30
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk kekerasan yang terjadi terhadap Aparat Kepolisian Aparat Kepolisian sebagai aparatur negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam tugasnya menghadapi resiko maut saat berkenaan dengan masyarakat. Ketika manusia secara instrinktif akan menjauh dari sumber bahaya, polisi justru dituntut untuk melawan dorongan naluriah itu. Bukan berarti polisi tidak bisa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka. Tapi, tanggung jawab profesi, polisi justru harus mengedepankan rasionalitas guna menjinakkan ancaman tersebut. 29 Secara garis besar terdapat dua bentuk kekerasan masa yang ditujukan terhadap aparat Kepolisian yakni: 30 a. Secara non fisik/verbal (dalam bentuk ungkapan kata-kata yang bernada tuntutan, ancaman, cacian dan provokasi); dan b. Secara fisik/non verbal (dengan menggunakan benda-benda keras seperti pentongan, batu, kayu dan sejenisnya serta bom molotov dan bahan bakar sejenisnya). Kekerasan secara verbal kerap dijumpai hampir ditiap kesempatan yang yang terdapat gesekan antara masyarakat dan Aparat. Kekerasan secara verbal terdiri dari beberapa bentuk yakni : 1. Menghina dengan lisan atau tulisan
29
Reza Indragiri Amriel, Op.Cit, Hal. 105. http://lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=80449&lokasi=lokal tanggal 16 Maret 2015, pukul 20.46. 30
diakses
pada
31
Menghina dengan lisan atau tulisan yaitu berupa penyerangan terhadap nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Penghinaan dilakukan dengan sengaja dimuka umum atau khalayak ramai dan penghinaan tersebut baik yang ditujukan kepada kekuasaannya(lembaga) maupun kepada pribadi aparat kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya yang sah. 2. Penghasutan Untuk melakukan kekerasan terhadap aparat Rumusan tindak pidana menghasut terdapat pada Pasal 160 menurut R. Sugandhi yang berbunyi sebagai berikut 31 :
“Barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum dengan penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.00.” 3. Ancaman kekerasan Ancaman kekerasan yaitu melakukan tekanan kepada Aparat kepolisian sehingga Aparat tersebut berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya, atau tidak melakukan sesuatu (mengalpakan) perbuatan yang merupakan tugasnya yang sah. Tekanan tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
31
R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, (Jakarta:Usaha Nasional, 1980), hal. 170
32
Sedangkan kekerasan secara fisik berupa kekerasan yang sejalan dengan Pasal 89 KHUP. “yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).” Kekerasan secara fisik terhadap aparat kepolisian dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama-sama seperti terdapat dalam Pasal 211 samapi dengan Pasal 215 KUHP. Kekerasan fisik berupa paksaan atau tekanan terhadap aparat kepolisian supaya menjalankan perbuatan jabatan atau mengalpakan perbuatan jabatan yang sah. Kekerasan juga dapat berupa perlawanan terhadap aparat yang sedang menjalankan tugas seperti melepaskan orang yang ditangkap oleh polisi dari tangan polisi. Kekerasan secara fisik menebabkan suatu luka baik itu luka ringan maupun luka berat. Termasuk perbuatan kekerasan yang mengakibatkan matinya aparat. B. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap Aparat Kepolisian Budaya kekerasan disebut demikian karena belakangan ini penyelesaian masalah cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, tampaknya semakin menguat dan menjadi budaya. Kekerasan dalam bentuk anarkis atau premanisme di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi warta setiap hari. Dengan memperhatikan kekerasan demi kekerasan yang terjadi, terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan, langsung maupun secara tidak
33
langsung, secara sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama. Faktor-faktor tersebut diantaranya 32 : 1. Masalah penegakan hukum (law enforcement) yang masih lemah. Tanpa penegakan yang tegas dan adil, maka kekecewaan akan tumbuh dalam masyarakat. Penegakan yang diinginkan adalah yang adil, dalam arti tidak pandang bulu, apakah ia berduit atau tidak, apakah orang kaya atau orang miskin, apakah berkuasa atau tidak, di depan hukum harus diberlakukan secara adil. Jika tidak, kekecewaan demi kekecewaan masyarakat lambat laun akan terakumulasi dan hanya menunggu momentum untuk meledak. Sedikit saja ada permasalahan, masyarakat akan marah. 2. Masalah kesenjangan ekonomi. Masalah kesenjangan ekonomi terjadi dimana-mana di belahan dunia. Hanya yang berbeda adalah tingkat kesenjangannya. Semakin besar gap pendapatan anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, semakin potensial untuk mengoyak kestabilan dan keamanan wilayah atau daerah setempat.
