BAB I PENDAHULUAN Salah satu misi Mahkamah Agung yang tentunya diikuti oleh badan peradilan yang ada di bawahnya adalah memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Misi ini akan terwujud apabila aparat peradilan mempunyai kompetensi, terampil, cakap dan mumpuni dalam melaksanakan tugasnya. Agar aparat peradilan mempunyai kompetensi yang memadai, terampil, cakap dan mumpuni itulah maka dilaksanakan Bimbingan Tehnis (Bimtek). Bimbingan Teknis (Bimtek) Kompetensi bagi Hakim, Panitera/ Panitera Pengganti dan Jurusita/ Jurusita Pengganti Pengadilan Agama
se – wilayah
Pengadilan Tinggi Agama Ambon, dilaksanakan di Hotel Aston Natsepa mulai tanggal 4 sampai dengan tanggal 6 Juni 2012. Nara sumber dalam acara tersebut adalah Prof. DR. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, yang membawakan materi untuk para Hakim dan Drs. H. Zainudin Fajari, SH., MH., membawakan materi untuk Panitera/ Panitera Pengganti dan Jurusita/ Jurusita Pengganti. Sesuai dengan surat Ketua Pengadilan Tinggi Agama Ambon Nomor W24A/680/Hk.05/IV/2012, bahwa peserta dari masing-masing pengadilan agama diminta untuk mengirimkan hasil Bimtek Kompetensi bagi Hakim, Panitera, Jurusita dan Administrator/ Operator SIADPA-Plus dengan sistimatika penulisan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, Bab II Rangkuman Bimtek Hakim, Bab III Rangkuman Bimtek Panitera, Bab IV Rangkuman Bimtek Jurusita, Bab V Rangkuman Bimtek Administrator/ Operatir SIADPA-Plus dan Bab VI Penutup. Rangkuman hasil Bimbingan Teknis (Bimtek) yang tersaji ini merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh para Nara Sumber, baik materi yang disampaikan melalui audio visual, yaitu slide dari in focus, maupun materi yang disampaikan melalui audio (hasil rekaman). Materi yang disampaikan dalam Bimtek ini adalah sama dengan materi yang disampaikan pada 3 (tiga) kali acara Bimtek yang diselenggarakan oleh Direktorat 1
Jenderal Badan Peradilan Agama sebelumnya. Kesamaan materi ini dilakukan agar ada keseragaman penerapan hukum acara, baik di Aceh, di Jawa, di Maluku maupun tempat lainnya di seluruh wilayah Indonesia. Perlu diingatkan kepada para Hakim dan Panitera Pengganti yang membuat berita acara persidangan, bahwa kesalahan dalam menerapkan hukum acara untuk sekarang ini dianggap sebagai tindakan unprofesional conduct atau dianggap bodoh dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu diharapkan agar dalam bidang hukum acara ini betul-betul diperhatikan. Beberapa waktu yang lalu telah diadakan fit and propert test untuk ketuaketua pengadilan agama kelas I, yang diikuti oleh sekitar 60 (enam puluh) orang dan hanya sekitar 3 (tiga) orang yang bisa menjelaskan tentang alur perkara, mulai masuk sampai dengan selesai bagaimana tugas kita seharusnya dan tidak banyak yang faham. Untuk itu alur perkara harus difahami oleh para hakim dari awal sampai akhir sesuai dengan Pola Bindalmin. Jangan terlalu bersandar kepada IT. Di Negara yang sudah maju walaupun IT-nya juga telah maju, tetapi yang manual masih tetap dipakai, artinya seperti register yang sifatnya manual masih tetap dipakai, jadi tidak mesti harus ditinggalkan. misalnya di Australia, yang manual juga masih dipakai. Beberapa waktu yang lalu ketika nara sumber berkunjung ke Dhoha (Qatar), walaupun IT nya sudah maju, tetapi yang manual masih tetap dipakai, apalagi untuk kita Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1947 masih berlaku, yang mana dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa untuk administrasi peradilan itu harus tercatat atau tertulis.
2
BAB II RANGKUMAN BIMTEK HAKIM
A. SURAT GUGATAN 1.
Kedudukan Penggugat Formil Dalam surat gugatan banyak penulisan kedudukan Penggugat Formil yang keliru, yaitu Penggugat formil didahulukan daripada Penggugat Materiil. Sebenarnya
kedudukan
Penggugat
Materiil/
Penggugat
Asli
didahulukan kemudian menyebut diwakili oleh Pengacaranya/ Kuasanya (Penggugat Formil). Hal ini penting untuk didudukkan sesuai dengan yang sebenarnya, karena nantinya terkait dengan penulisan dalam Putusan. Penulisan dalam putusan Pihak Materiil didahulukan, kemudian diwakili oleh Kuasanya. Jadi Pihak Materril didahulukan daripada Pihak Formil. 2.
Identitas Para Pihak Dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dijelaskan, bahwa hanya ada 3 (tiga) hal yang harus dimuat dalam identitas para pihak, yaitu “nama, umur dan tempat kediaman”. Namun nanti sebaiknya dalam identitas para pihak ditambah 3 (tiga) lagi, yaitu : “pekerjaan, agama dan pendidikan”. Jadi nantinya untuk identitas para pihak menjadi 6 (enam) macam. Adapun 3 (tiga) tambahan tersebut adalah : 1) Agama Alasan pencantuman agama di dalam identitas para pihak adalah, karena dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sudah tidak menganut azas personalitas keislaman secara mutlak. 3
•
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menganut azas Personalitas Keislaman secara mutlak, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 asas personalitas keislaman sudah tidak mutlak lagi, artinya orang-orang non muslim boleh beracara di pengadilan agama. Kalau dulu kita kadang-kadang mengharamkan orang non muslim beracara di pengadilan agama .
•
Dengan berlakunya Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang di dalamnya ada kewenangan tentang ekonomi syari’ah, maka orang-orang non muslim bisa beracara di pengadilan agama. Contoh dalam perkara yang terkait dengan ekonomi syari’ah, secara otomatis banyak orang non muslim yang beracara di pengadilan agama. Dengan demikian maka asas personalitas keislaman itu sudah tidak mutlak lagi, sehingga kita perlu menyebutkan agama dalam identitas para pihak dalam surat gugatan maupun dalam putusan.
•
Dalam bidang kewarisan, misalnya putusan Mahkamah Agung telah memberikan porsi bagian kepada anak non muslim, seperti putusan Pengadilan Agama Yogjakarta yang
dikuatkan
oleh
Pengadilan
Tinggi
Agama
Yogjakarta, kemudian dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung dibatalkan dan memberikan porsi bagian kepada anak non muslim. •
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dianut azas “cerai talak” dan “cerai gugat”, cerai talak dari suami, cerai gugat dari isteri. Tetapi dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tidak lagi membedakan seperti itu, suami dapat mengajukan gugatan cerai terhadap isterinya, misalnya dalam hal suami murtad, kemudian dia ingin menceraikan isterinya, maka suami tidak mengajukan permohonan izin ikrar talak (karena 4
isteri tidak punya wewenang lagi terhadap ikrar talak) tetapi dia mengajukan gugatan cerai kepada isterinya dan nanti supaya diputuskan oleh hakim (perkawinannya difasakhkan oleh pengadilan). Jadi pihak suami yang murtad tersebut tidak memakai lembaga ikrar talak dalam menceraikan isterinya. Dalam buku II sebenarnya sudah diralat yang seharusnya perkawinannya difasakh bukan jatuh talak satu ba’in sughra. •
Dalam perkara perceraian, maka yang dilihat adalah peristiwa perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama apa, apabila perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama Islam atau dilakukan dihadapan PPN, maka perceraiannya dilakukan di pengadilan agama. Akan tetapi apabila perkawinannya dilakukan di Catatan Sipil, kemudian suami/isteri atau suami isteri masuk Islam, kemudian ada persoalan rumah tangga dan salah satu pihak ingin bercerai, maka tidak diajukan ke pengadilan agama, tetapi diajukan ke pengadilan negeri.
•
Dalam perkara waris yang dilihat adalah agama Pewaris. Apabila pewarisnya beragama islam, maka penyelesaian sengketanya diajukan ke pengadilan agama, tetapi apabila Pewaris beragama non muslim, meskipun anakanaknya muslim, maka penyelesaian sengketanya bukan ke pengadilan agama, tetapi ke pengadilan negeri. Akan tetapi apabila mereka ingin menyelesaikannya secara damai dapat diajukan ke pengadilan agama.
2) Pekerjaan Masalah pekerjaan perlu dicantumkan dalam identitas para pihak dalam surat gugatan. •
Pekerjaan para pihak harus diketahui, karena nantinya misalnya untuk menetapkan nafkah iddah atau hal-hal
5
yang terkait dengan hak ex officio hakim. Kadang-kadang hakim menetapkan nafkah iddah misalnya terlalu besar, ternyata pekerjaan suami hanya seorang buruh, artinya penetapan tersebut terlalu besar dan memberatkan. •
Pekerjaan jangan ditulis swasta, karena tidak ada pekerjaan swasta. Apabila pihak sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka ditulis Pegawai Negeri Sipil dimana ? Jabatannya apa ? (ditulis yang lengkap), jangan hanya ditulis pekerjaan PNS. Atau apabila pihak pekerjaannya
wiraswasta,
maka
harus
dilengkapi
wiraswasta dalam bidang apa ?. Apabila pihak sebagai buruh, maka disebutkan buruh apa ? atau petani, sebab antara petani dan buruh tani itu berbeda. Kalau petani maka dia punya sawah/ kebun/ tambak/ ladang, tapi kalau buruh tani hanyalah orang yang bekerja disitu. Jadi kita harus jeli, jangan sampai terlanjur kita bebankan biaya besar ternyata tidak mampu. •
Jangan menyebutkan misalnya pekerjaan telkom, setelah dicek ternyata hanya sebagai tukang pasang kabel instalasi di kampung-kampung, karena tidak semua orang yang bekerja di telkom itu gajinya besar.
•
Jangan pula menyebutkan misalnya pekerjaan pegawai Bank BNI, setelah dicek ternyata hanya sebagai penjaga malam di Bank BNI, atau malah masih honor atau tenaga kontrak.
•
Pekerjaan para pihak harus benar sesuai dengan kenyataan dan jelas, jangan hanya karena ingin mencantumkan pekerjaan yang bergengsi yang pada akhirnya akan memberatkan diri sendiri, misalnya mut’ahnya ditambah dan lain sebagainya.
6
3) Pendidikan Pendidikan para pihak penting untuk dicantumkan, karena belum dicabut Surat Edaran Direktorat Jendral tentang pencantuman pendidikan dalam identitas para pihak, karena juga penting untuk keperluan penelitian. 3.
Patokan Obscuur Libel Diharapkan apabila kita membaca surat gugatan jangan langsung menyatakan bahwa surat gugatan ini obscuur libel, tetapi harus dicek betul. Patokan obscuur libel menurut Yahya Harahap apabila obyek sengketanya berupa barang tidak bergerak, maka harus jelas batasbatasnya, harus jelas luasnya, harus jelas letaknya dimana. Maksud kabur itu bukan berarti kabur tulisannya atau foto copynya tidak jelas, tetapi yang dimaksud kabur disini adalah obyek sengketanya yang tidak jelas.
4.
Error In Persona Maksud error in persona adalah orangnya atau pihak-pihak yang berperkara tidak sah. Menurut Yahya Harahap, surat kuasa yang tidak sah juga termasuk error in persona. Dengan demikian maka apabila ada surat kuasa dari para pihak, supaya dicek terlebih dahulu, sudah benar atau belum, harus sesuai dengan SEMA tentang syarat-syarat formil dan syaratsyarat materiil surat kuasa. Apabila kita menjumpai surat kuasa, maka: Harus dibaca terlebih dahulu, sejauh mana surat kuasa tersebut diberikan, sudah memenuhi syarat formil maupun syarat materiil atau belum, karena banyak ditemukan surat kuasa yang sudah kadaluwarsa (tidak memenuhi syarat formil). Anak yang masih di bawah umur atau anak yang di bawah pengampuan (curatele), atau orang gila yang kadang-kadang sembuh
7
tapi kemudian kumat lagi, juga termasuk dalam katagori error in persona. 5.
Plurium Litis Consortium Maksudnya masih adanya pihak yang belum ikut dalam perkara itu. Misalnya dalam bidang kewarisan, semua ahli waris harus ikut sebagai pihak dalam surat gugatan, tidak boleh ada yang tertinggal. Apabila dia pasif, maka diletakkan/ dikualitaskan sebagai “Turut Tergugat”. Dalam hukum acara perdata, masalah gugatan diserahkan kepada penggugat, terserah penggugat akan menggugat siapa, tetapi dalam bidang kewarisan tidak bisa diberlakukan seperti itu, yaitu semua ahli waris harus ikut sebagai pihak dalam gugatan.
