BAB II SINTESIS TEORI REZIM DAN PSIKOANALISIS: SEBUAH PENDEKATAN PSIKO-GENEALOGI
II.1. Teori Rezim Evolusi Teori Rezim Dengan mengamati substansinya yang mengatur tentang prinsip, norma, aturan, dan prosedur relasi, perjanjian Westphalia dapat digolongkan sebagai suatu rezim. Secara populer, rezim kerap didefinisikan sebagai “sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a given area.”1 Perjanjian Westphalia cocok dengan definisi rezim ini. Berangkat dari kecocokan ini, dengan demikian, diskusi seputar perjanjian Westphalia menjadi lebih komprehensif dan berfaedah dengan menempatkannya pada perdebatan teoritik tentang rezim yang saat ini cukup marak diperdebatkan. 2
Pada tahun 1980-an terjadi perdebatan tajam di kalangan teoritisi HI mengenai pengaturan (arrangements) kerjasama di level antar-negara, atau yang sering disebut-sebut sebagai rezim internasional. Salah satu topik perdebatan yang cukup mendominasi saat itu berkaitan dengan peran rezim dalam memfasilitasi 1
Stephen D. Krasner, peny., International Regimes (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983), hal 2. 2 Perdebatan seputar rezim dan institusi internasional pada awalnya terjadi di sekitaran tahun 1970 akhir dan 1980. Di awal 1990 muncul istilah baru dalam perdebatan ini, yaitu ‘multilateralisme’. Seiring semakin berkembangnya perdebatan, lahir pula istilah-istilah baru seperti ‘governance’, ‘governmentality’, dan ‘Empire’ semenjak 1990 akhir sampai sekarang. Tanpa mengabaikan perbedaan konseptual di antaranya, kata ‘rezim’ untuk sementara penulis pakai secara sengaja untuk juga mewakili istilah-istilah baru tersebut. Hal ini semata-mata untuk alasan penyederhanaan pembahasan saja. Penjelasan-penjelasan pembeda antar istilah akan diberikan seiring pembahasan, sepanjang relevan dengan diskusi teoritik penelitian ini. Untuk selayang-pandang seputar perdebatan tentang rezim, lihat: Krasner, Ibid.; Joseph M. Grieco, “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest Liberal Institutionalism,” International Organization, 42(3) (Summer, 1988), hal. 485-507; John G. Ruggie, peny., Multilateralism Matters: The Theory and Praxis of an Institutional Form (NY, Oxford: Columbia University Press, 1993); David Baldwin, peny., Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate (NY: Columbia University Press, 1994); Robert O. Keohane, Power and Governance in a Partially Globalized World (London, NY: Routledge, 2002); Wendy Larner & William Walters, peny., Global governmentality: Governing international spaces (London, NY: Routledge, 2004); dan Gopal Balakrishnan, peny., Debating Empire (London: Verso, 2003).
23
Universitas Indonesia
Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
24
kerjasama dalam konteks anarki.3 Di salah satu kubu yang disebut-sebut sebagai ‘neoliberal institusionalis’ 4, kerjasama dimungkinkan terjadi di kala partisipan kerjasama tersebut (utamanya negara) memiliki kepentingan yang sama atas manfaat dari kerjasama tersebut. Manfaat ini dengan demikian menjadi keuntungan absolut (absolute gain) yang akan didapat seluruh partisipan kerjasama (mis. pencegahan penipisan Ozon, perdamaian dunia, stabilitas makroekonomi global, dst.). Bagi kubu ini, keuntungan absolut merupakan faktor utama terjadinya kerjasama, sekalipun dalam konteks anarki.
Tidak demikian bagi lawan kubu ini, yaitu realis, yang menganggap konsepsi keuntungan absolut justru mengaburkan para neoliberal institusionalis dari kemungkinan-kemungkinan penyelewengan kerjasama secara sengaja. Bagi para realis seperti Joseph Grieco, salah satu yang paling vokal dalam debat ini, kerjasama demikian dapat tidak efektif (bahkan bubar) saat setidaknya salah satu partisipannya melakukan kecurangan. Menurutnya, neoliberal institusionalis terlalu meremehkan anarki; kecurangan, yang notabene “sah-sah saja” dalam konteks anarki, adalah rintangan terbesar yang sangat mungkin terjadi dalam kerjasama diantara aktor-aktor yang rasional dan egoistik di kala tidak ada otoritas sentral dalam dunia internasional. 5 Rezim internasional pada umumnya bersifat transparan, informasi terdistribusi secara merata di antara segenap partisipan. Akibatnya, setiap pihak dapat mengira-ngira keuntungan yang didapat pihak lainnya. Tepat di sinilah dimensi rasional-egoistik dari aktor kerjasama diaktifkan. Setiap pihak akan khawatir dengan keuntungan relatif, atau keuntungan lain (bonus) di luar keuntungan absolut, yang didapat pihak lain: “kita akan melakukan yang terbaik bagi kepentingan bersama, 3
Perdebatan ini didokumentaskan dengan apik oleh Baldwin, Neorealism and Neoliberalism. Lihat Grieco, “Anarchy ...”, hal. 486. Beberapa yang oleh Grieco disebut sebagai neoliberal institusionalis antara lain Robert Axelrod & Robert O. Keohane, “Achieving Cooperation Under Anarchy: Strategies and Institutions,” World Politics 38 (October, 1985), hal. 226-54, dan Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1984) 5 Grieco, “Anarchy ...”, hal. 487. Pandangan ini menggema sampai ke Indonesia, sekalipun agak sedikit lebih “moderat,” lih. Makmur Keliat & Mohtar Mas’oed, “Penjelajahan Intelektual Seorang Diplomat, Keluar dari Kungkungan Realisme Sempit,” dalam Makarim Wibisono, Tantangan Diplomasi Multilateral (Jakarta; LP3ES, 2006), hal. xviii-xxiv, untuk bagian moderasi hal. xxiii . 4
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
25
tetapi yang lebih penting tidak ada yang boleh melebihi saya.” Skenario kecurangan terburuk yang mungkin terjadi adalah pihak tersebut mundur dan menarik diri di tengah-tengah implementasi kerjasama tersebut, dan dengan demikian menggembosi rezim kerjasama tesebut—suatu hal yang tentunya tidak mustahil dalam situasi anarki. Akhirnya, egoisme (subyektivitas) aktor lagi-lagi menjadi halangan bagi terwujudnya kolaborasi bersama.
Adalah John Ruggie yang dengan cermat mengajukan tawaran untuk meninggalkan pesimisme realis akan kerjasama tanpa harus mengulangi kenaifan— sebagaimana anggapan kaum realis terhadap—kubu neoliberal institusionalis. Bagi Ruggie, rezim tidak dapat disamakan dengan institusi, sekalipun keduanya tidak terpisahkan: rezim merupakan perangkat lunak dari institusi. Ia melihat bahwa di antara variabel rezim dan insitusi terdapat variabel lain, yaitu institusionalisasi. Institusi, dengan demikian merupakan efek dari institusionalisasi suatu rezim yang telah ada mendahuluinya ke dalam suatu organisasi legal formal. Hal ini membuat Ruggie menyarankan agar institusi dipandang sebagai perwujudan dari suatu rezim melalui suatu proses institusionalisasi. Akhirnya, segala pembahasan seputar rezim sebaiknya tidak dimulai dari institusi atau organisasi internasional kemana rezim itu terinstitusionalisasi, melainkan justru pada proses institusionalisasi tersebut.6
Berdasarkan aktualitasnya (tangibility), Ruggie melihat tiga level berbeda dalam proses institusionalisasi di dunia internasional: dari yang paling abstrak, yaitu ‘komunitas epistemik’, lalu ‘rezim internasional’, dan akhirnya yang paling kongkrit, ‘organisasi internasional’.7 Komunitas epistemik merupakan jaringan antara pihakpihak yang memiliki kesamaan dalam keyakinan dan cara pandang tertentu akan
6
Tepat seperti kelakar Ruggie, “International organization: I wouldn’t start from here if I were you.” John G. Ruggie, Constructing The World Polity: Essays On International Institutionalization (London, NY: Routledge, 1998), hal. 41. 7 John G. Ruggie, “International Responses to Technology: Concepts and Trends,” International Organization, 29(3) (Summer, 1975), hal. 569-70.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
26
dunia/realitas (episteme).8 Keyakinan dan cara pandang demikian akan tampak pada respon masing-masing pihak atas suatu fenomena global. Pertemuan keyakinan dan cara pandang ini berikutnya akan membentuk suatu kolektivitas respon yang apabila disepakati lebih lanjut, diterjemahkan ke dalam “seperangkat tujuan dan harapan bersama, aturan dan regulasi, rencana kerja, dan komitmen finansial”—rezim.9 Apabila pihak-pihak yang menyepakatinya adalah negara, maka rezim itu sah disebut sebagai rezim internasional. Institusionalisasi terakhir sekaligus yang paling kongkrit adalah institusi atau organisasi internasional yang merupakan “rumah” bagi rezim internasional tadi. Organisasi internasional merupakan tempat dimana perencanaan, eksekusi, dan evaluasi rezim dilaksanakan. Sehingga jelas perbedaan di antara keduanya: di satu sisi, rezim internasional merupakan cikal-bakal organisasi internasional, tetapi di sisi lainnya organisasi internasional merupakan tempat di mana rezim internasional diawasi implementasinya, dikembangkan, bahkan diciptakan varian-varian barunya.10
Sekedar merangkum, sampai di sini pemaparan Ruggie mampu menjelaskan proses terbentuknya suatu rezim internasional dan bagaimana kelangsungannya yang dilembagakan dalam suatu institusi internasional. Pada mulanya adalah kesamaan keyakinan dan pandangan hidup. Komunikasi di antara penganut keyakinan tersebut pada akhirnya berbuah komitmen. Komitmen ini pada gilirannya akan membidani lahirnya suatu rezim internasional, atau manifestasi praktis atas keyakinan dan pandangan hidup tadi. Akhirmya, didirikanlah suatu institusi internasional untuk melestarikan dan mengembangkan rezim tersebut. Namun penjelasan ini nampaknya belum cukup untuk memahami kemunculan suatu rezim tersebut. Dari mana asalnya kesamaan keyakinan dan pandangan hidup tersebut? Apa kriterianya agar ia dapat diproses lebih lanjut menjadi suatu rezim? Dan apa yang akhirnya menjadi kunci sukses suatu institusi dalam merawat rezim internasional? 8
Ibid.; Peter Haas, “Introduction: Epistemic Communities and International Policy Coordination,” International Organization, 46(1) (Winter, 1992), hal. 2-3. 9 Ruggie, “International Responses,” hal.570. 10 Bdk. Ibid., hal. 574.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
27
Sebelum menjawab pertanyaan ini, adalah penting untuk sejenak melihat kondisi seperti apa yang memungkinkan pertanyaan demikian muncul. Ruggie melihat kondisi ini sebagai ketidak-sesuaian antara epistemologi dan ontologi dalam teori-teori rezim. Sebagaimana dibahas di atas, secara ontologis rezim merupakan pertemuan keyakinan dan pandangan hidup; dengan kata lain rezim merupakan suatu bentuk intersubyektivitas. Namun anehnya, epistemologi dominan dalam analisis rezim hampir seluruhnya positivistik. Positivisme memisahkan secara tegas antara subyek dan obyek, lalu dengan alasan bebas-nilai ia memfokuskan diri pada ranah (yang dikiranya) ‘obyektif’. Akibatnya seluruh fenomena yang terjadi di luar subyek, jatuh pada kategori ‘obyek’ dan dianalisis dengan kacamata ‘obyektif’ pula. Hal serupa diderita kebanyakan analisis rezim. Rezim merupakan fenomena obyektif yang terjadi di luar subyek, namun demikian karakteristik utamanya adalah ‘intersubyektif’. Saat teori rezim yang positivistik menganalisis suatu rezim, maka seluruh intersubyektivitas rezim tersebut akan tereduksi pada kategori ‘prilaku rasional’ yang dapat (dipaksakan secara brutal untuk) terkuantifikasi. Positivisme nampaknya kekurangan perbendaharaan kata untuk mengartikulasikan daya intersubyektif yang kualitatif ini, sehingga analisisnya akan senantiasa jatuh pada nominalisme dan formalisme.11
Ruggie berusaha mengisi kekosongan ini dengan memperhatikan dimensi kualitatif dari rezim internasional. Ia memulainya dengan mereformulasi konsep ‘multilateralisme’. Multilateralisme merupakan salah satu varian/ajektif dari segala bentuk
institusionalisasi
(komunitas,
rezim,
organisasi).
Sebagai
varian,
multilateralisme sejajar dengan bilateralisme, unilateralisme dan imperialisme.
11
Beberapa analisis positivistik yang dimaksud Ruggie tampak pada, beberapa di antaranya: Oran R. Young, “International regimes: problems of concept formation,” World Politics 32(3), 1980; Stephen D. Krasner, ed., International Regimes (Ithaca NY: Cornell University Press, 1983); dan Robert O. Keohane, “Multilateralism: An Agenda for Research,” International Journal, 45 (Autumn, 1990). Catatan untuk Krasner, sesekali ia mengapresiasi efektivitas norma, prinsip, dan pergerakan pemikiran, bahkan secara samar-samar juga melibatkan hermeneutika dalam analisisnya. Hanya, pada akhirnya, Krasner tetap kembali pada komitmennya terhadap positivisme logis.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
28
Namun demikian, dibandingkan ketiga yang lainnya, multilateralisme merupakan ciri utama dari dimensi institusional hubungan internasional modern. Dalam kalimat Ruggie, “Multilateralism is a generic institutional form of modern international life,”12 sehingga membicarakan rezim internasional, berarti hampir pasti juga membicarakan suatu bentuk multilateralisme.13 Multilateralisme Ruggian dimulai dari kritik terhadap salah seorang punggawa teoritisi rezim, Robert Keohane, atas konsepsi multilateralismenya.14 Definisi Keohane bahwa multilateralisme merupakan “the practice of co-ordinating national policies in groups of three or more states,”15 dianggap
Ruggie
terlalu
nominalis
dan
mengabaikan
dimensi
kualitatif
multilateralisme itu sendiri. Baginya, kekhasan multilateralisme “is not merely that it coordinates national policies in groups of three or more states, which is something that other organizational forms also do, but that it does so on the basis of certain principles of ordering relations among those states.”16 Prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antar negara tersebut dijabarkan lagi sebagai, “of ‘generalized’ principles of conduct—that is, principles which specify appropriate conduct for a class of actions, without regard to the particularistic interests of the parties or the strategic exigencies that may exist in any specific occurrence.”17
Dari definisi ini, Ruggie menunjukkan dua modalitas yang menjadi konsekuensi logis dari definisi multilateralismenya: 1) indivisibilitas (indivisibility) dan 2) ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang (diffuse reciprocity).18 Modalitas pertama, invidivisibilitas, yaitu keuntungan yang mutlak 12
John G. Ruggie, “Multilateralism: The Anatomy of An Institution,” International Organization, 46(3) (Summer, 1992), hal. 567. 13 Perlu ditambahkan, tidak semua rezim bersifat multilateral sekalipun ia memenuhi kriteriakriteria nominalis sebagaimana diartikulasikan baik oleh Keohane dan Krasner. Salah satu contoh rezim non-multilateral adalah rezim keamanan à la superpower semasa perang dingin seperti yang didiskusikan oleh Robert Jervis, “Security Regime,” International Organization, 36(2), hal 357-78. 14 Ibid. hal. 565, 570-1; Robert O. Keohane, “Multilateralism” 15 Keohane, “Multilateralism,” hal. 731. 16 Ruggie, “Multilateralism,” hal. 567. Penekanan ditambahkan. 17 Ibid., hal. 571. 18 Ibid. Konsepsi tentang ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang, dipinjam Ruggie dari Robert O. Keohane, “Reciprocity in international relations,” International Organization, 40(1) (Winter, 1986).
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
29
didapat oleh setiap pihak yang berpartisipasi dalam suatu rezim.19 Hal ini wajar semenjak dasar pembentukan rezim tersebut, yang darinya indivisibilitas berasal, merupakan prinsip-prinsip umum yang menyatukan para partisipan rezim. Lalu dikatakan ‘mutlak’ karena indivisibilitas merupakan alasan paling utama (sekalipun bukan satu-satunya), pertama, sekaligus terakhir bagi setiap pihak untuk ikut menyelenggarakan rezim dan melaksanakan kesepakatan yang dihasilkannya. Dengan bahasa yang sedikit retorik, indivisibilitas berbicara tentang perkara “ambil atau mati.” Sementara modalitas kedua akan mengikuti (contingent) setelah tercapainya/ terkonstruksinya modalitas pertama. Dengan kata lain, semenjak indivisibilitas merupakan perkara “ambil atau mati,” maka efek dari rezim yang disepakati tersebut tentunya diharapkan bertahan untuk kurun waktu yang panjang, bahkan selamalamanya.
Hal yang perlu ditekankan terkait kedua modalitas multilateralisme diatas adalah bahwa keduanya merupakan suatu konstruksi sosial! Prinsip-prinsip umum yang menyatukan tadi bukanlah suatu universalitas yang turun dari kayangan dan sekonyong-konyong merangkul seluruh partisipan; sebaliknya, ia merupakan hasil dari kerja universal-isasi, general-isasi, umum-isasi. Tidak berhenti di sini, prinsip yang dijadikan umum (general-ized) tadi nantinya akan (dan harus) diyakini oleh segenap partisipan. Jadi, semisal dalam skema collective security, “states behave as if peace were indivisible and thereby make it so,”20 dan “each state had to believe that its current sacrifices would in fact yield a long-run return, that others would not renege on their implicit commitments when they found themselves in tempting
19
Sifat mutlak ini, sebagaimana pembahasan berikutnya, akan amat berbeda dari kesan ‘mutlak’ yang terkandung pada konsepsi keuntungan absolut (absolute gain) sebagaimana diperdebatkan realis dan neoliberal institusionalis. 20 Ibid. Dalam artikel ini kata “as if” (seolah-olah) tidak dicetak-miring (italic), namun pada edisi cetak ulang ke dalam satu bab dengan judul yang agak berbeda pada buku Constructing The World Polity pada 1998, kata ini dicetak-miring. Nampaknya Ruggie ingin memperkuat penekanannya bahwa indivisibilitas pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi sosial. Lihat John G. Ruggie, “Multilateralism at century’s end,” dalam Constructing The World Polity: Essays On International Institutionalization (London, NY: Routledge, 1998), hal 110.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
30
position.”21 Ruggie (dan mungkin juga Jervis) nampaknya memetik pelajaran berharga dari filsuf bahasa John Austin tentang bagaimana mengkonstruksi suatu realitas dengan bahasa, dan tentang bagaimana suatu realitas dapat dikonstruksikan dengan bahasa, singkatnya (sebagaimana judul bukunya) How to Do Things With Words.22 Hal ini tersirat dalam pernyataannya tentang keterkaitan bahasa dan rezim, “International regimes are akin to language—we may think of them as part of ‘the language of state action’. ... international regimes not simply by some descriptive inventory of their concrete elements, but by their generative grammar, the underlying principles of order and meaning that shape the manner of their formation and transformation. Likewise, we know deviations from regimes not simply by acts that are undertaken,but by the intentionality and acceptability attributed to those acts in the context of an intersubjective framework of meaning.”23
Sampai di sini sangat jelas bahwa “pekerjaan rumah” terberat bagi suatu rezim agar dapat sukses adalah mengkonstruksi suatu indivisibilitas yang dapat merangkul kepentingan, ekspektasi, bahkan identitas segenap partisipan di satu sisi, dan di sisi lain meyakinkan segenap partisipan tadi bahwa partisipasi dalam rezim adalah pilihan terbaik—sekaligus yang dapat “menyelamatkan” mereka.
---o0o--Meremehkan anarki? Refleksi perdebatan keuntungan absolut-relatif Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konsepsi rezim multilateral Ruggian ini merupakan tawaran cermat untuk meninggalkan pesimisme realis akan kerjasama tanpa harus mengulangi kenaifan—sebagaimana anggapan kaum realis terhadap—kubu neoliberal institusionalis. Konsepsi indivisibilitas berikut ekspektasi jangka panjang dari rezim multilateral Ruggian ini dapat dikatakan “lincah,” karena di satu sisi ia tidak bisa diartikan sebagai suatu keuntungan absolut (absolute gain) sebagaimana yang diyakini pemikir neoliberal institusionalis, namun di sisi lainnya ia 21
Robert Jervis, “Security regime,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal. 364, penekanan dari penulis. Kalimat ini nampaknya dapat “mendiskualifikasi” Jervis sebagai seorang realis, dan menjadikannya seorang konstruktivis...setidaknya menurut penulis. 22 John L. Austin, How to Do Things With Words (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1955). 23 John G. Ruggie, "International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal. 380. (catatan kaki dihilangkan)
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
31
mengelak sekaligus mengantisipasi kritik Grieco (dan neorealis lainnya, seperti Mearsheimer24) yang menekankan keuntungan relatif (relative gain) dalam kerjasama yang terinstitusionalisasi. Sebelum menjabarkan “kelincahan” teori Ruggie, penulis akan terlebih dahulu menunjukkan celah dari debat keuntungan absolut-relatif, yang menurut penulis, olehnya teori Ruggie memetik momentum yang pas—terlepas apakah Ruggie menyadari celah ini atau tidak.
Terkait
kritik
Grieco
terhadap
keuntungan
absolut
ala
neoliberal
institusionalis, penulis memiliki sedikit catatan kritis—sekalipun tidak bisa disebut sebagai pembelaan bagi neoliberal institusionalisme. Penulis setuju saat Grieco menuduh para neoliberal institusionalis salah mengartikan kondisi anarki dan akhirnya meremehkannya, namun demikian penulis berpendapat bahwa Grieco juga salah mengartikan konsepsi ‘keuntungan absolut’ yang justru merupakan ciptaannya sendiri—untuk tujuan mengolok-olok neoliberal institusionalisme, mungkin. (Para neoliberal institusonalis tidak menciptakan konsepsi ‘keuntungan absolut’, melainkan Grieco.) Grieco secara fait accompli, sebagai pengarang (author), melabeli apa yang disebutnya sebagai asumsi neoliberal tentang tujuan utama negara, yaitu hasrat negara akan “the greatest possible individual gain” dan untuk “maximize individual payoffs over the long run,” sebagai ‘keuntungan absolut’.25 Lagi, menurutnya, neoliberal institusionalis memandang bahwa para partisipan suatu kerjasama hanya peduli dengan keuntungan mereka sendiri, tanpa peduli “whether partners achieve or do not achieve gains, or whether those gains are large or small, or whether such gains are greater or less than the gains they themselves achieve”; setiap partisipan tidak peduli dengan apa yang disebutnya sebagai ‘keuntungan relatif’ yang didapat partisipan lain.
Menurut Grieco, pandangan neoliberal sebagaimana yang disajikannya adalah wajar mengingat para neoliberal, lagi-lagi menurutnya, terlalu memandang anarki secara nominalis yaitu semata-mata hanya sebagai “lack a central agency to enforce 24
John Mearsheimer, “The false promise of international instituitions,” International Security, 19(3), (Winter, 1994/5). 25 Grieco, “Anarchy,” hal. 495-496.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
32
promises.”26 Menurutnya, pandangan ini menunjukkan bahwa para neoliberal institusionalis terlalu meremehkan kondisi anarki: “lack a central agency to enforce promises” tidak lantas berarti “no agency can reliably enforce promises.”27 Dengan penekanan yang berbeda, Grieco mencontohkan bagaimana cara yang benar dalam memahami anarki, yaitu sebagai “no overarching authority to prevent others from using violence, or the threat of violence, to destroy or enslave them.”28 Sehingga dengan pemahaman ini, negara akan sadar bahwa tidak akan ada yang akan melindunginya apabila negara lain mengingkari kerjasama dan berbalik menyerang mereka. Hal ini menurut Grieco berdampak pada tujuan utama setiap negara partisipan rezim, yaitu “to prevent others from achieving advances in their relative capabilities” karena menurutnya “individual wellbeing is not the key interest of states; instead, it finds that survival is their core interest.”29 Grieco menambahkan variabel ‘survival’ yang tentu berkaitan dengan temporalitas, yaitu masa depan (future): “States are uncertain about one another's future intentions; thus, they pay close attention to how cooperation might affect relative capabilities in the future” karena kapabilitas relatif ini “may advantage partners and thus may foster the emergence of a more powerful potential adversary.”30 Hal ini pada akhirnya dapat membuat negara sewaktu-waktu memutuskan untuk keluar dari rezim kerjasama: “state positionality may constrain the willingness of states to cooperate.”31 Tabel II.1. Ringkasan pandangan neoliberal institusionalis dan realis.32 Basic Comparison
Neoliberal instutionalism
Meaning of anarchy
No central agency is available to enforce promises
Political realism No central agency is available to enforce promises or to provide protection
State properties Core interest
To advance in utility defined individuastically
To enchance prospects for survival
26
Ibid., hal. 497. Ibid., hal. 497. 28 Ibid., hal. 497-8. 29 Ibid., hal. 498. 30 Ibid., hal. 500. 31 Ibid., hal. 499. 32 Ibid., hal. 503.
