BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak memiliki definisi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain : 1. Pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 adalah : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H (2011) : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UndangUndang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat imbalan jasa (Kontra-Prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur : a. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
7
8
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 3. Pajak menurut Prof. Dr. Andriani dalam buku Edy Suprianto (2011) : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2011), ada dua fungsi pemungutan pajak yaitu : 1. Fungsi Budgetair (Penerimaan) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membaiayai pengeluaran-pengeluarannya 2. Fungsi Regulered (mengatur) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk eksport sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasar dunia.
9
2.1.3 Pengelompokan Pajak Dalam buku Mardiasmo (2011), pajak diklasifikasi dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian antara lain : 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya. Dalam arti memperhatikan keadaaan dari wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Menurut lembaga pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membayar rumah tangga negara.
10
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas : Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak Kabupate/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.1.4 Syarat Pemungutan Pajak Menurut
Mardiasmo
(2011),
agar
pemungutan
pajak
tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
11
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi Budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.
2.1.5 Sanksi Perpajakan Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau Undang-Undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau Undang-Undang tidak dilanggar, Penelitian Arum (2012).
12
Sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena Pemerintah Indonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam
Undang-Undang
perpajakan
yang
berlaku
agar
pelaksanaan
pemungutan pajak dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan. Apabila kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi karena pajak mengandung unsur pemaksaan. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa ada dua macam sanksi, yaitu : 1. Sanksi administrasi yang terdiri dari : a. Sanksi administrasi berupa denda b. Sanksi administrasi berupa bunga c. Sanksi administrasi berupa kenaikan 2. Sanksi pidana yang terdiri dari : a. Pidana kurungan b. Pidana penjara Muliari dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ ditaati/ dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak
13
melanggar norma perpajakan. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut : 1. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. 2. Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak sangat ringan. 3. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana mendidik wajib pajak. 4. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. 5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan. Ilyas dan Burton (2010, dalam Arum 2012), menyebutkan bahwa terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari wajib pajak apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu : 1. Dituntut kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh. 2. Dituntut tanggung jawab wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukkan surat pemberitahuan tepat waktu sesuai pasal 3 UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 3. Dituntut kejujuran wajib pajak dalam mengisi surat pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya. 4. Memberikan sanksi yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi tanpa pandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen merupakan cara yang paling efektif dari keempat hal yang diatas.
14
Wajib pajak akan patut membayar pajak apabila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Namun sekarang ini banyak wajib pajak yang menganggap remeh sanksi perpajakan. Wajib pajak berfikir bahwa sanksi perpajakan yang dikenakan tidaklah menakutkan. Wajib pajak bahkan tidak sengaja untuk menyuap aparat pajak agar dapat terbebas dari sanksi. Pengenaan sanksi perpajakan bertujuan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan seperti Muliari dan Setiawan (2010), dan Arum (2012) mengenai sanksi perpajakan menunjukkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak.
2.1.6 Sikap Wajib Pajak Tentang Pelaksanaan Sanksi Pajak Bumi dan Bangunan Undang-undang peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Supaya undang-undang dan peraturan tersebut dipenuhi, maka ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian juga untuk hukum pajak. Sanksi Pajak Bumi dan Bangunan ini dimulai dari yang ringan, yaitu berupa peringatan sampai yang terberat, yaitu kurungan dan sita. Sanksi Pajak Bumi
15
dan Bangunan yang banyak diterapkan adalah denda 2% dari pokok ketetapan pajak yang terutang pada tahun yang bersangkutan. Denda adalah hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk (karena melanggar aturan, Undang-undang dan sebagainya) uang. Masyarakat akan mematuhi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan bila memandang sanksi akan lebih merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan akan Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayar oleh wajib pajak, maka akan semakin berat bagi wajib pajak untuk melunasinya. Karena itulah, sikap/pandangan masyarakat terhadap sanksi pajak Bumi dan Bangunan diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
2.1.7 Pajak Bumi dan Bangunan Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas UndangUndang Pajak Bumi dan Bangunan. Yang mengatakan bahwa Bumi dan Bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak.