6.
Fakta Kejadian yang Tidak Lengkap Dalam membuat surat gugatan ada 2 (dua) teori yang dianut, yaitu: (1) Substantiering Theori, yaitu surat gugatan dibuat dengan memuat a sampai z tentang sesuatu hal yang digugat. Artinya apabila seseorang menggugat masalah tanah waris, maka sejarah tanah waris tersebut harus dimuat dalam posita gugatan, mulai dari awal sejarah tanah tersebut sampai z harus dimuat. (2) Individualisering Theori , yaitu surat gugatan yang dibuat dengan hanya memuat pokok-pokoknya saja. Sebaiknya kita memakai yang substantiering theori, artinya yang lengkap sehingga nantinya dalam pembuktian hakim tidak sulit. Maksud dari fakta kejadian yang tidak lengkap itu adalah sepotongsepotong, sehingga sangat menyulitkan bagi hakim dalam memeriksa perkara tersebut.
7.
Fakta Hukum Tidak ada Sebagian besar yang ada di Pengadilan Agama, dalam menyusun surat gugatan tidak mencantumkan fakta hukumnya.
8
Dalam menyusun sebuah surat gugatan harus ada posita, yang di dalamnya memuat feitelijke grounden dan rechtelijke grounden. Biasanya yang rechtelijke grounden ini yang tidak ada dalam gugatan. Apabila yang membuat surat gugatan itu dibantu oleh orang/ pegawai pengadilan agama, dianjurkan supaya dimuat tentang fakta hukumnya, jangan sampai nanti perkaranya tidak diterima (niet onvankelijke verklart) akan menimbulkan masalah. Bahwa orang tahu terhadap apa yang dilanggar itu harus ada peristiwa hukumnya apa, misalnya kawinnya kapan, kumpulnya kapan, punya anak berapa dan sekarang suami telah meninggalkan isteri selama dua tahun, maka isteri tidak rela dan meminta cerai karena suami telah melanggar ta’lik talak. Jadi disini jelas bahwa persitiwa hukumnya adalah pelanggaran ta’lik talak. Maka dalam menyusun surat gugatan harus ditulis, dengan demikian suami saya telah melanggar ta’lik talak, karena telah meniggalkan saya selama 2 (dua) tahun, atau tidak memberikan nafkah kepada saya selama 3 (tiga) bulan secara berturutturut, atau membiarkan dan tidak memperdulikan saya selama 6 (enam) bulan berturut-turut. 8.
Permintaan Sita dalam Petitum Artinya permintaan sita tidak ditulis/dimasukkan dalam petitum, tetapi permintaan sita itu hanya ditulis/ dimasukkan di bagian bawah dari posita di bawah bagian fakta hukum. Misalnya, sehubungan dengan dikhawatirkan akan dipindahtangankan atau dialihkan, maka kami mohon kepada Ketua Pengadilan Agama cq. Majelis Hakim untuk meletakkan sita. Dalam petitum yang diminta bukan permintaan sitanya, tetapi permintaan sah dan berharga sita, sehingga nanti akan dijawab dalam amar menyatakan sah dan berharga sita. Dengan adanya hal-hal seperti ini diharapkan para hakim memahami benarbenar masalah sita. Sita itu ada 3 (tiga) macam : 1) Sita Jaminan (conservatoir beslaag) CB;
9
2) Sita Revindikasi (revindicatoir beslaag)¸ yaitu sita terhadap barang Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat. 3) Sita Eksekusi. Sita Jaminan dan Sita Revindikasi sebagai wewenang majelis hakim, sebelum perkara diputus, dilakukan hanya 1 (satu) kali, bisa atau tidak bisa dilaksanakan dibuat berita acara. Sedangkan Sita Eksekusi dilakukan setelah perkara putus, dilakukan oleh ketua pengadilan agama,
bisa
dilakukan
berkali-kali/
berulang-ulang.
Terhadap
pembayaran sejumlah uang bisa dilakukan eksekusi berulang-ulang, outputnya berupa lelang. Sita Jaminan dan Sita Revindikasi hanya mencatat barang yang disita. Panitera/Jurusita yang melaksanakan sita datang ke tempat barang yang akan disita kemudian mencatat dan membuat berita acara. Sedangkan untuk sita eksekusi barangnya diblokir atau diambil dilelang oleh pengadilan. Jangan sampai terjadi seperti di Pengadilan Agama Lubuk Linggau, ada sapi yang disita, diambil dan dibawa ke kantor pengadilan agama, kemudian sapi tersebut diikat di belakang Kantor Pengadilan Agama Lubuk Linggau. Tindakan seperti ini adalah tindakan yang keliru, padahal sapi tersebut tenaganya dipergunakan untuk memutar penggilingan kopi. Contoh lain di Pengadilan Agama Nganjuk, yang disita adalah sebuah mobil truk, mobil tersebut disita dan dibawa ke kantor pengadilan agama dan di parkir di halaman kantor pengadilan. Contoh sita eksekusi terkait hutang piutang, misalnya si A berhutang kepada si B sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dengan perjanjian akan dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, tetapi setelah lewat waktu 1 tahun hutang tersebut tidak dibayar, kemudian si B menggugat ke pengadilan dan di pengadilan diputuskan bahwa benar si A berhutang kepada si B sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), menghukum kepada si A untuk membayar hutang kepada si B sebesar Rp. 10
100.000.000,- (seratus juta rupiah), tetapi tidak ada sita sebelumnya. Maka setelah BHT putusannya si B mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan yang memutus perkaranya. Pemohon sita (B) akan ditanya barang si A yang ada apa saja, misalnya ada sebuah mobil, kemudian pengadilan membuat perintah sita eksekusi terhadap sebuah mobil si A tersebut. Kemudian datanglah jurusita pengadilan mengeksekusi mobil si A dan melelangnya, ternyata hasil penjualan lelang hanya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), maka sisa hutangnya masih Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) lagi. Misalnya si B melihat barangnya si A masih ada, berupa sebuah motor vespa, kemudian si B mengajukan permohonan sita lagi ke pengadilan supaya barangnya si A berupa sebuah motor vespa disita lagi untuk melunasi hutangnya, kemudian pengadilan membuat penetapan perintah eksekusi dan jurusita mengeksekusi dan menjual lelang motor vespa si A dan misalnya hanya laku R. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), jadi hutang si A kepada si B masih ada sisa Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Kemudian apabila si A masih punya barang lagi yang bisa dieksekusi maka bisa dimohonkan eksekusi lagi supaya hutang si A kepada si B lunas. Jadi eksekusi bila dilakukan berulang kali sampai prestasi lunas. Bahwa di pengadilan agama tidak dikenal sita marital (marital beslaag), yang mengenal sita marital hanya dalam BW (Burgerlijk Wetboek). Sita marital adalah sita yang dilakukan hanya terhadap barang-barang yang dikuasai tergugat, atau yang dikuasai oleh isteri pada umumnya. Sedangkan dalam undang-undang dikenal harta usaha bersama. Jadi boleh dilakukan terhadap harta yang dikuasai oleh penggugat maupun yang dikuasai oleh tergugat. Terhadap permohonan sita yang tercantum dalam surat gugatan, maka sikap hakim ada 3 (tiga), yaitu : 1) Mengabulkan 11
•
Dalam hal permohonan sita dikabulkan, maka dibuatlah penetapan sita, sekaligus dengan pemanggilan sidang. Jadi tidak perlu lagi memakai blanko relaas panggilan seperti biasa.
2) Menolak •
Dalam hal permohonan sita ditolak, maka dibuatlah penetapan penolakan sita, sekaligus dengan pemanggilan sidang. Jadi tidak perlu lagi memakai blanko relaas panggilan seperti biasa.
3) Menangguhkan •
Dalam hal permohonan sita ditangguhkan, maka : dilakukan sidang insidentil, kemudian dibuatlah penetapan penangguhan sita. Penangguhan sita dilakukan dengan alasan bahwa belum ada urgensinya untuk dilakukan sita. Dalam penangguhan sidang insidentil tidak boleh ditangguhkan waktunya terlalu lama.
•
Sidang insidentil dalam hukum acara hanya dikenal 2 macam, yaitu : (1) Sidang insidentil untuk penagguhan sita dan (2) Sidang insidentil untuk permohonan prodeo.
•
Yang dimaksud sidang insidentil adalah sidang yang dilakukan yang menyimpang dari asas persidangan pada umumnya. Misalnya dalam persidangan dengan acara biasa (pemeriksaan pokok perkara), asas unus testis nulus testis tidak berlaku, tetapi dalam sidang insidentil asas unus testis nulus testis boleh dipakai. Atau asas testimonium de audito dalam pemeriksaan perkara acara biasa (pemeriksaan pokok perkara) tidak boleh dipakai, tetapi dalam sidang insidentil asas tersebut boleh diberlakukan. Misalnya saksi mengatakan benar saya mendengar bahwa si A itu 12
miskin, makan sehari-hari saja susah, (saksi tidak melihat langsung keadaan si A). Paling banyak ditemukan dalam berita acara di berbagai kegiatan bedah berkas yaitu : Ada penetapan perintah sita dari ketua majelis kepada jurusita dan jurusita sudah melakukan penyitaan dan sudah dibuat berita acara sita serta sudah dilaporkan kepada ketua majelis, tetapi oleh majelis hakim didiamkan terus berlarut-larut dan bahkan tidak dinyatakan dalam sidang bahwa sita sah dan berharga. Namun kemudian dalam amar putusan ditemukan bahwa sita dinyatakan sah dan berharga, padahal setelah dilakukan sinkronisasi dengan berita acara ternyata tidak ada pernyataan hakim dalam persidangan tentang sita sah dan berharga tersebut. Seharusnya apabila penyitaan sudah dilakukan oleh jurusita dan sudah dibuat berita acara sitanya dan sudah dilaporkan kepada majelis hakim, maka majelis hakim segera mengadakan sidang untuk itu, atau bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara, berita acara penyitaan itu dibacakan dalam sidang : •
Apabila pelaksanaan sita sudah berhasil, maka dinyatakan dalam sidang sita sah dan berharga serta dicatat dalam berita acara persidangan.
•
Apabila ternyata sita tidak bisa dilaksanakan, maka dinyatakan dalam sidang bahwa sita tidak sah dan tidak berharga, atau barangnya sudah tidak ada, serta dicatat dalam berita acara persidangan oleh panitera pengganti.
•
Panitera pengganti tidak boleh disingkat dengan singkatan “panti”, tetapi yang lazim dipakai di Mahkamah Agung adalah “PP”. Bahwa siapapun (baik itu panitera, panitera muda maupun lainnya) yang membantu hakim dalam persidangan itu namanya “panitera pengganti”, bukan panitera sidang. Contoh apabila seorang hakim kemudian menjadi asisten hakim agung kemudian mengikuti sidang, 13
maka bukan disebut hakim, tetapi disebut “panitera pengganti” walaupun dia seorang hakim. Bahwa biaya sita itu ditaksir dan dipungut 1,5 (satu setengahnya). Misalnya jika ditaksir satu kali pelaksanaan sita itu Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah), maka petugas Meja I tidak boleh menyampaikan biaya sita 1.500.000,- (satu juta lima ratus rupiah), tetapi uang yang Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) tersebut sebagai cadangan untuk mengangkat sita, apabila ternyata si pemohon sita kalah di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Sebab nantinya kalau si pemohon kasasi kalah dan dia tidak bertanggungjawab tidak perduli dengan biaya pengangkatan sita, maka akan merepotkan pengadilan. Jika ternyata si pemohon sita menang, maka uang tersebut dikembalikan. Bahwa berbagai putusan pengadilan agama, misalnya di pengadilan agama Girimenang, pengadilan agama Donggala, ada gugatan “provisi” yang dimasukkan dalam sita padahal itu sangat berbeda dan tidak boleh dilakukan. 9.
