23
BAB II SOSOK SEORANG MUHAIMIN
A.
Kelahiran dan Keluarga Muhaimin Hingga saat ini penulis tidak mendapatkan buku-buku yang mengulas atau membahas tentang riwayat hidup Muhaimin secara komprehensif. Hal ini mungkin disebabkan tokoh yang sedang penulis kaji masih hidup. Biografi singkat Muhaimin penulis dapat temukan pada bagian akhir dari beberapa buku atau tulisan Muhaimin. Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. dilahirkan di Lumajang, 11 Desember 1956, Dosen tetap sekaligus Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama di UIN Malang, dari putra pasangan H. Soelchan (alm.) dan Hj. Chotimah (alm.). Dalam meniti kehidupanya, beliau di dampingi Hj. Rosidah Rahayu. Dari pernikahanya dikaruniai tiga anak yaitu : Qurrotu Aini, Moh. Rosyidi Alhamdani dan Mahro Syihabuddin. Beliau beralamat di Jalan Joyo Raharjo 150 Malang 65144, Telp/faks (0341) 583968, HP 0816559662 dan 081555725155.17
17
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal.
343.
23
24
B.
Pendidikan dan Karirnya Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A sebagai berikut: 1. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Lumajang (1969) 2. PGAN 4 Tahun Lumajang (1973) 3. PGAN 6 Tahun Lumajang (1975) 4. Sarjanah muda jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang (1979) dan sarjanah lengkap pada IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah Malang (1982) 5. S2 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1989) 6. S3 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul disertasi “Filsafat Pendidikan Islam Indonesia Suatu Kajian Tipologis” Beliau meniti kariernya sejak dari bawah, yaitu mulai menjadi Pegawai harian Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang (1982-1984), kasi pengajaran pada fakultas yang sama (1985-1987), kemudian diangkat menjadi dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang/STAIN Malang sejak (1985), dan menjadi Guru Besar pada UIN Malang (2003 s.d sekarang). Dengan keahlian dibidang Ilmu Pendidikan Agama, ia di minta bantuannya untuk mengajar di beberapa Program Pascasarjanah (S2 dan S3) terutama pada UIN Malang, STAIN, IAIN, dan PTAIS di wilayah Jawa Timur.
25
Muhaimin pernah mengikuti: School Management Training di Kanada (Oktober s.d Desember 2002), short Course di Iran (September 2003), kunjungan kerja ke Sudan, Qatar dan Mesir (Januari-Februari 2004), Sandwich Program di Malaysia (November-Desember 2004 dan November 2005), dan pernah menjadi nara sumber pada seminar Pendidikan Islam di Riyardh Saudi Arabiyah serta mengadakan penyuluhan pendidikan pada sekolah-sekolah Indonesia di Jeddah, Makkah dan Riyardh (7-15 Mei 2005). Beliau juga pernah menjadi Anggota Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam di Jawa Timur, Konsultan dan Pelatih Pengembangan Kurikulum Pendidikan TK/RA, Madrasah (MI, MTs, MA) dan Madrasah Diniyah, PAI di sekolah Umum Pendidikan Dasar dan Menengahdi Kanwil Depag Jatim, Tim pengembangan Kurikulum PTAI Dipertais Depag RI, Pelatih Pengawas PAI dan Kepala Madrasah Kanwil Depag di Jatim. Konsultan penulis buku paket PAI SMP pada MGMP PAI Kotamadyah Malang, Anggota Tim Pakar Penyusunan kurikulum Berbasis
Kompetensi
PAI
Madrasah
Ditmapendais
Depag
Pusat,
Pelatih
Pengembangan Madrasah di Kanwil Depag di Provinsi Bali, Instruktur dan Pelatih pada Diklat Kanwil Depag Jawa Timur, serta Tim Assesor (Akreditasi Program Studi dan Akreditasi Institusi) Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT), Tim Pakar Pengembang KTSP dan Kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk Madrasah Tahun 2007 pada Direktorat Pendidikan Madrasah Depag Pusat, Direktur Lembaga Konsultasi dan Pengembang Pendidikan Islam (LKP2-I) di Malang (2007-
26
Sekarang), Serta sebabagai Exstarnal Examiner Disertasi pada University of Malaya Kuala Lumpur Malaysia (2007-sekarang).
C.
Pemikiran dan Karyanya Banyak sekali buah karya Muhaimin yang telah diterbitkan oleh para penerbit baik berupa buku, artikel-artikel di majalah. Beliau aktif menulis buku, melakukan berbagai penelitian, narasumber di berbagai seminar (lokal, nasional dan Internasional) dan workshop, serta kegiatan-kegiatan pelatihan, dan menulis artikel di beberapa majalah dan surat kabar. Disamping itu beliau juga seorang kritikus pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam, baik yang berkenaan dengan undang-undang maupun peraturan menteri dan sebagainya yang menurutnya tidak menjiwai hakikat pendidikan Islam. Muhaimin melihat terjadi ketimpangan dalam hal dikotomi atau dualisme pendidikan maka beliau menawarkan pendidikan Islam ideal yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Salah satu kritiknya yang juga sering disampaikan Pada Wokshop Penilian Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Depatemen Agama Di Bogor, Pada Tahun 2007 Tentang Analisis Terhadap Permendikanas No. 23/2006 & No. 22/2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA. Serta beliau juga aktif menulis buku-buku yang sudah di terbitkan sebagai berikut:
27
1. Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1989). 2. Kosep Pendidikan Islam “Sebuah Telaah komponen Dasar Kurikulum” (Solo: Ramdhani, 1991). 3. Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia (Jakarta: Kalam Mulia, 1991). 4. Pengenalan Kurikulum Madrasah (Solo: Ramadhani, 1992). 5. Pemikiran
Pendidikan
Islam
“Kajian
Filosofik
dan
Kerang
Dasar
Operasional” (Bandung: Trigenda Karya, 1993). 6. Bekal Parah Juur Dakwah MasaKini (Bandung: Trigenda Karya, 1994). 7. Dimensi-dimensi Studi Islam (Suarabaya: Karya Abditama, 1995). 8. Strategi Belajar-Mengajar “Penerapannya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” (Surabayah: Citra Media, 1996). 9. Dasar-dasar Kependidikan Islam “Satuan Pengantar Ilmu Pendidikan Islam” (Surabayah: Karya Abditama, 1996). 10. Tema-tema Pokok Dakwah Islam di Tengah Tranformasi Sosial (Surabaya: Karya Abditama, 1998). 11. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet, I, 2001 dan Cet, II, 2002). 12. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet, I, 2003, dan Cet, II, 2004).
28
13. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa Cendikia, 2003). 14. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005). 15. Pengembangan Kurikulum di PTAI (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). 16. Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Prenada, 20005). 17. Manajemen Penjaminan Mutu di UIN Malang (Malang: UIN, 2005). 18. Nuansa Baru Pendidikan IslamMengurai Benang Kusut Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo, Persada, 2006). 19. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) (Surabayah: Kanwil Depag Jatim, 2007). 20. Pedoman
Implementasi
Pengembangan
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan (KTSP) untuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) (Surabayah: Kanwil Depag Jatim, 2007). 21. Pedoman
Implementasi
Pengembangan
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan (KTSP) untuk Madrasah Aliyah (MA) (Surabayah: Kanwil Depag Jatim, 2007). 22. Rencana
Strategis
Pengembangan
Madrasah
“Aplikasi
Manajemen
Pendidikan Islam” (Malang: Lembaga Konsultasi dan Pengembangan Pendidikan Islam/LPK2-I, 2007).
29
23. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008). 24. Manajemen
Pendidikan
Aplikasinya
dalam
Penyusunan
Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Prenada, 2009). Di samping itu, beliau juga menulis buku-buku diktat kuliah yang dipublikasikan di kalangan mahasiswa, yaitu: 1. Kuliah Pengantar ilmu Agama Islam. 2. Dirasah Islamiyah, Aspek Teologi. 3. Dirasah Islamiyah, Aspek Filsafat. 4. Manusia dan Pendidikan, Kajian Tentang Belajar Menurut Menurut Konsep Islam. 5. Pergumulan Umat Islam di Pentas Sejarah, Seri Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam. 6. Pemikiran Teologi Islam Pada Periode Klasik. 7. Modul Ulum al-Hadist 8. Strategis Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. 9. Bekal Pendidikan Agama Islam Luar Sekolah 10. Pengembangan Pendidikan Islam, Menggagas Format Pendidikan Islam Masa Depan. 11. Problematikan Pendidikan Islam. 12. Lima Belas Isu Penting dalam Pengembangan Pendidikan Islam.