16
Menurut Marihot Pahala (2010) Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan perkotaan adalah pajak atas bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pendalaman serta laut kabupaten/kota. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan pedalaman dan atau laut.
2.1.7.1 Objek Pajak Dalam buku Mardiasmo (2011), Yang menjadi objek pajak adalah : 1. Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan atau Bangunan. 2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi Lingkungan dan lain-lain
17
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain 3. Pengecualian objek pajak Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan antara lain : 1) di bidang ibadah, contoh : masjid, gereja, vihara 2) di bidang kesehatan, contoh : rumah sakit. 3) di bidang pendidikan, contoh : madrasah, pesantren. 4) di bidang sosial, contoh : panti asuhan. 5) di bidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. c. Merupakan hutang lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. d. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
18
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Catatan : Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan. 4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Yang dimaksud dengan objek pajak adalah
objek
pajak
yang
dimiliki/dikuasai/digunakan
oleh
pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak Negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang
19
digunakan oleh Negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
2.1.7.2 Subjek Pajak Dalam buku Mardiasmo (2011), Yang menjadi subjek pajak adalah : 1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/ pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. 2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. 3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak. 4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud. 5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib
20
pajak sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. 6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. 7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
2.1.7.3 Pelimpahan Wewenang Penagihan Sesuai
dengan
keputusan
Menteri
keuangan
no.
007/KMR.04/1985, wewenang penagihan pajak dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/ atau Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II. Pelimpahan ini dimaksudkan untuk memperlancar pemasukan
penerimaan
Pajak
Bumi
dan
Bangunan.
Dalam
pelaksanaannya, UU PBB dapat berfungsi dengan baik, apabila para pejabat yang sehari-hari berhubungan (secara langsung) dengan
21
pendaftaran, mutasi, jual beli, perizinan objek yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (Tanah dan Bangunan), memberi bantuan, pemberian data, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan pejabat tertentu dalam UU PBB adalah pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) 2. Kepala Kelurahan, Kepala Desa 3. Pejabat Tata Kota (ijin mendirikan bangunan) 4. Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan 5. Pejabat Agraria (pendaftaran harta bergerak) 6. Pejabat Balai Harta Peninggalan (yang mengetahui peralihan tanah dan bangunan karena warisan). Pejabat tersebut diatas diberikan kewajiban untuk : 1. Menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek pajak yang letaknya dalam wilayah kerjanya. 2. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menetapkan besarnya pajak dari objek yang bersangkutan secara cermat dan adil.
2.1.7.4 Tata cara Pembayaran dan Penagihan Tata
cara
pembayaran
Mardiasmo (2011 : 344) adalah :
dan
penagihan
menurut
buku
22
1. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Contoh : Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2010, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2010. 2. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Contoh : Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2010, maka jatuh tempo pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2010. 3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
23
Contoh : SPPT tahun pajak 2010 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 2010 dengan pajak yang terutang sebesar Rp.500.000,00. Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 2010. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% yakni : 2% X Rp. 500.000,00 = Rp. 10.000,00 Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2010 adalah : Pokok Pajak + Denda Administrasi = Rp. 500.000,00 + Rp. 10.000,00 = Rp. 510.000,00 Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2010, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 X 2% dari Pokok Pajak, yakni : 4% X Rp.500.000,00 = Rp. 20.000,00 Pajak terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2010 adalah : Pokok Pajak + Denda Administrasi = Rp. 500.000,00 + Rp. 20.000,00 = Rp. 520.000,00 4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no.3 diatas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi
24
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak. Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no.3 di atas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut. 5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri keuangan. 6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan. 7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak. 8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU No.19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Agar lebih mudah dipahami, berikut diberikan bagan tata cara pembayaran dan penagihan.
