built-up .
II.6.1. Pengaruh Kelangsingan Elemen II.6.1.1. Tekuk local Umum diketahui bahwa penampang balok baja terdiri dari profil terbuka dan elemennya relative tipis. Kelangsingan dapat diukur dari rasio lebar-tebal. Jika terjadi tegangan tekan, elemen berisiiko mengalami keruntuhan tekuk local (local buckling).
(a)
(b)
Gambar II.6.1.1.1. lokal buckling pada balok (a) sayap tertekan (b) badan tertekan.
46 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.1.1.2.. Tekuk local pada pelat badan dan sayap
Sisi lainnya, analisa struktur untuk mencari gaya internal struktur, umumnya hanya memakai permodelan elemen garis, sehingga kelangsingan elemen profil tidak terdeteksi. Tekuk local tentu tidak bisa diabaikan. Keberadaaannya mengurangi kinerja struktur, bahkan bisa memicu kerusakan yang lebih besar. Bagaimanapun juga telah disadari bahwa analisis struktur memprediksi tekuk local tersebut adalah tidak mudah (kompleks).
Gambar II.6.1.1.3. Tekuk local pada penampang langsing (Maljaars 2008)
Simulai numeric dengan FEM pakai elemen shell memang bisa memberikan solusi yang efektif. Tetapi prosedurnya tidak cukup praktis jika digunakan dalam proses perencanaan rutin yang biasa. Untuk mengatasi masalah agar cara perencanaan mudah dan praktis maka dipilih cara klasifikasi penampang balok uang didasarkan pada rasio b/t atau lebar terhadap tebal elemen-elemen penyusun profil balok sebagai tahap dasar.
II.6.1.2. Tekuk torsi lateral Tekuk torsi lateral terjadi jika nilai kuat lentur tekuk torsi lateralnya lebih kecil dari nilai kuat lentur akibat keruntuhan global dan keruntuhan akibat tekuk lokalnya.
47 Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab it, tekuk torsi lateral harus selalu diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal suatu balok. Sebuah balok yang memiliki kelangsingan arah lateral (samping) yang kecil akan dapat mengalai tekuk torsi lateral dan lentur secara bersamaan ketika balok tersebut memikul beban. Akibat beban balok akan bertranslasi ke bawah dan akibat tekuk lateral batang akan menekuk ke samping diikuti dengan memuntirnya penampang, hal ini dapat dilihat pada gambar II.6. Akibat tekuk torsi lateral, penampang pada tengah bentang selain mengalamin penurunan (u) juga berdeformasi lateral (v) serta berotasi (φ).
Gambar II.6.1.2.1 Balok yang mengalami lentur dan tekuk lateral
Telah dipahami, struktur kantilever dengan profil UNP (Channel) yang dibebani pada pusat berat (cg) mengalami punter. Untuk menghindari, beban dipindah ke pusat geser (S).
Gambar II.6.1.2.2 Perilaku struktur kantilever dengan profil UNP
48 Universitas Sumatera Utara
Profil I simetri ganda, pusat berat berhimpit dengan pusat geser, sehingga tidak seperti profil UNP, tidak mengalami puntir. Fakta menunjukkan ternyata kantilever profil I dapat mengalami rotasi (puntir) dan bertranslasi arah lateral seperti pada gambar Gambar II.6.1.2.3.
Gambar II.6.1.2.3 Fenomena tekuk lateral pada kantilever (Trahair et.al 2008)
Kondisi bahwa penamapng balok I dapat berotasi sekaligus bertranslasi lateral ini disebut tekuk torsi lateral (lateral torsional buckling), atau istilah singkatnya LTB. Ini terjadi jika kekakuan lateral penampangnya relative kecil dibanding pertambatan lateral yang tersedia. Sehingga seperti halnya batang tekan dengan Pcr maka balok dalam ini juga mempunyai Mcr (momen kritis) sebagai factor pemicunya. Dengan kata lain, selama beban yang diberikan tidak melebih M cr, maka fenomena LTB tidak terjadi. Ini tentu berbeda dari profil UNP yang langsung terpuntir saat dibebani. Fenomena tekuk tori lateral (LTB) adalah hal penting yang perlu dieprhitungkan pada perencanaan balok, merupakan salah satu kondisi batas geometri yang menentukan kuat lentur nominal. Parameter geomertrinya adalah bentuk dan dimensi profil, serta jarak antara pertambatan lateral atau lateral bracing (Lb) yang dipasang untuk mencegah terjadinya LTB. 49 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.1.2.4 Pertambatan lateral pada jembatan (sumber www.shortspansteelbridges.org)
Gambar
II.6.1.2.4
memperlihatkan
pertambatan
lateral
(bracing)
yang
ditempatkan tegak lurus balok, berupa struktur rangka (truss) yang menghubungkan tiap-tiap balok. Dengan adanya struktur truss tersebut, torsi yang timbul akan diubah dan dijadikan kopel gaya antar balok yang terhubung tadi, sehingga yang terjadi hanya momen lentur biasa. Balok tidak terpuntir lagi tetapi bertranslasi vertical, yang berarti tidak terjadi LTB. Jarak pertambatan lateral, Lb jika semakin pendek maka semakin kecil risiko terjadi LTB, tetapi konsekuensinya struktur menjadi semakin mahal. Mencari proporsi jarak L sehingga risiki LTB menjadi minimum tetapi tetap ekonomis adalah prinsip desain balok lentur. Untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi Mcr ditinjau balok penampang persegi dengan pertambatan lateral pada titik tumpuannya, jadi Lb = L. Balok diberi momen, pada tumpuannya secara simultan dan dengan arah saling berlawanan, sehingga dihasilkan momen lentur konstan disepanjang bentang. Jika penampangnya ditinjau secara detail, maka pada sisi atas akan timbul tegangan tekan dan sisi bawah tegangan tarik. Ketika beban M ditambahkan terus sampai Mcr saat itu terjadilah tekuk torsi lateral, balok mengalami deformasi arah lateral dan berotasi cukup besar secara tibatiba (Gambar II.6.1.2.5), sehingga struktur menjadi tidak stabil dan memicu keruntuhan total.
50 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.1.2.5 Stabilitas balok lentur
Momen kritis yang menimbulkan LTB dapat diungkapkan sebagai berikut : Mcr =
EIyGJ
Dimana : E = modulus selasis material baja, 200000 MPa Iy = momen inersia pada arah sumbu lemah G = modulus geser elastisitas material, 80000 MPa J = konstanta torsi penampang (tidak ada warping). L = bentang balok tanpa pertambatan lateral
Ternyata momen kritis berbanding terbalik dengan jarak pertambatan lateral (L = Lb), semakin rapat penempatannya semakin besar Mcr yang berarti semakin kecil risiko terjadi LTB. Dalam hal ini, orientasi penampang balok dan arah pembebananannya juga menentukan. Jika rumus 6.13 menunjukkan bahwa momen kritis berbanding lurus dengan momen inersia sumbu lemah, Iy maka itu terjadi jika 51 Universitas Sumatera Utara
orientasi balok dibebani pada arah sumbu kuatnya. Secara umum momen inersia yang berpengaruh tentunya momen inersia tegak lurus arah pembebanan. Jadi jika penampang balok orientasi pembebanannya diarah sumbu lemah, maka parameter Iy akan digantikan dengan parameter Ix, sehingga Mcr meningkat dan risiko terjadi LTB menjadi kecil. Akhirnya yang menentukan adalah kuat material (yielding), bukan stabilitas geometri (LTB). Gambar II.6.1.2.6 berisi nilai J (konstanta torsi) beberapa penampang solid dan tertutup, kecuali pipa terbelah yang masuk kategori penamapng terbuka. Pipa terbelah tesebut untuk menunjukkan pada yang dimaksud dengan penampang tertutup dan penampang terbuka.
