BAB II TEORI DASAR
2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh Pada dasarnya dalam penginderaan jauh mempunyai konsep yaitu memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk berinteraksi dengan suatu objek atau fenomena yang akan dikaji. Terdapat tujuh buah elemen yang berhubungan dengan penginderaan jauh, yaitu : 1. Sumber energi. 2. Radiasi dan Atmosfer. 3. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan target. 4. Perekaman oleh sensor. 5. Transmisi. 6. Penerimaan. 7. Proses gelombang elektr magnetik,interpretasi dan analisis serta aplikasinya. Berdasarkan panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, sistem dalam penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi (Soenarmo, 1994): •
Penginderaan jauh visibel dan inframerah, sumber energi yang digunakan adalah matahari dengan puncak radiasinya 0,5 µm. Data yang diperoleh tergantung pada kemampuan target merefleksikan radiasi elektromagnetik matahari. Selanjutnya informasi mengenai target dapat diperoleh melalui spektrum refleksinya.
•
Penginderaan jauh inframerah termal, sumber energi yang digunakan adalah energi radiasi dari target yang bersangkutan. Dasarnya adalah, seperti telah dibahas sebelumnya mengenai sifat radiasi elektromagnetik, bahwa semua benda pada temperatur di atas 0°K atau -273°C memancarkan radiasi elektromagnetik terus-menerus dengan puncak radiasi ± 10 µm.
•
Penginderaan jauh gelombang pendek, sistem penginderaan jauh ini memiliki dua tipe yaitu pasif dan aktif. II-1
Sistem pasif (gambar 2.1) adalah sistem yang menggunakan energi yang telah tersedia, dalam hal ini adalah energi dari matahari. Untuk seluruh energi yang direfleksikan, sensor pasif hanya dapat digunakan saat ada penyinaran matahari. Pada malam hari, tidak ada refleksi energi dari matahari yang dapat digunakan. Pada sistem pasif radiasi gelombang pendek dipancarkan dari target yang dideteksi. Sistem aktif (gambar 2.2) adalah sistem penginderaan jauh yang menggunakan energi yang diemisikan sendiri (tidak menggunakan matahari sebagai sumber energi).
Gambar 2.1 Cara kerja sistim sensor pasif dari wahana satelit (Sumber: Fundamental of Remote Sensing tutorial, 1998)
Gambar 2.2 Cara kerja sistim sensor aktif dari wahana satelit (Sumber: Fundamental of Remote Sensing tutorial, 1998)
2.2 Satelit ASTER ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission And Reflection Radiometric) merupakan instrumen yang dibawa oleh satelit TERRA. ASTER bertugas untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka monitoring lingkungan hidup secara global dan penginderaan sumber daya alam. Ground resolution ASTER lebih tinggi dibandingkan dengan LANDSAT- TM, demikian juga untuk resolusi II-2
spektral dengan 5 band termal dan 6 band short wave-infrared, serta kualitas fungsi stereoskopik yang lebih tinggi dibandingkan satelit sebelumnya, JERS1. Satelit ini memiliki orbit sun-synchronous dan ketinggian 705 km, melewati orbit yang sama setiap 16 hari.
Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1. Sensor ini terdiri dari Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer (TIR), Intersected Signal Processing Unit dan Master Power Unit.
VNIR merupakan instrumen optikal dengan resolusi tinggi yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level gelombang visible hingga infrared (520 - 860 mikrometer) dengan 3 band. Dimana band 3b dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopik. Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini.
SWIR merupakan instrumen optikal dengan resolusi tinggi mempunyai dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range (1.6-2.43 mikrometer).
TIR adalah instrumen dengan akurasi tinggi untuk observasi radiasi termal infrared (800 - 1200 mikrometer) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Sensor dengan multi-band termal infrared dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90 m.
