BAB II TATA TERTIB DAN AKHLAK A. Tata Tertib Pesantren 1. Pengertian Tata Tertib Tata tertib adalah kumpulan aturan-aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. Menurut Hasan Langgulung bahwa tata tertib bermakna dengan adanya susunan dan aturan dalam hubungan sesuatu bagian dengan bagian yang lain. Seperti sebuah rumah terdapat susunan yang wajar antara bagian-bagian sehingga orang memasukinya tidak merasa janggal atau kurang selera. Arti secara khusus bahwa tata tertib merupakan hal pasti untuk melanjutkan hidup manusia.1 Tata tertib merupakan aturan yang harus dipatuhi peserta didik. Pelaksanaan tata tertib akan berjalan dengan baik jika semua orang yang ada di lembaga pendidikan saling mendukung tata tertib, kurangnya dukungan dari mereka akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib yang diterapkan oleh lembaga pendidikan. Tata tertib merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku agar proses pendidikan berlangsung secara efektif dan efisien.2
1
Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm. 87. Muhammad Rifa‟i, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.
2
139-140.
22
23
2. Tujuan Tata Tertib Secara umum dibuatnya tata tertib mempunyai tujuan utama agar semua peserta didik mengetahui tugas, hak dan kewajibannya serta melaksanakan tata tertib dengan baik sehingga semua kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Tata tertib dibuat dengan tujuan sebagai berikut: a. Agar mengetahui tugas, hak dan kewajibannya. b. Agar mengetahui hal-hal yang diperbolehkan dan hal-hal yang dilarang. c. Agar melaksanakan dengan baik dan sungguh-sungguh terhadap kegiatan yang telah diprogramkan.3 Tata tertib merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari semua pihak yang terkait, terutama dari peserta didik itu sendiri.4 3. Sikap Kepatuhan terhadap Tata Tertib Graham Sanjaya melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, diantaranya: a. Normativist, kepatuhan pada norma-norma hukum. b. Integralist,
kepatuhan
yang
didasarkan
dengan
pertimbangan-
pertimbangan yang rasional. c. Fenomenalist, kepatuhan berdasarkan suara hati. d. Hedonist, kepatuhan berdasarkan kepentingan sendiri. Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist sebab 3
Hadari Nawawi dkk, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.
161. 4
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Manusiawi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm. 123.
24
kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan apakah tingkah laku itu menunguntungkan untuk dirinya atau tidak. Pada sumber yang sama dijelaskan bahwa dari empat faktor di atas terdapat lima tipe kepatuhan yaitu: a. Otoritarian, kepatuhan tanpa reserve (kepatuhan yang ikut-ikutan) b. Conformist, penyesuaian diri terhadap orang lain, kepatuhan berorientasi pada untung rugi, dan penyesuaian kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat c. Compulsive deviant, kepatuhan yang tidak konsisten d. Hedonik psikopatik, kepatuhan terhadap kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain e. Supramoralist, kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilainilai moral.5 4. Sanksi terhadap Pelanggar Tata Tertib Tata tertib merupakan peraturan yang harus ditaati oleh peserta didik demi kelancaran dan untuk membiasakan berakhlak baik. Apabila tata tertib tanpa disertai sanksi bagi peserta didik yang melanggar maka tata tertib yang ada hanya sebagai lambang atau hiasan yang tidak ada artinya. Sanksi yang diberikan kepada peserta didik yang melanggar tata tertib itu bisa berupa hukuman yang mendidik. Pelanggaran peserta didik dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
5
Muhammad Rifa‟i, op. cit., hlm. 143-144.
25
a. Pelanggaran ringan, hanya diberikan teguran agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. b. Pelanggaran sedang, diberikan hukuman yang mendidik agar jera sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya lagi c. Pelanggaran berat, diberikan hukuman dengan cara dikeluarkan dari lembaga pendidikan. Menurut M. Ngalim Purwanto, bahwa hukuman atau menghukum itu bukanlah soal perseorangan, melainkan mempunyai sifat kemasyarakatan. Hukuman tidak dapat dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang menurut kehendak seseorang, tetapi menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, yang selalu mendapat pengawasan dari masyarakat dan negara. Apabila hukuman yang bersifat pendidikan (paedagogis) harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat hukuman yang paedagogis antara lain: 1) Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan. 2) Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak. 3) Hukuman harus diberikan dengan adil. 4) Guru sanggup memberi maaf setelah hukuman itu dijalankan.6 Hukuman juga diperlukan untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib. Terjadinya pelanggaran tata tertib yang sudah dikeluarkan tidak dapat diramalkan kapan akan terjadi. Dengan asumsi
6
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 192.
