BAB II PERCERAIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HARTA BERSAMA DAN PEMELIHARAAN ANAK
A. PENGERTIAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT. Pada prinsipnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”Untuk itu di dalam penjelasan umum poin 4 huruf a menyatakan, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengemangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.Karena itu ,
undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya bisa dilakukan , jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan. Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-Undang Perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak . Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama jo. Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam.
64
65
Tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan ke dalam dua macam sebagai berikut 93: 1.Cerai Talak (Permohonan) Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan : (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksiakan ikrar talak. Dari ayat tersebut diketahui bahwa tempat mengajukan permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman Termohon atau dalam bahasa Kompilasi tempat tinggal istri. (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1 ) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon kecuali apabila Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukn bersama tanpa izin Pemohon. (3) Dalam hal Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon. (4) Dalam hal Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri , maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 93
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2013, Hal. 233
66
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Dalam ayat (5) di atas memberi peluang diajukannya kumulasi obyektif atau gabungan tuntutan . Ini dimaksudkan agar dalam mencari keadilan melalui pengadilan
adapat
menghemat
waktu,
biaya
dan
sekaligus
tuntas
semua.94Mengenai muatan dari permohonan tersebut , Pasal 67 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan : Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat: (a) Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaiyu suami dan termohon yaitu istri; (b) Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak. Permohonan cerai talak pemeriksaannya dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan dan pemeriksaan nya dilakukan dalam sidang tertutup. Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap putusan tersebut dapat diminta upaya banding dan kasasi. Prosedur yang rinci tentang cerai talak dapat kita lihat di pasal 129 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukujm Islam. Tata cara cerai talak adalah sebagai berikut: 1).Seorang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
94
Roihan A. Rasyid ,Hukum Acara Peradilan Agama.(Jakarta;Rajawali Pers,1994),hlm.66.
67
mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sedang untuk keperluan itu. 2).Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan tersebut dan dalam waktu yang selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 3). Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan putusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. 4). Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 5). Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tetap tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan utuh; 6).Setelah sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak, dalam rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami-isteri. Helai Petama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suamiisteri dan helai ke empat disimpan di Pengadilan Agama.
68
2. Cerai Gugat Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada gugatan perceraian tersebut Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat disertai alasan yang menjadi dasar gugatannya. Sedangkan prosedur untuk mengajukan gugatan cerai oleh isteri dikemukakan berikut ini: 1). Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. 2).Gugatan perceraian karena alasan: a. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua tahun) berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya dapat diajukan setelah lampau 2 tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama. b. antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertenggakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalanm rumah tangga dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut;
69
c. Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
berat
setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3).Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 4). Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami, b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang- barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusannya Pengadilan Agama mengenai B. GUGATAN PERCERAIAN DAN ALASAN-ALASANNYA Agama Islam memandang, bahwa ikatan perkawinan bukanlah perikatan biasa, tetapi suatu ikatan yang suci dan lagi kokoh, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam Al Qur'an Surat An Nisaa‟ ayat 19 dengan bahasa "mitsaqan ghalidhan" (suatu ikatan perjanjian yang suci dan kuat
70
Perkawinan merupakan hubungan hukum antara dua orang,
yang
mengakibatkan adanya ikatan hukum antara keduanya, di mana hubungan hukum itu tentu tidak bisa dirusak atau diputuskan begitu saja tanpa adanya sebab atau alasan hukum tertentu, mengingat perkawinan bukan perikatan keperdataan semata, tetapi mengandung nilai ibadah. Agama Islam tidaklah menutup pintu perceraian rapat-rapat, tetapi juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. Oleh karenanya mempermainkan ikatan perkawinan dengan upaya memutus tali perkawinan tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan oleh aturan agama, maka perbuatan tersebut dibenci oleh Allah S.W.T., sesuai dengan sabda Nabi Muhammad S.A.W.,yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majjah, dan hadis ini dianggap soheh oleh Al Hakim, dengan riwayat dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda sebagai berikut: أبغض انحالل إنٗ هللا عضٔجم انطالق(سٔاِ ابٕ دأد ٔابٍ ياجّ ٔصححّ انحاكى95 Artinya :
"Sesuatu perbuatan halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah Azza
wa Jalla adalah talak" (H.R. Abu Daud , Ibnu Majjah dan
Hakim dan
dishahihkan olehnya)". Perceraian sebagai pintu darurat, dalam kondisi-kondisi tertentu yang memaksa keduanya saling bertengkar dan akhirnya pada suatu titik, di mana kelangsungan hidup berkeluarga dalam satu ikatan perkawinan mungkin akan mendatangkan ketidak tenteram keduanya, dan keduanya tidak menemukan satu kata sepakat untuk mempertahankan keluarganya. Atau salah satu suami istri tidak 95
Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari ,Juz7,Mjld.4 (Beirut:Dar al-Fikr,1410H/1990 M),hal.160 dan Abi Daud,Sunan Abi Daud.,juz 6 ,hal.227.
71
tertahankan lagi menanggung penderitaan yang ditimbulkan oleh pasangannya96. Di sinilah perceraian sebagai pintu darurat harus dibuka. Ketika konflik terus berlanjut dan masing-masing tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah, maka biasanya terjadi perceraian, sebab dianggap tidak ada solusi terbaik selain cerai". 97 Sebelum memutuskan perceraian sebagai solusi terakhir, terutama bagi seorang suami, Islam mengajarkan bagaimana tahapan-tahapan penyelamatan sebuah rumah tangga, sehingga perceraian dapat dihindarkan. Dan apabila perceraian harus terjadi, itupun harus dengan cara yang ihsan atau bagus. Tahapan itu terdapat dalam Surah An Nisaa‟ ayat 34 sebagai berikut: مٍٛٓ سبٛ انًضاجع فإٌ اطعُكى فال تبغٕا عهٙ تخافٌٕ َشٕصٍْ فعظٍْٕ ٔاْجشٍْٔ فٙٔانالت شاٛا كبٛإٌ هللا كاٌ عه Artinya: “Wanita-wanita yang kamu hawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.98 Dari ayat tersebut, bila terjadi pertengkaran atau perselisihan antara suami istri, katakanlah istri yang bersalah, seorang suami sebagai kepala rumah tangga, harus mencari solusi penyelamatan rumah tangganya sekuat mungkin melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
96
Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, Terjemahan Moh.Thalib, jilid VIII, Al Ma‟arif, Bandung, hal. 89. Abdul Mustaqim, Menuju Pernikahan Maslahah dan Sakinah. PSW UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta,tt., hal. 28 98 Departemen Agama RI, Alqur‟an dan Terjemahnya, Surat An Nisa‟ ayat 34. 97
72
1.Istri-istri yang dikhawatirkan nusyuznya atau yang melalaikan kewajibannya, hendaklah diberi nasehat dengan santun dan penuh kasih sayang. 2.Apabila nasehat itu tidak mempan, pisahkanlah diri dari ranjang tempat tidur mereka. 3.Apabila pemisahan ranjang masih belum mempan, pukullah mereka dengan pukulan pengajaran. 4.Apabila mereka itu sudah taat, tidak diperkenankan mencari-cari alasan yang membikin mereka susah. Nasehat suami bukan hanya sekali, bisa sampai beberapa kali dan beberapa waktu, hingga istrinya sadar akan kesalahannya. Bila nasehat itu tidak menyadarkannya, maka tahapan-tahapan pisah ranjang bahkan kalau perlu pisah tempat makan dan pemukulan pengajaran itu barulah ditempuh. Di dalam Kitab Hukum Perdata dikenal lembaga scheding van tafel end bed (pisah tempat tidur dan meja makan ) Pemisahan tempat tidur itu berbeda pelaksanaan dan tujuannya. Dalam Islam pemisahan itu bertujuan untuk menasehati istri serta mencegah agar perceraian tidak terjadi, sedangkan dalam KUH Perdata pelaksanaannya harus dimajukan salah satu pihak kepada Pengadilan Negeri dan tujuannya merupakan langkah awal ke tangga putusnya perkawinan (cerai) 99. Perceraian di dalam Islam juga harus mempunyai alasan yang sah. Menurut ketentuan fiqh Islam, alasan perceraian secara umum terbagi menjadi dua
99
Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta ,2006,hal 17-18.
73
kategori, yaitu kategori talak dan kategori fasakh.Berikut dikemukakan pendapat dari madzhab empat mengenai alasan-alasan perceraian dimaksud. Alasan Perceraian menurut Madzhab Hanafi yang termasuk ke dalam
kategori fasakh: a.Isteri menolak masuk Islam, karena wanita musyrik tidak layak menjadi isteri dari seorang muslim. b.Salah satu dari suami isteri murtad. c.Antara
suami
dan
isteri
nyata-nyata
berada
di
negara
berbeda
baik de jure maupun de facto. Dalam hal ini salah seorang dari suami isteri baik ia muslim atau kafir dzimmi keluar dari negara Islam. Hal ini dianalogkan dengan murtad. d.Adanya khiyar bulugh dari suami atau isteri. e.Khiyarul „itqi, yaitu isteri adalah budak perempuan yang yang
telah merdeka,
sedangkan suaminya tetap masih menjadi budak. Maka isteri tersebut boleh memilih, apakah tetap melanjutkan perkawinan atau mengakhirinya dengan perceraian. f.Tidak sekufu atau kurangnya mahar. Ini dianggap fasakh. Selain alasan-alasan di atas
menurut
madzhab
Hanafi
termasuk
kategori
talak.100
Menurut Madzhab Maliki alasan-alasan perceraian yang termasuk ke dalam kategori fasakh adalah sebagai berikut:
100
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, Beirut : Dar al-Fikr, 1989, hal.. 349-350.
