BAB II POLA ASUH ORANGTUA DAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI A. Pola Asuh Orang tua 1. Pengertian Pola Asuh Orang tua Pola asuh atau Parenting style dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dan orang tua, yang meliputi penumbuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain), dan kebutuhan nonfisik seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya.1 Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli yang mengatakan pengasuhan anak (Child rearing) adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua (pengasuh) dengan anak (yang diasuh). Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.2 Selain itu pola asuh ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak selain hubungannya dengan ibunya. Pola asuh ini juga 1
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini, cet.ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 75. 2 Wiwit Wahyuning, dkk, Mengkomunikasikan Moral terhadap Anak (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 126.
23
24
berpengaruh terhadap keberhasilan keluarga dalam mentransfer dan menanamkan nilai-nilai agama, kebaikan, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pola asuh anak meliputi interaksi antara orang tua dan anak dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis.3 Menurut Muazar Habibi dikutip dari pendapat Kohn menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya dan juga cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak.4 Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua yaitu bagaimana orang tua memperlakukn anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan anak serta melindungi anak dalam proses pendewasaan sampai membentuk perilaku anak sesuai dengan norma dan nilai yang baik dalam kehidupan masyarakat. 2. Peran dan Tanggung jawab Orang tua Ketika bayi dilahirkan kondisinya tabula rasa atau seperti kertas kosong yang bersih. Pikiran anak merupakan hasil dari pengalaman dan proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang diperoleh melali indera membentuk manusia menjadi individu yang unik.
3
Bunda Fathi, Mendidik Anak dengan Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, tanpa tahun), hlm.
53. 4
MA. Muazar Habibi, Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini (Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 81.
25
Peran orang tua dalam perkembangan anak sangat dominan karena orang tua harus bertanggung jawab: a. Mengajari anak tentang kendali diri serta rasionalitas. b. Merancang,
memilihkan,
dan
menentukan
lingkungan
serta
pengalaman yang sesuai sejak anak dilahirkan.5 Agar Orang tua mampu mengemban tanggung jawabnya, yaitu melakukan perubahan pada diri anak atau mendidiknya, orang tua harus memiliki kualitas. Kualitas itu terbentang dari hal-hal yang bersifat abstrak, misalnya berupa konsep-konsep, pandangan, dan sikap, sampai kepada hal-hal yang bersifat konkrit, seperti misalnya tindakan atau perilaku hidup sehari-hari. Hanya orang tua yang berkualitas saja yang pada akhirnya akan mampu membangkitkan kreativitas anak. Sebagai penanggung jawab, orang tua harus menciptakan suasana yang kondusif. Suasana itu meliputi ketenangan, kenyamanan, keterbukaan, kejujuran, sikap egaliter di dalam musyawarah, saling belajar, dan saling menghargai. Orang tua harus menunjukkan kualitas perilaku yang dapat diteladani oleh anak-anaknya. Kualitas perilaku itu misalnya amanah (dapat dipercaya), konsisten, komit, dan terkendali secara emosional.6 Kepribadian dianggap sebagai ciri, karakteristik, gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
5 6
Lusi Nuryanti, Psikologi Anak (Jakarta: Indeks, 2008), hlm. 3. Wahyudin, A to Z Anak Kreatif, cet.ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm. 24-25.
26
yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seeseorang sejak lahir.7 Manusia dilimpahi oleh Allah sebagian dari kekuasan-Nya tanpa sedikitpun mengurangi kekuasaan-Nya itu . terutama di dalam kekuasaan untuk melakukan suatu perubahan. Dan manusia itu termasuk di dalamnya para orang tua menginginkan putra-putrinya menjadi kreatif. Jadi orang tua atas izin Allah mempunyai limpahan kekuasaan untuk melakukan perubahan pada putra-putrinya itu.8 Anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua lengkap. Anak-anak dengan kedua orang tua yang tinggal serumah cenderung lebih baik secara emosi dan akademik. Anak-anak dapat memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua, misalnya dalam hal pendampingan, bantuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, dan kualitas kebersamaan.9 Beberapa kondisi yang dibutuhkan agar anak dapat tumbuh kembang dengan baik meliputi: a. Lingkungan keluarga yang bahagia dan sejahtera, yaitu sepasang orang tua, ayah dan ibu hidup dalam suasana rukun bahagia dan sejahtera (harmonis). b. Memberikan sandang, pangan, dan papan yang memadai bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. c. Memberikan keteladanan atau contoh yang baik terhadap anak-anak. Memberikan perintah sesuai dengan minat dan keinginan anak, tanpa 7
Mangun Budiyanto dan Imam Machali, “Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Pendidikan Agriculture Di Pondok Pesantren Islamic Studies Center Aswaja Lintang Songo Piyungan Bantul Yogyakarta”(Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun IV, Nomor 2, Juni 2014), hlm. 110. 8 Wahyudin.,Op.cit., hlm. 23. 9 Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, cet.ke-1 (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 3.