II-3
Gambar 2.3 Satelit Aster (Sumber : Aster ,NASA)
Tabel 2.1 Karakteristik dari 3 sensor sistem ASTER Subsistem
VNIR
SWIR
TIR
Band No
Spektral Range
Resolusi spasial
(µm)
m
1
0.52-0.60
2
0.63-0.69
3N
0.78-0.86
3B
0.78-0.86
4
1.60-1.70
5
2.145-2.185
6
2.185-2.225
7
2.235-2.285
8
2.295-2.365
9
2.360-2.430
10
8.125-8.475
11
8.475-8.825
12
8.925-9.275
13
10.25-10.95
14
10.95-11.65
II-4
15
30
90
2.3 Dasar Pengolahan Citra Citra adalah gambar 2 atau 3
dimensi sebagai fungsi dari intensitas cahaya
matahari yang dihasilkan dari observasi satelit bumi yang dikirim ke bumi melalui sinyal gelombang dan disimpan atau diterima oleh stasiun penerima dalam bentuk magnet tape. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan dalam pita magnetik.
Pengolahan Citra Digital (PCD) merupakan hal yang paling penting dalam penginderaan jauh saat ini. Citra satelit digital tersusun dari rangkaian grid-grid kecil yang disebut piksel dan setiap piksel secara spasial melambangkan suatu area tertentu pada permukaan. Rangkaian grid-grid ini sering disebut raster sehingga suatu data citra digital seringkali digolongkan sebagai informasi/data raster. Setiap piksel dalam citra raster direpresentasikan oleh nomor digital. PCD berkaitan dengan proses pengolahan informasi dengan komputer. Kegunaan PCD adalah untuk mengkoreksi, meningkatkan atau menajamkan kualitas citra sehingga dapat dimengerti dan mudah diambil informasi yang dibutuhkan.
Tahapan pengolahan yang dilakukan adalah sebagai berikut: •
Pemulihan citra, terdiri dari: a. koreksi radiometrik dan atmosfer b. koreksi geometrik dan registrasi
•
Peningkatan kualitas citra, meliputi: a. ketajaman, noise, kontras b. penyaringan data (filtering)
•
Klasifikasi citra, yaitu memilah jenis data
II-5
2.3.1 Pemulihan Citra Pemulihan citra merupakan suatu cara untuk memanipulasi citra hasil penginderaan jauh untuk menghilangkan distorsi atau kesalahan. Terdapat 2 koreksi penting dalam pemulihan citra, yaitu: 1.
Koreksi atmosferik Karena ketidaksempurnaan dari sensor di satelit dan juga pengaruh gangguan atmosfer serta pesawat penerima, data yang dipancarkan dan ditangkap oleh stasiun penerima di bumi akan mengandung kesalahan yang perlu dihilangkan supaya data terekam mempunyai makna yang benar. Prosesnya disebut sebagai koreksi atmosferik dan bertujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi pada keadaan yang seharusnya.
2.
Koreksi geometrik Citra Satelit selalu mengandung kesalahan yang bersifat sistematik dan acak. Kesalahan tersebut dapat dikoreksi bila tersedia informasi mengenai karakteristik, orientasi serta keutuhan sensornya seperti misalnya kecepatan pergerakan satelit dan rotasi, kelengkungan bumi serta distorsi panoramik dan perspektif. Tersedianya sejumlah titik kontrol tanah akan membantu dalam mengkoreksi kesalahan karena orientasi satelit dan ketinggian. Citra satelit yang diterima biasanya sudah bersih dari kesalahan grup pertama di atas. Sehingga hanya koreksi geometrik yang dilakukan untuk membuat data citra bermanfaat, yaitu proses rektifikasi dan registrasi.
Proses rektifikasi bertujuan untuk membetulkan orientasi dari citra sehingga akan mempunyai posisi yang absolut sesuai dengan sistem proyeksi tertentu. Cara yang ditempuh adalah dengan proses transformasi matematik dari sistem koordinat citra ke sistem koordinat tanah. Proses ini membutuhkan titik kontrol tanah sehingga setiap piksel akan mempunyai koordinat yang absolut. Sebaliknya proses registrasi biasanya digunakan bila posisi relatif yang lebih diperlukan. Misalnya bila akan membandingkan 2 buah citra dari daerah yang sama dan diperoleh pada saat yang berbeda, maka yang akan II-6
dilakukan adalah transformasi dari citra satu ke citra lainnya. Hal ini untuk membuat kedua buah citra tersebut mempunyai orientasi dan skala yang sama.