Kesenjangan
ekonomi
dapat
dengan
pasti
menimbulkan
kecemburuan sosial. Apabila mereka terbilang kaya tidak peduli dengan mereka yang miskin yang ada disekitarnya. Kecemburuan sosial inipun secara potensial membahayakan, karena sewaktu-waktu bisa tersulut membara menjadi tindakan anarkis, hanya karena percikan api permasalahan yang kecil saja. 3. Tidak adanya keteladanan dari sang pemimpin. 32
http://economist-suweca.blogspot.com/2010/09/budaya-kekerasan-yang-menguat-apa.html diakses pada tanggal 14 Maret 2015, pukul 19:00
34
Artinya, pemimpin mulai tidak satya wacana: apa yang dilakukan berbeda jauh dengan apa yang dikatakan. Pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, mementingkan diri sendiri, dan keluar dari rel kewenangannya. Masyarakat yang kehilangan figur yang layak diteladani bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Walaupun secara fisik sang induk ada, tapi tidak pantas lagi menjadi panutan. Ketika terjadi permasalahan, maka masyarakat yang kehilangan figur keteladanan, menjadi bingung ke mana dan di mana tempat bertanya dan mengadu. Karena tidak ada yang pantas diteladani, maka mereka melakukan tindakan yang semaunya, yang sering kali tanpa pertimbangan. 4. Adanya provokasi dari pihak-pihak berkepentingan. Karena ada provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadikan bibit-bibit permasalahan yang ada agar menjadi besar. Di balik upaya-upaya mereka itu tentu ada maksud yang tersembunyi, mungkin dalam kaitannya dengan politik, seperti dalam rangka merebut kekuasaan dengan cara merusak image orang yang sedang berkuasa atau lawan politiknya, dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat yang kondisinya sudah „labil‟ karena dihimpit oleh berbagai persoalan hidup, bukanlah tidak mungkin mereka dengan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang diperalat.
35
Apabila lebih spesifik, faktor penyebab kekerasan yang ditujukan terhadap Aparat Kepolisian dapat dibagi ke dalam enam lima faktor yakni: 33 1. Faktor structural condusiveness (terdapatnya kondisi struktural yang kondusif yang berupa ketidakharmonisan antara masyarakat dengan polisi sebelum kekerasan massa berlangsung); 2. Faktor structural strain (terdapatnya ketegangan struktural yang terjadi antara masyarakat dengan polisi, di mana adanya ketidakadilan yang dipersepsikan/dipahami masyarakat terhadap polisi sebagai sesuatu yang menindas sebelum kekerasan massa berlangsung) 3. Faktor pola budaya masyarakat (terdapatnya kebiasaan sehari-hari yang mencerminkan budaya kekerasan di dalam masyarakat seperti kebiasaan membawa senjata tajam dan suka berkelahi fisik dalam menyelesaikan persoalan); 4. Faktor pemicu (faktor penyulut/penyebab utama berupa arogansi dari beberapa oknum polisi); 5. Faktor katalis (faktor yang mempercepat terjadinya kekerasan massa berupa isu bahwa polisi menutup-nutupi fakta sebenarnya dan adanya provokasi dan mobilisasi); 6. Lemahnya manajemen konflik (faktor penahan dan peredam yang kurang memadai berupa kurangnya antisipasi pihak kepolisian dengan baik, kurang berhasilnya pihak pemda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menahan aksi massa). 33
Apandi, Tesis, “Kekerasan massa (studi kasus di Tembilahan Kabupaten Indragiri HilirRiau)”, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004), hal. 2
36
Memang tugas polisi penuh resiko sebagaimana yang diakui Staff khusus Kapolri, Kastorius Sinaga. Menurut dirinya, ada beberapa penyebab yang memicu aksi kekerasan warga terhadap polisi. Pertama, kekecewaan melihat kinerja polisi. Kedua, akibat provokasi pelaku pelanggaran hukum yang menjadikan warga sebagai tameng. Ketiga, rasa frustrasi rakyat karena himpitan ekonomi. Faktorfaktor ini yang kemudian menjadikan mereka lebih gampang diprovokasi pihakpihak tertentu. 34 Pengamat Kepolisian Alfons Leumau menilai, maraknya aksi kekerasan terhadap aparat keamanan terjadi karena masyarakat sudah tidak percaya kepada penegak hukum. Banyak masyarakat yang tidak percaya lagi sistem penegakan hukum di negeri ini bisa memenuhi rasa keadilan. Akibatnya mereka mencari cara sendiri untuk menegakan hukum. Caranya dengan kekerasan. 35 C. Perlindungan hukum bagi Aparat Kepolisian dalam hukum pidana di Indonesia 1. Perlindungan bagi Aparat Kepolisian sebagai korban kekerasan dalam KUHP Ancaman hukuman terhadap seseorang yang melakukan perlawanan pada petugas polisi secara tegas telah tersurat dalam KUHP. Tentang hal ini terdapat 5 Pasal yaitu Pasal 211 sampai dengan Pasal 215. 36 Pasal 211 dirumuskan sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak 34
