BAB II RUANG LINGKUP TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak 8. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Para sarjana hukum perdata pada umunya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas 9. Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti perjanjian perkawinan, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan.
8
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 117. Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 65. 9
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain, dapat dinilai dengan uang. Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian, sebagai berikut : “perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya.” 10 Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi
wujud
pengertian
perjanjian,
antara
lain
“hubungan
hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”. Dengan demikian, perjanjian/verbintennis adalah merupakan hubungan hukum/rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum perdata. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yag bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam hukum harta benda dan hukum kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang
3
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain sedangkan pihak lainnya memperoleh prestasi, atau dengan perkataan lain, pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak (recht} dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban (plicht) menyerahkan dan menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbitennis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas presatasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau kreditur. Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut : “Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal 11.
11
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung, Intermasa,1987, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wirjono Projodikoro, perjanjian adalah : “Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksaan janji itu.” 12 Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa : “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.” 13 Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai definisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan definisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjnajian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku III KUH Perdata tentang Perikatan.
12
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung , Sumur, 1981, hal. 9. Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Jakarta, Pembangunan, 1986, hal. 83. 13
Universitas Sumatera Utara
B. Jenis-Jenis Perjanjian Ada beberapa jenis perjanjian yang umum digunakan dalam prakteknya, antara lain, sebagai berikut 14 : 1. Perjanjian Sepihak Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja, misalnya, perjanjian hibah. Dalam perjanjian hibah, kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu orang yang memberikan barang atau benda yang dihibahkan, sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap orang yang menghibahkan. 2. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang membuat perjanjian. Jadi, pihak yang beerkewajiban untuk melakukan suatu prestasi juga berhak untuk menuntut suatu kontra prestasi dari pihak lainnya, misalnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. 3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian bernama yaitu perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus yang terdapat dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, hibah, perjanjian pinjam meminjam dan lain-lain.
14
http//shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/jenis-jenis-perjanjian-yang-lazimdipergunakan-dalam-praktek/ diakses pada tanggal 20 Februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, misalnya, perjanjian leasing, perjanjian keagenan, atau perjanjian kredit. 4. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Non Obligatoir Perjanjian Obligatoir merupakan suatu perjanjian yang mengharuskan atau mewajibkan seseorang untuk membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian Non Obligatoir yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan atau mewajibkan seseorang untuk membayar atau menyerahkan sesuatu, misalnya, balik nama hak atas tanah. 5. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil Perjanjian Konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian Riil adalah perjanjian yang tidak hanya memerlukan kata sepakat, tetapi barangnya harus diserahkan sebagai bentuk yang riil dari perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata. 6. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai (Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata). Perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing Pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya : A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A atau Misalnya: A menjanjikan kepada B sesuatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A. 7. Perjanjian Formil Perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi Undang-Undang mengahruskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya: jual beli tanah, undang-undang menentukan akte jual beli harus dibuat dengan akte PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akte notaris. 8. Perjanjian Campuran Perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian didalamnya. a. Perjanjian Penanggungan Suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan pihak yang berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya pihak yang berutang (debitur) manakala orang itu sendiri (debitur) tidak memenuhinya (wanprestasi). b. Perjanjian Standar/Klausula Baku Perjanjian yang mencantumkan klausul di dalam perjanjiannya dimana salah satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara
c. Perjanjian standar/baku dapat dibedakan dalam tiga jenis: c.1. Perjanjian baku sepihak Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Misalnya: pada perjanjian buruh kolektif. c.2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah, misalnya: dalam bidang agraria dalam formulir pengajuan akta hipotek. c.3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat. Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan”contract model”. Misalnya: Surat Kuasa, Akte pendirian perusahaan. d. Perjanjian Garansi Diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
Universitas Sumatera Utara
C. Subjek dan Objek Perjanjian Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain 15: a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. b. Ada kesepakatan yang menajdi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuata perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurangkurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain: 1.
Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata).
15
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Pembimbing Masa, 1997, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
2.
Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata) Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.
3.
Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata).
Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah: 1. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara. 2. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika. 3. Warisan yang belum terbuka. Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa 16: 1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihaak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing, 2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaaan. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
16
Ibid
Universitas Sumatera Utara
D. Syarat-Syarat Perjanjian Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Perjanjian atau kesepakatan dari masing—masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan. Suatu
kesepakatan
dikatakan
mengandung
cacat,
apabila
kehendak0kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya. Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada
Universitas Sumatera Utara
perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Paksaan
seperti
inilah
yang
dimaksudkan
undang-undang
dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut bataknya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar. Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokokperjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui lawan, atau paling sedikit pihak lawan sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan sesorang yang silap. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata, Yurisprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau sesorang itu hanya melakukan kebohongan
Universitas Sumatera Utara
mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebbohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukankan pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan : 1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah 2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perbutuhan apabila diadakan antara suami isteri. Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh pasal 1330 KUH Perdata ada tiga yaitu : 1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa 2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan 3. Wanita yang bersuami Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampunan itu sendiri. Menurut pasal 1330 KUH Perdata di atas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh
Universitas Sumatera Utara
undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Pembatalan terhadap orang0orang tertentu dalan hal kevakapan membuat sutau perjanjian sebagaimana dikemukakan pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum snediri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan unutk menginsyapi akan tanggung jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah yang akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung jawab itu. Selanjutnya syarat ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari paa pihak-pihak dalam perjnajian uyang mereka buat itu. Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjnajian itu, pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu : “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakn dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu” 17. Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarta subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal. Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
17
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1984, hal 36.
Universitas Sumatera Utara
E. Asas-Asas Perjanjian Dalam khasanah hukum perjanjian di kenal beberapa asas yang menjadi dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu oerjanjian. Asa perjanjian itu harus merupakan suatu kebenaran yang bersifat fundamental, disamping itu asas semestinya tidak dapat ditimpangi, kecuali ada hal-hal yang dianggap luar biasa dan lebih jelas kandungan materi kabenarannya 18. Adapun beberapa asas dalam perjanjian itu antara lain : 19 1. Asas Konsensualisme (persesuaian kehendak) Sejalan dengan arti konsensualisme (petsesuaian kehendak) itu sendiri yang merupakan kesepakatan, maka atas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. 20 Dapat dikatakan bahwa saat terjadinya adalah pada saat dicapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Sejak terjadinya kesepakatan itu, maka saat itu perjanjian menjadi mengikat dan mempunyai kekuatan hukum. Keterangan tentang kata sepakat menjadi asas dalam suatu perjanjian dapat pula dilihat bunyi pasal 1320 KUH Perdata bahwa untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yang satu diantaranya adalah kata sepakat. Dengan tercapainya kata
18
Chairuman Pasaribu, Suhra Wardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta , Sinar Grafika, 1994, hal. 68. 19 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1991, hal. 71. 20 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 47.-
Universitas Sumatera Utara
sepakat, telah menunjukkan pada saat itu suatu perjanjian mulai berlaku dan mengikat para pihak. 2. Asas kebebasan berkontrak Menurut asas ini, setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak ini dapat kita lihat di dalam pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan : Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan adanya penyatuan semacam ini sebenarnya kebebasan para pihak di dalam melahirkan suatu perjanjian menjadi tidak bebas lagi. Namun demikian dengan adanya pembatasan ini setiap orang menjadi sadar bahwa perjajian itu haruslah ditujukan demi untuk kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Dalam satu putusannya Mahkamah Agung pernah memperlihatkan bahwa betapa asas kebebasan berkontrak itu harus berpegang pada keputusan sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 935/K/Pdt/1985 dalam kasus sewa beli mobil. Salah satu pertimbanganya, Mahkamah Agung berpendapat isi perjanjian yang melenyapkan hak beli sewa atas barang yang telah dibeli hanya disebabkan keterlambatan atau kesulitan pembayaran angsuran tanpa mempertimbangkan jumlah angsuran yang telah dibayar, sebagai perbuatan yang tidak patut dari segi keadilan dan moral. Dalam perjanjian sewa beli mobil
Universitas Sumatera Utara
tersebut telah diperjanjikam kemacetan angsuran mengakibatkan penjual sewa mengambil mobil kembali tanpa mengembalikan uang angsuran yang telah diterimanya 21. Perjanjian ini merugikan pihak pembeli sewa, karena haknya tidak seimbang. 3. Asas kepribadian Asas kepribadian ini terdapat di dalam Pasal 1315 KUH Perdata, yang dinyatakan : Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata ini, seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya untuk kepentingan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian. Pihak ketiga tidak dapat diperjanjikan oleh pihak yang mengadakan perjanjian, karena salah satu syarat sahnya perjanjian harus ada kata sepakat, yang berarti pula bahwa dalam perjanjian itu pihak ketiga hadir untuk memberi kata sepakat. Logikanya, kalau dalam suau perjanjian ditetapkan suatu janji untuk pihak ketiga, maka akan merugikan pihak ketiga yang tidak tahu apa-apa dan tidak mengikatkan dirinya 22. Namun demikian Undang-undang memberikan kekecualian terhadap asas ini sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan pasal ini bahwa pihak yang mengadakan perjanjian, diperbolehkan menetapkan janji untuk pihak ketiga sebagai penanggung akan berbuat sesuatu. 21 22
Ibid. Hal. 48. Ibid. Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
Di samping ketiga asas yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada lagi beberapa asas pelengkap tersebut mengandung arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undangundang. Tetapi apabila dalam perjanjian mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini pokoknya hanya mengenai hak dan kewajiban para pihak.