27
memaksa terlebih dengan ancaman dan hukuman fisik yang merusak fisik anak. d. Mengajarkan nilai-nilai yang baik seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, sopan santun, murah hati, suka menolong, dan sebagainya disertai contoh langsung dari orang tua, sehingga menjadi pola kebiasaan sehari-hari. e. Memberikan waktu bermain dan alat permainan yang memadai.10 3. Macam-macam Pola Asuh Ada tiga jenis pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap anakanaknya, yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Pola asuh otoriter 1) Pengertian Tipe kepemimpinan otoriter adalah yang paling sering dikenal karena tergolong yang paling tua. Kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan seseorang atau sekelompok kecil orang yang disebut atasan sebagai penguasa atau penentu yang tidak dapat diganggu gugat, dan orang lain harus tunduk pada kekuasaannya di bawah ancaman dan hukuman sebagai alat dalam menjalankan kepemimpinannya. Bagi bawahan tidak ada kesempatan untuk berinisiatif dan mengeluarkan pendapat. Intruksi atau perintah atasan tidak boleh ditafsirkan, tetapi harus dilaksanakan secara tertib dan konsekuen tanpa kesalahan.11
10 11
Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 90. Ari. H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 129.
28
Pemimpin dalam hal ini orang tua menentukan segala-galanya semua aktivitas anak dijalankan atas instruksi orang tua.12 dapat dikatakan bahwa pola asuh asuh otoriter, anak merasa terkekang. Mereka kebanyakan bersifat penurut, pendiam dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Kepatuhan hal tersebut bukan karena patuh kepada orang tua, melainkan mereka hanya takut dengan sikap orang tua yang otoriter. 2) Ciri-ciri Pola asuh otoriter ini ciri utamanya adalah orang tua membuat hampir semua keputusan. Anak-anak mereka dipaksa tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya apalagi membantah. Iklim demokratis dalam keluarga sama sekali tidak terbangun. Ciri khas pola asuh otoriter ini diantaranya : a) b) c) d)
Kekuasaan orang tua amat dominan Anak tidak diakui sebagai pribadi Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat Orang tua akan sering menghukum jika anak tidak patuh
b. Pola Asuh Demokratis 1) Pengertian Pola asuh demokratis ada kerja sama antara pemimpin dan anggotanya. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya, setiap anggota keluarga menghormati dan saling memberi
tanpa
meminta.
Antar
anggota
keluarga
saling
menghargai pendapat melalui teladan dan dorongan orang tua 12
Abu Ahmadi, Psikologi Pendidikan, cet. Ke-2 (Rineka Cipta, 1999), hlm. 134.
29
setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.13 Dikatakan pula bahwa pola asuh demokratis adalah sikap orang tua yang berdasarkan prinsip-prinsip atau aturan-aturan untuk memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anak. memberikan anak kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, dan keinginannya. Pola asuh orang tua dalam mengembangakan kontrol terhadap prilaku anak dalam
masyarakat.
mendorang
untuk
mampu
mandiri,
bertanggung jawab dan percaya pada diri sendiri.14 Pola asuh ini bertolak-belakang dengan pola asuh otoriter. Orang tua yang memberikan kebebasan kepada putra-putrinya untuk berpendapat dan menentukan masa depannya. 2) Ciri-ciri Ciri-ciri pola asuh demokratis sebagai berikut: a) Orang tua senantiasa mendorong anak untuk membicarakan apa yang menjadi cita-cita, harapan dan kebutuhan mereka b) Pada pola asuh demokratis ada kerjasama yang harmonis antara orang tua dan anak c) Anak diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan dan potensi mendapat dukungan serta dipupuk dengan baik.
13
Moh Sokhib, Pola Asuh Orang Tua untuk Membantu Anak Mengembangkan Diri (Jakarta: Rineka Cipa, 1998), hlm. 19. 14 Indang Maryati, Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Sosial Anak Remaja Di Desa Arang Limbung Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya, (Pontianak: Jurnal Magister Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak), hlm. 13.
30
d) Orang tua akan membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka. e) Ada kontrol dari orang tua yang tidak kaku. Anak yang dibesarkan keluarga yang demokratis membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak belajar menerima pandangan. Pandangan orang lain, belajar dengan bebas mengumukakan
pandangannya
dan
mengemukakan
alasan-
alasannya.15 c. Pola Asuh Permesif 1) Pengertian Kata permisif bermakna serba boleh, serba mengiyakan, tidak mau ambil pusing, tidak bersikap dalam makna sikap sesungguhnya, dan apatis.16 Pola asuh permisif ini merupakan lawan dari pola asuh otoriter. 2) Ciri-ciri Pola asuh ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat b) Dominasi pada anak c) Sikap longgar atau kebebasan dari orang tua d) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua. e) Kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak yang sangat kurang.17
15
Moeljono Notosoedirdjo, Kesehatan Mental Konsep penerapan, Edisi. Ke-4 (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2002), hlm. 4. 16 Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Cet. Ke-4 (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 214. 17 Agus Wibowo, Op. cit., hlm. 76-77.