Zul, loc.cit. Ibid 36 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco, 1974), hal. 229 35
37
melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Tindak pidana ini merupakan suatu pengkhususan (species) dari tindak pidana yang semacam, tetapi bertindak lebih luas (algemeen) dari Pasal 335 ayat 1 berupa: secara melanggar hukum memaksa sembarang orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. 37 Dalam Pasal 212 dinyatakan bagi seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan pegawai negeri (dalam hal ini termasuk Aparat Kepolisian) yang sedang menjalankan tugasnya atau mengancam seseorang yang membantu pada petugas diancam penjara 1 tahun 4 bulan dan denda tiga ratus rupiah. Adapun persamaan dan perbedaan antara penganiayaan terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (356) dengan kejahatan melawan pejabat (212) ialah: 1. Mempunyai objek yang sama, yakni pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah. Tetapi dalam al objek ini, bagi kekjhatan Pasal 212 lebih luas, termasuk orang bukan pegawai negeri yang membantu pegawai negeri itu, baik karena UU maupun atas permintaan sendiri. 2. Walaupun perbuatan menurut Pasal 212 lebih konkret oleh Karen adicantumkan
cara/upaya
melakukannya
daripada
perbuatan
pada
penganiayaan (356). Tetapi ada sifat yang sama, sifat yang sama itu ialah:
37
Ibid. hal. 231
38
a. Kedua perbuatan itu merupakan perbuatan aktif, yang pada umumnya menggunakan kekerasan; b. Kedua perbuatan itu ditujukan pada tubuh, namun khusus pada perbuatan ancaman kekerasan menimbulkan akibat perasaan, seperti takut akan dilukai, akan dibunuh dan sebagainya. Sedang, Pasal 213 dan 214 lebih jelas lagi. Menurut Pasal 213 maksimum hukuman pada 211 dan 212 dinaikkan menjadi: Ke 1 lima tahun penjara, apabila berakibat orang mendapat luka-luka. Ke 2 delapan tahun enam bulan penjara, apabila berakibat luka berat. Ke 3 dua belas tahun penjara, apabila berakibat matinya orang. Menurut Pasal 214 : “(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling Lama tujuh tahun. (2) Yang bersalah dikenakan: 1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka; 2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat; 3. pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan orang mati. Secara yuridis ancaman hukum bagi seseorang yang melawan petugas sebenarnya telah cukup memadai. Hanya di sini terpulang pada itikad baik para
39
hakim agar keadilan bisa lebih tegak karena kepastian hukum tidak hanya timbul dari apa yang tersurat dalam buku undang-undang tetapi juga praktek hukum itu di lapangan. 2. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Undang-undang no. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Sudah lebih dari tiga dasawarsa UU tentang Kepolisian, yaitu Undangundang Pokok Kepolisian Nomor 2 tahun 2002. UU Kopolisian hendaknya memuat lebih rinci tentang tugas dan wewenang kepolisian. Prof. Dr. Harsya Bachtiar mengatakan 38, bahwa polisi sering hanya memfokuskan perhatian pada masalah administrasi ketimbang masalah-masalah hukumnya sendiri. Dalam UU kepolisian secara keseluruhan mencakup perlindungan hukum bagi aparat kepolisian untuk menjalankan tugasnya berdasarkan ketentuan undang-undang. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian diatur ketentuan pelaksanaannya dalam UU ini. Salah satu nya mengenai diskresi. Menurut Kepala Bagian Operasional (KBO) Sat Reskrim Polres Jepara, Iptu Rismanto, S.H dasar yang membolehkan pelaksanaan diskresi dalam menyaring suatu perkara pidana oleh polisi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat di dalam Pasal 16 dan Pasal 18. 39
