BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Demi terus berlangsungnya pembangunan nasional, aspek pajak sebagai sumber utama penerimaan dana harus diperhatikan. Berikut ini adalah definisi pajak dari para ahli : a. Waluyo (2005 : 3) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. b. E. Suprianto (2011 :2) Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapatkan prestasi- kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum. c. U. Sukardji (2009 : 2)Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak (Waluyo,2005 : 16) adalah : a. Asas tempat tinggal : Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal wajib pajak. Wajib pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas 8
9
penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal di Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan). b. Asas kebangsaan : Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. c. Asas sumber : Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tenpat tinggal wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2011 : 7) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3, yaitu : a. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus 2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus
10
b. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, meyetor dan melapor sendiri pajak yang terutang 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. With Holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak.
Sedangkan pengelompokan pajak menurut Mardiasmo (2009) terdiri dari: a. Menurut golongan 1) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contohnya: Pajak Penghasilan
11
2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai b. Menurut sifatnya 1) Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek
yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan 2) Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa
memperhatikan Wajib Pajak. Contohnya:
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Menurut pemungutnya dan pengelolaannya 1) Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. 2) Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: -
Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
-
Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restaurant, dan pajak hiburan.
12
2.1.2. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bagian penjelasan yang dimaksud Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menggantikan peranan Pajak Penjualan (PPn) di Indonesia, karena Pajak Pertambahan Nilai memiliki beberapa karakter positif yang tidak dimiliki oleh Pajak Penjualan. Menurut U. Sukardji (2009 : 19), karakteristik Pajak Pertambahan Nilai tersebut adalah sebagai berikut : a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Merupakan Pajak Tidak Langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak. Sementara itu, penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku Penjual Barang kena Pajak atau Pengusaha Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu, apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai,
Administrasi
Pajak
(fiskus)
akan
meminta
pertanggungjawaban kepada Penjual Barang Kena Pajak atau Pengusaha Jasa
13
Kena Pajak tersebut, bukan kepada Pembeli, walaupun Pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasar dua sudut pandang sebagai berikut: 1) Sudut pandang ekonomi, beban Pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak. 2) Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada Kas Negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang secara yuridis ini membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke Kas Negara. b. Pajak Objektif Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor kondisi objektifnya, yaitu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dikenakan pajak juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai Pajak Objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan adanya objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak ikut menentukan. c. Multi Stage Tax Multi stage tax adalah karakteristik PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang
14
menjadi objek PPN mulai dari tingkat Pabrikan (Manufacturer) kemudian ditingkat Pedagang Besar (Wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat Pedagang Pengecer (Retailer) dikenakan PPN. d. PPN terutang untuk dibayar ke Kas Negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method / Credit Method / Invoice Method PPN yang dipungut tidak langsung disetorkan ke Kas Negara. PPN yang disetor ke Kas Negara merupakan hasil perhitungan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan yang diperhitungkan untuk memperoleh PPN yang harus dibayar ke Kas Negara merupakan kredit pajak. Oleh karena itu, pola ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Sebagai konsekuensi penggunaan credit method untuk menghitung PPN yang terutang maka pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan pajak. Di pihak lain, bagi pembeli, penerima jasa atau importir merupakan bukti pembayaran pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung jumlah terutang dalam satu masa pajak, yang wajib dibayar ke kas negara.
e. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor dikenakan PPN dengan prosentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak atas konsumsi
15
sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi, baik yang dilakukan perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan Pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara. Karena konsumen tidak semata-mata mengkonsumsi barang tetapi juga mengkonsumsi jasa, maka agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, PPN disamping dikenakan pada konsumsi atas barang juga dikenakan pada konsumsi atas jasa. f. Pajak Pertambahan Nilai bersifat Netral Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor : 1) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa 2) Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tujuan 3) Dalam
mekanisme
pemungutannya,
PPN
mengenal
dua
prinsip
pemungutannya, yaitu : 4) Prinsip tempat asal, mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi 5) Prinsip tempat tujuan, mengandung pengertian bahwa PPN dipungut ditempat barang atau jasa dikonsumsi Dari beberapa karakterisitik PPN tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa PPN memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pajak penjualan. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem, ternyata PPN juga tidak bebas sama sekali dari beberapa kekurangan. Beberapa Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai :
16
a. Mencegah terjadinya pengenaan Pajak Berganda b. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri c. Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (consumption type VAT) dan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method). Dengan demikian, maka sangat membantu likuiditas perusahaan. d. Ditinjau dari segi pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai “money maker” konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya. Beberapa Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai : a. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak. b. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul. Sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai konsekuensi karakteristik PPN sebagai Pajak Objektif. c. PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh Pengusaha dalam bulan yangsama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur adminsitrasi fiskus
17
d. PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Menurut U. Sukardji (2009 : 133), Subyek PPN dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pengusaha Kena Pajak 1) Yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal huruf a dan huruf c jo Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 jo Pasal 2 ayat 1 PP Nomor 143 Tahun 2000). 2) Yang mengekspor Barang Kena Pajak yang dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf f UU PPN 1984). 3) Yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 16D UU PPN 1984). 4) Bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikenakan PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 143 Tahun 2000). b. Bukan Pengusaha Kena Pajak Subyek PPN tidak harus Pengusaha Kena Pajak, tetapi bukan Pengusaha Kena Pajak pun dapat menjadi subyek PPN sebagaimana diatur dalam pasal 4 huruf b, huruf d, dan huruf e serta pasal 16C UU PPN 1984. Berdasarkan pasalpasal ini dapat diketahui bahwa dapat dikenakan PPN :
18
1) Siapa pun yang mengimpor Barang Kena Pajak (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984) 2) Siapa pun ynag memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf d dan huruf e UU PPN 1984) 3) Siapa pun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya (Pasal 16C UU PPN 1984). PPN dikenakan terhadap konsumsi yang dilakukan didalam negeri. Oleh sebab itu, ketika konsumsi dilakukan atas BKP dan atau JKP yang berasal dari luar daerah pabean oleh konsumen dalam negeri, maka PPN yang terutang akan dibayar sendiri oleh konsumen tanpa memperhatikan apakah konsumen tersebut PKP. Obyek Pajak Pertambahan Nilai dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah : a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha b. Impor Barang Kena Pajak c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
19
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Barang Kena Pajak dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah barang berwujud yang menurut sifat dan atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang. Jenis-Jenis barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak dalam Pasal 1A ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah: a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing) c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi
20
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. Jenis-jenis barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak dalam Pasal 1A ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah : a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang c. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan. Jenis-jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam Pasal 4A ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah :
21
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; -
minyak mentah (crude oil);
-
gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
-
panas bumi;
-
asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
-
batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
-
bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; -
beras;
-
gabah;
-
jagung;
-
sagu;
-
kedelai;
-
garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
22
-
daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
-
telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
-
susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
-
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
-
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan d. uang, emas batangan, dan surat berharga. Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
23
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang. Suatu kegiatan penyerahan jasa dapat dikenakan PPN sepanjang memenuhi unsur-unsur : a. Penyerahan Jasa Kena Pajak b. Di dalam Daerah Pabean c. Dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya d. Peyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Berdasarkan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah : a. jasa pelayanan kesehatan medis -
jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi
-
jasa dokter hewan
-
jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi
-
jasa kebidanan dan dukun bayi
-
jasa paramedis dan perawat
-
jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium
-
jasa psikolog dan psikiater
-
jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
b. jasa pelayanan sosial -
jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo
24
-
jasa pemadam kebakaran
-
jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan
-
jasa lembaga rehabilitasi
-
jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium
-
jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
c. jasa pengiriman surat dengan perangko d. jasa keuangan -
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu
-
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya
-
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: a) sewa guna usaha dengan hak opsi b) anjak piutang c) usaha kartu kredit d) pembiayaan konsumen
-
jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia
-
jasa penjaminan.
e. jasa asuransi f. jasa keagamaan
25
-
jasa pelayanan rumah ibadah;
-
jasa pemberian khotbah atau dakwah;
-
jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
-
jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. jasa pendidikan -
jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
-
jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri k. jasa tenaga kerja -
jasa tenaga kerja;
-
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
-
jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
l. jasa perhotelan
26
-
jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
-
jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
m. jasa
yang disediakan
oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum n. jasa penyediaan tempat parkir o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos q. jasa boga atau katering. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 17 yang dimaksud dengan Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak. Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah : a.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak (UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 18). Harga Jual dapat diperoleh
27
dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku, bahan pembantu, alat pelengkap lainnya ditambah biaya-biaya seperti penyusutan barang modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang diharapkan. b.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Pajak (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 19). Nilai penggantian merupakan taksiran biaya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan profesi, keterampilan, dan pengalaman yang memberikan pelayanan dalam arti “jasa”.
c.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang PPN
28
Pajak (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 20). Rumus menghitung Nilai Impor adalah : -
CIF ( Cost + Insurance + Freight ) + BEA MASUK = NILAI IMPOR
-
Dalam nilai impor tidak pernah termasuk PPN dan PPnBM
d.