74
a.Akad yang tidak sah, seperti menikahi saudara perempuan atau menikahi mahram yang lain, atau menikahi perempuan yang masih dalam masa iddah. b.Hal-hal yang menjadikan perkawinan haram untuk selamanya, seperti karena mushaharah (persemendaan). c.Antara suami isteri telah pernah terjadi li‟an pada masa sebelumnya, karena li‟an menyebabkan perkawinan menjadi haram untuk selamanya. d.Suami menolak masuk Islam setelah isteri terlebih dahulu masuk Islam, atau sebaliknya. Adapun alasan-alasan perceraian yang termasuk dalam kategori talak adalah sebagai berikut : a. Telah digunakannya kata-kata talak untuk memutuskan perkawinan yang sah. b. Terjadinya khulu‟ pada perkawinan yang sah. c. Ila‟, yaitu seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya lebih dari empat bulan. Jika suami tidak mencabut sumpahnya setelah diperintahkan oleh hakim atas pengaduan isterinya, maka hakim akan menceraikannya. d. Tidak sekufu. e. Suami tidak memberikan nafkah, suami ghaib atau suami tidak mempergauli isterinya dengan baik (berperangai buruk). f. Salah satu dari suami isteri keluar dari Islam (murtad).101 Menurut Madzhab Syafi‟i alasan-alasan perceraian yang termasuk kategori talak adalah sebagai berikut : a.Talak baik Sharih maupun kinayah. b.Khulu‟ 101
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, Beirut : Dar al-Fikr, 1989, hal.. 351-352.
75
c.Ila‟ d.Cerai melalui hakamain. Sedangkan alasan-alasan perceraian yang termasuk fasakh ada 17 macam, yaitu : a.Kesulitan dalam memberikan mahar. b.Kesulitan dalam memberikan nafkah, kiswah dan maskan setelah suami meminta penundaan selama tiga hari. c.Li‟an. d.Khiyar „itqi. e.Adanya cacat setelah diajukan gugatan kepada hakim. f.Fasakh yang sifatnya seketika, kecuali fasakh karena suami impoten, ditangguhkan satu tahun mulai dari saat diketahuinya keimpotenan tersebut. g.Penipuan dalam perkawinan. h.Wati‟ syubhat. i.Suami atau isteri di penjara sebelum atau sesudah keduanya dukhul. j.Salah satu dari suami isteri masuk Islam. k.Salah satu dari suami isteri murtad. l.Suami masuk Islam sedangkan ia mempunyai isteri dua orang yang bersaudara atau ia mempunyai isteri lebih dari empat, maka yang selebihnya terfasakh. m.Karena cacat. n.Isterinya ternyata masih menjadi isteri orang lain. o.Tidak sekufu. p.Berpindah agama, misalnya dari yahudi ke nasrani.
76
q.Masih satu susuan.102 Menurut Madzhab Hambali yang termasuk alasan-alasan perceraian kategori fasakh adalah : a.Khulu‟ yang tidak menggunakan lafal talak atau tidak dengan
niat talak.
b.Salah satu dari suami isteri murtad. c. Cacat ganda, seperti gila dengan ayan. Atau cacat yang khusus dialami oleh perempuan, seperti kemaluan tersumbat daging atau tersumbat tulang, keputihan ; dan yang khusus dialami oleh laki-laki, seperti dikebiri dan impoten. d.Salah satu dari suami isteri masuk Islam. e.Ila‟ dengan perantaraan hakim. f.Di antara suami isteri pernah terjadi li‟an pada masa sebelumnya, karena li‟an menyebabkan perkawinan menjadi haram untuk selamanya.103 Dalam hukum positif di Indonesia , dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diterjemahkan oleh R Subekti, dijelaskan bahwa di Indonesia
tidak
diperbolehkan
perceraian atas dasar kesepakatan
suami dan isteri saja, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan perceraian menurut Pasal 209 B.W. adalah dan hanyalah sebagai berikut: a. Zina, b.Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat,
102
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, Beirut : Dar al-Fikr, 1989, hal. 352-353. 103
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, Beirut : Dar al-Fikr, 1989 , hal. 353-354.
77
c.Penghukuman penjara 5 tahun atau yang melebihi 5 (lima) tahun; d.Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa104 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 39 telah menjelaskan: Ayat (1), "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Ayat (2), "Untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri". Ayat (3), "Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri".105 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. telah mamberikan batasanbatasan atau alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar mengajukan gugatan perceraian, baik oleh pihak istri ataupun pihak suami. Alasan–alasan tersebut, dimuat dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang
selengkapnya adalah sebagai berikut : "Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-aiasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
104
R.Subekti, Kitab Undang_Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983,hal. 65. Zainal Abidin Abu Bakar,,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah,Jakarta,1993 , hal. 132. 105
78
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya; c.Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d.Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e.Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankaa kewajibannya sebagai suami/ isteri; f.Antara suami dan isteri terus meneras terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga".106 Alasan-alasan perceraian tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut, telah ditambah atau dilengkapi dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 116, sehingga alasan-alasan perceraian sama seperti alasan-alasan perceraian yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemeriatah Nomor 9 Tahun 1975, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam ditambah dua alasan lagi, yaitu: g.Suami melanggar taklik talak; h.Peralihan agama atau martad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.107 106
Zainal Abidin Abu Bakar,,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah,Jakarta,1993., hal. 156.
79
Dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan di atas, baik yang tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maka dapat disimpulkan, bahwa perceraian tidak dapat dibuat main-main dan hanya dibenarkan jika dilakukan di depan sidang Pengadilan, serta harus memenuhi alasan atau alasan-alasan perceraian. Hal ini sejalan dengan ajaran agama (khususnya agama Islam), yaitu adanya upaya yang maksimal untuk mencapai tujuan perkawinan yang dicita-citakan, yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal serta sejahtera, namun apabila keutuhan rumah tangga harus diahiri dengan perceraian, tentunya itu solusi terahir bagi kemaslahatan seluruh anggota keluarga. C.PANDANGAN HUKUM TERHADAP PERCERAIAN DAN IMPLIKASI HUKUMNYA Di muka telah diterangkan tujuan perkawinan dan alasan-alasan perceraian, sehingga nampak jelas bahwa perkawinan sangat dianjurkan oleh agama Islam, dan untuk jangka waktu yang tidak terhingga atau sampai salah satu suami istri meninggal dunia (Cerai mati). Sedangkan perceraian merupakan perbuatan halal tetapi tidak disukai Allah SWT., karena akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan, oleh karenanya perceraian hanya diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu.
107
Zainal Abidin Abu Bakar,,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah,Jakarta,1993, hal. 334.
80
Ikatan perkawinan memang sangat
penting dalam kehidupan manusia,
perseorangan maupun kelompok. Islam menganjurkan perkawinan, karena perkawinan mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah SWT., mengikuti sunah nabi Nya, bahkan Islam mencela orang yang membujang sepanjang hidupnya, karena hal ini mengingkari kodratnya sebagai manusia yang membutuhkan lawan jenisnya .Hubungan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, bangsa dan Negara, selalu saling membutuhkan. Suami istri yang merupakan keluarga adalah dasar permulaan dari pada hubungan antar kelompok yang membentuk masyarakat. Jadi keluarga merupakan unsur yang penting dalam pembentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tanpa keluarga yang baik, masyarakat tidak akan menjadi baik. Dengan
memandang
tinggi
nilai
perkawinan,
maka
Islam
sangat
menganjurkan untuk mengupayakan semaksimal mungkin agar tidak terjadi pemutusan hubungan perkawinan, sehingga berujung kepada perceraian, yang dibenci Allah SWT. sesuai dengan sabda Nabi Muhammad S.A.W.,yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majjah, dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah bersabda sebagai berikut: 108
)أبغض انحالل إنٗ هللا عض ٔجم انطالق (سٔاِ ابٕ دأد ٔابٍ ياجّ ٔصححّ انحاكى
Artinya : "Sesuatu perbuatan halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak" (H.R. Abu Daud , Ibnu Majjah dan Hakim dan dishahihkan olehnya)".
108
Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari ,Juz7,Mjld.4 (Beirut:Dar al-Fikr,1410H/1990 M),hal.160 dan Abi Daud,Sunan Abi Daud.,juz 6 ,hal.227.