Petitum yang Tidak Jelas
10. Provisi dan Uit Voorbaar Bijvorrad (UBV) 1) Provisi : Provisi aadalah tindakan sementara yang diminta kepada hakim untuk segera diselesaikan. Misalnya barang warisan yang sedang digugat, seperti sawah, tambak ikan, ada permintaan dari tergugat supaya kegiatan yang ada dalam obyek sengketa tersebut diberhentikan dulu, jangan digarap dulu. Aatau di pengadilan agama sering ada permintaan isteri terhadap nafkah atau biayha untuk anak-anak selama gugatan berlangsung, misalnya anak-anak perlu biaya untuk ujian atau biaya lainnya, supaya suami segera membayar. Provisi yang lainnya, misalnya pembangunan tembok pembatas, supaya dihentikan dan lain sebagainya. Ada salah satu pengadilan agama di Kalimantar Timur (yang keliru) yang sedang diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah 14
Agung (diharapkan supaya para hakim berhati-hati dalam menangani perkara yang ada provisi), yaitu ada permintaan provisi terhadap harta usaha bersama. Tergugat meminta kepada majelis hakim untuk diadakan audit terhadap harta usaha bersama yang berupa perusahaan-perusahaan batubara, kemudian majelis hakim mengabulkan permintaan provisi tersebut. Ini adalah perbuatan yang keliru, karena sudah masuk ke dalam pokok perkara yang disengketakan. Jadi yang dimaksud dengan provisi adalah tindakan yang harus segera diambil dan belum menyentuh pada pokok perkara. Apabila ada permintaan provisi, maka sikap hakim, seperti dalam permohonan sita, yaitu : Dibuat
penetapan
perintah
kepada
jurusita
untuk
menghentikan atau supaya tidak melakukan kegiatan terhadap obyek sengketa (sawah jangan digarap dulu, tambak jangan dikerjakan dulu, atau perusahaan batubara jangan beroperasi dulu dan lain sebagainya), Contoh lain di pengadilan agama Negara, ada keanehan, yaitu dalam putusan bagian konvensi dan rekonvensi terdapat amar yang menyatakan menagguhkan sita, padahal ini dalam putusan akhir, terus kapan sita akan dilaksanakan ? 2) UBV (uitvoorbaar bijvorrad) / Putusan Serta Merta Ada sekitar 14 Surat Edaran Mahkamah Agung yang meminta agar pengadilan berhati-hati dalam mengabulkan permohonan UBV. Dalam mengabulkan UBV harus dilihat urgensinya. Apabila tidak ada urgensinya tidak perlu dikabulkan UBV. Apabila memang terpaksa pengadilan harus mengabulkan permohonan UBV, maka: Harus ada izin terlebih dahulu dari Pengadilan Tinggi Agama Harus ada uang jaminan sebesar atau senilai dengan barang yang akan dieksekusi dalam putusan itu. Misalnya nilai barang yang akan dieksekusi adalah 1 Milyard, maka 15
Tergugat harus menjaminkan/mendepositkan uangnya di bank sebesar 1 Milyard atas nama Pengadilan. Apabila tidak ada penjaminan maka UBV tidak bisa dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena nantinya apabila ternyata tergugat kalah, maka barangnya sudah tidak ada lagi karena telah dieksekusi, maka uang jaminan tersebut sebagai gantinya. Pengadilan Tinggi Agama hendaknya berhati-hati dalam memberikan izin UBV. Jangan sampai terjadi seperti di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang akhirnya ribut, yaitu majelis hakim pengadilan agama Jakarta Selatan meminta izin untuk mengabulkan UBV, kemudian oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dikabulkan, kemudian pihak lawan protes meminta untuk dicabut, akhirnya majelis hakim pengadilan agama Jakarta Selatan meminta untuk dicabut, kemudian Pengadilan Tinggi Agama Jakarta mencabut izin UBV, akhirnya smpai sekarang persoalan tersebut belum tuntas. Pengadilan Tinggi Agama harus betul-betul memperhatikan ungensi dalam memberi izin UBV , begitu juga di pengadilan agama harus diperhatikan ada urgensinya ataukah tidak UBV tersebut, kalau tidak ada urgensinya tidak perlu dikabulkan. 11. Permintaan Dwangsom (Uang Paksa) Bahwa melakukan penyitaan terhadap anak tidak diperbolehkan, tetapi mengeksekusi anak diperbolehkan, sesuai Pasal 119 (c) KUH Perdata. Akan tetapi kenyataan dalam praktek eksekusi terhadap anak tidak pernah berhasil. Kadang-kadang anak disembunyikan, atau kadangkadang anak dibawa ke luar negeri. Contoh kasus ketika Bapak Kamil menjadi ketua pengadilan agama Jakarta Selatan ketika akan mengeksekusi anak, begitu datang ke rumah tempat anak akan dieksekusi dilepaslah 2 ekor anjing helder, akhirnya jurusita lari tunggang langgang meninggalkan tempat eksekusi. Begitu juga ketika nara sumber menjadi ketua pengadilan agama Jakarta Timur akan mengeksekusi anak, ketika datang ke tempat eksekusi yang keluar 16
rumah seorang purnawirawan dengan membawa senjata api yang siap ditembakkan dan siapa yang berani masuk akan ditembak, akhirnya eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Ketika nara sumber sebagai ketua pengadilan tinggi agama Medan mempunyai ide, bahwa walaupun dwangsom itu berupa pembayaran sejumlah uang, coba untuk diterapkan dalam hal apabila pihak yang tidak mau menyerahkan anak setelah putusan BHT, maka akan dikenakan uang paksa (dwangsom). Kejadiannya, di Medan ada salah seorang anak guru besar (professor) bercerai, perceraian disebabkan pihak isteri telah kembali ke agama Kristen Protestan, sedangkan anaknya 2 (dua) orang dibawa oleh pihak isteri. Kemudian nara sumber menyampaikan kepada ketua pengadilan agama Medan (sekarang hakim tinggi di PTA Yogjakarta) supaya diterapkan lembaga dwangsom, yaitu apabila anak tidak diserahkan akan dikenakan dwangsom 1 (satu) hari sebesar Rp. 200.000,- (dua ratur ribu rupiah) dan terhadap 2 anak berarti Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah). Perkara tersebut diputus dan dikabulkan oleh pengadilan agama Medan, kemudian banding dikuatkan oleh pengadilan tinggi agama medan, kemudian kasasi dan dalam kasasi yang menangani perkara tersebut adalah nara sumber, maka dikuatkanlah putusan tersebut. Beberapa waktu kemudian nara sumber ditelpon oleh guru besar tersebut yang mengatakan bahwa cucunya telah kembali yang diserahkan secara sukarela oleh ibunya. Hal ini juga terjadi di beberapa PA di Medan dan juga terjadi di Batam, dimana anak dibawa ke Singapura karena kawin dengan orang china di Singapura, tetapi setalah diterapkan lembaga dwangsom, anak tersebut dikembalikan anak tersebut kepada ayahnya. Lebih baik diterapkan lembaga dwangsom terhadap masalah anak, daripada nantinya dieksekusi secara paksa yang akan menimbulkan masalah. Hak tersebut dilakukan dengan catatan bahwa permintaan dwangsom tersebut harus masuk dalam petitum, tidak boleh ditambahkan sendiri oleh hakim, nanti dianggap ultra petita. 17
12. Ex Pasal 84 UU. No. 7 Tahun 1989 Pengiriman salinan putusan kepada KUA tempat perkawinan dilangsungkan atau KUA tempat tinggal para pihak. Hal ini tidak perlu diperdebatkan dan sebaiknya ada point tentang pengiriman salinan putusan tersebut dalam putusan. Asbabun nuzul tentang pengiriman salinan tersebut adalah karena BPS kesulitan data tentang berapa banyak orang yang bercerai di Indonesia. Ketika diminta data ke Kementerian Agama, ternyata disana tidak bisa memberikan data secara pasti, karena perceraian itu ada di PA. Untuk mencari solusi masalah tersebut maka diterapkan Pasal 84 UU. No. 7 Tahun 1989, yaitu mengirimkan salinan putusan ke KUA, juga sesuai dengan SEMA. Untuk di lingkungan peradilan umum mereka tertib mengirimkan salinan putusan, namun dilingkungan PA masih ada yang protesprotes. Seperti di Bandung mereka tidak mau melaksanakan ex Pasal 84 karena itu merupakan tindakan administratif, di Pontianak juga seperti itu. Apabila disadari, apakah sulitnya menuliskan satu point dalam putusan tentang ex Pasal 84 tersebut, sebab apabila perkara yang diputus tidak ada amar terkait ex Pasal 84, kemudian sampai tingkat kasasi, maka nanti di tingkat kasasi amar tersebut pasti akan dirubah dan ditambahkan. Olehnya itu lebih baik sejak dari awal dicantumkan ex Pasal 84 tersebut. 13. Penetapan Majelis Hakim (PMH) Dalam pembuatan PMH nama hakimnya tidak boleh disingkat, tetapi harus ditulis secara jelas dan lengkap sesuai dengan yang ada dalam SK. Dalam PMH harus ada cap pengadilan agama yang bersangkutan. Pergantian anggota majelis harus dengan PMH baru. Di pengadilan negeri pergantian anggota majelis cukup ditulis dalam berita acara, tetapi di pengadilan agama harus dengan PMH baru karena ada unsur 18
dayani, yaitu tauliyah, bahwa hakim diberikan oleh Presiden kepada ketua pengadilan, selanjutnya ketua pengadilan yang membagikan perkara kepada para hakim. Ketua majelis tidak dibenarkan merubah anggota majelis yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan, sebab apabila majelis hakimnya tidak sah maka putusan yang dihasilkan, misalnya tentang perceraian, maka juga tidak sah, berarti majelis hakim telah melegalkan perzinaan. Dengan demikian jangan dianggap sepele masalah PMH ini. 14. Penunjukan Panitera Pengganti Ditemukan banyak variasi dalam penunjukan panitera pengganti, ada yang memakai surat tugas, ada yang memakai surat penetapan, ada yang memakai surat penugasan, yang sebenarnya sesuai dengan buku II, yaitu “Penunjukan Panitera Pengganti”, kemudian ditandatangani oleh Panitera. 15. Pembacaan Surat Gugat Pembacaan surat gugat sesuai dengan HIR/RBg dilakukan oleh Ketua Majelis. Setelah surat gugat dibacakan oleh ketua majelis, maka kesempatan selanjutnya langsung diberikan kepada Tergugat (sesuai dengan HIR/RBg dan risalah Umar Bin Khaththab)). 16. Jawaban Tergugat Bahwa jawaban tergugat terhadap gugatan penggugat ada 4 macam, yaitu : 1) Dalam bentuk eksepsi Ada sekitar 17 macam eksepsi, namun apabila disimpulkan ada 3 macam tujuan diajuaknnya eksepsi , yaitu : (1) Tolak (2) Halang (3) Menggagalkan Apabila eksepsi yang diajukan menyangkut kewenangan absolut pengadilan, maka diputus dengan putusan sela. 19
Bahwa putusan sela tidak dibuat berasing-asing atau melekat dengan berita acara, tetapi khusus putusan sela tentang kewenangan absolut dibuat berasing-asing (berdiri sendiri) dengan berita acara. •
Apabila eksepsi yang menyangkut kewenangan ditolak, maka
diperintahkan
kepada
para
pihak
untuk
melanjutkan perkaranya. •
Apabila
eksepsi
yang
menyangkut
kewenangan
dikabulkan, maka putusan sela tersebut menjadi putusan akhir. Terhadap putusan tersebut bisa dilakukan upaya hukum (banding/ kasasi). Bahwa di Karawaci telah dibahas. Apabila terhadap putusan tersebut diajukan banding dan kasasi, ternyata Mahkamah Agung berpendirian tidak dikabulkan kasasinya, maka otomatis akan ada amar yang memerintahkan kepada para pihak untuk melanjutkan perkaranya. Disini timbul persoalan, apakah perkara baru atau ikut perkara yang lama ? Sudah diputuskan di Karawaci bahwa perkara tersebut tetap menjadi perkara lama dan jurnal dibuka kembali serta panjar biaya perkara diminta kembali. 2) Bantahan terhadap pokok perkara 3) Mengakui gugatan penggugat. Pengakuan itu ada 3 macam, yaitu : (1) Pengakuan murni (2) Pengakuan berkualifikasi (3) Pengakuan berklausula
20