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir Pajak (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 1 ayat 26).
e.
Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
yang
diatur
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
nomor
75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010. Nilai Lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak berdasarkan peraturan tersebut adalah sebagai berikut: -
untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor
-
untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor
-
untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata
-
untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film
-
untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran
-
untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar
29
-
untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan
-
untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
-
untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang
-
untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih
-
untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha jasa pengiriman paket dan oleh pengusaha jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata tidak dapat dikreditkan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 pasal 7 Sistem Pajak
Pertambahan Nilai menganut tarif tunggal yaitu sebesar 10%. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% diterapkan atas : a.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.
ekspor Jasa Kena Pajak.
d.
tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat dirubah dengan Peraturan Pemerintah dengan tarif serendah-rendahnya adalah 5% dan tertinggi dengan tarif 15%. Seperti yang dikutip Mardiasmo (2011 : 289) terutangnya Pajak
Pertambahan Nilai terjadi pada saat :
30
a.
penyerahan Barang Kena Pajak
b.
impor Barang Kena Pajak
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
f.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
g.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
h.
ekspor Jasa Kena Pajak.
i.
dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
merumuskan yaitu Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak diperbolehkan membuat Faktur Pajak
31
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-13/PJ/2010 pasal 2 Faktur Pajak harus dibuat pada : a.
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
b.
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak
c.
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
d.
saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak harus diisi
secara lengkap, jelas dan benar dan ditanda tangani oleh pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak. Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat : a.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
c.
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
e.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut
32
f.
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak
g.
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak
ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak cacat. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak cacat merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Bentuk, isi dan tatacara pengisian Faktur Pajak telah diatur dengan PER13/PJ/2010. Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat menambah keterangan lain diluar keterangan minimal seperti yang tersebut diatas. Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut : a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak. Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari yang ditetapkan, maka harus
dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembaran Faktur Pajak yang bersangkutan.
33
Pengusaha Kena pajak harus menerbitkan Faktur Pajak dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak nomor PER-13/PJ/2010, sebagai berikut : a.
Format Kode Faktur pajak terdiri dari 6 (enam) digit, yaitu :
-
2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi
-
1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status
-
3 (tiga) digit berikutnya adalah Kode Cabang.
b.
Format Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian sebagai berikut :
-
2 (dua) digit pertama adalah Tahun Penerbitan
-
8 (delapan) digit berikutnya adalah Nomor Urut.
Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak, harus lengkap sesuai dengan banyaknya digit. Contoh penulisan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berikut artinya : 010.000-12.00000001 : berarti penyerahan kepada Selain Pemungut PPN, Faktur Pajak Normal (bukan Faktur Pajak Pengganti), diterbitkan tahun 2012 dengan nomor urut 1. Adapun tata cara penggunaan Kode Transaksi pada Faktur Pajak sebagaimana telah diatur dengan PER-13/PJ/2010 adalah sebagai berikut :
34
a.
01 : Kode ini digunakan atas penyerahan BKP/JKP kepada pihak lain yang bukan Pemungut PPN, termasuk penyerahan kepada Perwakilan Negara Asing atau Perwakilan Organisasi Internasional yang tidak mendapat persetujuan untuk diberikan fasilitas perpajakan oleh Menteri Keuangan, dan penyerahan BKP/JKP antar Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah, yang PPN-nya dipungut oleh pihak yang menyerahkan BKP/JKP.
b.
02 : digunakan untuk penyerahan kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.
c.
03 : digunakan untuk penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendahara Pemerintah). Kode ini digunakan atas penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini KPS Migas selaku Pemungut PPN.
d.
04 : Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan DPP dengan Nilai Lain.
e.
05 : Kode ini tidak dapat digunakan lagi sejak 1 April 2010.
f.
06 : digunakan untuk penyerahan Lainnya kepada selain Pemungut PPN, dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing). Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis penyerahan pada kode 01 sampai dengan kode 04 dan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing), antara lain:
-
Penyerahan yang menggunakan tarif selain 10%, contohnya penyerahan JKP di bidang pertambangan yang bersifat lex specialis, yang terutang Pajak Penjualan dengan tarif 5%.
35
-
Penyerahan hasil tembakau yang dibuat didalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.
-
Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) oleh toko retail yang ditunjuk, terkait dengan penerbitan Faktur Pajak Khusus.
g.