81
Namun meskipun perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci Allah, tetapi juga sebagai pintu darurat, dalam kondisi-kondisi tertentu yang memaksa keduanya saling bertengkar dan akhirnya pada suatu titik, di mana kelangsungan hidup berkeluarga dalam satu ikatan perkawinan mungkin akan mendatangkan ketidak tenteraman keduanya, dan hilangnya tujuan perkawinan karena ulah salah satu suami istri, sehingga kelangsungan perkawinan mungkin justru bisa jadi akan mendatangkan kemadlorotan yang lebih banyak bagi keduanya, disinilah pintu perceraian terbuka. Sebelum terikat dalam tali perkawinan, seorang lelaki dan seorang wanita adalah orang lain yang tidak ada hak dan kewajiban antara keduanya. Begitu pula setelah terjadinya perkawinan lalu terjadi perceraian antara mereka, juga keduanya menjadi orang lain lagi, yang tidak ada ikatan apapun, sehingga beberapa hak dan kewajiban yang tadinya melekat menjadi hilang, seperti tidak boleh melakukan hubungan suami istri atau bersenang-senang, tidak saling mewarisi bila salah satunya meninggal dunia, hilangnya hak nafkah bagi mantan istri atau gugurnya kewajiban suami menafkahi istrinya,dan lain-lain. Namun demikian, tidak semua hak dan kewajiban itu hilang, bahkan ada beberapa hak yang justru timbul setelah adanya perceraian, namun tidak lagi sepenuhnya sebagaimana sebelum dijatuhkannya talak. Sebagai gambaran adalah bila perceraian itu terjadi atas kehendak suami, yaitu talak, sebagaimana diatur dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, maka istri berhak menerima mut‟ah, nafkah iddah selama istri tidak nusyuz dan tempat tinggal yang layak, selama
82
masa iddah 109 .Sebagai imbalannya, suaminya juga mempunyai hak dan sekaligus juga merupakan kewajiban istrinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 150 dan Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam, yaitu mantan suaminya berhak melakukan rujuk selama masa iddah istrinya, dan istri selama masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak boleh menerima pinangan pria lain dan tidak boleh juga menikah dengan pria lain 110. Inilah bahwa betapa indahnya Islam, meskipun perceraian sebenarnya tidak disukai Allah SWT., tetapi kalau toh harus terjadi tidak boleh berakibat putus hubungan baik keluarga. Dan ini menunjukkan betapa Islam sangat concern dan menjaga martabat perempuan, sehingga perceraian harus dilakukan dengan ma'ruf atau ihsan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur‟an Surat Al Baqarah Ayat 229 yang memerintahkan dalam menceraikan istri itu harus dengan cara yang makruf atau ihsan.Menurut Quraisy Shihab ihsan itu kedudukannya lebih tinggi dari adil, memperlakukan orang lain lebih baik dari perlakuan terhadap dirinya, sedangkan adil itu memperlakukan sama terhadap orang lain dan dirinya sendiri111 1.Implikasi Perceraian Terhadap Harta Bersama Konsep harta bersama atau harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam). Masalah harta gono
109
Zainal Abidin Abu Bakar, Zainal Abidin Abu Bakar,,Kumpulan Peraturan Perundangundangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah,Jakarta,1993, , hal. 341. 110 Zainal Abidin Abu Bakar, Zainal Abidin Abu Bakar,,Kumpulan Peraturan Perundangundangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1993.,hal. 341-342. 111 Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah, Lentera Hati, Jakarta,2000, hal. 461.
83
gini atau harta bersama merupakan persoalan hokum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan. Secara umum, hokum islam tidak melihat adanya gono gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suani dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya.Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hukum islam tentang gono gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu‟ mu‟amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri.
Yang dikenal adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hukum perkawinan menyatakan, bahwa hokum islam mengatur sistem terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hukum perkawinan
84
islam menyatakan, hokum islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri. Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas tentang harta gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau harta bawaan. Namun demikian ketentuan Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hokum islam. Dengan kata lain, masalah harta gono-gini merupakan wilayah hokum yang belum terpikirkan (ghoiru al mufakkar fih) dalam hokum islam, sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hokum islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. Dalam ajaran islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gonogini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini. Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini termasuk dapat di-qiyaskan dengan
85
syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara‟ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. Harta gono-gini dapat di-qiyaskan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestik lainnya.
Harta gono-gini didefinisikan sebagai
harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya. Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah „uqud. Syirkah „uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini merupakan bentuk syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah
86
dalam gono-gini merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
Harta bersama disebut juga gono gini
(Jawa),harta seuharkat (Aceh), barang perpantagan (Kalimantan) dan suarang (Minang Kabau)112di dalam fiqih sering diidentikkan atau disebut dengan syirkah.113 Menurut bahasa syirkah adalah bercampurnya suatu harta dengan harta yang lain sehingga keduanya tidak bisa dibedakan lagi. Sedangkan menurut istilah, para ulama fiqih berbeda pendapat dalam mengartikan istilah syirkah. Ulama Malikiyah mengartikan syirkah sebagai,pemberian izin kepada kedua mitra kerja untuk mengatur harta (modal) bersama . Maksudnya, setiap mitra memberikan izin kepada mitranya yang lain untuk mengatur harta keduanya tanpa kehilangan hak untuk melakukan hal itu. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa syirkah adalah persekutuan hak atau pengaturan harta. Menurut ulama Syafi‟iayah, syirkah adalah tetapnya hak kepemilikan bagi dua orang atau lebih sehingga tidak terbedakan antara hak pihak yang satu dengan pihak yang lain (syuyuu‟). Adapun menurut ulama Hanafiyah,syirkah adalah transaksi antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. Wahbah az Zuhaili mengomentari pendapat -pendapat ulama pengikut empat imam mazhab terkenal tersebut dengan menyatakan bahwa definisi yang paling tepat ialah definisi ulama Hanafiyah bila dibandingkan dengan definisi-definisi ulama lainnya, karena
112
Hj. Rosmawardani, Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam bidang Hukum Keluarga Di Indonesia, kertas kerja, 2012,tanpa hal. 113 Siti Nafi‟ah, Pembagian Harta Bersama Suami Isteri Menurut Fiqih Dan PerundangUndangan Di Indonesia., halaman 14 dan Drs. Syaifuddin, S.H.,M.Hum.,Harta Bersama Suami Isteri Dalam Perkawinan Di Indonesia,kertas kerja, 2012,hal. 2.
87
definisi ulama Hanafiyah menjelaskan hakikat syirkah,yaitu sebuah transaksi. Sedangkan definisi-definisi yang lain hanya menjelaskan syirkah dari sisi tujuan dan dampak atau konsekwensinya. Ada beberapa jenis syirkah yaitu: 1. Syirkah Amlak ialah persekutuan kepemilikan antar dua orang atau lebih terha dap sesuatu barang tanpa adanya transaksi syirkah .Syirkah ini dibagi menjadi dua,yaitu Syirkah ikhtiyari (lahir atas kehendak dua pihak yang bersekutu) dan syirkah jabar/paksa persekutuan yang terjadi di antara dua orang atau lebih tanpa sekehendak mereka) 2 Syirkah „Uqud yaitu transaksi yang dilakukan dua orang atau lebih untuk menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan.. Menurut ulama Hanafiyah syirkah ini berjumlah 6 (enam) macam yaitu: a.Syirkah Mufawadlah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan). b.Syirkah „Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan, atau segala macam perniagaan. c.Syirkatul „Abdan /a‟mal Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodal tenaga. d.Syirkatul „Abdan /a‟mal „Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah. e.Syirkatul Wujuh Mufawadlah yaitu perkongsian yang bermodalkan kepercayaan saja. f.Syirkatul Wujuh „Inan yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat. Menurut ulama Hanabilah,syirkah „uqud ada 5 (lima) macam , yaitu:
88
a.Syirkah „inan. b.Syirkah mufawadhah. c.Syirkah „abdan. d.Syirkah wujuh. e.Mudharabah Secara umum menurut para ulama fiqih –termasuk Malikiyah dan Syafi‟iyah – syirkah dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu: a.Syirkah „inan. b.Syirkah mufawadhah. c.Syirkah abdan. d.Syirkah wujuh. disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedang kan jenis Syirkah „Inan syirkah yang lain mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya. Ulama Syafi‟iyah, Zhahiriyah dan Imamiyah menganggap semua Syirkah adalah haram, kecuali syirkah „inan dan syirkah mudharabah. Sementara ulama Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah mufawadhah. Ulama Malikiyah membolehkan semua jenis syirkah,kecuali syirkah wujuh dan syirkah mufawadhah dengan definisi yang disebutkan ulama Hanafiyah. Sementara itu, ulama Hanafiyah dan Zaidiyah membolehkan semua jenis syirkah tanpa kecuali, selama ia memenuhi syarat -syarat yang telah ditentukan.114 Dari macam - macam syirkah serta adanya perbedaan pendapat dari para Imam
114
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili,Fiqih Islam wa Adillatuhu ,(terjemahan) Gema Insani Darul Fikri: Jakarta, 2011, Jilid 5, halaman 441-443 dan Siti Nafi‟ah, Pembagian Harta., hal. 13-16
89
madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia ,dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini termasuk dalam syirkah abdan / mufawadlah Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama - sama bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari -hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka,kalau keadaan memungkinkan juga untuk meninggalkan kepada anak anak mereka ,sesudah mereka meninggal dunia. Suami isteri di Indonesia sama sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya saja karena fisik isteri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian pekerjaan disesuaikan dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama,kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barangbarang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dapat dipergunakan (dimanfaatkan) secara bersama-sama”.115 Sedangkan Menurut Abdul Manan “Semua harta yang diperoleh suami isteri dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan Damanhuri HR, “Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama”. Bandar Maju. Bandung. 2007. Hal.27. 115
90
harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu di daftarkan”.116Kemudian menurut Martiman Prodjohamidjodjo yang disebut sebagai harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan, karena pekerjaan suami atau isteri.117 Menurut pakar hukum adat R. Vandjik mengatakan bahwa “Segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencarian bersama dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat”.118 Sedangkan menurut B. Ter Haar “Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh suami isteri selama perkawinan. Maka dalam arti yang umum harta bersama ialah harta benda yang diperoleh selama perkawinan dimana suami isteri itu hidup bersama unuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga”119.