Pengakuan berkualifikasi dan pengakuan berklausula harus tetap dibuktikan. Tentang pembebanan pembuktian, HIR maupun RBg menyatakan, bahwa siapa yang menyatakan mempunyai hak, maka dia harus membuktikan. Dalam perkembangan sekarang hal tersebut sudah tidak mutlak lagi, terserah kepada hakim pembuktian dibebankan kepada siapa (tergantung kepada kasus yang ditangani). 4) Reperte (Pasal 153 HIR) Reperte adalah menyerahkan sepenuhnya perkara kepada hakim (pasrah bongkoan kepada hakim). Bahwa reperte ini hanya berlaku pada peradilan tingkat pertama saja, tidak berlaku pada peradilan tingkat banding maupun tingkat kasasi. Bahwa apabila dalam peradilan tingkat pertama pihak tergugat reperte, kemudian perkaranya diputus dan setelah difikir-fikir tergugat mengajukan banding dan membuat memori banding, maka perkaranya tidak boleh di NO dengan alasan bahwa tergugat pada peradilan tingkat pertama reperte. 16. Descente (Pemeriksaan Setempat) Descente di dalam HIR disebut “Pemeriksaan Setempat”, sedangkan dalam RBg. disebut “Sidang di Tempat”. Adapun tujuan dilaksanakan descente adalah untuk memperjelas permasalahan tentang obyek yang disengketakan. Hendaknya berhati-hati dalam melaksanakan descente, karena sudah banyak yang menjadi korban, bukannya korban berupa fisik, tetapi dihukum oleh Mahkamah Agung. Sebagai contoh, baru-baru ini majelis hakim pengadilan agama Jakarta Timur salah dalam melaksanakan descente, yang akhirnya dihukum oleh Mahkamah Agung tidak diberikan tunjangan remunerasi selama 1 tahun, ketua majelisnya diturunkan pangkatnya satu tingkat lebih rendah, kemudian
21
2 orang hakim anggotanya tidak diizinkan melaksanakan sidang selama 1 tahun. Apabila ada permohonan descente, maka ada 3 pilihan bagi majelis hakim, yaitu : 1) Hakim boleh melaksanakan sidang di kantor, kemudian berangkat ke lokasi, kemudian kembali lagi ke kantor dan menutup sidang tersebut. 2) Hakim berangkat ke kelurahan, kemudian membuka sidang di kelurahan, kemudian pergi ke lokasi, setelah itu kembali lagi ke kelurahan dan menutup sidang. 3) Hakim langsung ke lokasi, kemudian melakukan descente di lokasi, setelah selesai kemudian sidang ditutup di lokasi. Yang langsung ke lokasi inilah menurut nara sumber cara yang terbaik dan majelis hakim tidak perlu memakai toga. Jangan sampai terjadi seperti di PA Curup, ada hakim yang melaksanakan descente di lokasi memakai toga lengkap. Pada saat melakukan pengukuran obyek sengketa datanglah massa dengan membawa senjata tajam, akhirnya hakim yang melaksanakan descente lari tunggang langgang meniggalkan lokasi. Yang penting setelah pelaksanaan descente dibuatkan berita acara sidang, untuk memperjelas obyek sengketa, apakah obyek yang disengketakan itu benar-benar sesuai dengan surat gugat ataukah tidak. Atau apakah bertindih dengan tanah orang lain, atau terkena erosi atau terkena rui jalan atau terkena pemekaran wilayah, sehingga letaknya berbeda. Walaupun dibuatkan berita acara, tetapi tidak perlu dibuat gambar yang macam-macam, atau dalam putusan dibuat gambar (seperti dalam berkas perkara yang dibedah dalam bintek ini). Atau seperti di PA Depok, di dalam putusan ada foto-foto pada saat melaksanakan ibadah umrah, karena yang menjadi penyebab terjadinya pertengkaran adalah pada saat ibadah umrah. Pada saat melaksanakan ibadah haji atau umrah apabila tidak didasari atas kesadaran dan kesabaran, maka 22
antara suami isteri sering terjadi pertengkaran dan hal ini nara sumber sering menemui kasus seperti itu, pada saat menunaikan ibadah haji atau umrah banyak yang bertengkar karena tidak bisa menahan emosi, yang akhirnya bercerai. Seperti kasus di PA Depok, pada saat di Madinah dalam melaksanakan shalat berjama’ah di Masjid Nabawi dipisahkan antara jama’ah laki-laki dan jama’ah perempuan, kemudian mereka janjian untuk bertemu di suatu tempat, akan tetapi setelah isteri menunggu berjam-jam suaminya tidak ada, akhirnya isterinya marah dan pergi menghilang dan setelah 2 hari kemudian ditemukan di Posko. Dari situlah kemudian suami isteri tersebut bertengkar terus menerus dan akhirnya bercerai. Bahwa berita acara descente kemudian dituangkan dalam putusan dan selanjutnya
dipertimbangkan,
serta
bagaimana
sikap
hakim
selanjutnya. Bahwa menurut Trisna tentang komentar terhadap HIR dan RBg, bahwa descente itu merupakan alat bukti yang samar-samar. Sebenarnya fungsi descente adalah sebagai alat bukti, untuk memperjelas permasalahan obyek sengketa. Yang perlu diperhatikan, bahwa dalam pelaksanaan descente adalah : Tidak ada honor. Jangan sampai seperti yang terjadi di Kalimantan,
hakim
yang
melaksanakan
descente
ribut
mempersoalkan honor. Dalam pelaksanaan descente tidak ada honor dan tidak ada uang makan. Yang diperbolehkan menurut KPK hanyalah biaya rental mobil yang dipakai untuk descente, apabila di kantor tidak ada mobil. Apabila di kantor ada mobil, maka boleh memakai mobil kantor. Pelaksanaan descente dilaksanakan lebih awal lebih bagus, sebelum pelaksanaan sita descente dilaksanakan terlebih dahulu tidak ada salahnya. Jangan seperti yang terjadi di PA Surabaya atau PA Malang, setelah 17 kali sidang kemudian perkaranya di NO, karena pada saat
23
sidang ke 16 descente ternyata barangnya tidak sesuai dengan yang ada dalam surat gugatan, hal ini merugikan para pihak. Dalam bidang kewarisan atau harta bersama, sebaiknya diadakan descente. 17. Pemakaian Jam/ Pukul Dalam menyebutkan waktu persidangan sudah ada ketentuan, yaitu memakai kata “pukul....” sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar. Jam adalah bendanya, sedangkan petunjuk waktunya adalah pukul.
B. TEMPAT DIAJUKANNYA GUGATAN 1.
Cerai Talak/Gugat di Tempat Pemohon/Penggugat Cerai talak diajukan di tempat kediaman pemohon, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Aktur Scuitur Forum Rey Dalam hukum acara perdata terdapat ketentuan, bahwa setiap gugatan diajukan di tempat kediaman tergugat, tetapi di lingkungan peradilan ada ada exeption, kalau perceraian diajukan di tempat kediaman pemohon.
3.
Aktur Scuitur Forum Rey Sitae Bahwa gugatan diajukan di tempat barang tetap berada. Misalnya tanah sengketa berada di Masohi, sementara penggugat sebagai penduduk Kota Ambon, maka gugatan diajukan di Masohi, di tempat tanah sengketa berada.
4,
Tempat yang Diperjanjikan, Apabila Ada Hal Suatu Transaksi/ Kontrak Gugatan diajukan di tempat yang telah disepakati dan biasanya hal ini sudah dimasukkan dalam kontrak, yaitu misalnya klausula yang menyatakan bahwa apabila terjadi permasalahan ini itu dan sebagainya, maka akan diselesaikan di PA Ambon. 24
Apabila ternyata dikemudian hari terjadi permasalahan, maka tidak boleh diajukan di tempat tinggal penggugat (misalnya di PA Masohi), tetapi harus diajukan di PA Ambon (di tempat yang diperjanjikan). Di Jakarta banyak terjadi hal seperti ini, sudah ada perjanjian (di bidang perjanjian perkawinan), sudah diperjanjikan apabila terjadi konflik, maka akan diselesaikan di PA Jakarta Utara, namun kemudian ternyata diajukan di PA Jakarta Selatan, maka hal ini tidak boleh dan harus telah diajukan di PA Jakarta Utara sesuai dengan yang telah diperjanjikan. C. KUASA HUKUM 1.
Surat Kuasa yang Tidak Memenuhi Syarat Formal (Lihat Surat MARI No. 31/P/169/M/1959 tanggal 19 Januari 1959 hal 86) Apabila ada kuasa hukum/pengacara, janganlah takut, hadapi dengan baik, karena bukan dia yang mengendalikan kita, tetapi kita yang mengendalikan pengacara itu. Hakim lebih pintar daripada pengacara. Apabila dalam suatu perkara ada surat kuasanya, maka dibaca dan diteliti terlebih dahulu, apakah surat kuasa sudah benar ataukah belum, sampai sejauh mana kuasa itu diberikan, sebab banyak dijumpai tidak dikuasakan kepada yang bersangkutan, tetapi tindakan pengacara melebihi dari apa yang telah dikuasakan.
2.
Pemasangan Materai Salah Surat Kuasa yang Tidak Sesuai Dengan UU No. 13 Tahun 1985 Surat kuasa diperiksa apakah pemasangan materei sudah sesuai dengan Pasal 7 UU. No. 13 Tahun 1985, sebab banyak sekali hakim tinggi yang menyatakan NO suatu perkara karena pemateraiannya tidak sesuai dengan Pasal 7 UU. No. 13 Tahun 1985 tersebut. Pihak yang berperkara yang hanya terjadi kesalahan kecil pada surat kuasa, misalnya tidak ada tanggal, atau tidak ada tahun, berakibat perkaranya di NO ini kasihan. Tindakan hakim tinggi yang demikian memang
25
tidak salah, karena aturannya menyatakan demikian. Hakim tinggi seharusnya menjatuhkan putusan sela untuk memperbaiki surat kuasa. Terlepas dari itu diharapkan persoalan surat kuasa di tingkat PA sudah selesai, yaitu apabila ada kekurangan-kekurangan dalam surat kuasa supaya diperbaiki. 3.
Surat/Kartu yang Sudah Habis Masa Berlaku Apabila masa berlaku Kartu Anggota advokat atau pengacara, maka selesailah sudah tugasnya dan tidak bisa lagi bertindak sebagai kuasa, supaya ganti pengacara yang lain atau tidak perlu memakai kuasa hukum. Tidak perlu diperhatikan misalnya ada surat keterangan bahwa kartu anggotanya masih dalam proses atau alasan lainnya, sebab nantinya akan bermasalah terhadap legal standing kuasa tersebut.
4.
Surat Kuasa yang Tidak Boleh Dicabut Oleh Pemberi Kuasa/ Dikenakan Denda Ada trend dari pengacara, seperti di Bandung atau di kota-kota besar lainnya, pengacara membuat surat kuasa yang mencantumkan klausula surat kuasa ini tidak bisa dicabut dan apabila dicabut dikenakan sanksi Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Apabila ada surat kuasa yang dibuat seperti ini, maka kewajiban hakim untuk menegur atau mengingatkan kepada pengacara. Bahwa selama ini Mahkamah Agung menganut prinsip perjanjian dalam surat kuasa adalah perjanjian sepihak, terserah kepada salah satu pihak apakah mau mencabut, kapan mau mencabut, sepenuhnya terserah salah satu pihak dan tidak ada sanksinya.
5.
Kuasa Insidentil dan Siapa Saja yang Dapat Menjadi Kuasa Insidentil (lihat SEMA/TUADA MARI ULDITUN Nomor MA/Kumdil/8810/IX/ 1987, antara lain: 1). Isteri dan suami (bukan ex suami & ex isteri) 2). Anak-anak yang belum berkeluarga 3). Orang tua dari suami isteri tersebut 26
Kuasa insidentil sejak berlakunya UU. Nomor 18 Tahun 2009 tentang advokat sudah tidak berlaku lagi, akan tetapi ada pasal yang diajukan yudicial review ke MK, yang kemudian memperbolehkan adanya kuasa insidentil. SEMA tentang kuasa insidentil hanya terbatas kepada 3 orang sebagaimana tersebut di atas, dengan catatan harus ada izin dari ketua pengadilan. Apabila tidak ada izin dari ketua pengadilan, maka tidak boleh. Perlu diperhatikan bahwa kuasa insidentil tidak boleh dilakukan berulang-ulang atau bahkan terus menerus. 6.
Substitusi Bahwa tidak ada kewajiban mencantumkan kuasa substitusi dalam surat kuasa. Sering ditemukan dalam bedah berkas bahwa dalam surat kuasa tidak ada substitusi, namun dalam persidangan ternyata orang lain yang mewakilinya, ini tidak boleh terjadi karena tidak ada legal standing dan tidak ada substitusi. Apabila dalam surat kuasa tidak ada substitusi, maka dalam persidangan harus dihadiri oleh yang ditunjuk atau tanda tangan dalam surat kuasa tersebut. Misalnya yang tanda tangan 3 atau 5 orang, maka yang hadir harus 3 atau 5 orang, tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Apabila dalam surat kuasa disebut adanya substitusi, maka orang lain boleh masuk dalam persidangan karena adanya substitusi tersebut.