27
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
33
Main goal
To achieve greatest possible absolute gains
Basic character
Atomistic (“rational egoist”)
Utility function
Independent: U-V
To achieve greatest gains and smallest gap in gains favoring partners Defensively positional Partially independent: U=V-k (W-V)
State inhibitions concerning cooperation Range of uncertainties associated with cooperation
Partner’s compliance
Range of risks associated with cooperation
To be (cheated) and to receive a low payoff
Barriers to cooperation
State concerns about partners compliance
Compliance and relative achievement of gains and uses to which gaps favoring partners may be employed To be cheated or to experience decline in relative power if others achieve greater gains State concerns about partners compliance and partners relative gain
Cat.: Dalam baris “Utility Function”, variabel ‘U’ mewakili fungsi rezim, ‘V’ keuntungan absolut, ‘W’ keuntungan partner, dan ‘k’ koefisien sensitifitas negara terhadap keuntungan relatif ‘(W-V)’.
Sebelum meneruskan pembahasan, satu hal yang selalu penulis garis-bawahi: yaitu bahwa neoliberal institusionalisme yang penulis sajikan disini adalah neoliberal institusionalisme sebagaimana yang dipahami oleh Grieco; Grieco telah bertindak sebagai juru bicara neoliberal institusionalisme dalam teksnya, sekalipun pada akhirnya menjadikannya sebagai “kambing hitam” analisis. 33 Demikianlah strategi diskursif Grieco: menghadirkan lawan, menamainya, memperoloknya, dan akhirnya mengklaim diri sebagai pahlawan. Sehingga suatu kata ‘neoliberal institusionalis’ tak lebih dari semacam “suplemen” bagi superioritas eksistensi kata ‘realis’, seperti halnya kata ‘keuntungan absolut’ bagi kata ‘keuntungan relatif’.
Kembali ke keuntungan absolut bikinan Grieco. Kata ‘absolut’ dalam ‘keuntungan absolut’ bukanlah tanpa arti; kata ‘absolut’ mengandung dimensi kemutlak-an—tidak bisa tidak. Grieco nampaknya, jika bukan seolah-olah, mengetahui dimensi mutlak yang diyakini neoliberal sebagai konsekuensi pemilihan kata
33
Penulis juga sadar bahwa dalam pembahasan ini penulis telah menjadi “juru bicara” bagi Grieco yang juga “juru bicara”. Namun demikian berbeda dari Grieco, tujuan penulis disini bukan untuk mengadvokasi neoliberal dari serangan Grieco. Tujuan penulis disini adalah menunjukkan sentralitas teks dan bahasa dalam konstruksi realitas. Karena hal ini akan sangat berguna bagi pembahasanpembahasan penulis berikutnya.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
34
‘absolut’-nya. Hal ini tampak dalam parafrasenya tentang apa yang (dia kira) diyakini neoliberal sebagai keuntungan absolut: “neoliberals find that ... successful unilateral cheating is highly unlikely, and the more probable neoliberal ‘worst case’ is for all states to defect and to find themselves less well off than if they had all cooperated ... [and] games like Prisoner’s Dilemma, ... illustrate how many international relationships offer both the danger that ‘the myopic pursuit of self-interest can be disastrous’ and the prospect that ‘both sides can potentially benefit from cooperation—if they can only achieve it’.”34
Singkatnya, dalam benak Grieco, keuntungan absolut adalah suatu keuntungan yang karenanya “states which have many common interests should have the fewest worries that they might become embroiled in extreme conflicts in the future and, as a result, they should have the fewest concerns about relative achievements of gains arising from their common endeavors.”35 Sederhana saja, Grieco melihat keuntungan absolut sebagai sesuatu yang dapat terus mencegah negara lain partisipan rezim bahkan untuk berpikiran curang, apalagi meninggalkan rezim dan menginvasi negara lainnya. Durabilitas tak terbatas (infinite durability) menandai dimensi mutlak bagi bayangan Grieco tentang keuntungan absolut.
Jika penulis tidak salah mengartikan dimensi mutlak ini, maka kontradiksi internal segera muncul dalam teks Grieco: bagaimana mungkin dalam suatu rezim kerjasama sampai terpikirkan oleh Grieco dan bidak-bidak partisipan rezim dari teori barunya untuk “concerns about cheating and ... about relative achievements of gains”36 disamping keuntungan absolut yang diterimanya sebagai kompensasi partisipasi, sementara ia sendiri mengakui bahwa keuntungan absolut itu sendiri berpotensi mencegah setiap partisipan rezim untuk bertindak curang? Formulasi matematis Grieco tentang fungsi rezim pun akan runtuh karena kontradiksi ini: bagaimana mungkin U=V-k(W-V), sementara V itu sendiri berpotensi membuat ‘k’ menjadi ‘0’ dan akhirnya membuat ‘(W-V)= 0’ juga?37 Hanya ada dua jawaban: Grieco tidak serius dengan dimensi absolut dari keuntungan absolut bikinannya, atau 34
Grieco, “Anarchy,” hal. 502. Catatan-catatan kaki dihilangkan. Ibid., hal. 504. 36 Ibid., hal. 487. 37 Lihat catatan Tabel 1 untuk penjelasan seputar simbol ini.
35
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
35
bisa jadi Grieco kebingungan memberi nama untuk menghadirkan lawan bagi keuntungn relatif yang menjadi gaco-nya* sehingga kata ‘absolut’ hanya merupakan akibat dari semacam selip lidah yang secara tidak sengaja dideritanya. Yang mana pun jawabannya, satu hal yang pasti: adalah bohong apabila Grieco berkata bahwa ia dan “Realists understand that states seek absolute gains and worry about compliance”38—tidak! Grieco tidak memahami!
Kontradiksi ini, menurut penulis, berakar dari pandangan sebelah mata Grieco terhadap model teori permainan Prisoner’s Dilemma (PD) yang dipakai para neoliberal.39 Atau lebih tepatnya, Grieco terlalu meremehkan kemungkinan terburuk dalam model permainan PD, yaitu kematian, kehancuran total, lose-lose solution. Permainan “clingak-clinguk” sini-sana melihat keuntungan relatif lawan sebagaimana yang ditakutkan Grieco bahkan tidak akan mungkin sempat terpikirkan apabila sang pemain tidak lagi bernyawa. Sehingga keuntungan absolut, jika bisa dikatakan demikian, dalam permainan PD adalah menghindari potensi kehancuran total ini. Kurang beruntungnya, kehancuran total ini semata-mata hanya bergantung pada kesediaan semua pihak untuk berpartisipasi. Kekompakkan dan keseiramaan dalam kerjasama merupakan jalan keluar utama, pertama, dan terakhir bagi setiap pihak untuk menghindari kemungkinan terburuk. Satu tidak ikut, maka semua hancur. Jadi, adalah tidak mungkin terpikirkan bagi setiap pihak untuk berbuat curang bahkan meninggalkan kerjasama—kecuali ia ingin “bunuh diri berjamaah”. Inilah dilema terdalam dalam anarki yang sayangnya tidak mampu dirasakan oleh rasionalitas Grieco yang seorang realis. Harus diakui dan tidak bisa dipungkiri, dalam hal ini, neoliberal institusional lebih mampu memahami anarki berikut potensi ekstrim kehancuran totalnya, yang notabene diremehkan oleh Grieco dan kawan-kawan realis yang dibanggakannya karena telah mendominasi teori HI semenjak pasca-Perang Dunia kedua.40 * Gaco adalah bahasa Jawa bagi jago dalam sebuah permainan aduan. Grieco, “Anarchy,” hal. 487. Cetak miring penekanan penulis. 39 Pembahasan tentang PD, lihat Lampiran 1. 40 Lihat kalimat pertama dan catatan kaki no. 1 pada artikel Grieco, “Anarchy,” hal. 485. 38
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
36
Penulis justru melihat penyebab utama impotensi rasionalitas Grieco untuk menalar dilema kehancuran total adalah pada kecemburuannya (yang notabene irasional) terhadap para neoliberal institusionalis karena mereka bisa memahami anarki dengan sangat baik. Hal ini wajar saja karena sebagaimana tradisi (arus utama) sejarah teori hubungan internasional membuktikan, adalah para realis yang seharusnya bisa memahami anarki dengan baik, dan bukannya para (neo)liberal. Dua kalimat pertama dalam artikel Grieco sangat jelas menyiratkan arogansi demikian: “Realism has dominated international relations theory at least since World War II. For realists [—who has dominated international relations theory at least since World War II], international anarchy fosters competition and conflict among states and inhibits their willingness to cooperate even when they share common interests,”41 sehingga semestinya adalah bukan neoliberal yang mampu memahami anarki dengan baik—bisa jadi demikian yang ada di benak Grieco. Kecemburuan ini bisa dilihat dari berulang-ulang kali—dan tidak cukup sekali saja—Grieco berusaha meyakinkan pembacanya bahwa teori(realis)nya menawarkan pemahaman tentang anarki yang lebih baik, sehingga artikel Grieco sebenarnya bukan untuk memberi jawaban tentang perdebatan seputar kerjasama dalam anarki, melainkan untuk menunjukkan teori siapa yang paling berkuasa di studi HI: “In sum, I suggest that realism, its emphasis on conflict and competition notwithstanding, offers a more complete understanding of the problem of international cooperation than does its latest liberal challenger.”42 Keseluruhan total ada lima kali penekanan, dan menurut penulis hal ini terlalu parah melampaui batas kewajaran.
41
Ibid. Grieco, “Anarchy,” hal. 487. Untuk contoh lainnya: “The new liberals assert that they can accept key realist views ... in fact, realist and neoliberal perspectives on states and anarchy differ profoundly, and the former provides a more complete understanding of the problem of cooperation than the latter,” hal. 495; “Compared to realist theory, neoliberal institutionalism understates the range of uncertainties and risks states believe they must overcome to cooperate with others. Hence, realism provides a more comprehensive theory of the problem of cooperation than does neoliberal institutionalism,” hal. 502-3; “One could conclude that realist theory explains variation in the success or failure of international cooperation more effectively than neoliberal institutional theory,” hal. 505; “These tests are likely to demonstrate that realism offers the most effective understanding of the problem of international cooperation,” hal. 506. 42
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
37
Paradoks keuntungan absolut Sampai di sini akan timbul pertanyaan: apakah kecurangan menjadi tidak mungkin terjadi dalam suatu rezim?; juga, apakah lantas keuntungan relatif tidak relevan untuk menjelaskan inefektifitas bahkan kegagalan suatu rezim? Lalu bagaimana menjelaskan kasus pengingkaran terhadap rezim internasional, seperti yang terjadi saat Jerman, Italia, dan Jepang mengingkari Liga Bangsa-Bangsa dan memulai proyek fasisme internasionalnya pada 1940an, atau saat Amerika Serikat melangkahi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menginisiasi invasi ke Irak pada 2003 silam?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian, penulis memetik pelajaran berharga dari kesalah-kaprahan Grieco tentang keuntungan absolut di atas: tidak ada yang namanya keuntungan absolut; keuntungan absolut adalah nama lain dari keuntungan relatif. Membenturkan keuntungan absolut dengan keuntungan relatif justru memproduksi dua konsep lainnya yang sepenuhnya ambigu: 1) relatively absolute gain, dan 2) absolutely relative gain. Kata relatif dalam ambiguitas ini memang menunjukkan sifat posisionalitas dari keuntungan absolut, namun tidak hanya seperti yang dimaksudkan Grieco, melainkan juga melampaui maksud Grieco. Pelajaran dari Grieco ini menunjukkan penulis suatu ‘paradoks keuntungan absolut’, yaitu bahwa absolusitas (absolute-ness) atau ke-mutlak-an dari suatu keuntungan hanya dapat dipahami dari posisi yang sepenuhnya relatif dan posisional. Sehingga apa yang disebut ‘keuntungan absolut’ sebenarnya tidak lebih dari suatu bentuk ‘absolusitas relatif’, dan sebaliknya apa yang disebut ‘keuntungan relatif’ sebenarnya tidak lebih dari suatu bentuk ‘relativitas absolut’. Yang-absolut tidak akan pernah benar-benar absolut, tergantung bagaimana suatu posisi relatif mampu membungkusnya dan meyakinkan kepada pihak-pihak dari posisi relatif lainnya bahwa “absolut”-nya adalah benar-benar absolut. Grieco tidak sepenuhnya keliru saat menuduh neoliberal institusionalis terlalu naif dalam memandang keuntungan absolut, sehingga mengabaikan keuntungan relatif. Namun kritik Grieco akan lebih menghunjam jantung pemikiran neoliberal—sebagaimana pemikiran liberal pada
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
38
umumnya—yang mendewa-dewakan suatu absolutisme transendental dan universal, apabila ia menyadari paradoks keuntungan absolut diatas. Sayangnya tidak. Paradoks ini sama sekali kabur baik dari pandangan seorang Joseph Grieco maupun merekamereka yang disebutnya sebagai neoliberal institusionalis.
Sehingga jawaban bagi pertanyaan apakah kecurangan menjadi tidak mungkin terjadi dalam suatu rezim, adalah: sangat mungkin. Lalu bagi pertanyaan apakah lantas keuntungan relatif tidak relevan untuk menjelaskan inefektifitas bahkan kegagalan suatu rezim: sangat relevan. Sekali lagi ditekankan, kekeliruan utama Grieco bukan mendasarkan konsep keuntungan relatifnya pada keuntungan absolut neoliberal, melainkan yang lebih mendasar: Grieco mendasarkan konsep keuntungan relatifnya pada keuntungan absolut neoliberal yang sebenarnya sama sekali ia tidak pahami! Tidak ada yang salah dengan kelima contoh isu kerjasama di bagian penghabisan artikel yang oleh Grieco dijadikan medan adu hipotesis—neoliberal versus realis, dengan realis sebagai tokoh protagonis—untuk menunjukkan bahwa realislah yang “offers the most effective understanding of the problem of international cooperation.”43 Kekeliruan terbesar Grieco adalah saat ia mengira bahwa dalam keuntungan absolut yang ditawarkan kelima contohnya benar-benar terdapat suatu keuntungan yang absolut. Dengan memahami paradoks keuntungan absolut, maka dapat dipahami bahwa keuntungan absolut yang ditawarkan kelima contoh Grieco adalah keuntungan relatif dengan bungkus “absolut.”
Momentum rezim multilateral Ruggian Kembali ke gagasan rezim multilateral Ruggie. Sekalipun dengan lintasan kritik yang jauh berbeda dari yang ditempuh penulis, paradoks keuntungan absolut di atas mampu dicarikan “obat penawar” oleh John Ruggie. Obat penawar tersebut adalah kedua modalitas gagasan rezim multilateral Ruggie, yaitu indivisibilitas dan ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang. Kemujaraban obat penawar 43
Ibid., hal. 506. Kelima contoh tersebut terkait: kerjasama di area-isu ekonomi, durabilitas rezim, jumlah partisipan, pertautan issue (issue linkages), posisionalitas bertahan suatu negara (defensive state positionality). Lihat Ibid., hal. 504-7.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
39
ini bukan berasal dari namanya, melainkan dari naturnya yang merupakan konstruksi sosial. Dengan natur ini, indivisibilitas dalam teori rezim Ruggian kebal terhadap paradoks keuntungan absolut. Tepat di sinilah teori Ruggie bisa dikatakan lincah dalam memanfaatkan momentum: ia mengeksploitasi potensi absolut dalam keuntungan absolut, namun ia juga mengantisipasi posisionalitas keuntungan relatif.
Pertama, dalam mengeksploitasi keuntungan absolut, Ruggie mengambil posisi sebagai apa yang disebutnya konstruktivisme neo-klasik. 44 Konstruktivisme ini memiliki kedekatan dengan tradisi filsafat pragmatisme, mempercayai pemaknaan intersubyektif, dan memiliki komitmen terhadap ilmu sosial. Pragmatisme membuat Ruggie memandang rezim sebagai “conceptual creations not concrete entities”45 yang berperan sebagai otorita internasional yang “represents a fusion of power with legitimate social purpose”.46 Tujuan-tujuan sosial (social purpose) yang dimaksud di sini meliputi prinsip, ekspektasi, kepentingan, dan harapan bersama dari setiap partisipan rezim, yang kesemuanya terbentuk dalam peristiwa pemaknaan intersubyektif. Unsur kebersamaan ini diperluas oleh Ruggie di kesempatan lain menjadi apa yang disebut Friedrich Kratochwil sebagai ‘kondisi mental’: “doesn’t just refer to intentions, but also to beliefs, desires, hopes, fears, love, hate, lust, disgust, shame, pride, irritation, amusement.”47 Jadi, kekuatan dari suatu rezim berasal dari seberapa pekat konvergensi kondisi mental tersebut, dan bukan sematamata dari produk-produk regulatifnya. Tepat dalam kondisi inilah indivisibilitas lahir sebagai konsekuensi dari bertemunya kondisi mental dari seluruh partisipan rezim. Semenjak seluruh partisipan rezim berpartisipasi dalam memaknai indivisibilitas dengan masing-masing kondisi mentalnya, maka predikat “absolut” sah untuk dikenakan pada indivisibilitas ini. Namun bagaimanapun juga aroma utopis segera
44
John G. Ruggie, “What makes the world hang together? Neo-utilitarianism and the social constructivist challenge,” International Organization, 52(4) (Autumn, 1998), hal. 881. 45 John G. Ruggie, Constructing World Polity (London & NY: Routledge,1998), hal. 87. 46 John G. Ruggie, “International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal 382. 47 Lihat Ruggie, Constructing, hal. 90.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
40
tercium: adalah tidak mungkin bagi suatu rezim dapat benar-benar menjadi konvergensi kondisi mental para partisipannya.
Ruggie menyadari hal demikian, sehingga ia menambahkan dimensi relativitas di konsepsi rezimnya. Yang absolut dalam suatu indivisibilitas memang tidak bisa benar-benar absolut, namun bukan berarti ia tidak bisa seolah-olah absolut. Pandangan anti-esensialis ini tampak pada pandangannya bahwa rezim internasional terdiri atas dua lapis: lapis pertama adalah unsur konstitutif, dan kedua adalah unsur regulatif. Unsur regulatif adalah yang paling sederhana, ia meliputi seperangkat prinsip, aturan, tujuan, dan prosedur pengambilan kebijakan. 48 Unsur konstitutif memiliki sifat yang sangat berbeda; ia merupakan konteks pemahaman intersubyektif dimana unsur-unsur regulatif tadi menjadi mungkin untuk diciptakan, dimengerti, dan akhirnya dijalankan. Unsur konstitutif ini bukan merupakan suatu konstanta universal, banyak faktor yang mempengaruhinya: ia bisa jadi merupakan respon kolektif atas suatu permasalahan global,49 namun ia bisa juga merupakan efek dari negara hegemon.50 Satu hal yang pasti unsur konstitutif ini dapat secara fleksibel berubah seiring berjalannya waktu atau berubahnya konstelasi politik internasional.
Sampai di sini jelas bahwa sebagai unsur konstitutif rezim internasional, indivisibilitas melampaui keuntungan absolut. Ia berfungsi layaknya suatu keuntungan absolut, mengakomodasi kepentingan seluruh partisipan rezim—dan membuatnya menjadi solusi satu-satunya bagi permasalahan bersama. Namun demikian, esensi dari keuntungan absolut tersebut berganti-ganti seiring dengan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Akhirnya, suatu gagasan, untuk bisa memperoleh predikat indivisibilitas, harus mampu menjadi unsur pemersatu bagi segenap partisipan lainnya, sekalipun perbedaan bahkan pertentangan mewarnai hubungan di antara partisipan tersebut. Dengan kata lain, suatu gagasan yang partikular, yang datang dari suatu posisionalitas tertentu, harus mengalami suatu 48
Rezim sebagaimana dipahami oleh misalnya Stephen D. Krasner, International Regimes. Ruggie, “International responses.” 50 Ruggie, “Multilateralism.” 49
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
41
proses generalisasi, bahkan transendentalisasi, agar ia dapat menjadi suatu landasan absolut bagi suatu rezim kerjasama, sedemikan rupa sehingga masing-masing partisipan rela, bahkan mau tidak mau, akan mengesampingkan perbedaan dan perselisihan
di
antara
mereka.
Proses
generalisasi
dan
transendentalisasi
indivisibilitas ini pada gilirannya tidak akan mungkin tanpa bantuan bahasa dan wacana. Bahasa akan mengkonstruksi suatu wacana sedemikian rupa sehingga ia dapat memancing persepsi dari segenap partisipan. Permainan bahasa 51 yang cantik berpotensi membuat suatu konstruksi wacana meyakinkan, dan persepsi atas konstruksi yang meyakinkan ini akan melahirkan kepercayaan (trust). Konvergensi kepercayaan dari segenap partisipan inilah yang akan memberi dimensi mutlak bagi gagasan tadi dan memberikannya predikat indivisibilitas.