Di dalam
hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat disebut somah atau serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah.
116
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.hal.109 117 Martiman Prodjohamidjojo. Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan. Pradnya Paramita. Jakarta. 1991.hal. 34. 118 Yahya Harahap. Hukum Perkawinan Nasional .Zahir Trading. Medan 1990.hal.297-298 119 Yahya Harahap. Hukum Perkawinan Nasional .Zahir Trading. Medan 1990.,hal..29
91
Merujuk dari Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, maka harta perkawinan terbagi atas harta bersama, harta bawaan, harta hadiah, dan harta warisan. Adapun pengertian harta bersama adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan. Jika terjadi putusnya perkawinan karena perceraian maka mengenai harta bersama ini diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum adat, hukum agama, hukum lainnya). Sedangkan harta bawaan yaitu harta yang masing-masing dibawa oleh suami isteri ke dalam ikatan perkawinan, mungkin berupa hasil jerih payah sendiri maupun harta yang berupa hadiah, atau harta warisan yang didapat masing-masing suami isteri sebelum atau sesudah perkawinan. Harta bawaan maupun harta perolehan berupa hadiah dan warisan ini tetap dikuasai masingmasing, selama tidak ditentukan lain. Dengan rumusan yang diuraikan dalam Pasal 35 tersebut, berarti UndangUndang Perkawinan mengakui pencampuran harta secara terbatas. Oleh karena itu, harta kekayaan yang bersatu dalam perkawinan adalah harta kekayaan yang diperoleh para pihak dalam perkawinan, tidak termasuk harta pemberian berupa hadiah atau warisan yang diperoleh para pihak dalam perkawinan. Sedangkan harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan tidak dimasukkan sebagai harta bersama, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35- Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan adalah sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di nusantara ini banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak
92
menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri. Mengenai harta bersama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam BW, Undang-Undang Perkawinan dan KHI, terdapat empat macam harta keluarga dalam perkawinan, yaitu:120 (1) harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. Harta ini di Jawa tengah disebut barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha atau harta pusaka, di Nganjuk, Dayak disebut harta perimbit; (2) harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami isteri. Harta yang demikian di Bali disebut guna kaya, di Sumatera Selatan dibedakan harta milik suami dan harta milik isteri sebelum kawin, kalau milik suami disebut harta pembujang yang milik isteri disebut harta penantian; (3) harta dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan. Harta ini di Aceh disebut harta seuhareukat, di Bali disebut Druwe gebru, di Jawa disebut gonogini, di Minagkabau disebut harta saurang, di Madura disebut ghuma ghuma, dan di Sulawesi Selatan disebut barang cakkar; (4) harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami isteri selama perkawinan. Adapun definisi mengenai harta bawaan dan harta bersama menurut penulis yaitu:
120
Abdul Manan., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.hal.106
93
(1).Harta bersama adalah harta pencarian yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan. (2).Harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami atau isteri sebelum maupun setelah perkawinan dilangsungkan, karena warisan, hibah atau hadiah. Terpisahnya harta bersama dan harta bawaan selama dalam ikatan perkawinan adalah demi hukum, untuk memudahkan penyelesaian jika kemudian hari terjadi perselisihan atau perceraian. Namun pada kenyataannya dalam keluarga-keluarga Indonesia, pada umumnya tidak ada yang mencatatkan tentang harta perkawinan mereka. Dalam perkawinan yang masih baru pemisahan harta bersama dan harta bawaan masih jelas, tetapi pada keluarga-keluarga yang sudah lama terbina akan sulit bagi anak-anaknya untuk menentukan, diketahui dan dirinci jenisnya. Harta perkawinan itu sudah campur aduk dan sudah berubah jenis atau beralih ke tangan orang lain dan mana harta bersama kesemuanya, yang dimiliki bersama dan dikuasai para pihak. Perbandingan mengenai pengaturan harta bersama yang berlaku di Indonesia berikut ini diuraikan pengaturan pembagian harta bersama di dalam BW. Tentang harta bersama dan pengurusannya, diatur dalam Bab VI Pasal 119 sampai dengan Pasal 123, bagian kedua tentang pengurusan harta bersama terdapat di dalam Pasal 124 dan Pasal 125 dan bagian ketiga tentang pembubaran gabungan harta bersama dan hak untuk melepaskan diri dari padanya diatur dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138. Menurut Pasal 119 BW bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh hal
94
itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dalam suatu persetujuan antara suami isteri . Pada Pasal 120 mengatur bahwa berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya secara tegas. Kemudian dalam Pasal 126 mengenai harta bersama, bubar demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta.121 Jika melihat mengenai pengaturan harta bersama dalam BW dengan pengaturannya di dalam Undang-Undang Perkawinan terlihat adanya perbedaan yang mendasar.Menurut Undang-Undang Perkawinan bahwa ada pemisahan antara harta pribadi masing-masing suami isteri dengan harta benda yang diperoleh selama perkawinan yaitu harta bersama. Sedangkan dalam BW menganut prinsip harta benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami isteri, artinya tidak ada pemisahan antara harta pribadi masing-masing suami isteri dengan harta bersama. a. Kedudukan Harta Benda Dalam Perkawinan Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang hidup manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti 121
Libertus Jehani. Perkawinan, Apa Risiko Hukumnya. Forum Sahabat. Jakarta. 2008.hal.. 17-
19
95
makanan, pakaian, tempat tinggal, penunjang beribadah dan sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda
sebagai harta keluarga
disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Perlu dipahami bahwa harta benda dalam perkawinan adalah harta serikat atau syrkah. Oleh sebab itu penggunaan harta harus menurut aturan yang telah ada agar menjadi halal, bermanfaat dan mengandung berkah. Dalam perkawinan sering terdapat dua jenis harta benda, yaitu harta benda yang dibawa dari luar perkwinan yang telah ada pada saat perkawinan dilaksanakan dan harta benda yang diperoleh secara bersama-sama atau sendiri-sendiri selama dalam ikatan perkawinan. Merujuk pada ketentuan Pasal 35 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan maka terlihat sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki harta benda bawaan. Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa ke dalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Berdasarkan Pasal 89 dan 90 KHI, para pihak wajib bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jika terjadi kematian salah satu diantaranya maka yang hidup terlama menjadi ahli waris dari si mati. Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya sebelumnya. Kalau keduanya meninggal maka ahli waris mereka adalah anak-anaknya.