26
bahwa pelanggaran tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu, maka guru seharusnya selalu siap dengan berbagai hukuman.7 Menurut Dian Ibung, dalam bukunya yang berjudul Mengembangkan Nilai Moral pada Anak telah menjelaskan bahwa fungsi hukuman adalah: a) Mencegah berulangnya tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. b) Mendidik anak mengenai arti suatu tindakan (bahwa ada tingkah laku yang diharapkan lingkungan dan ada yang tidak), serta nilai setiap pendidikan. c) Menguatkan motivasi anak untuk melakukan tindakan yang didukung lingkungan dan menghindari atau menghilangkan tindakan yang tidak sesuai harapan lingkungan.8 B. Pembentukan Akhlak 1. Pengertian Akhlak Dilihat dari segi bahasa istilah akhlak berasal dari bahasa Arab yang telah terserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab kata akhlak merupakan bentuk jama‟ dari kata khuluqun yang mempunyai beberapa arti yaitu: tabi‟at, perangai, adat kebiasaan, perwira dan agama.9 Didalam ensiklopedi pendidikan dikatakan bahwa akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan yang baik
7
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 167-168. Dian Ibung, Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009), hlm. 82. 9 Imam Suraji, Etika dalam Perspektif Alquran dan Al-hadis, (Jakarta: PT. Pustaka al Husna Baru, 2006), hlm. 1. 8
27
yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.10 Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar diberi pengertian sebagai berikut: a. Ibnu Maskawaih
ٍَخ٠َُِٚالَ سٚ ِش ِف ْى ٍش١ْ َٓ غ ْ ِِ َبٍِٙ اَ ْف َعٌََٝب ِاٌَٙ ٌَخ١ِس دَا ع ِ ْحبَ يٌ ٌٍَِٕف “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” b. Al-Ghazali
ٌَٝ ِش حَبجَخٍ ِا١ْ َٓ غ ْ ِِ س ٍش ْ ٠ُ َٚ ٌَ ٍخْٛ ُٙس ُ ي ِث ُ ْفعَب٢َب رَصْ ُذسُ إْٙ َسغَ ٌخ ع ِ س سا ِ ْ إٌَفِْٝئَ ٍخ ف١َ٘ َْٓعجِجَب سَ ٌح ع ٍَخ٠ْسُؤَٚ ِف ْى ٍش “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” c. Ibrahim Anis
ٍَخ٠ْسُؤَٚ ِف ْى ٍشٌَٝ ِش حَبجَخٍ ِا١ْ َٓ غ ْ ِِ ش ٍش َ َْٚشٍ ا١ْ ْٓ خ ْ ِِ ً ُ َّ ع ْ ََب اَالْٕٙ َحبَ يٌ ٌٍَِٕفْسِ َسسِخَ ٌخ رَصْ ُذ ُس ع “Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.” d. Kitab Dairatul Ma‟arif
َُخ١ِ صِفَب دُ اْإلِ ْٔسَِٓ اْالَدَثٟ َ ِ٘ “Sifat-sifat manusia yang terdidik”
10
Soegarda Poerbawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hlm.
9.
28
Keseluruhan definisi akhlak tersebut tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara satu dan lainnya. Definisidefinisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu: 1) perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. 2) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. 3) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran lagi. 4) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Jika ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan, atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari orang yang melakukannya.
29
5) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena main-main atau sandiwara.11 Jadi perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas karena semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak. Jadi akhlak adalah tingkah laku merupakan bentuk kepribadian seseorang tanpa dibuatbuat, spontan atau tanpa ada dorongan dari luar. Jika baik menurut pandangan agama, tindakan spontan dinamakan akhlak yang baik (al-akhlakul karimah / al-akhlakul mahmudah), sebaliknya jika spontan itu buruk disebut al-akhlakul madzmudah.12 2. Sumber-sumber Akhlak Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah Alquran dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral.13 Segala sesuatu yang baik menurut Alquran dan Sunah itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang buruk menurut Alquran dan Sunah, berarti tidak baik dan harus dijauhi. Alquran menjadi sumber akhlak karena Alquran mempunyai tujuan membangun alam yang berakhlak mulia, yang bersih perasaannya dan baik
11
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 3-7. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 15. 13 Yunahar llyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 1999), hlm. 4. 12
30
perilakunya. Alquran hadir membawa kaidah-kaidah dan dasar-dasar yang menjamin keabadian dan keutuhan. Alquran tidak membangun dunia ini diatas kumpulan, nasehat dan pesan serta tidak membiarkan sisi akhlak dipengaruhi oleh faktor lingkungan adat dan tradisi. Alquran membawa satu tujuan yaitu akhlak yang sempurna yang mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan.14 Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, Aisyah menjawab:
َْخٍْمٌ ُٗ اٌْ ُمشْآ ُ ْ َ وَب “Akhlak Rasulullah adalah Alquran” Maksud perkataan Aisyah adalah segala tingkah laku dan tindakan Rasulullah Saw, baik yang zahir maupun yang batin senantiasa mengikuti petunjuk dari Alquran. Alquran selalu mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran baik dan buruk ini ditentukan oleh Alquran. Alquran menggambarkan akidah orang-orang yang beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran kehidupan mereka yang tertib, adil, luhur, dan mulia. Berbanding terbalik dengan perwatakan orang-orang kafir dan munafik yang jelek, zalim dan rendah hati. Gambaran akhlak mulia dan akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia di sepanjang sejarah. Sedangkan Hadis menjadi sumber karena Hadis merupakan semua perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad Saw. Rasulullah merupakan manusia yang paling sempurna akhlaknya. Rasulullah selalu mewarnai seluruh 14
