BAB II PESANTREN DAN DIKOTOMI ILMU
A. Gambaran Umum Pesantren 1. Arti Pesantren Pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri.1 Atau juga kata sant dan tra yang berasal dari bahasa sansekerta, sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), maka pesantren berarti
tempat
pendidikan
manusia
baik-baik.
Sedangkan
Nurcholis Madjid berprinsip pada dua dasar asal-usul kata santri, pertama: berasal dari bahasa sansekerta. Kata santri berarti “melek huruf”. Kedua berasal dari bahasa Jawa cantrik, berarti “seseorang yang mengikuti gurunya menetap”.2 Biasanya santri ini mencari kyai yang mempunyai concent keilmuan tertentu. Term pertama mengilustrasikan kekuasaan politik Islam di Demak, dimana santri adalah orang berpengetahuan agama, yang berpijak pada literatur kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Term kedua mengedepankan aspek keahlian agama. Sedangkan menurut Ensiklopedi Islam bahwa pesantren itu berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji atau dari bahasa India “Shastri“ dan kata “Shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.3
1 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 18. 2 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 19. 3 Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 99.
Sedangkan secara terminologis pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan
tradisional
Islam
yang
mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku
sehari-hari.4
Menurut
Nurcholis
Madjid
pesantren adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional.5 Lebih luas lagi M. Arifin mendefinisikan pesantren sebagai sebuah pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) dimana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen
dalam
mendefinisikan “tradisional”
segala
pesantren Islam
hal.6 sebagai
untuk
Sedangkan lembaga
mempelajari,
Mastuhu pendidikan
memahami
dan
mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.7 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, maka pesantren menurut penulis adalah suatu lembaga pendidikan dan pengajaran yang didalamnya terdapat kyai sebagai central figure, santri, masjid dan pondok.8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 55. Nurcholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Pergumulan Dunia Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 13. 6 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 240. 7 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit., hlm. 32. 8 Istilah pondok menurut Zamakhsari Dhofier berasal dari pengertian asramaasrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab berarti hotel atau asrama. (lihat dalam 4 5
29
2. Sejarah Pesantren Berdirinya sebuah pesantren tidak bisa dipisahkan dari adanya seorang ulama’ yang dalam masyarakat Jawa disebut kyai. Kyai tersebut biasanya menguasai beberapa atau satu bidang tertentu tentang agama Islam. Keahlian yang dimiliki kyai tersebut kemudian
menjadi
kajian
yang
khas
di
pesantren
yang
dipimpinnya. Selain itu asal usul pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah Walisongo pada abad 15-16 M yang ada di tanah Jawa.9 Salah seorang Walisongo yang terkenal Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang berasal dari Gujarat India disebut sebagai pencipta pertama sekolah agama yang disebut sebagai pondok pesantren. Para wali yang lain seperti, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus dan lain-lain dalam menyebarkan agama Islam memang melakukan pengembaraan sejak dari desa ke kota. Setelah para wali tersebut memperoleh pengikut yang banyak, dan menjadi terkenal karena ilmunya, maka didaerahnya masing-masing didirikanlah pusat pendidikan dimana para wali itu berdomisili.10 Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan pesantren bersifat sangat sederhana, yakni berupa pengajian alQur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau atau rumah-rumah ustad. Lembaga-lembaga yang kemudian berkembang dengan nama pesantren ini terus tumbuh dan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Op.Cit., hlm.18). 9 Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail S.M, dkk (Editor) “Dinamika Pesantren Dan Madrasah” Cet. I, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 3. 10 Win Usuluddin, Sintesis Pendidikan Islam Asia-Afrika; Perspektif Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Menurut K.H. Imam Zarkasyi-Gontor, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 30.
30
berkembang didasari rasa tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Lembaga ini dalam bentuk yang semula tidak bisa disamakan dengan sekolah seperti yang dikenal sekarang dan tidak mengenal adanya standarisasi, sehingga perkembangannyapun mempunyai corak tersendiri. Pondok sebagai asrama tempat tinggal santri, masjid sebagai tempat aktivitas peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajian kitab kuning serta kyai yang mengasuh merupakan elemen-elemen dasar keberadaannya.11 Pertumbuhan dan penyebaran pesantren yang sampai ke pelosok pedesaan adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
penyiaran
agama
Islam.
Kaum
Muslimin
berusaha
mengembangkan ajaran agama Islam dengan sumber kekuasaan itu sendiri. Dalam usaha itu tidak sepenuhnya berhasil, namun juga tidak sepenuhnya gagal. Yang pasti adalah dalam berbagai variasinya,
dunia
pesantren
merupakan
pusat
persemaian,
pengalaman dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu ke-Islaman.12
3. Tujuan Pesantren Pesantren dalam proses perkembangannya masih tetap disebut
suatu
lembaga
keagamaan
yang
mengajarkan,
mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam. 11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Op.Cit., hlm.44. 12 Amin Abdullah, Falsafah kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3.
31
Pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya mengatakan tujuan pendidikannya dengan jelas. Untuk mengetahui tujuan pendidikan pesantren yang diselenggarakan pesantren, maka jalan yang harus ditempuh yaitu dengan pemahaman terhadap fungsi-fungsi pendidikan yang diselenggarakan dan dikembangkan oleh pesantren. Tujuan pendidikan pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier adalah: “tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.”13 Sedangkan
menurut
Hasbullah
tujuan
terbentuknya
pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah membimbing manusia menuju kepribadian muslim, mengarahkan masyarakat melalui ilmu dan amal. Sedangkan tujuan khusus, untuk mempersiapkan santri menjadi alim ilmu agama, bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.14
Yusuf
Faisal
berpendapat
bahwa
tujuan
pesantren ada tiga. Pertama, mencetak ulama’ yang menguasai ilmu-ilmu
agama.
Kedua,
mendidik
muslim
yang
dapat
melaksanakan syari’at agama untuk mengisi, membina dan mengembangkan peradaban Islami. Ketiga, mendidik santri agar memiliki ketrampilan dasar yang relevan dengan masyarakat
13 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Op.Cit., hlm.50. 14 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 24-25.