Langkah yang dilakukan pada proses rektifikasi geometrik terdiri dari 2 tahap, yaitu: 1.
Memformulasikan hubungan geometrik antara baris, kolom (b,k) dari piksel citra dengan posisinya di tanah (x,y). Proses ini dikenal dengan interpolasi spasial. Persamaan polinomial merupakan model matematik yang sering digunakan untuk mentransformasi sistem citra ke sistem tanah.
2.
Menentukan nilai numerik dari kecerahan setiap piksel. Hal ini terjadi karena nilai (b,k) yang selalu bilangan bulat (1,2,3,…) setelah ditransformasi akan berubah menjadi bilangan real (1,1;2,4;5,6;…). Sehingga setelah transformasi piksel tidak akan berada tepat pada baris dan kolom. Oleh karena itu nilai piksel harus ditentukan dengan cara tertentu. Proses ini disebut interpolasi intensitas. Proses ini menentukan nilai numerik setiap piksel pada citra hasil transformasi. Tiga cara yang lazim dilakukan adalah: a.Nearest-Neighbour: pada cara ini nilai piksel ditentukan dengan mengambil nilai piksel dari piksel terdekat. b.Bilinier: cara ini menentukan nilai piksel dengan meratakan nilai piksel dari 4 buah piksel disekitarnya. c.Bikubik: perhitungannya mirip dengan cara kedua, tapi disini melibatkan 16 piksel disekitarnya. Sehingga memerlukan waktu perhitungan yang lebih lama.
2.3.2 Penajaman Citra Proses ini bertujuan untuk untuk mempertajam kualitas penampilan citra sehingga meningkatkan kemudahan dalam proses interpolasi citra karena penampilan image data akan lebih ekspresif. Algoritma penghalusan citra diterapkan pada citra remote untuk memudahkan analisis visual oleh manusia, meskipun terkadang analisisnya bersifat subyektif. Algoritma tersebut dapat meliputi: II-7
a. Perbesaran dan pengecilan citra Pengecilan citra diperlukan karena banyak sistem pengolahan citra yang tidak dapat menampilkan citra secara menyeluruh. Agar dapat ditampilkan maka dapat dilakukan reduksi citra.
b. Penajaman kontras Sensor akan merekam pantulan dan menyerap fluks radiasi dari material di permukaan bumi. Idealnya, suatu bahan akan memantulkan dengan baik sejumlah energi pada panjang gelombang yang sama. Sensor yang terpasang harus mampu mendeteksi kecerahan sinar dari yang sangat tinggi (pantulan oleh salju) sampai dengan yang sangat rendah (pantulan air laut) yang lazimnya dikenal dengan istilah derajat atau tingkat keabuan.
Sebuah citra yang baik idealnya akan mempunyai sebaran nilai numerik yang memenuhi rentang 0-255 dengan distribusi yang merata. Tetapi umumnya nilai piksel pada sebuah citra akan diisi oleh nilai yang menempati bagian relatif kecil dari rentang 0-255. Tampilan yang lebih ekspresif akan diperoleh bila luas rentang diperluas (stretch) sehingga memenuhi seluruh daerah spektrum. Ada 3 teknik men- stretch rentangan, yaitu: i.
Rentangan linier (linier stretch) Citra akan diskalakan secara linear pada batas nilai piksel minimum dan nilai piksel maksimum. Nilai-nilai piksel yang lebih besar atau sama dengan nilai maksimum dikelompokkan menjadi nilai tertinggi sedangkan nilai-nilai yang kurang dari atau sama dengan nilai minimum dikelompokkan menjadi nilai terendah.
ii.
Rentangan histogram (histogram equalization) Citra diproses berdasarkan jumlah kelas yang sama dengan melihat bentuk histogram citra tersebut. Pengolahan ini menghasilkan informasi maksimum yang diberikan oleh setiap kelas. Tetapi bukan berarti citra yang dihasilkan II-8
sangat berkualitas, sebab ada satu informasi yang hilang dari karakteristik citra tersebut.
iii.