M. Syadid, Manhaj Tarbiyah Metode Pembinaan dalam Alquran, (Jakarta: Rabbani Press, 2003), hlm. 163.
31
hidupnya dengan keluhuran akhlak manusia. Allah Swt pun memuji keluhuran akhlaknya. Sekaligus melantiknya sebagai manusia yang terbaik yang menjadi suri tauladan dan menjadi panutan umat sepanjang masa seperti Firman Allah Swt dalam surat Al-Ahzab ayat 21:
ٕٔ شا١َِ َر َوشَ ٱٌٍَ َٗ وَثٚ خ َش ِ ََٓۡ ٱٌۡأَٛ١ٌَۡٱٚ َٗ ٌٍَاْ ٱُٛشۡج٠َ ْ َ حسََٕخٌ ٌَِّٓ وَب َ َ ٌحٛۡيِ ٱٌٍَِٗ ُأسُٛ َسسٌَِٟمَذۡ وَبَْ ٌَىُُۡ ف “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”15 Jadi Alquran dan Sunah menjadi sumber akhlak karena memang konsep akhlak terdapat dalam keduanya adalah mutlak, berlaku sepanjang masa tidak berubah oleh waktu keadaan, tempat dan sangat universal.16 Alquran dan Sunah juga merupakan pegangan umat Islam dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 3. Macam-macam Akhlak Untuk dapat membentuk tingkah laku dan kepribadian yang baik, seseorang harus dibiasakan melakukan hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang buruk sejak kecil, walaupun ia belum tahu makna dari kebiasaan hal-hal yang buruk sejak kecil. Akhlak berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Akhlak Terpuji (akhlak mahmudah) Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab akhlak mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf’ul dari kata
15
Depag RI, Alquran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 670. Luqman Haqani, Perusak Pergaulan dan Kepribadian Remaja Muslim, (Bandung: Pustaka Ulumudin, 2004), hlm. 94. 16
32
hamidayang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut juga dengan akhlak karimah (akhlak mulia) atau makarim al-akhlak. Istilah yang kedua berasal dari Hadis Nabi Muhammad Saw yang terkenal, yaitu:
ِال ق َخ ْ َذ ألً َرِّ َُ َِىَبسََِ األ ُ ْئ ََّٔب ُثعِث “Aku diutus untuk menyempurnakan perangai (budi pekerti) yang mulia.” Pengertian akhlak terpuji menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan ketaatan dan kedekatan kepada Allah Swt. Sehingga mempelajari dan mengamalkannya merupakan kewajiban individual setiap muslim. Sedangkan menurut Al-Mawardi, akhlak terpuji adalah perangai yang baik dan ucapan yang baik.Akhlak terpuji meliputi: 1) Akhlak terhadap diri sendiri, meliputi: a) Sabar Sabar diartikan dengan ketabahan dan keberanian dalam menghadapi kesulitan dan tetap berusaha dengan sepenuh kemampuan untuk mengatasinya. Sabar merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh setiap muslim, sebab kesabaran merupakan rukh keimanan yang akan mengantarkan setiap muslim meraih kebahagiaan.17 Sabar terbagi tiga macam, yaitu sebagai berikut: (1)
Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
(2)
Sabar karena taat kepada Allah Swt, artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi
17
Imam Suraji, op. cit., hlm. 244.
33
segala larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. (3)
Sabar karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah Swt.18
b) Syukur Syukur adalah menyatakan rasa terima kasih atas segala nikmat yang diterimanya. Baik nikmat yang diterima dari orang lain maupun nikmat yang diterima dari Allah Swt. Syukur dapat diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan.19 c) Amanah Amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati, jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia ataupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat dengan baik biasa disebut al-amin yang berarti dapat dipercaya, jujur, setia dan aman. d) Benar atau jujur Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngadakan dan tidak pula menyembunyikannya.
18
Rosihan, op. cit., jlm. 97. Imam Suraji, op. cit., hlm. 269.
19
34
e) Menepati janji Dalam Islam, janji merupakan utang. Utang harus dibayar (ditepati). Jika kita mengadakan suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikan tepat pada waktunya. Janji mengandung tanggung jawab. Dasar perintah menepati janji adalah
َُُۡذرٙع َٰ ۡذِ ٱٌٍَِٗ ئِرَاٙ ْا ِث َعُٛۡفَٚأَٚ “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji.” f) Memelihara kesucian Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Upaya memelihara kesucian diri hendaknya dilakukan setiap hari agar diri tetap berada dalam status kesucian. Menurut Al-Ghazali, dari kesucian diri akan lahir sifat-sifat terpuji lainnya, seperti kedermawanan, malu, sabar, toleran, qanaah, wara‟, lembut dan membantu.20 2) Akhlak terhadap orang lain, meliputi: a) Akhlak terhadap orang tua Berbakti dengan orang tua merupakan faktor utama diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal shaleh paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim. Salah satu keutamaan berbuat baik kepada kedua orang tua, disamping melaksanakan ketaatan atas perintah Allah Swt, adalah menghapus dosa besar.
20
Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 100-105.
35
Hal itu sebagaimana tergambar dalam ucapan Ali bin Abi Thalib. Dasar-dasar keharusan berbuat baik kepada orang tua adalah:
ََّٰٝ َٰز١ٌَۡٱٚ َٰٝ ٱٌۡ ُمشۡثَِٞثِزٚ سَٰ ًٔب ِۡٓ ِئحۡ أ٠ٌَِذَٰٛ ٌَۡثِٲٚ ۖۡٔ ٗ ا١َ ْا ثِِٗۦ شٌَُٛب ُرشۡ ِشوَٚ َٗ ٌٍَاْ ٱَُٚٱعۡجُذٚ َِٓۡٱثٚ ت ِ َٕۢت ثِٲٌۡج ِ َِٱٌصَبحٚ ت ِ َُُٕٱٌۡجَب ِس ٱٌۡجٚ َٰٝ ٱٌۡ ُمشۡثَِٞٱٌۡجَب ِس رٚ ٓ ِ ١ِسى َٰ َّ ٌَۡٱٚ ٖٙ سًاُْٛ ُِخۡزَبي ٗ ا فَخ َ ت َِٓ وَب ُ ُِح٠ ال َ َٗ ٌٍََّٰۡ ُٕىُُۡۗ ئَِْ ٱ٠ََِب ٍََِىَذۡ أَٚ ً ِ ١ِٱٌسَج “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36).21 Al-Samarqandi mengemukakan sepuluh persoalan yang menjadi hak-hak kedua orang tua, jika dilaksanakan oleh anak, berarti ia sudah termasuk berbakti kepada keduanya, misalnya: (1)
Menanggung biaya hidupnya jika keduanya membutuhkan.
(2)
Menjamin pakaiannya sesuai dengan kebutuhan keduanya, dan sesuai pula dengan kemampuan ekonomi anak.
(3)
Mendampingi keduanya dan memeliharanya bila keduanya sudah tua.
(4)
Apabila
dipanggil
oleh
keduanya,
maka
segera
didatanginya. (5)
Apabila keduanya menyuruh berbuat baik, maka segera dilaksanakan perintahnya.
21
Ibid., hlm. 107.
36
(6)
Apabila keduanya mengajak berbicara, hendaklah anak menghadapinya dengan sopan santun.
(7)
Keduanya tidak boleh dipanggil oleh anak dengan mengucapkan nama aslinya.
(8)
Jika keduanya mengajak jalan bersama-sama, anak harus berada pada posisi di belakangnya.