32
religius.15 Nurcholis Madjid, menulis tentang tujuan pesantren: membentuk manusia yang memiliki keteladanan tinggi bahwa ajaran agama Weltansschung yang menyeluruh.16 Hal ini diciptakan sebagai basik-keberagamaan, dan sarana mengembangkan misi Islam, sebuah responsi kontek kekinian bidang agama dan kemasyarakatan. Mastuhu mengemukakan tujuan pesantren, menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim (beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan,
berakhlak
mulia
dan
bermanfaat
bagi
masyarakat).17 Pernyataan di atas, mungkin dimaksudkan agar santri termotivasi penuh kemandirian dan terampil (memiliki keahlian). Pada dasarnya, tujuan pesantren belum terstruktur dan termaktub dalam garis-garis besar program kerja pesantren yang rinci, lengkap dan konsisten. Pada umumnya tujuan ini tergantung pada dua hal: pertama, bentuk atau plat-form pesantren, kedua, terkait concent pengajaran pesantren, kepemimpinan kyai, visi dan orientasinya. 4. Prinsip Pesantren Berangkat dari tujuan pendidikan dan pendekatan holistik serta fungsinya yang komprehensip, maka prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren menurut Mastuhu18 adalah sebagai berikut: a. Theosentrik Sistem
pendidikan
pesantren
mendasarkan
falsafah
pendidikannya pada filsafat theosentrik. Falsafah ini berangkat dì¥Á 7
ð ¿
)ê
15 Jusup Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 183-184. 16 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Op.Cit., hlm. 18. 17 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit., hlm. 55. 18 Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Ibid, hlm. 62-66.
33
bjbjU U <
7|
7|
`¹
®,
ÿÿ
ÿÿ l
º
ÿÿ º
º
,
t ´
8 7
º
ð ¿
)ê
34
Ø
\ ì¥Á
bjbjU U <
7|
7|
`¹
35
®,
36
º
º
º
º
t
, ´ 8
Ø
\ tren
dilaksanakan secara sukarela dan mengabdi kepada sesama dalam rangka ibadah kepada Tuhan. c. Kearifan Bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh kepada ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain serta mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam kehidupan pesantren dalam rangka mewujudkan sifat arif. d. Kesederhanaan Sebagai salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku bagi warga pesantren adalah penampilan sederhana. Tetapi, sederhana yang dimaksud bukan identik dengan kemiskinan, tetapi kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional dan tidak tinggi hati. e. Kolektivitas Pesantren
menekankan
pentingnya
kolektivitas
atau
kebersamaan lebih tinggi daripada individualism. Implikasi dari prinsip ini, di pesantren berlaku pendapat bahwa dalam hak orang mendahulukan kepentingan orang lain tetapi dalam hal kewajiban, orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. f. Mengatur Kegiatan Bersama Merujuk pada nilai-nilai pesantren yang bersifat relatif sebagaimana diatas, santri dengan bimbingan ustadz dan kyai mengatur hampir semua kegiatan proses belajar mengajar. g. Kebebasan Terpimpin
37
Prinsip ini digunakan pesantren dalam menjalankan kebijakan kependidikannya. Konsep yang mendasarinya adalah ajaran bahwa semua makhluk pada akhirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan-ketentuan sunnatullah, disamping itu juga bahwa masing-masing anak dilahirkan menurut fitrah-nya. Implikasi dari prinsip ini adalah warga pesantren mengalami keterbatasan-keterbatasan namun tetap memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri. h. Mandiri Dalam kehidupan pesantren sifat mandiri tampak jelas. Sikap ini dapat dilihat dari aktifitas santri dalam mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya sendiri. i. Mengamalkan Ajaran-ajaran Islam Sebagaimana
disebutkan
dimuka,
pesantren
sangat
mementingkan pengamalan agama dalam kehidupan seharihari. Sehingga kehidupannya selalu berada dalam ramburambu hukum agama. j. Pesantren adalah Tempat Mencari Ilmu dan Mengabdi Warga pesantren menganggap bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu yang dimaksud adalah bersifat suci dan tak terpisahkan dari bagian agama. Sehingga model pemikiran mereka berangkat dari keyakinan dan berakhir dengan kepastian. Berbeda dengan ilmu dalam arti science yang memandang setiap gejala yang mempunyai kebenaran relatif dan bersyarat. Akhir dari pandangan ini adalah ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berfikir metodologis, melainkan sebagai berkah. k. Tanpa Ijazah
38
Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren tidak memberikan ijazah atau sertifikat sebagai tanda keberhasilan belajar. Menurutnya, keberhasilan bukan ditandai dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka, tetapi ditandai dengan prestasi kerja yang diakui oleh khalayak, kemudian direstui kyai. l. Restu Kyai Dalam kehidupan pesantren, semua aktivitas warga pesantren sangat tergantung pada restu kyai. Baik ustadz, pengurus maupun santri. Implikasi prinsip ini adalah tanda kelulusan harus ditentukan restu kyai. Sehingga warga pesantren sangat berhati-hati jangan sampai melakukan tindakan yang tidak berkenan dihadapan kyai. Sedangkan Prinsip pesantren19 menurut Abdurrahman Mas’ud berkaitan erat dengan tradisi pesantren. Akar tradisi pesantren yang penulis temukan dari tulisan Rahman adalah; Prinsip Dasar Budaya Pesantren, dan Prinsip Dasar Pendidikan Pesantren.20
19 Prinsip pesantren yang dikemukakan Rahman merupakan hasil dari perjuangan Walisongo yang kemudian dikembangkan oleh para ulama’-ulama’ atau para kyai pesantren, termasuk Rahman sendiri. Untuk itu pemikiran Rahman tentang prinsip pesantren ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran dan perjuangan Walisongo yang mengembangkan Islam di tanah Jawa. Lihat Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph. D., Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 4661. 20 Baca, Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail S.M, dkk (Editor) “Dinamika Pesantren Dan Madrasah”Op.Cit., hlm 3-34. lihat juga dalam, Abdurrahman Mas’ud, “Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan, dalam M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo dengan Gama Media, 2002), hlm. 223-245.
39
a. Prinsip Dasar Budaya Pesantren. 1. Modeling21 Secara historis mengenai modeling dan akar tradisi pesantren telah dijelaskan Rahman bahwa: modeling telah lama menjadi bagian penting dalam filosofi Jawa, dimana peternalisme dan hubungan patron–cient memiliki akar kuat dalam masyarakat. Selain itu dalam ajaran Islam modeling bisa diidentikkan dengan uswatun hasnah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti oleh komunitas ini22. Jika dalam dunia Islam, Rasulullah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, dalam masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rasulullah diteruskan oleh para Walisongo yang sampai kini dijadikan kiblat kedua setelah Nabi Muhammad23. Para Wali selalu yakin pada misi mereka sebagai penerus para Nabi yang harus terlibat secara fisik
dalam
memperjelas
urusan dan
masyarakat,
menyelesaikan
memperkenalkan persoalan-persoalan
masyarakat, dan harus menjadi contoh perwujudan cita-cita (Islam) dan masyarakat yang beragam. Para Wali
yang
ditiru oleh ulama’ kelak yang umumnya dikenal dengan kyai menjadi simbol integrasi antara pemimpin lokal yang religius dengan masyarakatnya. 2. Cultural Resistance24
21 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 65. 22 Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren Dan Madrasah, Op.Cit. hlm, 26. 23 Abdurrahman Mas’ud, Ibid, hlm. 26-27. 24 Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media), 2003, hlm 248.