Gambar II.6.1.2.6. Konstanta torsi(J) penampang tertutup dan pipa terbelah
Meskipun awal mula sama, misal profil pipa, tetapi jika kemudian dibelah maka perilakunya berubah signifikan terhadap momen torsi. Maklum semula adalah penampang tertutup, yang mempunyai kekakuan torsi yang besar, ketika berubah menjadi penampang terbuka maka kekakuan torsinya menjadi relative kecil.
52 Universitas Sumatera Utara
II.6.1.3. Bentuk momen dan factor Cb Diagram momen untuk menghitung momen kritis terhadap tekuk torsi lateral (LTB) dianggap konstan linier sepanjang Lb (Gambar II.6.1.3). Jika diagram momen tidak konstan atau momen gradient, sehingga luasan momennya lebih kecil dibanding sebelumnya, maka tentunya momen kritis dapat ditingkatkan. Untuk itu rumus LRB sebelumnya masih dapat dipakai, cukup dimofikasi dengan memberikan factor Cb > 1. Nilainya dihitung sebgai berikut.
12,5 | Mmaks | 2,5 | Mmaks | 3 | MA | 4 | MB | 3 | MC |
Cb
=
Mmaks
= momen maksimum dalam segmen tanpa dibreising (Nmm)
MA
= momen pada titik seperempat dari segmen tanpa dibreising (Nmm)
MB
= momen pada sumbu segmen (
Mc
= momen pada titik tiga perempat segmen tanpa dibreising (Nmm)
) tanpa dibreising (Nmm)
Sistem pertambatan lateral yang dipasang tentu saja bersifat “setempat” bukan menerus.
Contoh numeriknya.
Gambar II.6.1.3 Momen gradient dalam penentuan Cb 53 Universitas Sumatera Utara
Untuk balok dengan momen konstan (uniform) dan katilever, maka nilai Cb = 1.0. Ini adalah nilai yang konservatif (aman). Nb : perencanaan dengan program computer (Misalnya SAP2000) dapat menghitung otomatis nilai Cb > 1. Padahal baloknya adalah kantilever, sehingga hasilnya tidak sesuai ketentuan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian karena pada dasarnya proses analisis dan desain pada program computer adalah berbeda algoritmanya,
II.6.1.4. Rasio lebal-tebal dan klasifikasi Klasifikasi profil adalah tahapan awal proses perencanaan struktur baja. Cara tersebut dipakai untuk antisipasi terhadap bahaya (local buckling) dari elemen-elemen penyusun profil. Cara ini adalah langkah sederhana yang efektif, dimana rasio terhadap tebal (b/t) menunjukkan kelangsingan elemen pelat sayap dan badan (web), yang kemudian akan dievaluasi berdasarkan kondisi kekangannya (restraint). Elemen-elemen penyusun profil diklasifikasi sebagai : kompak, non-kompak, atau langsing (ref. Table B4.1b AISC 2010). Klasifikasi elemen pelat penyusun profil balok sangat penting karena menentukan langkah hitungan dan formulasi yang dipakai
54 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6.1.4 Klasifikasi elemen tekan batang memikul lentur (Table B4.1b AISC 2010)
55 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6.1.4. disalin dari Tabel B4.1b (AISC 2010), dan dipakai untuk menetapkan klasifikasi elemen profil balok, apakah kompak, non-kompak, atau langsing. Profil balok disebut kompak jika b/t dari keseluruhan elemen (pelat sayap dan pelat badan) memenuhi klasifikasi kompak. Balok profil kompak mampu memikul momen sampai serat terluarnya mencapai tegangan leleh, ketika diberi momen lagi dapat berotasi lagi, sekaligus mendistribusi tegangan ke serat penampang bagian dalam, sampai semuanya plastis (Mp). Kapasitas rotasi inelastic balok kompak minimal 3 kali kapasitas rotasi elastic sebelum terjadi tekuk local. Balok struktur daktail untuk bangunan tahan gempa, kapasitas rotasinya bahkan dipersyaratkan lebih besar, yaitu 7 atau lebih (Chen-Lui 2005). Profil kompak merupakan konfigurasi geometri penampang yang paling efisien dalam memanfaatkan material. Itu alasan mengapa hampir sebagian besar profil WF hot-rolled buatan pabrik, masuk pada katefori profil kompak. Karena kemampuan profil mencapai momen plastis, perilaku keruntuhannya bersifat daktail, sehingga menjadi syarat penting bangunan tahan gempa. Meskipun begitu, untuk penampang balok kompak yang khusus digunakan sebagai system rangka daktail (penampang plastis), maka kriterianya lebih ketat, termasuk juga jarak pertambatan lateralnya (AISC 2010). Penampang non-kompak mempunyai efisiensi satu tingkat lebih kecil dibanding penampang kompak dan ketika dibebani serat tepi terluarnya dapat mencapai tegangan leleh, meskipun demikian sebelum penampang plastis penuh terbentuk, profil akan mengalami tekuk local terlebih dahulu. Oleh karena itu kapasitas momen yang dapat diandalkan pada penampang ini adalah My < Mp. Penampang langsing adalah konfigurasi profil yang tidak efisien ditinjau dari segi pemakaian material. Apalagi jika yang dipakai adalah bahan baja bermutu tinggi. Jadi saat dibebani sebelum tegangan mencapai kondisi leleh telah terjadi tekuk local terlebih dahulu. Oleh karena keruntuhannya ditentukan oleh tekuk, yang sifatnya tidak daktail, maka penampang langsing tidak disarankan untuk digunakan sebagai elemen struktur utama, apalagi untuk bangunan tahan gempa. Kapasitas momen balok adalah M < My. Jadi klasifikasi penampang balok diperlukan untuk membedakan perilakunya dalam memikul momen sampai kondisi inelastisnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kurva hubungan momen dan kelengkungan (curvature) pada gambar II.6.1.4 56 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.1.4. Perilaku penampang berdasarkan klasifikasi (Kulak – Gronding 2002)
II.6.2 Pertambatan Lateral Pertambatan lateral atau lateral bracing adalah kondisi geometri, bisa berupa elemen atau struktur khusus tambahan, bisa elemen lain yang terhubung pada balok, yang berfungsi mencegah balok mengalami tekuk torsi lateral (LTB). Agar bekerja sebagai lateral bracing, struktur yang dimaksud harus dapat memegang komponen balok yang mengalami tekan, yang berpotensi LTB. Oleh karena adanya lateral bracing tersebut, balok tertahan terhadap terjadinya translasi lateral dan rotasi, menjelang momen krisits. Tujuan ditambahkannya pertambatan lateral akan berhubungan dengan nilai Lb, dimana nilai Lb akan semakin kecil tergantung dari jarak pertambatan lateral. Tegangan lentur ijin balok-balok dengan dukungan lateral dipasang di tempattempat tertentu bergantung kepada panjang bagian yang tak terdukung dan gradien momen. Semakin panjang bagian tak terdukung semakin rendah tegangan ijinnya, begitu pula kapasitas momennya. y Pertambatan Lateral
Pertambatan Lateral
x
Gambar II.6.2.1. Balok dengan pertambatan lateral.
