BAB II PONDOK PESANTREN DAN PENGENDALIAN DIRI (SELF CONTROL) SANTRI A. PONDOK PESANTREN 1. Pengertian Pondok Pesantren Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan non formal yang digunakan untuk mengembangkan keilmuan agama Islam.1 Pondok pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam.2 Pondok pesantren umumnya dikenal sebagai perguruan swasta yang berkemampuan tinggi dalam berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan pendidikan. Misi mulia yang diembannya selama ini lebih bercorak ethio religius dengan orientasi pembentukan dimensi kepribadian anak didik baik dari segi pembinaan agama (diniiyah tahzibiiyyah) dan pembinaan jasad, akal, dan jiwa (khalqiyaah). Di era modern, pesantren selain dituntut untuk memperkuat penanaman nilainilai spiritual (‘ubudiiyyah) kepada para santri, juga dituntut untuk memperkaya penanaman aspek tanggung jawab, rasionalitas dan pemecahan masalah. Tanggung jawab (responsibility) pada konteks ini
1
WJS, Poerwodarmito, Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 735. 2
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 2.
23
24
diartikan sebagai sikap konsisten dan disiplin melaksanakan apa yang benar (doing what’s right).3 Beberapa pendapat tentang definisi pondok pesantren di bawah ini, Zarkasyi mengatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama. Hakikat pondok pesantren terletak pada isinya dan bukan pada kulitnya. Pokok isi pondok pesantren adalah pendidikan. Selama beberapa abad pondok pesantren telah memberikan pendidikan rohaniah yang sangat berharga kepada santri sebagai kader-kader mubaligh dan pemimpin umat dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam pendidikan itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan filsafat hidup para santri. Muhammad Ali dalam kamus lengkap bahasa Indonesia modern mengatakan bahwa yang dinamakan pondok adalah madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam). Sedangkan pesantren adalah asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji.4 Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa pondok pesantren merupakan dua patah kata yang mengungkapkan sejarah masa lampau yang kompleks. Pondok menggambarkan bentuk tarekat. Kata pondok berasal dari bahasa arab funduq yang artinya tempat warga tarekat menyepi dari pola hidup sehari-hari. Pesantren dalam kata itu menunjuk
3
Zubaidi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 15. 4
Muhammad Ali. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), hlm. 87.
25
pada asal usul pra Islam ketika para ahli agama Hindu Budha mulai mendalami agama baru mereka (Islam) dibawah bimbingan ulama’.5 2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Pondok Pesantren sebagai basis pendidikan Islam merupakan balai pendidikan yang tertua di Indonesia karena sejalan dengan perjalanan penyebaran Islam di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan telah berdirinya pondok-pondok pesantren sejak abad ke-15, seperti pesantren Gelogah Arum yang didirikan oleh Raden Fatah pada 1476, sampai pada abad ke-19 dengan beberapa pondok-pondok pesantren yang dipimpin oleh para wali, seperti Pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, Pesantren Sunan Bonang di Tuban, Pesantren Sunan Ampel di Surabaya, dan Pesantren Tegal Sari yang terkemuka di Jawa. Kelahiran pesantren-pesantren tersebut merupakan salah satu bentuk Indigenous Cultura atau bentuk kebudayaan asli Indonesia. Sebab, lembaga pendidikan dengan pola kiai, murid, dan asrama telah dikenal dalam kisah cerita rakyat di Indonesia. Pondok pesantren sebenarnya sudah ada sejak abad ke-15, hal ini dibuktikan dari sejarah adanya pondok pesantren Gelogah Arum yang didirikan oleh Raden Fatah pada 1476. Pondok tersebut juga mengelola organisasi dakwah bernama Bayangkari Islam. Indikasi dari keberadaan pesantren tersebut adanaya kitab agama yang dijadikan kajian inti yaitu usul enambis (Bismillah): Perimbon, Suluk Sunan 5
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 45.