40
Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar
Islam
adalah
budaya
pesantren
yang
sudah
berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modeling.25 Gagasan resistance ini juga telah terefleksikan dalam tradisi intelektual pesantren dengan baik. Materi yang diajarkan dalam
lembaga
ini
adalah
literature
universal
yang
dikembangkan dan ditransmisikan dari generasi kegenerasi dan
secara
langsung
berkaitan
dengan
konsep
kepemimpinan kyai yang unik. Isi pengajarannya, bukubuku teks kuno (dalam perspektif modern) yang menjamin kontinuitas “the right tradition”, al-Qadim al-Shaalih (hal-hal lama yang baik), dalam mempertahankan ilmu pengetahuan agama yang diwariskan kepada masyarakat Islam oleh ulama’ besar dimasa lalu. Secara akademis fungsi materi yang diberikan di pesantren adalah untuk memberikan akses kepada murid-murid, tidak hanya kepada warisan masa lalu, tetapi juga kepada peranan mereka dimasa depan, khususnya untuk hidup dalam “javanese muslim oriented life” (sebagai seorang Muslim Jawa), yang menekankan kepada kedamaian dan keharmonisan dengan Tuhan dan masyarakat. Adapun, prinsip nilai-nilai budaya pesantren, berkaitan dengan cultural resistance, merupakan model budaya yang telah dibangun Walisongo pada abad 15-16 M di Jawa, merupakan kelanjutan dari modeling Muhammad. Salah satu bentuk cultural resistence adalah penolakan pesantren
25
Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren Dan Madrasah.Op.Cit., hlm. 29
41
terhadap penjajah. Walisongo lebih banyak menggunakan pendekatan yang santun dalam menyampaikan ajaran Nabi Muhammad di nusantara, khususnya di tanah Jawa, dimana sebelumnya telah berkembang perdagangan melalui jalur pelabuhan (di Jawa Timur), dan telah mendapatkan pengaruh tradisi kebudayaan Hindu-Budha (di Jawa Tengah) serta telah dibangun benteng pertahanan Portugis (Jawa Barat). Menurut Said Aqiel, Walisongo menggunakan metode tersebut karena untuk menegakkan moral dalam tatanan kebudayaan manusia dan kehidupan sosial masyarakat, agar tidak terjadi saling merugikan, kerusakan lingkungan hidup dan ketidakadilan26. Karena itu, seringkali ditegaskan dalam ajaran Islam, dalam rangka membangun budaya manusia beradab, umat Islam agar tidak mengadakan kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan Kafir dan berbuat dhalim. Menurut Abdurrahman Mas’ud, perjuangan Walisongo ini merupakan
perjuangan
yang
memiliki
tujuan
membumisasikan Islam dengan cara bijak dan dapat diterima masyarakat setempat. Oleh karena itu risalah Nabi Muhammad
yang
telah
disebarkan
oleh
Walisongo,
merupakan ajaran yang mudah diterima oleh tradisi dan budaya
Jawa
(budaya
lokal).
Karena
demikian
ini,
merupakan tujuan Walisongo agar Islam lebih mudah dapat dipahami oleh masyarakat Jawa dengan tradisi yang sudah terbudayakan antara Islam dan Jawa. Said Aqiel Siradj: Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 151. 26
42
b. Prinsip Dasar Pendidikan Pesantren27 Berlangsungnya eksistensi pesantren karena adanya faktor substansial yang dapat diaplikasikan oleh masyarakat pesantren, berupa tradisi-tradisi pemikiran yang tetap dipegang teguh sebagai landasan ideologis masyarakat pesantren. Demikian ini kemudian menjadi akar tradisi pola pemikiran pesantren, yang berkembang menjadi prinsip dasar model pendidikan meliputi: 1.
Prinsip tauhid dan kemanusiaan. Jika dikaji dalam tradisi28 nubuwah, semua Nabi Allah diutus ke dunia adalah karena untuk menanamkan prinsip tauhid dan menegakkan aspek kemanusiaan, misalnya materi
yang
disampaikan
oleh
Muhammad.
Pada
hakekatnya yang disampaikan oleh Muhammad adalah prinsip-prinsip Islam yang misi pengajarannya tidaklah mudah karena komunitasnya di Madinah yang sangat beragam. Disamping itu, materinya juga sangat luas dan kompleks mencakup seluruh aspek kehidupan, yaitu Islam yang memberikan mereka prinsip-prinsip untuk taat kepada Allah dan menciptakan keharmonisan dengan masyarakat dan lingkungan.
27 Penemuan Rahman yang paling menarik sebagai bangunan dasar eksistensi pesantren sampai saat ini adalah modeling dan cultural resistance dalam akar tradisi pesantren. Namun demikian, beberapa model dan prinsip yang penulis kaji dalam skripsi ini dapat disebut sebagai pokok pengajaran dalam pesantren dan hal-hal tersebut kemudian menjadi akar tradisi pola pemikiran pesantren yang berkembang menjadi prinsip dari model pendidikan. 28 Tradisi diletakkan sebagai proses alamiah kehidupan sosial untuk mencapai tingkat kematangan sesuatu atas sekelompok perilaku yang benar dan adil, dalam Ali Yafie’ Diperlukan Reorientasi Atas Tradisi ”Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3. Th. 1992, hlm. 3.
43
2.
Prinsip ilmu pengetahuan Ilmu pengetahuan yang diajarkan Nabi Muhammad saw, kepada para sahabat dan umat Islam pada waktu itu, berupa ilmu yang memiliki akar ilahiyah dan humanitas. Disinilah perbedaan ilmu non-risalah nubuwah dengan ilmu yang didasarkan pada risalah nubuwah. Jika mencari ilmu karena didasarkan pada non-risalah nubuwah, maka hanya akan
berorientasi
pada
rasionalitas,
sementara
yang
didasarkan risalah nubuwah tidak hanya akan berorientasi pada risalah saja, tetapi juga berorientasi pada keimanan dan kemanusiaan. Prinsip ini telah mengakar dalam model pendidikan pesantren karena pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu.29 Definisi pesantren itu sendiri selalu mengacu pada proses pembelajaran dengan komponenkomponen pendidikan yang mencakup pendidik, santri, murid serta fasilitas tempat belajar mengajar. Secara umum tentang tradisi menuntut ilmu pengetahuan bagi santri, telah menjadi prinsip yang unik dalam “model dasar tradisi pendidikan pesantren” yang sudah tampak sejak abad ke-17, 18 dan berlanjut sampai abad ke-19 M. Prinsip ilmu pengetahuan ini, akan berfungsi memperkuat religiusitas Muslim dan kesadaran mereka akan dimensidimensi sosio-politik. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan
santri
menuntut
ilmu
dikarenakan
untuk
memperkuat ilmu keagamaan mereka. Sehingga masih banyak pesantren yang kurang memperhatikan ijazah formal dikarenakan dalam akar tradisi pesantren lebih
29
Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren Dan Madrasah, Op.Cit., hlm. 31..