07 : kepada selain Pemungut PPN, penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada selain Pemungut PPN, dan penyerahan ke Kawasan Bebas/Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kepada selain Pemungut PPN. Kode ini digunakan atas Penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut, Ditanggung Pemerintah (DTP), dan Penyerahan
ke
Kawasan
Bebas/Kawasan
Ekonomi
Khusus
(KEK)
berdasarkan peraturan khusus yang berlaku, antara lain : -
Ketentuan yang mengatur mengenai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB).
36
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Avtur Untuk Keperluan Penerbangan Internasional.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sawit Di Dalam Negeri.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati Di Dalam Negeri.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Pengawasan Atas Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas.
-
Ketentuan
yang
mengatur
mengenai
Tata
Cara
Pengawasan,
Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau
37
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas. -
Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
h.
08 : digunakan untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM kepada selain Pemungut PPN. Kode ini digunakan atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM, berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara lain :
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
-
Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
-
Ketentuan
yang
mengatur
mengenai
pemberian
pembebasan
Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya. i.
09 : digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN. Adapun dokumen-dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 27 PJ 2011 tanggal 19 September 2011 adalah:
38
a.
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
b.
Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
c.
Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuatkan/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;
d.
Bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
e.
Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
f.
Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
g.
Bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;
h.
Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Terwujud;
i.
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
39
dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; j.
Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
k.
Bukti tagihan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Perusahaan Air Minum:
l.
Bukti tagihan (Trading Confirmation) atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perantara efek; dan
m. Bukti tagihan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh perbankan.
2.1.2.1. Pajak Masukan Definisi Pajak Masukan berdasarkan pasal 1 angka 24 UU Nomor 42 Tahun 2009 adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai pasal 9 ayat 8 UU Nomor 42 Tahun 2009 adalah atas pengeluaran sebagai berikut :
40
a.
Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
b.
Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha, oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
c.
Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
e.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU Nomor 42 Tahun 2009 atau tidak mencantumkan nama,
41
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. f.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU Nomor 42 Tahun 2009 .
g.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
h.
Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Namun apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP/JKP yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan PKP, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk Masa ybs., maka PM dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan.
42
i.
Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) UU Nomor 42 Tahun 2009. Sedangkan Prinsip dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai
berikut: a.
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 2009)
b.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat 9 UU Nomor 42 Tahun 2009)
c.
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a UU Nomor 42 Tahun 2009)
d.
Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2012)
e.
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan
43
ayat (9) UU Nomor 42 Tahun 2009. (Pasal 9 ayat 2a UU Nomor 42 Tahun 2009) f.
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh : alamat di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. (PM dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat memilih). (Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2012)
g.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Paja. (Pasal 9 ayat 3 UU Nomor 42 Tahun 2009)
h.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU Nomor 42 Tahun 2009)
44
i.
Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU Nomor 42 Tahun 2009).
2.1.2.2. Pajak Keluaran Pengertian Pajak Keluaran berdasarkan pasal 1 angka 24 UU Nomor 42 Tahun 2009 adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak
2.1.3. Pengusaha Kena Pajak Pengusaha menurut Mardiasmo (2011 : 280) Orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak Mardiasmo (2011 : 280) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak berkewajiban antara lain untuk : a.
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
b.
Memungut PPN dan PPnBM yang terutang
45
c.
Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewahyang terutang
d.
Melaporkan penghitungan pajak Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena
Pajak adalah : a.
Pengusaha Kecil
b.
Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan/atau jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
2.1.4. Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Mekanisme umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran maka kelebihan pajak keluaran tersebut harus disetorkan ke kas Negara oleh PKP tersebut. Sebaliknya jika dalam masa pajak tersebut ternyata lebih besar pajak masukan, maka kelebihan pajak masukan tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi.
46
Dengan mekanisme umum tersebut, maka jumlah yang harus dibayar atau kelebihan bayar oleh PKP bisa berubah-ubah tergantung besarnya pajak masukan yang dibayar dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak. Namun demikian Undang-undang PPN juga membuat ketentuan tentang mekanisme pengkreditan lain selain mekanisme umum. Mekanisme ini disebut Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan. Dengan mekanisme ini, ditentukan besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan persentase terhadap pajak keluaran. Misal, pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah 80% dari pajak keluaran. Besarnya pajak keluaran dalam satu masa pajak adalah 10% dari omzet sehingga pajak masukan yang bisa dikreditkan adalah 8% dari omzet. Dengan semikian PPN yang harus disetor dalam suatu masa pajak adalah 2% dari omzet sebulan. Besarnya PPN yang harus disetor hanya tergantung pada omzet dalam suatu masa saja. Dalam, UU Nomor 42 Tahun 2009, terdapat dua jenis Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan yaitu : a.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan untuk PKP yang peredaran usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu yang diatur dalam Pasal 9 ayat (7) UU PPN. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010.