26
Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, dan Wasito Jati Sunan Geseng. Pada umumnya pesantren mendesain diri dengan kegiatan organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid. Para kiai pemimpin
tarekat
mewajibkan
pengikut-pengikutnya
untuk
melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun. Pelaksanaan suluk dilakukan dalam bilik-bilik di sekitar masjid yang selanjutnya berkembang selaras dengan keadaan zaman.6 Persoalan historis tentang asal usul pesantren itu bagaimana pun sulit dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam ke Nusantara. Kuat dugaan bahwa Islam mulai diperkenalkan ke kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 M oleh para musafir dan pedagang muslim melalui jalur perdagangan. Kemudian sejak abad 11 M, Islam telah mulai masuk ke kota-kota pantai di Nusantara. Selanjutnya beberapa bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Islam secara intensif telah menyebar pada abad ke-13 sampai akhir abad ke-17. Pada masa itu, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate dan Gowa. Dari sinilah Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui pedagang, wali, ulama, mubaligh, dengan mendirikan pondok pesantren, dayah, dan surau. Sejak itu, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran
6
Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gama Media,2008), hlm. 1-2.
27
hindu. Bahkan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa telah berhasil mengislamkan hampir sebagian besar masyarakat Jawa.7 Dalam dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan Islam. Bagaimana pesantren menjadi lembaga lokal adalah materi dari beberapa perdebatan yang muncul, yang perdebatan ini selalu menjadi sejarah. Pesantren di Jawa usianya setua Islam di Jawa sendiri. Baik dalam laporan tertulis maupun berita dari mulut ke mulut, pesantren erat sekali kaitannya dengan Wali Songo (sembilan wali yang membawa Islam ke pulau Jawa). Wali pertama, jika malah bukan yang paling terkenal, Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa pada tahun 1399 sebagai wahana untuk menggembleng mubaligh dalam rangka menyebarkan Islam lebih jauh di Jawa.8 Bentuk-bentuk awal pendidikan Islam bertempat di masjid karena di sanalah tempat yang objektif, bersamaan dengan berlalunya waktu, masjid menjadi institusi yang ideal bagi pembelajaran. Di Jawa, berawal dari semua bangunan pesantren adalah mushola atau masjid.9
7
MS Anis Masykur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren (Depok: Barnea Pustaka, 2010), hlm. 15. 8
Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren di mata antropolog Amerika (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 56. 9
Ibid., hlm. 58.
28
Bersamaan dengan lajunya waktu, bentuk pendidikan semacam ini berubah secara bertahap dan menjadi madrasah yang untuk pertama kalinya digunakan untuk studi hukum. Oleh karena itu, ia akhirnya menjadi lembaga pendidikan uggul/ percontohan. Ilmu-ilmu keislaman lain yang berhubungan dengan itu kemudian juga diajarkan. Maksidi berpendapat bahwa pendidikan di Masjid tersebut berlanjut terus bagi pengajaran disiplin ilmu-ilmu keislaman yang lain, disamping hukum, sebagaimana harapan-harapan para pendirinya. Deskripsi antara sistem pendidikan madrasah dan masjid seperti di atas ternyata belum mampu mengungkap secara keseluruhan.10 Bukti di atas menegaskan bahwa pesantren di Jawa sebelum pertengahan abad 12 masuk alam kategori madrasah sehingga secara lintas budaya dapat dikomparasikan dengan madrasah-madrasah lain. Sementara itu, karena pesantren tampaknya merupakan hasil murni dari Islam, kita bisa menolak anggapan yang menyatakan bahwa pesantren itu dasarnya adalah lembaga-lembaga Jawa sebelum Islam. Mereka yang membuat klaim tentang sejarah pesantren ini memang berpendapat bahwa identitas tertentu yang ada pada pesantren dewasa ini memang berasal dari lembaga-lembaga Islam, tetapi ada juga nilai/ bentuk lokal yang diambil.11
10
Ibid., hlm. 59-60.
11
Ibid., hlm. 60-61.
29
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini pada periode 15-16 M. mengacu data sejarah tentang masuknya Islam ke Nusantara yang bersifat Global ini, tentu sangat sulit untuk memastikan dengan tepat kapan dan dimana pesantren pertama didirikan. Sangat mungkin bahwa pesantren telah ada di Nusantara sejak 300-400 tahun yang lalu. Ini sekaligus semakin meneguhkan bahwa pesantren telah menjadi bagian dari khazanah budaya bangsa yang mengakar dan berkontribusi besar dalam penyiaran Islam dan pendidikan sejak dahulu kala. 3. Karakteristik Pendidikan Pesantren Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam meiliki kekhasan, baik dari segi sistem maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem, terlihat dari proses belajar mengajar yang cenderung tergolong sederhana, meskipun harus diakui ada
juga
pesantren
yang
memadukan
sistem
modern
dalam
pembelajarannya. Perbedaan yang menyolok erat kaitannya dengan perangkat-perangkat yang dimilikinya, terutama software maupun hardware-nya. Keseluruhan unsur yang khas itu menjadi ciri utama pesantren sekaligus karakteristiknya.