31
Tabel 1. Matriks Kombinasi Dua Dimensi dalam Pengasuhan18 Penerimaan/ Ketanggapan Rendah
Tinggi (1) Otoritatif
(2) Otoriter
Tinggi Rendah
Kontrol/ tuntutan
Tuntutan yang masuk akal, Banyak atauran dan tuntutan, penguatan yang konsisten, sedikit penjelasan, dan kurang disertai
kepekaan
dan peka terhadap kebutuhan dan
penerimaan pada anak.
pemahaman anak.
(3) Permisif
(4) Tak peduli
Sedikit aturan dan tuntutan, Sedikit aturan dan tuntutan, anak terlalu dibiarkan bebas orang tua tidak peduli dan peka menuruti kemauannya.
pada kebutuhan anak.
B. Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini Intelegensi atau kecerdasan ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu. William Stern mengemukakan batasan kecerdasan / intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, denga menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.19 Riana Mashar menjelaskan sebagaimana dikutip dari pendapat Howard
18
Gardner
dalam
teori
Multiple
Inteelligence
menyebut
Sri Lestari, Op. cit., hlm. 49. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: Remaja Karya, 1988), hlm52-53. 19
32
kemampuan yang terkait dengan kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Kecerdasan intrapersonal melibatkan kemampuan seseorang untuk memahami perasaan diri dan mengenal diri, mengekspresikan emosi dengan tepat, menyadari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, percaya diri, dapat membuat target sesuai dengan kemampuan diri, dan memiliki keinginan besar untuk berhasil dalam kegiatan tertentu. Adapun kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan seseorang untuk mampu memahami orang lain termasuk bagaimana perasaan orang lain.20 Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitaskualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitaskualitas ini antara lain adalah: Empati, Mengungkapkan dan memahami perasaan,
Mengendalikan
amarah,
Kemandirian,
Kemampuan
menyesuaikan diri, Disukai, Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, Ketekunan, Kesetiakawanan, Keramahan, dan Sikap hormat.21 Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar anak mampu merespons secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi. 22 Kecerdasan emosional juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyikapi 20
Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, cet.ke-1 (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 62. 21 Alex Tri Kantjono, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, cet.ke-3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 5. 22 Riana Mashar, Op.cit., hlm. 60.
33
pengetahuan-pengetahuan
emosional
dalam
bentuk
menerima,
memahami, dan mengelolanya.23 Usia dini adalah fase yang dimulai dari usia 0 tahun sampai anak berusia sekitar 6 tahun. Usia dini itu merupakan momen yang amat penting bagi tumbuh kembang anak. Selain bagian otak anak mengalami perkembangan yang amat sangat pesat, usia dini juga sering disebut sebagai masa keemasan (golden age), yaitu masa di mana semua stimulasi segenap
aspek
perkembangan
mengambil
peran
penting
bagi
pertumbuhan anak selanjutnya.24 Periode emas adalah masa dimana otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode ini hanya berlangsung pada saat anak dalam kandungan hingga usia dini, yaitu 0-6 tahun. Namun masa bayi dalam kandungan hingga lahir sampai usia 4 tahun adalah masa-masa yang paling menentukan. Periode ini pula yang disebut sebagai periode emas, atau yang lebih dikenal sebagai the golden ages. Disebut periode emas sebab pada masa itu otak anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Dan otak merupakan kunci utama bagi pembentukan kecerdasan anak.25 Jadi bisa disimpulkan bahwa kecerdasan emosional anak usia dini adalah kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengontrol
23
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, alih bahasa Muhamad Muchson Anasy (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2006), hlm. 7. 24 Agus Wibowo, Op. cit., hlm. 25. 25 Gunawan, “The Golden Ages”, http://www.blog-guru.web.id/2012/02/golden-ages. html, diakses tanggal 29 Mei 2015, jam 11.14.
34
emosi yang ada pada anak dengan usia 0-6 tahun agar mampu merespon setiap kondisi yang memicu munculnya emosi. 2. Unsur-unsur kecerdasan emosional Kecerdasan emosional mencakup lima wilayah berikut: a. b. c. d. e.
Kemampuan seseorang mengenali emosinya sendiri Kemampuan mengelola suasana hati Kemampuan memotivasi diri sendiri Kemampuan mengendalikan nafsu Kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang lain.26
Berikut ini adalah uraian dari kelima wilayah di atas: a. Kemampuan mengenali emosi diri adalah kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. b. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Dapat diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dabat membawa pesawatnya ke suatu kota tujuan kemudian mendaratkannya secara mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu
26
Lusi Nuryati, Op. cit., hlm. 42.