(9)
Harus menyenangi sesuatu yang disenangi keduanya, asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
(10)
Harus selalu mendoakan keduanya, setiap anak mendoakan dirinya.22
b) Akhlak terhadap kyai atau guru Akhlakul karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya,
baik
itu
di
hadapannya
ataupun
di
belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. Penyair Syauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut :
.ًْالَُْْٛ َسسُٛى٠َ ْ ْ َ وَبدَا ٌْ ُّ َعٍُُِّ ا# ال َ ١ْ َِفِّ ِٗ اٌزَّجْجٚ ُِ ٍِّلُُْ ٌِ ٍْ ُّ َع “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.”23 22
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 17. Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 136. 23
37
Selain itu dijelaskan juga dalam kitab Adabul Alim wal Muta’alim tentang akhlak seorang santri terhadap gurunya, yaitu: (1) Menurut terhadap gurunya dalam segala hal dan tidak keluar dari nasehat-nasehat dan aturan-aturanya. (2) Memandang guru dengan pandangan bahwa beliau adalah sosok yang harus dimuliakan, dihormati dan berkeyakinan bahwa guru itu mempunyai derajat yang sempurna. (3) Hendaknya seorang santri mengetahui kewajibannya kepada gurunya dan tidak pernah melupakan jasa-jasanya, keagungannya, kemulyaannya, serta selalu mendoakan kepada gurunya, baik beliau masih hidup atau setelah meninggal dunia. (4) Apabila santri duduk di hadapan kyai, maka hendaklah ia duduk di hadapannya dengan budi pekerti yang baik. (5) Berbicara yang bagus dengan seorang guru. (6) Ketika seorang santri sudah mengetahui tentang suatu ilmu, maka hendaknya pura-pura tidak tahu, karena hal ini untuk menghormati guru.24 Didalam kitab Ta’lim al Muta’alim juga diterangkan mengenai akhlak santri atau murid kepada guru, diantaranya sebagai berikut:
24
Hasyim Asy‟ari, Adabul Alim wal Muta’alim, (Jombang: Maktabah Atturats al Islami, 1993), hlm. 29-43.
38
(1) Tidak berjalan di depan guru. (2) Tidak boleh duduk di tempat yang biasa ditempati oleh guru. (3) Tidak berbicara terlebih dahulu sebelum guru memberikan izin. (4) Tidak banyak bicara terhadap guru. (5) Melaksanakan perintahnya guru kecuali perintah untuk melakukan maksiat. (6) Mengagungkan atau memuliakan anaknya seorang guru (keluarganya guru)25. c) Akhlak terhadap teman (1) Suka menolong orang lain Dalam hidup ini jarang sekali ada orang yang tidak memerlukan pertolongan orang lain. Adakalanya karena sengsara dalam hidup, adakalanya karena penderitaan batin atau kegelisahan jiwa dan adakalanya karena sedih mendapat berbagai musibah. Oleh sebab itu, belum tentu orang yang kaya dan orang yang mempunyai kedudukan tidak memerlukan pertolongan orang lain. Orang mukmin apabila melihat orang lain tertimpa kesusahan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan kemampuannya. Apabila ada bantuan berupa benda, kita 25
Az-Zarnuji, Ta’lim al Muta’alim, diterjemahkan oleh Hammam Nashiruddin, (Magelang: Menara Kudus, 1963), hlm. 64-68.
39
dapat membantu orang tersebut dengan nasehat atau kata-kata yang dapat menghibur hatinya. Bahkan sewaktu-waktu bantuan jasa dari pada bantuan-bantuan lainnya.26 (2) Ukhuwah Islamiyah Ukhuwah
Islamiyah
adalah
sebuah
istilah
yang
menunjukkan persaudaraan antara sesama muslim di seluruh dunia tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan kewarganegaraan. Yang mengikat persaudaraan itu adalah kesamaan dan keyakinan atau iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Persaudaraan seiman itu ditegaskan oleh Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 10:
ٔٓ ْ َ ُّٛح َ ۡاْ ٱٌٍََٗ ٌَ َعٍَىُُۡ ُرشَُٛٱرَمٚ ُُۚۡۡى٠َََٛۡٓ أَخ١َ ْا ثَُٛ ٌح فََأصٍِۡحَْٛۡ ئِخُِِٕٛۡئِ ََّٔب ٱٌُّۡإ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10). Supaya ukhuwah Islamiyah dapat tegak dengan kokoh diperlukan empat tiang penyangga yaitu, saling kenal mengenal (ta‟aruf), saling memahami kelebihan dan kekurangan masingmasing (tafahum), saling tolong-menolong (ta’awun), saling memberikan
jaminan
(takaful).27
26
Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 113. Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 221.
27
sehingga
menimbulkan
rasa
aman
40
d) Akhlak terhadap lingkungan Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Alquran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaanya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati
proses-proses
yang
sedang
terjadi.
Hal
ini
mengantarkan manusia bertanggung jawab sehingga ia tidak melakukan perusakan bahkan dengan kata lain. “setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia.” Binatang, tumbuhan dan benda-benda tidak bernyawa, semua itu diciptakan oleh Allah Swt dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki kebergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Oleh karena itu dalam surat Al-An‟am ayat 38:
ِِٟۡٗ ِئٌَبٓ ُأٌَُِ َأِۡثَبٌُىُُۚ َِب َف َشطَٕۡب ف١َ ُش ثِجََٕبح١ِط٠َ ٌَب طَٰٓئِشَٚ ض ِ ۡ ٱٌَۡأسَِِٟب ِِٓ َدآثَخ ٖ فَٚ ٖ٨ ْ َ ُٚشش َ ۡح٠ُ ُِٰۡٙ سَ ِثٌَٝۡ ٍء ثَُُ ِئٟش َ ِِْٓ ت ِ َٰٱٌۡىِز “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam AlKitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
41
Selain itu juga dijelaskan dalam surat At-Takatsur ayat 8:
٨ ُِ ١ِٓ ٱٌ َٕع ِ ََِۡئِ ٍز عَٛ٠ ٓ َ ٍُٔۡس َ ثَُُ ٌَ ُز “Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” Dengan demikian, bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, tetapi juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Tuhan menyangkut apa yang berada disekitar umat manusia.28 b. Akhlak tercela (akhlak madzmumah) Kata madzmumah berasal dari bahasa Arab yang berarti tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak tercela. Segala bentuk yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai manusia. Bentuk-bentuk akhlak madzmumah bisa berkaitan dengan Allah, Rasulullah Saw, dirinya, keluarga, masyarakat dan alam sekitanya.29 Rasulullah Saw bersabda:
ًَس َ ً ا ٌْ َع ُخ َ ٌُْ ْفسٍ ُذ ا٠ ً َوَّب َ َّ ُ ْفسِ ُذ ا ٌْ َع٠ ك ِ ٍُخ ُ ٌْءَاْٛ ُئَِْ س “Sesungguhnya akhlak tercela merusak kebaikan sebagaimana merusak madu.”