30
13. Esai-esai Pemikiran Pengembangan Pendidikan Islam.18 Ketertarikan Muhaimin terhadap rekontruksi pendidikan Islam dikarenakan kualitas pendidikan Islam masih rendah, masi menggunakan metode lama, dan manajemen persiapan masih kurang. Memperbaiki mutu pendidikan dan sumberdaya manusia harus dilakukan dengan persiapan dan proses yang matang agar mampu bersaing dengan pendidikan umum. Persoalan plurarisme merupakan persoalan yang dihadapi pendidikan selama ini serta pendidikan Islam masi menggunakan pendekatan tasawuf. Guru Muhaimin dalam pendidikan Islam yang dianggap mampu memberikan motivasi dan inspirasi dalam wacana pendidikannya, diantaranya: Muhaimin tertarik ke pada Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, dengan karya-karya beliau karena, seorang yang pemikir dalam bidang Filsafat Ilmu, Penelitian dan kebijakan dalam bukunya Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme menyatakan bahwa, perkembangan filsafat ilmu yang sangat pesat dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1995. Perkembangan filsafat ilmu itu terus berlanjut sampai dengan tahun 2000 dalam konteks postmodernisme, dimana konstruksi, struktur dan paradigma menjadi berkembang. Prof. Harun Nasution, ketertarikan Muhaimin terhadap pemikiran atau karyakarya Harun melalui buku-bukunya, beliau dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran
18
Ibid., hal. 345
31
Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional. Beliau seorang filsuf muslim Indonesia. Muhaimin menganggumi sosok seorang Dr. M. Quraish Shihab yang merupakan ahli tafsir dari Indonesia yang banyak melahirkan karya-karya besar di bidang ilmu tafsir. Dikenal seorang yang akktif mengajar bidang tafsir dan ulumul Qur’an. Beliau adalah seorang mufassir yg cerdas dan mempunyai integritas. Prof. Dr. Mastuhu, adalah seorang yang mengemukakan tujuan pesantren, yaitu menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat. Jalaluddin Rahmat, Bahkan, bisa dibilang dialah yang merintis kajian-kajian tasawuf sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia. Beliau akrab disapa Kang Jalal itu mendirikan dan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASEBayt Aqila, Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta. Beliau aktif menyampaikan pengajian atau kuliahkuliah tasawufnya kepada masyarakat urban yang dahaga akan siraman ruhani Islam. Muhaimin tidak hanya menganggumi Prof. Dr. Malik Fadjar, melaikan beliau terinsfirasi oleh karya-karya atau buku-buku yang telah di cetak oleh beliau. Beliau adalah seorang tokoh pemikir Islam, spesifikasi pemikirannya tentang pendidikan Islam yang termaktub dalam karyanya yang berjudul holistika pemikiran pendidikan.
32
Beliau juga mengkritisi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum yang bersaing ketat dalam prosesnya yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum yang masih tergolong dualisme dikotomis.
33
BAB III AKAR DIKOTOMI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Dalam hal ini pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi dari akses negatif globalisasi. Maksudnya suatu proses pendidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiamanusia, baik secara fisik, biologis maupun ruhaniyah psikoligis. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari sosial budaya dan ekonomi. Demikian juga dengan pendidikan Islam yang merupakan sistem pendidikan untuk melatih anak didiknya dengan sedemikian rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan dan pendekatannya terhadap segala jenis pengetahuan banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etika Islam19. Pendidikan adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka menjadikan manusia sebagai makhluk di bumi ini yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sesamanya.
19
Ikhrom, Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam Dalam Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 79.
33
34
A. Kebijakan Dalam Pedidikan 1. Porsi dan Posisi Pendidikan agama Islam di Sekolah Dilihat secara kuantitatif, Porsi Pendidikan agama Islam disekolah memang hanya tiga jam pelajaran untuk SD dan dua jam untuk pelajaran untuk SMP atau SMA, dengan demikian pendidikan agama tersebut merupakan “core” atau inti kurikulum pendidikan disekolah. Hal ini didasarkan atas falsafah Negara “Pancasila”, di mana core Pancasila adalah sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” . Pancasila jika dianalisis dengan menggunakan pendekatan filsafah, bukan yang mengandung lima ide dasar melainkan empat, yaitu: (1) kemanusian yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (4) keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung makna bahwa inti pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sasaran utama Pendidikan agama.20 Islam sebagai agama wahyu mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan eternal serta mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan ajaran-ajaran tersebut Islam Islam menuntun manusia untuk meningkatkan harkat dan martabantya agar memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Dengan demikian ajaran Islam sarat dengan nialai-nilai bahkan konsep pendidikan. Akan tetapi semua itu masih 20
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 257-259
35
bersifat subyektif transendental. Agar menjadi sebuah konsep yang objektif dan membumi perlu didekati dengan pendekatan keilmuan. Atau sebaliknya perlu di susun konsep, teori atau ilmu pendidikan dengan menggunakan paradigma Islam yang sarat dengan nialai-nilai pendidikan.21 Menurut Muhaimin di dalam proses belajar mengajar harus memuat nilai-nilai fitrah manusia, seperti rasa tanggung jawab dan berprilakuan yang baik, pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah memiliki landasan yang kokoh baik secara normatif religious maupun konstitusional, sehingga tidak adalasan bagi sekolah untuk mengelak dari upaya tersebut, apalagi di saat bangsa dilandasi krisis multidimensional yang intinya terletak pada krisis akhlak atau moral. Karena itu, perlu dikembangkan berbagai strategi yang kondusif dan konstektual dalam pengembanganya, dengan tetap mempertimbangkan secara cermat terhadap dimensidimensi pluralitas dan multikultural yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, serta mengantisipasi berbagai akses yang mungkin terjadi sebagai akibat dari upaya pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah.22 Pendidikan adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka menjadikan manusia sebagai makhluk di bumi ini yang dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Idealitas dari output sebuah proses pendidikan adalah melahirkan manusia yang manusiawi bukan sebaliknya manusia yang cenderung
21 22
Achmadi, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 19 Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 329
36
bersifat hewani. Satu hal yang menentukan arah pengembangan dalam pendidikan adalah
sumber
paradigma
apa
yang
digunakan
sebagai
landasan
dalam
mengembangkannya. untuk memahami kerangka filosofis bahwa proses dalam pendidikan tidak lain adalah proses manusia dalam mengarungi samudera kehidupan. Begitu juga sebaliknya. Pendidikan dan kehidupan hampir-hampir tidak bisa dipisahkan.23 Perbedaan pendidikan Barat dengan pendidikan Islam adalah pada sumber paradigma
pendidikan
yang
digunakan
oleh
keduanya.
Pendidikan
Barat
menggunakan konsep pendidikan yang tidak berdasarkan transendensi wahyu, sangat mengedepankan rasio sehingga menghasilkan sebuah konsep pendidikan yang anthroposentris, artinya berorientasi pada manusia semata tanpa memperhatikan aspek keakhiratan. Konsep yang semacam ini mengakibatkan output pendidikan yang dihasilkan adalah output yang tidak memiliki nilai ketuhanan dan menganggap ilmu pengetahuan yang dihasilkan adalah bebas nilai (free value), sedangkan pendidikan Islam yang menjadikan wahyu Allah berupa Al-Qur’an dan juga seperangkat ajarana Rasul (hadits) sehingga mampu membentuk output yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi namun memiliki nilai akhlak yang sesuai dengan ajaran agama yang baik dengan tujuan akhirnya adalah membentuk insan kamil atau manusia paripurna yang bahagia dunia terlebih diakhirat.
23
http://www.penapendidikan.com/inspirasi-bagi-pendidikan.html, diakses pada tanggal 19 Oktober 2010.
37
Pada dasarnya pendidikan Islam mengandung tiga unsur yaitu : a. Pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidika Islami, yakni pendidikan yang difahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya yaitu
al-Qur’an dan as-
Sunnah. Dalam hal ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam. b. Pendidikan Islam adalah pendidikan Ke-Islaman atau pendidikan agama Islam yakni upaya mendidikan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menunbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya. (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya c. Pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan yaitu pendidikan Islam
38
tersebut benar-benar dekat dengan idealitas Islam atau sebaliknya ada kesenjangan dengan idealitas Islam.24 Disiplin ilmu yang dikembangkan oleh pendidikan Barat, demikian lanjut alFaruqi hanya mempelajari fenomena kemanusiaan yang terpisahkan dari sistemsistem yang saling interaktif.25 Sistem-sistem itu adalah unsur-unsur alami manusia dan sistem nilai yang bersifat rohani. Menurut al-Faruqi inilah kesalahan fatal pendidikan Barat. Dari sini muncul berbagai kepincangan teori, sehingga memunculkan manusia yang tidak pernah merasa terpuaskan walaupun telah memiliki dan menguasai sebagian besar kekayaan bumi, mengeksplorasi dan mengeksploitasinya untuk kepentingan dirinya secara individualistic. Ini adalah sebuah fenomena yang sudah sangat biasa di dunia Barat.
B. Problem Dikotomi Pendidikan Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian didua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomikdikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia 24
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Hal. 23-24. 25 Keterpiktan inilah yang menyebabkan munculnya dualisme dalam pendidikan, lihat, Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal 162-163.