30
Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan lima karakteristik yang melekat pada pondok pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri, dan kiai.12 a. Pondok Diantara
ciri
pokok
pesantren
senantiasa
memiliki
pondokan. Karena itu, lembaga pendidikan Islam ini lebih popular dengan sebutan pondok pesantren, yang artinya keberadan pondok dalam pesantren yang berfungsi sebagai wadah penggemblengan, pembinaan, dan pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan. b. Masjid Di dunia pesantren, masjid dijadikan sentral segala kegiatan pesantren. Bukan saja kegiatan ritual rutin (shalat dan mengaji) tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya penyelenggaraan proses belajar mengajar, terutama kegiatan kajian kitab, sorogan, muhadharah, dan lain-lain. Dalam konteks yang luas, masjid merupakan pesantren yang utama bagi santri. Bahkan seorang kiai yang hendak merintis pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di sekitar tempat tinggalnya. c. Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik Di lingkungan pesantren, kitab klasik itu lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Ini karena dilihat dari kertasnya yang berwarna agak kekuning-kuningan. Kitab-kitab itu umumnya 12
Zamakhsyari, Dhofier. Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES.2011) hlm. 35.
31
ditulis oleh para ulama abad pertengahan yang menekankan kajian di sekitar fiqih, hadis, tafsir, maupun akhlak. Pembelajaran terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa arab yang merupakan bahasa kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman/ penguasaan muatan dari kitab tersebut. d. Santri Pesantren lebih identik dengan tempatnya orang yang nyantri. Sedangkan santri merupakan peserta didik yang haus terhadap ilmu pengetahuan dari seorang kiai di suatu pesantren. e. Kiai Ciri yang paling penting bagi lembaga pendidikan seperti pesantren adalah adanya seorang kiai. Pada dasarnya gelar kiai lebih ditujukan kepada sesorang yang memiliki pengetahuan agama Islam secara mendalam sekaligus memiliki lembaga pendidikan pesantren. Suatu lembaga pendidikan Islam disebut pesantren apabila memiliki tokoh sentral yang disebut kiai. Ia berperan penting dan strategis dalam pengembangan dan penggerak pesantren. Oleh karena itu, kiai berdimensi ganda, yaitu sebagai pemimpin pondok, sekaligus juga sebagai pemilik pondok itu sendiri.
32
4. Tujuan Pendidikan Pesantren Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tentu saja memiliki tujuan yang ingin di capainya. Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan
dan
mengembangkan
kepribadian
muslim
yaitu
kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi Rasul yaitu menjadi
pelayan
masyarakat
sebagaimana
kepribadian
Nabi
Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam ditengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan
kepribadian
Indonesia.
Idealnya
pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian Muhsin. Tujuan yang tidak lain adalah mencetak ulama, yaitu orang yang mutafaqqih fi ad-din atau mendalam ilmu agamanya. Tujuan itu sedemikian berat dicapai oleh umumnya pesantren dewasa ini, karena tradisi yang dijadikan acuan dimasa lalu telah berdampingan dengan berbagai kenyataan seperti munculnya lembaga-lembaga baru berikut aliran-aliran pemikiran dan metode pendidikan yang dipergunakan untuk memasyarakatkannya.13
13
Ibid., hlm. 5.
33
Dalam status itu kiai bertindak sebagai salah satu pengatur arus dari masyarakat pesantren dan luarnya atau sebaliknya. Peran itu menempatkannya pada keharusan berposisi tengah, menerima lebih banyak informasi, memiliki tingkat keterhubungan individual yang lebih tinggi dari pada warga lainnya, merekam lebih banyak opsi yang diajukan dalam berbagai pertemuan, dan memudahkan masyarakat untuk membangun kembali pengetahuan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan yang kadangkala belum ada contoh pemecahannya. Dengan demikian tudingan akan adanya religio feodalisme merupakan penilaian dari luar saja yang kurang disertai tilikan mendalam atas mandat masyarakat kepada para kiai pesantren sebagai pemuka pendapat.14 Setidaknya keterkaitan antara tujuan pendidikan pesantren dengan tujuan pendidikan nasional dapat ditandai ole dua frasa yang sangat krusial yaitu “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan “kepribadian Indonesia atau warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Kedua inti frasa inilah yang menjadi titik temu antara tujuan pendidikan pesantren dengan tujuan pendidikan nasional. Setiap santri yang belajar di pesantren diharapkan selain beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.15 14
15
Ibid., hlm. 16-28.
Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM Pencetak Muslim Modern (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 80-83.
34
5. Metode atau Sistem Pembelajaran di Pondok Pesantren Metodologi pengajaran yang diterapkan pada suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sistem dan kurikulum yang digunakan oleh lembaga pendidikan tersebut.16 a. Sistem Sorogan Adapun istilah sorogan berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti
menyodorkan.
Sebab
setiap
santri
secara
bergilir
menyodorkan kitabnya dihadapan kiai atau badal (pembantunya). Sistem sorogan amat intensif karena dengan sistem ini seorang santri dapat menerima pelajaran dan pelimpahan nilai-nilai sebagai proses Delievery of culture di pesantren. Metode pengajaran seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung. Sistem ini tetap dipertahankan oleh pondok-pondok pesantren karena banyak manfaat dan faedah yang mendorong para santri untuk lebih giat dalam
mengkaji
dan
memahami
kitab-kitab
kuning
yang
mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan manusia. Sistem ini membutuhkan ketekunan, kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan kedisiplinan tinggi dari santri. b. Sistem Weton (Bandongan) Sistem weton atau biasa disebut juga bandongan atau halaqah, yaitu dimana para santri mengikuti pelajaran dengan 16
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005) hlm. 110-113.
35
duduk disekeliling kiai atau dalam ruangan kelas dan kiai menerangkan pelajaran secara kuliah. Para santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan atau ngesahi (mengesahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya, untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai. Sistem weton ini adalah sistem yang tertua di pondok pesantren menyertai sistem sorogan, dan tentunya merupakan inti dari pengajaran di suatu pondok pesantren. Sistem ini membutuhkan sarana yang tetap berupa ruangan (kelas) karena jumlah pengikutnya lebih besar dari sistem sorogan. 6. Jenis- jenis Pondok Pesantren Tipologi dapat diartikan sebagai ilmu watak golongan-golongan menurut tipe, corak watak masing-masing. Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi: a.
Pondok Pesantren Tradisional Pesantren jenis ini masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi dalam sistem pendidikannya. Ia juga tidak banyak terpengaruh dengan perubahan dan perkembangan zaman. Pada umumnya pesantren semacam
ini
masih
eksis
di
daerah-daerah
pedalaman
(countryside). Materi pelajaran dan metodenya merujuk pada kitabkitab kuning dan motivasi belajar santri murni tafaqquh fi addin tidak disisipi sedikitpun pendidikan umum.
36
Ciri- ciri pesantren tradisional, meliputi : 1) Sangat terikat pada figur kiai atau sosok kiai menjadi figur central segala bentuk kebijakan yang dijalankan oleh para santrinya. 2) Sholat jama’ah lima waktu, menjadi bagian dari kebiasaan santri sehari-hari. 3) Senang melakukan istighotsah. 4) Kontruksi pola hubungan antara kiai, ustad, dan santri sangat erat serta saling bahu membahu. 5) infrastruktur sederhana. Contoh Pondok Pesantren Tradisional: 1) Pondok Pesantren Lirboyo Sistem pendidikan di Pesantren Lirboyo adalah sistem Bandongan atau Wetonan dan Sorogan. Sistem pendidikan yang diterapkan ini mencirikan kultur aswaja merupakan poin penting dalam kelangsungan pesantren di masa sekarang dan yang akan datang. Sebagai lembaga yang masih mempertahankan ajaran ulama salaf, mempunyai kualitas tinggi dan mempunyai cirri khas. Lirboyo yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, mengkonsentrasikan pada gramatika arab, nahwu dan saraf.17
17
Sekolah Pascasarjana UGM, Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggungjawab Sosial Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 29-31.
37
2) Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri Di pesantren yang bersendikan pendidikan salaf ini, hampir seluruh waktu santri dipergunakan untuk belajar, baik belajar formal mau pun informal. Dalam hal pengajian, kepada para santri ada yang diwajibkan. Seperti pengajian kitab Fathul Gharib dan Ta’limul Muta’alim yang diajarkan oleh Masyayikh (putra-putri Hadrrotussyeikh KH. Achmad Djazuli Utsman). Pengertian wajib di sini adalah para santri yang masih rendah diharuskan mengikuti materi pengajian dua kitab tersebut. Untuk tingkat di atasnya, diwajibkan mengaji kitab yang lebih tinggi yakni Bukhari dan Minhajut Tholibin. Untuk pengajian lainnya ada pengajian kitab Ihya Ulumuddin, Fatkhul Wahab, Fathul Mu’in, Iqna dan lain-lain. b.