Contoh terbaik bagi proses generalisasi dan transendentalisasi indivisibilitas ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan isu hidup dan mati, yaitu kemanan. Keamanan (security), dalam arti terdalamnya, berkaitan dengan kelangsungan-hidup (survival) di hadapan rupa-rupa ancaman eksistensial. Namun demikian, ancaman eksistensial seperti apakah itu adalah persoalan lain; terjadi persengketaan panjang mengenai ancaman seperti apakah yang menjadikannya isu keamanan—keamanan itu sendiri akhirnya menjadi suatu konsep yang “essentially-contested” di kalangan para akademisi.52 Persis di sinilah lokus kontestasi pemaknaan ‘kemanan eksistensial’ terjadi dengan cara saling beradu wacana untuk menjadi wacana yang general, universal, yang transenden—singkatnya, menjadi suatu indivisibilitas. Adalah Ole Waever dan Mazhab Kopenhagen-nya yang memperkenalkan pendekatan ini ke studi keamanan internasional. Bagi Waever, sekuriti (keamanan) adalah selalu sekuritisasi. 51
Permainan bahasa yang penulis maksud di sini adalah permainan bahasa (language game) sebagaimana yang diteorikan dengan sangat memukau oleh Filsuf dari Wina, Ludwig Wittgenstein. Permainan bahasa merupakan kegiatan manusia dalam berbahasa, tidak hanya dalam artian komunikasi dan pemaknaan suatu kalimat saja, melainkan juga dalam artian praktik keseharian. Kebaruan Wittgenstein terletak dalam upayanya meletakkan makna pada situasi konteks di mana kegiatan permainan bahasa tersebut dilakukan. Konteks tersebut meliputi: aturan permainan, siapa yang berbicara, dalam rangka apa, untuk tujuan apa, dan demi efek apa. Lih. Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigation, terj. G. E. M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1958). 52 Buzan, Barry. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in The Post-Cold War Era, edisi kedua. (Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 2001), hal. 7, 16.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
42
Sekuriti tidak memiliki makna pastinya sampai seseorang atau sekelompok orang, melalui suatu manuver diskursif yang disebutnya “gerak sekuritisasi” (securitizing move), mewacanakan (baca: mengarang cerita) suatu ancaman eksistensial bagi suatu “obyek referensi” (referent object)—kedaulatan negara, identitas nasional, sumber daya, dst.53 Singkatnya, sekuritisasi adalah persoalan bahasa, retorika, formasi diskursif, teknik permainan bahasa, dan kelihaian komunikasi.54 Mendekati isu keamanan secara diskursif adalah ciri khas Mazhab Kopenhagen Ole Waever dibandingkan mazhab-mazhab lainnya.55
Batasan Teori Rezim Ruggian Meskipun sumbangsih Ruggie bagi teori Rezim, dan tentunya bagi tesis ini, sangat besar dan pivotal, ada beberapa titik dimana teori Ruggie menemui keterbatasannya saat analisis hendak dibawa ke ranah yang lebih jauh dan lebih dalam. Misalnya, Ruggie tidak memberikan penjelasan memadai tentang bagaimana mengkonstruksi suatu indivisibilitas yang dapat benar-benar menghimpun segenap kondisi mental yang diusulkannya sebagai unsur pemersatu suatu rezim. Dengan kata lain, Ruggie tidak memberikan kerangka analisis yang mumpuni untuk “mengukur” 53
Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis (London: Lynne Rienner Publishers, 1998). Buku ini memang ditulis bertiga, namun demikian, teori sekuritisasi merupakan teori yang dicetuskan oleh Ole Waever. Sumbangsih Barry Buzan adalah dengan mengintegrasikan teori sekuritisai Waever dengan teori Kompleks Keamanan (security complex)-nya. Lihat Preface buku ini, hal. viii. Untuk sejarah Mazhab Kopenhagen berkaitan dengan kolaborasi dengan Barry Buzan, lih. Stefano Guzzini dan Dietrich Jung, “Copenhagen Peace Research,” dalam S. Guzzini dan D. Jung, peny., Contemporary Security Analysis and Copenhagen Peace Research (London & NY: Routledge, 2004), hal. 1-12. 54 “The process of securitization is what in language theory is called a speech-act. It is not interesting as a sign referring to something more real; it is the utterance itself is the act. By saying the words, something is done (like betting, giving a promise, naming a ship).” Buzan, Waever, de Wilde, Security, hal. 26. 55 ...dan bukan semata-mata proses negara-isasi, atau menjadikan suatu isu menjadi kontrol dan wewenang negara. Sekuritisasi akhirnya tereduksi menjadi sekedar proses perluasan cakupan kemanan nasional ke bidang-bidang lainnya. Dengan pendefinisian seperti ini, dimensi diskursif sekuritisasi, yang notabene merupakan jiwa teori tersebut, menjadi hilang. “Kesalah-kaprahan” dalam memahami teori sekuritisasi ini sering penulis jumpai di kelas, forum, seminar, diskusi, bahkan artikel ilmiah, mulai dari oleh mahasiswa semester awal, sampai pakar-pakar keamanan nasional tanah air (baca: Jakarta, bahkan Universitas Indonesia). Untuk klarifikasi tak terbantahkan tentang dimensi diskursif dari sekuritisasi Waeverian ini, lihat Rita Taureck, Securitisation theory—The story so far: Theoretical inheritance and what it means to be a post-structural realist. Makalah pada Konvensi CEEISA tahunan ke-4, University of Tartu, 25 -27 Juni 2006.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
43
kepercayaan, hasrat, harapan, ketakutan, cinta, nafsu, jijik, malu, kebanggaan, jengkel, dan takjub, yang lagi-lagi ia usulkan sebagai “variabel” bagi sukses tidaknya suatu rezim. Keterbatasan ini penulis isi dengan teori-teori Psikoanalisis yang memang core-business-nya adalah kondisi mental seperti ini. Bahkan, berbeda dari Konstruktivisme neo-klasik Ruggie yang masih mengagungkan pemaknaan intersubyektif, Psikoanalisis melihat proses-proses pemaknaan tersebut sebenarnya merupakan “bungkus” bagi dorongan-dorongan yang notabene non-maknawi. Singkatnya, berbeda dengan Ruggie yang masih menyandarkan teorinya pada aspek kesadaran, Psikoanalisis beranjak lebih jauh, bukan hanya merambah aspek ketaksadaran, melainkan mengklaim bahwa kesadaran itu sendiri merupakan “boneka” (puppet) dari ketak-sadaran. Subbab berikutnya akan menjabarkan lebih jauh tentang hal ini.
Keterbatasan lainnya adalah kegagalan Ruggie untuk keluar dari gagasan sentralisasi kekuasaan. Meskipun teori rezim Ruggie mampu dengan cermat, setidaknya menurut penulis, memberikan gambaran tentang dinamika di dalam rezim, namun sayangnya gambaran cermat tersebut kurang atau bahkan tidak dapat ditemukan dalam tulisan Ruggie saat penulis ingin memahami dinamika di luar rezim. Dengan kata lain, perkembangan suatu rezim, berikut komunitas epistemik dan indivisibilitas yang mendahului dan mendasarinya, diasumsikan terisolir dari lingkungan dan kekuatan-kekuatan yang eksternal darinya. Hal ini menurut hemat penulis berakar dari “kandungan” negara-sentris dalam teori Ruggie. Maksudnya, rezim yang ada pada benak Ruggie adalah selalu rezim yang beranggotakan negara atau non-negara.56 Di sini imajinasi Ruggie masih terperangkap pada hal-hal kenegara-an. Menjadi wajar saat Ruggie seolah-olah mengasumsikan bahwa partisipan rezim adalah negara dan entitas lain yang sudah difilter sedemikian rupa melalui kriteria-kriteria buatan, lagi-lagi, negara (mis. hukum internasional). 56
Sebagaimana pemaparan pada bab 1/Pendahuluan, pelabelan “non-negara” sebenarnya merupakan sisi lain dari koin negara-sentrisme. Negara masih menjadi bayangan yang memerangkap imajinasi kita untuk memikirkan entitas lain yang sama sekali berbeda dari negara. Lihat catatatn kaki no. 17, Bab 1.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
44
Hal mudarat di sini adalah konsekuensi pandangan ini, yaitu pemahaman bahwa kekuasaan hanya dimiliki dan tersentral di negara. Aksioma negara-sentris ini, tak jemu-jemunya penulis tekankan, menjadi halangan pertama dan utama bagi Ruggie (dan negara-sentrisis lainnya) untuk melihat fenomena politik global secara lebih komplit, proporsional dan “adil”. Pandangan negara-sentrisme akan mengalami kebutaan akut dalam memahami, apalagi mengantisipasi, politik-politik yang diperjuangkan diluar koridor grammar dan vocabulary ke-negara-an. Problem lain yang juga muncul berkaitan dengan aksioma negara-sentris ini adalah problem kedaulatan: bagaimana memahami pembentukan rezim “kedaulatan” itu sendiri semenjak seluruh analisis rezim berangkat dari aksiomatisasi kedaulatan negara? Padahal, dengan mengamati substansinya yang mengatur tentang prinsip, norma, aturan, dan prosedur relasi, perjanjian Westphalia 1648—tonggak legal pertama bagi kedaulatan negara berdaulat modern—dapat digolongkan sebagai suatu rezim. Definisi minimum rezim adalah “sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a given area,”57 dan perjanjian Westphalia cocok dengan definisi rezim ini.
“Aplikasi” pemikiran Ruggie yang paling relevan dengan studi penulis adalah pada tulisannya tentang gagasan teritorialitas. 58 Ide pokok Ruggie di artikel tersebut adalah berkaitan dengan transformasi gagasan (atau rezim?) teritorialitas dari abad pertengahan ke abad modern. Argumentasi utamanya adalah bahwa perubahan tersebut bersumber dari perubahan domain kehidupan sosial seperti lingkungan material, struktur/matriks situasi dan kondisi di mana aktor saling berinteraksi, dan episteme sosial (doktrin politik, metafisika, konstruksi spasial), yang pola
57
Stephen D. Krasner, peny., International Regimes (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983),
hal 2. 58
John G. Ruggie, “Territoriality and Beyond: Problematizing Modernity in International Relations,” International Organization, 47(1), (Winter, 1993). Dicetak ulang pada John Ruggie, “Territoriality at millennium’s end,” dalam John G. Ruggie, Constructing World Polity (London & NY: Routledge,1998), hal. 172-98.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
45
perubahannya mengikuti suatu “logika endogen” (endogenous logic) tertentu.59 Sayangnya tidak jelas apa logika endogen yang dimaksud Ruggie; malahan Ruggie lebih menjelaskan transisi abad pertengahan ke modern secara epokal (epoch) yang justru terkesan metafisik.60 Sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti ini pasti gagal dijawabnya: apa yang menjadi penyebab logika endogen ini? Bagaimana menjelaskan perubahan domain-domain kehidupan sosial secara historis—alih-alih secra epokal ahistoris?
Ruggie tidak memberikan perhatian bagaimana, misalnya, episteme sosial yang satu bisa menjadi episteme sosial yang berlaku (prevailing), dan yang lain tidak. Ruggie pun mempostulatkan logika endogen sebagai nyawa bagi pola-pola perubahan sosial. Efeknya terlihat pada pandangannya tentang sistem pengaturan (system of rule) yang melihat kekuasaan secara tersentral, sekalipun itu dalam bentuk ruang/waktu yang relatif.61 Ruggie tidak melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar. Akibatnya, ruang sosial/episteme sosial gagal dilihat sebagai ruang kontestasi bagi setiap kekuasaan untuk menyatakan dan memberlakukan epistemenya sembari mengerahkan kemampuannya untuk mengeksklusi, mengubur, dan menstigmatisasi buruk episteme lainnya. Dengan melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tersentral, maka Ruggie berpartisipasi dalam eksklusi sistematik yang dilakukan kelas penguasa dominan. Akhirnya, perubahan yang diteorikan Ruggie adalah perubahan dalam koridor wacana yang diproduksi kekuasaan dominan. Pendekatan genealogi Michel Foucault penulis pakai untuk menambal celah teoritik ini. Penjelasan lebih lanjut pada subbab berikutnya.
59
Ruggie, “Territoriality at millennium’s end,” hal. 193. Ibid., hal 192. 61 Ibid., hal 178-80. Menjadi suatu pertanyaan tersendiri bagi penulis semenjak Ruggie menggunakan pemikiran Foucault untuk mengkonstruksi teorinya yang termashyur tentang episteme (episteme sosial dan komunitas epistemik), padahal Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar, produktif, multiplikatif, dan tidak tersentral. 60
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
46
II.2. Psikoanalisis Tragik Psike dalam rasionalisasi Hubungan Internasional “[L]ogic, in this field, was not what it was elsewhere.” John Lewis Gaddis62 Selain John Ruggie, sebenarnya telah banyak penstudi-penstudi HI yang telah mencoba memahami peran psike—atau kondisi mental, dalam bahasa Ruggie dan Kratochwil—dalam intrik-intrik internasional. Upaya ini dilakukan tidak hanya oleh kaum konstruktivis seperti Ruggie dan gengnya, melainkan juga penstudi-penstudi dari “kamp” paradigma lainnya seperti realis dan liberalis. Pada umumnya, peralihan kepada penjelasan-penjelasan psikologis ini dikarenakan semakin ragunya penstudi HI terhadap variabel ‘rasio’ dan ‘logika’ dalam analisis HI di satu sisi, dan mulai maraknya jargon seperti ‘irrational behavior’ dan ‘rogue state’ dalam praktik dan teori HI, persis seperti yang digambarkan Gaddis pada petikan epigraf di atas. Contoh yang sekiranya cukup relevan untuk ini adalah perdebatan panas disekitar tahun 80-an sampai 90-an seputar deterens (deterrence).63 Perdebatan ini mempertentangkan (kadang malah menciptakan kolaborasi) dua kubu, yaitu teori pilihan rasional dengan psikologi kognitif. Oleh kubu psikologi kognitif, teori rasional dianggap mereduksi inti permasalahan deterens—yaitu problem kompleksitas, ketidakpastian dan ambiguitas dalam dilema keamanan yang disebabkan oleh struktur anaki internasional—kedalam matriks-matriks yang dipostulatkan sedemikian rupa, yang akhirnya menjadi aksioma yang secara buta dijadikan pegangan bagi pengambilan keputusan. Teori rasional akhirnya justru malah menjadi kontra-produktif bagi penyelesaian masalah, jika bukan mempercepat ekskalasi konflik menjadi terbuka.
62
John Lewis Gaddis. We Now Know: Rethinking Cold War History. (New York: Oxford University Press, 1997). 63 Ulasan ini merupakan selayang pandang dari: Paul Huth dan Bruce Russett, “What makes deterrence works? Cases from 1900 to 1980,” World Politics, 36, (1984), hal. 496-526; Robert Jervis, Richard Ned Lebow dan Janice G. Stein, Psychology and Deterrence (Baltimore: Johns Hopkins Uni Press, 1985); untuk dokumentasinya lihat George W. Downs, “The rational deterrence debate,” World Politics, 41 (1989), hal 225-38; Kenneth Oye, peny., Deterrence Debates: Problems of Definition, Specification, and Estimation (Ann Arbor: Uni of Michigan Press, 1993). Kolaborasi yang cukup mutakhir antara teori psikologi dan teori deterens adalah teori deterens sempurna dari Frank C. Zagare dan D. Marc Kligour, Pefect Deterrence (Cambridge: Cambridge Uni Press, 2000).
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
47
Sebaliknya, kubu psikologi kognitif mencoba memahami problem kompleksitas dan ketidakpastian ini dengan melihat faktor-faktor idiosinkretik pemimpin dan para pengambil keputusan, termasuk sejarah pribadi dan pembelajaran mereka terhadap sejarah.64
Dalam pemaparan di atas, tampak bahwa faktor psike masuk menjadi variabel analisis sebagai konsekuensi mutlak dari kenyataan bahwa negara dipimpin oleh seorang manusia yang memiliki aspek non-rasional yang kadang-kadang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan rasional konvensional. Namun ada juga penstudi HI yang berusaha melihat psike kolektif sebagai variabel analisis, dan dengan demikian membawa literatur psikologi sosial ke dalam diskusi-diskusi teoritiknya. John Ruggie dan rekan-rekan konstruktivisnya merupakan beberapa di antaranya. Konstruktivis berusaha melampaui analisis konvensional yang lebih memfokuskan analisis pada psike pemimpin, dengan menunjukkan bahwa psike kolektif seperti kepercayaan bersama, pandangan bersama, rasa kepemilikian (sense of belonging) bersama dan identitas kolektif merupakan faktor yang juga memainkan peran penting dalam HI. Proses interaksi, proses identifikasi kelompok, dan proses pembentukan norma dan nilai, bahkan kepatuhan terhadap norma dan nilai tersebut akhirnya mewarnai analisis-analisis kubu ini. 65 Analisis-analisis kubu ini nampaknya begitu populer, sampai-sampai mampu menyulut suatu peralihan emosional dalam studi HI. 66 Tidak berhenti di situ, pemikir-pemikir yang menggunakan pendekatan filosofi yang lebih kontemporer pun bergerak lebih jauh dengan mendeklarasikan 64
Bdk. Jack S. Levy, “Learning and Foreign Policy: Sweeping a Conceptual Minefield,” International Organization, 48(2) (Spring, 1994), hal. 279-3 12. 65 Beberapa di antaranya yang relevan: Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “International norms dynamics and political change,” International Organization, 52(4) (1998), hal. 887-918; Richard Price, The Chemical Weapons Taboo. (Ithaca: Cornell Uni Press, 1997); Nina Tannenwald, The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of Nuclear Weapons Since 1945 (Cambridge: Cambridge Uni Press, 2007). 66 Tulisan Neta Crawford lah yang digadang-gadang sebagi penyulut peralihan emosional. Neta C. Crawford, "The Passion of World Politics: Propositions on Emotion and Emotional Relationships," International Security, 24( 4) (Spring, 2000), hal. 116-156; untuk selayang pandang, lihat Juha Käpylä, Emotions as Socio-Political: An Essay on the Conceptualization of Emotions (from the Point of View of Politics), makalah untuk Konvensi tahunan ke-51 International Studies Association, New Orleans, USA (February 2010). [Makalah tidak terbit]
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
48
peralihan estetis yang melibatkan faktor-faktor “tak terjelaskan” dalam penjelasanpenjelasan HI. 67
Sekalipun analisis-analisis tersebut amat beragam dalam memahami psike— dan pastinya merupakan suatu kontribusi besar bagi perkembangan studi HI, setidaknya ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu kesemuanya masih menyimpan suatu asumsi makro-subyektivitas, yaitu menganalogikan negara sebagai manusia. Analogi ini, sebagaimana penulis tekankan pada bab sebelumnya, yang merupakan fitur utama yang mewarnai teorisasi hubungan internasional, adalah suatu analogi yang sifatnya aksiomatik. Atau dengan kata lain, dari klaim-klaim “ilmiah” teori-teori HI, adalah analogi ini yang paling “tidak ilmiah”—tidak ada landasan pasti yang mengafirmasi analogi ini. Namun “aneh bin ajaib”-nya, teoritisi-teoritisi HI pada umumnya, mulai mahasiswa sampai profesor, seolah-olah berpura-pura tidak tahu dan malah menerimanya secara taken for granted.68 Kutipan dari dua punggawa HI
berikut
setidaknya
dapat
menunjukkan
“persekongkolan”
untuk
tidak
mempertanyakan asumsi makro-subyektivitas ini: “A nation as such is obviously not an empirical thing. A nation as such cannot be seen. What can be empirically observed are only the individuals who belong to a nation ... Therefore, when we speak in empirical terms of the power or of the foreign policy of a certain nation, we can only mean the power or the foreign policy of certain individuals who belong to the same nation.”69 “Of course we ‘realists’ know that the state does not really exist ... Only individuals really exist, although I understand that certain schools of psychology challenge even
67
Adalah Roland Bleiker yang mendeklarasikan peralihan ini, Roland Bleiker, “The Aesthetic Turn in International Political Theory,” Millennium: Journal of International Studies, 30(3) (2001), hal. 509-33. Untuk selayang pandang, lihat Hizkia Y. S. Polimpung, Peralihan Estetis. Handout pada Pelatihan Teori Hubungan Internasional Kontemporer, Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, Jakarta (18-20 Mei 2009). 68 Bahkan orang-orang biasa (lay person) pada umumnya juga menganggap demikian. Seperti kata Wendt, “In our daily lives citizens and policy-makers alike routinely treat states as if they were people, talking about them as if they had the same kinds of intentional properties that we attribute to each other.” Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1999), hal. 195. Penulis akan membahas ini lebih jauh pada bab berikutnya sebagai problem teologi politik. 69 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, edisi ringkas, (Boston: McGraw-Hill, 1993), hal 115. Penekanan dari penulis.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
49
this. Only individuals act, even though they may act on behalf of one of these collective social entities, the most important being the group.”70
Inilah solipsisme radikal—untuk memperhalus kedunguan tak sadar—dalam studi HI yang akan selalu mereduksi kompleksitas realitas dalam semata-mata demi label “ilmiah,” sementara korban-korban perang terus berjatuhan, kelaparan dan kemiskinan terus menjadi komoditas ekonomi politik dalam transaksi-transaksi korup di kongsi-kongsi dagang transnasional, pemimpin-pemimpin fasis-fasis haus darah dan kekuasaan terus membantai etnis-etnis minoritas di wilayahnya, ... sementara para penstudi HI yang karena nama besarnya menikmati gaji diatas rata-rata, berpindah-pindah dari pendana satu ke pendana lainnya sambil membawa proposal penelitian yang telah dibumbui dengan teori-teori HI yang “ilmiah,” dari seminar satu ke seminar lainnya, atau yang lainnya, mengkritik negara habis-habisan, memakimaki pemimpinnya, sembari terus mengumpankan utopia-utopia yang bahkan belum ia ketahui bagaimana mewujudkannya. Seperti kata Marysia Zalewski, “all these theories yet the bodies keep piling up.”71 Inilah tragik teori-teori HI, yang dari pengamatan penulis, membangun teori-teori “ilmiah” di atas landasan yang sama sekali “tidak ilmiah,” dan sama sekali tidak (mau) sadar akan konsekuensinya.
Tragik serupa terjadi pada variabel psike dalam teori-teori HI. Lagi-lagi terjadi solipsisme radikal dalam mereduksi psike manusia sebagai semata-mata faktor-faktor idiosinkretik pribadi. Psike dipahami secara sempit sebagai proses subyektif sebagai hasil interaksi intersubyektif manusia dengan lingkungannya. Proses interaksi inilah yang diasumsikan terberi (given) oleh penstudi-penstudi HI yang penulis bahas di awal. Seolah-olah proses interaksi ini terberi begitu saja, dan juga seolah-olah proses interaksi itulah yang mendeterminasi prilaku subyek di masa kini. Melalui psikoanalisis Lacanian, penulis menekankan bahwa psike adalah sesuatu 70
Robert G. Gilpin, “The richness of the tradition of political realism,” International Organization, 38 (2) (1984), hal. 301. Penekanan dari penulis. 71 Marysia Zalewski, “‘All these theories yet the bodies keep piling up’: theory, theorists, theorising,” dalam Steve Smith, Ken Booth, dan Marysia Zalewski, peny., International Theory: Positivism and Beyond (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1998).
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
50
yang sama sekali di luar jangkauan analisis subyektivitas dan intersubyektivitas yang dipakai oleh penstudi HI di atas. Leonardo Rodriguez juga menekankan demikian. “Although the subject regards his fantasy as his private property and his most intimate and idiosyncratic possession, the fantasy is the precipitate in the subject of formations which are beyond the limits of subjectivity and intersubjectivity— formations which are present in myths, legends, fairy tales, stories and works of art of different times and civilisations.”72
Reduksi psike sebagai semata-mata hasil proses (inter)subyektif juga mengabaikan proses dimana subyek adalah juga merupakan hasil dari proses lainnya. Mengabaikan hal ini berarti mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses subyeksi—proses menjadi subyek, menjadi manusia. Hal ini disebabkan karena banyak penstudi HI memahami manusia sebagai referent object-nya daripada sebuah konsepsi; penstudi HI menerima saja klasifikasi-klasifikasi “ilmiah” a la biologi yang mengatributkan kata “manusia” bagi seonggok tubuh yang mereka klasifikasikan sebagai homo sapiens, seolah-olah wacana biologi tersebut bersih dari analisis permainan kekuasaaan. Akibatnya psike diisolir sebagai fenomena yang manusiawi— manusia dalam pengertian biologis; biologisme akan selalu mengiringi analisisanalisis psikologis. Yang
ingin penulis tekankan di sini adalah bahwa kategori
‘manusia’ adalah efek dari kekuasaan berkedok keilmuan, dan biologi (dan juga, dengan demikian, HI yang kebiologi-biologian) merupakan antek-anteknya;73 “knowledge was thus a form of power, a way of presenting one’s own values in the guise of scientific disinterestedness.”74
Asumsi makro-subyektivitas, saat digabungkan dengan psikologi HI yang kebiologi-biologian, akan menimbulkan problem lainnya, yaitu problem aplikasi. Penstudi HI kebanyakan hanya semata-mata meng-aplikasi-kan teori-teori psikologi dengan cara mendeduksikannya, jika bukan sekedar menganalogikannya, dalam relasi 72
Leonardo Rodriguez, “Fantasy, Neurosis and Perversion,” Analysis, 2 (1990), hal. 101. Bahkan, sebagaimana akan penulis tunjukkan pada bagian berikutnya, proses interaksi tersebut merupakan suatu proses“intersubyektivitas tanpa subyek.” 73 Untuk HI yang kebiologi-biologian lihat Iver B. Neumann, “Beware of organicism: the narrative self of the state,” Review of International Studies 30 (2004) hal. 259–267 74 Mark Poster, “Foucault and History,” Social Research, 49 (1982), hal 118-9.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
51
politik dan/atau hubungan internasional. Semisal dalam menjelaskan konflik: karena konflik dilakukan oleh manusia, dan manusia merupakan ‘obyek’ studi psikologi, maka konflik antar manusia sah dijadikan obyek studi—psikologi politik/konflik. Teori-teori inilah yang akhirnya semakin meneguhkan kesalah-kaprahan yang mewujud dalam asumsi makro-subyektivitas manusia, sembari mengabaikan proses subyeksi manusia yang menjadi obyek studi psikologi. Akhirnya, hal ini semakin mengaburkan para teoritisi tersebut dari kemungkinan lain, seperti sebagaimana yang ingin penulis eksplorasi disini, yaitu bahwa penjelasan psikologis/psikoanalitis dalam politik/HI merupakan suatu implikasi, dan bukan semata-mata aplikasi. Sehingga studi ini secara khusus ingin menunjukkan bahwa makro-subyektivitas bukanlah sekedar asumsi. Hubungan antara manusia dan negara bukanlah sekedar hubungan analogal, melainkan korespondensi; relasi antara manusia dan negara adalah melampaui analogi (beyond analogy). Jauh dari membela penstudi-penstudi HI di atas, malahan penulis akan menunjukkan bahwa analogi tak berdasar inilah yang justru membuat analisis-analisis mereka justru malah mengaburkan permasalahan, ketimbang menyelesaikan permasalahan.