35
tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya di kemudian hari. c. Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan dan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya. d. Kemampuan mengenali emosi orang lain adalah kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesn non-verbal dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan cenderung disukai orang. e. Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul dan menjadi lebih populer.27
27
Arismantoro (Editor), Tinjauan Berbagai Aspek Character Building (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 9-10.
36
Tabel 2. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional 28 Aspek Kesadaran diri
Karakteristik Perilaku a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri. b. Memahami penyebab emosi yang timbul. c. Mengenal pengaruh emosi terhadap tindakan.
Mengelola emosi
a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah secara lebih baik. b. Mampu mengungkapkan amarah dengan tepat. c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain. d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah ,dan keluarga. e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi stres. f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas.
Memanfaatkan
a. Memiliki rasa tanggung jawab.
emosi secara
b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang
produktif
dikerjakan. c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif
Empati
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain. b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain. c. Mampu mendengarkan orang lain.
Membina
a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
hubungan
menganalisis hubungan dengan orang lain.
28
Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini : Pengantar dalam Berbagai Aspeknya (Jakarta: Kencana, 2011)., hlm. 159.
37
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain. c. Mampu berkomunikasi dengan orang lain. d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya. e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain. f. Memperhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain). g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama. h. Bersikap demokratis dalam bergaul.
3. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini a. Makna Emosi Emosi
berasal
dari
bahasa
latin
movere,
berarti
menggerakkan atau bergerak, dari asal kata tersebut emosi dapat diartikan sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat berupa perasaan amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, rasa terkejut, jijik, dan rasa sedih.29 Emosi terdiri atas dua macam, yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif adalah emosi yang identik dengan perasaan yang tidak menyenangkan.30 Sedangkan emosi positif adalah emosi yang menimbukan perasaan positif kepada anda sebagai orang yang 29
Riana Mashar, Op. cit., hlm. 16. As’adi Muhammad, Cara Kerja Emosi dan Pikiran Manusia (Yogyakarta: Diva Press), hlm. 101. 30
38
mengalaminya. Emosi positif berperan dalam memicu munculnya kesejahteraan emosional dan memfasiitasinya dalam pengaturan emosi negatif.31 Perilaku emosional ialah reaksi yang terorganisasi dan muncul terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan, tujuan, ketertarikan, dan minat individu. Perilaku emosional ini tampak sebagai akibat dari emosi seseorang.32 Bakat-bakat emosional anak dapat diamati sejak ia masih anak-anak, seperti: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Penyabar, mampu menahan dan mengendalikan diri. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Memiliki inisiatif dan selalu kreatif. Peduli kepada teman-temannya maupun saudara-saudaranya. Mandiri dalam menyiapkan kebutuhannya sehari-hari sendiri. Perfek dan bertanggung jawab, belum mau meninggalkan ugasnya kalu belum selesai. 7) Mempunyai empati yang besar terhadap sesama atau bisa memahami perasaan orang lain, mampu menyelesaikan konflik di antara temannya, mampu bergaul atau pandai bersahabat, bisa mempengaruhi temannya dan bisa berkomunikasi dengan baik. 8) Mempunyai cita-cita dan impian, optimis, rasa percaya diri, gigih, ulet, mempunyai dorongan untuk maju, menyukai tantangan dan suka pengalaman atau hal-hal yang baru.33 b. Fungsi Emosi Secara umum emosi mempunyai fungsi mencapai suatu pemuasan,
31
pemenuhan,
atau
perlindungan
diri,
atau
bahkan
Ibid., hlm. 116-117. Ahmad Susanto, Op. cit., hlm. 141. 33 Amir Faisal dan Zulfanah, Menyiapkan Anak Jadi Juara, (Jakarta: Gramedia, 2008)., 32
hlm. 30.
39
kesejahteraan pribadi pada saat keadaan tidak nyaman dengan lingkungan atau objek tertentu.34 c. Karakteristik emosi anak Emosi anak usia dini sifatnya mendalam, tetapi mudah berganti, dan selain sifatnya terbuka juga lebih sering terjadi. Sebagai contoh, anak kalau sedang marah dia akan menangis keras atau berteriak-teriak, tetapi kalau kemauannya dituruti atau terpenuhi, maka tiba-tiba tangisannya berhenti dan biasanya langsung tertawa. Emosi dapat memberikan dampak terhadap perilaku anak usia dini seperti: 1) Emosi menambah kesenangan hidup anak, semua emosi dapat merangsang dan membangkitkan gairah anak. 2) Emosi dapat terlihat pada ekspresi anak seperti emosi yang menyenangkan akan membuat anak bahagia atau sebaliknya 3) Emosi dapat mengganggu kualitas intelektual anak, di mana emosi yang kuat menyebabkan anak sulit belajar dan sulit mengingat 4) Emosi dapat menurunkan keterampilan anak, misalnya anak yang emosinya kuat akan menjadi gugup dan grogi saat berbicara 5) Emosi akan mencerminkan keadaan perasaan anak dari air mukanya, perubahan gerak tubuh. 6) Emosi dapat merangsang dan membangkitkan gairah anak, misalnya menimbulkan kesenangan, cemburu, marah, takut, dan benci. 7) Kehidupan keluarga mempengaruhi gejolak emosi anak, dimana keluarga yang bahagia akan memberikan pengaruh pada kehidupan dan perilaku anak.35 Ahmad Susanto sebagaimana dikutip dari Hurlock bahwa pola-pola emosi umum pada awal masa kanak-kanak sebagai berikut:
34 35
Ahmad Susanto, Op. cit.,, hlm. 136. Ibid., hlm. 136-137.