Pondok Pesantren Modern Pondok pesantren sudah menerapkan sistem negara dengan melengkapi pembelajarannya dengan mata pelajaran umum. Adanya keseimbangan ini karena sebagian besar pesantrenpesantren jenis ini sudah melaksanakan ujian negara. Dan dalam mata pelajaran tertentu mengikuti kurikulum Kementrian Agama yang dimodifikasi oleh pesantren yang bersangkutan sebagai cirri kepesantrenan. Sistem belajar secara klasikal dan meninggalkan sistem tradisional. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Kedudukan
38
para kiai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.18 Pesantren jenis ini agaknya tengah mengalami transformasi yang amat signifikan baik mengenai sistem pendidikannya maupun unsur-unsur
dalam
kelembagaannya.
Sistem
modern
yang
dimaksud mencakup materi pelajaran dan metodenya sepenuhnya menganut sistem modern. Bahan kajian kurikulumnya mencakup ketrampilan atau keahlian tertentu dan bakat minat dalam mengembangan potensi santrinya sudah diperhatikan. Terlebih jenis pesantren ini sudah mengajarkan bahasa asing (Arab dan Inggris), terutama percakapan yang sebagian pesantren sudah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari santri.19 Ciri khas pondok pesantren modern adalah sebagai berikut: 1) Penekanan pada bahasa Arab percakapan. 2) Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer (bukan klasik/ kitab kuning). 3) Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Diknas atau Kemenag.
18
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), Cet. I. hlm. 20. 19
Hasan Basri, Pesantren Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan (Jakarta : Penerbit PT Grasindo dan IAIN Syatif Hidayatullah Jakarta, 2001), hlm. 124-126.
39
4) Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan. Contoh Pondok Pesantren Modern 1) Pondok Pesantren Gontor Kemodernan pondok pesantren Gontor dapat dilihat pada orientasi pendidikannya yang lebih mementingkan penguasaan ilmu alat, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris pada masa itu belum menjadi penekanan utama pondok-pondok pesantren salaf. Pondok-pondok tersebut lebih mengutamakan penelaahan kitab-kitab klasik dengan didukung penguasaan gramatika bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf). Gontor tergolong pesantren yang tidak hanya berorientasi pada teori pelajaran bahasa, tetapi juga mempraktekkan di lingkungan pondoknya sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.20 2) Pondok Pesantren Al Mutazam Husnul Khotimah Pondok Pesantren Husnul Khotimah yang telah berdiri sejak tahun 1994 hingga kini masih setia memerankan dirinya dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan ummat tersebut di atas dengan pola Tarbiyah Islamiyah, Salafiyah, Sistematis dan terpadu. Pondok Pesantren ini berstatus wakaf dibawah naungan Yayasan Husnul Khotimah yang didirikan pada tanggal 20
Yasmadi. Modernisasi Pesantren (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm. 116-119.
40
2 Mei 1994 dipimpin oleh Bapak H. Sahal Suhana, SH. (Ketua Umum). Untuk pertama kalinya Pondok Pesantren Husnul Khotimah dipimpin oleh KH. Ade Syabul Huda, Lc. (alumnus Universitas Al-Azhar- Kairo) sampai dengan Agustus 1996, selanjutnya mulai September 1996 dipimpin oleh KH. Achidin Noor, MA. (alumnus Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud Riyadh dan Madinah KSA).21
Jadi pondok pesantren al-Arifiyah Sapuro Kebulen Kota Pekalongan yang diasuh oleh Bapak K.H Zaenal Arifin termasuk kedalam golongan pondok pesantren tradisional, karena pondok pesantren al-Arifiyah masih materi pelajaran dan metodenya merujuk pada kitab-kitab kuning dan motivasi belajar santri murni tafaqquh fi addin tidak disisipi sedikitpun pendidikan
umum.
mempertahankan
Pondok
bentuk
Pesantren
aslinya
ini
dengan
masih
tetap
semata-mata
mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama salaf dengan menggunakan bahasa Arab. Kurikulum tergantung sepenuhnya kepada kiai pengasuh pesantren.
21
2015.