Untuk mengeksplorasi kemungkinan ini, penulis menunda untuk sementara pandangan umum bahwa “manusia” adalah manusia, dengan mengajukan pertanyaan interogatif: sejak kapan seonggok tubuh dengan kepala, tangan, kaki, dan organ-organ lainnya yang berdiri tegak, mampu berbicara dengan Bahasa dan menghasilkan bermacam-macam pemikiran berikut produknya, disebut sebagai “manusia”?75 Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, setidaknya tidak oleh penulis pada kesempatan kali ini, melainkan untuk diambil hikmahnya: manusia pada dasarnya adalah sebuah konsep, sebuah konstruksi, sebuah kata. Fungsinya: untuk “membalut” keseluruhan tubuh yang dalam disiplin biologi dilabeli ‘homo sapiens’.76 75
Logika ini penulis adopsi dari pemikiran Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex” (NY & London: Routledge, 1993). Dalam buku tersebut Butler mendenaturalisasi kelamin (pria/wanita) dengan mengajukan pertanyaan yang kurang lebih serupa dengan yang penulis tanyakan: sejak kapan tubuh berpenis disebut “pria” dan tubuh bervagina disebut “wanita”? 76 Bahkan Homo Sapiens pun merupakan konsep! Hal ini akhirnya menunjukkan ketertundaan makna oleh kata; makna tidak akan pernah mampu hadir tanpa kata lainnya. Suatu kata akan selalu
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
52
Manusia adalah efek bahasa; manusia hanya akan ada jika ada bahasa. Mengapa demikian? Karena eksistensi pada umumnya disamakan dengan inteligibilitas, dan ironisnya inteligibilitas itu sendiri diindikasikan oleh bahasa.77 Jadi, sebelum dinamai, tubuh di-bahasa-kan/dilinguistisasi terlebih dahulu: misalnya, sebelum dinamai ‘Hizkia Yosias Simon Polimpung’, tubuh penulis disebut “manusia” terlebih dahulu.78
Sebagai manusia, subyek adalah selalu efek kekuasaan. Subyek tercipta melalui proses produksi suatu wacana yang menjadi, sebagaimana Butler, “regulasi ideal” (regulatory ideal).79 Dengan kata lain, subyek selalu menempati suatu posisi tertentu sebagaimana telah diatur, ditentukan, digariskan, bahkan beberapa menganggapnya “ditakdirkan” oleh struktur regulasi ideal yang notabene merupakan bikinan kekuasaan dominan. Di sini Butler mengikuti Foucault, “Power functions. ... In actual fact, one of the first effects of power is that it allows bodies, gestures, discourses, and desires to be identified and constituted as something individual. The individual is not, in other words, power's opposite number; the individual is one of power's first effects. The individual is in fact a power-effect, and at the same time, and to the extent that he is a power-effect, the individual is a relay: power passes through the individuals it has constituted.”80
Subyek a la Butler, dengan demikian, adalah selalu posisi-subyek (subject-position).
membutuhkan kata yang lain yang berbeda untuk menjelaskan dirinya sendiri. Akhirnya, makna hanyalah efek dari gabungan antara dua permainan bahasa: perbedaan (difference) dan penundaan (deference). Dengan kata lain, secara linguistik, kata-kata tidak akan pernah berdaulat—tidak terkecuali kata ‘negara’, dan ‘kedaulatan’. Untuk ketertundaan ini lihat Jacques Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri C. Spivak (Batimore & London: The Johns Hopkins Uniersity Press, 1976[1967]), hal 24-5, 61-72. Untuk pembahasan tema serupa dalam kajian HI lihat Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), bab 5. 77 Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa—entah itu dalam bentuk rangkaian kata-kata atau gambar. Akhirnya, berpikir pun merupakan permainan bahasa. Untuk pembahasan komentar ini, referensi terbaik bagi penulis adalah Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigation, terj. G. E. M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1958) 78 Penyimpulan serupa seperti tersirat dalam Butler, yaitu bahwa sebelum digenderkan, tubuh diseks/kelamin-kan terlebih dahulu. Ibid. Hal 1-23. 79 Untuk aspek produktif kekuasaan dan regulasi ideal, lihat Butler, Bodies, Bab Pendahuluan. 80 Michel Foucault, “Society Must Be Defended”: Lectures at the Collège de France 1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador, 2003), hal. 29-30.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
53
Pandangan ini bukanlah tanpa kritik. Slavoj Žižek, misalnya, mengkritik Butler dan teoritisi subyeksi lainnya dengan menekankan bahwa Bahasa, sebagai suatu bentuk penguasaan simbolik, “itself is split from within and relies on its own obscene spectral underside.81 Jadi, sebagaimana penyimpulan Robertus Robet, “bila yang-Simbolik itu sendiri adalah sesuatu yang ringkih dan tidak lengkap, maka pembentukan subyek secara total ke dalam panggilan struktur [Bahasa] juga menjadi tidak mungkin. Karena struktur itu tidak lengkap, maka subyek berposisi menjadi mustahil.”82 Žižek benar dalam hal ini, namun yang Žižek lupa adalah bahwa Bahasa akan terus menerus dan tak jemu-jemunya berusaha mensubyeksi manusia, sekalipun subyeksi total adalah mustahil. Bahasa sains misalnya, akan terus menerus mengeksplorasi subyektivitas dan tubuh manusia, dan menundukkannya ke dalam teori-teorinya secara tak henti-henti: jutaan dolar diinvestasikan, ribuan trial-anderror dilakukan, ratusan seminar diselenggarakan,... kesemuanya demi menjadikan manusia lebih manusia. Kegigihan simbolik ini yang nampaknya luput dari analisis Žižek.
Pentingnya melinguistisasi manusia seperti ini adalah untuk menantang apa yang disebut Judith Butler sebagai “symbolic hegemony that might force a radical rearticulation of what qualifies as bodies that matter, ways of living that count as “life,” lives worth protecting, lives worth saving, lives worth grieving.”83 Kerja lingustisasi ini mendapat momen yang lebih krusial dalam studi penulis kali ini, yaitu dimana manusia—qua konsep—dimanifestasikan dan diabstraksikan lebih lanjut pada Perjanjian Westphalia 1648 ke dalam konsep yang lebih makroskopis: negara berdaulat. Sehingga pertanyaan yang diajukan Butler tentang “what counts as
81
Slavoj Žižek, “Holding The Place,” dalam J. Butler, E. Laclau dan S. Žižek, Contingency, Hegemony and Universality: Contemporary Dialogues on the Left (London: Verso, 2000), hal. 313. Lihat juga elaborasinya di Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Emansipasi di Era Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri, 2010), hal 97-110. 82 Robet, Manusia Politik, h. 110. 83 Butler, Bodies, hal. 16.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
54
human? Whose lives counts as lives?”84 menggema dalam studi ini dengan sedikit modifikasi: “What counts as sovereign state? Whose community counts as legitimate (Westphalian) political entity?” ... tujuannya tidak lain adalah untuk menantang “symbolic hegemony that might force a radical rearticulation of what qualifies as sovereign state, community that counts as legitimate (Westphalian) political entity.”
Psikoanalisis: Dari Freud ke Lacan Sama seperti Revolusi Copernican yang mengklaim bahwa Bumi bukanlah pusat dari tata surya—melainkan matahari, begitu pula dengan Psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud, mengklaim bahwa ada unsur lain dalam diri manusia yang mempengaruhi tindakan-tindakannya, yaitu ketidaksadarannya. Dikatakan suatu revolusi karena Psikoanalisis berhasil merubah paradigma manusia tentang kesadaran yang saat itu sedang populer, yaitu paradigma warisan Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) yang memberi apresiasi tinggi terhadap kesadaran subyek.85
Saat sinar pencerahan menyeruak masuk di zaman kegelapan (dark age) Eropa yang saat itu sedang diselubungi oleh hegemoni Gereja dan Paus, manusia mulai menyadari bahwa dirinyalah yang seharusnya menjadi pusat kehidupan, bukannya Gereja dan Paus. Sejak saat itu, dimulailah serial-serial revolusi: Renaissance (lahir baru) di Italia pada sekitar abad 14-an, dengan ditandai oleh terobosan-terobosan di bidang seni dan literatur yang memberi penghargaan tinggi kepada aspek-aspek kemanusiaan: Puisi La Divina Commedia karya Dante Alighieri, Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, dan sebagainya; Revolusi Gereja di Saxony (Jerman sekarang) yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad 16 yang
84
Judith Butler, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (London & NY: Verso, 2004), hal. 20. Butler mempertanyakan ini dalam konteks “recent global violence,” di saat banyak nyawa dikorbankan demi jargon-jargon universal: “perang suci melawan imperialisme AS” dan “jihad internasional” di satu sisi, dan “perang melawan teror” dan “responsibility to protect” di sisi lain. 85 Tren filsafat yang sedang populer saat itu, yaitu Eksistensialisme dan Fenomenologi, memberikan penghargaan tinggi terhadap manusia dan sifat-sifatnya: manusia adalah makhluk bebas, rasional, rasional, dll.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
55
melahirkan Protestanisme; dan terakhir Revolusi pengetahuan dengan dicetuskannya semboyan “cogito ergo sum”—“aku berpikir maka aku ada”—oleh René Descartes yang menahbiskan manusia sebagai subyek yang sepenuhnya sadar, otonom, dan nyata—bukan ilusi. Zaman Pencerahan melahirkan humanisme, yaitu pandangan bahwa manusia merupakan subyek rasional, otonom, utuh, dan sempurna. Secara ekstrim, humanisme menahbiskan manusia (menggantikan alam) sebagai pusat dari segala kehidupan. Hal ini tampak dalam pasase seorang filsuf Pencerahan, Denis Diderot, “Manusia adalah tempat tunggal dimana kita harus mulai dan dimana kita merujuk atas segala sesuatu ... inilah kehadiran manusia yang membuat keberadaan makhluk lain lebih bermakna”. 86 Psikoanalisis Sigmund
Freud
merupakan
gugatan terhadap
gagasan
Humanisme: selama ada ketidaksadaran, manusia bukanlah subyek yang sepenuhnya rasional, otonom, utuh, dan sadar . Bulan September 1909 (awalnya bulan Juli sebelum ditunda) merupakan saat dimana revolusi kesadaran ala Psikoanalisis Sigmund Freud dimulai. Saat itu ia membawakan ceramah di Clark University di Amerika Serikat atas undangan sang rektor. Sejak itu Psikoanalisis menjadi termashyur mulai di Amerika, Eropa, dan akhirnya seluruh dunia. 87 Sigmund Freud membagi dimensi psikis manusia kedalam tiga kategori: Id, Ego, dan Superego, yang ketiganya terbagi ke dalam tiga alam: kesadaran, pra-sadar, dan ketidaksadaran. Ego dan Superego berada baik di alam sadar maupun pra-sadar, hanya saja Ego yang lebih “tampak”. Dan yang terakhir, Id, berada sepenuhnya di alam ketidaksadaran. Susunan psikis tersebut dianalogikan dengan “gunung es” (ice berg) sebagai berikut,
86
Dikutip dari Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, terj. Y. Wahyutri & N.Hamidah (Yogyakarta: Qalam, 1998), hal. 38. 87 Sigmund Freud, Five Lectures on Psychoanalysis (1909), terj. K. Bertens, dalam Psikoanalisis Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia, 2006).
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
56
Gambar II.1. Gunung Es (Ice Berg)
Ketiga dimensi psikis ini terbentuk seiring dengan proses pendewasaan yang disebutnya sebagai Kompleks Odipus (Oedipus Complex), melalui fase oral, anal, dan phallic. Pada fase oral, dalam diri bayi hanya terdapat Id. Id adalah pusat segala kenikmatan. Kenikmatan timbul pada kegiatan memasukkan sesuatu ke mulut (oral). Id merupakan lapisan psikis yang paling dalam dimana terdapat dua naluri dasar manusia yang dibawanya sejak lahir: eros (naluri kehidupan) dan thanatos (naluri kematian). Id tidak mengenal aturan, bahasa, hukum, prinsip, apalagi budaya; yang dipikirkannya hanyalah pemenuhan naluri-nalurinya—kenikmatan. Ego baru terbentuk saat terjadi kontak manusia bayi dengan otoritas dunia luar (kebudayaan), yaitu saat bayi diminta untuk mampu mengontrol pemuasan kenikmatannya: misalnya mampu melepas dan menahan feses sesuai dengan waktu dan tempatnya. Oleh karena itu, saat inilah yang disebut sebagai fase anal (anus). Sang bayi akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan “baru”-nya. Saat itulah sang bayi memperoleh Ego-nya, yaitu seperangkat persepsi kesadaran, memori, dan pikiran yang memungkinkannya diterima dalam lingkungan barunya. Ego sepenuhnya dikuasai oleh prinsip realitas: tampak dalam tindakan-tindakan rasionalnya. Akhirnya, Ego menjamin keutuhan diri—suatu identitas.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
57
Terakhir, Superego merupakan hasil proses internalisasi nilai-nilai, budaya, prinsip, dan hukum-hukum yang berlaku di lingkungan sang bayi. Nilai-nilai tersebut ditetapkan oleh otoritas dunia luar yang disebut phallic. Proses tersebut berakhir pada dianggapnya nilai-nilai tadi sebagai sesuatu yang berasal dari diri sendiri. Bentuknya beragam, bisa berupa perintah-perintah, larangan, dan bahkan ancaman dari luar (orang tua, guru, pengasuh, dll.). Kutipan berikut sekiranya dapat memberikan ulasan singkat tentang “struktur psike” manusia, “The ego represents what may be called reason and common sense, in contrast to the id, which contains the passion ... [T]he differentiation of the super‐ego from the ego is no matter of chance; it represents the most important characteristics of the development both of the individual and of the species.”88
Psikoanalisis Freud merupakan gagasan yang mempertanyakan atau mendestabilisasi pandangan ideal tentang diri warisan Pencerahan dengan mengedepankan aspek-aspek ketidaksadaran manusia. Ketidaksadaran merupakan lokus dimana hasrat-hasrat terlarang direpresi, yang sampai taraf represi tertentu akan tampak dalam perbuatan-perbuatan subyek di dunia nyata—mengambil alih “kemudi” kesadaran tanpa disadari oleh sang subyek. Freud berharap bahwa dengan menyingkapkan gagasan ketidaksadaran (yang menandingi kesadaran) ini, ia dapat meminimalisir represi ketidaksadaran—ia mendeklarasikan semboyan terkenal tentang hubungan kesadaran dan ketidaksadaran: “Wo Es War, Soll Ich Werden”, artinya dimana ada Id, di situ ada sang Ego (Aku yang sadar). Di sinilah letak persimpangan pemikiran Freud dengan seorang penerusnya dari Perancis, Jacques Lacan. Lacan berpendapat bahwa Ego tidak akan dapat mengendalikan,
mengantikan,
bahkan
mengenyahkan
ketidaksadaran
karena
sesunggunya Ego sendiri merupakan produk dari ketidaksadaran; otonomi Ego adalah ilusi. 89 Analogi gunung es Freud pun problematik semenjak ia memisahkan dengan cukup jelas antara wilayah kesadaran dan ketidaksadaran, karena menurut Lacan, kesadaran dan ketidaksadaran merupakan dua sisi pada satu koin, keduanya tak 88
Sigmund Freud, The Ego and The Id (1923), dalam The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, Vol. XIX (London: Hogarth Press, 1957), hal. 3960-70. 89 Jacques Lacan, Écrits: A Selection, terj. Alan Sheridan (London: Tavistock, 1977), hal. 6.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
58
terpisahkan dan saling mengkonstitusi satu sama lain: apa yang tampil di kesadaran merupakan orkestrasi dari ketidaksadaran yang direpresi.90 Apabila lewat kompleks Odipus, Freud tertarik mengamati bagaimana sang bayi membentuk karakter Ego-nya lewat proses internalisasi dari nilai dan budaya sekitarnya. Lacan, lewat kompleks Odipus, justru tertarik memahami bagaimana sang bayi mendapatkan ilusi akan Ego, yang nantinya diidentifikasikan sebagai “Aku”.
Psikoanalisis Lacanian: dari gumpalan hasrat sampai ilusi “Aku” Lacan tidak merombak total Psikoanalisis Freudian, ia hanya memodifikasi beberapa hal yang menurutnya krusial: diantaranya yang terpenting adalah masalah formasi ego dalam kaitannya dengan ketidaksadaran. Hal ini sejajar dengan semboyannya, “return to the meaning of Freud”.91 Lacan memodifikasi trajektori bayi menuju kedewasaan yang telah digariskan Freud sebelumnya.
Lacan menggariskan lintasan Kompleks Odipus yang harus ditempuh bayi untuk mendapatkan konsepsi ke-diri-annya kedalam tiga fase yang berhubungan erat dengan tiga ranah (register) atau tatanan (order) psikis manusia: fase pra-odipal pada ranah Riil (the Real), fase cermin pada ranah Imajiner (the Imaginary), dan fase odipal pada ranah Simbolik (the Symbolic).92 Fase terakhir merupakan fase di mana subyek telah “terinstalasi” dengan baik dalam ranah Simbolik—kebudayaan, di mana subyek telah memperoleh predikat ‘Odipus’, sang subyek dewasa. Ketiga ranah ini,
90
Penjelasan lebih mendetil dan teknis tentang ini lihat sub-subbab “Simptom” pada subbab ini. Konteks kemunculan semboyan ini adalah perkembangan mazhab Psikoanalsis yang menurut Lacan telah jauh meninggalkan gagasan-gagasan dasar Freud., yaitu mazhab Psikologi Ego. Mazhab ini berkembang pesart terutama di Amerika Serikat, dengan tokoh-tokoh kunci seperti Anna Freud— anak Freud sendiri. Mazhab ini memfokuskan pada pembentukan Ego sebagai jalan menciptakan karakter (personality) yang baik—suatu hal yang absurd bagi Lacan yang selalu mengkampanyekan “never yield with regard to your desire”. Untuk perkembangan (baca: perseteruan) kedua mazhab, lihat Elisabeth Roudinesco, Jacques Lacan: An Outline of a Life and a History of a System of Thought (Cambridge: Polity Press). 92 Tidak ada rujukan pasti dan sistematis mengenai lintasi perkembangan subyek Lacanian. Lacan sendiri membahasnya secara sporadis dan tak sistematis. Uraian berikut merupakan simpulan penulis sendiri setelah membaca seminar-seminar Lacan berikut komentar-komentar dari para komentatornya. 91
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
59
dimana fase-fase pembentukan subyek terjadi, merupakan susunan psikis subyek yang membentuk formasi Untaian Borromean (Borromean Knot).93
Gambar II.2. Untaian Borromean (Borromean Knot)
Pada fase pra-odipal, seperti juga Freud, Lacan berpendapat bahwa bayi merupakan “gumpalan” (mass) yang tak dapat dipisahkan dari ibunya; tak ada perbedaan antara diri dan ibu; bahkan tak ada perbedaan antara bayi dengan siapapun. Yang ada hanyalah kebutuhan, dan “benda-benda” yang memuaskan kebutuhan tersebut. Ketika butuh makanan ia mendapat ASI (Air Susu Ibu), ketika ia butuh keamanan, ia mendapat pelukan hangat ibunya. Inilah ranah Riil, dimana ide state of nature mengemuka. Dalam ranah ini, yang ada hanyalah kepenuhan dan kelengkapan dimana tak ada kebutuhan yang tak terpuaskan, tak ada pula ketiadaan, kehilangan, atau kekurangan, dan oleh karenanya bahasa tidak dibutuhkan. 94 Oleh karenanya definisi minimum tentang yang Riil Lacanian adalah “that which resist symbolization absolutely”; “what is strictly unthinkable.”95 Ranah Riil ini, sebagaimana
93
Simpul Borromean (Borromean Knot) merupakan spekulasi Lacan tentang formasi tiga ranah subyek, terdiri dari tiga cincin yang saling terhubung sedemikian rupa sehingga apabila salah satu putus atau lepas, maka yang lain pun akan terlepas secara otomatis. Uraian menarik tentang sejarah simpul Borromean ini lihat Awaludin Marwan, Struktur Subjek, Makalah pada forum diskusi Komunitas Psikoanalisis, 14 Juni 2010, Depok. 94 Bahasa dibutuhkan untuk mewakili/menandakan sesuatu yang absen, yang kurang, yang hilang—entah itu barang, orang, hewan, tumbuhan, perasaan, bahkan tuhan. Ilustrasi terbaik adalah orang-orang Laputa dalam novel klasik Jonathan Swift, Gulliver’s Travel, yang selalu membawa sekarung barang yang sekiranya dibutuhkan untuk percakapan, dengan menunjukkan barang-barang tersebut saat berbicara dengan oang lainnya. Lihat Jonathan Swift, Gulliver’s Travel (Irvine, CA: Saddleback, 2001). 95 Jacques Lacan, Seminar XXII of Jacques Lacan, R.S.I., 1974-75, peny. Jacques-Alain Miller, terj. Jack W. Stone dari transkrip utama milik Editions Du Seuil, hal. vii.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
60
pembahasan berikutnya, akan senantiasa mengiringi—jika bukan menghantui— perjalanan hidup subyek.
Pada perkembangan ranah imajiner terjadi tiga hal penting. Pertama, adalah saat bayi menyadari keterpisahannya dengan sang ibu. Pada saat kebutuhan sang bayi tidak langsung atau otomatis terpenuhi seperti pada fase pra-odipal, bayi akan menyadari bahwa ternyata dirinya tidaklah menyatu dengan objek pemuas kebutuhannya—ibu. Hal ini membuat sang bayi merasa kehilangan, kekurangan, dan ingin menyatu kembali dengan ibu. Saat ini, bayi mulai menyadari bahwa ternyata ada “yang lain” (ibu dan orang lain) yang utuh. Namun demikian, bayi masih belum mempunyai konsep tentang “diri”-nya. Hal ini membawa bayi pada hal penting berikutnya, yaitu bergesernya kebutuhan menjadi permintaan. Karena kebutuhannya tak lagi otomatis terpenuhi, sang bayi harus memintanya, sayang bayi belum bisa mengartikulasikan permintaanya dengan tepat. Alhasil, sang ibu atau siapapun tidak akan dengan tepat memenuhi permintaan si bayi; bayi hanya bisa menangis untuk mengungkapkan segala permintaannya, ia belum bisa berbahasa.
Yang ketiga, sekaligus terpenting, merupakan fase cermin, yaitu fase di mana terjadi proses identifikasi diri pada bayi. Identifikasi, menurut Lacan, adalah suatu transformasi yang terjadi pada benak subyek saat ia membayangkan suatu citra, “the transformation that takes place in the subject when he assumes an image”.96 Identifikasi yang pertama-tama dilakukan bayi adalah saat ia mengidentifikasi ‘yanglain’ (others), yaitu saat ia menyadari citraan-citraan yang lain di sekitarnya. Berikutnya adalah saat ia mengidentifikasikan dirinya di depan cermin. Saat itu ia akan mempersepsi bayangannya sebagai dirinya. Biasanya proses ini dibantu oleh orang lain, terutama ibu, dengan berkata, “ya itu kamu, nak!”. Padahal “itu” yang ditunjuk oleh sang ibu adalah bayangan di cermin, dan bukan sang bayi. Dengan demikian, bayi mengalami salah-mengerti (misrecognition) terhadap dirinya sendiri, dan mencampur-adukkannya dengan bayangannya sendiri. Sampai pada fase cermin 96
Lacan, Écrits, hal. 2.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
61
ini, bayi hanya mempunyai konsep tentang dirinya. Bayangan di cermin merupakan, kata Lacan, ‘ego ideal’ yang sempurna, utuh, ... sama seperti “yang lain”. Lacan mengatakan bahwa salah-menegerti (méconnaissance) terhadap ego ideal, yang dianggap diri oleh si bayi, merupakan kompensasi bagi perasaan kehilangan keutuhan dan kesempurnaan saat ia belum berpisah dengan objek pemuasnya—ibu; dengan memperoleh gagasan tentang ke-diri-an, sang bayi merasa bahagia.