57 Universitas Sumatera Utara
Sistem pertambatan lateral bisa setempat atau menerus. Untuk yang setempat, minimal harus dipasang apda titik-titik tumpuannya. Adapun Lb adalah jarak antar pertambatan lateral setempat sedangkan L adalah bentang balok.
Gambar II.6.2.2. Kondisi pertambatan lateral pada balok Garis putus-putus menunjukkan mode tekuk lateral yang bisa saja terjadi meskipun telah dipasang pertambatan. Pada kondisi lainnya, dimana komponen balok yang mengalami desak, yaitu elemen sayap dapat tertanam/terpegang baik oleh lantai pelat beton (ada shear conncector) atau pelat baja (di las), maka dapat dianggap pertamabtan lateral yang ada adalah menerus di sepanjang balok, yang berarti tidak ada risiko untuk terjadi tekuk. Kondisi itu dianggap mencukupi sebgai lateral bracing khususnya jika baloknya mempunyati rasio pelat badan yang kaku, untuk balok tinggi maka tetap dierlukan strukrur bracing yang khusus. Untuk menjadi lateral bracing maka yang penting adalah kemampuannya mencegah terjadinya perpindahan lateral dan sekaligus perputaran pada balok. Selain itu, struktur bracing juga dapat dimanfaatkkan sebagai strukru diaphragm, untuk mendistribusikan beban berlebih pada satu balok ke balok yang lain disampingnya. Hanya saja jika beban berlebih itu ternyata ada disemua balok, maka tentu saja struktur diaphragam tidak berperan banyak dalam meningkatkan keamanan balok. Efektif tidaknya lateral bracing untuk menjadi distributor beban berlebih (lokal) tentu tergantung juga dari konfigurasi atau kekakuan tipe bracing yang dipasang.
58 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.2.3. Sistem bracing pada jembatan baja melengkung Kontruksi baja profil I lengkung horizontal keberadaan bracing yang dipasang tegak lurus di interval tertentu di sepanjang balok, tidak sekedar berfungsi sebagai lateral bracing atau diaphragm untuk pembebanan berlebih saja, tetapi menjadi kesatuan dengan struktur balok itu sendiri. Tanpa bracing, balok tidak bisa melengkung secara aman. Itu terjadi karena bentuk geometri lengkung memicu momen torsi, baik akibat berat sendirinya maupun beban hidup rencana. Oleh karena itu dalam analisis strukturnya, elemen balok dan elemen bracing harus dimodelkan sekaligus, sebagai struktur grid (2D) atau rangka ruang (3D). Oleh sebab itu, dalam memilihi sistem struktur lateral bracing harus mengetahui juga perilaku struktur yang dianalisis. Maklum jika fungsinya sebgai lateral bracing saja, maka keberadaannya tidak perlu sampai dimodelkan pada analisis struktur. Bagaimanapun juga lateral bracing bukanlah bagian sistem pemikul beban, tetapi lebih kepada stabilitas balok. Jika memakai analisa struktur elasitk linier baisa, yang tidak bisa mengakses stabilitas struktur, maka memasukkan sistem bracing pada pemodelan strukurnya adalah pekerjaan sia-sia karenan pasti tidak ada pengaruhnya. Analisa struktur elastik linier balok tidak memerlukan informasi keberadaan lateral bracing, baru ketika tahap desain penampang hal itu diperlukan. Oleh sebab itu, tidak diperoleh gaya-gaya reaksi yang terjadi.
59 Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan apakah balok telah tertambat dengan baik atau tidak, tidak mudah ditetapkan secara awam. Sepintas, bisa saja terlihat ada komponen yang memegang balok, tetapi ternyata kategorinya tidak tertambat (bisa berisiko LTB) sehingga perlu dipasangan lateral bracing.
Gambar II.6.2.4.. Kategori penampang yang dianggap tanpa lateral bracing
Untuk antisipasi adanya LTB, lateral bracing harus dipasang pada sayap kritis, yaitu elemen sayap pada profil balok yang menerima tegangan tekan. Maklum gaya tekan adalah penyebab adanya LTB, jika tidak ada gaya tekan, tidak ada bahaya LTB. Berbagai strategi pemasangan lateral bracing yang disarankan AS 4100-1998.
Gambar II.6.2.5 Prinsip dasar pemasangan lateral bracing (AS 4100-1998)
60 Universitas Sumatera Utara
Pemilihan sistem struktur untuk lateral bracing banyak mengacu pengalaman empiris yang telah sukses sebelumnya. Jadi mempelajari sistem yang ada akan sangat membantu menemukan sistem yang paling sesuai.
Gambar II.6.2.6. Macam-macam pertambatan lateral balok (Gorenc et.al 2005)
Gambar II.6.2.6. menampilkan sistem rangka yang berfungsi sebagai pertambatan lateral pada jembatan dengan profil-I built up. Tinggi profil menimbulkan risiko tekuk torsi lateral (LTB) yang besar, sehingga sistem rangka
61 Universitas Sumatera Utara
sebagai pertambatan lateral harus dipasang relatif rapat. Bandingkan dengan tinggi profil-I built up nya.
Gambar II.6.2.7. Pertambatan Lateral pada konstruksi jembatan Jika sistem rangka hanya dipakai sebagai pertambatan lateral saja, tentu dalam analisis struktur tidak ada gaya-gaya yang dipikul. Maklum fungsinya hanya untuk stabilitas struktur utama, profil I built up. Meskipun begitu, untuk desain tidak boleh sembarangan. Menurut AS 41000-1998 sistem rangka perlu direncanakan terhadap gaya transversal sebesal 0.025 dari gaya tekan terbesar elemen yang ditambat. Tetapi, jika pemasangan sistem rangka begitu rapat, maka volume bajanya tentuk tidak kalah dibanding volume baja struktur utama. Jadi kalah dipakai sekedar untuk stabilitas saja (bukan pemikul utama), maka dengan volume yang besar tersebut tentu suatu saat akan dipertanyakan efisiensinya. Agar efisien, perencana dapat memanfaatkannya sebagai struktur pemikul lantai. Perhatikan balok memanjang kecil yang ditopang sistem rangka, yang akan bersama-sama balok utam memikul lantai. Keuntungannya, bentang struktur lantai menjadi pendek, sehingga tentunya lebih ringan. Jadi sistem rangka yang diapsang tidak sekedar pertambatan lateral saja, tetapi sistem strukturnya itu sendiri. Jadi sistem tersebut relatif efisien.