Husnulkhotimah.com/statis-1-profil.html (12 Mei 2009) diakses tanggal 19 Januari
41
B. PENGENDALIAN DIRI (SELF CONTROL) 1. Pengertian Pengendalian Diri (Self Control) Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa kearah konsekuensi positif. Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Kontrol diri adalah mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan dari dalam maupun dari luar sehingga dapat bertindak dengan benar. Kontrol diri membantu anak mengendalikan perilaku mereka, sehingga mereka dapat bertindak benar berdasarkan pikiran dan hati nurani mereka. Ini merupakan mekanisme internal yang sangat berpengaruh, yang mengarahkan sikap moral anak, sehingga pilihan yang mereka ambil tidak hanya aman, tetapi juga bijak. Kontrol diri merupakan kekuatan moral yang secara sementara menghentikan tindakan yang berbahaya.22 Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untukmenampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, 22
Zubaedi, Desain Pedidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 61.
42
kecenderungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, dan menutupi perasaanya.23 Averill menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yang terdiri dari tiga jenis kontrol, yaitu:24 a. Behavior Control (kontrol perilaku), yang terdiri dari dua komponen, yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability) b. Cognitive control (kontrol kognitif), yang terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). c. Decisional Control merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut: a. Kemampuan mengontrol perilaku. b. Kemampuan mengontrol stimulus. 23
M.Nur Ghufron dan Rini Risnawita, Teori-teori Psikologi (Yogyakarta: Arruz Media, 2010), hlm. 21-23. 24
Ibid., hlm. 29-31.
43
c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian. d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian. e. Kemampuan mengambil keputusan. Kontrol diri membuat anak mampu menahan diri dari dorongan hawa nafsu sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar berdasarkan hati dan pikirannya. Jika anak mempunyai kontrol diri, ia tahu dirinya punya pilihan dan dapat mengontrol tindakannya. Ini merupakan kebajikan yang menjadikan anak-anak baik dan bermurah hati. Mereka menyampingkan hal-hal yang sifatnya memuaskan diri sendiri serta mengarahkan hati nurani melakukan sesuatu untuk orang lain. Ada langkah penting dalam membangun kontrol diri pada anakanak. Pertama, perbaiki perilaku anda sehingga dapat memberi contoh kontrol diri yang baik bagi anak dan menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan prioritas. Kedua, membantu anak menumbuhkan sistem regulasi internal sehingga dapat menjadi motivator bagi diri mereka sendiri. Ketiga, mengajarkan cara membantu anak menggunakan kontrol diri ketika menghadapi godaan dan stress, mengajarkan mereka berpikir sebelum bertindak sehingga mereka akan memilih sesuatu yang aman dan baik.25 Orang yang mempunyai self control ditandai dengan indikator sebagai berikut: a. Mengelola dengan baik perasaan implusif dan emosi yang menekan. 25
Ibid., hlm. 61.
44
b. Tetap teguh, tetap positif, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling berat. c. Berpikir dengan jernih dan tetap focus kendati dalam tekanan.26 2. Ciri-ciri kontrol diri Ciri-ciri seseorang mempunyai kontrol diri antara lain : a. Kemampuan untuk mengontrol perilaku yang ditandai dengan kemampuan menghadapi situasi yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi situasi tersebut, mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi. b. Kemampuan menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku agar dapat mencapai sesuatu yang lebih berharga atau lebih diterima oleh masyarakat c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif. d. Kemampuan menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan penafsiran suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif e. Kemampuan mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
26
Goleman, D. Kecerdasan Emosional, Mengapa El lebih penting daripada IQ (Terjemahan T.Hermaya). (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1999) hlm. 97.
45
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri a. Kepribadian Kepribadian mempengaruhi control diri dalam konteks bagaimana seseorang dengan tipikal tertentu bereaksi dengan tekanan yang dihadapinya dan berpengaruh pada hasil yang akan diperolehnya. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda (unik) dan hal inilah yang akan membedakan pola reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Ada seseorang yang cenderung reaktif terhadap situasi yang dihadapi, khususnya yang menekan secara psikologis, tetapi ada juga seseorang yang lamban memberikan reaksi. b. Situasi Situasi merupakan faktor yang berperan penting dalam proses kontrol diri. Setiap orang mempunyai strategi yang berbeda pada situasi tertentu, dimana strategi tersebut memiliki karakteristik yang unik. Situasi yang dihadapi akan dipersepsi berbeda oleh setiap orang, bahkan terkadang situasi yang sama dapat dipersepsi yang berbeda pula sehingga akan mempengaruhi cara memberikan reaksi terhadap situasi tersebut. Setiap situasi mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi pola reaksi yang akan dilakukan oleh seseorang.