Namun demikian bayi baru mendapatkan kata ilusif “aku” untuk menandai ego idealnya (identitas barunya) saat ia memasuki fase odipal. Inti dari konsepsi ilusi “aku” ini adalah, mengikuti asumsi strukturalisme Ferdinand de Saussure, bahwa “the unconscious is structured in the most radical way like a language.”97 Lacan menafsirkannya sebagaimana yang dilakukan Jacques Derrida: “A signifier represents a subject for another signifier”; tidak ada penanda (kata) yang memiliki petanda (makna) yang tetap, hal ini dikarenakan petanda akan selalu tergelincir (glissement, kata Lacan) di bawah penanda dalam suatu rantai penandaan98.99 Tidak ada yang dapat menghentikan “ketergelinciran” ini, setidaknya sampai sang otoritas Simbolik (Ayah) menghentikan ketergelinciran tersebut dengan menjangkarkannya pada suatu penanda lain yang disebut lacan sebagai “anchoring point” (point de capiton). Hal ini berlaku pula dengan diri subyek; dari ambiguitas dan ketidakmenentuan (undecidability) diri Riil di fase pra-odipal, kata (penanda) “aku” (lainnya, nama) dipaksakan
dikenakan
kepada
si
diri
untuk
menyudahi
ambiguitas
dan
ketidakmenentuan tersebut. 97
Lacan, Écrits, hal. 234. Bahasa terstruktur kedalam penanda (signifier) dan petanda (signified), hubungan keduanya adalah relasi negatif: sebuah penanda menjadi penanda itu sendiri karena ia bukan penanda yang lainnya. Contoh, kata “kucing” yang dieja “k-u-c-i-n-g” adalah penanda, sementar petandanya adalah citraan apapun yang muncul dalam benak saat kata “kucing” dipikirkan; secara sederhana petanda merupakan arti dari penanda. Relasi negatifnya adalah: “kucing” menjadi kucing karena ia bukan “kuda” atau “anjing” atau yang lainnya. 98 “We are forced, then, to accept the notion of an incessant sliding of the signified under the signifier,” Lacan, Écrits, hal. 154. Rantai penandaan (chain of signification) merupakan ketiadaan / kekurangan (lack) suatu makna (petanda) stabil bagi suatu kata (penanda). Penanda satu merupakan petanda bagi penanda yang lainnya, dan begitu seterusnya. Contoh termudah adalah kamus. Saat mencari suatu kata, kata itu akan dijelaskan dengan kata-kata yang lainnya. Dan kata-kata yang lainnya akan dijelaskan pula oleh kata-kata yan lainnya lagi, dan seterusnya. 99 Lacan, Écrits, Ibid., dan hal. 303.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
62
Perlu ditekankan di sini bahwa citraan cermin Imajiner Lacanian tidaklah melulu berkaitan dengan seperti yang biasa digunakan seseorang saat merapikan rambut atau busananya, atau memandangi wajah sambil mengusap-usap jerawat di wajahnya. Lebih dari itu, cermin di sini bisa diartikan dalam artian yang lebih luas, bahkan filosofis. Secara hakiki, cermin Lacanian adalah segala medium yang melaluinya citraan-citraan yang berhubungan dengan gagasan tentang ke-diri-an ideal, keutuhan dan integralitas dihantarkan. Adalah cermin ini, yang melalui citraannya, memperkenalkan pada subyek suatu logika pembendungan sebagai proses subyektivikasi, yaitu pembendungan tubuh dan identitas-diri oleh kulit. 100 Citraan ini tidak selamanya visual, namun dapat juga verbal—sebuah deskripsi, bahkan teori tentang ke-diri-an ideal. Citra ini pun tidak selalu aktual/riil, namun bisa juga berupa fantasi. Citraan-citraan yang hari-hari ini membombardir keseharian, misalnya, citracitra: keibuan, kebapakan, kepemimpinan, kenegarawanan, atau kejantanan. Jadi dampak penting fase cermin dalam perkembangan subyek adalah lahirnya ranah Imajiner dalam struktur psike subyek, yang akan dibawanya sampai mati.
Fase odipal atau fase Simbolik merupakan fase dimana identitas sang diri diteguhkan, diinagurasikan, dan ditahbiskan oleh bahasa—misalnya, kata “A-K-U”. Fase simbolik merupakan fase dimana sang bayi kehilangan otoritasnya untuk menentukan dirinya, karena ia harus “kalah” oleh otoritas “sang Ayah” yang “mengancam akan mengebirinya”. “Sang ayah” merupakan metafora bagi “yangLain” (the Other) yang
merupakan pusat dari sistem yang mengatur struktur
bahasa. 101 Sementara “ancaman pengebirian” merupakan metafora bagi seluruh ide
100
Lih. Shannon Winnubst, “Is the mirror racist? Interrogating the space of whiteness,” Philosophy & Social Criticism, 30(1), (2004), hal 34. 101 Perlu diperhatikan di sini adalah pembedaan teknis antara ‘yang-lain’ dan ‘yang-Lain’ dengan ‘L’ besar. ‘yang-Lain’ dengan ‘L’ besar merupakan pusat dari otoritas kultural Simbolik, atau Phallus dalam bahasa Freud. ‘yang-lain’ dengan ‘l’ kecil berikutnya merujuk pada obyek-penyebab-hasrat, atau yang disebut Lacan sebagai obyek a. Pembedaan ini dibahas pada Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book II. The Ego in Freud's Theory and in the Technique of Psychoanalysis, 19541955, peny. J-A. Miller, terj. S. Tomaselli (NY, London: W.W. Norton & Company, 1988), hal. 23647.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
63
tentang kekurangan (lack) sebagai suatu konsep struktural.102 Bahasa, yang mengkonstitusi seluruh ranah Simbolik, merupakan satu-satunya cara agar sang diri dapat masuk ke dalam realitas kebudayaan; bahasa merupakan filter bagi diri—atau apa yang disebut Frederic Jameson sebagai “biological namelessness”—agar ia dapat dipahami oleh yang lain, agar ia menjadi “ada”.103 Karena determinasi bahasa yang sangat menonjol, ranah ini disebut juga “penjara bahasa” 104 (prison-house of language) di mana terjadi suatu proses “penerjemahan kultural”105 (cultural translation) yang melaluinya sang diri dibubuhi identitas gramatikal “aku” oleh “struktur penandaan” (structure of signification)106. Ranah Simbolik ini menempati posisi penting dalam struktur psike, karena hanya dengan menjaga dan menyesuaikan diri berdasar arahan yang-Simbolik inilah subyek bisa menjadi “ada”.107
Subyek Lacanian: Gegar dan Narsis Odipus, atau subyek yang telah melalui proses Kompleks Odipus, dalam teori Lacan, dengan demikian berbeda dengan versi Sigmund Freud. Dalam teori Freudian, Oedipus adalah subyek yang telah mengintegrasikan seluruh norma-norma sosial budaya (Simbolik) ke dalam sistem kesadarannya; subyek yang telah berhasil mengendalikan hasrat-hasrat binatangnya (Id) dan menyelaraskan prilaku diri (ego) sesuai dengan citra diri (ego ideal, Imajiner) yang diinginkan oleh kebudayaan (Simbolik, yang-Lain). Bertolak belakang dengan Freud, Odipus Lacanian adalah subyek yang secara esensial gegar, terbelah, splitted antara hasrat tak sadarnya
102
Bagi Lacan, bukanlah ayah yang sebenarnya yang mengancam kastrasi. Malahan, karena ide tentang “kekurangan”, atau kekurangan itu sendiri, esensial dengan bagi konsep bahasa, maka sang ayah menjadi suatu fungsi dari struktur linguistik. 103 Frederic Jameson, The Prison-House of Language: A Critical Account of Structuralism and Russian Formalism (Princeton: Princeton University Press, 1972), hal. 130. Bdk juga Steven Helmling, “Jameson’s Lacan,” Postmodern Culture, 7(1), (1996). 104 Jameson, Ibid. 105 Judith Butler, Undoing Gender (London, NY: Routledge, 2004), hal. 38. 106 Judith Butler, Gender Trouble: Feminisim and the Subversion of Identity, edisi kedua (NY, London: Routledge Classics, 2006), hal. 196. 107 Saking pentingnya, bahkan Lacan sendiri menekankan bahwa “Psychoanalysis should be the science of language inhabited by the subject. From the Freudian point of view man is the subject captured and tortured by language.” Jacques Lacan, The Psychosis. The Seminar of Jacques Lacan, Book III 1955-1956, peny. J-A. Miller, terj. R. Grigg (London: Routledge, 1993), hal. 224.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
64
dengan imperatif Simbolik yang, dalam struktur psike subyek, diwakili oleh superego. Subyek bagi Lacan adalah selalu ‘$’, selalu berkekurangan, selalu tidak utuh. Kegegaran subyek, bukannya disesali, melainkan justru dirayakan sebagai unsur konstitutif—conditio sine qua non—bagi keberadaan subyek.
Subyek gegar Lacanian ini secara terang-terangan menantang konsepsi subyek modern Eropa Pencerahan ala René Descartes, yaitu subyek yang integral/utuh, yang sadar dan rasional, yang memiliki otonomi dan kendali penuh atas dirinya: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Melalui Psikoanalisisnya, Lacan mengajak pembacanya “to oppose any philosophy directly issuing from the Cogito,”108 karena baginya cogito Cartesian ini “is at the centre of the mirage that renders modern man so sure of being himself even in his uncertainties about himself, and even in the mistrust he has learned to practise against the traps of self-love.”109
Kegegaran subyek ini sebenarnya bersumber dari, semenjak Freud, “penemuan” ketidaksadaran dalam struktur psike subyek yang sama sekali tidak kompatibel dengan struktur kebudayaan di mana subyek terebut berada. Pasalnya, struktur kebudayaan mensyaratkan suatu keselarasan dan harmoni, sementara ketidaksadaran bersifat tak terduga dan tak menentu. Inkompatibilitas ini akhirnya dikesampingkan mengingat sang subyek, mau tidak mau, harus segera terintegrasi dan berasimilasi dalam kebudayaan tersebut. Pengesampingan ini berujung pada pemaksaan atribut kultural simbolik (nama, norma, agama, dst.) kepada keseluruhan struktur kesadaran subyek, terlepas apakah hal ini akan mengakibatkan konflik dalam diri subyek atau tidak, mengingat bahwa ketidaksadaran bersifat inkompatibel dengan atribut tersebut. Konflik inilah yang menyebabkan subyek akan selalu gegar, selama ia terus memberikan dirinya pada penguasaan kultural simbolik.
108 109
Lacan, Écrits, hal. 1. Penekanan pada teks asli. Ibid., hal. 165.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
65
Secara teknis psikoanalitis, kegegaran ini berasal dari alienasi ganda dalam prosesi Kompleks Odipus: alienasi di fase cermin dan alienasi di fase odipal simbolik. Pertama, apabila dicermati lebih jauh, subyek yang terbentuk pada fase cermin merupakan simetri dari citraan diri yang terpantulkan di cermin: “ego = ego ideal.” Maka seharusnya tidak ada masalah di sini. Masalahnya justru timbul saat ternyata citraan cermin (ego ideal), jauh dari merefleksikan citraan yang “sebenarnya”, merupakan “perangkap” untuk menguasai ambiguitas sang subyek. Ia menjadi suatu kontainer untuk membendung ketidak-menentuan yang dialami sang subyek: citraan imajiner adalah gestalt yang memberi batas-batas jelas bagi subyek antara yang mana wilayah innenwelt (di dalam-diri) dan umwelt (di luar-diri); yang mana ‘saya’ dan yang mana ‘bukan-saya’. 110 Jadi, bak roh yang melayang-layang tidak jelas, diri pra-fase cermin diberi ‘tubuh’ oleh citra cermin imajiner (ego ideal) untuk dihinggapi, didiami, dan dihidupi. Inilah asal-usul ilusi perasaan ke-diri-an subyek: subyek mengenali dirinya di realitas melalui mediasi citraan cermin; subyek menyerahkan ke-diri-annya pada citraan cermin dan kemudian menginternalisasikan sebagai identitas-diri—“siapa saya”.
Tak pelak, bagi Lacan, subyek adalah selalu ‘ex-centric’, tergeser keluar dari pusatnya.111 Sayangnya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa identitas diri hasil fase cermin adalah hasil kesalah-mengertian, citraan cermin tersebut tidak akan pernah benar-benar “muat” bagi sang diri: ia akan selalu kurang (lack) atau berlebih (excess/surplus). Efeknya, ambiguitas identitas diri akan senantiasa mengiringi sejarah hidup sang subyek. Bahasa sehari-hari untuk ambiguitas ini tak lain adalah: krisis jati diri. Namun demikian paradoksnya, justru karena ketidak-mungkinan untuk benar-benar “muat”-lah yang menjadi prakondisi utama bagi subyek untuk melakukan proses identifikasi-diri terus-menerus—tak kenal lelah mencari jati dirinya ... yang belum tentu ada.
110 111
Lacan, Écrits, hal. 3-4, 69. Ibid., hal. 171.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
66
Kedua, seakan-akan melengkapi penderitaan karena alienasi di fase cermin, pada fase odipal, yaitu saat citraan Imajiner “distempel” oleh nama-nama dari bahasa yang-Simbolik, subyek mengalami alienasi untuk kedua kalinya. Sebenarnya, proses penamaan oleh yang-Simbolik ini merupakan cara (atau ritual) untuk meredam, bahkan solusi bagi ambiguitas diri pasca-fase cermin. 112 Hal ini demikian, karena yang-Simboliklah yang mengikat dan mengarahkan diri, dan yang menawarkan konsistensi bagi ambiguitas citra diri Imajiner. Namun demikian, bagaimanapun juga, alienasi tetap tak terelakkan semenjak apa yang hendak disimbolisasikan oleh penanda Simbolik adalah diri (sebagai petanda) yang berasal dari ranah-Riil yang notabene justru menolak simbolisasi. Ribuan kemungkinan “mau jadi apa” diri subyek tidak akan mungkin direduksi ke dalam sepatah kata penanda: “Jawa,” “Batak,”
“Kristen,”
“Yahudi,”
“Sosialis,”
“feminis,”
“realis,”
“liberalis,”
“pancasilais,” dst. Selalu akan ada yang luput dari cakupan penanda yang mencoba menamai sang subyek: “It’s quite simply the subject’s singular existence,” yaitu “something radically unassimilable to the signifier,” menurut Lacan.113
Namun
demikian, sebagaimana prasyarat kultural Simbolik, reduksi ini tetap harus dilakukan.
Menjadi tidak aneh apabila proses simbolisasi ini dianalogikan Lacan dengan pembunuhan: pembunuhan yang-Riil (the murder of the real), “Thus the symbol manifests itself first of all as the murder of the Real.”114 Dengan simbolisasi, “The signifier already considers him dead, by nature it immortalizes him.”115 Bisa dipastikan, dalam sudut pandang Lacanian, subyek Odipal adalah mayat hidup, subyek yang lupa bahwa ia sudah mati (di tangan Simbolik, yang-Lain). Lagi-lagi terdapat paradoks: dalam pembunuhan ini, justru subyek “menemukan” dirinya yang 112
Bdk. Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London, NY: Routledge, 1999), hal. 31. Lacan, Psychosis, hal. 167. 114 Lacan, Écrits, 104. Sebenarnya Lacan tidak menyebut ‘the Real’, melainkan ‘the thing’. Namun demikian, apabila melihat pembahasan Lacan lebih jauh, maka ‘the thing’ (das ding) yang di maksud adalah ‘the thing’ yang selalu menolak simbolisasi, atau dengan kata lain, ‘the thing’ adalah inti dari yang-Riil. Dengan demikian alterasi ‘the thing’ dengan ‘yang Riil’ (the Real) pada kutipan di atas adalah demi kepentingan menyelaraskan penjelasan. Lihat Jacques Lacan, “The Freudian thing, or the meaning of the return to Freud in psychoanalysis,” dalam Écrits. 115 Ibid. 113
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
67
(seolah-olah) stabil, bahkan ia rela mati-matian membela nama-dirinya tersebut.116 Jadi, harga yang dibayar saat suatu subyek mengidentifikasikan dirinya dengan suatu penanda Simbolik adalah justru identitas dirinya yang singular, yang senantiasa menolak simbolisasi. 117 Konsekuensinya, penanda tersebut tidak akan pernah benarbenar “muat” bagi subyek, yang pada gilirannya membuat subyek terus-menerus menghasrati penanda lainnya yang ia (salah-)kira lebih muat baginya. Seperti kata Lacan, “this death [of the Real] constitutes in the subject the eternalization of his desire.”118
Lalu apakah yang mendorong subyek untuk mau mengakuisisi citraan cermin dan berpaling pada otoritas kultural Simbolik untuk “meratifikasi” citraannya dengan sebuah nama, gelar, atau simbol, meskipun mensyaratkan alienasi radikal dari dirinya sendiri? Motif untuk mengakuisisi citraan cermin ini tak lain adalah ‘narsisisme’, yaitu hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan kedirian yang utuh, yang pada gilirannya akan membuat subyek dapat dikenali, diterima, dan bahkan dicintai oleh yang lain. Persis seperti Narcissus dalam mitologi Yunani yang begitu mencintai citra dirinya sendiri, bahkan mencintainya sampai mati. Sehingga penting untuk ditekankan bahwa alienasi ini dilakukan secara aktif oleh subyek. Persis di sinilah yang membedakan teori subyeksi Lacanian dengan teori-teori subyek lainnya, yaitu bahwa adalah sang subyek sendiri yang menginginkan, mendambakan, dan akhirnya menyerahkan dirinya pada “perbudakan” otoritas Simbolik. Subyek hanya akan “ada” secara Simbolik apabila ia menerima dan mengakui hukum Simbolik tersebut. Sampai titik tertentu, prilaku ini merupakan prakondisi bagi fasisme. 119 Hal ini demikian karena subyek sadar bahwa hanya dengan mengakuisisi penanda simbolik saja dirinya dapat berpartisipasi dalam realitas kultural Simbolik; bahwa
116
FPI atau Front Pembela Islam yang senantiasa membela dan mempertahankan (secara agresif dan vandalis) sebuah tanda bernama “Islam” dari segala macam kontaminasi eksternal yang dianggap “mengganggu” merupakan contoh kontemporer yang relevan. 117 Bdk. Slavoj Žižek, “The Abyss of Freedom,” dalam S. Žižek dan F.W.J. Schelling, The Abyss of Freedom/Ages of the World (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1997), hal 43. 118 Lacan, Écrits, 104. 119 Subbab berikutnya tentang Deleuze dan Guattari akan berbicara banyak tentang ini.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
68
hanya dengan menjadi mayat hidup sang subyek dapat menikmati kehidupan Simbolik.
Judith Butler memberikan elaborasi yang sangat baik tentang narsisisme ini. Baginya, ketidaksadaran akan selalu menyertai kemunculan subyek Simbolik: “the subject emerges in tandem with the unconscious.”120 Semenjak subyek selalu merupakan hasil dari fase Simbolik, maka ketidaksadaran tersebut berkaitan dengan penanda, atau bahasa secara umum. Telah dibahas sebelumnya bahwa penanda Simbolik merupakan prasyarat utama eksistensi subyek dalam realitas kebudayaan. Berangkat dari pandangan ini, Butler menekankan bahwa akuisisi aktif akan penanda merupakan wujud dari kecintaan (love) subyek akan eksistensi, akan keberadaan dirinya. Subyek yang mencintai eksistensinya tentunya memiliki hasrat untuk bertahan hidup. Hasrat inilah yang ditengarai Butler dieksploitasi oleh otoritas Simbolik. 121 Semenjak penanda tidak memiliki acuan tetap, penguasa Simbolik terus menerus memainkan ketergelinciran tanda tersebut dan secara konstan menggontaganti standar ideal suatu penanda identitas yang notabene akan selalu menjadi obyek hasrat subyek. Penanda-penanda inilah yang pada gilirannya menjadi obyek adiksi subyek, yang padanya subyek memiliki ‘kelekatan birahi’ (passionate attachment).122
Kegelisahan (via Loss, Lack, Lacuna, Lamella) Gagasan kegelisahan (anxiety) adalah selalu merupakan reaksi akan suatu kehilangan. Kehilangan (loss) merupakan gagasan yang fundamental dalam konsepsi subyek dalam psikoanalisis Lacanian. Namun catatannya, kehilangan di sini tidak semata-mata merupakan suatu ke-hilang-an; kehilangan di sini selalu merupakan sebuah persepsi atau suatu salah-mengira (misrecognition)—dikira hilang (perceived
120
Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press, 1997), hal. 7. 121 Ibid., hal. 7-8. 122 Bandingkan juga bagaimana cara serupa digunakan idiologi untuk merekrut subyek: “the ruling ideology, in order to be operative, has to incorporate a series of features in which the exploited/dominated majority will be able to reognize its authentic longings.” Slavoj Žižek, The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology (London: Verso, 1999), hal. 184.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
69
loss). Apa yang dikira hilang? Tidak lain adalah obyek-penyebab-hasrat (objectcause-of-desire), atau yang disebut Lacan sebagai Obyek a (objet petit a).123 Akuisisi akan obyek ini akan memberikan suatu jouissance124 atau ‘sengsara-nikmat’ (pleasure in pain). Lacan memberi contoh ketertarikan Alcibiades pada Socrates.125 Alcibiades percaya bahwa ada suatu “inestimable treasure” yang terdapat dalam “rustic box” bernama Socrates, dan tentu saja Alcibiades amat menginginkan memiliki harta-karun ini sekalipun Socrates selalu menekankan kalimat innocent terkenalnya, “saya ini tidak tahu apa-apa”. Tetapi tetap saja Alcibiades berkeras mendapatkannya, sehingga ia menjadi salah satu pengikut (baca: umat) setia Socrates. Ia percaya, dengan mengakuisisi harta-karun ini ia bisa mengisi bagian dirinya yang hilang untuk menjadi sebagaimana bayangan ideal tentang dirinya—suatu jouissance.
Sayangnya Alcibiades tidak pernah mendapatkan harta karun tersebut, dan sebenarnya memang ia tidak akan pernah bisa karena memang sedari mula harta karun tersebut tidak pernah ada. Kepercayaan buta Alcibiades, yang berakar dari kesalah-mengiraannya, terus membuatnya menggali harta tersebut. Ketidakmungkinan untuk dicapainya obyek a, atau harta-karun tak ternilai dalam kasus Alcibiades-Socrates,
inilah
yang
pada
akhirnya
memproduksi
perasaan
berkekurangan (lack) secara terus-menerus. Akhirnya, kesalah-mengiraan akan kehilangan ini menjadi bedrock bagi kekurangan fundamental yang tak akan pernah dipenuhi secara permanen. Subyek selalu akan menemui lacuna (kehampaan) saat (salah-)mengira telah meraih obyek a. Inilah kutukan menghasrati obyek a. 123
Huruf “a” merupakan singkatan bahasa Perancis “autre” (other, yang lain). Hasrat Lacanian adalah selalu berkaitan dengan yang lain, atau dalam bahasa Lacan sendiri, “unconscious desire is the desire of the Other.” Kata “of” di sini dapat diartikan ke dalam tiga pemaknaan: “akan,” yaitu langsung merujuk pada sang lain tersebut; “dari,” merujuk pada arahan sang lain terhadap subyek; dan “tentang” yang merujuk pada gagasan seputar yang lain tersebut. 124 Penulis ragu untuk menerjemahkan bahasa Perancis ‘Jouissance’ ke dalam bahasa Indonesia ‘kenikmatan’, karena dalam konteks Lacanian yang penulis pahami, jouissance selalu merupakan kenikmatan yang masokistik dan paradoksal: di satu sisi membawa nikmat, tetapi di sisi lain membawa derita. Oleh karenanya, penulis memilih menerjemahkannya sebagai ‘sengsara-nikmat’—sengsara yang membawa nikmat. Mungkin Wagner memiliki ungkapan, yang walaupun agak berlebihan, tepat: “the wound can be healed only by the spear which made it”—dikutip dari Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology, edisi kedua (London: Verso, 2008), hal. xxvi. 125 Lacan, Écrits, hal. 322-3.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
70
Kembali ke kegelisahan. Semenjak gagasan kegelisahan adalah selalu merupakan reaksi akan suatu kehilangan, maka penting untuk menghampiri dan berikutnya membedakan kegelisahan dari bentuk reaksi akan kehilangan lainnya seperti ‘perkabungan’ (mourning) dan ‘melankolia’ (melancholy).126 Perkabungan merupakan proses berpisahnya subyek dengan obyek hasratnya yang sudah tiada (meninggal, habis, dst.). Proses ini mensyaratkan subyek untuk memutus hubungannya dengan sang obyek, dan melanjutkan hidupnya (mencari obyek lain, dst). Perkabungan yang “sukses” membuat subyek mampu menerima kepergian sang obyek. Namun tidak demikian dengan melankolia: melankolia terus mempertahankan dan menolak menerima kenyataan bahwa sang obyek telah tiada; melankolia terus menjaga identifikasi narsistik dengan sang obyek.