44
mementingkan pada kualitas keberagamaannya. Hal ini secara
sosio-historis
dapat
ditemukan
dalam
tradisi
pesantren, yaitu berupa besarnya minat para santri untuk mendapatkan ilmu dari pesantren yng dikunjunginya. 3.
Prinsip pendidikan Bagaimanapun juga pendidikan merupakan faktor yang sangat penting yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad. Sebab dengan adanya pendidikan, ilmu pengetahuan secara konkrit dapat kita peroleh dengan mudah. Karena dengan adanya
pendidikan
akan
dapat
digunakan
sebagai
legitimasi umat Islam menuntut ilmu. Dari sini kita dapat mengkoordinasikan
dengan
mudah
mengelola
ilmu
pengetahuan yang akan kita ajarkan kepada peserta didik. Pendidikan
yang
dimaksud
disini,
secara
esensial
merupakan wadah penampungan peserta didik untuk dapat menikmati belajar dalam satu komunitas dengan mudah. Adapun model yang diperlukan dalam pendidikan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman masingmasing. Dan yang lebih mendasar dalam pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad, adalah model pendidikan yang dapat menampung semua peserta didik yang ingin mengikuti belajar serta tidak mengenal kondisi bangunan yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. KH. M.A Sahal Mahfudz juga menambahkan: pendidikan agama Islam paling tidak mempunyai fungsi fundamental,
45
yaitu mempertahankan eksistensi manusia, dan bahkan mengembangkannya.30 Sehingga Nabi Muhammad Saw tidak pernah menolak siapapun yang akan belajar dengannya. Model pendidikan seperti ini, telah dicontohkan oleh Walisongo31 dalam mengajarkan Islam di Jawa berupa lembaga pendidikan pesantren yang dapat bertahan hingga sekarang. 4.
Prinsip percaya pada diri sendiri Prinsip percaya pada diri sendiri ini, sudah menjadi kebiasaan Nabi Muhammad dalam mendidik para sahabat dan umat Islam. Prinsip percaya pada diri sendiri merupakan faktor penting dalam ajaran nabi Muhammad, karena demikian ini akan terkait dengan ukuran keimanan seseorang kepada Allah. Dengan percaya pada diri sendiri, seseorang tidak akan menggantungkan hidupnya pada orang lain. Karena dengan kualitas yang dimiliki akan menunjukkan jalan hidup dalam kehidupan yang lebih mantap.
30 M.A. Sahal Mahfudz, Pesantren Mencari Makna, (Ciganjur: Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 185. 31 Lihat, Abdurrahman Mas’ud “Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan, dalam M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Op.Cit., hlm. 244.
46
B. Sistem Pendidikan Pesantren Istilah “sistem” berasal dari bahasa Yunani “sistema”, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.32 Dengan demikian, sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsurunsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.33 Begitu halnya dengan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama
Islam,
keseharian,
dan
atau
mengamalkannya
disebut
tafaqquh
sebagai
fiddin
pedoman
dengan
hidup
menekankan
pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat,34 maka harus ada sinkronisasi antara beberapa unsur pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai luhur yang mendasari, menjiwai, menggerakkan dan mengarahkan
kerjasama
diatas. Sinkronisasi
unsur-unsur
serta
nilai
dalam
sistem
pendidikan pesantren merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lain. Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan dan diarahkan dengan nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada dasar Islam yang membentuk pandangan hidup. Pandangan hidup yang secara kontekstual berkembang sesuai dengan realita sosial inilah yang menetapkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog 32
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), hlm.
107. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit., hlm. 6. Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 9. 33 34
47
yang terus menerus antara kepercayaan terhadap ajaran agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki kebenaran relatif.35 a. Kurikulum Pendidikan Pesantren Pada sebagian pesantren istilah kurikulum tidak dapat ditemukan, walaupun esensi materinya ada dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Semua itu merupakan satukesatuan
dalam
proses
pendidikannya.
Pesantren
lama
(tradisional) memang belum mengenal kebiasaan merumuskan secara detail materi pelajaran dalam bentuk kurikulum, namun hanya menekankan salah satu aspek saja, yaitu aspek keakhiratan. Ini merupakan kelemahan sistem pendidikan pesantren. Dengan memperhatikan kekurangan-kekurangan yang ada pada pesantren, muncul reaksi dikalangan kyai yang berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan dan untuk menawarkan konsep pendidikan pesantren yang berwawasan. Pada dasarnya kurikulum pesantren tidak bisa lepas dari kitab kuning, sebab alasan pokok munculnya pesantren untuk mentransmisikan Islam tradisional seperti yang terdapat pada kitab-kitab klasik yang dikenal dengan istilah kitab kuning. Khususnya di Indonesia, kitab-kitab tersebut mengandung ilmu yang dianggap sudah bulat, tidak dapat ditambah, hanya diperjelas dan dirumuskan kembali.36 Kitab kuning yang menjadi khazanah intelektual
pesantren
ini,
merupakan
unsur
mutlak
dari
konservatisme kurikulum. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit., hlm. 26. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren Dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 17. 35 36
48
Namun demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan santri selama sehari semalam di pesantren. Di luar pelajaran formal, banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan di pesantren, seperti latihan hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurus kebutuhan sendiri, latihan bela diri, ibadah dengan teratur dan lain-lain. Bahkan muatan kurikulum yang tidak nampak (hidden curriculum)37 ini porsinya jauh lebih besar dibanding dengan kurikulum yang tampak. Porsi kurikulum pesantren sebagaimana di atas dapat dipahami mengingat tujuan pesantren bukanlah sekedar mengajar santri
agar
paham
ajaran
agamanya,
melainkan
sekaligus
menjadikan agama sebagai pijakan perilaku hidup kesehariannya. Apabila kurikulum diartikan sebagai seperangkat mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh kyai, maka pada mulanya kurikulum pesantren berkisar pada ilmu pengetahuan agama dan segala keahliannya yang berbeda antara pesantren satu dengan pesantren lainnya. Kurikulum
yang
ada
di
pesantren
selama
ini
memperlihatkan sebuah pola yang tetap yakni; kurikulum ditujukan untuk mencetak ulama’ dikemudian hari, struktur dasarnya adalah pengajaran agama,
serta semua kurikulum
bersifat fleksibel dalam artian setiap santri bebas menyusun kurikulumnya
sendiri
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
kemampuannya. Dengan melihat tipe dan tingkatan pesantren, maka kurikulum pondok pesantren tidak ada kesamaan, sehingga S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Cet V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 11. 37
49
kurikulumnya bervariasi dan setiap kali dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. b. Metode pembelajaran Metode pembelajaran di pesantren terkesan sederhana, tetapi menghasilkan produk yang spektakuler, ungkapan ini merupakan jawaban atas pernyataan pengamat luar dan dalam pesantren. Sistem pembelajaran ini secara historis berakar dari institusi pendidikan Islam yang kemudian menjadi cikal bakal pesantren, madrasah dan sekolah berbagai terobosan baru dilakukan sesuai situasi dan kondisi masyarakat selama ini. Kondisi pendidikan pesantren mendapatkan sorotan dan pilot project sistem pendidikan modern. Bahkan pesantren merupakan bingkai pendidikan alternatif yang tetap survive. Metode
pengajaran
dalam
pendidikan
pesantren
umumnya diberikan dalam bentuk: sorogan, bandongan, halaqah,38 yang dikembangkan dari sistem langgar dan masjid. Keberadaan langgar dan masjid memiliki fungsi yang strategis yakni sebagai tempat ibadah dan studi Islam yang diciptakan oleh kyai atau ulama’ agama di nusantara, seperti yang dilakukan Walisongo dalam menyiarkan agama Islam. Sedangkan untuk pengajaran alQur’an dan aspek-aspek keagamaan lainnya merupakan elemen pendukung. Pengajaran ini dilakukan secara individual yakni guru 38 Sorogan artinya belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru untuk mempelajari suatu materi pelajaran, sehingga terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya; Bandongan artinya belajar secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri, biasanya kyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menterjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya; Halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab, dan santri yakin bahwa kyai tidak akan mengajarkan hal-hal yang salah dan yakin bahwa kitab yang dipelajarinya adalah benar. Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit., hlm. 61.