46
c. Etnis Etnis atau budaya mempengaruhi kontrol diri dalam bentuk keyakinan atau pemikiran, dimana setiap kebudayaan tertentu memiliki keyakinan atau nilai yang membentuk cara seseorang berhubungan atau bereaksi dengan lingkungan. Budaya telah mengajarkan nilai-nilai yang akan menjadi salah satu penentu terbentuknya perilaku seseorang, sehingga seseorang yang hidup dalam budaya yang berbeda akan menampilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang menekan, begitu pula strategi yang digunakan. d. Pengalaman Pengalaman akan membentuk proses pembelajaran pada diri seseorang.
Pengalaman yang diperoleh dari proses
pembelajaran lingkungan keluarga juga memegang peran penting dalan kontrol diri seseorang, khususnya pada masa anak-anak. Pada masa selanjutnya seseorang bereaksi dengan menggunakan pola fikir yang lebih kompleks dan pengalaman terhadap situasi sebelumnya untuk melakukan tindakan, sehingga pengalaman yang positif akan mendorong seseorang untuk bertindak yang sama, sedangkan pengalaman negatif akan dapat merubah pola reaksi terhadap situasi tersebut.
47
e. Usia Bertambahnya usia pada dasarnya akan diikuti dengan bertambahnya kematangan dalam berpikir dan bertindak. Hal ini dikarenakan pengalaman hidup yang telah dilalui lebih banyak dan bervariasi, sehingga akan sangat membantu dalam memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Orang yang lebih tua cenderung memiliki control diri yang lebih baik dibanding orang yang lebih muda. 4. Prinsip-prinsip dalam mengendalikan diri a. Prinsip kemoralan Setiap agama pasti mengajarkan moral yang baik bagi setiap pemeluknya, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila maupun tidak merugikan orang lain. Saat ada dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, maka kita dapat bersegera lari ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. b. Prinsip kesadaran Prinsip ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada
48
umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul, sehingga mereka banyak dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka. Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita, maka kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul, menguasai diri kita dan kemungkinan akan melakukan tindakan yang akan merugikan diri kita dan orang lain. Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Jika masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri, maka kita dapat melarikan pikiran kita pada prinsip moral. c. Prinsip perenungan Ketika kita sudah benar-benar tidak tahan untuk meledakkan emosi karena amarah dan perasaan tertekan, maka kita bisa melakukan sebuah perenungan. Kita bisa menanyakan pada diri sendiri tentang berbagai hal, misalnya apa untungnya saya marah, apakah benar reaksi saya seperti ini, mengapa saya marah atau apakah alasan saya marah ini sudah benar. Dengan melakukan perenungan, maka kita akan cenderung mampu mengendalikan diri. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa saat emosi aktif maka logika kita tidak jalan, sehingga saat kita melakukan
49
perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan cenderung menurun. d. Prinsip kesabaran Pada dasarnya emosi kita naik – turun dan timbul, tenggelam. Emosi yang bergejolak merupakan situasi yang sementara saja, sehingga kita perlu menyadarinya bahwa kondisi ini akan segera berlalu seiring bergulirnya waktu. Namun hal ini tidaklah mudah karena perlu adanya kesadaran akan kondisi emosi yang kita miliki saat itu dan tidak terlalu larut dalam emosi. Salah satu cara yang perlu kita gunakan adalah kesabaran, menunggu sampai emosi negatif tersebut surut kemudian baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab (reaksi yang tepat). e. Prinsip pengalihan perhatian Situasi dan kondisi yang memberikan tekanan psikologis sering menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran yang cukup banyak bagi seseorang untuk menghadapinya. Apabila berbagai cara (4 prinsip sebelumnya) sudah dilakukan untuk berusaha menghadapi namun masih sulit untuk mengendalikan diri, maka kita bisa menggunakan prinsip ini dengan menyibukkan diri dengan pikiran dan aktifitas yang positif. Ketika diri kita disibukkan dengan pikiran positif yang lain, maka situasi yang menekan tersebut akan terabaikan. Begitu pula manakala kita menyibukkan diri dengan
50
aktifitas lain yang positif, maka emosi yang ingin meledak akibat peristiwa yang tidak kita sukai tersebut akan menurun bahkan hilang. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal yang positif maka emosi kita akan ikut berubah kearah yang positif juga.27 5. Manfaat Pengendalian Diri Dalam Kehidupan Manfaat pengendalian diri adalah sebagai ketrampilan untuk menangani stres. Disamping itu, kesadaran diri dapat menjernihkan emosi yang memungkinkan kita mengelola suasana hati yang buruk. Orang yang memiliki kesadaran diri yang kuat maka ia dapat mengetahui saat mereka merasa kurang bersemangat, mudah kesal, sedih, ataupun bergairah, dan menyadari bagaimana berbagai perasaan tersebut bisa mengubah perilaku mereka sehingga menyebabkan orang lain tidak menjauhi mereka. Jika kita tidak bisa menahan suhu emosi maka kita cenderung bertingkah laku yang memalukan, marah, mencemooh, dan penuh kebencian sehingga buat orang lain tidak senang. Akibatnya adalah kita akan ditinggalkan dan ada kesan negatif terhadap diri kita. Lebih jauh lagi kita tidak akan mampu menyadari kapan kita merasa stres, kita akan melemahkan kemampuan yang mungkin kita miliki untuk
27
Tri Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 63.