25
Gambar 2.1 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan SPPT - Bank - Pos & Giro - Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Dirjen Pajak
SPPT
Wajib Pajak
6 bulan
Pembayaran
Pembayaran Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak - Bank - Pos & Giro - Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Dirjen Pajak
SKP
Wajib Pajak
1 bulan
Pembayaran
Pembayaran Tidak/Kurang Dibayar Pada Saat Jatuh Tempo - Bank - Pos & Giro - Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Dirjen Pajak
SPPT
Lewat 6 bulan
Wajib Pajak
Pembayaran
Pembayaran Berdasarkan STP - Bank - Pos & Giro - Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Dirjen Pajak
STP
Wajib Pajak
1 bulan
Ditambah denda 2% per bulan max 24 bulan
26
2.1.7.5 Hukum dan Peraturan Perpajakan Dasar Hukum yang berkaitan dengan Pokok Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan dan perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: : a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. b. KMK No.201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan. c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 523/KMK.04/1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. d. Keputusan Menteri Keuangan No.1004/KMK.04/1985 tentang penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-251/PJ./2000 tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Tidak Kena Pajak sebagai Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan. f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-16/PJ.6/1998 tentang pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
27
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-43/PJ.6/2003 tentang penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi dan Bangunan dan perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Bea Perolehan Hak atas Bumi dan Bangunan untuk tahun pajak 2004. h. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-57/PJ.6/1994 tentang Penegasan dan penjelasan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial untuk Kawasan Industri.
2.1.7.6 Karakteristik Pajak Bumi dan Bangunan Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sector swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang karakteristik pajak antara lain : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam undang-undang” 2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. misalnya orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama
28
kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 3. Pemungutan pajak dapat diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak yang dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Selain fungsi budgetair (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas Negara/Anggaran
Negara
yang
diperlukan
untuk
menutup
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif). (http//rafika.net78.net/ciri-ciri pajak.html)
2.1.7.7 Sikap Wajib Pajak Sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan) (Kamus Besar bahasa Indonesia). Pendapat merupakan pikiran atau anggapan atau kesimpulan setelah mempertimbangkan atau menyelidiki tentang suatu hal. Sedangkan wajib pajak sendiri merupakan orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Sehingga dapat diungkapkan bahwa
29
sikap wajib pajak merupakan perbuatan yang dilakukan berdasarkan anggapan atau kesimpulan wajib pajak yang diambil dari pengalaman perpajakannya. Dalam penelitian yang dimaksud dengan sikap wajib pajak adalah sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi : 1. Sikap wajib pajak terhadap pembangunan daerah 2. Sikap wajib pajak terhadap sanksi Pajak Bumi dan Bangunan 3. Sikap wajib pajak tentang penghindaran Pajak Bumi dan Bangunan. Sikap wajib pajak tersebut diatas diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
2.1.7.8 Sikap Wajib Pajak Tentang Penghindaran Pajak Bumi dan Bangunan Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, agar terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi. Pemungutan pajak hendaknya bersifat adil. Dalam hal ini keadilan perpajakan dikatakan baik bila memenuhi dua syarat yaitu : keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Ketiadaan dua
30
hal tersebut akan menyebabkan merosotnya bahkan hilangnya kepatuhan para wajib pajak. Pengaruh buruk ketiadaan keadilan perpajakan ini berupa perlawanan terhadap pajak, yang bersifat pasif dan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. Sedangkan perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukkan kepada pemerintah dengan tujuan untuk menghindari pajak. Undang-undang pasti mempunyai celah kelemahan yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang ingin menghindari kewajiban hukumnya, demikian juga dengan undang-undang dan peraturan Pajak Bumi dan Bangunan (undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994), karena pada dasarnya beban pajak mengurangi kenikmatan ekonomis wajib pajak. Secara
psikologis,
masyarakat
akan
terbiasa
untuk
mengelakkan pajak, yang dengan sendirinya menganggap remeh pelaksanaan undang-undang. Apabila dalam benak masyarakat telah beranggapan bahwa penghindaran pajak merupakan hal yang wajar atau umum, maka disengaja ataupun tidak masyarakat akan mengindari pajak tersebut dengan sendirinya.