39
pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini.26 1. Lembaga Pendidikan Islam dan Pendidikan Umum Lembaga pendidikan Islam dalam hal ini Madrasah, sebagai mana tertuang dalam kurikulum madrasah tahun 1994, bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Cirri khas itu berbentuk: (1). Mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama Islam, yaitu alQur’an hadits, Akidah akhlak, fiqh, sejarah kebudayaan Islam, bahasa arab, (2). Suasana keagamaanya, yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan, dan kualifikasi guruyang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, di samping 26
M. Rusdi http://idb2.wikispaces.com/file/view/lr2014.pdf, Diakses Pada Tanggal 16 September 2010.
40
memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasarkan ketentuan berlaku.27 sedangkan pendidikan umum adalah sekolah umum seperti SMP dan SMA yang memuat mata pelajaran umum lebih banyak dari mata pelajaran agama. Dikotomi ilmu pengetahuan adalah masalah yang selalu diperdebatkan dalam dunia Islam, mulai sejak zaman kemunduran Islam sampai sekarang. Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistis. Didalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu umum dan agama, serta tidak berpandangan dikotomi mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol menuju Tuhan.28 Melalui sejarah panjang itulah yang kemudian berakhir dengan penjajahan terhadap negeri-negeri Islam maka para kaum intelektual muslimpun terpecah dalam dua pemahaman terhadap sisi keilmuan yang berkembang kemudian yakni paham pertama menilai bahwa sekalipun penjajah, mereka (bangsa barat) dinilai membawa kemajuan bagi kehidupan manusia, oleh karena itu mengikuti pola pemikiran barat dapat dijadikan jalan alternatif untuk membangun wacana pendidikannya yang kemudian menjadikan nuansa atau sistem pendidikannya menjadi modern (kaum modernis). Sedangkan paham kedua lebih bersifat curiga terhadap segala yang berasal dari barat dan berusaha menjauhkan diri dari segala paham yang diajarkan oleh 27 28
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Hal, 179 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hal 41
41
bangsa penjajah tersebut karena dianggap akan menghancurkan sendi-sendi etika dan moral dalam Islam, berusaha menjauhkan masyarakat muslim dari ajarannya. Sehingga pendidikan yang dinuansakan oleh golongan ini lebih bersifat tradisonal yang memisahkan sedemikian rupa ajaran Islam dengan pendidikan sekuler yang mengakibatkan model ini terkesan kurang berkembang. Mulai dari sinilah kemudian dikenal dikhotomi pendidikan yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Selanjutnya apabila dikaji lebih lanjut bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan, maka akan temui bahwa Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an dan Hadist banyak di temukan ayat
yang menjelaskan tentang sains, dan mengajak umat Islam untuk
mempelajarinya. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Al-Qur’an diturunkan bagi manusia sebagai pedoman dan petunjuk dalam menganalisis setiap kejadian di alam ini yang merupakan inspirasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.29 Realitas dikotomi ilmu tersebut masih diperpanjang dengan dengan adanya klasifikasi hukum mempelajari ilmu. Misalnya klasifikasi yang mengarah pada hukum mencari ilmu menjadi kewajiban personal (fardhu ‘ain) dan kewajiban komunal (fardhu kifayah). Demikian halnya klasifikasi sumber ilmu dari sumber ilahi (naqli) dan basyari (aqli). Hal ini tampaknya terispirasi oleh validitas sabda Nabi yang menyatakan: barang siapa yang ingin mencari dunia, maka harus dengan ilmu 29
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 227.
42
(duniawi), dan barang siapa ingin mencari akhirat, maka harus dengan ilmunya (ukhrawi).
Sebenarnya, simpton dikotomik dalam pendidikan Islam bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, simton dikotomi ini menyerang keseluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisasi Sunni-Sy’iah, bahkan faksi-faksi dalam sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dalam aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam sendiri, masi menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrowi, akal-wahyu, imanilmu, Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dan ilmu umum.30 2. Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum pendidikan agama Islam tahun 1994 lebih menekankan materi pokok dan lebih bersifat memakan target bahan ajar sehingga tingkat kemampuan peserta didik terabaikan. Hal ini kurang sesuai dengan prinsip pendidikan yang menekankan pengembangan peserta didik lewat fenomena bakat, minat serta dukungan sumber daya lingkungan. Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian
kemampuan kognitif, kurang mengakomodasikan
keragaman kebutuhan daerah meskipun secara nasional kebutuhan keberagamaan siswa tidak berbeda. Dengan pertimbangan ini, maka disusun kurikulum nasional
30
Ibid., hal 9-10.
43
pendidikan agama Islam yang berbasis pada kompetensi dasar (basic competency) yang mencerminkan kebutuhan keberagamaan siswa secara nasional.31 Tugas manusia bukan semata mengelola dan memanfaatkan bumi agar dapat menghidupi manusia, melaikan tugas dan tanggung jawab manusia yang lebih berta adalah membuat tantanan hidup dan kehidupan manusia sebagai pribadi dan anggota masyarakat di dunia berdasarkan tuntunan dan petunjuk yang diberikan oleh Allha SWT sebagai bentuk pengabdian dan penghambaannya.32 Pada akhirnya pelaksanaan pendidikan Islam, pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan, normatif, doktriner dan absolutis, sehingga peserta didik diarahkan untuk memiliki comitmen dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Dalam artian pendidikan Islam menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial, budaya sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Secara umum, dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim disebabkan oleh beberapa faktor.33 a. Stagnasi Pemikiran Islam Stagnasi yang melanda kesarjanaan muslim banyak terjadi sejak abad XVI hingga abad XVII M. kondisi tersebut secara umum merupakan imbas dari
31
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal 25 32 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Disekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) Cet 4, hal 207 33 Moh. Shopfan, Pendidikan Berpardigma, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal 110122.
44
kelesuan bidang politik dan budaya. Masyarakat muslim saat itu cenderung hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. b. Penjajahan Barat atas Dunia Muslim Penjajahan Barat atas dunia muslim telah dicatat parah sejarawan berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M. pada saat itu dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperialisme Barat. Dalam kondisi seperti itu tidaklah muda dunia muslim menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat. Terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Karenanya budaya Barat mendominasi budaya (tradisional) setempat yang dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah menggantikan akliah muslim dan menurunkan derajat naqliah ilmu (pengganti) Barat itulah yang kemudian didomenasikan dalam mata-mata pelajaran yang diajarkan di sekolahsekolah di dunia muslim. c. Modernisasi atas Dunia Muslim Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculya dikotomi ilmu sistem pendidikan di dunia muslim adalah modernisasi. Yang harus disadari, modernisasi muncul sebagai sebagai suatu perpaduan antara ideology Barat, teknikisme dan nasionalisme. Teknikisme muncul sebagai reaksi terhadap
45
dogma, sedangkan nasionalisme ditemukan di eropa dan diinjeksikan secara paksa rakyat muslim. Dari sistem sejarah dan tradisi sistem sosial yang seperti itulah, orientasi pendidikan yang pada dasarnya untuk menciptakan kesadaran manusia dalam membangun realitas kehidupan yang lebih sempurna menjadi tidak berjalan sebab persoaalan dalam dunia pendidikan Islam dipahami dalam arti yang sangat sempit. Padahal idealnya berbicara persoalan pendidikan Islam merupakan satu kesatuan yang utuh, holistic dan integratif. Keterpisahan yang telah sedemikian mewabah di negeri-negeri Islam telah menyebabkan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama (spiritual), disatu sisi telah mengalami reduksi pemaknaan, khususnya terhadap nilai-nilai pendidikan yang universal sehingga mengakibatkan stagnasi pemikiran dalam khazanah intelektual Islam.
C. Dari Dikotomi Ilmu dan Agama Menjadi Dualisme Pendidikan Dikotomi yang dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.34 Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.35 Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti 34
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006). 35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "Dualisme", Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hal 26.
46
dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam. Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan.36 Secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau ilmu umum. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing. Apabila dicermati akan akar sejarah munculnya pandangan dualisme pendidikan Islam setidaknya bersumber dari pertama, pandangan formisme yang melihat segala aspek kehidupan dengan sangat sederhana yaitu segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan yang kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Dari pandangan ini kemudian dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakan pada aspek kehidupan akhirat atau kehidupan rohani saja. Pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan non keagamaan, pendidikan
36
Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: ArRuzz, 2006), hal 14.