Agak berbeda dengan melankolia dan perkabungan, kegelisahan bukan bereaksi terhadap kehilangan, melainkan terhadap potensi/bahaya/kemungkinan hilangnya obyek hasrat. Dengan kata lain, kegelisahan Lacanian adalah kegelisahan akan kastrasi (pengebirian) dari obyek hasrat: inilah kegelisahan fundamental subyek bagi Lacan. Jadi, dimensi terpenting dari kegelisahan Lacanian bukan pada obyeknya, melainkan
pada
resiko
yang
ditimbulkan
apabila
sang
subyek
tidak
mendapat/kehilangan obyek tersebut. Hal ini, misalnya, menjelaskan mengapa sepasang kekasih—a la telenovela Meksiko—yang sedang kasmaran dengan begitu mudahnya berkata, “Alejandro, engkau adalah pelabuhan cintaku. Tak akan pernah kulepaskan dirimu! | Begitu juga dirimu Esmeralda, tak kan kubiarkan ayahmu menjauhkanmu dariku!”—sebenarnya bukan kedua tokoh konyol ini yang saling mengkuatirkan satu sama lain, melainkan kekonyolan yang tak terbayangkan kalaukalau kedua tokoh konyol ini berpisah.
126
Sigmund Freud, Mourning and Melancholia (1917), Standard Edition, XIV (London: Hogarth Press, 1957), hal 243- 58. Untuk tarikan politiknya, lihat juga Judith Butler, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (London, Verso: 2004), hal 20-2.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
71
Kierkegaard, sebelum Lacan, telah menekankan bahwa kegelisahan adalah kemungkinan (possibility)/kebisaan (capability).127 Kemungkinan yang dimaksudnya adalah kemungkinan akan terjadinya segala sesuatu, temasuk kematiannya. Kematian yang dimaksud bisa berarti metafora maupun literer: Aku bisa mati, maka aku takut hidup; aku bisa jatuh, maka aku takut memanjat; aku bisa sakit hati, maka aku takut bercinta; aku bisa menyakiti orang, maka aku takut berhubungan dengan orang; dst. Coba renungkan keputus-asaan Kierkegaard, “Jika kamu kawin, kamu akan menyesal; jika tidak kawin kamu juga akan menyesal; kawin atau tidak, kamu akan menyesal. Tertawakanlah kegilaan dunia atau ratapilah, kamu akan menyesal; entah kamu menertawakan kegilaan dunia atau meratapinya, kamu akan menyesal; gantunglah dirimu, kamu akan menyesal; jangan gantung dirimu, kamu akan menyesal; entah kamu menggantung dirimu atau tidak, kamu akan menyesal. Tuan-tuan, inilah ringkasan dan saripati segala filsafat.”128
Bila diamati dengan seksama, maka kemungkinan akan segala sesuatu ini dimungkinkan oleh ‘kebebasan’—semakin besar kebebasannya, maka semakin besar kegelisahan akan kemungkinan terburuk. Dalam bahasa Lacanian, kegelisahan akan berarti suatu kegelisahan kalau-kalau sang subyek termakan habis saat ia menikmati obyek a-nya. Tak pelak Jean-Paul Sartre, mengikui Kierkegaard, mengatakan bahwa “we are condemned to be free.”
Lantas apakah kegelisahan adalah tanpa obyek? Tidak juga: Lacan menjawab, “elle n’est pas sans objet” (ia bukanlah tanpa obyek, Ind.).129 Seperti petikan imajiner kisah konyol di atas, kegelisahan bukan ditimbulkan dari ketidak-hadiran obyek, melainkan justru kehadirannya, atau bahasa Lacan, “it’s enveloping presence”! Hanya saja terhadap kehadirannya yang enveloping tersebut, subyek mengira ia telah mendapat obyek a: padahal tidak—bagaimana mungkin subyek yang salah-mengira akan kehilangan dapat benar-mengira telah mendapatkan? Kehilangan dan 127
Vigilius Haufniensis (alias Søren Kierkegaard), The Concept of Anxiety: A Simple Psychological Orienting Deliberation on the Dogmatic Issue of Hereditary Sin, terj. R. Thomte dan A. B. Anderson (Princeton: Princeton University Press, 1980). 128 Søren Kierkegaard, “Either/Or, he Fragment of Life”, dalam The Essential Kierkegaard, Selections , peny. Howard V. Hong dan Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton Uni Press, 2000) 129 Jacques Lacan, “Introduction to the Names-of-the-Father Seminar,” tej. Jeffrey Mehlman, October, 40 (Spring, 1987), hal. 82.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
72
kemendapatan: kedua-duanya adalah mirage, efek salah-mengira. Obyek a adalah obyek kegelisahan Lacanian, namun sayangnya, obyek ini tidak dapat diakses; ia adalah sesuatu yang selalu hilang. Kierkegaard membahasakannya lebih baik, “The object of anxiety is a nothing”, walaupun Lacan menamainya dengan lebih baik: lamella, sang inti obyek hasrat yang akan selalu luput, yang telah-selalu (alwaysalready) hilang dari presentasi simbolik rupa-rupa obyek hasrat mulai es krim Cold Stone sampai tubuh molek Jessica Alba, mulai uang yang “digondol” Gayus sampai status quo jabatan yang dipegang SBY saat ini, dan sebagaimana yang akan dibahas di studi ini, dari citraan ideal Imajiner sampai kemanunggalan kedaulatan negara: “It is the libido, qua pure life instinct, that is to say, immortal life, or irrepressible life, life that has need of no organ, simplified, indestructible life. It is precisely what is subtracted from the living being by virtue of the fact that it is subject to the cycle of sexed reproduction. And it is of this that all the forms of the objet a that can be enumerated are the representatives, the equivalents. The objets a are merely its representatives, its figures.”130
Lamella inilah yang alih-alih menyurutkan hasrat terhadap obyek-penyebabhasrat tersebut, malah semakin menyulut hasrat untuk tak henti-hentinya mengejarnya. Hal ini demikian karena keberadaan—atau lebih tepatnya keselalutelah-hilangan—lamella memberi tubuh kedua bagi obyek hasrat, yaitu tubuh sublim (sublime body), atau tubuh di dalam tubuh.131 Obyek a yang menjadi “perwakilan” lamella—yang selalu-telah hilang—akhirnya terangkat statusnya menjadi obyek sublim (sublime object). Berbeda dengan obyek material, bentuk kongkrit obyek hasrat, obyek sublim ini tidak lekang dimakan waktu, ia tidak dapat dikorupsi dan dihancurkan. Obyek sublim akan tetap (disalah-mengerti sebagai) ada sekalipun obyek material yang membawanya telah tiada. Žižek menyebut obyek sublim ini sebagai “something in it more than itself,”132 karena obyek sublim inilah yang dicaricari subyek dari rupa-rupa obyek hasrat yang dikejar-kejar subyek ... dan sekali lagi pencarian tersebut adalah sia-sia, karena obyek sublim tersebut telah-selalu hilang;
130
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (London, NY: W.W.Norton & Company, 1981), hal. 198. 131 Žižek, The Sublime, hal. 12-3. 132 Ibid., hal. 104.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
73
keberadaannya adalah fatamorgana yang diciptakan subyek yang senantiasa gegar dan berkekurangan. Jadi, semisal, saat subyek mendambakan orang lain sebagai suatu obyek hasrat, yang diinginkannya bukanlah orang tersebut, melainkan tubuh sublim dari orang itu yang “in you more than yourself.” Inilah yang penulis maksud di awal sebagai “intersubyektivitas tanpa subyek,” yaitu saat tubuh subyek yang lain dianggap semata-mata sebagai kontainer suatu obyek kepuasan yang sebenarnya telah-selalu hilang.
Kegelisahan juga berhubungan dengan fase cermin. Saat subyek merasa citra dirinya tidak seperti yang ditampakkan pada cermin ideal, maka ia akan gelisah. Di sini Lacan menghubungkan citra diri yang mencemaskan ini dengan konsep uncanny (keanehan yang melampaui pengetahuan) dari Freud.133 Tidak berhenti disini, kegelisahan ini berikutnya memproduksi suatu skenario yang mengada-ada (berlebihan, surplus) akan kehancuran eksistensial134 (bahasa teknisnya, ‘kastrasi’) dirinya karena kegagalannya dalam mengubah citra-dirinya yang aneh. Gagasan ini dipengaruhi oleh Kierkegaard tentang fantasi kemungkinan: kemungkinan mati, kemungkinan dikastrasi, kemungkinan tertimpa musibah, dst. Intinya, karena merasa ada yang kurang dalam dirinya, fantasi kehancuran eksistensial akan selalu menghantui. Oleh karena inilah Lacan mengatakan bahwa kecemasan muncul saat “the lack is itself lacking; anxiety is the lack of a lack.”
Simptom Kegagalan yang senantiasa mengiringi subyek untuk dapat mengakuisisi obyek a pada dasarnya memang akan selalu memicu kegelisahan, dan kegelisahan inilah yang mengindikasikan kegegaran subyek—kenyataan bahwa subyek tidak dapat benar-benar dipuaskan dengan penyerahan diri ke perangkap citraan Imajiner
133
Sigmund Freud, “The Uncanny (1919),” dalam Standard Edition, Vol. XVII Lacan juga kerap menggunakan kata ‘kastrasi’ untuk ini. “The basic concept of castration asserts that the greatest anxiety derives not from the possibility of dying but from the possibility of never-having-lived.” Lihat Stuart Schneiderman, “Afloat with Jacques Lacan,” diacritics, 1(2) (Winter, 1971), hal 30. 134
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
74
dan ke perbudakan Simbolik. Namun demikian, hal ini tidak lantas berarti kegagalan ini
membuat subyek tidak dapat hidup tanpanya; subyek bisa tetap menjalani
kehidupannya sehari-hari dengan tenang dengan bertindak seolah-olah telah mengetahui, atau malah mendapatkan obyek a tersebut. Ke-seolah-olahan inilah yang menjamin konsistensi eksistensi subyek ditengah kegegaran dan ambiguitas ke-diriannya, dan yang membuat kehidupan tampak “normal” dan “wajar-wajar saja” setidaknya sampai yang-Riil, yaitu yang selalu dicoba dibendung dan direpresi oleh citraan Imajiner dan Simbolik, kembali menampakkan dirinya di realitas. Dalam konteks ini, yang-Riil dapat diasosiasikan dengan gagasan kontra-tatanan, sisi lain (nether side), keretakkan, kontradiksi, antagonis, paradoks kesuraman, kegelapan, ketiadaan dan chaos yang akan selalu membatalkan seluruh proses simbolisasi.
Adalah ‘simptom’ yang menjadi biang keseolah-lahan di atas. Simptom adalah formasi normalitas keseharian subyek. Simptom menata keseharian sedemikian rupa agar kegegaran dan kontradiksi internal yang senantiasa melekat pada formasi ke-diri-an subyek tidak mencuat ke dalam wilayah “kesadarannya.” Simptom selalu berada pada tataran kesadaran, namun proses pembentukan dan kelangsungannya sepenuhnya bersifat tak sadar. Sehingga sampai titik ini, simptom selalu merupakan formasi, kristalisasi, materialisasi, sublimasi (Žižek), atau reifikasi (Lukács) dari ketidaksadaran. Normalitas yang diimplikasikan simptom tidak sertamerta meniadakan kegegaran, kontradiksi, atau paradoks yang senantiasa melekat pada subyek, melainkan ditunda secara terus menerus atau dikanalisasi sedemikian rupa agar “kedatangannya” tidak mengganggu konsistensi normalitas tersebut. Penundaan “return of the repressed” ini mensyaratkan penundaan lainnya pada subyek, yaitu penundaan pengetahuan. Segala pengetahuan harus ditangguhkan secara radikal agar simptom bisa berfungsi dengan mulus; artinya, subyek harus rela meredam pertanyaan-pertanyaannya terhadap simptomnya dan menjalaninya secara taken-for-granted, demi konsistensi eksistensinya sehari-hari. Jadi, sebagaimana Žižek tekankan, agar subyek dapat “enjoy your symptom!”, maka subyek tersebut
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
75
harus rela menjadi dungu dan berpura-pura buta terhadap (i)logika yang mendasari simptom tersebut.135
Poin penting yang dapat ditarik untuk sementara, berkaitan dengan supremasi Simbolik dalam kehidupan subyek, adalah bahwa ia ditopang oleh kerelaan sang subyek untuk menjadi dungu (ignorant) dihadapannya. Pertanyaannya adalah, mengapa demikian? Bukankah yang-Simbolik sifatnya absolut? “Rahasia besarnya [psikoanalisis],”136 seperti kata Lacan, adalah karena yang-Simbolik, juga pada dasarnya berkekurangan! Dengan kata lain, yang-Simbolik, sang Lain besar, sebenarnya juga mengalami kegegaran, persis seperti subyek: “there is a fault, hole, or loss therein.”137 Sehingga realitas, sebagai simptom hasil fabrikasi yang-Simbolik, akan selalu ditandai dengan keretakan, kegegaran, kekurangan, atau kontradiksi yang melekat padanya, dan keretakan ini diasumsikan seolah-olah absen oleh subyek yang mendiaminya. 138 Kedunguan terhadap simptom adalah hal penting karena meskipun retak, ketiadaan sama sekali akan simptom justru membawa bencana yang lebih besar. Tidak jarang ungkapan seperti ini terdengar: “kita tahu bahwa negara kita ini korup, pemimpinnya tidak bermoral, namun bagaimanapun juga kita tetap butuh negara.” Lantas keseolah-olahan apa yang ditimbulkan oleh simptom ini?—tidak lain adalah apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai “statolatry,” kepercayaan fetis terhadap negara; seolah-olah hanya negara yang dapat menjadi solusi permasalahan yang dihadapi, meskipun negara itu sendiri bermasalah (bahkan merupakan sumber masalah)—simptom inilah yang dalam studi ini akan penulis bongkar.
135
Bdk. Slavoj Žižek, Enjoy Your Symptom! Jacques Lacan in Holywood and Out (London, NY: Routledge, 1992) 136 Lihat Lacan, sebagaimana dikutip Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London: Routledge, 1999), hal. 39. 137 Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XX. On Feminine Sexuality The Limits of Love and Knowledge, peny. J-A. Miller, terj. B. Fink (NY, London: W.W. Norton & Company, hal. 28. 138 Albert Einstein pernah mengucapkan pernyataan yang senada, “The world is a dangerous place to live, not because of the people who are evil, but because of the people who don’t do anything about it.”
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
76
Secara teknis psikoanalitis, dalam hubungannya dengan ketiga tatanan RiilSimbolik-Imajiner (RSI), simptom merupakan tatanan keempat yang sekaligus menata ketiga tatanan sebelumnya.139 Simptom adalah jalinan kompleks RSI: “The ex-sistence of the symptom is implied by the very position, which supposes this enigmatic link between the imaginary, the symbolic and the real,” kata Lacan.140 Harmoni ketiga tatanan RSI, yang berdampak pada totalitas, stabilitas dan konsistensi realitas, merupakan hasil kerja simptom. Tidak hanya itu, simptom adalah oknum yang mengunci RSI dari ketercerai-beraian. Karena apabila hal ini terjadi, maka stabilitas realitas sosial akan kolaps. Mengapa demikian? Karena realitas adalah simptom itu sendiri, malahan menurut Lacan, “symptom is everywhere.” Lacan, seperti biasa, tidak menjelaskannya secara gamblang sehingga membuat orang harus meraba-raba sendiri—mungkin memang itu yang dimaui Lacan. Namun demikian, pembahasan paling sistematis dapat dilihat pada Seminar XXIII: The Sinthome.141 Secara analitis, symptom bertujuan mengunci Riil, antagonisme fundamental pembawa petaka bagi tatanan; hal ini dilakukannya dengan mendomestifikasi yangRiil ke dalam suatu kontainer imajiner, dan akhirnya menyegelnya dengan penanda simbolik: jadilah apa yang disebut-sebut realitas.142 Jadi, bisa disimpulkan, definisi analitis bagi simptom: manifestasi simbolik atas keutuhan imajiner yang takmungkin.
139
Lacan, Seminar XXIII: The Sinthome, 1975-76, terj. L. Thurston, diterbitkan di Ornicar, 6-11, (1976-1977), hal 16. 140 Ibid., hal 6. 141 Ibid. 142 Bdk. Jacques Lacan, “Seminar 19: Wednesday, May 10, 1967,” dalam Seminar 14: The Logic of Fantasy. (Naskah tidak diterbitkan).
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
77
Gambar II.3 Topologi Psike Manusia dan Letak Simptom
Efek normal dari realitas yang mampu dihasilkan simptom, berikutnya, merupakan hasil dari upaya yang-Simbolik untuk membuat yang-Riil dapat “ditolerir” dan tidak dipertanyakan oleh subyek-subyek yang mendiami realitas tersebut. Upaya ini, meminjam David Harvey, merupakan upaya “irrational rationalizing of the irrational.”143 Namun demikian adalah terlalu gegabah untuk mengasosiasikan
simptom
sebagai
kebohongan,
yang
berusaha
membuat
pembenaran-pembenaran rasional. Pandangan ini seolah-olah mengasumsikan bahwa kebenaran bisa tampil secara vulgar dan vivid; sebaliknya, kebenaran adalah suatu ketidak-mungkinan bagi realitas Simbolik; kebenaran selalu merupakan kategori yang-Riil—yang selalu menolak simbolisasi. 144 Namun demikian justru ketidakmungkinan inilah yang membuat kebenaran muncul dalam realitas: “I always tell the truth. Not the whole truth, because one can’t. To say everything is impossible, there’re not enough words. It’s this impossibility which brings truth close to ‘the real’”145 Jadi, akan lebih “aman” untuk memahami simptom sebagai kebenaran yang 143
David Harvey, “The Crisis Now,” disampaikan dalam simposium Marxism 2009, Bloomsbury, 5 Juli 2009. [Video] 144 Eminem, penyanyi rap dari Amerika Serikat, secara tak sengaja memaparkan inspirasi lagu terkenalnya Real Slim Shady yang agaknya sejalan dengan nada Lacanian, “[T]he true one is the only one that cannot stand up, the only one who will deny that he is the true one. So the true one can never be found because he will deny his own truth.” Eminem, ‘The Real Slim Shady’, on Marshall Mathers (European Union: Records for The Universal Music Company, 2000). 145 Jacques Lacan, dalam Astra Taylor, Žižek!, (CA: Zeitgeist Films, 2005). [Film Dokumenter]
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
78
terkodekan dalam suatu kebohongan, karena sulit dipungkiri, secara psikoanalitis, bahwa “the truth has no other form than the symptom”146—simptom adalah satusatunya jalan bagi kebenaran untuk dapat “dipahami”.
Konsekuensi Subyek Lacanian “It is nonetheless true that the philosophical cogito is at the centre of the mirage that renders modern man so sure of being himself even in his uncertainties about himself, and even in the mistrust he has learned to practise against the traps of self-love.” Jacques Lacan147 “The problem for us is not ‘are our desire satisfied or not’. The problem is ‘how do we know what we desire?’ There is nothing spontaneous, nothing natural about human desires. Our desires are artificial. We have to be taught to desire.” Slavoj Žižek148
Subyek Lacanian adalah subyek yang terkutuk untuk terus-menerus menghasrati. Dalam artian ini, subyek Lacanian adalah homo desiderare.149 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, berpartisipasinya diri ke dalam Kompleks Odipus, selain memberinya ‘ego’ (dari Imajiner) dan ‘subyek’ (dari Simbolik), sang diri juga mendapat luka abadi (blessure) yang traumatik sebagai akibat dipaksakannya atribut Imajiner dan Simbolik kepada diri pra-odipal yang-Riil. Luka inilah yang membuat diri menjadi senantiasa gegar dan berkekurangan, senantiasa berlubang (void), dan pada gilirannya membuat sang diri terus-menerus memproduksi hasrat terhadap apapun yang dapat “menambal” (suture) lubang (void) kekurangan tersebut dan memberinya perasaan ke-diri-an yang utuh. Sayangnya sang diri tidak tahu harus menghasrati apa, sehingga ia selalu berpaling kepada ‘yang lain’ untuk
146
Lacan, “Seminar 19...”. Lacan, Écrits, hal. 165. 148 Kalimat ini diteruskan dengan, “Cinema is the ultimate pervert art. It doesnt give you what you desire. It tells you how to desire.” Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film, (London: Mount Pleasant Studios, 2006). [Film Dokumenter] 149 Istilah ini dikembangkan dengan sangat baik oleh Alfathri Adlin, “Homo Desiderare: Libdinal dan Karnal dalam Ruang-Hidup,” dalam A. Adlin, peny., Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi-Perspektif (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hal. 59-114. 147
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
79
bertanya: “che vuoi?”, “kamu mau aku menjadi/melakukan apa?”150 Sang diri membutuhkan mediasi ‘yang lain’ untuk berhasrat, untuk meniru hasratnya, bahkan untuk menjadi yang dihasrati oleh ‘yang lain’.151 Freud setidaknya melihat dua bentuk hasrat: yaitu narsistik dan anaklitik.152 Hasrat narsistik, sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah hasrat untuk menjadi sesuatu yang eksternal dari dirinya, yaitu ‘yang lain’ yang terefleksikan di citraan cermin, demi sebuah perasaan ke-diri-an yang utuh, manunggal dan integral. Perasaan ini berikutnya akan memberikan kepuasan kepada diri karena dengannya diri memperoleh pengakuan eksistensi, bahkan cinta kasih dari orang-orang sekitarnya— ‘yang-Lain’. Sedikit berbeda, hasrat anaklitik merupakan suatu libido berobyek. Apabila hasrat narsistik selalu berkaitan dengan kemenjadian, maka hasrat anaklitik merupakan hasrat akan kepemilikan; jika hasrat narsistik berkaitan dengan transformasi diri, maka hasrat anaklitik dengan atributasi diri dengan rupa-rupa pernak-pernik yang dapat memuaskan diri. Namun demikian keduanya tidak benarbenar terpisah, sumber dari segala hasrat adalah hasrat narsistik, yang pada hakikatnya adalah hasrat untuk bertahan hidup; kepuasan hakiki adalah kepuasan hidup. Kepemilikan benda-benda akibat pemuasan hasrat anaklitik, pada akhirnya juga diarahkan demi memperkuat citra-diri narsistik. Hal ini demikian karena diri menghasrati suatu barang tertentu karena barang tersebut telah terlebih dahulu dihasrati oleh orang lain—dan (nampaknya) berhasil memuaskannya. Jadi diri ingin memperoleh kepuasan serupa sebagaimana dialami orang lain tersebut, yaitu dengan cara meniru hasratnya.
Studi kali ini akan memusatkan perhatian pada hasrat nasrsistik subyek Lacanian ini, dan mencoba menilik lebih jauh konsekuensinya. Dua, dari sekian 150
Lacan, Écrits, hal. 312. Lihat juga Slavoj Žižek, Sublime, bab 3. Uraian kritis tentang ini lihat Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: Komunitas Aksi Sepihak, 2009), hal. 211-28. 151 René Girard, Deceit, Desire and the Novel: Self and Other in Literary Structure, terj. Mensonge romantique. (Baltimore, London: Johns Hopkins University Press, 1966). 152 Sigmund Freud, “On Narcissism: An Introduction (1914),” dalam The Standard Edition, vol. XIV.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
80
banyak, konsekuensi akan penulis soroti kali ini yaitu: 1) subyek fasis-paranoid, yang selalu merasa insecure akan identitas ke-diri-an, dan selalu berusaha memperkuat, memagari, membentengi bahkan melakukan antisipasi agresif akan identitas lain yang dikira akan mengkontaminasi identitas ke-diri-annya; 2) abyeksi, atau ekslusi obyek atau entitas lain yang mengganggu—dari perspektif subyek, yang akan selalu mengiringi proses subyeksi abadi diri oleh otoritas Simbolik.