31
Sikap masyarakat sebagai wajib pajak berisikan opini atau pengetahuan yang belum tentu sesuai dengan kenyataan, demikian juga sikap wajib pajak terhadap penghindaran Pajak Bumi dan Bangunan. Oleh sebab itu, sikap ini akan mempengaruhi perilaku atau kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. (Penelitian Budi Martono, 2012)
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Budi (2012) menguji tentang pengaruh kepatuhan pembayaran PBB dan pengaruhnya terhadap pembangunan daerah di wilayah kecamatan Pakal Kota Surabaya. Analisa data dilakukan dengan analisis regresi linier sederhana. Variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah pembangunan daerah di wilayah kecamatan Pakal Kota Surabaya. Hasil penelitian Budi (2012) menemukan bahwa kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sangat berpengaruh bagi penerimaan negara dan pembangunan daerah. Muliari dan Setiawan (2010) Melakukan penellitian untuk menguji pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Variabel independen yang digunakan adalah persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak, sedangkan variabel
32
dependen yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Hasil penelitian Muliari dan Setiawan (2010) menemukan bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Penelitian yang dilakukan oleh Widayati dan Nurlis (2010) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan untuk membayar pajak wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kesadaran membayar pajak, pemahaman tentang peraturan pajak, dan persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kemauan wajib pajak untuk membayar pajak. Teknis analisis data menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian Widayati dan Nurlis (2010) menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak. Namun, kesadaran membayar pajak dan persepsi yang baik atas efektifitas sistem perpajakan mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak. Arum (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi yag melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas. Penelitian ini menggunakan kesadaran wajib pajak, pelayanan iskus, dan sanksi pajak sebagai variabel independen dan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel dependen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
33
adalah teknik analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil analisisyang dilakukan, penelitian Arum (2012) menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian Nugroho (2012) bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan untuk membayar pajak. Penelitian ini menggunakan kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak sebagai variabel independen dan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel dependen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penellitian ini adalah teknik analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, penelitian Nugroho (2012) menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan, pelayanan fiskus yang berkualitas, dan persepsi atas efektivitas sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap kesadaran membayar pajak, demikian pula dengan kesadaran membayar pajak berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak. Penelitian yang dilakukan putri (2012) menguji tentang pengaruh pemahaman wajib pajak, manfaat yang dirasakan wajib pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak, dan sosialisasi pajak terhadap kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknis analisis regresi berganda. Variabel independen yang digunakan adalah pengaruh pemahaman wajib pajak, manfaat yang dirasakan wajib pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak, sosialisasi pajak. Variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Hasil penelitian Putri (2012)
34
menunjukkan bahwa pemahaman wajib pajak, manfaat yang dirasakan wajib pajak, kepercayaan terhadap aparat pajak dan sosialisasi pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pemilik UMKM dalam memiliki NPWP. Penelitian Fuadi (2013) bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan, dan biaya kepatuhan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM di Jawa Timur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Variabel independen yang digunakan adalah kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak, sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah kepatuhan wajib pajak UMKM. Hasil penelitian Fuadi (2013) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan, dan biaya kepatuhan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. Ringkasan penelitian-penelitian terdahulu mengenai kepatuhan wajib pajak tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No 1
Peneliti (Tahun) Budi (2012)
Variabel Yang Digunakan Variabel Independen : Pembangunan Daerah di Wilayah Kecamatan Pakal kota Surabaya Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak
Alat Analisis Analisis Regresi Sederhana
Hasil Penelitian Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Berpengaruh Positif Terhadap Penerimaan Negara dan Pembangunan Daerah.