47
keIslaman dengan pendidikan non keIslaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan ini berimplikasi pada penyempitan pengembangan pendidikan Islam yaitu pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang dianggap terpisah dari kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dari kehidupan jasmani. Melalui pemikiran inilah kemudian tercipta wacana bahwa pendidikan Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual ilahiyyah sedangkan kehidupan ekonomi, politik, hukum, seni budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi, bukan bidang garap pendidikan Islam dan hanya menjadi bidang garap pendidikan Islam. Dari sini pula muncul istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum.37 Akan tetapi dalam realitasnya pendidikan Islam tidak hanya mengurusi ritual belaka, melaikan meniti kehidupan yang lebih sempurnah. Di Indonesia, bidang pendidikan ditangani oleh dua departemen yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi
37
Hujair AH. Sanaky Paradigm Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta, Safiria Insaniah Press), hal. 97.
48
Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS.38 Menyikapi manajemen pendidikan seperti
itu,
menghadirkan
pemahaman
adanya
dualisme
dan
dikotomi
penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian sistem pendidikan nasional. Dikotomi ini terlihat jelas pada kelembagaan pendidikan di negeri-negeri muslim yang masih menganut sistem dualisme.39 Problem dualisme sebenarnya merupakan manifestasi cara pandang terhadap ilmu yang masih dikotomik, dimana ada ilmu agama disatu sisi dan ada ilmu umum disisi lain. Ada ilmu agama yang dianggap dapat mengantarkan manusia menuju surga dan ilmu umum yang dianggap dapat menghambat orang meraih surga.40Ketika memasuki zaman penjajahan, kondisi umat Islam mulai menurun dan terjerembab ke dalam kemunduran. Ilmu pengetahuan dan filsafat yang sudah sekian lama bertahta di dunia Islam, kini justru memperoleh lahan subur untuk berkembang pesat di Barat. Tetapi dalam perkembangan baru yang terjadi di Eropa itu, Filsafat justru menimbulkan persoalan baru yaitu ilmu pengetahuan dan falsafat memisahkan diri dari agama. Problem itu, kemudian merambah pada dunia Islam, ketika kolonialisme 38
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentan Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006). 39 Dulisme merupakan pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah tidak dapat direduksi, unik. Dualisme pada umumnya berbeda dengan monism, mempertahankan perbedaan-perbedaan mendasar yang ada dalam realitas eksistensi yang kontingen dan eksistensi yang absolute (dunia dan Allah), antara yang mengetahui dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara materi dan kehidupan yang terikat pada materi), antara subtansi dan eksiden, dan sebagainya. Lihat Loeins Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, Cet ketiga, 2002), hal 174. 40 Azyumardi Azrah, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 159-160.
49
menjajah Kaum Muslimin. Maka, muncullah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan. Dualisme dikotomik ini, nampaknya sudah menjadi suatu sistem yang sudah mapan dan sesuai dengan zaman modern saat ini. Hal ini, sebenarnya sebuah kecelakaan sejarah yang tidak boleh berlangsung terus menerus. Karena sistem pendidikan Barat (Modern) yang dinasionalisasikan dan sistem pendidikan Islam (tradisional klasik) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang. Sementara itu, secara epistemologis, Islam mempunyai sebuah konsep yang lebih mapan dalam menterjemahkan adanya konsep integralitas dalam ilmu. Karena ketika seeorang Muslim melakukan aktivitas keilmuannya, maka semestinya ia berangkat dari dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. Pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik sepanjang ia telah memiliki landasan filosofis yang jelas tentang konsep manusia, suatu wilayah kajian yang merupakan bidang garap dari filsafat pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebagai suatu proses setidaknya memerlukan dua landasan, yaitu landasan filosofis dan landasan ilmiah. Landasan filosofisnya adalah asas normatif pendidikan Islam yang berkaitan dengan pemikiran filosofis tentang pendidikan Islam, sedangkan landasan
50
ilmiah menyangkut pedoman pelaksanaan pendidikan Islam yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu pendidikan lainya.
Anggap itu dalam realitasnya telah membawa implikasi negatif dalam perkembangan pendidikan Islam. Banyak orang muslim lebih memprioritaskan ilmuilmu agama ketimbang ilmu-ilmu umum. Mereka belum dapat bersikap mesra dan mengintegralkan antara agama dan ilmu. Akibatnya untuk menyebutkan sekedar contoh banyak umat muslim yang bisanya hanya tahlilan. Membaca manakib dan berjanzi, akan tetapi ditanya persoalan yang berhubungan dengan sains dan teknologi mereka gagap alias banyak yang tidak paham sama sekali.41 Abdurahman Mas’ud menyebutkan bahwa penyebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat terjadi dikotomi keilmuan dalam dunia pendidikan Islam. Selain masalah dikotomi ilmu agama dengan ilmu non agama, tampak dunia pendidikan Islam juga mengemban masalah dikotomi antara wahyu dan alam, serta wahyu dan akal. Dikotomi yang pertamah telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotonik, dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam, serta dikotomi yang terakhir telah menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam42
41
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 13. Abdurahman Mas’ud, MemFormat Pendidikan Non Dikotomik: Humanisasi Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 9. 42
51
Permasalahan yang menyelimuti dunia pendidikan Islam akibat dikhotomi pendidikan diantaranya adalah : 1. Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam 2. Kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam Akibat dari adanya dikhotomi pendidikan adalah sistem pendidikan Islam terasa jauh dari ajaran Islam, sebagai contoh, ajaran Islam sangat mengapresiasi segala macam ilmu pengetahuan. Idealnya tidak ada pemisahan antara ilmu karena semuanya merupakan karunia dari Allah SWT dan perlu untuk dituntut oleh semua orang Islam. Tetapi dengan adahya dikhotomi tersebut menimbulkan gejala bahwa seolah Islam hanya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahdha (peribadatan) sedangkan ghairu mahdho (muamalah) seolah menjadi tidak penting atau bahkan diharamkan, yang lebih giat dilakukan oleh ulama fuqaha. Menurut Azyumardi Azra, hal yang menjadi faktor legalisme fiqh atau syariah dalam intoleransi sebagai mana diatas lebih disebabkan oleh : a. Pandangan mereka tentang ketinggian syariah atau ilmu-ilmu keagamaan sebagai jalan tol menuju tuhan b. Lembaga-lembaga pendidikan Islam secara institusional dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang keagamaan sehingga kelompok saintis tidak mendapat dukungan secara institusinal.
52
Pandangan ini secara langsung sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang integralistik yang mengajarkan bahwa urusan dunia tidak dapat dipisahkan dengan urusan akhirat. Disintegrasi sistem pendidikan Islam 3. Inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam Saat ini lembaga pendidikan Islam harus mendesain model pendidikannya yang diharapkan mampu menghadapi dan menjawab tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik cultural maupun sosial menuju peradaban masyarakat (Islam) yang lebih maju. Diataranya dengan mengkonsep pendidikan Islam yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya yang kuat.43 1. Pendidikan integralistik, merupakan pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen berorientasi
pada
kehidupan aspek
yang
ketuhanan
meliputi:
pendidikan
(rabbaniyah),
yang
kemanusiaan
(insaniyah), dan alam pada umumnya (alamiyah). Sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial. Pendidikan integralistik yang diharapkan dapat menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak 43
Hujair AH. Sanaky Paradigm Pendidikan Islam, Madani Indonesia, (Yogyakarta, Safiria Insaniah Press), hal. 264.
Membangun
Masyarakat
53
memiliki kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan tetapi menjaga, memelihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia. 2. Pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) yakni makhluk ciptaan Tuhan yang dengan fitrahnya mampu melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Pendidikan humanistik yang diharapkan mampu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baiknya makhluk (khairu ummah), manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik yang tidak menganggap manusia sebagai robot dan sekolah sebagai pabrik. 3. Pendidikan pragmatik, pendidikan yang memandang manusia sebagai mankhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani seperti berpikir, aktualisasi diri, kebutuhan spiritual ilahiyyah. 4. Pendidikan yang berakar pada budaya yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa.
54
Sistem pendidikan nasional Indonesia pada awalnya diakui sebagai bentuk sistem yang terbentuk dari sistem pendidikan yang dualistik antara pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam). Dualisme itu sendiri pada awalnya merupakan produk penjajahan Belanda namun sampai batas tertentu juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme. Bentuk dualisme dan dikotomi pendidikan itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah baik dari kebijakan dalam undang-undang pendidikan nasional, Peraturan Pemerintah. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung, melalui proses yang panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia. Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi kurikulum, diskriminasi lulusan, kebijakan moneter yang tidak seimbang dan lain-lain
55
Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005 diharapkan mampu prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi.44 D. Dampak Dari Dikotomi Ilmu Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menetukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
44
Undang-undang dan peraturan pemerintah RI tentang pendidikan No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
56
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat. Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta.45 Tidak dapat dipungkiri akibat sistem kapitalis-sekular yang memisahkan agama dari kehidupan, muncul dikotomi pendidikan yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama. Bagi yang ingin anaknya menjadi anak yang sholeh bisa memasukkan anaknya di sekolah yang berbasis agama Islam seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Sampai perguruan tingginya juga ada yakni IAIN; atau kalau ingin lebih mendalam lagi belajar ilmu agama bisa memasukkan anaknya ke pesantren. Bahkan sampai pra sekolah pun ada pendidikan Islam seperti PAUD. Sedangkan bagi orang tua yang lebih mementingkan pendidikan anak dari segi keilmuan dan mudahnya dapat kerja mereka lebih memilih pendidikan umum seperti SD, SMP, dan SMA. Kalau mau melanjutkan keperguruan tinggi maka sangat banyak perguruan tinggi yang bisa dimasuki baik perguruan tinggi negeri atau swasta. Dampak dari dikotomi pendidikan tersebut selain biaya pendidikan yang berbeda, kadang terkesan pendidikan agama lebih murah dari pendidikan umum;
45
http://arkhasosiety.blogspot.com/2010/01/makalah-dikotomi-pendidikan-dari.html, di akses pada tanggal 19 oktober 2010.