D. PEMANGGILAN SIDANG 1.
Dalam Wilayah Yurisdiksi Harus bertemu langsung (resmi) Harus sudah diterima 3 hari sebelum sidang (patut) Tidak boleh melalui RT/RW, harus melalui Kepala Desa/Lurah
27
Banyak yang berpendapat bahwa relaas panggilan boleh disampaikan kepada RT/RW karena mereka yang lebih tahu, namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa berdasarkan UU. Pemerintahan Desa, bahwa pejabat publik yang paling rendah adalah Kepala Desa/Lurah, bukan RT atau RW. Oleh karena itu apabila dilihat dari yurisprudensi MA mulai tahun 1995 sampai sekarang, semua pemanggilan yang tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil, maka relaas panggilan tidak boleh disampaikan melalui RT/RW, tetapi harus disampaikan kepada Kepala Desa/ Lurah di tempat yang dipanggil bertempat tinggal. Bolehkah Relas ditinggal pada ahli warisnya? Banyak hakim yang terobsesi oleh pemikiran Yahya Harahap, yaitu relaas boleh diserahkan kepada ahli warisnya, namun Mahkamah Agung belum memperkanankan hal itu, artinya apabila pihak yang dipanggil tidak berada di tempat, maka relaas panggilan dibawa ke kantor desa/kelurahan dimana yang dipanggil bertempat tinggal. 2.
Di luar Wilayah Yurisdiksi Minta bantuan ke Pengadilan Agama lain Surat permohonan dikirim oleh Panitera PA Relaas dari PA yang diminta bantuan Dalam praktek banyak ditemukan bahwa yang dikirim adalah relaas dari PA yang meminta bantuan dan ini salah, yang sebenarnya relaas adalah dari PA yang diminta bantuan. Dilaksanakan oleh Juru Sita PA yang diminta bantuan. Hasil/Relaas dikirim oleh Panitera PA yang diminta bantuan ke PA yang meminta bantuan. Biaya dikirim ke PA yang diminta bantuan, kalau kurang minta tambah.
28
Sangat banyak permintaan pemanggilan, tidak dilayani oleh PA yang dimintakan panggilan (masalah serius). 3.
Luar Negeri Melalui Dirjen Protokol & Konsuler Deplu Tidak perlu tunggu Relaas kembali Tetapkan batas waktu sidang (paling lama 3 bulan) Bolehkah panggilan dikirim secara langsung kealamat Tergugat yang jelas alamat di luar Negeri? Apabila tergugat alamatnya jelas diketahui di luar negeri, tidak boleh relaas dikirimkan langsung ke alamat tergugat, tetapi pihak tergugat cukup diberikan tembusannya.
4.
Panggilan yang Ghaib/Ghoibah Yang tidak jelas alamatnya di Indonesia, langsung dipanggil melalui mass media tanpa sidang lebih dahulu Panggilan pertama untuk sidang 4 bulan yang akan datang (tanggal ditetapkan) Panggilan kedua dilakukan satu bulan setelah panggilan pertama, juga untuk hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan pada sidang pertama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebelum diumumkan harus di sidangkan lebih dahulu, perlu ada sinkronisasi & perlu di diskusikan lebih lanjut. Sebelum pemanggilan diumumkan di media massa, maka tidak perlu disidangkan terlebih dahulu. Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan, setelah tergugat dipanggil ternyata tidak hadir, maka perkara diputus. Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan ternyata tergugat hadir, maka terhadap hal ini ada 2 pendapat :
29
1). Menurut Hensyah Syahlani, langsung saja perkaranya diputus dan apabila pihak tergugat tidak puas terhadap putusan tersebut, maka boleh mengajukan upaya hukum. 2). Menurut Iman Anis, tidak boleh perkaranya langsung diputus, tetapi harus memberi kesempatan jawab menjawab kepada pihak tergugat sesuai dengan azas equality before the law atau audi et alteram partem. Apabila ternyata tergugat mengetahuui adanya pengumuman pemanggilan melalui mass media dan datang ke pengadilan serta menyerahkan alamatnya kepada panitera, maka tugas panitera adalah memanggil penggugat untuk merubah alamat tergugat yang ada dalam surat gugatannya disesuaikan dengan alamat yang sebenarnya, selanjutnya penggugat dan tergugat dipanggil biasa dan tidak lagi berlaku pemanggilan secara ghaib. E. ACARA SIDANG 1.
Acara Biasa
2.
Acara Kontradiktoir
3.
Verstek - Verzet
F. AZAS-AZAS PERSIDANGAN 1.
Personalitas keIslaman Dalam UU. No. 7 Tahun 1989 azas personalitas keIslaman murni, namun berdasarkan UU. No. 3 Tahun 2006 dan UU. No. 50 Tahun 2009 ada pelenturan terhadap asas personalitas keIslaman. Dalam banyak kaasus orang-orang non muslim bisa dijadikan sebagai saksi. Jangan sampai terjadi ada orang non muslim yang mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, kesaksiannya ditolak. Kesaksian non muslim tidak ada kaitannya dengan dayani, tetapi berkaitan dengan qadla’i (untuk memperjelas masalah).
2.
Persidangan Terbuka Untuk Umum Banyak ditemukan dalam berita acara persidangan, sidang dibuka, kemudian karena perkara perceraian, maka sidang ditutup, kemudian 30
setelah pemeriksaan perkara selesai, sidang ditutup lagi tanpa terlebih dahulu sidang dibuka. Seharusnya sebelum sidang ditutup, maka terlebih dahulu sidang dibuka dan selanjutnya ditutup kembali. Juga banyak ditemukan hakim tidak mengumumkan penundaan sidang dalam sidang terbuka. 3.
Persamaan Hukum (Equality Before the Law)
4.
Persamaan kedudukan (Audi at Alteram Partem)
5.
Prinsip Hakim Aktif Dalam hukum acara perdata hakim bersifat pasif, tetapi di dalam melakukan persidangan, maka hakim harus katif . Keaktifan hakim tersebut antara lain “ 1)
Membantu membuat surat gugat •
Apabila majelis hakim telah membacakan surat gugat dan ternyata masih ada kesalahan atau kekurangan, maka sebelum pemanggilan kepada para pihak, maka dipanggil terlebih dahulu penggugat untuk memperbaiki gugatannya (sesuai HIR/RBg).
6.
2)
Memberi arahan tentang cara beracara secara prodeo
3)
Menjelaskan tentang kuasa hukum
4)
Penjelasan tentang alat-alat bukti
5)
Penjelasan tentang tata cara jawaban dan bantahan
6)
Memberi penjelasan tentang panggilan secara resmi
7)
Memberi penjelasan tentang banding & kasasi
8)
Memberi penjelasan verzet & rekonvensi
9)
Membantu memformulasikan akta damai
Prinsip Persidangan Majelis Pemeriksaan perkara tidak boleh dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali ada izin dari Mahkamah Agung.
31
7.
Pemeriksaan Dilarang Dengan Kata-Kata Kasar Tidak boleh berbicara dengan para pihak dangan kata-kata yang kasar atau kata-kata kotor serta menakut-nakuti. Persoalan rumah tangga dari rumah tidak boleh dibawa di dalam persidangan. Sebaiknya membaca do’a terlebih dahulu sebelum bersidang. Niat yang tulus dan baik dalam sidang, maka malaikat akan datang membantu dan apabila terbersit sesuatu hal yang tidak baik, maka malaikat akan menjauh dan yang datang adalah syetan (hadits). Sebelum bersidang hendaknya bersih lahir dan bathin, wudlu, shalat dan lain sebagainya
8.
Diperbolehkan Dissenting Opinion Dulu kita mengenal azas primus intervarus, yaitu dalam sidang majelis, apabila dua orang hakim telah sepakat, maka hakim yang satunya harus ikut. Tetapi sejak kasusnya Akbar Tanjung, maka diperbolehkan dissenting opinion (berbeda pendapat). Cara meletakkan dissenting opinion dalam putusan, dalam kasus Akbar Tanjung diletakkan dalam lembar tersendiri dan dilekatkan dengan putusan, namun sekarang tidak seperti itu lagi, yaitu : Dissenting opinion ditulis pada bagian akhir dari pertimbangan hukum. Contoh dissenting opinion : “meskipun telah dipertimbangkan sebagaimana tersebut di atas, ada hakim yang bernama ................ (tulis nama hakim) berpendapat sebagai berikut ....... (tulis pendapatnya). Kemudian ada lagi di bawahnya : “Menimbang, bahwa meskipun pendapat hakim ................ seperti itu, maka demi keadilan dan kepastian hukum, hakim ..............
setuju
diputus dikabulkan/ditolak”. Kemudian semua hakim menanda tangani putusan tersebut.
32
G. PERDAMAIAN 1.
Harus Hadir Secara Pribadi (dalam hal perkara perceraian) Tugas hakim dalam urutan pemeriksaan perkara yang pertama adalah mendamaikan para pihak, apabila tergugat tidak ada maka dianjurkan saja kepada penggugat supaya berdamai. Fungsi hakim mendamaikan disini bukan seperti dalam mediasi. Bahkan dalam bidang perkawinan perdamaian itu para pihak materiil harus datang secara pribadi meskipun telah menyerahkan kepada kuasanya, kecuali pihak berada di luar negeri, maka harus dibuat surat kuasa istimewa untuk perdamaian. Dalam perkara bidang perkawinan disetiap kali persidangan harus diupayakan perdamaian oleh hakim, akan tetapi dalam zaken recht atau hukum kebendaan cukup pada persidangan pertama dan apabila tidak bisa didamaikan, maka selanjutnya menempuh mediasi.
2.
Mediasi (Perma No. 1 Tahun 2008) Semula semua perkara perdata harus menempuh mediasi, namun kemudian
ditetapkan ada 3 perkara yang tidak perlu menempuh
mediasi, yaitu: 1). Apabila tergugat tidak hadir maka cukup dianjurkan untuk damai dan tidak perlu menempuh mediasi. 2). Dalam perkara voluntair . 3). Dalam perkara-perkara yang memerlukan legalitas hukum (seperti itsbat nikah). Bahwa walaupun sudah ada Perma 01 Tahun 2008 tentang mediasi, namun kewajiban hakim mendamaikan harus tetap dilaksanakan.
33
H. ALAT – ALAT BUKTI 1.
Bukti Surat Bukti Surat adalah segala suatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Jenis-jenis surat sebagai alat bukti ada 2 macam, yaitu : 1) Akta, ada 3 macam, yaitu : (1) Akta Otentik, yaitu suatu akta yang : -
Dibuat oleh pejabat umum dan, atau
-
Dibuat di hadapan pejabat umum (Pasal 1868 KUH Perdata).
(2) Akta di bawah tangan, yaitu suatu akta yang dibuat secara partai dengan maksud sebagai alat bukti (Pasal 1874 KUH Perdata). (3) Akta Sepihak, yaitu berupa surat pernyataan yang dilakukan oleh seseorang. 2) Non Akta, yaitu surat-surat biasa, surat-surat rumah tangga dan surat-surat lainnya. Bahwa dalam bukti surat harus ada 3 hal, yaitu 1) Berlaku Nazegelen, yaitu pematereian di Kantor Pos (UU. No. 13 Tahun 1985). 2) Warmerking, berkenaan dengan orang-orang yang tidak tahu baca tulis, boleh dilakukan oleh Notaris atau oleh Panitera (Pasal 18 1974 BW, Stb.1867 No. 129, Pasal 286 R.Bg). 3) Legalisasi, berdasarkan SEMA yang mewajibkan semua suratsurat yang diajukan sebagai alat bukti dilegalisir terlebih dahulu oleh Panitera. Ada beberapa temuan bahwa bukti surat yang berupa fotocopy tidak dicocokkan dengan aslinya. Semua fotocopy yang diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan, ketua majelis harus mencocokkan dengan aslinya di depan persidangan, kalau sudah cocok kemudian diberi catatan : “Telah dicocokkan dan sesuai dengan aslinya”, 34
kemudian diparaf oleh ketua majelis dan diberi tanggal, bulan, tahun serta diberi tanda bukti P.../T... Apabila fotocopy tidak ada aslinya, maka tidak bisa dipakai sebagai alat bukti, apapun alasannya. Misalnya ada surat keterangan dari Bank bahwa asli suratnya ada di Bank sedang dianggunkan, maka alasan seperti ini tidak bisa diterima. Apabila diperlukan datangkan orang dari Bank untuk menunjukkan surat aslinya di depan persidangan majelis hakim. Demikian juga fotocopy yang sudah dilegalisir kemudian difotocopy lagi untuk dijadikan sebagai alat bukti, ini juga tidak bisa diterima. Sudah banyak sekali putusan yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena bukti surat yang berupa fotocopy tidak dicocokkan dengan aslinya. 2.