38
Ahmad Yakub Sukro, Skripsi, “Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan (Studi Pada Polres Jepara)” , (Semarang:Fakultas Hukum Universitas Negeri semarang, 2013), hal. 67 39
Ibid, hal. 53
40
Dalam bunyi Pasal 16 secara spesifik masuk dalam ayat (1) huruf h yang berbunyi dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan penghentian penyidikan. Akan tetapi hal tersebut juga tidak boleh asal-asalan karena dalam huruf I juga menjelaskan dalam rangka menyelenggarakan tugas, petugas Polri di bidang proses pidana mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Maka dari itu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri tidak boleh asal-asalan dan lebih mengedepankan rasa bertanggung jawab dan alasan serta pertimbanganpertimbangan yang kuat. Hal tersebut sama dengan persepsi Misbahul Munir 40, dia menjelaskan tentang dasar diskresi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 ayat (1) yaitu dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (1) yang masih berkaitan dengan kewenangan diskresi menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Membicarakan wewenang diskresi tidak dapat dilepaskan dengan fungsi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, karena fungsi tersebut
40
Ibid, hal. 54
41
merupakan landasan adanya tugas Kepolisian. Tugas Kepolisian yang sangat luas tersebut sehingga memerlukan kewenangan-kewenangan yang dapat dimiliki oleh Polisi mengemban tugas selaku aparatur negara. Apabila diamati secara teliti, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 41 Dari penjelasan tersebut merupakan suatu bentuk perwujudan dari tugas yang diemban Kepolisian. Dari luasnya tugas yang diemban Kepolisian tersebut tentunya lahir kewenangan-kewenangan tertentu yang berupa suatu bentuk tindakan-tindakan tertentu, suatu kebijakan-kebijakan tertentu yang dirangkum dalam suatu kata wewenang Kepolisian. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khusus di bidang proses penegakan hukum pidana, Polri mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yang berbunyi : a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
41
Anton Tabah, op.cit, Hal. 6.
42
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang yang didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) tersebut merupakan bentuk-bentuk kewenangan yang diberikan oleh Polisi selaku aparat penegak hukum pidana. Dari dasar yuridis formal tersebut tersirat kewenangan utama untuk menghentikan suatu proses penyidikan perkara pidana serta diadakannya tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab berupa penyaringan suatu perkara pidana diberikan kepada penyidik ada pada huruf h dan l Pasal 16 ayat (1) UndangUndang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
43
Akan tetapi dalam menyaring suatu perkara pidana serta melakukan tindakan lain oleh penyidik tersebut terdapat syarat-syarat tertentu yang dijadikan suatu dasar diperbolehkannya tindakan penyidik, ketentuan tersebut diatur dalam ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : 1) Tindakan lain sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) huruf I adalah tindakan melakukan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut; a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia (HAM). Bunyi dari Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut merupakan suatu syarat yang bersifat batasan di dalam suatu ketentuan hukum secara yuridis formal. Dari syarat tersebut, seorang aparat penyidik dilarang melakukan suatu tindakan diskresi ataupun tindakan lain yang bertentangan dengan aturan hukum, melanggar suatu asas kepatutan dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di dalam kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan kekuasaan selaku penyidik pada proses penegakan hukum pidana.