57
materi yang diajarkan juga jelas berbeda, kalau pendidikan agama lebih banyak memuat materi tentang aqidah, akhlak, fiqih, bahasa Arab dan sebagainya namun ada juga IPTEK nya tapi porsinya lebih sedikit sedangkan pendidikan umum lebih mengarah pada IPTEK dan Sains namun ada juga pelajaran agamanya tapi cuma sedikit dan di sajikan hanya satu atau dua kali pertemuan dalam seminggu. Kalau sampai melanjutkan ke perguruan tinggi, setelah mereka lulus maka lowongan pekerjaannya pun berbeda. Tujuan
pendidikan
Islam
adalah
membentuk
peserta
didik
yang
berkepribadian Islam yakni memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Pola pikir Islami dibentuk dengan aqidah yang benar, segala persoalan apapun baik itu persoalan pribadi maupun persoalan umat dapat dipikirkan dan dipecahkan dengan pemikiran Islam yang menyeluruh dan cemerlang yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Pola pikir yang Islami juga membentuk seorang yang menuntut ilmu akan memahami benar ilmu yang dipelajarinya. Dalam pendidikan sekarang, banyak siswa yang hanya mementingkan nilai tapi tidak benar-benar memahami ilmunya, sehingga mereka belajar hanya untuk dapat nilai tinggi dan pahamnya pun hanya pada semester itu saja. Setelah berganti semester, mereka sudah lupa ilmu yang didapat di semester sebelumnya karena bagi mereka yang penting dapat nilai tinggi. Berbeda dengan pendidikan Islam, mereka benar-benar memahami ilmu yang diterimanya karena kesadaran akan kewajiban menuntut ilmu karena Allah SWT bahkan ada hadist yang mengatakan apabila seseorang menuntut ilmu bukan karena Allah tempat kembalinya
58
neraka, selain itu mereka memahami bahwa ilmu terlebih tsaqofah Islam sangat mereka perlukan untuk memecahkan berbagai masalah yang mereka dan ummat hadapi dalam berbagai aspek kehidupan.46 Tentu saja tujuan pendidikan itu tidak akan terlaksana dengan baik kalau tidak didukung oleh tiga komponen yang sangat berperan yaitu lembaga pendidikan (sekolah), keluarga dan lingkungan. Pertama, Sekolah yang akan melaksanakan pendidikan yang membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian Islam; kedua, keluarga dimana orang tua akan mendidik anaknya dengan baik, memberi pemahaman agama yang benar kepada anak-anaknya dan selalu mengingatkan bahwa mereka hidup untuk beribadah kepada Allah SWT; ketiga, lingkungan yang baik dan masing-masing anggota masyarakat akan saling mengingatkan kalau terjadi penyimpangan di lingkungan mereka, sehingga dapat dijadikan landasan oprasional dalam pelaksanaan sistem pendidikan Islam.47 Akibat yang lain adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Pengetahuan umum di samping pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama. Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak 46
http://mellyazkiya.blogspot.com/2010/04/tanamkan-kepribadian-yang-benar.html, di akses pada tanggal 19 oktober 2010. 47 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hal 38.
59
semata. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang wilayah bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan ethik.48 Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan epistimologi keilmuan barat. Menganggungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan peran Agama didalamnya, memang bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka. Dampak dari dikotomi ilmu sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang menjadi salah satu yang faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas. sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri. di sinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum. Selain itu, realitas dikotomi ilmu tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya pemisahan sekolah umum dan agama. Dalam muatan kurikulum 48
http://mustamiranwar86.wordpress.com/2010/04/23/sejarah-dikotomi-ilmu/, di akses pada tanggal 19 oktober 2010.
60
misalkan, Sekolah umum dominan ilmu yang diajarkan hanya ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan pada nilai-nilai agama. Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir yang sekuler dan berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya generasi Islam, disebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. Melihat dampak yang diperoleh dari pengaruh dikotomi ilmu tersebut, perlunya pendekatan filsafat, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal fikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat diperlukan, dengan demikian ia alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan ide-ide segar.49Perlu sebuah upaya yang serius dengan membersihkan dan menyingkirkan konsep sekuler tersebut dari ranah ilmu pengetahuan. Dan memperbaharuinya dengan konsep keilmuan Islam yang pernah berjalan pada masa kegemilangan peradaban Islam abad pertengahan dulu. Mungkin kendalanya adalah terletak pada bagaimana cara untuk merubah konsep tersebut hingga sistem keilmuan benar-benar bisa berjalan secara bersamaan dan saling terkait tanpa terjadi dikotomis atau parsial.
49
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 36
61
BAB IV REKONTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM
A. Memadukan Sekolah dan Pesantren Sebagai Upaya Membangun Akhlak Mulia Dalam realitasnya banyak pesantren yang telah menyelenggarakan system sekolah. Dalam tradisi-tradisi pesantren telah berkembang terlebih dahulu, sehingga terkesan seolah-olah fungsi pendidikan lebih bersifat upaya menjaga, mewariskan dan melestarikan tradisi yang berlaku. begitu kentalnya tradisi tersebut sehingga pada sebagian pesantren kadangkala sulit menerima perubahan-perubahan atau budaya baru dari luar. Berbeda halnya dengan sekolah terpadu yang sejak semula bersingkronisasi dengan kebijakan pendidikan nasional, sehingga terbiasa dengan perubahan-perubahan dan inovasi. Masuknya pesantren ke dalam berarti bukan hanya bertugas memelihara dan meneruskan tradisi yang berlaku dipesantren, tetapi juga mengembangkan pola-pola budaya baru agar bisa membantu peserta didik dan masyarakat untuk mengakomodasi perubahan yang sedang dan sudah terjadi. Bahkan mampu mengembangkan pola-pola pelatihan dan pendidikan baru guna menjawab tuntutan perubahan dari zaman ke zaman. Peserta didik disekolah terpadu diposisikan sebagai siswa sekaligus santri.50
50
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 104
61
62
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditransformasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. a.
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat
pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral. Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam
63
terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas. Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan Islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung menolak nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi.51 Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi kecil dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas
51
Muhaimin, Nuansa Baru pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal 51
64
teritorial negara-bangsa. Kesuksesan adalah wujud dari cita-cita dan harapan kesuksesan berarti mendapatkan apa yang diinginkan.52 Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa pertemuan masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran.53 Hingga saa ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan yang berat, terutama dalam konteks pendidikan. Di antara tantanga itu adalah sebagai berikut: 1. Globalisasi di bidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transfortasi dan imformasi. Para siswa/peserta didik saat 52
Sri Ruspita Murni, Kita Sukses Menjadi Bintang, (Yoryakarta: Amor Book, 2004), hlm
53
Muhaimin, Nuansa Baru. hal 97
117.
65
ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat pedagogis terkontrol maupun nonpedagogis yang sulit terkontrol. Sumbersumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol seperti model pakaian (fashion), hiburan-hiburan (fun) dan film-film porno yang di muat di berbagai media akan dapat memengaruhi perubahan budaya, etika, dan moral para siswa atau masyarakat. 2. Rendahnya tingkat social capital adalah trust (sikap amanah) 3. Hasil-hasil survei internasional menunjukan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah jika di bandingkan dengan Negara tetangga. 4. Disparitas kualitas pendidikan antar daerah di Indonesia masih tinggi. 5. Eskalasi konflik, yang di satu sisi merupakan unsur dinamika sosial, tetapi disisi lain justru mengancam harmoni bahkan integrasi sosial baik lokal, nasional, regional maupun internasional. 6. Permasalahan makro nasional, yang menyangkut krisis multidimensional baik di bidang ekonomi, politik, moral, budaya dan sebagainya. 7. Peran sekolah/madrasah dan peran perguruan tinggi dalam membentuk masyarakat madani (civil society).54 Pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu
54
Muahaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 15-17
66
cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.55 Pendidikan Islam dalam kontelasi percaturan masa depan diharapkan mampu mengkombinasikan wacana modern dan tradisional dalam bentuk paradigma pendidikan yang dapat memformulasikan kepentingan kemanusiaan (humanism) dan kebutuhan akan kesejukan Ilahi (teologism). Membuat konsep pendidikan yang berat sebelah seperti yang dirasakan saat ini hanya akan menambah kerusakan budaya manusia yang secarah fitrah memang sesungguhnya memiliki dualisme unsur itu. Dan proyek besar ini harus segera dimulai oleh kalangan muslim sebagai kelompok umat yang takdirkan sebagai umat terbaik bagi semua. b.