50
mengajar mengaji, santri atau murid-murid duduk melingkar mengelilinginya sambil menunggu giliran. Metode seperti ini sering disebut halaqah. Zamakhsyari juga sependapat dengan hal ini, ia mengungkapkan bahwa kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqoh yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan guru.39 Metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Dan sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai Bahasa Arab.40 Istilah bandongan adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh kelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih. Sang kyai mebaca, menerjemahkan, menerangkan sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa Arab yang menjadi acuannya. Sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar.41 Lain halnya dengan Zamakhsyari Dhofier yang mengatakan dalam kelompok itu bisa juga antara 5-500 murid.42
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Ibid, hlm. 28 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Op.Cit. hlm. . 29 41 Wahjoetmo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1887), hlm. 83. 42 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Op.Cit hlm. 28. 39 40
51
Kedua teknik mengajar yaitu sorogan dan bandongan yang menjadi ciri khas pesantren, oleh sementara para pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional. Meskipun sorogan dan bandongan ini dianggap statis, akan tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.43 Mastuhu memandang bahwa metode sorogan, dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode yang modern, karena antara guru/kyai dan santri saling mengenal secara erat dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Demikian pula, guru telah mengetahui apa yang cocok buat murid dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya. Disamping itu metode sorogan ini juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan) dan bebas dari hambatan formalitas.44 c. Evaluasi Sepanjang sejarah sistem evaluasi di pesantren belum diterapkan
secara
formal,
namun
sistem
evaluasi
yang
dilaksanakan selama ini berkisar pada sistem non formal seperti halnya membaca kitab-kitab klasik yang diajarkan oleh ustadz atau kyai. Setelah itu ia harus siap menirukan membaca kitab bila ditunjuk, dengan cara sistem sorogan dan bandongan. Disamping itu, di pesantren juga diselenggarakan lomba baca kitab –biasanya dilakukan pada akhir tahun- untuk menguji sejauhmana kecakapan santri dalam mempelajari kitab.
Suyoto, Pesantren Dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Cet. IV, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 76. 44 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Op.Cit, hlm. 143-144. 43
52
Sistem evaluasi yang lain adalah berbentuk keberhasilan belajar di pesantren yang ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu kyai.45 Bentuk sistem evaluasi lainnya adalah
rampungnya pengajian suatu kitab di pesantren dalam
waktu tertentu, lalu diberikan ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kyai memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan diminta kyai sebagai badal.46 Secara formal sistem evaluasi yang diberlakukan di pesantren ada setelah pesantren itu membuka sistem madrasah ke dalam kurikulumnya yakni kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan ijazah47 yang biasanya dilakukan pada akhir tahun. Evaluasi pesantren juga bisa dilakukan di masyarakat, dimana santri setelah terjun
di
masyarakat
dapat
diterima
atau
tidak
untuk
mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama yang di dapat dari pesantren. Selain itu, evaluasi juga ditekankan pada pengamatan kasus perkasus akhlaq keseharian santri.
C. Dikotomi Ilmu 1. Pengertian Dikotomi Ilmu Terma “dikotomi ilmu” adalah terma yang dibentuk dari kata “dikotomi” dan “ilmu” dimana kata dikotomi dalam terma tersebut berkedudukan sebagai kata kerja, sedangkan kata ilmu berkedudukan sebagai objeknya. Makna leksikal dari kata dikotomi Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Ibid, hlm. 145. Badal adalah pengganti kyai atau seorang santri yang ditunjuk dan dipercaya untuk mewakili kyai mengajarkan kitab kepada santri pemula, kedudukan badal di sini adalah representasi kyai. 47 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren Dan Tarekat, Op.Cit., hlm. 17. 45 46
53
–atau dalam bahasa Inggris- dichotomy- adalah pembagian secara jelas dari sesuatu menjadi dua bagian yang terpisah.48 Sehingga dari makna leksikal tersebut dapat ditarik makna bagi terma “dikotomi ilmu” menjadi “pembagian secara jelas dari ilmu menjadi dua bagian yang terpisah”. Dalam konteks pendidikan Islam, makna terminologi dari terma dikotomi ilmu adalah sebuah implikasi dari pemisahan ilmu dengan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik
yang
lain,
seperti
dikotomi
ulama’-
intelektual, dikotomi ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan dikotomi (split) dalam diri manusia muslim itu sendiri49. Sejak awal perlu penulis tegaskan –klarifikasi- kata bagian diatas bukan menunjuk arti “komponen”, akan tetap menunjuk arti “kelompok”, sehingga dikotomi ilmu dalam pengertian diatas diartikan sebagai pembagian ilmu secara keseluruhan menjadi kelompok ilmu-ilmu keagamaan dan kelompok ilmu-ilmu non keagamaan. Yang dimaksud ilmu-ilmu keagamaan dalam penelitian ini adalah ilmu-ilmu yang telah tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam. Fazlur Rahman menyebutnya kelompok Syar’iyyah)
tersebut atau
dengan
sains-sains
terma
sains-sain
tradisional
agama
(Ulum
(Ulum
Naqliyyah)50,
sedangkan Nurcholis Madjid menyebutnya dengan “disiplin
48 Lihat Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm 54. 49 Ahmad Watik Pratiknya, Identifikasi Pendidikan Agama Islam di Indonesia, dalam Muslih USA, Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 104. 50 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsin Muhammad) Cet. II, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 39.