96
Mengacu pada Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau benda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada, kemudian hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh masing-masing pihak yang menyebabkan bertambahnya pendapatan yang ada hubungannya dengan profesi atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi harta milik bersama. Kedudukan harta dalam perkawinan yang telah diatur dalam UndangUndang Perkawinan diperkuat dalam KHI, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 huruf f KHI bahwa semua harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam perkawinan menjadi harta benda kepunyaan bersama, baik harta tersebut diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapa. Jadi mengenai harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing-masing bekerja pada satu tempat yang sama maupun pada tempat yang berbeda-beda, baik pendapatan itu terdaftar sebagai penghasilan isteri atau suami, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami atau isteri tidak dipersoalkan, baik yang punya pendapatan itu suami saja atau isteri saja, atau keduanya mempunyai penghasilan tersendiri selama dalam perkawian. Harta bersama tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat perceraian barulah dapat dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya meninggal tidak
97
memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi dua setelah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah suami atau isteri yang hidup terlama beserta anak-anak mereka b. Dasar Hukum Tentang Harta Bersama Berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum yang mengatur tentang harta bersama: 1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Buku pertama kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang. Pasal yang relevan dengan pembahasan adalah Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 yang mengatur tentang harta bersama.Pengaturan dalam BW tentang kekayaan dalam perkawinan menganut sistem pencampuran harta kekayaan antara suami isteri secara bulat. Semua kekayaan dari masing-masing suami dan isteri, baik yang mereka bawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan selaku milik bersama dari suami isteri. Namun ada suatu pengecualian dalam pencampuran kekayaan secara bulat tersebut, yaitu apabila suami atau isteri masing-masing mendapat suatu hibah atau wasiat dalam mana yang menghibahkan menentukan bahwa barang yang dihibahkan itu tidak boleh dimasukkan dalam pencampuran kekayaan antara suami dan isteri. (Pasal 119, 120, 121 dan 122 BW). Kemudian tentang pembubaran persatuan dan tentang hak melepaskan diri dari itu, pada Pasal 128 BW diuraikan tentang besarnya bagian harta kesatuan yang harus dibagi antara para pihak maupun antara para ahli warisnya setelah
98
bubarnya persatuan yaitu ketika persatuan bubar maka harta benda kesatuan harus dibagi dua. Kemudian barang-barang berupa pakaian, perhiasan dan perlengkapan lainnya yang merupakan mata pencaharian masing-masing pihak begitu pula dengan surat-surat berharga boleh diminta kembali oleh pemilik awalnya dengan syarat harus membayar harga barang tersebut sesuai dengan nilai taksiran yang dilakukan oleh para pihak ataupun oleh seorang yang ahli dalam hal itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 BW. 2..Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan. Ketentuan yang relevan dengan pembahasan yakni tentang harta benda dalam perkawinan terdapat dalam Bab VII Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 sebagai berikut: Pasal 35 (1)Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2)Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1)Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (2)Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh suami isteri selama dalam perkawinan. Hal ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama
99
perkawinan berlangsung, tanpa dipersoalkan siapa diantara suami isteri yang mencarinya dan juga tidak mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud. Benda berwujud meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan yang tidak berwujud dapat
berupa hak dan
kewajiban. Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan mengenai harta yang menjadi milik pribadi suami isteri yang meliputi: 122 1).Harta bawaan yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan. 2).Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan. Di luar dari jenis ini semua harta langsung menjadi harta bersama dalam perkawinan. Namun ketentuan ini berlaku sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah dilaksanakan. Jika telah dibuat perjanjian perkawinan maka para pihak harus tunduk pada perjanjian yang telah mereka buat secara sah. Mengenai perjanjian perkawinan yang dimaksud diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 45 KHI. Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami isteri, maka harta bersama menjadi hak milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna. Harta suami isteri memang telah menjadi milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di dalamnya juga ada hak gunanya. Artinya, para pihak berhak 122
A.Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.. Bandar Maju. Bandung. 2007.hal.37
100
menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika salah satu pihak akan menggunakan harta bersama, maka dia harus mendapat izin terlebih dahulu dari pihak lainnya. Mengenai hal ini disebutkan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Kemudian berdasarkan Pasal 36 Ayat (2) harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pihak tidak diperbolehkan adanya campur tangan pihak lain. Dalam hal ini, Isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadinya. Para pihak bebas menggunakan harta tersebut tanpa campur tangan suami atau isteri untuk menjual, menghibahkan, atau menjaminkan. Tidak pula diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi masing-masing.123 Ketentuan dalam Pasal 36 sebagaimana diuraikan diatas mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan hukum yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat. Bagi umat Islam ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI, sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam BW124 Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam Undangundang Perkawinan mengenal adanya tiga jenis harta dalam perkawinan, meliputi harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan yang menjadi milik pribadi masing-masing pihak. 123
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008.hal.14 124 (http://www.akademik. unsri.ac.id).akses pada tanggal 10 januari 2012
101
3.Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan yang berkaitan dengan harta bersama diatur dalam Bab XII tentang kekayaan dalam perkawinan pada Pasal 85-97. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri”. Uraian pasal tersebut mengakui adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan menjadi harta bersama. Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing suami isteri. Adanya kata “kemungkinan” dimaksudkan bahwa harta bersama masih diperbolehkan selama tidak ditentukan lain dalam perkawinan. Berdasarkan Pasal 86 Ayat (1) KHI kembali ditegaskan bahwa tidak ada pencampuran harta karena perkawinan. Sedangkan dalam Pasal 86 ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) KHI memperkuat pernyataan dalam Pasal 35 ayat (2), dimana berdasarkan ketentuan ini, suami isteri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Kemudian ketentuan dalam Pasal 87 ayat (2) KHI senada dengan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, bahwa isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta
102
pribadi masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Dalam hal ini undang-undang tidak membedakan kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami isteri masing-masing.125 Mengenai pembagian harta bersama dapat dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak isteri. Jika kemudian terjadi perselisihan diantara para pihak mengenai hal ini maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur pengadilan agama, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88. Namun, penyelesaian melalui jalur pengadilan ini merupakan sebuah pilihan. Para pihak lebih juga boleh memilih cara yang lain, yaitu dengan cara damai melalui musyawarah untuk mufakat. 126 Bentuk harta bersama dalam Pasal 91 ayat (1 dan 2) diuraikan bahwa harta bersama dapat berupa benda berwujud, meliputi benda bergerak dan tidak bergerak, dan benda tidak berwujud yang meliputi hak dan kewajiban. Kemudian dalam ayat (4) diuraikan bahwa suami atau isteri diperbolehkan menggunakan harta bersama sebagai jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Jika penggunaan harta bersama tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa dituntut secara hukum, dasar pengaturannya adalah Pasal 92 KHI.
127
Dalam pasal 95 ayat (1 dan 2) KHI telah mengantisipasi
apabila salah satu pihak melakukan pemborosan, judi, mabuk, dan lain-lain yang
125
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.hal.105 126 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008.hal 37-38 127 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008..hal. 13
103
dapat merugikan dan membahayakan harta kekayaan, dalam hal yang demikian salah satu pihak meminta kepada pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita tersebut dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah tangga, isteri dan anak-anaknya, maka dipandang hakim memiliki otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan dengan meletakkan sita jaminan. Selain dari itu otoritas yang diberikan kepada hakim tersebut adalah untuk mengendalikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau isteri melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mengenai besarnya bagian harta bersama yang harus dibagi antara suami isteri diatur dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) dan Pasal 97 KHI. Ketentuan mengenai pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian atau karena adanya perkawinan poligami. Pada Pasal 96 ayat (1) diuraikan mengenai pembagian harta bersama dalam kasus cerai mati. Mengenai cerai mati biasanya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami isteri karena meninggalnya salah satu pihak. Pembagian harta bersama dalam hal ini yaitu, salah satu pihak yang hidup paling lama berhak atas separuh (1/2) dari harta bersama. Selanjutnya dalam Pasal 96 ayat (2) dikatakan bahwa mengenai status kematian salah satu pihak, baik suami maupun isteri, harus jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang pembagian harta bersama menjadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang, harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui pengadilan agama.
104
Di dalam
Pasal 97 KHI
diatur
bahwa Janda atau Duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.,diuraikan dalam Pasal 49 Ayat (1), bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang perdata, yaitu mengenai perkawinan, termasuk di dalamnya masalah perceraian dan pembagian harta bersama, waris, wasiat, Hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Bidang-bidang hukum perdata tersebut menjadi porsi fungsi kewenangan mutlak untuk mengadili bagi lingkungan Peradilan Agama. Kemudian dalam Pasal 86 terkait dengan proses gugatan sengketa harta bersama diuraikan bahwa gugatan mengenai penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut memberikan pilihan bagi penggugat, apakah akan menggabung gugatan perceraiannya dengan pembagian harta bersama atau akan mengajukan gugatan tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun jika gugatan harta bersama digabung dengan gugatan perceraian secara praktis dan rasional dapat terselesaikan dua perkara secara bersamaan, dengan cara mendudukkan gugatan pembagian harta bersama sebagai
105
gugatan assessor terhadap gugatan perceraian. Sehingga tentu saja hal ini dapat mengefisienkan waktu, tenaga, dan menghemat biaya, serta penikmatan atas harta bersama akan lebih cepat dirasakan oleh penggugat. c. Ruang Lingkup Harta Bersama Dengan tetap merujuk pada ketentuan yang digariskan, maka segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun pada penerapannya di dalam kenyataan, tidak demikian sederhana. Berbagai unsur terkait yang menyebabkannya menjadi rumit. Berikut ini adalah luasnya batas harta bersama menurut Yahya Harahap:128 1.Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatasnamakan salah seorang suami isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta bersama. 2.Kalau harta itu dipelihara/diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan sebagai hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri. 3.Adanya harta bersama suami isteri tidak memerlukan pembuktian, bahwa isteri harus ikut membantu terwujudnya harta bersama tersebut, kecuali si suami dapat membuktikan bahwa isterinya benar-benar tidak melaksanakan kewajiban yang semestinya sebagai ibu rumah tangga dan selalu pergi meninggalkan rumah tempat
kediaman
tanpa
alasan
yang
sah
dan
wajar.
4.Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian
128
Yahya Harahap. Hukum Perkawinan Nasional .Zahir Trading. Medan 1990.hal.119-122
106
dianggaap harta bersama suami isteri jika biaya pembangunan atau pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan. 5. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan. 6.Barang termasuk harta suami isteri: a.Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri. b.Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masingmasing pribadi sebagai pegawai. Hal tersebut di atas, sepanjang mengenai penghasilan yang berasal dari keuntungan milik pribadi tidak dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama, kecuali hal itu telah diperjanjikan dengan tegas. 7.Adapun mengenai harta bersama apabila suami kawin poligami, baik dua atau tiga isteri, maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah, yaitu: a. Segala harta yang telah ada antara suami dan isteri pertama sebelum perkawinannya dengan isteri kedua, maka isteri kedua tidak mempunyai hak apaapa atas harta tersebut. b. Oleh sebab itu, harta yang ada antara suami dengan isteri kedua, ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada antara isteri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara
107
isteri pertama dengan suami, dimana isteri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Isteri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak isteri kedua itu resmi menjadi isteri. c. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti isteri pertama tinggal dengan suaminya hidup dalam suatu rumah kediaman yang berdiri sendiri, demikian juga isteri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta isteri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara isteri pertama dengan suami, dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga isteri kedua dengan suami menjadi harta bersama antara isteri kedua dengan suami.Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristeri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas, oleh Undang-Undang Perkawinan telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c. Ayat 1 huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya. Dalam pasal yang sama huruf c berbunyi: semua isteri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Selanjutnya dalam Pasal 65 Ayat 2 memberi kemungkinan menyimpang dari ketentuan-ketentuan lain sepanjang jika suami isteri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang seperti membuat perjanjian Perkawinan.
yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
108
8. Lain pula halnya jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama. Kemudian isteri kawin lagi dengan laki-laki lain, maka dalam keadaan seperti inipun tetap terpisah harta bersama antara suami yang telah meninggal dengan isteri tadi yang akan diwarisi oleh keturunan-keturunan mereka, dan tidak ada hak anak/keturunan yang lahir dari perkawinan isteri tadi dengan suami yang kedua itu. Anak-anak dari perkawinan yang pertama mempunyai hak sebagai ahli waris dan harta bersama dari perkawinan yang kedua. Demikian juga sebaliknya, jika isteri yang meninggal, maka harta bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinannya dengan isteri kedua tersebut. d. Pembagian Harta Bersama Pembagian harta bersama termasuk masalah yang cukup rumit dipecahkan dalam sebuah perkawinan yang berujung pada perceraian. Hal ini cenderung menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan, khusus dalam kasus cerai hidup dimana proses persidangannya di Pengadilan Agama membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan terkadang hingga melalui semua tingkat peradilan yang tentu saja tidak lagi efisien dari segi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak. Perlu diketahui bahwa meskipun hukum Islam tidak mengenal pencampuran harta milik pribadi masing-masing ke dalam harta bersama, kecuali yang dibahas dalam hukum fiqh tentang syirkah, namun apabila dikhawatirkan akan timbul halhal yang tidak diharapkan maka diperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanakan. Perjanjian yang dibuat antara suami isteri itu
109
dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapat pula ditetapkan penggabungan hasil dari harta milik pribadi masing-masing suami isteri dan dapat ditetapkan tidak adanya penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan dilaksanakan, maka perjanjian itu adalah sah dan harus dilaksanakan perjanjian tersebut.129 Perjanjian perkawinan ini sangat bermanfaat dalam rangka mengefisienkan waktu dan menghemat biaya bagi mereka yang bersengketa, karena sebelum dilangsungkan perkawinan para pihak telah mengadakan perjanjian perkawinan, maka putusan sengketa tentang harta bersama akan mengacu kepada perjanjian yang mereka buat. Ketentuan tentang pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai suatu hubungan perkawinan, seperti kematian, perceraian atau pembagian harta bersama karena adanya perkawinan poligami. Mengenai besarnya bagian masing-masing suami isteri dari harta bersama diatur di dalam pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan dimana dikatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Kemudian pada Pasal 96 ayat (1) KHI diatur bahwa, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, akan tetapi sebelum dibaginya harta bersama semua 129
yang menjadi beban atau
A.Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama.. Bandar Maju. Bandung. 2007.hal.45
110
tanggungan dari orang yang meninggal baik itu isteri atau suami dikeluarkan terlebih dahulu agar tidak menggangu hak dari para ahli waris.
Ketentuan ini
sejalan dengan dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Desember 1959 No. 424.K/SIP/1959, dimana dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa harta bersama suami isteri kalau terjadi perceraian maka masing-masing pihak mendapat setengah bagian. Pada Pasal 97 diatur bahwa Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pembagian harta bersama perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak, kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Terdapat beberapa masalah dalam pembagian harta bersama salah satunya adalah isteri yang tidak bekerja biasanya mendapat perlakuan yang tidak adil dalam hal pembagian harta bersama setelah adanya perceraian secara resmi. Sudah seharusnya isteri yang tidak bekerja mendapat bagian dari harta bersama. Alasannya, apa yang dikerjakan isteri selama hidup bersama dengan suaminya adalah termasuk kegiatan bekerja juga. Hanya memang, pekerjaan isteri lebih banyak berupa pekerjaan kerumahtanggaan, Ini adalah sesuatu yang wajar, sebab meskipun pihak isteri tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, pihak suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat
111
mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Selain itu, apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari, isteri mampu melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung isteri juga membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama suami isteri. Oleh karena itu, anggapan umum yang saat ini berlaku adalah bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan siapakah yang sesungguhnya berjerih payah memperoleh harta tersebut. Selain itu, pertimbangan juga tidak didasarkan semata-mata pada siapa yang berjerih payah memperoleh harta kekayaan, karena jika hanya didasarkan pada siapa yang lebih banyak memperoleh harta kekayaan, secara tidak sadar kita telah terjebak pada pola pikir positivisme yang cenderung matematis dan materialis, sehingga peran dalam mengurus rumah tangga seringkali tidak dihargai.130 Begitupula halnya dengan suami yang tidak bekerja (secara formal), berdasarkan ketentuan yang berlaku, harta bersama, termasuk penghasilan isteri tetap dibagi dua. Seperti halnya dengan kondisi ketika isteri tidak bekerja (secara formal), maka suami yang tidak bekerja juga mendapatkan haknya dalam pembagian harta bersama. Hal itu didasarkan pada logika bahwa jika salah satu pihak tidak menghasilkan, pihak yang lain tidak dapat menghasilkan tanpa bantuan yang satunya. Artinya meskipun salah satu dari mereka tidak bekerja
130
(http://www.akademik.unsri.ac.id.). Akses pada tanggal 10 januari 2012
112
ecara formal, ada pekerjaan-pekerjaan yang lain yang itu dianggap dapat membantu urusan rumah tangga.131 Merujuk ketentuan teks di atas bahwa pembagian harta bersama harus berdasarkan pada prinsip keadilan. Dalam perspektif hukum Islam jika pembagian harta bersama tidak diperkarakan melalui jalur pengadilan, sebenarnya dapat dilakukan melalui cara musyawarah biasa, asalkan dilakukan dengan seadiladilnya. Jika urusan
pembagian harta bersama dilmpahkan melalui meja
pengadilan dirasa tidak efektif, solusi tersebut menjadi suatu pilihan yang lebih baik.
Menurut pendapat Martiman Prodjohamijodjo tentang pengaturan harta
bersama jika perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukum masing-masing,misalnya:132 1).Daerah hukum adat Jawa Tengah dibagi dalam segendong sepikul. Akan tetapi sekarang telah berubah menjadi setengah-setengah. 2).Di daerah hukum Jawa Barat besarnya bagian antara suami dan isteri harus seimbang dengan banyaknya tenaga yang dicurahkan dalam usaha mencari nafkah selama perkawinan. 3).Bagi mereka yang tunduk pada BW, maka harta bersama dibagi antara suami dan isteri setengah-setengah. Sedangkan menurut pada ketentuan Pasal 128 BW mengatur bahwa “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak memperhatikan
131
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008.hal..43-44 132 Martiman Prodjohamidjojo. Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan. Pradnya Paramita. Jakarta. 1991.hal.35
113
soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya”.Sementara itu, harta bawaan dan harta perolehan tetap
otomatis menjadi hak milik pribadi
masing-masing yang tidak perlu dibagi secara bersama. Berdasarkan ketentuan tersebut, jika pasangan suami isteri bercerai, harta bersama mereka dibagi dua (50:50). Ketentuan ini tidak berbeda dengan ketentuan KHI Pasal 97. Namun menurut Abdul Manan bahwa sehubungan dengan adanya ketentuan membagi harta bersama antara suami dan isteri masing-masing setengah, dalam kasus tertentu dapat dilenturkan penerapannya, apabila realita dalam kehidupan keluarga, dimana pihak suami yang tidak/kurang berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga, agar dapat memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 229 KHI.133 Mengenai hal tersebut didukung oleh pemikiran kritis Achmad Ali yang mengatur bahwa secara universal, jika ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivisme. Karena hanya dengan mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita takkan pernah mampu untuk menangkap hakikat kebenaran, karena baik dari historis maupun filosofi yang melahirkannya, ia memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Sehingga pembagian harta bersama yang tidak sesuai dengan pengaturannya dalam Kompilasi Hukum Islam bukanlah suatu putusan yang
133
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2008.hal.129
114
keliru, bahkan hal tersebut dapat memberikan aktualisasi yang positif dalam upaya untuk keluar dari keterpurukan hukum yang selama ini terjadi.134 Permasalahan lainnya adalah berkisar kapan waktunya harta bersama harus ditentukan pembagiannya. Adanya harta bersama berkaitan dengan perkawinan, setelah adanya perkawinan barulah muncul apa yang disebut harta bersama. Sepanjang kehidupan rumah tangga antara suami isteri itu harmonis selama itu pula harta bersama tidak dipermasalahkan. Pembagian harta bersama baru dibicarakan jika didalam kehidupan rumah tangga terjadi perselisihan yang mengarah kepada perceraian dan segala akibat perceraian itupun ikut dipermasalahkan. Menurut M. Idris Ramulyo “Apabila dianggap ada harta bersama, baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinannya itu putus. Putusnya hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti maka harta bersama antara suami isteri itu belum dapat dibagi”.135 Sebenarnya konsep mengenai harta bersama ini tidak ditemukan dalam rujukan teks Al Qur‟an maupun al Hadis secara shorih. Oleh karena itu tidak disetiap negeri Islam dipersoalkan atau disengketakan pembagian harta bersama, karena di negeri tersebut adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan harta istri dalam rumah tangga. Dalam masyarakat Islam seperti ini, hak dan 134
Achmad Ali. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia. Bogor. 2005.hal.26-27 M. Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2006.hal.45. 135
115
kewajiban dalam rumah tangga, terutama yang berhubungan dengan pembelajaan, diatur secara ketat.136 Lain halnya dalam masyarakat Islam di mana adat istiadat yang berlaku tidak memisahkan antara harta suami dan harta istri. Seperti lazimnya masyarakat Indonesia, Harta pencaharian suami bercampur baur dengan harta pencaharian istri, dan menganggap akad nikah
mengandung persetujuan kongsi dalam
membina kehidupan rumah tangga, maka seluruh harta yang diperoleh setelah akad nikah, menjadi harta bersama.137 Apabila suatu perkawinan ini putus, baik karena kematian maka masalah pertama yang harus diselesaikan sebelum pembagian warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama138. Begitu pula bila terjadi perceraian, maka muncul persoalan pembagian harta bersama. Hukum Positif yang berlaku di Indonesia mengakui adanya harta bersama tersebut dan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 35 Ayat 1, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama 139. Juga dalam Kompilasi Hukum Islam, diakui adanya harta bersama dalam kehidupan suami istri, dan dibahas secara terinci dalam BAB XIII, bahkan dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam telah diatur bagian masing-masing
136
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cetakan I,Prenada Media, Jakarta,2004, hal. 59. 137 Satria Effendi M.Zein,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cetakan I,Prenada Media, Jakarta.2004, hal. 60. 138 Satria Effendi M.Zein,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cetakan I,Prenada Media, Jakarta.2004,hal. 61 139 Zainal Abidin Abu Bakar, ,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1993 , hal. 131.