Bukti Saksi Saksi diperiksa satu persatu Tidak semua saksi itu di sumpah, ada yang hanya mengucap janji saja. Harus ditanyakan hubungannya dengan Penggugat dan Tergugat, kalau ada hubungan kerja supaya ditanyakan siapa yang memberi gaji. Apabila saksi diberi gaji oleh pihak yang berperkara, maka saksi tidak wajib mengangkat sumpah, tetapi cukup berjanji saja. Tidak perlu keterangan dikonfrontir dengan Penggugat/Tergugat, penilaiannya terserah hakim. Kalau sudah memberi keterangan, dipersilahkan duduk dibelakang Penggugat dan Tergugat, keluarnya sama-sama. Kewajiban saksi ada 3 macam, yaitu : 1) Datang menghadiri acara persidangan 2) Memberi keterangan terhadap apa yang disaksikan, didengar dan dialami sendiri. 3) Mengangkat supah/janji. Bahwa setelah saksi memberikan keterangan, penilaian terhadap keterangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim dan
35
tidak perlu dikonfrontir. Dalam hukum acara pidana memang perlu dikonfrontir, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Apabila keterangan yang disampaikan oleh saksi para pihak (penggugat/tergugat) keberatan, maka para pihak bisa mengajukan keberatannya kepada majelis hakim saat itu juga atau dalam kesimpulan, kemudian keberatan-keberatan pada pihak tersebut dipertimbangan dalam pertimbangan hukumnya. Tentang keterangan saksi bersesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya saksi ada 5 orang, yang satu dengan yang lainnya menerangkan yang dialami atau disaksikan dari sudut yang berbeda-beda, kemudian disimpulkan oleh hakim bahwa bahwa keterangan dari 5 orang saksi tersebut bersesuaian antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi istilah saling bersesuaian itu adalah saling sambung menyambung antara keterangan yang satu dengan keterangan lainnya. Cara penilaian saksi silahkan perdalam Pasal 163 HIR/285 RBg, Pasal 1870 KUH Perdata. Pertanyaan kepada saksi diatur dalam Pasal 150 HIR disebutkan : •
Pertanyaan melalui ketua majelis, artinya ketua majelis yang aktif bertanya kepada saksi, kemudian apabila ada hal-hal yang kurang maka hakim anggota melengkapinya.
•
Pertanyaan yang diajukan oleh majelis harus ada sangkut pautnya dengan pokok perkara.
•
Hakim dapat menunjukan hal-hal perlu tentang duduknya perkara
Penterjemah (Pasal 151, 284, 285 HIR) •
Penterjemah itu diperlukan apabila para pihak itu terdiri dari orang asing, seperti di Bali sering terjadi perceraian antara orang asing dengan orang Indonesia.
•
Penterjemah bagi orang yang bisu, sesuai dengan Rakernas di Ancol sudah diputuskan, bahwa penterjemah bagi orang yang bisu supaya diambil dari orang yang mempunyai hubungan 36
paling dekat dengan orang bisu tersebut (baik keluarga maupun orang lain), karena bahasa isyarat orang bisu itu berbeda-beda. 2.1. Saksi Keluarga Dalam perkara yang terkait dengan keluarga, maka harus ada saksi dari pihak keluarga. Dalam perkara non keluarga, maka berlaku azas umum. Bahwa pertengkaran dan perselisihan itu ada 2 macam, yaitu 1) Syiqaq (dharar) atau pertengkaran yang membahayakan jiwa. Bahawa perkara syiqaq itu sejak awal sudah didaftar sebagai perkara syiqaq. Jangan sampai terjadi dari awalnya bukan perkara syiqaq, tapi kemudian berubah menjadi perkara syiqaq. Hal ini nantinya akan menimbulkan masalah pada register perkara dan laporan perkara serta menyalahi Pola Bindalmin. Konstruksi hukum acara syiqaq adalah : (1) Perlu didengar keluarga/ orang dekat (Pasal 22 PP. Nomor 9 Tahun 1975), bukan sebagai saksi dan sebelum pembuktian. (2) Pembuktian memakai saksi keluarga/orang dekat (Pasal 76 UU. No. 7 Tahun 1989). (3) Mengangkat hakam Pengangkatan hakam ini jika diperlukan, tapi karena perkara perdata sudah dimediasi sejak awal maka perkaranya bisa langsung diputus tanpa pengangkatan hakam. (4) Menjatuhkan putusan 2) Perselisihan biasa (Pasal 19 huruf (f) PP. No. 9 Tahun 1975). Konstruksi hukum acaranya adalah : (1) Perlu didengar keluarga/orang dekat, bukan sebagai saksi dan sebelum pembuktian. (2) Pembuktian berlaku azas umum 37
(3) Menjatuhkan putusan 3.
Bukti Pengakuan Pengakuan ada 3 macam, yaitu : 1) Pengakuan Sempurna Pengakuan sempurna adalah pengakuan yang utuh bulat dan tidak memerlukan pembuktian lagi, karena langsung menjadi fakta yuridis. 2) Pengakuan Berkualifikasi Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan. Misalnya si A berhutang kepada si B, kemudian si A digugat oleh si B karena belem membayar hutangnya, kemudian dalam persidangan si A mengakui punya hutang kepada si B, tetapi hutangnya telah dibayar . 3) Pengakuan Berklausula
Pengakuan berklausula adalah pengakuan yang dikaitkan dengan pelunasan atau kompensasi.
Pengakuan bernilai Hukum hanya didalam sidang (Pasal 174 HIR/311 R.Bg, 1925 BW) Pengakuan di luar sidang hanya sebagai bukti permulaan (Psl 175 HIR/312 R.Bg/1927-1979 BW) Ditemukan banyak hakim yang memutus perkara berdasarkan pengakuan di luar persidangan. Misalnya dalam relaas panggilan, dalam berita acara pemanggilan jurusita menulis bahwa benar tergugat telah pergi meninggalkan penggugat. Dengan dasar berita acara pemanggilan tersebut (fakta di luar persidangan), kemudian hakim yang memutus perkara. Hal ini tidak dibenarkan. Dalam hal perceraian, pengakuan tidak berlaku (ini azas yang berlaku umum), dan masih tetap harus dibuktikan (dengan rumus 5W dan 1H).
38
4.
Bukti Sumpah Sumpah sebagai alat bukti ada 4 macam, yaitu : 1) Sumpah Decissoir (Pasal 156 HIR/ Pasal 183 RBg dan Pasal 1930 KUH Perdata). Apabila sumpah decissoir sudah diucapkan oleh pihak, maka perkara sudah selesai dan dijatuhkan putusan. Jangan ditunda lagi untuk mencari alat bukti yang lain. 2) Sumpah Supletoir (Pasal 155 HIR/ Pasal 183 RBg dan Pasal 1940 KUH Perdata). 3) Sumpah Penaksir 4) Sumpah Lian
5.
Alat Bukti Persangkaan Persangkaan sebagai alat bukti ada 2 macam, yaitu : 1) Persangkaan Hakim (persangkaan berdasarkan hati nurani) 2) Persangkaan berdasarkan undang-undang. Kita tidak dibenarkan memutus perkara berdasarkan persangkaan atau asumbi yang berdiri sendiri. Misalnya di dalam sebuah kamar hotel terdapat sedang berduaan seorang laki-laki dan seorang perempuan, menurut persangkaan bahwa kedua orang tersebut telah melakukan perzinaan. Persangkaan yang demikian ini banyak dipakai oleh hakim sebagai dasar untuk memutus perkara dan hal ini tidak dibenarkan. Persangkaan dapat dipakai sebagai alat bukti tetapi harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang lain. Ibnu Qayyim Al Jauziah menyatakan, bahwa persangkaan itu adalah “hati nurani”. Ketika Ibnu Qayyim Al Jauziah ditanya oleh muridnya “ma huwa ruhul hukmi”, Ibnu Qayyim Al Jauziah tidak bisa menjelaskan dan hanya mengatakan : “apa yang ada pada dirimu”/hati nuranimu”. Untuk itulah, maka semakin lama seseorang menjadi hakim, semakin baik hati nuraninya, karena ruhul hukminya semakin mantap. Ruhul hukmi itu memerlukan proses.
39
6.
Hal yang Tidak Perlu Dibuktikan Pada Hakekatnya Hal yang tidak perlu dibuktikan menurut HIR & R.Bg adalah : 1) Putusan Verstek 2) Notoire feiten Notoire feiten adalah fakta yang telah diketahui umum, misalnya Matahari terbit dari sebelah Timur dan terbenam di sebelah Barat dan lain sebagainya. 3) Pelaksanaan putusan Hakim Pelaksanaan putusn hakim tidak perlu dibuktikan, apa yang disebut di dalam amar putusan, maka harus dilaksanakan. Apakah dalam Perkara Verstek bidang perkawinan perlu dibuktikan? Bahwa sejak tahun 2005 perkara verstek bidang perkawinan (perceraian) tetap harus dibuktikan sebelum perkara tersebut diputus. Jangan mengikuti yang berlaku di peradilan umum, yaitu verstek tanpa dibuktikan. Contoh putusan PA Purwokerto memutus perkara verstek tanpa pembuktian terlebih dahulu.
7.
Cara Menilai Alat Bukti Dalam menilai alat bukti, ada 3 teori yang dipakai, yaitu : 1.
Teori pembuktian bebas
2.
Teori pembuktian terbatas negatif
3.
Teori pembuktian terbatas positif
(lihat Psl 165 HIR/285 RBg & Psl 1870 BW) mewajibkan hakim melakukan tindakan tertentu yang bersifat positif. HIR & RBg = Jalan tengah
40
I.
MUSYAWARAH HAKIM Musyawarah Hakim (lihat Pasal 178 HIR/189 R.Bg) Wajib mencukupkan segala alasan hukum yang dikemukakan oleh para pihak. Misalnya alasan hukum yang disampaikan oleh para pihak kurang, maka hakim harus manambah dan melengkapinya, tetapi tidak boleh sampai merubah pokok perkara. Wajib mengadili segala tuntutan Ultra petitum
J.
MASALAH – MASALAH DALAM PUTUSAN 1.
Identitas Para Pihak Masih banyak ditemukan identitas para pihak dalam putusan disebutkan kuasanya (pihak formil) terlebih dahulu, kemudian disebut pihak materiilnya. Yang benar disebut pihak materiillnya terlebih dahulu, kemudian disebut pihak formilnya.
2.
Posisi Para Pihak kalau ada Intervensi Intervensi adalah aksi hukum yang dilakukan oleh pihak yang masuk dalam suatu perkara yang sedang diperiksa. Yang sering menimbulkan masalah
adalah
cara
masuknya
pihak
intervient
dan
cara
menyidangkannya. Cara masuk intervensi adalah : Pihak yang ingin masuk dalam suatu perkara yang sedang diperiksa mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agama, bahwa ia mempunyai kepentingan hukum disertai dengan alasan-alasannya. Kemudian ketua pengadilan agama mendisposisikan surat tersebut kepada majelis hakim yang sedang menangani perkara yang diintervensi. Kemudian tindakan majelis hakim adalah : 41
•
(Membuka sidang untuk itu) memeriksa permohonan intervensi tersebut, bukan sidang insidentil, untuk memeriksa: (1) Apakah ada dasar hukumnya pihak yang masuk dalam perkara tersebut ataukah tidak (2) Apakah ada hubungan hukumnya ataukah tidak dengan obyek sengketa dalam perkara tersebut (3) Apakah ada alasan hukum ataukah tidak (4) Apakah pihak yang akan masuk dalam perkara tersebut dirugikan ataukah tidak.
•
Majelis hakim setelah memeriksa untuk itu, kemudian membuat putusan sela bahwa pihak boleh masuk dalam perkara tersebut dan apabila diperbolehkan masuk maka diperiksa tersendiri intervensinya.
•
Dalam pertimbangan hukumnya ditulis secara baik, dalam provisi, dalam pokok perkara, dalam konvensi, dalam rekonvensi, dalam intervensi dan dalam konvensi dan rekonvensi.
3.
Putusan Sela tidak boleh di banding dan kasasi, kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Dalam putusan sela yang tandatangan adalah semua hakim dan panitera pengganti dan diberi materei seperti putusan akhir.
4.
Yang menyangkut Kompetensi Relatif harus dibuat putusan sela, kalau dikabulkan langsung menjadi putusan akhir.
5.
Putusan Provisi & UBV yang tiak sesuai dengan prosedur.
6.
Banyak Hakim belum dapat memahami/menggali fakta hukum Bahwa antara fakta dan fakta hukum berbeda. Fakta (peristiwa atau kejadian) adalah peristiwa yang telah terjdi, sedang terjadi, diperkirakan akan terjadi, selalu terikat oleh ruang dan waktu, berstruktur dan sifatnya konstan. Fakta hukum adalah fakta yang telah dibuktikan
42
Contoh kasus di PA Jakarta Selatan yang mengabulkan tuntutan nafkah bathin sebesar Rp. 1.320.000.000,- (satu milyard tiga ratus dua puluh juta rupiah). Ada seorang isteri yang menggugat cerai suaminya sebagai direktur sebuah perusahaan perkebunan di Bogor , tetapi suaminya menetap di Jakarta Selatan. Isteri menggugat nafkah bathin dihitung 1 minggu 2 kali per hari sekian, selama 3 tahun berjumlah Rp. 1.320.000.000,- (satu milyard tiga ratus dua puluh juta rupiah). Tuntutan nafkah bathin tersebut dikabulkan karena hakim tidak memahami apa itu fakta dan fakta hukum, karena nafkah bathin tidak bisa diukur dan tidak berstruktur (tidak konstan dan berstruktur). 7.