Peran Pendidikan Islam Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai
instrumen untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya hadir di mana-mana, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia 55
http://msiuii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=pendidikan&baca=artikel&id=57, diakses pada tanggal 16 September 2010.
67
diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asalusul teologis dan sosiologis ataupun spaciotemporal serta particularitas yang melingkup mereka. Tapi, terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama, perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya
harus
dipisahkan.
Ketiga,
pandangan
tengah
yang
mencoba
mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara
68
agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah kemasyarakatan. Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.56 Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
56
Muhaimin, Pengembagrngan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Sekolah dan Madrasah. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal 82.
69
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah) 2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia) 3. Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam). Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, asSyaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut. Lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan kelas dua dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas. Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan
70
yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih. Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran, personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keIslaman yang tinggi dan, lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.57 Mencermati problem masa depan dengan kaca mata agama adalah amat relevan, sebab kemajuan-kemajuan peradaban yang tidak dilandasi moralitas akan selalu hancur tanpa makna. Kegelisahan dan kegersangan psikologis yang dialami manusia modern adalah disebabkan terlepasnya kehidupan modernitas dari spiritualitas, sehingga masyarakat akan menderita krisis makna dan tujuan hidup.58 Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu :
57
http://femaleofhati.blogspot.com/ di akses pada tanggal 16 september 2010 Abdurrahmansyah, sintesis Kreatif: Pembahruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji’ Al-Faruqi (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002), hal. 1. 58
71
a. Persoalan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT. Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah
dengan
menerima
pendidikan
sekuler
modern
sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk mengIslamkannya yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah
bagaimana
melakukan
modernisasi
pendidikan
Islam,
yakni
membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis. b. Perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan
72
memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas. c. Persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu (meta narasi) yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal
73
dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan59. Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, desain pendidikan Islami yang bagaimana60? yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain : Lembaga-lembaga
pendidikan
Islam
perlu
mendesain
ulang
fungsi
pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulamaulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan 59
http://msi uii.net/baca.asp katagori=rubrik&menu=pendidikan&baca artikel&id=57, diakses pada tanggal 16 September 2010. 60
Ibid.
74
konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendesain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.61 Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.
75
Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama: pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan
kesempatan
memperoleh
pendidikan
(equality
of
education
opportunity).62 Dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, menurut Muhaimin setidaknya terbagi menjadi empat persoalan, yakni63 : a) Dikotomi ilmu pengetahuan sehingga menunculkan masalah Islamisasi ilmu pengetahuan (pendidikan). b) Kualitas pendidika
agama Islam di sekolah atau perguruan tinggi
umum. c) Upaya
membangun
pendidikan
Islam
secara
terpadu
untuk
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha esa, cerdas, terampil, berakhlak mulia, kuat kepribadian, cinta tanah air serta memiliki rasa kebangsaaan.
62 63
Ibid. Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 85
76
d) Penggalian konsep pemikiran filosofis pendidikan Islam serta pemikiran para tokoh pendidikan Islam mulai periode klasik hingga periode modern, baik dalam maupun luar negeri. Disinilah peran pendidikan yang dimaknai sebagai sarana untuk mewujudkan sebuah budaya menempatkan posisinya yang strategis dan menentukan. Artinya, apabila pendidikan dengan dimensi ilmu yang melekat padanya telah dipisahkan dari konteks nilai, maka penampakan budaya akan muncul adalah kebudayaan yang bebas nilai (free value). Padahal ilmu pengetahuan (knowledge) yang dikembangkan melalui proses pendidikan adalah bertujuan untuk mewujudkan ideal-ideal masyarakat itu sendiri. Sehingga pada batasan ini sulit agaknya untuk menerima pandangan bahwa ilmu itu bebas nilai. Bahwa ketinggian derajad dan marwah masyarakat Islam di masa kejayaannya adalah karena tingginya tingkat rohaniah dan akhlak dalam pergaulan hidup. Corak seperti itu karena dipengaruhi oleh sistem pendidikan Islam yang sarat nilai. Sebab pendidikan Islam dijiwai pendidikan akhlak.64 Berbicara tentang pendidikan Islam kaitanya dengan tantangan dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan globalisasi, Pendidikan Islam mau tidak mau harus terlibat dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai tantangan tersebut di atas bersama dengan kekuatankekuatan pendidikan nasional yang lain, bahkan bersama kekuatan social, politik, dan ekonomi pada umunya. Hanya saja pendidikan Islam perlu melakukan evaluasi diri 64
Ibid, 169-170.
77
terlebih dahulu untuk selanjutnya melakukakan reaktualisasi dan reposisi, dengan cara melakukan singkronisasi dengan kebijakan nasional untuk membebaskan bangsa dari berbagai persoalan.
B.
Islamisasi Pengetahuan Islamisasi secara umum adalah pembebasan manusia secara umum dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebesan dari kontrol dan dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakekat dirinya atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakekat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisdasi adala proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.65 Menurut Muhaimin, Islamisasi pengetahuan adalah upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai
65
Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung : Mizan. 1998), hal, 336
78
mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Menurut Muhaimin ada berbagai model Islamisasi pengetahuan, diantaranya: 66 1. Model Purifikasi, model ini berasumsi bahwa dilihat dari dimensi normatifteologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara kaffah/menyeluruh. 2. Model modernisasi Islam, berangkat dari kepedulian akan keterbelakangan umat Islam di dunia sekarang, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan, dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya sendiri, sehingga system pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan tertinggal terhadap kemajuan yang dicapai Barat. Karena itu, ia cenderung mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan social dan perkembangan iptek, serta melakukan liberarisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman, tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsure negatif dari proses modernisasi, sehingga ia lebih menampilkan kelenturan dan keterbukaan dalam menghadapi dunia plural dan terus berubah. 3. Islamisasi dalam arti neo-modernis, mengandung makna mengkaji dan mengkritisi ulang terhadap produk ijtihad dari para ulama dan juga produkproduk ilmuan non muslim terdahulu dibidang ilmu pengetahuan, dengan cara
66
Muhaimin, Redifinisi Islamisasi Pengetahuan : Upaya Menjajaki Model-Model Pengembangannya, Dalam Mudjia Raharjo, Quo Vadis Pendidikan Islam ( Malang, Cendikia Paramulya, 2002), hal. 238.
79
melakukan verifikasi atau falsifikasi agar ditemukan relevan atau tidaknya pandangan, temuan, teori dan sebagainya dengan konteks ruang dan zamanya. PengIslaman Ilmu atau Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai (Islamiyyat al-Ma’rifat) dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai (Islamization of Knowledge). Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah Al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam. Oleh kerana itu, sejarah dalam dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang terkemuka yang dapat menguasai ilmu-ilmu dunia dan akhirat. Mereka berusaha menyeimbangkan ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dilihat sebagai contoh seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan ilmu luar dengan ajaran Islam. Perbedaannya, mereka tidak mengunakan istilah pengislaman Ilmu kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang dalam ilmu pengetahuan. Menurut Mulyanto sebagai mana yang dikutip Mania, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu proses pengambilan ilmu pengetahuan kepada jalur
80
yang semestinya, sehingga pada akhirya ilmu pengetahuan tersebut bermanfaat dan berkah serta member rahmat kepada manusia dan alam, bukan malah sebaliknya.67 Gagasan akan Islamisasi pengetahuan telah menjadi diskusi sejak tahun 1977 yaitu pada saat terselenggaranya konferensi dunia yang di prakarsai oleh King Abdul Aziz University yang membahas 150 makalah yang ditulis oleh para sarjana dari 40 negara yang merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem pendididkan islam yang diselenggarakan oleh umat islam di seleruh dunia, salah satu topik yang direkomendasikan adalah islamisasi pengetahuan yang dilontarkan oleh syed muhammad naquib al-attas dalam makalahnya yang berjudul preliminary thought on the nature of knowlwdgeand the definition and the aims of education 68. Perdebatan tentang wacana Islamisasi pengetahuanpun bermunculan, Naquib Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman atau era sekarang adalah tantangan pengetahuan bukan dalam bentuk kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban barat. Al-Faruqi meyatakan bahwa sistem pendidikan islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur barat sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat69.