62 Universitas Sumatera Utara
II.6.3. Kuat lentur nominal Dari hasil klasifikasi berdasarkna rasio lebal-tebal elemen profil balok lentur, yaitu sayap dan badan pada tabel II.6.1.4, selanjutnya dapat dipilih prosedur perencanaan LRFD yang sesuai, menurut tabel II.6.3.1. Tabel II.6.3.1. Batas kelangsingan elemen sayap penampang menurut SNI 1729 ; 2015 (table b4.1a)
63 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6.3.2. Batas kelangsingan elemen badan penampang menurut SNI 1729 ; 2015 (table b4.1a)
Untuk perencanaan balok lentur dengan profil IWF, baik yang simetri ganda ataupun tunggal, dengan berbagai variasi rasio lebar-tebal elemen-elemen penyusun profil maka langkah-langkah perencanaan lengkap dapat dirangkai berdasarkan prosedur berikut ini.
64 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.3.1. Prosedur perencanaan balok lentur dengan profil IWF
Secara umum, dapat dinyatakan bahwa kuat lentur rencana balok (lentur) memenuhi persyaratan jika : 65 Universitas Sumatera Utara
M u = Øb M n Dimana : Mu
= kuat lentur perlu atau momen maksimum hasil kombinasi beban sesuai
ketentuan LRFD Øb
= factor ketahanan lentur, sebesari 0,9
Mn
= kuat lentur nominal balok ditinjadu terhadap ebrbagai kondisi batas
(material atau gometri) sesuai prosedur.
Ketentuan ini tidak memasukkan pengaruh fatique (kelelahan). Jika hal itu cukup dominan, perencanaan harus memperhitungkan tegangan terhadap beban kerja dan tegangan maksimum yang diijinkan adalah 0,66 Fy. Itu perlu karena fatig adalah fenomenan pada pembebanan siklik (berulang) dimana frekuensi dan besarnya beban mengakibatkan fraktur (retak) pada kondisi tegangan rendah (elastic). Jika itu terjadi, maka akibat beban berulang retak dapat bertambah besar dan akhirnya memicu terjadinya kerusakan fatal.
II.6.3.1. Profil I kompak Ketentuan berlaku untuk profil kompak, I simetri ganda dan UNP, dibebani pada sumbu kuat dan melalui pusat geser. Khusus profil UNP, jika beban tidak bisa berhimpit pada pusat geser, maka perlu ditambahkan bracing atau semacamnya untuk mencegah torsi.
Gambar II 6.3.1.1. Spesifikasi penamapang untuk prosedur AISC – F2
66 Universitas Sumatera Utara
Pada ketentuan ini, kuat lentur nominal penampang, Mn diambil dari nilai terkecil yang dihasilkan kondisi batas, yang berupa material leleh (momen plastis), dan tekuk torsi lateral. Kondisi-kondisi batas yang menentukan kuat lentur balok adalah : 1. Material leleh (Momen Plastis) Distribusi tegangan pada sebuah penampang akibat momen lentur, diperlihatkan dalam gambar II.6.3.1.2. Pada daerah beban layan, penampang masih elastik (gambar II.6.3.1.2), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat terluar mencapai kuat lelehnya ( ). Setelah mencapai tegangan leleh (εy), tegangan akan terus naik tanpa diikuti kenaikan tegangan.
f
p
M<Myx F=fy
p
M=Myx F=fy
p
Myx<M<Mp F=fy
p
M=Mp
Gambar II.6.3.1.2. Mekanisme Struktur Baja leleh
Ketika kuat leleh tercapai pada serat terluar (gambar 3.2), tahanan momen nominal sama dengan momen leleh Myx, dan besarnya adalah =
=
.
67 Universitas Sumatera Utara
Dan pada saat kondisi pada gambar II.6.3.1.2 tercapai, semua serat dalam penampang melampaui regangan lelehnya, dan dinamakan kondisi plastis. Tahanan momen nominal dalam kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, dan besarnya :
Kuat batas leleh (Y = yielding) Mn = Mp = Fy Zx Dimana : Mn
= kuat lentur nominal nalok, Nm
Mp
= momen lentur penampang plastis, Nm
Fy
= kuat leleh minimum, tergantung mutu baja, Mpa
Zx
= modulus plastis penampang terhadap sumbu kuat, mm3 =
.
Dengan : A
= Luas penampang, cm2
a
= Tinggi efektif, mm (a = H – (2 . Cx))
Cx
= Pusat berat arah sumbu x, cm
Cx 2
Cy
68 Universitas Sumatera Utara
2. Tekuk torsi lateral Alih-alih menghitung besarnya Mcr yang menyebabkan terjadinya tekuk torsi lateral (LTB) yang besarnya pasti tidak akan melebihi atau minimal sama dengan MP. Oleh karena itu, lebih baik dimulai dengan mencari Lp atau jarak pertambatan maksimum untuk menghindari tekuk torsi lateral (LTB) sebelum penampang plastis terbentuk sempurna, dapat dhitung sebagai berikut.
Lp = 1,76 ry
E Fy
Dimana : E = modulus elastitis baja (200000 Mpa) Fy = kuat leleh minimum tergantung mutu baja MPa ry = radius girasi balok terhadap sumbu lemah
Jika Lb adalah jarak pertambatan lateral yang dipasang pada balok maka untuk Lb ≤ Lp, diperoleh : Mn = Mp
Profil kompak untuk balok pada kondisi ini, paling efisien dalam pemakaian bahan, khususnya profil hot-rolled yang mempunyai mutu sama, antara elemen badan dan elemen sayapnya. Bila Lb > Lp, tetapi ingin tetap efisien, maka ditetapkan batasan Lr, yaitu jarak pertambatan lateral maksimum sedemikian sehingga serat terluar penampang (sayap) bisa mencapai leleh. Kondisinya seperti pada penampang non-kompak. Adanya residual stress atau tengagan sisa pada elemen terdesak akibat proses pembuatan ternayta berpengaruh dan akan mengurangi kapasitas penampang sehingga harus diperhitungkan. Besarnya tegangan sisa tersebut ternyata bervariasi tergantung prosesnya, pertaturan lama (AISC 1999 dan sebelumnya) menetapkan tegangan sisa sebesar 69 MPa (profil hot-rolled) dan 114 MPa (profil buatan dengan las). Penelitian terbaru menunjukkan, besarnya tegangan residu pada sayap terdesak dapat ditentukan sebesar 0,3Fy, sehingga tegangan efektif yang dapat digunakan 69 Universitas Sumatera Utara
adalah sebesar 0,7Fy (AISC 2005). Dengan demikian nilai Lr dapat dihitung sebagai berikut : E 0,7 Fy
Lr = 1,95 rts
Jc + Sxh0
(
Jc 0,7 Fy ) +6,76 ( ) Sxh0 E
Dimana : J
= konstanta torsi , mm4
Sx = modulus elastic penampang terhadap sumbu kuat, mm3 h0 = jarak antara titik berat elemen sayap, mm profil I atau WF simeteri ganda, c = 1
profil UNP, c =
rts2 =
1 Iy h0 2 Cw
IyCw Sx
Untuk profil I, nilai
1 Cw Iyh 0 2 4
1 Iyh 0 2 Sx
, sehinggan rts2 =
Nilai rts cukup akurat dengan hanya memperhitungkan radius girasi pelat sayap tekan ditambah 1/6 tinggi pelat badan (web) sebagai berikut : rts =
bf 12(1
1htw ) 6bftf
Jika Lb = Lr maka Mn = 0,7 Sx Fy, yaitu momen nominal efektif yang menyebabkan tegangan leleh pada serat desak terluar dari profil. Jika Lp ≤ Lb ≤ Lr, maka kapasistas lentur penampang nominal berbanding lurus, Mp ≥ Mn ≥ 0,7 Sx Fy dihitung dengan ineterpolasi linier sederhana sebagai berikut.