116
suami-istri, bila salah satunya meninggal dunia, atau terjadi cerai hidup.Dan masing-masing berhak mendapat bagian seperdua dari harta bersama tersebut, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan 140 . 2. Implikasi Perceraian Terhadap Anak Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah ath-thaairu baidhahu „burung itu mengapit telur di bawah sayapnya‟. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya.
Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”141.
Para ulama‟ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya142.
140
Zainal Abidin Abu Bakar, ,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1993., hal 329. 141 Ghazaly Rahman,Fikih Munakahat,Jakarta : Kencana,Hal. 175 142 Aminuddin, Slamet Abidin,Fikih Munakahat 2, Bandung :CV.Pustaka Setia,Hal.171.
117
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233: 332 (انبقشة. انًـٕنٕد نّ سصقـٍٓ ٔ كـسٕتـٍٓ بـانًعشٔفٙٔعـه “ Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dn pakaian untuk anak dan istrinya ” Begitu juga dalam Al-Qur‟an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06: )6 ىٚٔانحجاسة(انتحشَـاسأقٕدْـاانـُاطكىٛٔأْـهآيـُٕاقـٕاأَـفسكىٍٚٓاانـزٚـاأٚ “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….. ”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan143. Nabi Muhammad bersabda: ) ّ(أخشجّ انتشيز٘ ٔ ابٍ ياج 143
ايتٕٛو انقٚ ٍّ أحبتُّٛ ٔ بٍٛ ٔانذة ٔٔنذْـا فشق هللا بٛيٍ فشق ب
Syarifiddin, Amir,,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta,2006,Hal.328.
118
Artinya :“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka ( Allah akan memisahkan antara dia dan kekasih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendirisendiiri.144
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-
hal sebagai berikut:
1.Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2.Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3.Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama 144
Syarifiddin, Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta,2006.,Hal.328.
119
anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4.Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1)
Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2)
Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun. a. Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha‟. Para fuqaha‟ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.145 Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih.
145
Menurut pendapat Imam Hanafi
.Muhammad bin Abdurrahman,,Fikih Empat Mazhab, Bandung,2004,Hal.416.
120
dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa. Imam Syafi‟i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak lakilaki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan146.
Hadhanah berhenti (habis) bila anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta 146
. Muhammad bin Abdurrahman,,Fikih Empat Mazhab, Bandung,2004,Hal.417.
121
telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri. Dalam hal ini, tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya.147
Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya, “Masa
hadhanah berakhir (habis) bilamana telah berumur tujuh tahun bagi laki-laki dan sebilan tahun kalau ia perempuan”. Mereka menetapkan masa hadhanah perempuan
lebih
lama
agar
dia
dapat
menirukan
kebiasaan-kebiasaan
kewanitaannya dari hadhanah (ibu pengsuhnya). Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak itu mumayyiz, yakni berumur lima dan enam tahun,
148
dengan dasar
hadits:“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya”Begitu juga beberapa Imam Mazhad berpendapat tentang hal ini, yaitu: Imam Syafi‟i dan ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 tahun atau 8 tahun. Ulama-ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri. Sedangkan anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya. 149
Upah hadhanah seperti upah menyusuhi, ibu tidak berhak atas upah hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak nafkah
147
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta Pusat : Pena Pundi Aksara,2004, Hal.246. Abd.Rahman Ghazaly,Fikih Munakahat,Jakarta, :Kencana,2006,Hal.186. 149 Aminuddin, Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2,Bandung,1999, Hal. 184. 148
122
sebagai istri atau nafkah masa iddah.
150
Allah SWT. Berfirman: (Al-
Baqarah:233) Maka ia berhak mendapatkan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (AtTalak:06)
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang yang harus dilindungi dan harus dijamin kelangsungan hidupnya dengan baik sehingga tidak menjadi generasi yang lemah sebagaimana perintah Allah dalam Al Qur‟an Surat An Nisa ayat 9 sebagai berikut : ذاٚسذ
قٕنٕا قٕالٛتقٕا هللا ٔنٛٓى فهٛت ضعافا خافٕا عهٍٚ نٕ تشكٕا يٍ خهفٓى رسٚخش انزٛٔن
Artinya : “Hendaklah takut (kepada Allah)
orang yang bila (wafat dan)
meninggalkan keturunan yang tiada berdaya, kuatir akan nasib mereka. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan mengatakan kata-kata yang benar”. 151 Ayat tersebut berkaitan dengan orang yang akan meninggal dunia agar jangan berwasiat dengan menghabiskan seluruh hartanya, sehingga dikhawatirkan anak cucu yang ditinggalkan menderita karena telah habis harta orang tuanya. Tetapi esensinya adalah jangan sampai meninggalkan anak cucu dalam keadaan lemah dan fakir. Sehingga kebutuhan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya. Di dalam rumah tangga, anak mempunyai fungsi sebagai pengikat lahir batin di antara kedua orang tuanya karena dengan anak itu dimaksudkan untuk 150
. Aminuddin, Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2,Bandung ,1999,Hal .181. Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976,Surat An Nisa „ ayat 9 151
123
membangun keturunan sebagai penerus orang tua. Dengan demikian, hubungan antara orang tua dengan anak akan kuat dalam hukum legal formal, baik dalam perspektif agama maupun masyarakat dan negara.152 Lazimnya kelahiran seorang anak dalam satu keluarga telah ditunggu dengan cinta dan kasih, tetapi sebaliknya ada pula yang tidak diharapkan kehadirannya. Namun apapun alasannya asal ia disebut anak, maka ia bersama-sama mempunyai hak dalam perlindungan hukum yang sama, tidak ada perbedaan.153 Seperti yang termaktub dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan (4) UU Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, sebagai berikut : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat ini dengan jelas mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Rasanya tak seorangpun yang dari awal pernikahannya tidak mengharapkan kehadiran seorang anak. Tak seorangpun juga bisa memastikan perkawinannya akan langgeng. Memperhatikan uraian di atas, apabila perkawinan harus berahir dengan perceraian, maka anak buah perkawinan suami istri tidak boleh diabaikan oleh kedua orang tuanya.
152
Irma Setyowati, Masalah Perlindungan Anak, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta : Bumi Aksara, 1985, hal. 157-158. 153 Bismar Siregar, Telaah Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak-anak dan Wanita, Yogyakarta : Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1986, hal. 9.
124
Pemeliharaan anak, yang dalam perspektif fikih disebut dengan hadhanah, secara etimologis berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologis, hadhanah berarti merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri154 Masalah hadlonah, adalah semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya, sehingga memerlukan seorang wanita pengasuh untuk merawatnya hingga anak tersebut dewasa. Oleh karenanya para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah tersebut, sepanjang tidak ada hal-hal yang menghalanginya, yang mengakibatkan kemafsadahan bagi anaknya. Bahkan menurut al Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan anak.155 Untuk mencapai tujuan pemeliharaan anak, maka agar seseorang berhak atas pemeliharaan anak, dalam pandangan fiqh haruslah memenuhi syarat-syarat sebagimana yang ditulis Imam Taqiyuddin dalam kitab Kifayatul Akhyar sebagaii berikut: Disyaratkan hal-hal berikut bagi perempuan dan laki-laki yang ingin mendapatkanhak
asuh:156
a).Balig, hak hadhanah hanya diberikan kepada orang yang sudah balig tidak
154
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ihtiar Baru Van Hoepe, 1999,hal.
415. 155
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan II, Prenada Media, Jakarta, hal. 293. 156 Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhya fi Hilli Ghozayatil Ikhtisar, Juz 2, Indonesia : Dar Ikhyail Kutub, tt., hal. 151.