67 Siti Mania, Islamisasi Pengetahuan dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan Islam, Tesis IAIN Suana Kalijaga, 1999, hal. 14-42 68 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal, 38. 69 Ibid, hal.38
81
Namun demikian, di kalangan cendikiawan muslim agaknya masih terdapat sikap pro dan kontra terhadap Islamisasi pengetahuan, yang masing-masing pihak memiliki alasan-alasan yang cukup mendasar. Pihak yang pro berargumentasi, bahwa: (1) Umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka baik materiil maupun spiritual, sedangkan sistem sains yang ada kini belum mampu memenuhi kebutuhan-kebututuhan tersebut, karena ia banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. (2) kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan ancaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya. (3) umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islami, yaitu sains yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu dilakukan Islamisasi sains. Sedangkan pihak yang kontra berargumentasi bahwa dilihat dari segi historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat ini banyak diilhami oleh para para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada (masa keemasan Islam), sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap ilmuan muslim. Karena itu, jika kita hendak meraih kemajuan di bidang IPTEK, maka kita perlu melakukan transformasi besar-besaran dar Barat tanpa ada rasa curiga, walaupun harus selalu waspada. Iptek adalah netral, ia bergantung kepada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak begitu
82
penting, tetapi yang lebih penting justru adalah Islamisasi subyek atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri.70 Jika dicermati dari argumentasinya, kedua pihak tersebut (pro dan kontra) sebenarnya mempunyai pretense yang sama, yaitu sama-sama menginginkan terwujudnya kemajuan peradaban yang Islami, dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam di tengah-tengah akselerasi perkembangan dan kemajuan iptek. Hanya saja pihak yang pro lebih melihat dimensi ilmu pengetahuan sebagai obyek kajian yang perlu dicarikan landsan filosofisnya yang Islami, sedangkan pihak yang kontra lebih melihat subyek atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri yang harus Islami. Ada beberapa konsep-konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim, misalnya jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Syed Muhamamd Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi. Bagi Al-Atas misalnya, Islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsurunsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta
70
Muhaimin, Arah Baru Pengembang Pendidikan Islam “Pemberdayaan, pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan”, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2003), hal 32-33
83
tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keIslaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar, ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya menurut Al-Attas sukses tidaknya pengembangan Islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi). Sementara menurut Ismail Al-Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Konsep Islamization of kdomledge (Islamisasi ilmu pengetahuan) yang dikemukakan oleh Ismail Faruqi tersebut telah menjadi tema penting dalam dalam wacanma pemikiran islam kontemporer yang mendapat respon cukup luas baik respon positif dan ada juga respon negatif. Konsep ini muncul dari kegelisahannya tentang berbagai keterbelakangan yang melanda umat Islam dihampir seluruh dunia baik dalam bidang politik, ekonomi, agama dan budaya. Beliau menilai kondisi umat Islam sangat lemah sehingga gampang dipengaruhi bahkan dijadikan negeri jajahan bangsa lain. Kekuatan kolonial telah membuat umat Islam tercabik-cabik yang melahirkan masyarakat yang kurang terdidik, tidak kreatif, produktif dan kritis serta cenderung
84
bertaqlid buta yang mengekor pada perkembanagn dunia barat. Bagian paling parah yang menjadi akar utama keterbelakangan umat Islam terdapat pada system pendidikan. System pendidikan di Negara muslim telah tercabut dari warisan dan tradisi Islam dan hanya melahirkan generasi mulim yang jauh dari Islam dan bergelimang dalam pola hidup barat. Dalam penilaian Faruqi, sekolah-sekolah umum warisan kolonial semakin hari semakin dominan, sekuler dan terjauh dari nilai-nilai serta pandangan keislaman. Jika difahami dari gagasan awalya, paradigma Islamisasi pengetahuan rupanya lebih melihat pemikiran dan pandangan non-muslim, terutama pandangan ilmuan Barat, sebagai ancaman yang sangat dominan dan orang-orang Islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentitas ajaran agamanya. Karena itu ia cenderung menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan social, dan perlu merumuskan ukuran-ukuran normatif dibidang pengetahuan agar ditemukan corak yang lebih “khas Islam”.71 Sikap tersebut agaknya kurang efektif untuk mengantisipasi era globalisasi, justru kita akan terhambat oleh akselerasi perkembangan dan kemajuan iptek serta cepatnya arus perubahan sosial. Dengan kondisi seperti itu maka dibutuhkan penanganan khusus dengan beberapa hal yakni : Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap 71
Muhaimin, Ara Baru Pengembangan Pendidikan Islam, hal 331
85
berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilainilai yang tercakup di dalamnya.72 Adapun Al Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi Ilmu, yaitu :
(1.) Menguasai disiplin-disiplin modern (2.) Menguasai khazanah Islam (3.) Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern (4.) Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Khazanah ilmu pengetahuan modern. (5.) Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Sasaran di atas, menurut al Faruqi dapat dicapai melalui 12 cara, yaitu:
(a) Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Disiplin modern ini harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologimetodologi, problem-problem, dan tema-tema; suatu pemilahan yang mencerminkan daftar isi suatu buku teks klasik. (b) Survei disipliner. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah dipilahpilah, suatu survey menyeluruh harus ditulis untuk suatu disiplin ilmu. 72
Mukhlisuddin Ilyas,ttp://www.acehinstitute.org/opini_mukhlisuddin ilyas islamisasi ilmu pengetahuan.htm, diakses pada tanggal 16 September 2010.
86
Langkah ini diperlukan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern. (c) Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapui di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu. (d) Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologiantologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini. (e) Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan 3 persoalan. Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al Qur'an hingga pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplindisiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, ke arah mana kaum muslimin harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga menformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. (f) Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam.
87
(g) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan. (h) Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral dan spiritual dari kaum muslimin. (i) Survey mengenai provblem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan. (j) Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikiran Islam harus sinambung dengan prestasi-prestasi modern, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern. (k) Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam. (l) Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diIslamisasikan.73
73
Lukman A. Irfan, islamisasi pengetahuan: solusi alternatif nestapa kemanusiaan?(kajian terhadap islamizing curricula al faruqi), http://miftahululum.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=22, diakses pada tanggal 16 September 2010.
88
Kemudian gagasan Al-Attas dan Faruqi tersebut dijadikan lima landasan objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: 1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern. 2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam. 3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah
ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern. 5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.74
Kerangka kerja dan langkah Islamisasi pengetahuan ini pada prinsipnya adalah mengadakan sintesis kreatif antara khazanah Islam dan khazanah dari Barat. Dua belas langkah kerja tersebut mempunyai tiga point penting, yaitu kemestian kaum muslim menguasai khazanah klasik, mencermati khazanah Barat dengan cara menelaahnya secara kritis melalu perspektif Al Qur'an, dan mengakomodasi kedua khazanah tersebut menjadi sintesis kreatif, sehingga menamilkan bentuk disiplin
74
Ibid
89
pengajaran Islam yang utuh, terpadu, tidak dikotomis, di bawah pancaran nilai-nilai tauhid (the unity of God).
Ahmad Khan (India) Dan Muhammad Abduh (Mesir) sebagai dua tokoh reformasi pendidikan telah menyadari akan tantangan dan peradaban barat tersebut, Pada awal era modern, para pemikir modern dan pemimpin muslim, mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan Barat. Dua tokoh reformis dan berpengaruh tersebut tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai cara yang paling efektif untuk menghadapi persoalaan kejumudan dan kemunduran umat selama ini. Mereka bahkan mengusahakan interpretasi ulang terhadap (pengetahuan) agama Islam secara internal. Supaya umat Islam bisa mengakomodasikan perkembanganperkembangan baru di Barat. Namun demikian keduanya dianggap telah keliru dalam memilih pendekatan untuk menghadapi tantangan tersebut, kedanya berupaya memadukan sistem pendidikan islam dengan sistem pendidikan barat dengan jalan mencangkokan kedua sistem yang mengandung landasan nilai yang berbeda sehingga justru menciptakan dikotomi-dikotomi baik dalam sistem pendidikan islam maupun sistem pengetahuan. Model seperti ini rupanya masih berlaku di kalangan umat islam saat ini dan diyakini oleh para penggagas islamisasi pengetahuan kemerosotan yang diderita umat Islam.
sebagai biang keladi dari semua
90
C.