28
Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 114. A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Muamalah dan Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hlm. 100. 29
42
Akhlak tercela diantaranya yaitu: 1) Syirik Syirik adalah menjadikan sekutu selain Allah Swt dan memperlakukannya seperti Allah Swt, seperti berdoa dan meminta syafaat. Syirik ada dua macam yaitu: syirik akbar (syirik besar) adalah menjadikan
sekutu
selain
Allah
Swt
lalu
menyembahnya.
Perlakuannya keluar dari Islam dan segala amal kebaikannya terhapus. Jika mati dalam keadaan seperti itu, ia akan abadi dalam neraka jahanam. Siksanya tidak akan diringankan sedikit pun. Adapun syirik ashgar adalah setiap perbuatan yang menjadi perantara menuju syirik akbar, atau perbuatan yang dicap syirik oleh nash, tetapi tidak sampai mencapai derajat syirik akbar. 2) Kufur Kufur adalah tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan. Kufur ada dua jenis, yaitu kufur besar adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam dan abadi dalam neraka. Adapun kufur kecil adalah kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tidak menyebabkan abadi dalam neraka. Pelakunya hanya mendapatkan ancaman yang keras. Kufur kecil adalah dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Misalnya kufur nikmat, sebagimana disebutkan dalam firman-Nya:
43
ََُْٚأوۡ َثشُُ٘ ُُ ٱٌۡىَٰ ِفشَٚ َبَٙٔ ُُٕٚ ِىش٠ َُ ُْ ِٔعَّۡذَ ٱٌٍَ ِٗ ث َ ُٛعۡشِف٠َ “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah yang ingkar kepada Allah.”30 3) Dusta atau bohong Dusta atau bohong adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Atau menyatakan adanya sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Perkataan tersebut dapat berupa perkataan, tulisan ataupun perbuatan. Dusta merupakan suatu akhlak yang buruk dan induk dari bermacam-macam akhlak buruk yang lainnya. Karena besarnya keburukan yang diakibatkan oleh dusta maka Rasulullah Saw mengingatkan setiap muslim untuk berhati-hati dengan dusta, karena dusta adalah kunci masuk neraka. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
َ إٌَبسٌَْٟ ِاِْٞذٙ٠َ َْ سُٛأَِبَ ٌْفُجَٚ ِسْٛ ُ اٌْفُجٌَٟ ِاِْٞذٙ٠َ ة َ ِْ ا ٌْىَز َ ة فَِب َ َِا ٌْىَزٚ ُْ َُبو٠ِاَٚ )ٞاٖ اٌجخبسٚ(س “Peliharalah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kecurangan dan kecurangan itu membawa ke neraka.” (HR. Bukhari).31
30
Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 122-127. Imam Suraji, op. cit., hlm.277.
31
44
4) Ghibah Ghibah secara bahasa berarti menggunjing atau mengumpat. Ghibah menurut istilah adalah menyebut-nyebut keadaan seseorang (kekurangan, kejelekan, cacat dan lain sebagainya) dihadapan orang lain pada saat yang bersangkutan tidak ada. Apabila yang bersangkutan mendengar, ia akan merasa tidak senang dengan ucapan tersebut. Dan hal-hal yang sering menjadi objek gunjingan seseorang antara lain: kekurangan atau keburukan (aib) seseorang yang berkaitan dengan amal ibadahnya, pekerjaanya, istrinya, anak-anaknya, suaminya, harta bendanya, rumah tangganya, cara bicaranya, cara berjalannya, bentuk fisik dan lain sebagainya. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Rasulullah Saw menyatakan sebagai berikut:
:َلَبي.ٍَُْع ْ ٌَُُٗ اْٛ َُ َسسٚ هلل ُ ا اٍُْٛجَخُ؟ َل١ِْ َِباٌغ َ َْٚهلل لَبيَ اَرَ ْذس ِ يَ اْٛ ُشَحَ اََْ َسس٠ْ َ ُ٘شٟعَْٓ أث َْْ وَب ْ ِيُ؟ لَبيَ اْٛ ُ َِباَلِٟ اَحِْٟ ف َ ْ وَب ْ ِْذَ ا٠ًََ اَ َف َشا١ْ ِ ل,َُٖ ْىش٠َ ن ِثَّب َ ِر ْو ْشنَ اَخَب )ٍُاٖ ِسَٚزَ ُٗ (سٙي فَمَ ْذ َث ُ ْٛ ُْ ِٗ َِبرَم١ِٓ ف ْ ُى١َ ٌَّْ ِْْاَٚ ُٗ َي فَمَذِ اغْزَجْز ُ ْٛ َْ ِٗ َِبرَم١ِف “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bertanya: tahukah kamu apa hibah itu? Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasul bersabda:”yaitu engkau menyebut saudaramu tentang apa-apa yang tidak ia senangi.” Nabi kembali ditanya.”bagaimana apabila teman saya itu keadaanya sesuai dengan apa yang ia sebut”. Nabi menjawab”kalau memang sebenarnya begitu, itulah yang bernama ghibah. Tetapi jika kamu menyebut apa yang tidak sebenarnya, berarti kamu telah menuduhnya dengan kebohongan. (HR. Muslim).32
32
Ibid., hlm. 272.