40
1) Amarah Penyebab amarah yang paling umum ialah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan, dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa amarah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat-lompat atau memukul. 2) Takut Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut seperti cerita-cerita, gambar-gambar, acara radio, dan televisi dengan film-film yang menakutkan. Pada mulanya reaksi anak terhadap rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus lagi seperti lari, menghindar, bersembunyi, dan menangis. 3) Cemburu Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain di dalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan
kecemburuannya
secara
terbuka
atau
menunjukkan dengan kembali berperilaku seperti anak kecil seperti mengompol, pura-pura sakit, atau menjadi nakal yang berlebihan. Perilaku ini semuanya bertujuan untuk menarik perhatian orang tuanya.
41
4) Ingin tahu Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain.
Reaksi
pertama
ialah
dalam
bentuk
penjelajahan
sensomotorik, kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, anak bereaksi dengan bertanya. 5) Iri hati Anak-anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacammacam cara, yang paling umum ialah dengan mengeluh tentang barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti yang dimiliki orang lain. 6) Gembira Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang lain, dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Anak mengungkapkan kegembiraan dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat atau memeluk benda atau orang yang membuat bahagia. 7) Sedih Anak-anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak
42
mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan. 8) Kasih sayang Anak-anak belajar mencintai orang lain, binatang, atau benda yang menyenangkannya. Anak mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium objek kasih sayangnya.36 d. Bentuk-bentuk permasalahan emosi anak Permasalahan emosi sering kali diartikan sebagai kondisi emosi ekstrem atau persisten atau ketiadaan beberapa emosi atau terlalu terbatasnya suatu emosi tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa anak yang bermasalah adalah anak yang memiliki performance yang tidak sesuai dengan harapan orang tua, guru, masyarakat, atau standar norma berdasarkan kriteria yang dipakai oleh seorang ahli.37 Berbagai permasalahan emosi yang biasa muncul pada anakanak adalah: 1) Agresivitas Agresi secara tipikal didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Ini berarti bahwa menyakiti orang lain secara 36 37
Ibid., hlm. 150-151. Riana Mashar, Op. Cit., hlm. 77-78.
43
sengaja bukanlah agresi jika pihak yang dirugikan menghendaki hal ini terjadi. Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikoloigis atau emosional. Karena itu, misalnya mempermalukan, menakut-nakuti, atau mengancam seseorang adalah agresi.38 Izzaty memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupu menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Nugraha Rahmawati mendefinisikan agresivitas sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan frustasi. Jadi agresivitas merupakan tindakan menyerang baik fisik, verbal, maupun ekspresi wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau frustasi. Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa kecenderungan untuk meningkatnya perilaku agresi baik dalam frekuensi maupun itensitas jika ini tidak ditangani secara 38
Glynis M. Breakwell, Coping with Agressive Behaviour, alih bahasa Bernadus Hidayat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 17-18.
44
efektif. Selain itu agresi juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi anti sosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif. Selain dampak psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresi anak juga dapat mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya. Faktor penyebab terjadinya agresivitas dapat berupa faktor biologis yang berasal dalam diri anak (internal) maupun faktor linngkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal). Faktor internal dapat berupa pengaruh genetik, sistem otak, dan kimia darah (hormon seks). Adapun faktor eksternal dapat berupa kemiskinan, kondisi lingkungan fisik yang tidak mendukung (suhu
udara
yang
panas,
oksigen
yang
terbatas),
dan
kecenderungan meniru model kekerasan yang ada di sekitarnya, baik melalui pengamatan langsung terhadap figur model-model yang ada disekitarnya maupun yang dilihat pada televisi. Agresivitas pada anak usia dini yang tidak ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus sekolah dan perilaku perilaku negatif lain dapat terjadi karena agresivitas masa usia dini yang tidak ditangani dengan baik.39
39
Riana Mashar, Op. cit., hlm. 87-88.