54
keilmuan tradisional Islam”.51 Objek material dari ilmu-ilmu keagamaan ini adalah ajaran agama Islam, sementara objek formalnya beragam, meliputi berbagai tekanan orientasi, yaitu; ilmu kalam, mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya, fiqh membidangi segisegi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat Eksoterik. Mengenai hal-hal yang bersifat lahiriah, tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya sangat isoterik. Mengenai hal-hal yang bersifat batiniah dan falsafah, membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkungannya seluas-luasnya.52 Adapun yang dimaksud dengan ilmu-ilmu non keagaman adalah ilmu-ilmu yang tidak –secara langsung- menjadikan ajaran agama Islam baik sebagai objek materialnya maupun sebgai objek formalnya. Fazlur Rahman menyebut kelompok ilmu ini dengan terma sains-sains rasional (Ulum Aqliyyah/Ghoir Syar’iyyah).53 Yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu non keagamaan ini antara lain adalah ilmu-ilmu rasional –selain filsafat Islam dan ilmu kalamilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain yang tidak termasuk kategori ilmu-ilmu keagamaan.54 Objek material dari kelompok ilmu-ilmu bukan keagamaan ini –terutama- adalah fenomena empiris, sementara objek formalnya –sebagaimana ilmuilmu keagamaan- sangat beragam. 51
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992, hlm.
52
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Ibid., hlm. 201. Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, Op.Cit.,
201. 53
hlm. 39. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Cet. III., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Yayasan Insan Kamil, 2003), hlm. 19. 54
55
Dari pandangan diatas, kita melihat bahwa menurut persepsi dikotomik, pendidikan agama hanya berkaitan dengan aqidah (dalam artian dogmatik), ibadah (dalam artian mahdhah, murni), dan akhlak (dalam artian etika pergaulan, tatakrama). Ia sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kedamaian, seperti sosial, ekonomi, budaya, politik, sejarah dan ilmu-ilmu yang membicarakan
masalah
kedamaian
lainnya.
Sebaliknya,
pendidikan “umum” –bukan keagamaan- hanya berkaitan dengan masalah kehidupan keduniaan. Ia sama sekali tidak berkaitan dengan nilai-nilai agama atau nilai-nilai Ilahiyah. Barangkali karena agama dipandang sebagai sesuatu yang suci, maka orang banyak membedakan sifat dari kelompok ilmu-ilmu keagamaan dari kelompok ilmu-ilmu non keagamaan dengan istilah suci bagi kelompok yang pertama, dan profan bagi kelompok yang kedua. Sebagaimana yang telah penulis utarakan sebelumnya, sebenarnya pembagian atau pemilahan ilmu menjadi ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu non keagamaan tersebut tidaklah menjadi masalah sepanjang pemilahan itu menyangkut metode pengkajian atau pendekatan terhadap kedua kelompok ilmu tersebut. Bahkan pemilahan yang pada gilirannya merupakan pembedaan atau spesifikasi metode pengkajian terhadap kedua kelompok ilmu itu -dimana masing-masing ilmu itu sendiri mempunyai karakteristik yang berbeda55- justru adalah merupakan 55 Terdapat perbedaan yang mendasar antara agama dengan sains dalam hal prinsip pikir, obyek telaah, metodologi dan tujuan akhirnya. Prinsip berpikir ilmiah yang dianut sekarang pada umumnya bercorak: empiris, rasional, obyektif-imparsial, agnosti terhadap hakikat spiritual, dengan aksioma sebarang spekulatif, sementara prinsip berpikir agamis adalah empiris meta-empiris, rasional-intuitif, obyektif-partisipatip, menggunakan secara eksplisit peran fungsi spiritual dan aksioma-aksiomanya dijabarkan dari ajaran agama. Kemudian objek telaah sains adalah dunia yang nampak/dialami yang dipelajari dengan metode-metode intelektual-rasional, sedangkan objek telaah agama mencakup juga alam metafisis dan mengakui peranan hati dan kalbu yang
56
sebuah keharusan dan bisa menjadi subuah kewajiban karena pemilahan atau pembedaan metode pengkajian -sebagai akibat dari perbedaan sifat dan karakteristik- tersebut akan mendukung upaya pencapaian kebenaran yang mempunyai validitas tinggi pada ilmu yang bersangkutan.56 Dikotomi
ilmu
akan
menjadi
masalah
apabila
dimaksudkan sebagai pemilahan yang berupa sikap pemihakan terhadap salah satu dari kedua kelompok tersebut. Yang terakhir inilah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian yang akan lakukan. Untuk
menjelaskan
dikotomi
ilmu
sebagai
sikap
pemihakan terhadap salah satu dari dua kelompok ilmu –ilmu keagamaan dan non keagamaan- ini, penulis berangkat dari keterangan Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa dalam sejarah pendidikan Islam57, sejak awalnya pembedaan-pembedaan tertentu dalam rangka klasifikasi ilmu atau cabang-cabang pengetahuan memang telah ada. Sebagian dari pembedaan-pembedaan ini, misalnya; antara sains-sains teoritis dan sains-sains praktis, antara sains-sains universal (kulli) dan sains-sains bagian (juz’i) dan pembedaan-pembedaan yang lainnya. Akan tetapi pembedaan bersifat metafisikal dan dianggap menyentuh kebenaran hakiki. Adapun tujuan sains adalah menjelaskan gejala-gejala alam (termasuk manusia), menemukan dan memanfaatkan hukum-hukumnya, serta meramalkan perkembangan-perkembangannya dimasa-masa mendatang. Sedangkan tujuan akhir dari ilmu agamis adalah iman dan taqwa kepada Sang Maha Pencipta Alam. Lihat. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Ibid., hlm. 21-22. 56 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 101. 57 Penyebutan terma pendidikan Islam dalam hal ini tidaklah dimaksud untuk menunjuk perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, akan tetapi terma tersebut dimaksudkan untuk menunjuk apa yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai intelektualisme Islam, karena menurutnya, intelektualisme Islam adalah inti dari pendidikan Islam.