Deleuze & Guattari: dari ilusi kepenuhan eksistensial sampai fasis-paranoid “We must abandon, once and for all, the quick and easy formula: ‘Fascism will not make it again.’ Fascism has already ‘made it’, and it continues to ‘make it.’ ... [It] finds its energy right at the heart of everyone’s desire.” Félix Guattari153
Berangkat dari posisi berbeda dari Lacan, 154 Gilles Deleuze dan Félix Guattari memandang hasrat tidak sebagai suatu dorongan (drive) yang berpusar pada gagasan tentang kekurangan (lack), sebaliknya hasrat dianalogikan sebagai mesin: hasrat adalah selalu mesin-hasrat (desiring machine).155 Analogi mesin ini sejalan dengan pandangan keduanya bahwa hasrat pada dasarnya adalah sesuatu yang produktif dan aktif bermultiplikasi tanpa henti. Hasrat adalah suatu aliran (hyle) skizofrenik liar yang berkesinambungan yang terus menerus memproduksi aliran-aliran hasrat lainnya; produksi a la mesin-hasrat adalah produksi demi produksi.156 Adalah Kompleks Odipus yang berusaha menjinakkan aliran hasrat ini, mengkanalisasinya sedemikian rupa mengikuti kanal-kanal kultural Simbolik—“Oedipus presupposes a fantastic repression of desiring-machines.”157 Malahan, adalah Odipus yang mengajari 153
diri
untuk
menghasrati
represi
terhadap
diri
sendiri.
Odipus
Félix Guattari, “Everybody Wants To Be A Fascist,” terj. S. Fletcher, Semiotext(e) II(3), hal.
87–98 154
Untuk diskusi seputar hubungan Lacan dan Deleuze-Guattari, terutama dalam hal kritik Deleuze-Guattari ke psikoanalisis Lacanian, penulis memperoleh banyak pandangan berharga dari Martin Suryajaya, Geger Riyanto, Ken Kumbara dan Gede Indra Pramana. Namun demikian, interpretasi Lacanian atas Deleuze-Guattari di sini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 155 Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. R. Hurley, M. Seem dan H. Lane (London: Athlone Press, 1984), hal. 1-2. 156 Ibid., hal. 36. 157 Ibid., hal. 3.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
81
memperkenalkan gagasan pantang, kontrol, pengekangan diri, dan mekanismemekanisme represi lainnya yang tak lain ditujukan pada pembentukan subyek dewasa. Odipus jugalah yang mengajarkan diri untuk menyerahkan dirinya kepada perbudakan Simbolik, memberi dirinya untuk ditato oleh atribut-atribut kultural, dan merelakan dirinya untuk menderita karena pengekangan diri demi memperoleh citra diri ideal. Hal ini demikian karena realitas kultural Simbolik mensyaratkan penjinakan hasrat liar subyek-subyeknya, agar selanjutnya dapat dikontrol, diarahkan, dikanalisasi dan diteritorialisasi bagi, misalnya, “perkembangan peradaban,” atau “demi nusa dan bangsa,” atau “menegakkan demokrasi.” Sejarah dengan demikian, dari sudut pandang Kompleks Odipus, adalah sejarah penjinakan hasrat.
Benih-benih fasis, atau yang mereka sebut ‘mikrofasisme’, telah disemai semenjak diri memperoleh predikat Odipus.158 Sehingga dari perspektif ini, Fasisme tidak sebaiknya dilihat dari manifestasi historisnya (Hitler, Nazi, Musolini, dst.), melainkan justru yang lebih berbahaya, yaitu “Fascism in us all, in our heads and in our everyday behavior, the fascism that causes us to love power, to desire anything that dominates and exploits us.”159 Fasisme telah selalu ada pada semua orang, semenjak semua orang selalu-telah berpartisipasi pada Kompleks Odipus, hanya saja fasisme tersebut belum mengkristal pada sosok simbol/pemimpin sebagaimana yang terjadi pada Italia dan Jerman tahun 1940an. “Everybody wants to be a fascist,”160 klaim Guattari. Jadi, kristalisasi fasisme tidak selalu berpusar pada pembentukan Führer atau negara kuat, “Fascism, like desire, is scattered everywhere, in separate bits and pieces, within the whole social realm; it crystallizes in one place or another, depending on the relationships of force. ... to connect the social libido, on every level, with the whole range of revolutionary machines of desire”161
158
Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Thousand Plateus: Capitalism and Schizophrenia, Vol II, terj. B. Massumi (London: University of Minnesota Press, 1987), hal 9-10. 159 Michel Foucault, “Preface,” dalam Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. xi-xiv. 160 Guattari, “Everybody...”. 161 Guattari, “Everybody...”, hal. 98.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
82
Deleuze dan Guattari, melalui bukunya, berusaha memberikan perlawanan keras terhadap Odipus fasis ini: Anti-Oedipus.
Secara umum, Deleuze dan Guattari menggolongkan hubungan subyek dengan
aliran
hasratnya
kedalam
dua
kutub
besar:
paranoid-fasis
dan
skizorevolusioner.162 Paranoid-fasis menghimpun dan menginvestasikan aliran hasratnya
kepada pembentukan
suatu
kedaulatan
sentral
(Odipus),
lantas
menetapkannya sebagai muara terakhir bagi aliran-aliran hasratnya. Tidak hanya ini, paranoid-fasis berusaha memagari kedaulatannya secara defensif, bahkan secara agresif menyerang setiap ancaman yang dikira dapat mengganggu status quo kedaulatannya. Paranoid-fasis adalah diri yang terkontaminasi dengan kekerasan abadi, karena seperti kata Jacques Derrida, “the determination of the self as One, is violence” karena “the One makes it self violence. It violates and does violence to itself but it also institute itself as violence. It becomes what it is, the very violence—that it does to itself.”163 Pada kutub skizorevolusioner, yang terjadi adalah sebaliknya: seluruh penghalang aliran hasrat dilanggarnya; hasrat dibiarkan mengalir tak terbendung dan secara aktif bermultiplikasi. Skizorevolusioner merupakan kebalikan (bahkan lawan) dari Odipus yang paranoid-fasis: “The revolutionary is the first to have the right to say: ‘Odipus? Never heard of it’.”164
162
Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. 277. Jacques Derrida, Archive Fever: A Freudian Impression, terj. Eric Prenowitz (Chicago & London, The University of Chicago Press, 1995), hal 78. Adalah gegabah untuk menghubungkan prilaku pemuasan hasrat melalui kekerasan terhadap diri sendiri ini dengan prilaku seksual “menyimpang” (perversi) yang biasa disebut ‘masokisme’. Masokisme, sebagaimana Sacher-Masoch, bukanlah suatu perversi, melainkan perlawanan!—perlawanan terhadap hukum-hukum natural (patriarkal) yang sedang berlaku atasnya. Masokisme merupakan tindakan memperolok sang hukum berikut otoritas Simbolik dengan cara memberi dirinya disakiti dan didera oleh hukum, dan alih-alih mengeluh, subyek malah mengekstrak kenikmatan darinya. Terakhir, masokis tidak memberi dirinya didera oleh sembarang orang, melainkan oleh orang-orang yang telah terjalin ‘kontrak’ dengannya; masokisme adalah hubungan kontraktual antara sang masokis dan sang penderanya. Lihat Gilles Deleuze, “From Sacher-Masoch to Masochism,” terj. C. Kerslake, Angelaki: Journal of the Theoretical Humanities, 9(1) (April, 2004), dan Žižek, Ticklish, hal. 279-82. 164 Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. 96. 163
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
83
Sampai di sini sekiranya cukup jelas bahwa fasisme merupakan suatu tindakan antisipatif agresif untuk “menyembuhkan” suatu kegelisahan paranoid akan kehilangan identitas ke-diri-an dengan cara mengkonstruksi fantasi tentang identitas yang utuh, murni, dan superior. Kerinduan narsistik akan identitas utuh seperti ini merupakan konsekuensi logis dari diri-sosial sebagai “lulusan” Kompleks Odipus. Dengan kata lain, narsisme merupakan bibit awal fasisme. Kontinuitas ini akan kabur dari pandangan apabila analisis mengisolasi fasisme sebagai semata-mata suatu gerakan massa idiologis yang terpusat kepada seorang pemimpin totaliter, dst. Fasisme adalah perkara hasrat;165 kegagalan melihat fasis sebagai intensifikasi hasrat narsistik akan berbuntut pada kegagalan melihat totalitarianisme fasistik sebagai konsekuensi tak terelakkan dari kebudayaan Simbolik yang sedang berlangsung saat ini,
yang
melaluinya,
setiap
menit
subyek
Odipus
dilahirkan.
Guattari
memperingatkan, “a struggle against the modern forms of totalitarianism can be organized only if we are prepared to recognize the continuity of this machine,”166 dan senada dengan penjelasan penulis, hal ini demikian karena “what fascism set in motion yesterday continues to proliferate in other forms, within the complex of contemporary social space.”167
Pada studi kali ini, penulis berusaha melihat kontinuitas narsisisme dan fasisme yang melekat pada subyek Odipus, yang kemudian berkembang menjadi semangat-semangat republikanisme. Dua contoh semangat republikanisme yang mendapat lampu sorot dalam studi ini adalah republikanisme yang memanifestasi pada pembentukan negara berdaulat modern, dan republikanisme kontemporer—atau
165
Bahkan menurut Žižek, hanya psikoanalisis yang mampu memahami mekanisme fasis ini dengan jelas, bahkan mengantisipasinya. Hal ini demikian karena psikoanalisis mampu menawarkan “a model of disidentification, of freedom from an enchantment with fascist enjoyment, which is not the model of the naїve leftist enlightenment critique.” Lihat Slavoj Žižek, “Everything Provokes Fascism: an interview with Slavoj Žižek,” Assemblage, 33 (Agustus, 1997), hal 63. 166 Guattari, “Everybody...”, hal. 92. 167 Ibid., hal. 93.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
84
‘republikanisme posmodern’168—sebagaimana penulis lihat pada semangat Global War on Terror Amerika Serikat semasa pemerintahan George W. Bush, Jr.
Butler dan Kristeva: Dari subyeksi sampai abyeksi “The abject has only one quality of the object—that of being opposed to I. ... ‘I’ want none of that element, sign of their desire; ‘I’ do not want to listen, ‘I’ do not assimilate it, ‘I’ expel it.” Julia Kristeva169
Konsekuensi subyek Lacanian berikutnya adalah abyeksi (abjection). Adalah Julia Kristeva, dan berikutnya diteruskan Judith Butler, yang membawa khazanah abyeksi dalam diskusi seputar proses-proses formasi subyek melalui imposisiimposisi dari otoritas kultural Simbolik—subyeksi. Bagi Kristeva (dan Butler), subyeksi dan abyeksi merupak hal yang tak terpisahkan, ibarat dua sisi pada satu koin. Subyeksi selalu mensyaratkan abyeksi; dan sebaliknya abyeksi merupakan konsekuensi tak terelakkan dari subyeksi. Subyeksi merupakan proses penggambaran (delineation) batas-batas demarkasi diri sang subyek oleh otoritas Simbolik; proses dari diri menjadi (becoming) suatu ‘subyek’.170 Otoritas Simbolik, dengan demikian menentukan yang mana subyek dan yang mana nir-subyek; yang mana aku dan niraku. Jadi, adalah otoritas Simbolik yang memberikan “criteria of intelligibility which produce and vanquish bodies that matter.”171
Proses penggambaran kriteria demarkasi subyek ini, semenjak ia yang mengkualifikasi dan mendiskualifikasi tubuh, mensyaratkan suatu mekanisme inklusi/eksklusi: meng-inklusi elemen-elemen yang “sah” sebagai subyek, dan mengeksklusi elemen-elemen yang “tidak sah” sebagai non-subyek. Ekslusi inilah yang disebut Kristeva sebagai abyeksi—proses penyingkiran, penolakan, pembuangan atau deteritorialisasi secara permanen akan “‘something’ which I do not recognize as a
168
Paul A.Passavant, “Introduction: Postmodern Republicanism,” P.A. Passavant dan J. Dean, Empire’s New Clothes: Reading Hardt and Negri (NY, London:Routledge, 2004), hal 1-20. 169 Julia Kristeva, The Powers of Horror: An Essay on Abjection, terj. L. S. Roudiez (NY: Columbia Uni Press, 1982), hal. 1 dan 3. 170 Butler, The Psychic, hal. 2. 171 Butler, Bodies, hal. 14.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
85
thing.”172 Seperti petikan epigraf di atas, abyek adalah yang mewakili segala gagasan yang bukan “aku”, sehingga “aku” pun jijik akannya, tidak sudi bersentuhan dengannya, menolak membayangkan tentangnya. Abyek adalah segala sesuatu yang mengganggu pertama-tama identitas subyek, dan berikutnya seluruh tatanan sistem subyeksi Simbolik. Dalam pengertian ini, abyek bisa diasosiasikan dengan monster, sebagaimana Richard Devetak, “Monsters have thus been a visible and disturbing presence. They symbolise deviance, madness, depravity, brutality, violence, and are thought to threaten civilisation and social order.”173
Menyambung pembahasan sebelumnya tentang hasrat narsistik akan dominasi suatu penanda identitas ke-diri-an, maka subyeksi, yang darinya subyek memperoleh penanda identitas ke-diri-annya, merupakan proses yang dihasrati subyek. Semenjak subyeksi dan abyeksi merupakan dua hal tak terpisahkan, maka sang subyek juga tentunya menghasrati abyeksi. Kristeva menyadari ini, “[a]bjection, ... is a preconditon of narcissism.”174 Jadi, “The more or less beautiful image in which I behold or recognize myself rests upon an abjection that sunders it...”175; semakin subyek mengagumi dan mencintai identitas ke-diri-annya, maka semakin bencilah ia terhadap abyeknya. Alasannya sederhana, dalam abyek, subyek melihat horor: ketiadaan dirinya, keruntuhan makna yang diyakininya, instabilitas tatanan yang menyanggahnya, irasionalitas yang menghantui nalarnya, bahkan kematiannya.
Dalam kategori Lacanian, abyek berasal dari ranah-Riil. Dalam proses formulasi simptom (subyek atau realitas) Lacanian, adalah abyek yang disingkirkan (foreclose) dan disangkal (disavow) dari tatanan Simbolik yang sedang berlangsung karena keberadaannya yang mengancam stabilitas, normalitas dan keberlangsungan simptom. Alhasil, abyek terdesak masuk ke dalam ranah ketaksadaran. Akhirnya,
172
Kristeva, The Powers, hal. 2. Richard Devetak, “The Gothic scene of international relations: ghosts, monsters, terror and the sublime after September 11,” Review of International Studies, 31, (2005), 633. 174 Kristeva, The Powers, hal. 13. 175 Ibid. 173
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
86
sebagaimana telah dibahas, simptom menggunakan penanda simbolik untuk menguncinya, menormalisasinya, dan berusaha mengkanalisasi ekses-eksesnya ke muara-muara yang dapat “ditolerir” secara kultural. Proses normalisasi ini pada titik “kematangan”
tertentu
akan
mengubah
simptom
tersebut
menjadi
suatu
metafisika/logosentrisme tersendiri. Sebagaimana metafisika, simptom menjadi tidak dipertanyakan, subyek akan membuat pembenaran-pembenaran apologetik akan kontradiksi simptom, ritual-ritual simptom akan dijalankan secara rutin, dan abyek akan terus dikutuk-kesumat.176 Terjadi skandal antara subyek dengan simptomnya untuk terus-menerus merepudiasi abyek demi kebaikan bersama—subyek dengan realitasnya. 177
Penting bagi penulis untuk menghadirkan pula pemikiran Luce Irigaray tentang yang-feminin sebagai yang tereksklusi dari metafisika phallogosentrisme.178 Adalah metafisika phallogosentrisme yang memproduksi, meminjam Butler, “kriteria ideal” yang meregulasi dan mengkualifikasi tubuh sebagai yang sah atau tidak.179 Irigaray memperingatkan (utamanya kaum feminis) untuk tidak terjebak pada kriteria yang-feminin (lemah lembut, emosional, anggun, dst.) sebagaimana diproduksi oleh metafisika phallogosentrisme, atau yang disebutnya feminin spekular (specular feminine).180 Feminine spekular diproduksi atau “dispekularisasi” secara simetris dengan takaran yang-maskulin (kuat, rasional, gagah, jantan, dst), untuk kemudian disubordinasi sebagai “kelas dua”: Irigaray memformulasikan, “A man minus the 176
Kristeva juga menguhubungkan abyeksi dengan gagasan relijiusitas. Abyeksi selalu emngiringi perkembangan agama-agama dunia dalam bentuk yang secara relijius disebut-sebut ‘tabu’, dan dalam ritus pemurnian diri (pantang, puasa, pengakuan dosa, penengkingan setan, permohonan ampunan, dan tentu saja, pertobatan). Lih. Ibid., hal. 17 dan terutama Bab 4. 177 Bdk. Ibid., hal. 20. 178 Phallogosentrisme merupakan gabungan dari phallus dan logosentrisme. Phallus menandakan otoritas maskulin, sementara logosentrisme merupakan metafisika yang mendasari otoritas phallus/maskulin tersebut. 179 Inilah politik tubuh bagi Butler, yaitu penguasaan wacana tentang bagaimana bentuk tubuh yang seharusnya, bagaimana postur/fungsi tubuh yang seharusnya, apa saja anggota tubuh yang seharusnya, dst. Perbincangan menarik tentang ini lihat sesi percakapan Judith Butler dan seniman “cacat” asal Kanada Sunaura Taylor dalam Astra Taylor, Examined Life: Philosophy Is in the Streets! (Zeitgeist Films, 2008). 180 Luce Irigaray, The Speculum of the Other Women, terj. G.C. Gill (Ithaca, NY: Cornell Uni Press, 1985)
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
87
possibility of (re)presenting oneself as a man = a normal woman.”181 Sehingga siapapun yang ingin menjadi “kelas satu”, apapun jenis kelaminnya, ia harus mengidentifikasi diri dengan yang-maskulin. Jadi apabila feminin spekular ini yang menjadi basis pergerakan emansipasi (perempuan), maka sudah pasti ia hanya memperkuat metafisika phallogosentrisme dominan. “Woman does not exist,” seruan terkenal Lacan.182 Irigaray pun bernada serupa, “‘She’ neither has nor is a being”.183 Seruan ini penulis kira bukan sematamata seruan patriarkal maskulin-sentris, semenjak yang-maskulin dan yang-feminin adalah selalu bentukan wacana patriarkal maskulin/phallogosentrisme. Sebaliknya, seruan tersebut adalah peringatan bahwa kategori ‘yang-feminin’ sejatinya tidak dikenal oleh wacana patriarkal phallogosentrisme. Yang-feminin adalah abjek bagi masukulin-feminin spekular. Yang-feminin bagi Irigaray adalah sesuatu yang eksesif, sesuatu yang luput dari spekularisasi kekuasaan patriarkal dominan. Yang-feminin tidak terkungkung tubuh biologis saintifik yang berpayudara, bervagina, dst.— “women, science’s unknown”.184 Yang-feminin adalah yang ditakutkan oleh phallogosentrisme, karena keberadaannya mengganggu stabilitas, normalitas dan kontinuitas tidak hanya akan kekuasaannya, melainkan juga ontologi keberadaanya; yang-feminin adalah “those females who can wreck the infinite”185. Yang-feminin, dalam hal ini, adalah berasal dari yang-Riil. Sehingga wajar bahwa yang-feminin akan selalu “dikejar-kejar” dan diburu oleh aparat Simbolik untuk didomestifikasi, direhabilitasi—untuk menjadi perempuan yang sakinah (mungkin), atau bahkan dilenyapkan sama sekali.
181
Irigaray, Ibid., hal. 27. Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XX. Encore 1972-1973. On Feminine Sexuality The Limits of Love and Knowledge, peny. J-A. Miller, terj. B. Fink (NY, London: W.W. Norton & Company, 1998), hal. 7. Žižek berseloroh menambahkan, “so if woman does not exist, man is perhaps simply a woman who thinks that she does exist.” Žižek, The Sublime, hal. 82. 183 Luce Irigaray, Marine Lover of Friedrich Nietzsche, terj. G.C. Gill. (New York: Columbia University Press, 1991), hal. 86. 184 Irigaray, Ibid., hal 13. 185 Kristeva, The Powers, hal 157. 182
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
88
Dari Irigaray, melengkapi Kristeva dan Butler, dipahami bahwa gagasan abyek selalu merupakan gagasan yang diproduksi oleh otoritas Simbolik dominan. Ia tidak ada begitu saja, melainkan diciptakan sedemikian rupa untuk diinjak, dieksklusi dan disingkirkan. Namun paradoksnya, justru tindakan eksklusi ini yang menjadi unsur konstitutif bagi keberadaan subyek.186 Penciptaan dan eksklusi abyek merupakan conditio sine qua non bagi eksistensi subyek. Selama ada subyek, maka akan ada abyek. Terdapat hubungan yang sangat “intim” antara subyek-abyek ini, atau lebih tepatnya meminjam Lacan, “ekstim”—intimitas eksterior.187 Ekstimitas inilah yang menjadi fokus studi penulis kali ini: tentang ekstimitas antara negara berdaulat modern dengan entitas-entitas abyek yang dieksklusinya dalam perjanjian Westphalia 1648; dan juga tentang ekstimitas antara Amerika Serikat yang ingin mengembalikan kedigdayaanya dengan tidak hanya teroris, tetapi juga sebagaimana yang akan penulis tunjukkan, demokrasi dan kemanusiaan secara umum.
II. 3. Psikogenealogi “Every truth has the structure of fiction. ... Once the separation between the fictitious and the real has been effected, things are no longer situated where one might expect” Jacques Lacan188 “Truth is a thing of this world. ... Each society has its regime of truth, its ‘general politics’ of truth: that is, the types of discourse which it accepts and makes function as true.” Michel Foucault189
Bagian ini merupakan muara dari kedua teori yang penulis bahas sebelumnya—yaitu teori rezim dan teori psikoanalisis, sekaligus upaya intelektual penulis untuk menyusun suatu kerangka analisis baru yang sesuai untuk menganalisis 186
Hal serupa juga terjadi dalam kajian HI. Lihat Jane L. Parpart dan Marysia Zalewski, peny., Rethinking the Man Question: Sex, Gender and Violence in International Relations (London, NY: Zed Books, 2008). 187 Jacques Lacan, The Seminar. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis, 1959-60, peny. J .-A. Miller, terj. D . Porter, NY, London: W.W. Norton & Company, 1992), hal. 139. 188 Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis (19591960), peny. J-A. Miller, terj. D. Porter (NY: W.W. Norton & Company, Inc., 1992), hal. 12. 189 Michel Foucault, “Truth and Power”, dalam Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 131.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
89
suatu rezim secara umum, dan rezim kedaulatan secara khusus (dan rezim kedaulatan dalam studi ini lebih spesifiknya). Kerangka analisis baru ini penulis sebut sebagai psikogenealogi. Sebagaimana tersirat dari namanya, psikogenealogi merupakan gabungan antara psikoanalisis dan genealogi, lebih spesifiknya, psikoanalisis Lacanian dan genealogi Foucauldian.190 Dengan genealogi, Foucault tidak bermaksud analisis tentang asal-usul. Lebih dari itu, genealogi merupakan analisis tentang peristiwa apa saja yang terjadi pada asal-usul tersebut, atau dalam kalimat Foucault, “genealogi akan mengembangkan rincian dan peristiwa yang menyertai setiap permulaan.”191 Genealogi merupakan sejarah masa kini (history of the present), ia mencari tahu bagaimana situasi yang dianggap normal, baik, wajar dan lazim di masa kini bisa dimungkinkan. Bagi Foucault, sejarah adalah proses normalisasi; yang normal telah dan akan selalu menjalani suatu proses untuk dijadikan normal; tidak ada sesuatu yang normal dengan sendirinya. Dengan demikian, genealogi Foucauldian berusaha melacak suksesi suatu diskursus yang saat ini dianggap normal dalam kaitannya dengan konstelasi kekuasaan di masanya. Sejarah merupakan pertarungan wacana merebut tahta “kebenaran” yang hegemonik; sejarah penguburan wacana-wacana yang kalah; sejarah stigmatisasi rendah wacana-wacana minor.