70 Universitas Sumatera Utara
Mn = Cb [Mp – (M p – 0,7 Fy Sx)
( Lb Lp) ] ≤ Mp ( Lr Lp)
Suatu hasil perencanaan yang baik, selain aman juga ekonomis. Itu tercapai jika bahan material dapat dimanfaatkan secara efisen. Kondisi batas kekuatan material (yielding) harus menentukan dan itu hanya dicapai jika balok profil kompak mempunyai Lb ≤ Lr Jika terpaksa dimana Lb > Lr, maka penampang sebelum mencapai kondisi leleh akan mengalami tekuk terlebih dahulu, suatu kondisi yang tidak efisien dalam pemakaian bahan material dan sebaiknya harus dihindari. Pada kondisi tersebut kapasitas balok ditentukan oleh terjadinya tekuk (LTB) dan dihitung sebagai berikut. Fcr =
Cb 2 E Lb ( )2 Ls
1+ 0,078
Jc Lb 2 ( ) Sxh0 rts
Cb adalah factor yang dipakai untuk memperhitungkan pengaruh momen gradient (momen tidak konstan). Pada perencanaan yang konservatif, dapat dianggap momen kritis penyebab LTB bernilai konstan sepanjang titik-titik pertamabatan lateral (Lb). Untuk itu nilai Cb = 1. Nilai ini juga dipersyaratkan untuk balok kantilever. Kapasitas lentur nominal penampang kompak dapat digambarkan dalam kurva hubungan Mn – Lb atau kuat lentur nominal dan jarak pertambatan lateral sebagaimana terlihat pada gambar II.6.3.1.3.
Gambar II.6.3.1.3. Hubungan Mn – Lb balok penampang kompak (AISC 2010)
71 Universitas Sumatera Utara
Jadi penampang kompak mempunyai kuat lentur Mn maksimum adalah Mp, atau kuat lentur penampang plastis yang tergantung mutu bahan bajanya. Itu tercapai jika jarak pertambatan lateral, Lb memenuhi persyaratan 0 ≤ Lb ≤ Lp. Jika jarak Lb bertambah, sehingga Lp < Lb < Lr kuat lentur nominal berkurang secara linier sampai Mr = 0,7 Fy Sx. Suatu kondisi yang memperhitungkan tegnagan residu pada penampang sedemikian, sehingga elemen desak terluarnya mencapai tegangan leleh. Jika Lb > Lr maka kuat lenturnya tidak ditentukan lagi oleh mutu baja, yang berarti suatu kondisi yang tidak efisien atau ekonomis lagi. Balok penamapng kompak yang jarak pemasangan pertambatan lateral Lb > Lp maka kapasitas lenturnya dipengaruhi stabilitas. Pada kondisi seperti itu, kapasitasnya masih dapat ditingkatkan khususnya jika bentuk momennya tidak merata. Itu terjadi karena rumus momen kritis yang menyebabkan instabilitas atau tekuk, disusun dengan asumsi bahwa bidang momennya konstan untuk sepanjang pertambatan lateralnya. Padahal untuk beban umum, momen diagramnya tidak konstan, misalnya balok tumpuan sederhana, diagram momen tumpuannya nol dan momen maksimumnya di lapangan. Itulah yang disebut momen gradient. Pengaruhnya diwakili oleh factor Cb. Jika balok menerima momen gradient, maka untuk nilai maksimum momen yang sama, total momen di sepanjang balok akan lebih kecil dibanding momen konstan. Itu juga berarti, risiko terjadi tekuk torsi lateral (LTB) menjadi lebih kecil. Dengan kata lainnya momen kritis yang menyebabkan stabilitas terganggu (LTB) juga akan meningkat, yang berarti kapasitas lentur nominal balok akan dapat bertambah. Jadi dengan menetapakan besarnya nilai Cb > 1, sesuai dengan bentuk momen gradient yang terjadi, kapasitas lentur balok untuk Lb > Lp dapat dicari. Tentu saja peningkatannya tidak boleh lebih besar dari kapasitas penampang plastis (MP).
II.6.4. Lendutan batang Batas-batas lendutan untuk keadaan kemampuan-layan batas harus sesuai dengan struktur, fungsi penggunaan, sifat pembebanan, serta elemen-elemen yang didukung oleh struktur tersebut. Batas lendutan maksimum (δ) diberikan dalam Tabel II.6.4.
72 Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6.4. Batas Lendutan Maksimum(δ)
Komponen struktur dengan beban tidak terfaktor
Beban tetap
Beban sementara
Balok pemikul dinding atau finishing yang getas
L/360
-
Balok biasa
L/240
-
Kolom dengan analisis orde pertama saja
h/500
h/200
Kolom dengan analisis orde kedua
h/300
h/200
Dengan syarat Δ < δ Untuk beban terbagi rata :
=
.
Untuk beban terpusat ditengah bentang :
=
.
Dimana, W
=
P
= Beban aksial terfaktor, N.
+
II.65. Kuat geser nominal Elemen penampang balok, seperti pelat sayap dan badan, didesain terhadap momen lentur. Pelat sayap pengaruhya signifikan terhadap kapasitas lenturnya. Kedua elemen sayapnya dapat dihasilkan kopel gaya yang besar dalam mengantisipasi momen luar yang terjadi. Adapun fungsi terbesar pelat badan adalah memikul gaya geser. Secara umum kuat geser rencana memenuhi persyaratan jika : Vu ≤ φv Vn Dimana :
Vu = gaya geser batas, atau gaya geser terfaktor maksimum dari berbagai kombinasi sesuai peraturan beban 73 Universitas Sumatera Utara
φv = factor ketahanan geser = 0,9 ; kecuali proful hot-rolled yang mengikuti ketentuan AISC 2010, yaitu φv= 1
Vn = kuat geser nominal balok yang dapat dihitung sesuai AISC 2010.
AISC 2010 menyediakan dua opsi perencanaan terhadap geser, yaitu cara umum, yang tidak memanfaatkan kuat pelat pasca tekuknya dan cara khusus, karena dapat memanfaatkan tension field action, fenomena kuat pelat pasca tekuk. Cara kedua khusus karena hanya bisa dipakai jika pelat badan terbingkai di empat sisinya, horizontal oleh pelat sayap dan vertical oleh pelat pengaku tegak (transverse stiffener).
Gambar II.6.5.1 Kondisi geser pelat pasca tekuk (NASA, Langley Research Center)
Gambar II.6.5.1 memperlihatkan perilaku pasca tekuk pelat badan, dengan pelat pengaku tegak ketika dibebani. Fenomenan bentuk diagonal yang berhenti pada tiap pelat pengaku tegak itulah yang disebut tension field action. Adapaun bentuk menggelombang pada arah tegak lurusnya merupakan dampak adanya tekuk pelat. Pemasangan pelat pengaku tegak untuk setiap jarak tertentu, bersama-sama dengan pelat sayapnya, menghasilkan pelat badan terbingkai pada keempat sisinya. Pada konfigurasi seperti itu dan jika pelat badan relative langsing, maka saat menerima tegangan geser dapat mengalami tekuk di arah diagonalnya. Akibatnya keakuan pelat badan pada arah diagonal menjadi hilang. Untuk mempertahankan kesimbangan, timblah “tension field action” pada arah tegak lirus diagonal tekuk tadi. Mekanisme kerjanya seperti diagonal tarik pada struktur rangka batang )truss_.