F. Wanprestasi dalam Perjanjian Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur 23. Dalam suatu perjanjian diharapkan prestasi yang telah disepakati akan terpenuhi. Namun demikian ada kalanya prestasi tersebut tidak terpenuhi. Adapun tidak terpenuhinya prestasi ada dua kemungkinan, yaitu : a.
Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian (wanprestasi).
b.
Karena keadaan memaksa, di luar kemampuan debitur. Jadi debitur tidak bersalah (force majeure).
Adapun yang dijadikan ukuran untuk menentukan debitur bersalah karena telah melakukan wanprestasi atau tidak adalah dalam keadaan bagaimanakah seorang debitur dikatakan dengan sengaja melakukan wanprestasi atau lalai (tidak
23
Ibid, hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
memenuhi prestasi). Di dalam hal ini terdapat empat macam dikatakan keadaan wanprestasi dari seseorang debitur, yaitu 24 : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi umtuk dilakukannya (tidak memenuhi kewajibannya). 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannyya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat (terlambat memenuhi kewajibannya). 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya (memenuhi tetapi tidak sepeti yang diperjanjikan). Wanprestasi di dalam perjanjian mempunyai arti yang sangat penting bagi debitur. Oleh karena itu adalah penting untuk mengetahui atau menentukan kapan seorang debitur dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah di dalamperikatan itu ditentukan tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Di dalam suatu perikatan yang prestasinya berwujud tidak berbuat sesuatu tidak dipersoalkan jangka waktunya atau tidak. Jadi sejak perikatan itu berlaku atau selama perikatan itu berlaku, kemudian debitur melakukan perbuatan itu, ia dinyatakan lalai (wanprestasi). Apabila debitur wanprestasi, maka dikenai sanksi yang berupa :
24
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1987, hal 57.
Universitas Sumatera Utara
a. Debitur membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur Wujud ganti kerugian dapat berupa biaya, kerugian, dan bunga. Subekti mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan biaya adalah “Segaka pengeluaran atau perongkosan yang nyatanya sudah dikeluarkan oleh satu pihak”, sedangkan yang dimaksud dengan rugi adalah “Kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur”. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur. b. Pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian. Pembatalan perjanjian sebagai sanksi kedua atas kelalaian debitur bertujuan untuk mengembalikan kedua belah pihak ke keadaan semula sebelum diadakan perjanjian sperti yang diatur dalam Pasal 1265 KUH Perdata. Pasal 1266 KUH Perdata menentukan bahwa dalam hal adanya wanprestasi, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang sifatnya timbal balik. Perjanjian ini ditentukan tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalanya kepada hakim. Jadi, yang menyebabkan batalmya perjanjian bukan karena wanprestasi yang timbul, tetapi karena adanya putusan hakim. Dalam hal pemenuhan perjanjian, ada beberapa kemungkinan yaitu: 1. Kreditur dapat menjual benda yang dijadikan jaminan sebagai pengganti prestasi yang dipenuhi debitur yang wanprestasi tanpa harus memulai putusan hakim, krean semua sudah disetujui oleh debitur. Pelaksaanaan pemenuhan prestasi disebut dengan eksekusi langsung.
Universitas Sumatera Utara
2. Kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang menjadi haknya baik dilakukannya sendiri atau dengan menyuruh orang lain dengan biaya harus ditanggung oleh debitur setelah mendapat putusan hakim. Pelaksanaan pemenuhuan prestasi ini disebut dengan eksekusi nyata. c. Peralihan risiko Menurut Subekti yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. 25 d. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di muka hakim Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat, tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari beberapa sanksi yang disebutkan di atas, kreditur dapat memilih diantara beberapa tuntutan terhadap debitur, yaitu : Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata yang menetukan bahwa “Jika si debitur lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”. a.
Kreditur menuntut pemenuhan perikatan;
b.
Kreditur menuntut pemenuhan perikatan disertai degan ganti rugi kerugian;
25
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2005, hal 144.
Universitas Sumatera Utara
c.
Kreditur menuntut ganti kerugian saja;
d.
Kreditur menuntut pembatalan perjanjian dengan perantaraan hakim;
e.
Kreditur menuntut pembatalan perjanjian dengan disertai ganti rugi.
Universitas Sumatera Utara