45
5) Takabur Takabur secara bahasa berarti membesarkan diri atau menganggap diri lebih dari orang lain. Sedangkan secara istilah takabur adalah sebagai suatu sikap mental yang memandang rendah orang lain, memandang tinggi dan mulia dirinya sendiri. Orang yang takabur selalu menganggap dirinya lebih dari orang lain, dan orang lain dianggap rendah bagaimanapun keadaannya. Orang yang takabur biasanya kurang dapat menyadari kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya. Sebaliknya ia sangat memperhatikan kesalahan orang lain dan tidak mengakui kelebihannya.33 6) Dengki Diantara sifat buruk manusia yang banyak merusak kehidupan adalah dengki. Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperloeh secara tidak wajar. Dalil yang mencela perbuatan dengki adalah:
ت َ َٰ َُ ٱٌۡىِز١ََِٰٕ٘ۡبٓ ءَايَ ئِثۡش١َُُُ ٱٌٍَ ُٗ ِِٓ َفضٍِِۡٗۦۖ فَمَذۡ ءَارَٰٰٜٙ َِبٓ ءَارٍَٝع َ س َ ْ ٱٌَٕب َ ُٚحۡسُذ٠َ ََۡأ ٘ٗ ُ ٗ ا١ِعظ َ ُُ ٍُِۡىًبَٰٕٙ ۡ١َءَارَٚ حىَّۡ َخ ِ ٌَۡٱٚ “Ataukah mereka dengki kepada (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sesungguhnya, kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.” (QS. An-Nisa: 54). 33
Ibid., hlm. 289.
46
7) Riya Riya
adalah
memperlihatkan
diri
kepada
orang
lain.
Maksudnya, beramal bukan karena Allah Swt, tetapi karena manusia. Riya ini erat hubungannya dengan sifat takabur. Orang riya beramal bukan ikhlas karena Allah Swt, tetapi semata-mata mengharapkan pujian dari orang lain. Oleh sebab itu, orang riya hanya melakukan amal ibadah apabila ada orang lain yang melihatnya. Sifat riya dapat muncul dalam beberapa bentuk kegiatan, diantaranya: riya dalam beribadah, riya dalam berbagai kegiatan, riya dalam berderma atau bersedekah.34 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak Kehidupan muslim yang baik dapat menyempurnakan akhlaknya sesuai yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Akhlak yang baik dilandasi oleh ilmu, iman, amal dan takwa. Ia merupakan kunci bagi seseorang untuk melahirkan perbuatan dalam kehidupan yang diatur oleh agama. Dengan ilmu, iman, amal dan takwa seseorang dapat berbuat kebajikan. Sebaliknya tanpa ilmu, iman, amal dan takwa seseorang dapat berperilaku yang tidak sesuai dengan akhlakul karimah, sebab ia lupa dengan Allah yang telah menciptakannya. Keadaan demikian menunjukkan perlu adanya pembangunan iman untuk meningkatkan akhlak seseorang.
34
Rosihon Anwar, op. cit.,hlm. 132-137.
47
a.
Nativisme Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam.35 Diantaranya:
1) Insting Insting adalah suatu kesanggupan untuk melakukan perbuatan yang tertuju pada sesuatu pemuasan dorongan nafsu atau dorongan batin yang telah dimiliki manusia sejak lahir. Sedangkan insting pada manusia dapat berubah-ubah dan dapat dibentuk secara intensif. Dalam insting terdapat tiga unsur kekuatan yang bersifat psikis, yaitu mengenai (kognisi), kehendak (konasi), dan perasaan (emosi). Etika Islam mengajarkan agar insting yang ada harus dijaga dan diarahkan sebaik-baiknya. Sebagai contoh insting makan dan minum yang dimiliki oleh setiap manusia. Insting tersebut tidak boleh dihilangkan atau dilepas tanpa kendali, tetapi harus disalurkan dengan cara makan dan minum barang yang baik, halal, suci dan tidak berlebih-lebihan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 168 Allah Swt berfirman sebagai berikut:
ُُۡۡطَِٰٓۚ ئَُِٔٗۥ ٌَى١َد ٱٌش ِ َُٰٛخط ُ ْاٌَُٛب رَزَ ِجعَٚ ِت ٗ ا١َحًٍَٰ ٗ ا ط َ ض ِ ۡ ٱٌَۡأسِٟ ْا َِِّب فٍُٛس ُو ُ َب ٱٌَٕبٙ٠ُ ََٰٓأ٠ ٔٙ٨ ٓ ٌ ١ِ ُِجٞ ُّٚعَذ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari pada yang terdapat dibumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata.” (QS. AlBaqarah : 168)
35
Abuddin Nata, op. cit., hlm. 167.