44
Dalam rangka pemeriksaan perkara pidana disamping kewenangan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) Polri juga mempunyai suatu kewenangan tindakan lain menurut penilaiannya sendiri dapat melakukan suatu tindakan lain demi kepentingan umum, kepentingan umum disini merupakan suatu bentuk penerapan dari asas diskresi oleh penyidik selaku pejabat publik dalam menegakkan hukum pidana di wilayah yurisdiksinya. Penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut; 1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. 2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat Kepolisian untuk bertindak ataupun tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya guna memelihara ketertiban, menjaga dan menjamin keamanan umum. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa yang dimaksud bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan
45
yang dilakukan oleh anggota Polri, juga dalam hal ini adalah penyidik Kepolisian dalam hal bertindak serta mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan benar-benar untuk kepentingan umum. Seyogyanya seorang aparat penyidik dapat menggunakan kewenangan diskresi pada suatu perkara pidana tertentu yang bersifat ringan dan berupa delik aduhan. Terdapat kekhawatiran bahwa si petugas atau penyidik tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung pada kemampuan subyektif. Untuk itu, dalam hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas atau penyidik akan melakukan diskresi, yaitu 42: a. Tindakan harus “benar-benar diperlukan atau asas keperluan; b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas Kepolisian; c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan; d. Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan, yakni harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya atau berat ringannya suatu perkara pidana yang harus ditindak. Dari penjelasan tersebut telah jelas disebutkan apabila seorang pejabat Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
mempunyai
wewenang
untuk
menghentikan suatu penyidikan dalam proses peradilan yang dimana harus berdasarkan atas kepentingan umum dan rasa bertanggung jawab menurut 42
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian:Profesionalisme dan Reformasi Polri, (Jakarta:Laksbang Mediatama, 2007), hal. 99
46
penilaiannya sendiri dalam keadaan yang sangat perlu memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian melalui Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disamping itu lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didasarkan pada paradigma baru, yaitu semangat demokrasi dan reformasi di Indonesia pada saat itu, sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Polri sebagai bagian integral dari agenda reformasi secara menyeluruh yang meliputi segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang madani, yang adil dan makmur serta beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 43 Selain itu tentu memberikan batasan-batasan hukum bagi Aparat Kepolisian Republik Indonesia agar sesuai dengan koridor-koridor hukum yang telah dibentuk agar tidak terjadi benturan dengan masyarakat pada saat proses pelaksanaannya. Dalam konsep civil police, 44 hubungan yang ditandai sikap percaya itu merupakan amunisi terbaik baik Polri dalam bekerja dan menerapkan UU Kepolisian sesuai dengan tujuan nya sebagai perlindungan bagi aparat kepolisian khususnya terhadap ancaman kekerasan dari masyarakat saat menjalankan tugas yang diperintahkan UU tersebut.
43 44
Ibid, hal. 37 Reza Indragiri Amriel, op.cit. hal. 167
47
3. Perlindungan bagi aparat kepolisian dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia Dalam upaya meningkatkan penegakan hukum disiplin anggota Polri, Kapolri menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut merupakan pembaharuan terhadap : Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri. Peraturan Kapolri tersebut, diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2011 dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 608. Berarti sudah bersesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah duganti dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dasar pertimbangan diterbitkannya Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, adalah sebagai berikut : 1. Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang
48
terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut; 2. bahwa penegakan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diduga melanggar kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Karena itu perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian sesuai ketentuan Pasal 31 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri, dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan Kapolri ini menjadi perlindungan hukum dalam hal ini berupa batasan etik yang dituntut dari seorang aparat kepolisian dalam menjalankan tugas. Hal ini penting melihat realitas dilapangan marak terjadi benturan akibat penyalahgunaan wewenang serta anggapan masyarakat terhadap aparat tentang kode etik kepolisian yang mulai memudar dalam perjalanan implemetasinya.
49
Kekerasan terhadap Aparat Kepolisian kerap timbul karena masyarakat merasa penegakan kode etik profesi tidak berjalan dengan semestinya. Edi Hasibuan Saputra, Anggota Komisioner Komisi Pengawas Kepolisian Nasional (Kompolnas), menilai terkikisnya wibawa akibat pelanggaran kode etik yang kerap ditampilkan sebagai penyebab munculnya tindakan anarkis masyarakat terhadap oknum polisi. 45
45
Zul, loc.cit.