Integrasi Sistem Pendidikan Islam Ke Dalam Sistem Pendidikan Nasional Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia telah telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis, yaitu: (1). Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah colonial Belanda. (2). Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam sendiri, baik yang bercorak isolatif tradisioanal maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikanya.75 Menurut Muhaimin sistem pendidikan Islam, bisa mengembangkan model organisme/sistemik, bahwa aktivitas pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang relgius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama. Melalui upaya semacam ini, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki
kematangan
profesioanal, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama. Pengembangan pendidikan Islam sebelum Indonesia merdeka ialah bercorak isolatif tradisioanal, dalam arti tidak mau menerima apa saja yang berbau Barat (Kolonial) dan terhambatnya pengaruh pemikiran-pemikiran modern dalam Islam 75
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, hal 76-77
91
untuk masuk ke dalamnya, sebagaimana tampak jelas pada pendidikan Pondok Pesantren tradisional yang hanya menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan. Hakekat pendidikan Islam adalah sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan khazanah pemikiran ulama terdahulu sebagaiman tertuang kitab-kitab mereka. Tujuan utama pendidikannya adalah menyiapkan calon-calon kiai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata. Sintesis adalah corak pengembangan pendidikan Islam yang berusaha mempertemukan antara corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat) yang berwujud sekolah atau madrasah. Menurut Muhaimin,76 sintesis berkembang dalam berbagai variasi, yaitu: 1. Pola pengembangan pendidikan madrasah mengikuti format pendidikan Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam. 2. Pola pengembangan pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran agama, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas juga diberikan. 3. Pola pengembangan pendidikan madrasah yang menggambungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan non keagamaan. 4. Pola pengembanga pendidikan sekolah yang mengikuti pola gubernemen 76
Ibid, hal 77
92
dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama. Istilah pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: pertama, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. kedua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. problematika Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan kemudian mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam. Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai. dalam sistem pendidikan Indonesia sekarang perlu dimasukkan sejumlah perbaikan atau penyesuaian untuk membuatnya mampu melahirkan angkatan yang makin cerdas dan makin terampil. Menjadi kewajiban sistem pendidikan di Indonesia untuk membekali generasi muda sekarang ini dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang memadai dan watak atau karakter yang dapat diandalkan, agar timbul barisan pengelola masyarakat dan bangsa yang mampu menjawab tantangan secara cepat dan manusiawi. Pembagian tersebut didasarkan dasar atas asumsi bahwa diskursus pengembangan pendidikan Islam pada periode sebelum Indonesia merdeka pada
93
dasarnya lebih ditunjukkan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial, sedangkan pada periode Indonesia merdeka diarahkan pada upaya integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.77 Problematika kedua yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia ialah perluasan sistem, yaitu menambah daya tampung sistem, sehingga sistem pendidikan Islam tidak hanya melayani anak-anak usia sekolah melalui pendidikan formal saja, melainkan melayani masyarakat melalui sistem pendidikan non-formal. Akhir-akhir ini kehausan masyarakat kita akan pengetahuan tentang agama Islam sangat meningkat. Sistem pendidikan non-formal merupakan satu-satunya sarana memenuhi kebutuhan tersebut. Di masyarakat muncul berbagai lembaga untuk memenuhi permintaan akan pengetahuan agama, misalnya lembaga dakwah, kelompok pengajian, kuliah subuh, dan sebagainya. Ini semua dapat dipandang sebagai modal untuk mengembangkan sistem pendidikan non-formal. Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya, antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya. 77
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, hal 69
94
Undang-undang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) No 20 tahun 2003 Menjelang kelahirannya, ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif, bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara. Visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan. Campur tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama dan kentalnya nuansa politik yang mebidangi lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut. Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated
95
country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir. Keimanan dan ketakwaan merupakan salah satu ciri manusia Indonesia seutuhnya yang harus dicapai sesuai dengan UUSPN No. 20/2003 Pasal 3. pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Untuk itu, di setiap jenjang pendidikan harus diupayakan pengadaan mata pelajaran PAI. Pendidikan agama idealnya bukan hanya mengacu pada PAI saja melainkan kepada seluruh upaya pembinaan kualitas keberagaman peserta didik secara terpadu dalam dunia pendidikan yang dapat mencapai tujuan utama yang telah diuraikan diatas. Pembinaan imtaq merupakan suatu inovasi pendidikan keagamaan yang diintegrasikan kedalam mata pelajaran non-PAI. Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai konsep pembinaan imtaq dalam pendidikan keagamaan. Dalam pelaksanaannya pendidikan dan keagamaan tampil dalam beberapa bentuk yang saling berkaitan dan saling melengkapi, antara lain:78 1. Pendidikan agama sebagai mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan. Hal ini bertujuan menyiapkan peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamnya. Untuk itu materi pendidikan agama bukan hanya menjadi 78
Muhaimin, Pengembangan, hal 113
96
pengetahuan melainkan dapat membentuk sikap dan kepribadian peserta didik sesuai dengan norma agama. 2. Pembinaan agama melalui lembaga pendidikan keagamaan. Pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan sebenarnya dalam lingkungan pesantern yang paling berpotensi karena mempunyai akar yang kuat dalam masyarakat dan merupakan bagian jalur pendidikan luar sekolah. Di pesantren, agama dipelajari, diajarkan, dikaji, dan didalami secara intensif. Meskipun pada masa sekarang, format pendidikan dalam pesantren sangat beragam, merentang mulai dari yang masih sangat tradisional sampai modern. Pada dasarnya agama merupakan kajian utama dalam keseluruhan proses pendidikan. 3. Pembinaan imtaq peserta didik melalui mata pelajaran non PAI. Pembinaan imtaq melalui kegiatan ekstrakurikuler dilakukan seperti melalui kegiatan shalat berjamaah di masjid, pengisian kegiatan pada bulan suci ramadhan, ikut berpartisipasi dalam mengkoordinasikan kegiatan shalat idul adha dan penyembelihan hewan qurban, mengikuti lomba yang bernafaskan islam, pembinaan perpustakaan masjid, pesantren kilat dan masih banyak lagi kegiatan islam lainnya. Sejalan dengan itu, lingkungan sekolah diciptakan diciptakan agar kondusif bagi pertumbuhan keimanan dan ketakwaan siswa. 4. Pendidikan agama melalui keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi seseorang, karena kunci keberhasilannya terletak pada diri orang tua
itu
sendiri.
Pendidikan
agama
dalam
keluarga
berperan
dalam
mengembangkan watak, kepribadian, nilai islam, nilai budaya dan nilai moral,
97
serta keterampilan. Proses ini merupakan kegiatan yang berkelanjutan yang bertujuan mengantarkan anak menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan YME, tangguh, mandiri, inovatif, kreatif, beretos kerja setiakawan, peduli akan lingkungan dan masih banyak lagi sebagaimana dirinci dalam tujuan pendidikan nasional. Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab VI Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah : 1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan. 2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan atau menjadi ahli ilmu agama. 3. Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal. 4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis. Sistem pendidikan nasional di Indonesia masih mewarisi sistem kolonial.
98
Perlu dilakukan perombakan total pada sistem pendidikan nasional agar bisa membentuk watak anak yang mandiri dan kreatif …79 Benarkah apa yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi di atas? Bila benar, apa sebenarnya yang masih diwarisi oleh sistem pendidikan nasional dari sistem pendidikan kolonial? Apa indikasinya? Dan yang terpenting, apa yang musti dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang carut marut itu? Perombakan total seperti apa mengikuti saran Ajip
yang harus dilakukan? Ketika dunia
pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih mendasar yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak
79
Ajip Rosidi, Ketua Umum Yayasan Rancage, dalam penutupan Konferensi Internasional Budaya Sunda I, di Bandung, Minggu (26/8/2001) Sumber: http://femaleofhati.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 16 September 2010.
99
sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama (kementrian agama), sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga. Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang,
100
termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik. Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam
101
transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.80 Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik. Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam. 80
Ibid, Ajip Rosidi.
102
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas. Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi
pada
proses-proses
pembentukan
kepribadian
Islam
(syakhsiyyah
Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sainsteknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana : yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilainilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
103
Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi. Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah,
104
yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai. Menjadi kewajiban sistem pendidikan di Indonesia untuk membekali generasi muda sekarang ini dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang memadai dan watak atau karakter yang dapat diandalkan, agar timbul barisan pengelola masyarakat dan bangsa yang mampu menjawab tantangan secara cepat dan manusiawi. Problematika yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia ialah perluasan sistem, yaitu menambah daya tampung sistem, sehingga sistem pendidikan Islam tidak hanya melayani anakanak usia sekolah melalui pendidikan formal saja, melainkan melayani masyarakat melalui sistem pendidikan non-formal. Akhir-akhir ini kehausan masyarakat kita akan pengetahuan tentang agama Islam sangat meningkat. Sistem pendidikan non-formal merupakan satu-satunya sarana memenuhi kebutuhan tersebut. Pendidikan Islam Indonesia dapat diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem pendidikan nonformal dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta lembaga pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan formal. Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan
105
pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi. Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.81 Menurut Muhaimin kurikulum merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan
(institusional,
kurikuler,
dan
instruksional).
Pengertian
ini
menggambarkan segala bentuk aktivitas sekolah yang sekiranya mempunyai efek bagi pengembangan peserta didik, adalah termasuk kurikulum, dan bukan terbatas
81
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, hal 26
106
pada kegiatan belajar mengajar saja.82 Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. (Aliya).
82
Muhaimin, Arah baru Pengembangan Pendidikan Islam, hal 183