74 Universitas Sumatera Utara
Uraian tentang mekanisme pengalihan gaya geser memanfaatkan fenomena “tension field action” dapat dilihat pada Gambar II.7.3.2.
Gambar II.6.5.2. Mekanisme pengalihan gaya geser pelat pasca tekuk
Mekanisme pengalihan gaya pada balok seperti yang terjadi pada struktur rangka batang (truss), yaitu pelat sayap menerima gaya tarik dan tekan, pelat pengaku tegak menerima gaya tekan, adapun pelat badan menerima gaya tarik dalam bentuk “tension field action”. Jadi pemasangan pelat pengaku tegak berperan sangat penting dalam membangkitkan mekanisme tersebut. Itulah tension field action yang ditetapkan dalam AISC 2010 yang merupakan alternative yang konservatif, karena mengevaluasi kuat geser nominal balok berdasarkan kondisi batas leleh dan konfisi batas tekuk pelat, yang diatur melalui koefisien geser pelat lantai, Cv.
II.6.5.1. Kuat geser – normal Kuat geser nominal, Vn pelat badan dari profil simetri tunggal atau ganda atau profil UNP, yang direncanakan tanpa memanfaatkan kekuatan pasca-tekuk, ditentukan dari kondisi batas akibat leleh dan tekuk akibat geser sebagai berikut : Vn = 0,6 Fy Aw Cv Dimana :
75 Universitas Sumatera Utara
Aw = d tw adalah luas total pelat badan. Adapun koefisien geser pelat badan, Cv pada dasarnya adalah factor reduksi untuk mengantisipasi terjadinya tekuk di pelat badan, sebagai berikut : a. Pelat badan profil I hot-rolled jika h/tw ≤ 2,24 ( )1/2 maka ∅v = 1.0 dan Cv = 1.0 b. Profil yang tidak memenuhi persyaratan diatas, tetapi simetri ganda atau tunggal maka Cv ditentukan dari kelangsingan pelat badan atau rasio h/t w dalam tiga kategori Jika h/tw ≤ 1.10 (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal dibatasi adanya leleh pada pelat badan, tidak ada pengaruh tekuk. Cv = 1.0 Jika 1.10 (kvE/Fy)1/2 < h/tw ≤ 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal mulai dipengaruhi oleh tekuk yang terjadi pada pelat badan. Cv = 1,10 (kvE/Fy)1/2 : (h/tw) Jika h/tw > 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka kuat geser nominal ditentukan oleh terjadinya tekuk elastic pada pelat badan. Cv =
1,51kvE h ( ) 2 Fy tw Adapun h adalah jarak bersih antara pelat-pelat sayap dari profil I built up, jika
profil I hot rolled dikurangi lagi dengan tebal fillet. Koefisien tekuk pelat, kv, untuk profil I tanpa pelat pengaku tegak dan kelangsingan pelat badannya h/tw < 260, maka kv = 5.0. Jika ada pelat pengaku tegak untuk tiap jarak a dengan syarat a/h ≤ 3, maka koefisien tekuk pelat menjadi : Kv = 5 +
5 (a / h) 2
Khusus untuk profil Tee dengan syap satu sisi saja, maka tahanan pelat badan terhadap tekuk berkurang, sehingga kv = 1.2. Pengaruh kelangsingan pelat badan h/t w terhadap koefisien geser pelat badan, Cv yang pada dasarnya factor reduksi mengatisipasi tekuk, dapat dilihat pada kurva berikut. 76 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.6.5.1.1. Pengaruh kelangsingan terhadap nilai Cv Nilai Cv berkorelasi langsung dengan kuat geser nominal, jika terlalu langsing pengaruh tekuk menjadi dominan sehingga terlihat pada kurva kekuatannya drop, tidak efisien jika didesain menurut AISC 2010. Untuk itu sebaiknya mengikuti ketentuan section G3 (AISC 2010) yang memanfaatkan fenomena “tension field action” pasca tekuk pelat untuk kinerja lebih baik.
**Persyaratan pelat pengaku tegak – Transverse Stiffeners** Untuk h/tw ≤ 2,46 (E/Fy)1/2 atau jika Vn menurut Section G.2 dengan kv = 5 telah mencukupi, yaitu Vu < ∅ Vn, maka tidak diperlukan pemasangan pelat pengaku tegak. Jika persyaratan tidak terpenuhi, khususnya jika pelat badannya relative langsing, kuat geser nominal dapat ditingkatkan memakai pelat pengaku tegak dengan jarak a, dan a/h ≤ 3 agar nilai kv > 5, sehingga nilai Cv akan meningkat pula. Meskipun demikian pelat pengaku tegak tidak boleh sembarangan, harus punya kekakuan atau momen inersia minimum agar efektif kerjanya, yaitu : Ist ≥ b tw2 j Dimana : J=
, ( )
- 2 ≥ 0,5
b = adalah nilai terkecil dari jarak pelat pengaku, a atau tinggi bersih pelat badan, h
77 Universitas Sumatera Utara
Ist = momen inersia pelat pengaku. Jika dua sisi (ganda) dihitung terhadap sumbu tengah pelat badan, jika satu sisi (tunggal) dihitung pada bidang kontak terhadap pelat badan. Pelat pengaku tegak (transverse stiffeneri) dipasang pada titik-titik di antara tumpuan, disebut juga intermediate transverse stiffener. Bentuk detail pelat pengaku tegak usulan Kulak – Gronding (2002), seperti pada Gambar II.6.3.1.2. Untuk pelat pengaku yang tepat diatas tumpuan, meskipun bentuk mirip tetapi berbeda prinsip kerjanya. Oleh karena itu perlu dibahas secara tersendiri.
Gambar II.6.5.1.2. Alternatif detail pelat pengaku tegak
Pelat pengaku tegak dapat dipasang pada satu sisi atau keduanya. Adapun momen inersianya dihitung pada sumbu netral berbeda. Pelat pengaku satu sisi umum dipilih jika akan dipasang pengaku memanjang (longitudinal stiffener), yang menerus (tak terpotong), seperti pelat sayap, tetapi itu tidak ada ketentuan di AISC (2010) bahkan AASHTO (2010) juga telah mengabaikannya (White 2012). Pemasangan pelat pengaku umumnya memakai las, yang relative praktis dan ekonomis, dibandingkan baut. Tetapi penggunaan las mempunyai dampak negative jika tidak dilakukan control seksama dan ketat. Panas yang diakibatkannya menimbulkan risiko fatiq, yaitu timbulnya fraktur pada tegangan yang relative rendah ketika dibebani beban siklik, suatu hal yang umum pada konstruksi jembatan. Ditelaah lebih lanjut, fatiq terjadi pada daerah adengan tegangan tarik transien. Itu 78 Universitas Sumatera Utara
alasannya, megapa detail pelat pengaku tegak diberi jarak terhadap pelat sayap tarik (Kulak_ Gronding 2002).