35
2
3
dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Muliari dan Variabel Analis Setiawan (2010) Independen : Regresi Persepsi Berganda Tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak
Widayati dan Nurlis (2010)
Variabel Dependen : Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi Variabel Independen : Kesadaran Membayar Pajak, Pemahaman tentang Peraturan Pajak, dan Persepsi Yang Baik atas Efektivitas Sistem Perpajakan Variabel Dependen : Kemauan Wajib Pajak Untuk Membayar Pajak
Analisis Regresi Berganda
Persepsi Wajib Pajak Tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak Berpengaruh Positif Signifikan Pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi
1. Pengetahuan dan Pemahaman Tentang Peraturan Pajak Mempunyai Pengaruh yang Signifikan Terhadap kemauan Wajib Pajak Untuk Membayar Pajak. 2. Kesadaran Wajib Pajak dan Persepsi Yang Baik atas Efektivitas Sistem Pepajakan Mempunyai Pengaruh Yang Tidak Signifikan Terhadap Kemauan Wajib Pajak Untuk membayar Pajak
36
4
5
Arum (2012)
Nugroho (2012)
Variabel Independen : Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak.
Analisis Regresi Berganda
Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak Variabel Analisis Independen : Regresi Pengetahuan dan Berganda Pemahaman Akan Peraturan Perpajakan , Pelayanan Fiskus yang Berkualitas, dan Persepsi Atas Efektivitas Sistem Perpajakan.
Variabel Dependen : Kesadaran dan Kemauan Membayar Pajak
6
Putri (2012)
Variabel Analisis Independen : Regresi Pemahaman Berganda Wajib Pajak, Manfaat Yang Dirasakan Wajib Pajak, Kepercayaan Terhadap Aparat
Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak Memiliki Pengaruh Yang Positif dan Signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
1. Pengetahuan dan Pemahaman akan Peraturan Perpajakan, Pelayanan Fiskus Yang Berkualitas, dan Persepsi atas Efektivitas Sistem Perpajakan Berpengaruh Positif Terhadap Kesadaran Membayar Pajak. 2. Kesadaran Membayar Pajak Berpengaruh Positif Terhadap kemauan Membayar Pajak. Pemahaman Wajib Pajak, Manfaat Yang Dirasakan Wajib Pajak, Kepercayaan Terhadap Aparat Pajak dan Sosialisasi Pajak
37
Pajak dan Sosialisasi Pajak
7
Fuadi (2013)
Variabel Dependen : Kepatuhan Pemilik UMKM dalam Memiliki NPWP Variabel Analisis Independen : Regresi Kualitas Berganda Pelayanan Petugas Pajak, Sanksi Perpajakan dan Biaya Kepatuhan Pajak Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak UMKM
Berpengaruh Positif Signifikan Terhadap Kepatuhan Pemilik UMKM dalam Memiliki NPWP
Kualitas Pelayanan Petugas, Sanksi Perpajakan dan Biaya Kepatuhan Pajak Berpengaruh Signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM
2.3 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual mengenai analisis pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan dapat digambarkan sebagai berikut : Sanksi (X)
Kepatuhan (Y) Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
Dengan adanya sanksi pajak akan memberikan dampak kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Sebaliknya, jika sanksi pajak tidak diwujudkan maka akan berdampak pada ketidak patuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
38
2.4 Hipotesis Penelitian Yang dimaksud dengan hipotesis adalah : jawaban sementara atau suatu kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian. (http://id.m.wikipedia.org.wiki.hipotesis). Untuk itu dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hipotesis adalah suatu dugaan atau pikiran atas dasar teori yang ada selama ini. Selanjutnya, untuk membuktikan kebenaran dugaan tersebut tentunya dibutuhkan suatu jawaban yang konkrit melalui pengujian. Berdasarkan pada permasalahan yang dirumuskan dan kajian teoritis yang diketemukan, maka penulis dapat mengambil hipotesis, yaitu : 1.
Diasumsikan bahwa dengan adanya sanksi pajak berpengaruh kepada tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Benowo, Kota Surabaya.