Linier dengan pengencangan (Linear with saturation) Citra di scretch secara linear dengan saturasi (pengencangan) yang dinyatakan dalam persen.
c.
Filter
Bila kenampakan suatu citra agak sukar untuk dianalisis karena kekontrasannya rendah atau karena banyaknya noise pada citra, maka untuk kepentingan interpretasi perlu dilakukan perbaikan citra yang dapat dilakukan dengan jalan filtering. Beberapa jenis filter ke ruangan yang ada antara lain: low pass filtering, high pass filtering, dan band pass filtering.
2.3.3 Klasifikasi Citra Ini merupakan tahap terakhir dalam pengolahan citra. Proses ini bertujuan untuk membagi
daerah
cakupan
berdasarkan
jenis
objeknya
dengan
cara
menginterpretasi kenampakannya di atas citra dan menyatakannya dengan simbol tertentu. Dari proses ini dapat dihasilkan suatu peta tematik yang sangat berarti bagi keperluan perencanaan selanjutnya.
Proses pengklasifikasian citra satelit biasa dilakukan secara terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification). Pada metode yang pertama, identitas dan lokasi dari suatu liputan lahan seperti lahan pertanian, hutan dan perkotaan telah diketahui melalui pemeriksaan lapangan atau interpretasi dari foto udara. Analisa diarahkan untuk melokalisir lokasi spesifiknya di citra dengan mencari sampel areanya (training site). Pemilihan metode yang cocok untuk penentuan kelas dari piksel tergantung kepada sifat dari masukan data dan keluaran yang diharapkan. Metode yang umum digunakan adalah: a.
Paralel – Epipedum
Metode ini merupakan metode yang sering digunakan. Harga rata-rata nilai numerik piksel dari suatu training-site dan harga titik tengahnya merupakan II-9
informasi yang sangat penting. Harga ini didapatkan dari setiap training site pada setiap band yang disertakan. b.
Jarak terdekat
Keputusan mengenai kelas setiap piksel didasarkan pada selisih nilai pikselnya (jarak) terhadap nilai piksel rata-rata kelas yang diketahui. Jarak cukup dihitung dengan rumus phytagoras. c.
Kemiripan maksimum
Cara ini membandingkan nilai piksel dengan nilai training site dengan asumsi bahwa sebaran pikselnya terdistribusi secara normal. Bila kemiripan nilai maksimum, maka piksel tersebut akan dikelompokkan pada kelas tersebut. Sedangkan pada metode tak terawasi, sebagai cara alternatif piksel dengan nilai sejenis atau saling mempunyai kedekatan tertentu akan bergabung menjadi satu kelas. Sehingga akan terjadi beberapa kelas dengan nilai spektral tertentu. Setiap kelas kemudian ditentukan jenis liputan lahannya oleh operator. Pada cara ini, training site ditentukan secara otomatis. Proses klasifikasi tak terawasi dilakukan dengan mengelompokkan piksel berdasarkan kedekatannya (jarak spektral) antar piksel. Bila jarak spektral kurang dari harga yang ditentukan, maka piksel tersebut akan digabungkan menjadi suatu kelompok.
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan informasi bereferensi geografis.
Secara umum SIG bekerja berdasarkan integrasi 5komponen, yaitu: hardware, perangkat lunak, data, manusia dan metode yang dapat diuraikan sebagai berikut:
II-10
1. Hardware Untuk menjalankan aplikasi SIG, diperlukan hardware yang memiliki spesifikasi cukup tinggi meliputi kapasitas memori, harddisk, dan prosesor. Hal ini disebabkan karena aplikasi SIG banyak memproses data grafis berukuran besar, sehingga data-data tersebut memerlukan tempat penyimpanan yang besar dalam harddisk cukup besar, prosesor yang lebih cepat, dan memori yang cukup besar ketika hendak menjalankan aplikasinya. 2. Perangkat Lunak. Aplikasi SIG harus memenuhi standar alat untuk melakukan input dan transformasi data geografis, memiliki sistem manajemen basis data, alat yang mendukung query geografis, analisis dan visualisasi, serta Graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada masalah geografi. 3. Data Salah satu komponen penting dalam SIG adalah data. Secara fundamental, SIG bekerja dengan dua tipe model data geografis, yaitu model data vektor dan model data raster.