57
yang sangat penting yang kemudian dibuat adalah antara sainssains agama dan sains-sains rasional atau sains-sains sekuler yang dalam konteks pembedaan yang terakhir ini ada semacam sikap psikologis dikalangan umat Islam yang berkembang selama abad 10-12 M, dimana mereka tidak menolak sains-sains rasional (nonagama), akan tetapi mereka meremehkannya karena dianggap tidak menunjang kesejahteraan spiritual.58 Adanya
perbedaan
mendasar
memungkinkan
pula
terjadinya ketidaksesuaian antara pandangan-pandangan agama dengan teori-teori sains, lebih-lebih dalam teori ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menghadapi masalah tersebut, tampaknya para ilmuwan Muslim perlu menetukan sikap yang Islami pula, yakni kesetujuan untuk percaya dan mengakui bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah mengandung di dalamnya kebenaran paripurna yang senantiasa dicari sepanjang masa oleh sains. Ini berarti bahwa disamping usaha terus menerus meningkatkan dan memperluas ilmunya, para ilmuwan perlu meningkatkan komitmen terhadap nilai-nilai Islami dan bersedia menjadikan al-Qur’an sebagai bahan rujukan dalam menemukan kebenaran-kebenaran ilmiah.59 Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
Islam
memandang agama dan sains (ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum) sebagai karunia Ilahi yang maha besar bagi umat manusia, dan hubungan antara keduanya bukanlah dalam posisi bertanding, melainkan bersanding.
58
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, Op.Cit.,
39. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Op.Cit., hlm. 22. 59
58
2. Faktor Penyebab Dikotomi Mengingat pentingnya ilmu pendidikan yang bersifat semesta, maka dipandang perlu untuk menghapuskan dikotomi antara agama dan ilmu umum. Pemisahan dan pengkotakkan ini jelas
akan
menimbulkan
kepincangan-kepincangan
yang
merugikan “Agama tanpa dukungan sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan sikap keagamaan yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak merusak”.60
Atau
dengan
kata
lain
dikotomisasi
yang
membenturkan antara ilmu agama dan ilmu umum justru membuat keduanya “lumpuh” dan “buta”. Ini mengacu pada pernyataan yang dikotomis bahwa “ilmu tanpa agama akan buta, dan agama tanpa ilmu akan lumpuh”. Sikap dikotomis membuat manusia menjadi ambigu dan bingung ketika menghadapi kontroversi, seperti kontroversi tentang “penciptaan”. Bagi mereka yang beriman, Allah adalah Maha Pencipta, sedangkan penganut faham evolusi versi Darwin dianggap kelompok yang mengingkarinya. Pada suatu saat, kalangan ilmuwan percaya akan adanya dzat yang menjadikan alam, namun pada saat lain mereka memisahkan alam dari dzat pencipta-Nya. Menurut Ahmad Watik Pratiknya, salah satu sebab berkembangnya
kecenderungan
dikotomi
tersebut
adalah
kegagalan manusia (Muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dengan agama.61 Hubungan antara ilmu dan
Hanna Djumhana Bastaman, Ibid., hlm. 21. Ahmad Watik Pratiknya, Muslih USA., Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Op. Cit., hlm. 104. 60 61
59
agama rupanya lebih proporsional bila ditatap bukan sebagai suatu keadaan atau status, melainkan sebagai suatu proses.62 Perlu ditekankan disini bahwa simtom dikotomik dalam pendidikan Islam bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah simtom dikotomi menyerang keseluruh penjuru kehidupan umat Islam, dari pribadi ke komunitas Islam, dari raja sampai ke rakyat jelata, dari luar lembaga ke dalam lembaga pendidikan, dan seterusnya. Menurut Abdurrahman Mas’ud, Era dikotomik ini ditandai dengan polarisasi yang tajam antara Sunni dengan Syi’ah, antara faksi-faksi dalam Sunni sendiri, serta ekstremitas fanatisme mazhab dan aliran teologi yang berlebihan.63 Dikotomi tersebut semakin parah, ketika banyak kalangan menerima begitu saja polarisasi agama, ilmu, dan seni. Apa pun alasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis mereka, polarisasi menyebabkan entitas manusia yang kohesif sekaligus adhesif terpecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang bersifat destruktif Fazlur Rahman mengatakan bahwa gejala (syimtomp) dikotomi ilmu dikalangan umat Islam adalah merupakan akibat dari kesempitan dan kekakuan relatif dari pendidikan madrasahmadrasah yang berkembang selama abad 10-20 M.64 Sementara itu Abdurrahman Mas’ud mengemukakan bahwa gejala dikotomi ilmu tersebut menimpa umat Islam pada lima abad pertama Islam (abad
62 Disebut suatu proses karena dalam perjalanan sejarah, istilah tersebut mengalami suatu evolusi, baik makro-evolusi (perkembangan pemahaman yang terjadi karena perkembangan peradaban dan budaya antara generasi manusia), maupun mikro evolusi (perkembangan pemahaman pada tingkat individu) 63 Abdurrahman Mas’ud, Mengagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 99. 64 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, Op.Cit., hlm. 38.
60
ke 7 sampai abad ke 11), tepatnya pada akhir abad ke 11 menjelang abad ke 12.65 Satu hal yang menarik adalah bahwa Abdurrahman Mas’ud
tidak
sepakat
dengan
Fazlur
Rahman
mengenai
penyebutan madrasah sebagai penyebab dari kemunculan gejala dikotomi tersebut. Dengan menunjuk madrasah Nizamiyyah, Abdurrahman Mas’ud mengemukakan bahwa kesimpulan yang menyatakan bahwa madrasah adalah merupakan penyebab munculnya gejala dikotomi ilmu adalah merupakan kesimpulan yang mengandung bias. Sekalipun
Abdurrahman
Mas’ud
meyakini
bahwa
memang terdapat dikotomi yang ekstrim antara sains-sains agama dan sains-sains non agama pada madrasah Nizamiyyah, akan tetapi ia mengatakan bahwa menunjuk madrasah sebagai satusatunya penyebab munculnya gejala dikotomi ilmu adalah terlalu simplistis. Ia mengatakan bahwa dikotomisasi ilmu adalah merupakan implikasi dari berbagai aspek yang sangat luas, yakni ekspresi keagamaan, ekspresi budaya, kehidupan sosial, dan kehidupan politik.66 Karakteristik dasar pemikiran Islami mengenai pendidikan Islam, cenderung bersifat organik, sistematik dan fungsional dengan akar paradigma mengacu pada al-Qur’an, al-Hadits dan sejarah Islam. Realitas apapun yang kita pikirkan, tetap akan masuk dalam kerangka global dan rinci pada tiga sumber paradigma tersebut. Secara organik, pendidikan Islam tidak bisa dikembangkan dengan dasar acuan di luar al-Qur’an, al-Hadits dan sejarah, khususnya
Abdurrahman Mas’ud, Mengagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Op.Cit., hlm. 121. 66 Abdurrahman Mas’ud, Ibid, hlm. 123-124.. 65
61
sejarah
Rasulullah.