Gambar II.6.5.1.3 Balok dengan pelat pengaku tegak Pemasangan pelat pengaku tegak pada balok umumnya digunakan juga sebagai pelat sambung untuk system pertambatan lateralnya. Jadi banyaknya lubanglubang pada Gambar 6.3.1.3 adalah untuk itu.
II.6.5.2. Kuat geser – badan langsing Persyaratan khusus agar ketentuan ini berlaku adalah tersedianya “bingkai” pada pelat badan, yaitu sisi horizontal oleh keberadaan pelat sayap dan sisi vertical oleh pengaku tegak. Tetapi tetap tidak boleh diterapkan jika ketentuan berikut terjadi, yaitu :
Panel-panel ujung elemen batang dengan pelat pengaku tegak
Jika a/h >3 atau a/h [260/(h/tw)]2
Jika 2Aw / (Afc + Aft) > 2,5 atau
Jika h/bfc atau h/bft > 6,0
Dimana : Afc = luas pelat sayap tekan Aft = luas pelat sayap tarik bfc = lebar pelat sayap tekan bft = lebar pelat sayap tarik
79 Universitas Sumatera Utara
Jika hal-hal tersebut dijumpai maka ketentuan Section G3 ini tidak bisa digunakan. Balok harus direncanakan berdasarkan ketentuan Section G2 (AISC 2010) yang lebih konservatif. Balok yang dapat memanfaatkan fenomena pasca tekuk tension field action, maka pengalihan beban ke tumpuan mekanisenya ekivalen dengan struktur rangka batang (truss). Pelat pengaku bekerja sebgai batang tekan, dan diagonal tension field action menjadi batang tariknya, seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar II.6.5.2.1 Mekanisme kerja tension field action
Ingat, mekanisme tension field action baru akan bekerja jika pelat badan mengalami tekuk. Jika pelat relative kaku dan tidak terjadi tekuk, maka kondisi batas material yang menentukan (leleh). Oleh karena itu, batas atas kuat geser nominal pelat badan profil-I dengan tambahan pelat pengaku, adalah sama dan tidak lebih besar dari kuat geser nominal profil I, tanpa pelat pengaku Lihat, persamaan G2-1 dengan Cv = 1 dan G3-1 memberi hasil yang sama. Pelat badan relative kaku, jika h/tw ≤ 1.10 (kvE/fy)1/2- maka kuat geser nominal dibatasi oleh adanya leleh pelat badan, tidak ada tekuk : Vn = 0,6 Fy Aw Jika langsing, h/tw > 1.10 (kvE/Fy)1/12 maka pengaruh tekuk dominan sehingga mechanism tension field action timbul dan dimanfaatkan. = 0,6
+
( ,
) ( / )
Nilai Cv diambil sama seperti pada Section G2 (AISC 2010) dimana untuk kondisi 1,10 (kvE/Fy)1/2 < h/tw ≤ 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka : 80 Universitas Sumatera Utara
Cv = 1,10 (kvE/Fy)1/2 : (h/tw) Sedangkan untuk h/tw > 1,37 (kvE/Fy)1/2 maka : Cv =
1,51kvE h ( ) 2 Fy tw
*Syarat tambahan pelat pengaku tegak – Transverse Stiffeners ** Pelat pengaku tegak pada mekanisme tension field action, selain didasarkan ketentuan G2-7 (AISC 2010), harus memenuhi syarat terhadap batasan kelangsingan dan kekakuan. Itu terjadi karena pelat akan menerima gaya tekan, yang berisiko menjadi tekuk.
(b/t)st ≤ 0,56
E Fyst
Ist ≥ Ist1 + (Ist2 – Ist1) [
Vr Vcq ] Vc 2 Vcq
Dimana :
(b/t)st sebagai rasio lebar tebal pelat pengaku
Fyst sebagai tegangan leleh minimum pelat pengaku
Ist adalah momen inersia pelat pengaku. Jika dua sisi (ganda) dihitung terhadap sumbu tengah pelat badan, jika satu sisi (tunggal) dihitung pada bidang kontak terhadap pelat badan.
Ist1 adalah momen inersia minimum pelat pengaku terhadap terjadinya tekuk geser atau Ist1 = xtw2 j (persamaan G2-7)
Ist2 adalah momen inersia minimum pelat pengaku terhadap terjadinya tekuk geser dan sekaligus tension field action, yaitu L Ist =
h e pst 1,3 Fyw 1,5 ( ) 40 E
Fyw adlaah tegangan leleh minimum pelat badan.
81 Universitas Sumatera Utara
II.7. Balok-Kolom (Portal) Suatu komponen struktur harus mampu memikul beban aksial (tarik/tekan) serta momen lentur. Apabila besarnya gaya aksial yang bekerja cukup kecil dibandingkan momen lentur yang bekerja, maka efek dari gaya aksial tersebut dapat diabaikan dan komponen struktur tersebut dapat didesain sebagai komponen balok lentur. Namun apabila komponen struktur memikul gaya aksial dan momen lentur yang tidak dapat diabaikan salah satunya, maka komponen struktur tersebut dinamakan balok-kolom (beam-column) (Agus Setiawan : 2008). Elemen balok-kolom umumnya dijumpai pada struktur-struktur statis tak tertentu. Misalkan pada struktur portal statis tak tertentu pada Gambar II.7.
P1
A
B
P2
C
D
E
F
Gambar II.7. Struktur Portal Statis Tak Tentu.
Akibat kondisi pembebanan yang bekerja, maka batang AB tidak hanya memikul beban merata saja namun juga memikul beban lateral P1. Dalam hal ini efek lentur dan gaya tekan P1 yang bekerja pada batang AB harus dipertimbangkan dalam proses desain penampang batang AB, maka batang AB harus didesain sebagai suatu elemen balok-kolom. Selain, batang AB yang didesain sebagai elemen balok-kolom, batang AC, BD, CE, DF, juga didesain sebagai elemen balok kolom. Karena selain memikul gaya aksial akibat reaksi dari balok-balok AB dan CD, efek lentur dan efek gaya aksial yang bekerja tidak bisa diabaikan salah satunya. Berbeda dengan batang CD yang hanya didominasi oleh efek lentur, gaya 82 Universitas Sumatera Utara
lateral P2 telah dipikul oleh pengaku-pengaku (bracing) bentuk X. Sehingga batang CD dapat didesain sebagai suatu elemen balok tanpa pengaruh gaya aksial (Agus Setiawan : 2008).