Gambar 2.4 Contoh Data Vektor – Daerah Bali Model Data Vektor berisi informasi posisi point, garis dan polygon yang disimpan dalam bentuk koordinat x,y. Suatu lokasi point dideskripsikan melalui sepasang koordinat x,y. Bentuk garis , seperti jalan dan sungai dideskripsikan sebagai kumpulan dari koordinat-koordinat point. Bentuk II-11
poligon, seperti zona project disimpan sebagai pengulangan koordinat yang tertutup.
Gambar 2.5 Contoh Data Raster – Citra Aster Bandung Model Data Raster terdiri dari sekumpulan grid/sel seperti peta hasil scanning maupun gambar/image. Masing-masing grid/sel atau pixel memiliki nilai tertentu yang bergantung pada bagaimana image tersebut digambarkan. Sebagai contoh, pada sebuah image hasil penginderaan jarak jauh dari sebuah satelit, masing – masing pixel direpresentasikan sebagai panjang gelombang cahaya yang dipantulkan dari posisi permukaan bumi dan diterima oleh satelit dalam satuan luas tertentu yang disebut pixel.
Gambar 2.6 Contoh Data Raster – Peta Atlas Jawa Barat
Pada gambar hasil scanning, tiap pixel merepresentasikan keterangan nilai yang berasosiasi dengan poin -poin tertentu pada gambar hasil scanning tersebut. II-12
Dalam SIG, setiap data Geografis memiliki data tabular yang berisi informasi spasial. Data tabular tersebut dapat direlasikan oleh SIG dengan sumber data lain seperti basis data yang berada diluar alat SIG. 4. Manusia Teknologi SIG tidaklah menjadi bermanfaat tanpa manusia yang mengelola sistem dan membangun perencanaan yang dapat diaplikasikan sesuai kondisi dunia nyata. Sama seperti pada Sistem Informasi lain pemakai
SIG pun
memiliki tingkatan tertentu, dari tingkat spesialis teknis yang mendesain dan memelihara sistem sampai pada pengguna yang menggunakan SIG untuk menolong pekerjaan mereka sehari-hari. 5. Metode SIG yang baik memiliki keserasian antara rencana desain yang baik dan aturan dunia nyata, dimana metode, model dan implementasi akan berbeda-beda untuk setiap permasalahan.
2.5 Konsep Kelembaban Tanah Kelembaban tanah adalah suatu besaran yang merepresentasikan jumlah kandungan air di suatu tanah, Kelembaban tanah dapat di representasikan dalam 2 satuan, yaitu : 1. Gravimetric Soil Mositure (GSM) Gravimetric Soil Moisture (GSM) adalah suatu satuan kelembaban tanah yang merupakan perbandingan antara berat suatu air yang terkandung dalam tanah dengan berat tanah itu sendiri, satuannya adalah gram/gram. 2. Volumetric Soil Moisture (VSM) Volumetric Soil Moisture (VSM) adalah suatu satuan kelembaban tanah yang merupakan perbandingan antara volume suatu air yang terkandung dalam tanah dengan volume tanah itu sendiri, satuannya adalah cm3/cm3.
Di lapangan kelembaban tanah diukur oleh bermacam-macam alat seperti Time Domain Reflectometry (TDR), neutron probe, frequency domain sensor, tensiometer capacitance probe dan lain-lain. Pada laboratorium, kelembaban tanah dapat dihitung secara gravimetric, yaitu dengan cara menghitung berat dari II-13
suatu tanah, kemudian kita keringkan tanah itu dan kita ukur berat dari tanah yang sudah dikeringkan. Perbedaan berat dari kedua berat tanah tersebut bisa katakan sebagai jumlah air yang terkandung dalam tanah. Kelembaban tanah biasanya sangat diperhitungkan dalam konteks hidrologi. Pada konteks hidrologi, kelembaban tanah berpengaruh kepada penyerapan air hujan, sebelum air itu ber evoporasi ataupun dalam konteks persedian air tanah.