48
2) Naluri Naluri merupakan asas perbuatan manusia. Manusia dilahirkan membawa naluri yang berbentuk proses pewarisan urutan nenek moyang. Naluri dapat diartikan sebagai kemauan tak sadar yang dapat melahirkan perbuatan mencapai tujuan tanpa berpikir kearah tujuan dan tanpa dipengaruhi oleh latihan berbuat. Tingkah laku perbuatan manusia seharihari dapat ditunjukkan oleh naluri sebagai pendorong. Contohnya: tindakan makan ialah naluri lapar dan berpakaian naluri malu, demikianlah tiap tindakan dapat ditemukan dalam naluri sebagai pendorong.36 3) Keturunan Keturunan adalah semua faktor yang dibawa manusia sejak lahir. Adapun sifat-sifat yang diturunkan kepada manusia dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: a) Turunan sifat manusia, seperti bentuk tubuh, perawakan, wajah, panca indra, perasaan, akal, kemauan, bakat, dan sebagainya. b) Turunan sifat bangsa, seperti adat kebiasaan suatu bangsa, pemikirannya,
orientasi
kehidupannya,
cara
pandang
dalam
menghadapi masalah dan sebagainya. Kedua sifat tersebut akan mempengaruhi dan membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Sifat-sifat yang diturunkan bukan merupakan sifat yang sudah jadi, tetapi berupa potensi-potensi yang masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Begitu juga sifat orang tua yang 36
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Alquran, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 76-81
49
diturunkan kepada anaknya. Walaupun demikian, para ahli sependapat bahwa keturunan merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan dalam pembentukan watak, kepribadian dan tingkah laku seseorang. Pewarisan sifat-sifat orang tua terhadap anaknya, juga disinggung oleh Allah Swt dalam surat Maryam ayat 27-28:
ن ِ ُْٛ َِب وَبَْ أَث َ َُٰٚٓأُخۡذَ َٰ٘ش٠ ٕ٧ ًب٠ًِْب َفشَُُٟ ٌَمَذۡ جِئۡذِ شَ ئ٠ۡ َّش٠َٰ ْاٌَُٛب َرحۡ ٍُُِّٗۥۖ لَبَِٙ َۡٛفَأَرَذۡ ثِٗ ل ٕ٨ ّب١ِه َثغ ِ ُِ َِب وَبَٔذۡ ُأَٚ ۡ ٍءَٛٱِۡ َشأَ س “Maka Maryam datang kepada kaumnya membawa anak itu (dengan menggendongnya). Kaumnya berkata, hai Maryam sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara Harun, ayahmu bukan sekali-kali orang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukan pezina.” (QS. Maryam: 27-28) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keturunan merupakan potensi
dasar
perbuatan
manusia,
sedang
pembentukan
dan
pengembangannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan yang diterima. Kesimpulan ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:
)ٍُاٖ اٌّسٚجسَبِٔ ِٗ (س ِ َّ٠ُ ْٚ َصِ َش ِِٔٗ ا ّ ُْٕ٠َِْٚدَأِِٗ اَٛٙ٠ُ ُٖ َاَٛطشَ ِح فَبَث ْ اٌْ ِفٍَٝع َ ٌَ ُذْٛ ُ٠ ْ ِدٌُْٛٛ َِ ً ُ ُو “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitah) maka kedua orang tuanyalah (bapak dan ibunya) yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Muslim).37 4) Nafsu Nafsu terdapat pada setiap orang walaupun berbeda macam dan tingkatannya. Nafsu merupakan salah satu potensi yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia hingga ia dapat hidup, bersemangat dan lebih kreatif. Nafsu sangat penting bagi kehidupan manusia. Hanya saja mengingat 37
Imam Suraji, op. cit., hlm. 94-98.
50
tabiat nafsu itu berkecenderungan untuk mencari kesenangan, lupa diri, bermalas-malasan yang membawa kesesatan dan tidak pernah merasa puas, maka manusia itu harus dapat mengendalikannya agar tidak membawa kepada kejahatan. Nafsu-nafsu pada manusia ada tiga macam yaitu: a) Nafsu amarah, yaitu nafsu yang melahirkan bermacam-macam keinginan untuk dapat dipenuhi. b) Nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang membuat manusia terlanjur untuk melakukan kesalahan dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Hanya sayangnya setelah itu ia berbuat lagi. c) Nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapatkan tuntutan, bimbingan, pemeliharaan yang baik dan pendidikan. Nafsu ini dapat mendatangkan ketenangan batin, melahirkan sikap dan akhlak yang baik, membetengi diri dari perbuatan yang keji dan mungkar, bahkan menghalau aneka ragam kejelekan, selalu mendorong untuk melakukan kebajikan dan menjauhi maksiat.38 b.
Empirisme Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar.39 Diantaranya:
38
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 84. Abuddin Nata, loc. cit. hlm. 167.
39
51
1) Faktor Lingkungan Lingkungan ialah ruang lingkup luar yang berinteraksi dengan insan yang berwujud benda benda seperti air, udara, bumi, langit, dan matahari. Berbentuk selain benda seperti insan, pribadi, kelompok, institusi, sistem, undang-undang, dan adat kebiasaan. Lingkungan ada dua jenis, yaitu: a) Lingkungan alam. Alam ialah seluruh ciptaan Tuhan baik dilangit dan dibumi selain Allah. Alam dapat menjadi aspek yang
mempengaruhi
dan
menentukan
tingkah
laku
manusia.Lingkungan alam dapat menghalangi bakat seseorang, namun alam juga dapat mendukung untuk meraih segudang prestasi. b) Lingkungan pergaulan. Lingkungan ini mengandung susunan pergaulan yang melipui manusia seperti di rumah, di sekolah, di tempat kerja, dan kantor pemerintahan. Lingkungan pergaulan dapat mengubah keyakinan, akal
pikiran, adat istiadat,
pengetahuan dan akhlak. Pendeknya dapat dikatakan bahwa lingkungan pergaulan dapat membuahkan kemajuan dan kemunduran manusia.40 2) Adat dan Kebiasaan Adat menurut bahasa ialah aturan yang lazim diikuti sejak dahulu. Biasa ialah kata dasar yang mendapat imbuhan ke-an, artinya
40
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 89.
52
boleh, dapat atau sering. Kebiasaan ialah perbuatan yang berjalan dengan lancar seolah-olah bejalan dengan sendirinya. Kebiasaan buruk mendorong kepada hal-hal yang lebih rendah, yaitu kembali kepada adat kebiasaan primitif. Agar kebiasaan buruk seseorang dapat berubah menjadi baik, diperlukan berbagai bimbingan dari orang lain. Begitu juga dengan seorang anak sebelum ia memiliki kebiasaan yang buruk, maka dalam usia perkembangannya diberikan bimbingan yang benar. Kebutuhan bimbingan bagi seseorang disebabkan oleh karena perkembangan budaya yang sangat pesat dan dapat mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.41 c.