51
berempati, dan kita akan mengabaikan kemampuan kita untuk berkomunikasi lisan dengan cara yang simpatik dengan orang lain.28 Bila kesadaran emosi ditilik dari segi moral maka keberhasilan perkembangan moral berarti dimilikinya kesadaran emosi dan perilaku yang mencerminkan kepedulian akan oran lain: saling berbagi, membantu, saling menumbuhkan, saling mengasihi, tenggang rasa, dan kesediaan mematuhi aturan-aturan masyarakat. 6. Cara Mengendalikan Diri Mencermati merebak dan banyaknya kasus yang menandakan kurang bahkan tidak mempunyai seseorang mengendalikan diri akan dapat berakibat fatal tidak saja kepada pihak lain, akan tetapi juga pada diri sendiri yang melakukannya. Persoalan yang jauh lebih penting adalah apa yang dapat diperbuat untuk membantu mereka supaya dapat mengendalikan diri. Para ahli terapi dan konselor menyarankan bahwa untuk membantu seseorang anak mengekang keinginan-keinginan yang tidak disadarinya, maka harus membantu mengembangkan mekanismemekanisme
untuk
mengendalikan
ego,
termasuk
pemahaman,
perencanaan, penundaan ganjaran, dan kepekaan terhadap orang lain.29
28
Stein, S. & Howard B. 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional (Terjemahan Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto); (Bandung: Kaifa,2002) hlm. 83. 29
Shapiro, L. Mengajarkan Emosional Intelegensi Pada Anak (Terjemahan Alex Tri Kantjono); (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.1998) hlm. 89.
52
Cara mengajar anak mengendalikan diri, yaitu melatih anak mengenali tanda-tanda fisik awal reaksi emosinya untuk belajar mengendalikan diri. Misalnya, bila anak marah, wajahnya menjadi merah, tubuhnya menegang, dan ia menyadari perubahan-perubahan dalam tubuh mereka dan dapat bereaksi untuk menenangkan diri. Disamping itu ada cara lain yang lebih langsung untuk mengajari
anak
dan
remaja
mengendalikan
dirinya
dengan
menggunakan ketrampilan-ketrampilan kognitif. Misalnya, anak diajari ketrampilan menyelesaikan konflik termasuk cara berunding dan menengahi masalah antar teman untuk mengatasi kecenderungan memuncaknya kemarahan antar siswa dengan guru dan antar siswa dengan siswa. Dalam mengajari anak untuk berunding supaya tidak terjadi perkelahian antar orang lain, dapat melalui lima langkah sebagai berikut: pertama, anak harus sepakat duduk berhadapan dan sepakat untuk bekerjasama memecahkan suatu konflik. Kedua, tiap anak harus menceritakan pendapatnya masing-masing. Ketiga, aspek paling penting dalam perundingan adalah menciptakan solusi yang tepat, mereka yang berkonflik harus sepakat mengajukan solusi yang mungkin dikompromikan. Keempat, kedua anak yang bertikai mengevaluasi tiap pilihan yang akan diambil. Kelima, anak-anak itu harus membuat
53
persetujuan atau rencana kerja agar solusi yang terbaik dapat dilaksanakan.30
30
Ibid., hlm. 95.