Volume kelembaban tanah dibandingkan dengan keseluruhan penyebaran air di dunia hanyalah merupakan persentase yang kecil saja (sekitar 0.005 persen). Namun peranannya dalam siklus hidrologi tidaklah kecil, bahkan merupakan unsur yang sangat fundamental. Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel penting dalam proses hidrologi dan biologi. Variabel ini merupakan variabel kunci dalam mengontrol perpindahan air dan energi panas anatara permukaan tanah dan atmosfer melalui evaporasi dan tanspirasi tanaman, dan juga merupakan variabel dominan untuk proses hidrologi seperti infiltrasi dan runoff. Kelembaban tanah biasa bervariasi antara nol dan maksimum berdasarkan ketersediaan unsur air dalam tanah. Ketika mencapai nilai maksimum, tanah tersebut menjadi jenuh dan semua presipitasi selanjutnya akan meninggalkan sistem sebagai runoff
2.5.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrlogi adalah proses yang berlangsung terus menerus dalam perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Dalam siklus hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi dan transporasi pada permukaan tanah, vegetasi, laut dan yang lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Air hujan in sebagian tertahan di permukaan daun dan sebagian lainnya akan jatuh ke permukaan tanah.
II-14
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (teresap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan sebagian lainnya akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila kelembaban air tanah telah cukup jenuh, air tersebut akan bergerak secara horizontal kemudian mengalir ke sungai.
2.5.2 Infiltrasi Infiltrasi merupakan aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah melalui profil tanah yang lebih dalam akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebgai proses perkolasi.
Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi berupa proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah, serta mengalirnya air tersebut ke tempat lain. Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut di atas terkait.
Proses infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban tanah awal), jenis dan kedalaman tanah dan tutupan tahan. Tanah gembur akan memberikan kapasitas infiltrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering. Keadaan tutupan lahan yang rapat dapat mengurangi air infiltrasi.
Laju infiltrasi ditentukan oleh jumlah air yang tersedia di permukaan tanah (kelembaban tanah), sifat permukaan tanah dan kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah. Dari ketiga unsur tersebut, ketersediaan air (kelembaban tanah) adalaha faktor utama. Bertambahnya II-15
kelembaban tanah mengakibatkan butiran tanah berkembang dan menutup ruangan pori-pori tanah sehingga laju infiltrasi berkurang.
2.6 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Respon spectral citra satelit umunya memiliki sensitivitas terhadap kerapatan vegetasi (indeks luas dan daun), tajuk pohon dan kandungan air di daun tumbuhan. Kerapatan vegetasi akan bertambah dari lahan terbuka hingga beberapa tahap suksesi, namun pantulan dalam spektrum sinar tampak berkuarang karena adanya penambahan luasan daun dan penyerapan, begitu juga pada bayangan yang diakibatkan oleh tajuk pohon. Indeks luas daun maksimal lebih cepat tercapai pada saat awal suksesi, berbeda dengan basal area maksimum pohon dan biomas pohon. Pada saat yang sama terjadi peningkatan pantulan spectrum inframerah yang diakibatkan adanya pantulan dari tajuk, transmisi gelombang yang melewati tajuk dan pantulan tanah. Hubungan antara respon spektral pada spektrum sinar tampak dan inframerah dengan kerapatan vegetasi dapat dijelaskan dengan suatu indeks uang disebut indeks vegetasi (Huete,1998). Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band Near Infra Red (NIR) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1994) yang sering dikenal sebagai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).