Psikogenealogi, dengan demikian, melihat pertarungan wacana untuk menjadi rezimik dan hegemonik sebagai pertarungan subyek-subyek hasrat untuk menjadikan mode hasratnya sebagai suatu hasrat yang normal, yang wajar, yang sah, yang valid,
190
Foucault memang sangat benci pada psikoanalisis. Namun demikian bukan berarti sintesis di antara foucauldianisme dan psikoanalisis adalah tidak mungkin dilakukan. Jika Foucault menolak melakukannya, bukan berarti orang lain, penulis misalnya, dilarang melakukannya. Penulis justru melihat potensi besar dalam penggabungan keduanya. Judith Butler juga melakukan sintesis keduanya, walaupun dengan cara yang berbeda dari yang penulis lakukan. Butler lebih menekankan bagaimana kekuasaan a la Foucault memproduksi psikis yang patuh, sementara penulis lebih menekankan kontestasi kekuasaan Foucault yang menurut penulis merupakan kontestasi subyek gegar Lacanian untuk memperoleh perasaan ke-diri-annya yang utuh. Lihat Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press, 1997), hal. 197-8. Untuk posisi Foucault terhadap psikoanalisis, lihat Michel Foucault, “The Confession of the Flesh,” dalam M. Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 192-228. 191 Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy dan Sejarah,” dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Politik, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 325.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
90
dan yang universal. Sejarah, dengan demikian, merupakan pertikaian subyeksubyek tersebut dalam upayanya untuk saling mengabyeksikan, menyingkirkan, mendeteritorialisasi satu sama lainnya. Sejarah adalah clash among fascists: siapa yang kalah, ia tersingkir dan dilenyapkan zaman; siapa yang menang, ia menjaga keutuhan dan kesinambungan eksistensi dirinya.
Perjuangan fasistik adalah perjuangan paranoid untuk selalu mengantisipasi kehancuran identitas ke-diri-an dengan tak kenal lelah membangun diri yang (lebih) kokoh dan (lebih) sempurna. Semenjak ia bersifat paranoid, bayang-bayang ketiadaan eksistensial akan selalu membayangi subyek fasis tersebut, dan pada gilirannya akan senantiasa mendorongnya untuk melakukan mekanisme antisipasi defensif. Mekanisme pertahanan fasis sebaiknya dipahami sebagai sesuatu yang agresif dan membabi-buta ketimbang sesuatu yang pasif dan bersifat menunggu. Sisi paranoid dari fasis membuatnya tidak tahu dengan pasti sumber kegelisahan eksistensialnya: apa, siapa, kapan dan dari mana ancaman teror akan identitas ke-diri-annya berasal adalah hal yang tidak jelas baginya; yang jelas: “diri saya sedang dalam bahaya!” Teror akhirnya masuk dan mengkontaminsai sistem kesadaran. Kekerasan teror itu sendiri pada akhirnya direproduksi terus-menerus secara membabi-buta, korban berjatuhan, diri semakin terluka: inilah kerinduan fasistik.192 Subyek fasis tak lain adalah “gila perang” dan “gila kekuasaan.”
Dengan mendekati perjuangan fasisme secara psikogenealogis, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa inti perjuangan fasis adalah ide, yaitu ide tentang ke-diri-an yang utuh. Fasisme adalah perjuangan ideal. Berbicara tentang yang-ideal, maka tidak akan bisa dilepaskan dari fase cermin Lacanian. Yang-ideal adalah selalu imaji yang disediakan oleh cermin bagi diri; yang-ideal adalah selalu berupa citraan. Yang-ideal ini akan memberi tahu diri seperti apa (dan yang bukan seperti) yang seharusnya diupayakan oleh diri, atau dengan kata lain, yang-ideal memberi tahu yang mana 192
Slogan Fasis, sebagaimana Žižek: “enough of enjoyment, enough of debauchery: a victim is necessary.” Žižek, “Everything...”, hal 63.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
91
subyek dan yang mana abyek, yang mana “ada” dan yang mana “tiada.” Citraan cermin yang-ideal akan menunjukkan tindakan apa yang seharusnya dilakukan diri, seperti apa diri harus tampak, pakaian apa yang harus diri pakai, kata-kata apa yang harus diucapkan diri, pose apa yang harus sering diperagakan diri, bahasa apa yang harus dipergunakan diri, dst. Citra ke-diri-an ideal—penanda utama (master signifier) bagi Lacan—inilah yang mati-matian dikejar oleh sang diri fasis. Semakin cermin ini menunjukkan citraan yang jauh berbeda dari kondisi diri saat ini, semakin getir kegelisahan diri akan ke-diri-annya, dan semakin gigih ia mengupayakan terwujudnya citra tersebut bagi dirinya.
Diri, dengan demikian, menjadi alat yang menghamba dan melayani kepentingan perjuangan sang fasis demi ide ke-diri-an yang utuh ini. Inilah pentingnya melingustisasi “diri” sebagaimana penulis tekankan di awal bab ini; melepaskan “diri” dari rujukan biologisnya yang berupa tubuh manusia; diri adalah efek bahasa, efek kekuasaan, efek Simbolik dominan. Kegagalan atribut-atribut simbolik memberi “diri” bagi sang fasis inilah yang senantiasa menjadi tanah subur bagi berkembangnya kegelisahan eksistensial paranoid. Tidak hanya itu, sang fasis pun akan kembali dan kembali meminta “pertanggungan-jawab” dari yang-Simbolik untuk memberi “diri” yang lain dalam bentuk apapun—mulai payudara silikon, alat kelamin baru, busana bermerk, tubuh kekar six pack, sampai komunitas, agama, negara, dan organisasi internasional—yang dapat menenangkan kegelisahan eksistensialnya. Fasis akan terus berupaya mengamankan, bahkan memperluas gestalt diri-nya sampai tak terhingga, sepanjang hal itu memberikan perasaan ke-diri-an yang utuh bagi sang fasis. Diri, akhirnya, tak lain adalah mesin perang fasis untuk memperjuangkan gagasan ke-diri-an yang utuh, dan nama lain bagi gagasan kediri-an yang utuh ini tak lain adalah kedaulatan.193 Dalam studi ini penulis akan
193
Untuk ini, penulis amat berhutang pada ide Richard Dawkins yang melihat manusia sematamata sebagai kendaraan (vehicle) bagi gen-gen kultural—yang disebutnya meme—untuk bereplikasi, dan bereplikasi, dan bereplikasi secara terus-menerus. Dua buku seminalnya, Richard Dawkins, The Extended Phenotype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi (Oxford: Oxford Uni Press, 1989)
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
92
menunjukkan bagaimana tubuh manusia dan negara hanya semata-mata merupakan kontainer sementara bagi ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat. Studi ini juga akan menunjukkan kontinuitas di antara keduanya, dan bahkan memprediksikan kontinuitas ide ke-diri-an pasca negara gagal mengemban tugasnya dalam memelihara ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat tersebut.
Jadi, secara analitis, gambar besarnya adalah sebagai berikut: Semenjak subyek dicirikan secara ontologis dengan kegegarannya, maka ia akan senantiasa mengkonstruksi fantasi untuk mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela menundukkan diri di bawah fantasi tersebut. Fantasi tidak akan pernah habis, sama seperti kekurangan fundamental manusia yang abadi. Ada saatnya fantasi keutuhan itu dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan tribal, nasional, bahkan seksual. Ikatan inipun dimanifestasikan dengan simbol-simbol tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak akan pernah cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikatannya dengan fantasi yang lebih luas lagi, dan menciptakan simbol lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi, tentu ada subyek fasis lainnya yang harus tersingkir—diabyeksikan. Tentunya pergesekan akan terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan peperangan: perang diskursus, permainan bahasa, bahkan perang fisik. Dari gambar besar ini sekiranya jelas dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu individu, telah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan sebagai, lebih dari antagonisme kelas Marxian, melainkan antagonisme fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha menetralisir ekspansi fasisme tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas. Poinnya adalah ini: bukan kolektivitas yang menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis lain, menguncinya pada domain simbolik, dan melakukan ekspansi diskursifnya.
Paradoks bagi perang di antara fasis adalah bahwa perang tersebut selalu didedikasikan demi gagasan-gagasan universal seperti perdamaian, kemajuan, dan kebenaran, seperti kata filsuf Greko-Roman Tacitus, “they make slaughter and they
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
93
call it peace.” 194 Hal ini demikian karena gagasan-gagasan inilah yang memberikan semangat, motif, atau cause bagi perjuangan fasistik. Gagasan ini tak lekang di makan zaman, ia pun tak bisa dikorupsi. Fasis adalah fanatik, idealis, dan radikal dalam memperjuangkan gagasan-gagasan universal ini, karena hanya dalam gagasangagasan inilah identitas ke-diri-an yang utuh dan berdaulat bagi fasis ditemukan. Seruan-seruan fasistik, misalnya “Indonesia butuh pemuda-pemudi yang patriotik,” “Demokrasi membutuhkan subyek-subyek rasional,” atau juga seruan Abdul Aziz alias Imam Samudra, “adalah seorang mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad). Mereka (mujahidin) dalam sebuah operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada tandingannya, dengan menggunakan pesawat terbang musuh berhasil menghajar berhala kebanggaan AS.”195
Tapi apakah definisi diri-diri ini—“pemuda-pemudi patriotik,” “subyek-subyek rasional,” dan “mujahidin”? Tidak akan terdapat definisi manunggal yang fix bagi ini semua. Kegagalan, bahkan ketidak-mungkinan gagasan universal tersebut memberi “diri” utuh yang fix bagi fasis, bukannya membuat sang fasis meninggalkan gagasan tersebut, malah membuatnya semakin gigih dan garang mempertahankannya. Sekali lagi, karena sifatnya yang metafisik, gagasan tersebut tidak akan bisa korup dan lekang. 196
Adalah menarik, dan penting, untuk tidak melihat gagasan-gagasan universal tersebut secara substansial, melainkan secara fungsional. Apapun makna gagasan (yang notabene juga medan kontestasi pemaknaan), secantik apapun surga yang dijanjikannya, dan seberat apapun syarat-syarat untuk menjadi pembelanya, gagasangagasan tersebut memiliki fungsi untuk menjadi pembenar bagi tindakan-tindakan para subyek fasis. Dengan menggeser cara pandang srukturalis—yaitu struktur 194
Dikutip dari Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), hal.
3. 195
Abdul Aziz, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera, 2004), hal. 185-6. Penulis amat sangat menyesalkan bagi analisis-analisis ekonomistik yang mengaku ilmiah dan empiris yang mereduksi prilaku fasis sebagai semata-mata akibat keterpurukan dan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Sekali lagi penulis tekankan: fasisme adalah utamanya persoalan hasrat, dan ekonomi hanyalah bersifat sekunder. 196
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
94
menentukan prilaku subyek—ke arah yang lebih “humanistik,” maka dapat dilihat bahwa tidak selamanya struktur menguasai subyek, melainkan terjadi gerak sebaliknya, yaitu saat subyek memaknainya (sering kali secara buta) dan mempolitisir pemaknaan struktur demi membenarkan tindakan-tindakannya. Terjadi overdeterminasi antar struktur-subyek. Sehingga dari pandangan ini, gagasan-gagasan universal tadi tak ubahnya sebuah komoditas bagi eksistensi sang subyek; universalitas merupakan suatu ‘komoditas kedaulatan’. Bila pada ekonomi, komoditas berarti apa saja yang bisa dijual demi mendatangkan profit, maka dengan sedikit modifikasi, komoditas kedaulatan merupakan apa saja yang bisa “dijual,” dijadikan retorika, dan dijadikan landasan bagi lestarinya (status quo) kedaulatan. Semenjak kedaulatan adalah suatu hal yang mustahil bagi subyek fasis, maka subyek fasis aka berupaya mengkompensasinya dengan terus-menerus mengkomodifikasi gagasan-gagasan universal tersebut. Sebagai contoh, saat pemerintah berkata “pemerintah akan berusaha keras memperjuangkan kesejahteraan rakyat,” maka bukan kesejahteraan rakyat yang menjadi hasrat pemerintah, melainkan eksistensi pemerintah sebagai pejuang dan penyedia kesejahteraan rakyat yang dihasratinya. Contoh lain, “sebagai mahasiswa, saya tidak bisa tinggal diam melihat penindasan dimana-mana”—bukan perlawanan terhadap penindasan yang menjadi hasrat saya, melainkan kerinduan narsistik akan sosok mahasiswa yang heroiklah yang menjadi obyek hasrat saya. Akhirnya, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh subyek fasis, pada dasarnya dimotivasi untuk memperkuat dan memperkokoh eksistensinya sendiri sebagai sang berdaulat.
Wacana kebenaran universal, sebagaimana dipahami secara psikogenealogis, bukan hanya berkaitan dengan argumentasi, justifikasi, pendasaran filosofis-idiologis, dan rationale bagi suatu norma atau nilai. Ia juga bukan semata-mata berkaitan dengan suatu kepentingan yang terselubung. Lebih jauh dari itu, Ia merupakan bungkus dari serat-serat ketaksadaran subyek pengujarnya. Ia adalah kotak pandora yang menyegel rupa-rupa hasrat terlarang. Ia merupakan pengkodean (coding) sejarah kelam represi hasrat. Ia adalah simptom yang mengunci rapat-rapat kegegaran dan
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
95
antagonisme yang mengiringi sejarah realitas dan subyek, dan para subyek bersekongkol untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan wajar, dan bekerja-sama untuk menyingkirkan wacana-wacana dan subyek fasis lainnya yang dianggap mengganggu stabilitas wacananya. Persekongkolan ini direproduksi terusmenerus sampai ia menjadi suatu ketaksadaran kolektif. Sampai di sini, sebagai sebuah wacana kebenaran universal, rezim adalah skandal diskursif.
Semenjak analisis a la psikoanalisis adalah selalu simptomatik, maka untuk menganalisis wacana ini adalah penting untuk mengangkatnya ke status simptom Lacanian. Sekedar mengulas pembahasan sebelumnya, simptom selalu menyimpan ketaksadaran yang telah terkodekan secara rapi oleh yang-Simbolik. Kerja analisis dalam psikoanalisis dengan demikian adalah membongkar sublimasi atau kristalisasi hasrat tak sadar dalam rupa-rupa simptom ini. Psikoanalisis mengangkat dimensidimensi yang-tak-terperikan (unbearable) yang secara tak sadar direpresi dan ditambal dengan narasi fiktif fantasmik ideal normatif. Secara umum kerja psikoanalisis terdiri dari tiga tahap: 1) Mengembangkan transferensi, atau memancing sejumlah wacana dari subyek yang menjelaskan keadaannya—hubungannya dengan dirinya, hasratnya dan realitas. Wacana ini adalah simptom sang subyek sekaligus menjadi petunjuk untuk memasuki kekelaman hasrat yang direpresi subyek. Pada tahap ini, analis harus “attentive to the ‘un-said’ that lies in the holes of the discourse.”197 Adalah penting untuk ditekankan bahwa status wacana ini adalah bukan
menginformasikan
kebenaran,
melainkan
memantik
kebenaran—
ketaksadarannya. 198
2) Interpretasi wacana/simptom. Interpretasi yang dimaksud bukanlah menunjukkan makna otentik dari wacana subyek. Lacan menggunakan kata “ralat” (rectification) untuk menjelaskan interpretasi ini.199 Ralat yang dimaksud adalah bagaimana analis mampu menunjukkan bahwa melalui wacana-wacananya, subyek 197
Lacan, Écrits, hal. 93. Ibid., hal. 86. 199 Ibid., 237. 198
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
96
keliru memahami hubungan dirinya dengan hasratnya yang sesungguhnya, dan bahwa wacana-wacana tersebut sebenarnya adalah kreasinya sendiri untuk mengkompensasi ketaksadarannya akan hasratnya. Hubungan “subyek-realita” yang diwacanakan subyek harus mampu diralat menjadi “subyek-fantasi-realita.” Jadi sekiranya jelas, interpretasi ini tidak ada kaitannya dengan makna-memaknai, malahan ia adalah suatu pembongkaran makna yang susah payah disusun oleh sang subyek untuk menyelamatkan ego/ke-diri-annya dari inkonsistensi. Destabilisasi subyek adalah tujuan utama tahap ini. Sekedar klarifikasi, jadi sebenarnya simptom tersebut, sedari mula, adalah suatu “kebohongan” yang bahkan tak disadari oleh sang subyek. Analis membiarkannya meracau wacana-wacana tersebut, membiarkannya menyelesaikan narasi hidupnya yang dramatis, dan akhirnya mengobrak-abrik cerita tersebut dengan menunjukkan yang-Riil dari wacana tersebut.
3) Akhir analisis (the end of analysis), sebagaimana Lacan menyebutnya, merupakan tahap dimana transferensi diakhiri dengan subyek menyadari kebenaran (yang-Riil) dalam wacananya, yaitu bahwa ada “wacana lain” dalam wacananya— yaitu wacana ketaksadarannya. Peran analis adalah mendorong subyek untuk “melampaui fantasinya” (traversing the fantasy), yaitu dengan mengakui bahwa wacana/simptom yang telah diracaukannya adalah justru merupakan pendukung keberadaan sang subyek. Subyek didorong untuk menerima kenyataan bahwa hal-hal “patologis” yang dikeluhkannya, justru yang menyelamatkannya dari ketiadaan eksistensial
sama
sekali—psikosis/mati.
Subyek
pun
didorong
untuk
mengidentifikasikan diri dengan simptomnya, dan menemukan tempatnya dalam kegegarannya tersebut, ketimbang dalam citraan-citraan ideal yang menghantuinya. Dengan berdamai dengan simptom dan mengakui bahwa citraan-citraan ideal tersebut adalah alien yang akan senantiasa menyiksanya, maka sang subyek akan selamat dari kehancuran eksistensial yang lebih parah.
Terkait simptom ada dua hal yang perlu diklarifikasi: struktur simptom secara umum dan struktur simptom yang mengambil bentuk berupa wacana. Secara umum
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
97
ada tiga elemen dalam struktur simptom: bentuk simptom itu sendiri, isi latennya, dan ketaksadaran yang direpresinya. Kesalahan yang sering terjadi adalah mencampur-adukkan antara isi laten dari simptom dengan ketaksadaran. Hasrat tak sadar tidak berhubungan dengan isi laten dari simptom; tidak ada rahasia di balik bentuk dari simptom. Lokus hasrat tak sadar justru terletak pada proses sublimasi isi laten tersebut menjadi bentuk simptom itu sendiri. Pertanyaan yang relevan untuk diajukan, dengan demikian bukanlah “apa maksud dari simptom tersebut?” melainkan “mengapa maksud dari simptom tersebut mensyaratkan bentuk simptom yang seperti itu, dan bukan yang lainnya?”
Sebagai contoh, penulis akan membahas contoh kasus seorang teman penulis dengan nama samaran “Anna X”.200 Anna X memiliki problem dalam curhat (curahan hati, sharing). Ia mengalami kesulitan dalam menceritakan seluruh isi hatinya saat curhat. Ia tidak ingin terlihat lemah dan cengeng saat curhat, sehingga saat curhat ia selalu “menyensor” ceritanya seraya menunjukkan gestur seolah-olah ia tegar dalam menjalani permasalahannya. Dari interpretasi penulis akan wacana Anna X, penulis meralat wacananya dengan menunjukkan kontradiksi internal dalam wacananya: ralat pertama, Anna X telah salah-mengira tentang konsep curhat: curhat bukanlah perkara jujur atau tidak, melainkan perkara katarsis (pelepasan); apakah benar seseorang bisa benar-benar “jujur” dalam curhatnya?—tidak akan mungkin, bahasa tidak memiliki cukup
kemampuan
untuk
mengemban
tanggung
jawab
tersebut.
Namun,
permasalahannya bukan di sini. Melainkan justru pada ralat kedua: kenyataan bahwa bagaimana Anna X menyensor ceritanya, bukanlah sebagai gestur untuk menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar—sebagaimana yang ia kira diinginkan oleh lingkungannya, justru sebaliknya, hal tersebut sebenarnya adalah suatu simptom untuk menambal kegegarannya yang notabene tidak tertahankan baginya, yaitu bahwa ia sebenarnya ingin bisa benar-benar mencurahkan seluruh isi hatinya, menangisi keras-keras beban penderitaannya, dan berapi-api mengutarakan 200
Bahasan ini merupakan inti sari dari tulisan penulis di lain kesempatan: Hizkia Y. S. Polimpung, Curhat dan Baudrillard: Kasus “Anna X”, makalah diskusi Lembaga Studi Urban, April 2009.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
98
sukacitanya yang notabene berpotensi megurangi wibawa ego-ideal subyek tegarnya. Inilah hasrat yang alih-alih dibiarkan mengalir oleh Anna X, malah direpresi sedemikian rupa dan dikunci dalam figur subyek tegar imajiner khayalannya.
Hal kedua yang perlu diklarifikasi adalah struktur simptom yang mengambil rupa dalam wacana—simptom ini akan sangat menentukan bagi studi ini. Lacan menekankan empat komponen dalam wacana (berikut simbolisasinya): otoritas Simbolik/sistem universal (S2), citraan Imajiner/ego-ideal (S1), hasrat tak sadar/obyek a (a), dan subyek gegar ($)—terbelah di antara tarik-menarik ImajinerSimbolik dengan pemuasan obyek a.201 Semenjak ego-ideal selalu mensyaratkan abyeksi, maka susunan komponen tersebut penulis tambahkan citraan abyek (S0)— “0” untuk melambangkan ketiadaan. Interaksi antara kelimanya adalah sebagai berikut: suatu wacana yang komplit akan menyiratkan suatu gagasan universal. Gagasan universal ini akan memproduksi suatu ego yang ideal dengan cara memberikan kriteria subyek dan abyek. Ego-ideal ini dimaksudkan untuk menambal kegegaran sang subyek itu sendiri, dan orang lain jika itu diarahkan ke luar dirinya. Penambalan ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi sang subyek. Apabila menggunakan contoh Anna X di atas, maka bisa diuraikan sebagai berikut: gagasan universalnya (S2), “curhatan yang disensor”; ego-idealnya (S1), subyek tegar; abyeknya (S0), subyek ekspresif dalam curhat; hasrat tak sadar (a), kerinduan untuk menumpahkan seluruh keluh kesah via curhat; subyek gegar ($), Anna X sendiri yang terjebak di antara ego-ideal (S1) dan hasrat tak sadarnya (a).
Terakhir, studi ini hanya akan menempuh dua tahap pertama dalam analisis saja: yaitu mengumpulkan simptom, dan meralatnya. Tahap ketiga tidak penulis lakukan karena: pertama, secara etis, ia adalah hal yang sama sekali tidak mungkin
201
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan. Book XVII. The Other Side of Psychoanalysis, peny. J.-A. Miller, terj. R. Grigg (NY, London: W.W. Norton & Company, 2007)
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010
99
dilakukan dengan bantuan penulis—sang subyek harus melakukannya sendiri; dan alasan kedua, alasan metodologis, karena ia bukan merupakan kompetensi studi ini. 202
202
... dan alasan ketiga, alasan pribadi, penulis agak pesimis bahwa “pasien” penulis pada studi ini akan mau meninggalkan identifikasi narsis-fasisnya akan kedaulatan, dan berbalik mengidentifikasi diri dengan ketaksadarannya. Sehingga akan menjadi hal yang sia-sia bagi penulis untuk mengupayakan tahap ini. Berbicara kepada negara (dan antek-anteknya), bagi penulis, adalah berbicara dengan tembok. Mengupayakan perlawanan adalah lebih berfaedah ketimbang bersikeras bernegosiasi (mengkritik, menyarankan, menasehati) dengan negara yang mabuk kedaulatan.
Universitas Indonesia Psikoanalisis paradoks ..., Hizkia Yosias Simon Polimpung, FISIP UI, 2010