45
Perilaku asertif berbeda dengan perilaku non asertif (perilaku pasif dan perilaku agresif). Menurut Lioyd (1991) perilaku non asertif bersifat pasif dan tidak langsung. Perilaku non asertif ini cenderung mengomunikasikan suatu pesan inferioritas, dengan membiarkan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain menjadi lebih penting dari dirinya sendiri, sehingga seringkali dirinya menjadi korban dari perilakunya sendiri. Asertivitas berhubungan dengan perilaku agresif. Hal ini dimungkinkan karena anak yang memiliki asertivitas aktif akan memandang keinginan, kebutuhan dan hak individu sama dengan keinginan. kebutuhan dan hak orang lain. Sebaliknya anak yang bertingkah laku non asertif tidak memiliki kepercayaan diri dalam suatu
hubungan
interpersonal,
tidak
spontan
dalam
mengekspresikan emosi dan perasaan, sering merasa tegang dan cemas, serta membiarkan dan memberi kesempatan pada orang lain membuat keputusan untuk dirinya (Kanfer & Goldstein, 1975). Oleh karena itu anak yang mempunyai perilaku asertif pasif dapat menimbulkan kecenderungan perilaku antisosial termasuk perilaku agresif.40
40
S. Hafsah Budi A, “Perilaku Agresif Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Authoritarian, Asertivitas dan Tahap Perkembangan Remaja pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarja Jawa Tengah” (Jogjakarta: Jurnal Humanitas No.1,VI, Januari 2009), hlm.45.
46
2) Kecemasan Kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada stuasi tertentu, yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan dapat pula diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang seringkali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk. Sebagian besar faktor kecemasan dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang kurang tepat, terutama saat awal kehidupan anak dalam membentuk basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memiliki rasa aman dan memandang dunia di luar dirinya sebagai ancaman, ia cenderung akan lebih mudah mengalami kecemasan khususnya saat mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar.41 3) Temper tantrum Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada saat menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
41
Riana Mashar.Op.cit., hlm. 90.
47
Penyeab temper tantrum yang paling umum terjadi pada anak karena beberapa hal, yaitu kelelahan, frustasi, lapar, sakit, kemarahan, kecemburuan, perubahan dalam rutinitas, serta tekanan di rumah dan sekolah.42 4) Takut berlebihan Takut yang berlebihn menurut Plutchik, seringkali digambarkan sebagai kondisi yang dialami individu berupa perasaan tidak senang yang diikuti dengan tanda-tanda fisik seperti berkeringat, detak jantung yang meningkat, dan gemetar. Perasaan takut ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa dialami oleh individu yaitu hewan dan benda-benda berbahaya.43 5) Hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitivitas bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak yang hipersensitif tidak dapat menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Anak yang hipersensitif juga biasanya mudah marah (tempramental) dan sering mengalami suasana hati yang murung 42 43
Ibid., hlm. 92-93. Ibid., hlm. 96-97.
48
tanpa penyebab yang jelas. Hipersensitif dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik, atau sepopuler anak-anak lain.44 e. Perkembangan emosi anak Perkembangan emosi dimulai sejak anak lahir sampai besar. Anak
mengembangkan
emosinya
melalui
pengalaman
yang
didapatkan dari interaksi dengan orang di sekitar lingkungannya. Namun aspek emosi mengalami perkembangan yang signifikan pada periode anak. Seiring pertambahan usia, kemampuan anak untuk mengenali emosinya sendiri semakin berkembang. Anak-anak semakin menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain.
Anak-anak juga semakin mampu mengatur ekspresi emosi
dalam situasi sosial dan mampu mereaksi kondisi stres yang dialami orang lain.45 Perkembangan emosional berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan anak. Perkembangan emosi dan sosial merupakan dasar perkembangan kepribadian di masa datang. Setiap orang akan mempunyai emosi rasa senang, marah, kesal dalam menghadapi lingkungannya sehari-hari.46 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi pada anak antara lain:
44
Ibid., hlm. 99. Lusi Nuryanti, Op. cit., hlm. 42. 46 Ahmad Susanto, Op. cit., hlm. 157. 45
49
1) Perkembangan fisik-motorik anak yang kurang sempurna dapat mempengaruhi kemampuan emosi anak karena tidak dapat mengungkapkannya dengan sempurna. 2) Perkembangan kognitif berpengaruh terhadap interpretasi atas suatu kejadian. 3) Faktor sosial, bahwa semakin banyak anak bersosialisasi, maka ia akan lebih banyak belajar bagaimana cara mengungkapkan emosinya. 4) Sifat bawaan dan temperamen anak serta pola asuh dan lingkungan sosial anak dibesarkan.47
Kecerdasan intelektual atau IQ ibarat fondasi, sedangkan EQ adalah atapnya. Maksudnya seseorang diperbolehkan mengobati pasien, apabila ia telah dinyatakan lulus teori dan praktik oleh fakultas kedokteran, atau dengan bahasa lain ia telah memiliki kemampuan dasar yang dibutuhkan atau kecerdasan intelektual di bidang kedokteran, dimana tanpa persyaratan dasar itu dia tidak mungkin menjadi dokter. Namun demikian, akan menjadi dokter seperti apakah dia nanti, yang menentukan adalah EQ nya.48 Tabel 3. Tahapan Perkembangan Emosi 49 USIA
TAHAPAN PERKEMBANGAN
0-6 bulan
Bayi mampu memperlihatkan senyuman pada beberapa minggu setelah lahir dan melakukan percakapan
47
non verbal dengan orang tuanya,
Mirroh Fikriyati, Perkembangan Anak Usia Emas (Golden Age) (Yogyakarta: Laras Media Prima, 2013) .hlm. 65-75. 48 Amir Faisal dan Zulfanah, Op., cit, hlm. 29. 49 Ahmad Susanto, Op. cit., hlm. 160.