II.7.1. Batang Portal Terhadap Kombinasi Gaya Momen Pembahasan secara sendiri-sendiri elemen struktur terhadpa gaya atau momen, dipilih karena kapasitas batang hanya maksimal untuk satu kondisi saja. Ketika terjadi kombinasi antara gaya dan momen secara sekaligus, maka kapasitas batang menjadi terbagi, sehingga kinerja terhadap daya dukungnya menjadi berkurang. Untuk memahami perilaku batang baja (tidak langsing) terhadap kombinasi gaya aksial dan momen yang selanjutnya disebut balok-kolom, maka dapat disusunlah kurva interaksi 3D (Gambar II.7.1.1). kurca merupaka respons balok-kolom terhadap gaya aksial (P), momen sumbu kuat (Mx), dan momen sumbu lemah (My)
Gambar II.7.1.1. Kurva kapasitas batang gemuk pada kombinasi gaya-momen
Tiap sumbu pada diagram di atas mewakili kapastias balok-kolom
yang
dibebani oleh satu macam gaya atau momen secara sendiri-sendiri. Adapun kurva lengkung diantara dua sumbu adalah hasil kombinasi gaya momen (vertical) atau momen biaksial (horizontal). Selanjutnya kurva permukaan hasil pertemuan ketiga kurva lengkung tersebut adalah kurva batas kapasitas kombinasi gaya akisal dan momen biaksial sekaligus. Dengan memperhatikan hal diatas maka jika terdapat kombinasi beban luar yang nilainya berada di bawah payung kurva batas tersebut maka kondisinya dianggap memenuhi syarat perencanaan. Karena kombinasi menyangkut berbagai macam gaya dan momen, format perencanaannya perlu diubah. Jika format LRFD yang biasa adalah Ru ≤ ∅ Rn maka 83 Universitas Sumatera Utara
untuk kombinasi menjadi Ru / ∅ Rn ≤ 1,0. Agar berlaku umum maka Ru dinotasikan sebagai r (required) atau kuat perlu dan ∅ Rn dengan notasi sebagai c (capacity) atau kapasitas rencana yang dapat disediakan. Notasi tetap memakai kata asing agar tidak ada perubahan rumus AISC (2010) yang diserap. Kurva interaksi sederhana dengan mengkombinasikan gaya perlu (Pr) terhadap kapasitas gaya rencana (Pc), momen sumbu kuat perlu (Mrx) terhadap kapasitas momen rencana sumbu kuat (Mcx), momen sumbu lemah perlu (Mry) terhadap kapasitas momen rencana sumbu lemah (Mcy) terlihat pada kurva interaksi berikut.
Gambar II.7.1.2. Kurva interaksi kombinasi gaya-momen sederhana
II.7.2. Penampang Simetri terhadap Lentur & Gaya Aksial Kurva interaksi AISC (2010) sedikit berbeda karena ada kalibrasi dengan data empiris, meskipun pada prinsipnya sama. Interaksi momen lentur dan gaya aksial pada penampang simetri ganda atau simetri tunggal dengan 0,1 ≤ Iyc / Iy ≤ 0,9 yang momennya dapat dipaksa melentur pada sumbu simetrinya, harus memenuhi persamaan H1-1a dan H1-1b (AISC 2010). Adapun Iyc adalah momen inersia sayap dengan tegangan desak terhadap sumbu y atau sumbu lemahnya. Persamaan interaksinya adalah : a. Jika
Pr ≥ 0,2 maka : Pc
Pr 8 Mrx Mry + ( ) ≤ 1,0 Pc 9 Mcx Mcy 84 Universitas Sumatera Utara
b. Jika
Pr < 0,2 maka : Pc
Pr Mrx Mry +( ) ≤ 1,0 Mcx Mcy 2 Pc
Dimana : Pr = Pu
kuat aksial perlu elemen struktur, hasil analisa struktur rangka secara menyeluruh (global)
Pc = ØPn
kuat rencana elemen struktur (tarik atau tekan)
Mr = M u
kuat lentur perlu elemen, hasil analisis struktur yang telah memperhitungkan efek orde ke-2 atau efek P-Δ pada rangka secara menyeluruh (global)
Mc = ØMn
kuat rencana elemen struktur sebagai balok lentur
x
subskrip symbol untuk momen lentur terhadap sumbu kuat penampang
y
subskrip symbol untuk momen lentur terhadap sumbu lemah penampang
II.8. Taper Frame Taper frame merupakan suatu profil baja yang mempunyai bentuk non simetris. Baja taper mengalami proses pemotongan pada bagian badan profil dengan kemiringan tertentu, kemudian hasil potongan direkayasa untuk mendapatkan luasan yang lebih besar di salah satu ujungnya.
85 Universitas Sumatera Utara
Gambar II.8. proses pembentukan baja taper
Dasar pemikirannya sederhana, bahwa ukuran (tinggi) flange baja disesuaikan dengan besarnya momen yang terjadi. Seperti diketahui bahwa untuk balok/portal sederhana, akibat beban merata maka momen maksimum hanya di tempat-tempat tertentu, jika simple-beam maka dilapangan, sedangkan untuk portal ada di sudutsudut portal. Dengan demikian jika dipakai ukuran profil yang sama di semua bentang pasti ada bagian yang tidak optimal. Oleh karena itu dengan memanfaatkan teknologi las, prifuk diubah sedemikian rupa menjadi bentuk tapered. Strategi ini tentu akan cocok jika digabung dengan keunggulan baja jika digunakan dalam bentuk modul seragam, berulang dan berkuantitas besar. Biaya yang dikeluarkan untuk mengubah profil standar menajdi profil tapered jika dilakukan berulang-ulang akhirnya biaya produksinya dapat ditekan, dan dalam sisi lain diperoleh keuntungan dari penghematan material bajanya. Jika digunakan teknologi pengelasan submerged-arc weld di bengkel fabrikasi maka tidak perlu bevel atau pekerjaan persiapan khusus pada bagian web yang di las tersebut. Adapun formulasi geometri untuk pemotongan profil konvensional untuk dibuat profil tapered sebagai berikut. Untuk desain penampang, prinsipnya adalah memastikan bahwa disetiap titik, tegangan yang terjadi tidak melebihi tengangan ijin atau dalam format LRFD adlaah Mu < Mn. Masalahnya, pada pembebanan merata momennya berbentuk parabola sedangkan perubahan tinggi profil tapered adalah linier. Sehingga perlu dicari lokasi 86 Universitas Sumatera Utara
tinggi kritis / critical depth (Blodget 1976) yaitu tinggi profil minium batang tapered yang diperlukan untuk menahan momen actual. Dari penelitian Blodget (1976) untuk balok tumpuan sederhana terhadap pembebanan merata maka lokasi tinggi kritis akan terletak pada ¼ bentangnya, dan bukan ditengah-tengahnya meskipun disitulah terletak momen maksimumnya. Perilaku structural kebanyakan balok tanpa pengekang lateral baik itu prismatic atau balok taper sangat bergantung terhadap tekuk lateral torsinya, pada fenomena yang lebih kompleks dapat berupa kombinasi sumbu tekuk dan juga torsinya. Namun itu dapat dicerna secara logika, pada keseragaman dan kemudahan penggunaan, satu perilaku metode perencanaan dapat digunakan baik untuk balok perismatis juga taper. Untuk mencapai maksud tersebut pendekan paling umum adalah mencoba memodifikasi aturan da prosedur dalam balok prismatic dengan makssud untuk melihat kemampuan lateralnya. Adapun juga kerugian dari penggunaan baja taper, yaitu salah satu ujung penampangnya akan mengecil, dikarenakan luasan penampang salah satu ujungnya dikorbankan untuk menambah luasan penampang di ujung penampang lainnya. Karena perbedaan tersebut, maka salah satu ujung dari baja taper tersebut adalah lemah dan hanya dapat menahan tegangan dan momen yang kecil, mereka merupakan struktur nonlinear, dimana tidak bisa dianalisi dengan metode sederhana.
87 Universitas Sumatera Utara