b.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan untuk PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu yang diatur dalam Pasal 9 ayat (7a) UU PPN. Ketentuan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010
47
Pengusaha kena pajak yang dapat menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini adalah Pengusaha kena pajak yang peredaran usaha atau omzet dalam dua tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) untuk setiap satu tahun buku dan wajib pajak yang baru dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Dengan demikian, apabila omzet PKP tidak melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah), maka PKP tesebut boleh memilih apakah kewajiban PPN nya menggunakan mekanisme pengkreditan pajak masukan secara umum atau menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini. Jika menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan maka besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan dan besarnya PPN yang harus disetor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 pasal 7 adalah : a.
Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 60% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam suatu masa pajak adalah 4% dari Dasar Pengenaan Pajak
b.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 70% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam suatu masa pajak adalah 3% dari Dasar Pengenaan Pajak.
48
Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak
Masukan
wajib
beralih
menggunakan
mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan secara umum mulai Masa Pajak berikutnya setelah peredaran usahanya melebihi Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). Dalam
hal
Pengusaha Kena Pajak menggunakan mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan mulai Masa Pajak saat digunakannya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pengusaha Kena Pajak yang telah menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran sebagaimana dapat kembali menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan apabila memenuhi ketentuan perundang-undangan. Sedangkan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu wajib menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan dalam menghitung pajak masukan yang bisa dikreditkan. Dengan demikian, tak ada pilihan bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu. Jenis kegiatan usaha tertentu tersebut adalah seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 yaitu : a.
Penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran
b.
Penyerahan emas perhiasan secara eceran. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dan besarnya
49
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor sesuai pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut : a.
Untuk kegiatan usaha penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah 90% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam satu masa pajak adalah sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak
b.
Untuk kegiatan usaha penyerahan emas perhiasan secara eceran, besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah 80% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam satu masa pajak adalah sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
2.1.5. Laporan Laba Rugi Pengertian laporan laba rugi menurut Munawir (2010: 26) laporan yang sistematis tentang penghasilan, biaya, rugi-laba yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama periode tertentu. Kegiatan perusahaan selama periode tertentu mencakup aktivitas rutin atau operasional, dan aktivitasaktivitas ini perlu dilaporkan dengan semestinya agar pembaca laporan keuangan memperoleh informasi yang relevan. Salah satu komponen dalam laporan laba rugi adalah pajak penghasilan pasal 25 badan. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan ada 3 tarif penghitungan pajak penghasilan pasal 25 badan, yaitu sebagai berikut : a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
50
delapan persen). Namun demikian berdasarkan pasal 17 ayat (2a) tarif tersebut dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
c. Tarif PPh Pasal 31E Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh Lega Yanti Gultom pada tahun 2010 dengan judul “ Analisis Perhitungan,
51
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai ( Studi Kasus PT. Esstar Indorim ). Perusahaan yang menjadi objek penelitian ini adalah sebuah perusahaan kontraktor untuk pembangunan sebuah pabrik es untuk menghasilkan es sesuai dengan permintaan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan selalu menemukan kekurangan bayar. Kurang bayar tersebut, akan disetorkan selambat-lambatnya setiap tanggal 15, setiap bulan berikutnya. Dalam hal pelaporan SPT Masa PPN, PT Esstar Indorim selalu mempersiapkan semua file pendukung untuk melengkapi data dan jika ada pemeriksaan setiap saat dan tidak ditemukan keterlambatan dalam penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN.
Penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai penghitungan, penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai pada CV. Xpress Clean Bersaudara yang bergerak dibidang jasa laundry. Persamaan antara penelitian yang sebelumnya dengan penlitian ini adalah sama-sama membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai. Perbedaan dari penelitian ini adalah dalam penggunaan metode pengkreditan pajak masukan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang. Pedoman yang digunakan dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2010 sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai secara umum.
52
2.3. Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penyerahan Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak
Pajak Keluaran
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan Sumber : Olahan Penulis
Penghitungan dan Pencatatan PPN
Penyetoran PPN
Pelaporan PPN
53
Dalam kerangka konseptual tersebut dapat dijelaskan mengenai alur tentang penlitian ini. Penelitian ini dimulai dengan menghitung Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan Barang Kena pajak / Jasa Kena Pajak. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. Dari Pajak Keluaran dan Pajak Masukan maka akan dapat dihitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar. Setelah prose penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar maka proses selanjutnya yang akan dilakukan adalah penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Dalam penjabaran kerangka konseptual tersebut akan diketahui sejauh mana pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.