Secara
sistematik,
pemahaman
masalah
pendidikan Islam tidak bisa parsial, karena hasilnya hanya menambah perbendaharaan agenda masalah ummat. Sedangkan pendekatan fungsional, mengajak pemikir Islam untuk melihat, merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi pendidikan Islam dalam kerangka sistem kehidupan umat dan dakwah Islam67. Pendekatan yang disebutkan terakhir diatas, merupakan bentuk
operasionalisasi
dua
pendekatan
pertama,
sehingga
masalah pendidikan Islam bukan hanya persoalan dalam kelas, tetapi juga menjadi masalah dakwah Islam dan pembangunan sistem kehidupan umat yang Islami, sebagai peradaban Islam alternatif. Pola hubungan tiga masalah pokok dimaksud, secara global dapat dijelaskan bahwa bentuk aktifitas dakwah Islam yang tidak bisa menyajikan Islam secara kaffah menyebabkan sistem pendidikan
dikotomik.
Sistem
pendidikan
yang
dikotomik,
menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik-empiristik, intuitif dan materialistik, dan keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami68. Secara lebih rinci, Amrullah Ahmad69 menjelaskan bahwa masalah dikotomi pendidikan Islam adalah sebagai berikut: Pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid. Kedua, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid diatas menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi
67 Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, OP.Cit., hlm. 51. 68 Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Ibid., hlm 51-52. 69 Amrullah Achmad, Ibid., hlm. 52-53.
62
fikrah.70 Islami. Ketiga, dikotomi fikrah Islami menyebabkan adanya dikotomi kurikulum. Keempat, dikotomi kurikulum menyebabkan terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Kelima, dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikan dalam interaksi
sehari-hari
di
lembaga
pendidikan
menyebabkan
dikotomi abituren pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemusyrikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekularisme. Yang keenam, suasana dikotomik ini melembaga dalam sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang ditandai dengan tradisi “mengulurkan tangan” ke luar untuk meminta bantuan dana atau fasilitas tertentu dan dukungan secara politis dengan alasan obyektif atau subyektif; bahwa terjadinya krisis dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketujuh, lembaga pendidikan akan melahirkan manusia yang berkepribadiaan ganda, yang justru melahirkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekularistik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik. Kedelapan, tata kehidupan umat yang demikian itu, hanya mampu melahirkan peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. Kesembilan, dalam proses regenerasi umat, maka tampillah da’i yang
berusaha
memisahkan
merealisir
kehidupan
Islam sosial,
dalam
bentuknya
yang
politik,
ekonomi,
ilmu
pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam agama urusan akhirat dan ilmu teknologi untuk urusan dunia. Dengan demikian, lengkaplah kegandahan kehidupan. 70 Fikrah yang dimaksud disini adalah keseluruhan sistem pemikiran seseorang yang menjadi “manajemen pikiran” atau menjadi semacam operator mayor yang berfungsi dalam mentransformasikan masukan (informasi) menjadi output (hasil-hasil pemikiran) baik berupa gagasan-gagasan, ilmu, teknologi ataupun sistem.
63
Memandang berbagai dampak dan implikasi negatif dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum seperti tersebut diatas, maka sudah waktunya bagi kaum Muslim –khususnya bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam- untuk melakukan reintegrasi ilmu-ilmu. Dalam kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai suatu kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif Islam samasama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya.71 Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu, tetapi hierarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan Muslim berusaha
mengintegrasikan
peradaban-peradaban
ilmu-ilmu
non-Muslim
ke
yang dalam
dikembangkan hierarki
ilmu
pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa para ulama’ pemikir, filosof dan ilmuwan Muslim sejak Al-Kindi, AlFarabi, Ibn Sina, sampai Al-Ghazali sangat peduli dengan klasifikasi ilmu-ilmu. Berbeda dengan klasifikasi dikotomis yang sudah banyak disinggung di atas (ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), para pemikir
keilmuan
dan
ilmuwan
Muslim
di
masa
klasik
mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian, yang masingmasing merupakan dua sisi dari satu koin yang sama, yang pada esensinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2002), hlm. 109-110. 71
64
Klasifikasi pertama, al-ulum al-naqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan penggunaan akal dan nalar. Klasifikasi kedua, al-ulum al-aqliyyah, yakni
ilmu-ilmu
intelek,
yang
diperoleh
terutama
melalui
penggunaan akal dan pengalaman pengujian empiris. Kedua klasifikasi ilmu tersebut diatas, secara bersama-sama disebut sebagai al-ulum al-hushuli, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Penyebutan ini adalah untuk membedakan dengan pengetahuan (ma’rifah) yang diperoleh melalui ilham (kasyf).72 Al-Farabi, memberikan klasifikasi ilmu menjadi lima cabang besar, diantaranya ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu-ilmu dasar, (seperti matematika dan geometri), ilmu-ilmu alam dan metafisika, dan ilmu-ilmu tentang kemasyarakatan. Sedangkan Ibnu Butlan mencoba menyederhanakan klasifikasi ilmu menjadi tiga cabang besar saja; yaitu ilmu-ilmu (keagaman) Islam, ilmuilmu filsafat dan ilmu-ilmu alam dan kesusastraan. Hubungan antara ketiga bidang besar ini digambarkan sebagai segi tiga, sisi sebelah kanan adalah ilmu agama, sisi sebelah kiri adalah ilmu filsafat dan ilmu alam, dan sisi bawah adalah kesusastraan. Sedangkan
Ibnu
Khaldun
mengkalsifikasikan
ilmu
menjadi ilmu naqliyyah yaitu, ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fikih, kalam, tasawuf, dan bahasa. Sedangkan ilmu-ilmu aqliyyah mencakup logika dan filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dan sebagainya.73 Apa
klasifikasi
ilmu
yang
sangat
rumit
adalah
menunjukkan adanya kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang 72 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Ibid, hlm. 110-111. 73 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Ibid, hlm 111-112.
65
dalam tradisi keilmuwan dan peradaban Islam. Selain itu ilmuilmu agama hanyalah
salah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam
secara keseluruhan. Pada tingkatan praktis bisa dikatakan kemajuan peradaban kaum Muslim berkaitan dengan kemajuan seluruh aspek dan bidang-bidang keilmuwan. Jadi tatkala bidangbidang ilmu tertentu dimakruhkan, apalagi diharamkan maka akan terciptalah disharmoni, yang mengkibatkan retardasi peradaban Muslim secara keseluruhan. Maka keagungan pendidikan sering dikatakan sebagai hal yang berdampingan dengan keagungan sebuah bangsa, dan pendidikan pada sebuah bangsa tidak akan pernah bisa berjalan tanpa motivasi yang kuat dari individu-individu masyarakatnya. Oleh karena itu tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar dari tokoh pendidikan di dunia pernah mengenyam karir pendidikan di luar negerinya sendiri. Dan keintelektualan mereka tidak dapat diragukan lagi karena terdorong oleh motivasi yang begitu kuat untuk mengembangkan pendidikan, khususnya di negerinya sendiri. Mereka semua memiliki kesadaran dalam artian untuk merekonstruksi
proses
pendidikan
bagi
rakyatnya
yang
didalamnya mengandung makna humanisasi, yaitu memanusiakan manusia.
66