50
memperlihatkan ekspresi-ekspresi dan suara-suara yang merupakan awal dari komunikasi emosional. Apabila orang tua peka terhadap bayi, maka komunikasi emosional akan terjalin dengan baik. 6-8 bulan
Bayi mulai mengenal dan tertarik dengan orangorang, benda-benda, dan tempat di sekelilingnya, mulai
menemukan
cara
baru
untuk
mengungkapkan perasaan senang, takut, kecewa, dan rasa ingin tahunya. Pada usia 8 bulan bayi mulai
merangkak
kemana-mana,
mampu
mengenali orang yang asing baginya,. Bayi berusaha
lekat
pada
orang
tuanya
untuk
memperoleh rasa aman dan nyaman. 9-12 bulan
Bayi mulai memahami bahwa ia dapat berbagi emosi dengan orang lain yang akan memperkuat ikatan emosionalnya. Pemahaman ini penting untuk pelatihan emosi.
1-3 tahun
Anak mulai senang bertemu
dengan anak-anak
yang lain, mulai membangkang dan pada masa ini pengembangan emosi menjadi sarana yang penting dalam mencegah anak-anak frustasi atau marah.
51
4-7 tahun
Anak senang keluar dari rumah, bertemu teman baru, dan mempelajari banyak hal karena rasa ingin tahunya. Orang tua diharapkan mulai melatih anak menahan tingkah laku yang tidak baik, memusatkan perhatian dan mengatur diri sendiri. Anak harus mulai belajar mengatur emosinya dan bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Anak mulai takut mimpi buruk, takut mendengar pertengkaran orang tua, dan takut ditinggalkan.
Pada usia empat tahun anak-anak sudah mengetahui bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang lain, sehingga tidak selamanya orang lain dapat memenuhi keinginannya. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa usia pra sekolah adalah takut yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan, cemas yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan. Marah yaitu perasaan tidak senang atau benci baik terhadap dirinya maupun objek tertentu yang diwujudkan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar atau makian atau sumpah serapah). Cemburu yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih sayang dari seseorang yang telah mencurahkan kasih sayang kepadanya. Kegembiraan, kenikmatan, kesenangan yaitu perasaan yang positif, nyaman karena terpenuhi keinginannya. Kasih sayang, yaitu perasaan
52
senang untuk memberikan perhatian atau perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Phobi yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya. Ingin tahu yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.50 f. Pengaruh emosi terhadap perilaku dan perubahan fisik individu Pada masa perkembangan anak dan remaja pasti melewati tahap pengaruh emosi, berikut ini beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu diantaranya: 1) Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang dicapai. 2) Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi). 3) Menghambat konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan dapat juga menimbulkan sikap gugup dan gagap dalam berbicara. 4) Terganggunya penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
50
A. Juntika Nurihsan dan Mubiar Agustin, Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja: Tinjauan Psikologi, Pendidikan, dan Bimbingan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 34.
53
5) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya maupun orang lain.51 C. Pola Asuh dan Kecerdasan Emosional Dalam proses pengasuhan, pembinaan dan pendidikan terdapat beberapa masalah yang dapat menimbulkan kesulitan dalam pengasuhan anak dan terdapat pula akibat yang muncul dari masing-masing pola pengasuhan. Seperti dalam pola pengasuhan otoriter kemungkinan akibat yang akan timbul pada anak dengan orang tua yang memiliki sikap otoriter adalah: a. Kurang berkembangnya rasa sosial b. Rasa keberanian dan kreativitasnya dalam mengambil keputusan kurang berkembang dengan baik. c. Anak menjadi pemalu/ penakut, terkadang keras kepala. d. Keinginan untuk menyendiri. e. Kurang tegas dalam mengambil tindakan atau menentukan sikap. f. Suka bertengkar dan licik serta tidak mau menurut. Selain akibat negatif yang ditimbulkan oleh pengasuhan otoriter terdapat pula akibat positif atau kelebihan dari pola asuh otoriter yaitu anak yang dididik akan menjadi disiplin yakni menaati peraturan. Meskipun, anak cenderung disiplin hanya di hadapan orang tua. Sedangkan pada orang tua yang menunjukkan sikap permesif memiliki pandangan bahwa anak dianggap sebagai orang dewasa yang dapat mengambil tindakan atau keputusan sendiri menurut hendaknya tanpa bimbingan. Adapun akibat yang timbul dari pola pengasuhan ini menyebabkan anak memiliki perilaku sebagai berikut:
51
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 189.