Penerapan Rule masih keliru Apabila kita telah menemukan fakta hukumnya, maka penerapan rulenya harus sesui atau sama dengan fakta hukum yang kita temukan tersebut. Contoh kasus yang terjadi di PA Sabang, memutus suatu perkara, ada kapal penyeberangan yang pada suatu ketika tenggelam dan ada salah seorang penumpangnya laki-laki meninggal dunia dan mendapatkan uang santunan dari asuransi Jasa Raharja sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus jjuta rupiah) diterimakan kepada isterinya, kemudian uang santunan tersebut digugat oleh ayah korban dengan alasan bahwa uang santunan tersebut merupakan barang tirkah yang harus dibagi kepada ahli warisnya. Perkara tersebut diputus oleh MS Sabang dan dikabulkan, bahwa uang santunan sebesar Rp. 400.000,- (empat ratus jjuta rupiah) supaya dibagi kepada ahli warisnya. Kemudian perkara tersebut banding dan dikuatkan oleh MS Aceh, namun di tingkat kasasi dibatalkan dengan asalan : Seharusnya hakim membaca aturan tentang Astek (PP. Nomor 27 Tahun ...). Dalam Pasal 12 disebutkan, setiap orang yang mmbeli tiket (pesawat/kapal) sudah ada klaim asuransi. Dengan demikian sewaktu korban membeli tiket dengan uang suami isteri (uang
43
harta bersama), maka uang santunan asuransi tersebut adalah uang harta bersama. Bahwa oleh karena uang santunan asuransi tersebut merupakan harta bersama, maka seharusnya uang tersebut dibagi dua terlebih dahulu seperdua bagian isteri dan sepeerduanya merupakan tirkah yang harus dibagi kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Contoh kasus MS Sabang tersebut adalah, faktanya benar tetapi penerapan rulenya yang salah, maka putusannya menjadi salah. Seharusnya dalam sebuah putusan itu faktanya benar, rulenya juga benar, maka putusannya pasti benar. 8.
Pertimbangan tidak runtut dan masih banyak pertimbangan yang tumpang tindih Apabila
kita
mengetahui
sistem
pemeriksaan
perkara
dalam
persidangan, maka pertimbangan hukum tidak akan tumpang tindih. Adapun sistem pemeriksaan perkara itu ada 3 sistem, yaitu : 1) Sistem Analitik Sistem analitik ini biasanya diterapkan dalam menangani perkara-perkara berat yang berlapis-lapis 2) Sistem Geometris Sistem geometris ini biasanya diterapkan dalam menangani perkara waris (dalam perkara zaken recht). 3) Sistem Silogisme Sistem silogisme ini biasanya diterapkan dalam menangani perkara dalam bidang perkawinan. Untuk lebih mendalami baca buku karangan Asser tentang sistem pememeriksaan perkara dalam persidangan. Bahwa dari pertimbangan hukum dapat dinilai apakah hakim yang menangani perkara pintar ataukah tidak. Bahwa dalam pertimbangan hukum tidak boleh lepas dengan 2 hal, yaitu : 1) Rasio Decicendi, yaitu hal-hal yang berkaitan langsung dengan pokok sengketa.
44
2) Obiter Dicta, yaitu hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan pokok sengketa, tetapi apabila ditelusuri akan sampai kepada pokok sengketa. 9.
Amar masih belum standar, terutama dalam perceraian masih bayak berpedoman kepada Peradilan Umum Banyak ditemukan amar putusn PA yang berbunyi : “Menyatakan perkawinan putus karena perceraian”. Ini adalah amar putusan untuk PN, dan disana tidak mempunyai dasar agama, karena perkawinan adalah kontrak sosial, sedangkan lingkungan PA ada dasar agamanya. Untuk lingkungan PA banyak lembaga perceraian, ada talak bain sughraa, talak bain kubra, fasakh, li’an atau lembaga perceraian lainnya. Dalam perkara ta’lik talak, posisi hakim tidak menceraikan, tetapi hanya bersifat declaratoir saja, yaitu : “Menyatakan jatuh talak satu khul’i tergugat atas penggugat dengan membayar ‘iwadl Rp. 10.000,(sepuluh ribu rupiah). Namun sering ditemukan dalam perkara ta’lik hakim menceraikan dengan talak ba’in (ini adalah keliru).
10. Amar banyak yang tidak tegas, masih perlu interpretasi membagi dua sebuah mobil dan lain-lain, tidak ada kata lanjutan apabila tidak dibagi secara natura maka harus dilelang dan harganya dibagi. Dalam masalah harta bersama, harta bersama tidak harus dibagi setengah-setengah (setengah untuk penggugat dan setengah untuk tergugat), tapi sekarang banyak ditemukan putusan yang lebih maju, dilihat dari bagaimana cara mereka memperoleh harta bersama tersebut. Contoh kasus putusan PA Solo, karena isterinya yang berjualan di Pasar Klewer dan suaminya hanya di rumah, maka ketika mereka bercerai dan PA Solo membagi harta bersama, diputus 2/3 (dua pertiga) untuk isteri dan 1/3 (sepertiga) untuk suami. 11. Catatan kaki tentang biaya masih belum seragam harus sesuai dengan jurnal. 45
Banyak ditemukan dalam catatan kaki tentang perincian biaya, hanya ada 3 macam biaya yang dicantumkan (biaya proses, redaksi dan materei). Dalam perincian biaya pekara ditulis dari apa yang ada dalam jurnal, dipindahkan ke catatan kaki putusan, sebab catatan kaki yang ada dalam putusan itu merupakan rekening koran, yang merupakan pertanggungjawaban pengadilan kepada pihak yang berperkara. 12. Tambahan Penjelasan Nara Sumber Terkait Putusan Bahwa dulu pertimbangan tentang kewenangan (bahwa perkara ini menjadi kewenangan atau pengadilan agama) masih diperlukan, tetapi sekarang pertimbangan tersebut tidak diperlukan lagi. Bahwa setiap putusan outputnya adalah bisa dieksekusi, apabila putusan tidak bisa dieksekusi adalah hampa dan tidak berarti. Dalam risalah Umar Bin Khattab disebutkan bahwa setiap putusan harus bisa dilaksanakan, karena apabila putusan tidak bisa dilaksanakan maka putusan tersebut tidak berarti. Dalam musyawarah hakim dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 yang dibicarakan adalah hakim wajib mencukupkan segala alasan hukum yang diajukan oleh para pihak, artinya yang tidak ada dalam petitum (seperti lelang) bisa ditambah oleh hakim dan itu tidak melanggar vander eis/ tidak merubah pokok permasalahan dan itu bukan berarti ultra petita. Yang dimaksud ultra petita adalah yang merubah vander eis, atau dari satu permasalahan pokok menjadi berbagai macam persoalan yang lain dan ini tidak dibenarkan. Dalam hasil monitoring maupun bedah berkas banyak ditemukan, amar yang dibuat oleh hakim tidak dapat dieksekusi. Misalnya ada amar dalam perkara harta bersama : -
Menyatakan bahwa sebuah mobil/ sebuah rumah/ sebuah sepeda motor/ sebuah televisi adalah harta bersama.
46
-
Menghukum kepada tergugat untuk membagi dua harta yang tersebut dalam pioin .. di atas, setengah untuk penggugat dan setengah untuk tergugat.
Amar tersebut tidak bisa dieksekusi, karena barang tersebut tidak bisa dibagi dua. Hakim tidak boleh kaku dan terpaku seperti itu, maka diberi pintu masuk dengan Pasal 178 HIR tersebut, yaitu harus ditambah “Apabila tidak bisa dibagi secara natura, maka dilelang dimuka umum yang hasilnya dibagi dua, setengah untuk penggugat dan setengah untuk tergugat. Jadi walaupun dalam petitum tidak ada permintaan lelang, namun hakim dengan dasar Pasal 178 HIR tersebut boleh manambahkannya. Ada juga ditemukan berkas dari PA Malang yang dalam amarnya menyatakan : “Apabila tidak dapat dibagi secara natura, maka dibagi nilainya”. Ini juga amar yang salah, karena nilainya nilai apa yang akan dibagi. 13. Pemakaian Lawan / Melawan Bahwa dulunya dalam putusan memakai kata “Lawan”. Pada saat Mahkamah Agung mengadakan bimtek di Pekanbaru tidak ada memakai kata Lawan atau Melawan, jadi langsung ..... sebagai Penggugat, langsung nama Tergugat. Pada saat diadakan Rakernas di Semarang, maka diputuskan memakai kata
“Melawan”,
yang
kemudian
putusan
Rakernas
tersebut
dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung. Begitu juga telah ditetapkan tentang pemakaian kata “DUDUK PERKARANYA” dan “TENTANG HUKUMNYA”. 14. Pemeriksaan Perkara Khuluk Bahwa dalam Pasal 148 KHI disebutkan tentang tata cara khuluk, namun konstruksi hukum acaranya perlu diluruskan, yaitu : Bahwa perkara khuluk diperiksa sebagaimana perkara biasa (perkara cerai gugat).
47
Bahwa yang menjatuhkan putusan adalah hakim dengan putusan cerai dan bukan ikrar talak oleh suami. Terhadap putusan terebut dapat dilakukan upaya hukum (banding dan kasasi). 14. Ahli Waris Pengganti Hasil Keputusan Rakernas di Balikpapan sudah ditetapkan, bahwa ahli waris pengganti itu hanya “cucu”. Jadi apa yang disebut dalam Buku II itu tidak tepat. Jangan sampai terjadi seperti di PA Polewali Mandar, menetapkan ahli waris pengganti kepada ex suami dan ini adalah salah.
48
BAB III RANGKUMAN BIMTEK PANITERA
A. BERITA ACARA PERSIDANGAN Bahwa kata kunci pokok dari berita acara persidangan ada dua yaitu : 1.
Sebagai data autentik ;
2.