NDVI pada dasarnya mengukur kemiringan (slope) antara nilai asli band merah dan band infra merah di angkasa dengan nilai band merah dan infra merah yang ada dalam tiap piksel citra. Berikut ini adalah rumus penghitungan NDVI : NDVI = NIR – RED / NIR + RED……………………………..……………(2.2) Dimana : NIR = Nilai band infra merah RED = Nilai band merah ( Sumber : Chesapeake Bay & Mid-Atlanti From Space, NDVI )
II-16
Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. Nilai -1 sampai 0 menunjukan daerah yang tidak memiliki penutupan vegetasi.
2.7 Metode Kuadrat Terkecil Data hasil pengukuran berfluktuasi yang mungkin disebabkan oleh galat acak dari sistem pengukuran atau kelakuan stokastik dari sistem yang diukur. Apapun alasannya, keperluan mencocokkan suatu fungsi pada data hasil pengukuran kerap kali terjadi. Dalam mencocokkan suatu fungsi pada data hasil pengukuran, semakin banyak titik datanya maka kecermatan kurva yang dicocokkan semakin tinggi. Pendekatan terbaik adalah meninjau fungsi dengan sedikit parameter bebas dan menentukan nilai parameter tersebut sedemikian sehingga simpangan fungsi dari titik-titik data sekecil mungkin. Peminimuman simpangan dicapai dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.
Untuk memperoleh nilai kelembaban tanah spasial, maka data kelembaban tanah yang digunakan harus data spasial. Nilai piksel dari citra yang telah diolah akan dikorelasikan dengan beberapa data kelembaban tanah hasil pengukuran lapangan, sehingga diperoleh suatu regresi linier. Korelasi ini selanjutnya akan digunakan unuk memperoleh data pada daerah-daerah yang tidak memiliki data lapangan, sehingga diperoleh suatu data spasial.
Regresi linier data kelembaban tanah dengan nilai piksel, menggunakan metode kuadrat terkecil: y = ax + b……………….….(2.3) a = [M∑xiyi - (∑xi) (∑yi)] / M∑xi2 - (∑xi)2 b = (∑yi - a∑xi) / M dengan, x
= data lapangan
y
= nilai piksel citra termal
a, b = koefisien regresi (Sumber : I. Nyoman Susila, Dasar-dasar Metode Numerik, 1994) II-17
2.8 Uji Hipotesis Korelasi Non Parametrik Setelah melakukan regresi linier, perlu adanya suatu uji kelayakan mengenai korelasi yang kita dapatkan. Uji kelayakan ini banyak macamnya. Pemakaiannya disesuaikan dengan karakteristik data dan kebutuhan. Data-data yang kita peroleh dari alam sebagian besar merupakan data yang tidak diketahui distribusinya. Oleh karena itu, uji hipotesis yang akan digunakan adalah Uji Hipotesis Non Parametrik. Dalam uji ini diperlukan suatu taraf keberartian dan hipotesa awal mengenai koefisien yang di uji. Terdapat banyak cara dan persamaan yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesa tersebut. Apabila sesuai, maka dinyatakan diterima atau hal yang diuji, dalam hal ini adalah koefisien dari regresi linier, layak untuk digunakan.
Korelasi yang dilakukan oleh Spearman (1904) biasanya disimbolkan dengan tanda ρ (rho) dan bila independen, didefinisikan dengan persamaan n
6∑
ρ=
i =1
[R (X i )− R (Yi )]
2
(
)
n n2 − 1
……………………………….(2.4)
dimana, R(Xi)
= urutan Xi dari yang terkecil ke yang terbesar
R(Yi)
= urutan Yi dari yang terkecil ke yang terbesar
n
= jumlah data
(Sumber : Prof. Dr Sugiyono, Statistik Non Parametris Untuk Penelitian 2008)
Korelasi rangking Spearman di atas biasanya digunakan untuk tes statistik untuk melihat keindependenan antara dua variable acak. Berikut adalah uji hipotesis yang diambil: Ho : Xi dan Yi satu sama lain saling independen, dimana nilai Xi dan Yi tidak berpasangan.
II-18
Ha : Xi dan Yi satu sama lain saling berhubungan, dimana ada kecenderungan nilai besar dari X berpasangan dengan nilai bear Y, atau nilai yang kecil berpasangan dengan nilai besar Y.
II-19