54
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Tidak mengenal tata tertib atau sopan santun. Tidak mengenal disiplin. Sering mengalami rasa kecewa. Tidak dapat menghargai orang tua. Lebih mementingkan dirinya sendiri. Memiliki keinginan yang aneh dan tidak sesuai dengan kemampuannya. Hubungan dengan orang lain kurang harmonis. Sering menentang norma yang berlaku di masyarakat sekitar. Tidak menurut dan sulit diperintah. Kelebihan pola asuh permisif adalah memberikan kebebasan yang
tinggi pada anak dan jika kebebasan tersebut dapat digunakan secara bertanggung jawab, maka akan menjadikan anak sebagai individu yang mandiri, kreatif, inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Akibat negatif juga ditimbulkan dari pengasuhan ini yaitu dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Sedangkan orang tua yang memiliki karakteristik sikap demokrasi memperlakukan anak sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak dan memerhatikan serta mempertimbangkan keinginan-keinginan anak. Anak dengan pola pengasuhan orang yang demokratis akan menunjukan sikap atau perilaku tanggung jawab yang besar, dapat menerima perintah dan dapat diperintah sesuai dengan wajar, dapat menerima kritik secara terbuka, memiliki keberanian untuk berinisiatif dan kreatif, memiliki emosi yang stabil, dapat menghargai pekerjaan atau jerih payah orang lain, mudah beradaptasi, lebih toleran, mau menerima, dan memberi. Memiliki rasa sosial yang besar, konsep dirinya yang positif, dapat bekerja sama, dan kontrol diri yang besar. Namun, terdapat kekurangan dari pola asuh ini yaitu menjadikan
55
anak cenderung mendorong kewibawaan otoritas orang tua, bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak dan orang tua. 52 Pengasuhan model athotoritarian, menunjukkan pengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan perilaku agresif anak. Anak yang memperoleh pengasuhan model aotoritarian dan permisif menunjukkan pengaruh positif, sedangkan model pengasuhan otoritatif menunjukkan pengaruh negatif secara signifikan terhadap kecenderungan perilaku kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena orangtua authoritarian, misalnya, lebih menekankan hukuman fisik, melakukan kontrol secara berlebihan, tidak konsisten dalam menerapkan disiplin, bersifat sarkastis, sifat mudah mengancam, kemarahan dan sikap bermusuhan.53 Dari ketiga pola asuh di atas, pola asuh yang baik digunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak adalah pola asuh demokratis. Dimana pola asuh ini sangat responsif dan memberikan perhatian penuh tanpa mengekang kebebasan anak. Dalam pola asuh demokratis, orang tua bersikap fleksibel, melakukan pengawasan dan tuntutan, tetapi juga hangat, rasional dan mau berkomunikasi sehingga menjadikan anak tidak tergantung mendorong anak untuk berprestasi, kreatif, dan disukai banyak orang serta responsif. Namun semua pola asuh bisa diterapkan sesuai kebutuhan anak.54
52
Diana Mutiah, Op. cit., hlm. 88-89. S. Hafsah Budi A, “Perilaku Agresif Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Authoritarian, Asertivitas dan Tahap Perkembangan Remaja pada Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarja Jawa Tengah” (Jogjakarta: Jurnal Humanitas No.1,VI, Januari 2009), hlm. 52. 54 Desy Makarti Chandri, dkk., “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Kecerdasan Emosional Anak Usia 5-6 tahun” (Pontianak: Jurnal Studi Pendidikan FKIP UNTAN), hlm. 9. 53
56
Untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak, orang tua dan pendidik perlu memberikan rangsangan-rangsangan yang sesuai, sehingga anak dapat mempelajari keterampilan-keterampilan emosi dan sosial yang baru. Beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua diantaranya: 1. Orang tua perlu memeriksa kembali cara pengasuhan yang selama ini dilakukan, jika perlu bersedia bertindak dengan cara-cara yang berlawanan dengan kebiasaan cara pengasuhan selama ini, seperti: a. Tidak terlalu melindungi. b. Membiarkan anak mengalami kekecewaan. c. Tidak terlalu cepat membantu. d. Mendukung anak untuk mengatasi masalah. e. Menunjukkan empati. f. Menetapkan aturan-aturan yang tegas. 2. Memberi perhatian pada tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi. 3. Melatih anak untuk mengenali emosi dan mengelolanya dengan baik. 55
55
Riana Mashar, Op. cit., hlm. 64-65.