Sebagai data untuk menyusun putusan ;
B. PENULISAN BERITA ACARA PERSIDANGAN Judul berita acara persidangan tidak perlu memakai garis bawah ; Nomor perkara tidak perlu memakai titik berganda ; Pada persidangan pertama setelah judul berita acara persidangan dan nomor perkara, tertulis “sidang pertama” sedangkan pada persidangan kedua dan seterusnya setelah judul berita acara persidangan dan nomor perkara, cukup ditulis “sidang lanjutan” tidak perlu menulis “sidang lanjutan kesatu dan seterusnya” ; Harus memakai kertas HVS 70 gram ; Ukuran margin terdiri dari : bagian kiri kertas 4 cm, bagian atas kertas 3 cm, bagian bawah kertas 3 cm dan bagian kanan kertas 2 cm ; Ukuran spasi 1, 5 ; Ukuran huruf 12 ; Jenis huruf “Time New Roman” ; Nama/identitas para pihak harus lengkap : Nama harus sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk dan Kutipan Akta Nikah ; Khusus bagi pihak yang memakai jasa pengacara/advokat, maka dicantumkan identitas pihak materil terlebih dahulu kemudian identitas pengacara/advokat ; Umur, karena umur dapat menunjukan seseorang sudah cakap atau belum dalam berperkara ;
49
Agama, dengan agama dapat menentukan di Pengadilan mana seseorang dapat mengajukan perkara tertentu ; Pendidikan terakhir, dengan pendidikan, Majelis Hakim dapat menyesuaikan pemeriksaan dalam penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh pihak yang berperkara ; Pekerjaan, dengan pekerjaan tentu dapat diketahui berapa penghasilan yang didapat setiap bulan, sehingga dapat memudahkan Majelis Hakim dalam menetapkan besarnya nafkah ; Alamat harus jelas, karena dengan alamat yang jelas, dapat memudahkan
Jurusita/Jurusita
Pengganti
dalam
melakukan
pemanggilan ; Nomor halaman berita acara persidangan pertama sampai dengan sidang terakhir diletakkan pada bagian kanan bawah termasuk jawaban tertulis, replik tertulis, duplik tertulis, relaas panggilan apabila dalam persidangan ada perintah panggilan kepada pihak yang tidak hadir, bukti tertulis, penetapan mediator, laporan hasil mediasi dan surat izin pejabat yang berwenang bagi yang Pegawai Negeri Sipil, agar mudah dikontrol dan dapat diketahui bila ada yang tercecer ; Pada setiap jawaban tertulis, replik tertulis dan duplik tertulis, harus direnvoi bagian yang tidak perlu, kemudian di bagian kiri tulisan yang telah direnvoi, di tulis “SC” lalu diparaf oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti ; Apabila pada jawaban tertulis, replik tertulis dan duplik tertulis yang disampaikan oleh para pihak menggunakan halaman, maka halamannya dicoret dan diparaf oleh Ketua majelis dan Panitera Pengganti, kemudian halamannya diurutkan sesuai dengan halaman berita acara persidangan yang ada ; Dalam membuat berita acara persidangan ada dua macam/model yang dipakai yaitu : iris talas sesuai petunjuk buku II edisi revisi Tahun 2010 dan berbentuk balok. Meskipun sesuai petunjuk buku II edisi revisi Tahun 2010 bentuk berita acara persidangan adalah iris talas, namun yang sangat
50
mudah adalah memakai bentuk balok karena cocok dengan format pada siadpa karena di dalam siadpa sendiri tidak ada format iris talas ; Di dalam membuat berita acara persidangan, baik Hakim maupun Panitera Pengganti tidak boleh menambah hal-hal yang dianggap penting tetapi lupa ditanyakan pada saat persidangan yang terkait dengan materi perkara, karena dikhawatirkan apabila terjadi banding atau kasasi dan pihak yang berperkara dipanggil untuk memeriksa berkas dan menemukan hal-hal tersebut, maka sangat fatal akibatnya ; Kalau di dalam berita acara persidangan ada menggunakan bahasa asing, maka harus dicetak miring kemudian diterjemahkan dengan diberi tanda “kurung” ; Apabila di dalam persidangan Majelis Hakim mengajukan pertanyaan tidak secara berurutan, maka Panitera Pengganti dalam membuat berita acara persidangan harus menyusun secara berurutan ; Kalau membuat berita acara persidangan pada siadpa, harus berhat-hati kalau menggunakan copy paste karena dikhawatirkan akan terjadi banyak kesalahan ; Pada setiap pergantian Hakim, harus dibuat Penetepan Majelis Hakim yang baru dan dicatat pada register perkara ;
51
BAB IV RANGKUMAN BIMTEK JURUSITA
- PERMASALAHAN PEMANGGILAN DAN PEMBERITAHUAN PUTUSAN Panggilan yang disampaikan kepada para pihak yang berperkara harus dilaksanakan secara resmi dan patut. Panggilan resmi adalah panggilan dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti dan melaksanakan panggilan bertetemu langsung dengan para pihak. Panggilan patut adalah panggilan yang dilaksanakan tidak boleh kurang dari 3 hari. Jurusita/Jurusita Pengganti tidak boleh mengambil biaya mendahului pemanggilan. Jurusita/Jurusita Pengganti tidak boleh menunda pengambilan biaya perkara dari kasir, karena akan merusak administrasi kasir terkait dengan pengisian buku jurnal dan buku induk keuanga perkara. Jurusita/jurusita Pengganti melakukan pemanggilan atau pemberitahuan putusan harus di tempat tinggal sesuai dengan alamat yang ada dalam surat gugatan atau premohonan (tidak boleh menyampaikan di jalan, di mobil atau di kapal/motor) hal ini dikhawatirkan jangan sampai terjadi banding dan kasasi itu menjadi alasan sehingga ditolak putusannya. Relaas Panggilan melalui faximili untuk pemeriksaan awal persidangan persidangan boleh, namun untuk pemanggilan terakhir untuk masuk putusan dan untuk Ikrar Talak tidak boleh, diusahakan kirim lewat pos kilat (karena tidak ada dasar hukum). Relaas panggilan sah dan patut, apabilah Jurusita/Jurusita Pengganti melakukan pemanggilan bertemu dengan para pihak, dan disampaikan 3 hari sebelum datangnya hari sidang, dan Jurusita/Jurusita Pengganti langsung bertemu dengan para pihak, jika tidak ketemu pemanggilan melalui kelurahan atau kepala Desa setempat, dan tidak boleh melalui Rt/Rw.
52
Jurusita/Jurusita Pengganti melakukan pemanggilan, berhadapan langsung dengan para pihak (Penggugat/Pemohon, Tergugat/Termohon). Relaas panggilan tidak Boleh ditinggalkan/dititipkan kepada Ahli Waris (keluarga). Dalam perkara yang pihaknya berada di luar yurisdiksi pengadilan (tabayun), Jurusita/Jurusita Pengganti membuat surat dan ditandatangani oleh Panitera, kemudian dikirim ke Pengadilan Agama dimana pihak (Tergugat/Termohon) bertempat tinggal, dalam wilayah hukum Pengadilan Agama tersebut. Dalam perkara yang salah satu pihak tidak diketahui alamatnya (tempat tinggal tidak jelas) maka di ghoibkan. Jurusita/Jurusita Pengganti memanggil melalui media massa, untuk memenuhi syarat-syarat formil. Jika salah satu pihak yang tempat tinggalnya (berdomisili) di Negara lain, maka Jurusita/Jurusita Pengganti memanggil melalui kedutaan, agar tidak menghambat jalannya persidangan. Dalam perkara yang pihaknya berada di luar yurisdiksi (perkara tabayun), untuk mempercepat proses pemanggilan, pengadilan yang meminta bantuan selain mengirimkan salinan gugatan melalui surat biasa juga mengirimkan
salinan
surat
gugatan
melalui
faximile.
Apakah
Jurusita/Jurusita Pengganti dari pengadilan agama yang dimintai bantuan pemanggilan tersebut dapat menyampaikan panggilan dengan melampirkan fax surat gugatan tersebut kepada pihak yang dipanggil ? Persoalan ini dalam bintek tahun 2012 di Ambon belum ditemukan solusinya..
53
BAB V RANGKUMAN BIMTEK ADMINISTRATOR / OPERATOR SIADPA PLUS
A. APLIKASI SIADPA - PLUS Sosialisasi penggunaan Aplikasi SIADPA Plus yang merupakan suatu sistem administrasi pengolahan data perkara di Pengadilan Agama yang bertujuan untuk membuat suatu pekerjaan menjadi Efektif dan Efisien yang output-nya sangat berpengaruh kepada validitas laporan perkara, laporan keuangan, hingga hasil yang ditampilkan di portal SIADPA Plus dan website informasi perkara. Namun sebuah Aplikasi/Sistem tidak akan jalan jika tidak didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang memahami, mengerti
dan memiliki komitmen tinggi dalam
implementasinya untuk mewujudkan Peradilan Yang Agung. Dalam perkembangannya semenjak kelahirannya sampai sekarang, SIADPA yang berubah menjadi SIADPA Plus terus menerus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan.
Aplikasi
yang
sampai
telah
mengalami
14
kali
updating
(penyempurnaan) ini dengan harapan dapat meringankan beban tugas Pengadilan Agama, terutama Pengadilan Agama yang secara kuantitas perkaranya sangat banyak, serta merupakan wujud integrasi Teknologi Informasi (TI) dengan ragam regulasi di bidang administrasi perkara pada Peradilan Agama. Secara historis, kelahirannya merupakan wujud responsif aparatur Peradilan Agama terhadap tuntutan masyarakat atas pelayanan publik yang prima dan dalam tataran implementasi keberadaannya memegang peranan penting bagi percepatan (akselerasi) pelaksanaan administrasi perkara yang tujuan utamanya adalah untuk efektivitas dan efisiensi penyelesaian perkara. Perlu disadari bahwa fasilitas dan aplikasi Siadpa pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia, sejak kelahirannya sampai sekarang, terus menerus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan guna memberikan kemudahan-kemudahan dalam menangani serta pengolahan data suatu perkara di Pengadilan Agama.
54
B. URGENSI SIADPA Urgensi implementasi aplikasi Siadpa terhadap kelancaran pelaksanaan tugas di Peradilan Agama adalah : 1. Aplikasi SIADPA merupakan wujud integrasi Teknologi Informasi (TI) dengan ragam regulasi di bidang administrasi perkara. 2. Sejak kelahirannya sampai sekarang, terus menerus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. 3. Manfaat SIADPA telah banyak dirasakan oleh Warga PA. Bagi hakim ataupun pegawai yang terbiasa menggunakan aplikasi SIADPA seperti mengandung zat adiktif. 4. Sangat disadari bahwa pemahaman aparat peradilan terhadap aplikasi ini masih dalam tataran mengetahui (know), belum seluruhnya sampai pada tahap memahami substansi. C. UPAYA PERCEPATAN PENERAPAN E-GOVERNMENT Upaya percepatan penerapan e-government, masih menemui kendala karena saat ini belum semua Satker menyelenggarakannya. Hal ini disebabkan karena : 1. Masih ada anggapan e-government hanya membuat web site saja. 2. Sosialisasinya tidak terlaksana dengan optimal. 3. Namun berdasarkan cetak biru Mahkamah Agung RI, pembangunan sistem informasi berbasis transparansi dan profesionalisme kinerja peradilan akan terealisasi sampai tahun 2015 mendatang. Arah kebijakan pengembangan aplikasi Siadpa tersebut sejatinya bertujuan untuk menciptakan tata kerja di bidang keperkaraan yang lebih modern sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman demi terwujudnya pelayanan yang prima bagi seluruh masyarakat (Justice for All), sehingga hal ini perlu adanya langkah sebagai berikut: 1. Kebijakan pengembangan Aplikasi Siadpa. 2. Penyempurnaan tata kerja (Work Improvement). 3. Dukungan Moril dari pimpinan pengadilan menjadi suplemen bagi admin.
55
D. Faktor Penghambat Dalam pengembangan Siadpa Plus saat ini mengalami berbagai kendala internal di antaranya: 1. Masih rendahnya perhatian Pimpinan Pengadilan. 2. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). 3. Adanya dokumen dalam aplikasi Siadpa belum lengkap siap pakai. Olehnya itu, faktor-faktor penghambat tersebut di atas apabila teratasi serta adanya semangat kinerja yang tinggi oleh aparat peradilan yang bersangkutan, maka pengembangan Siadpa mencapai tingkat modernisasi yang sempurna.
56
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari uraian dalam rangkuman hasil bimtek ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa surat gugatan harus dibuat dengan cermat dan teliti, mulai dari penyebutan dan penempatan para pihak formil maupun materiil, posita yang harus mengandung rechtelijke grounden dan feitelijke grounden, serta petitum yang sesuai dengan positanya. 2. Bahwa tempat diajukannya gugatan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan perlu diperhatikan apabila adanya transaksi atau kontrak dalam mengajukan gugatan. 3. Bahwa apabila pihak yang berperkara memakai kuasa, maka harus diperhatikan surat kuasa yang dibuat, apakah surat kuasa sudah memenuhi syarat formil maupun syarat materiil yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai terjadi kesalahan dalam surat kuasa mengakibatkan perkaranya di NO. 4. Dalam melakukan pemanggilan harus diperhatikan dengan cermat alamat yang dipanggil dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah dalam wilayah yurisdiksi, di luar wilayah yurisdiksi, di luar negeri maupun panggilan ghaib. 5. Berita acara yang merupakan akta otentik dan sumber bagi hakim dalam menyusun putusan, maka harus disusun dengan cara yang baik dan benar serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Hakim harus cermat dan teliti dalam menilai dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang diajukan oleh pihak yang berperkara, agar tidak salah nantinya dalam menjatuhkan putusan.
57
7. Bahwa setiap putusan yang dijatuhkan hakim outputnya adalah bisa dieksekusi, apabila putusan tidak bisa dieksekusi adalah putusan yang hampa dan tidak berarti. Olehnya itu setiap putusan yang dijatuhkan hakim haruslah memenuhi kriteria putusan yang baik, putusan yang sesuai dengan metode penemuan hukum. B. Saran – Saran Dengan telah selesainya pelaksanaan Bimtek dan dihasilkan Rangkuman dari masing-masing peserta, maka disarankan : 1. Diharapkan dalam pelaksanaan Bimtek selanjutnya perlu penambahan atau pengaturan waktu yang seefektif dan seefisien mungkin, sehingga pelaksanaan Bimtek tidak terkesan buru-buru dan mengejar target, tidak terkondisikan sebagaimana prasyarat belajar-mengajar yang baik. 2. Diharapkan materi yang disampaikan dalam Bimtek adalah materi yang bersifat praktis (praktek lapangan) dan lengkap (paripurna) serta disampaikan secara runtut dan kronologis, mulai masuknya perkara sampai selesai dan dieksekusinya putusan (tuntas).
58