Konvergensi Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial.42 Diantaranya : 1) Kehendak Kehendak yaitu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuai yang merupakan kekuatan dari dalam hati, bertautan dengan pikiran dan perasaan. kehendak juga bisa diartikan suatu kekuatan yang
41
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 1990), hlm. 392. 42 Abuddin Nata, loc. cit. hlm. 167.
53
mendorong melakukan perbuatan untuk mencapai suatu tujuan. Seperti firman Allah Swt dalam surat Yunus ayat 107:
ُت١ُِص٠ ۚۡشٍ َفٍَب َسآدَ ٌِ َفضٍِِۡٗۦ١َن ثِخ َ ۡشِد٠ُ ِْئَٚ َٛۖ ُ٘ شفَ ٌَُٗۥٓ ِئٌَب ِ ض ٍش َفٍَب وَب ُ ِّۡسَسۡهَ ٱٌٍَ ُٗ ث٠َ ِْئَٚ ٔٓ٧ ُُ ١ِسُ ٱٌشَحُٛ ٱٌۡغَفَٛ َُ٘ٚ ۚشَٓب ُء ِِٓۡ عِجَبدِِٖۦ٠َ ٓ ْ َِ ثِِٗۦ “Jika Allah melimpahkan bahaya kepadamu, maka tidakah ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107). 2) Agama Agama bukan saja kepercayaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ia harus berfungsi dalam dirinya, untuk menuntun segala aspek kehidupannya. Misalnya berfungsi sebagai sistem kepercayaan, sistem ibadah, sistem kemasyarakatan dan yang terkait dengan nilai akhlak. Dalam pergaulan kemasyarakat selalu diikat dengan suatu norma, baik norma akhlak atau norma kemasyarakatan. Norma akhlak sangat universal sifatnya, karena bersumber dari agama yang dianutnya sedangkan norma kemasyarakatan bersifat lokal dan kondisional karena bersumber dari adat kebiasaan masyarakat setempat.43
43
Mahjuddin, op. cit., hlm. 34.
54
5. Usaha dalam Membentuk Akhlak Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia baik dalam perseorangan, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan merupakan persoalan yang sangat penting karena dapat mengangkat harkat dan martabat manusia ke tingkat yang paling mulia. Seperti dalam firman Allah Swt dalam surat At-Tin ayat 3-4 ُِْ٠ ِٛحسَِٓ رَ ْم ْ َ اِٟ ٌَمَذْ خٍََمَْٕب األِ ْٔسََٓ ف. َْٓ١ََِِا َ٘زَا اٌْجٍََذِ األٚ “Dan demi kota (Mekah) ini yang aman (3) sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (4)” (QS. At-Tin: 34).44 Dengan demikian pembentukan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan proses pembentukannya tidak sekali jadi, tetapi berlangsung secara berangsur-angsur Pembentukan atau pendidikan akhlak tidak dimulai dari awal sekolah, tetapi dari rumah sebagai institusi pertama bagi anak untuk berinteraksi, bergaul dan mendapat pengaruh atas segala tingkah laku yang baik. Dengan demikian anak tidak akan kesukaran jika ia dewasa dalam bertingkah laku atau berakhlak mulia, karena didalam dirinya sudah tertanam kebiasaan yang baik dan melekat dalam jiwa serta menjadi pondasi dari akhlak.45 Pembentukan akhlak secara langsung dengan menyampaikan materi ajaran-ajarannya secara langsung melalui ayat-ayat Alquran, seperti dalam surat Al-Lukman ayat 18:
44
Soenarjo dkk, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Tafsir Alquran Departemen Agama RI, 1971), hlm. 428. 45 Zakiyah Daradjat, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 129-130.
55
ٔ٨ ٍسُٛي فَخ ٍ ً ُِخۡزَب َ ت ُو ُ ُِح٠ ض َِشَحًبۖ ئَِْ ٱٌٍََٗ ٌَب ِ ۡ ٱٌَۡأسِٟش ف ِ ٌَّۡب َرَٚ س ِ صعِشۡ خَ َذنَ ٌٍَِٕب َ ٌَُب رَٚ “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Lukman: 18) Sedangkan pembentukan akhlak secara tidak langsung yaitu dengan jalan menyampaikan kisah-kisah latihan kebiasaan yang mengandung nilainilai akhlak yang dituangkan dalam rukun islam, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Dan semua bentuk peribadatan lainnya, apabila dikerjakan dengan semestinya akan melahirkan akhlak yang mulia.46 Selain itu dalam membentuk akhlak agar menjadi manusia yang memiliki akhlak sebagai seorang muslim, maka guru melaksanakan berbagai upaya secara sistemik, kontinyu dan berkesinambungan seperti : a. Menanamkan nilai-nilai agama sejak dini, sehingga nantinya akan membentuk sikap dan kepribadian anak sejak dini. b. Memberikan suritauladan atau contoh perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari. c.
Mengadakan kegiatan keagamaan seperti perayaan hari besar Islam.
d. Mengadakan pembinaan keagamaan seperti tatacara shalat, wudhu, tayamum, berdoa, berzikir, shalat jamaah dan lain-lain. e. Memberi teguran secara lisan dan tulisan kepada peserta didik apabila ada yang berbuat yang mencerminkan akhlak yang buruk.
46
Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: CV. Wicaksana, 2005),
hlm. 15.
56
f. Memberikan arahan dan motivasi tentang pentingnya melakukan berbagai kewajiban seorang hamba kepada Allah seperti puasa, zakat, berdoa, shalat dalam kehidupan sehari-hari.47 Jadi terbentuknya akhlak itu timbul dalam jiwa dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan, kemudian terpengaruh oleh keluarga, masyarakat dan sekolah secara langsung maupun tidak langsung, sehingga meresap ke dalam jiwa dan mudah keluar tanpa pertimbangan pikiran.
47
Sulaiman, Menjadi Guru, (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 26.