125
dapat ditetapkan bagi anak kecil, meskipun ia telah pintar, karena anak kecil tidak dapat mandiri dengan persoalannya dan selalu membutuhkan orang lain. b).Berakal sehat, hak hadlonah hanya diberikan kepada orang yang waras akalnya, tidak dapat diberikan kepada orang gila, baik laki-laki ataupun perempuan. Hak hadlonah pun tidak dapat diberikan kepada orang yang ma‟tuh (idiot), baik laki-laki ataupun perempuan. c).Mampu mendidik si anak dan mengurusnya. Hak hadlonah tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak mampu atau tidak sempat mendidik dan mengurus si anak. Mengenai ketidakmampuan ini, tidak ada penyebab tertentu. Ketidakmampuan itu kadang disebabkan oleh usia yang telah tua atau kesehatan yang lemah. Namun, kadang pula ketidakmampuan itu disebabkan oleh penyakit ganas yang membuat seseorang tidak berdaya, sehingga ia tidak mampu mengurus dirinya ataupun orang lain. Kadang pula, ketidakmampuan itu disebabkan oleh kesibukan bekerja. Seorang perempuan pekerja yang tidak sempat untuk mengasuh, mendidik, dan menjaga anak kecil tidak cocok menjadi pengasuh. d).Amanah, hak haldonah hanya diberikan kepada orang yang dapat menjaga si anak dari segala sesuatu yang dapat merusak kesehatan, perilaku, mental, atau agamanya sehingga orang yang tidak dipercaya tidak berhak mengasuh anak kecil. Dengan demikian, apabila seorang fasik (laki-laki atau perempuan) yang kefasikannya menghalanginya untuk mengasuh anak kecil maka ia tidak berhak mengasuh anak. Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitabnya Al Fiqh Ala Madzahib Al Khomsah,
menerangkan bahwa menurut Imam Syafi‟I dan Imam Hambali,
126
bahwa perempuan yang mengasuh berhak atas upah mengasuh tersebut, baik perempuan itu ibunya anak tersebut atau orang lain. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan ulama kalangan Syiah Imamiyah, bahwa pengasuh wajib menerima upah manakala sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan, antara ibu dan bapak si anak, tidak pula dalam masa idah talak raj‟i 157. Hadhanah atau pengasuhan tersebut, tentu memerlukan biaya baik bagi ibu yang mengasuhnya, maupun bagi anak itu sendiri, dan untuk itu Allah Swt., telah memberikan tuntunan dalam Al Qur‟an Surat Al Al Baqarah Ayat 233 sebagai berikut :
ٔعهٗ انًٕنٕد نّ سصقٍٓ ٔكسٕتٍٓ بانًعشٔف
Artinya: ”Dan kewajiban sang ayah menanggung nafkah istrinya,
158
dan
sandangnya dengan baik”. Kewajiban sang ayah menanggung biaya menyusui itu artinya juga menanggung seluruh biaya hidup anaknya, baik antara suami istri itu masih terikat dalam perkawinan yang sah maupun yang kedua orang tuanya telah bercerai, maka kewajiban menafkahi, memberi pakaian dan lain-lain kebutuhannya yang dibebankan kepada ayahnya159. b. Hadhanah anak dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Sedangkan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, telah diatur dalam
157
Muhammad Jawad Mughniyah,1994, Al Fiqh Ala Madzahib Al Khomsah, terjemahan Alif Muhammad, cetakan I, Basrie Press, Jakarta, hal.. 137. 158 Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976,Surat alBaqarah ayat 233. 159 Abi Jakfar Muhammad bin Hazir al Thobari, 1988, Tafsir Al Thobari, Juz II, Syirkah Iqomah al Din, Mesir, hal. 495.
127
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut : a.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak,bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilanmemberi keputusannya. b.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataantidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya. 160
Dalam hal terjadinya perceraian disebutkan juga di dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai
berikut : a.Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b.Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c.Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.161 Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapat difahami bahwa setelah perceraian masalah pemeliharaan anak tetap menjadi tanggung jawab ayah ibunya selaku orang tuanya sekalipun mereka harus berpisah. Terhadap anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun maka ibu lebih berhak untuk memeliharanya dengan ketentuan ibu memenuhi syarat-syarat sebagai orang yang pantas/layak untuk diberi kewajiban memelihara anak tersebut. Sedang kepada anak yang sudah mumayyiz dapat memilih akan ikut siapa di antara ibu atau bapaknya setelah terjadinya perceraian orang tuanya . Dalam menentukan hak 160
Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan alam Lingkungan Peradilan Agama,Cetakan ke 3,Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1993., hal.. 132-133. 161 Dirbinbapera,Depag. RI,1998,Alasan Syar‟i Tentang Penerapan Kompilasi Hukum Islam,,Yayasan Al Hikmah, Jakarta, hal. 81.
128
pemeliharaan anak ini tentunya Hakim akan mempertimbangkan terutama demi kepentingan dan kemaslahatan si anak . Dalam hal pembiayaan pemeliharaan anak yang utama adalah terletak pada ayah. Namun dalam hal ayah tidak mampu untuk membiayai pemeliharaan anak tersebut , maka Hakim boleh membebankan biaya pemeliharaan anak tersebut kepada ibunya sepanjang ibunya mampu untuk melaksanakannya. Dan tentunya dalam menentukan pembebanan biaya pemeliharaan anak ini Hakim akan mempertimbangkan dari berbagai segi terutama dari penghasilan suami isteri yang bercerai tersebut. Dalam kaitannya dengan akibat hukum dari adanya perkara
perceraian
terutama yang berhubungan dengan harta bersama maupun pemeliharaan anak, maka dituntut adanya suatu keadilan bagi suami isteri yang bercerai maupun bagi anak . Dalam pemeriksaan perkara Majelis Hakim mempunyai wewenang mengadili dan memutuskan perkara tersebut dengan mempertimbangkan faktafakta yang ditemukan dalam persidangan dan mengkaitkannya pula dengan nilainilai filosofis yang terkandung dalam pasal-pasal dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perkara tersebut sekalipun menerapkan pula perkecualian dari peraturan perundang-undangan terkait . D.Penerapan Hukum oleh Hakim . Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai ideal dalam pembuatan maupun pelaksanaan hukum, meskipun sebagai konsep yang abstrak keadilan seringkali dipahami tanpa batasan yang jelas.Perkembangan pemikiran hukum Islam pun tidak dapat dilepaskan dari konsepsi keadilan. Diskursus mengenai keadilan dapat
129
dilacak pada sumber-sumber hukum Islam, seperti Alquran dan hadis.Alquran dalam beberapa bagiannya memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil.Surat an-Nisa ayat 58 menyatakan bahwa dalam mengadili dua orang yang bersengketa harus dilakukan secara adil.Surat al-Maidah ayat 6 memerintahkan orang-orang mukmin berbuat adil karena adil lebih dekat pada ketaqwaan. Kutipan ayat Alquran tersebut memberikan penerangan bahwa keadilan menjadi sebuah nilai yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Meskipun demikian, pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah persoalan tersendiri bagi para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan dipahami sebagai pengejawantahan keutamaan yang tertinggi. Keadilan adalah keutamaan yang ada dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas utama lain, yaitu hikmah (kebijaksanaan), iffah (kesucian diri), dan syaja‟ah (keberanian) terpenuhi. Kualitas-kualitas hikmah, iffah, dan syaja‟ah terwujud melalui penyeimbangan dua titik ekstrim kualitas manusia.Syaja‟ah, misalnya, adalah jalan tengah dari kualitas pengecut dan kemarahan yang tidak terkendali.162 1.Keadilan Dalam Hukum Perumusan mengenai keadilan dalam kerangka hukum sangat diperlukan karena keadilan dalam hukum seringkali dipahami dalam kerangka kepentingan. Orang yang kalah di pengadilan akan berpikir bahwa keputusan hakim salah atau meragukan, sementara pihak yang menang akan memandang bahwa putusan
162
. Ibnu Maskawaih, 1329 H., Tahdhib al-Akhlaq wa Tathhir al-„Araq, Mesir: Matba‟ah Husayniyyah, Hal. 10-24.
130
hakim sangatlah adil. Jebakan kepentingan sering mengaburkan arti keadilan. Orang yang selalu ditimpa musibah akan berpikir bahwa Tuhan tidak bersiap adil kepadanya, tetapi ketika ia mendapatkan pertolongan baru ia berpikir bahwa Tuhan benar-benar adil. Dengan demikian, pemaknaan keadilan sangat rawan dari kepentingan pribadi.Wajar ketika sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukumlah, dan bukan keadilan, yang patut diperhitungkan karena konsepsi keadilan hanya mungkin didefinisikan dalam kerangka hukum.Pendapat demikian cukup realistis, meskipun kenyataannya banyak aturan yang dipandang tidak adil, sehingga rasa keadilan justru mengoreksi hukum. Pemaknaan terhadap istilah keadilan telah dilakukan sejak lama.Plato memaknai keadilan sebagai kebajikan tertinggi yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional, melainkan terdiri atas pelaksanaan individu masingmasing terhadap tugas yang dibebankan kepada mereka.Individu harus melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh posisi dia dalam konteks sosial.Keadilan Plato menekankan kepada moralitas.163 Berbeda halnya dengan Aristoteles yang memberikan definisi keadilan dalam perspektif
yang
berbeda.Aristoteles
menekankan
kepada
arti
penting
hukum.Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang hukum dan keperluan terhadap prinsip kebaikan.Konsepsi keadilan Aristoteles berkaitan dengan pandangannya mengenai manusia sebagai zoon politicon (makhlukpolis).Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles terkait dengan keadilan umum.164
163
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,Yogyakarta: Kanisius, 1993,Hal.
164
. Theo Huijbers, 1993, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,Yogyakarta: Kanisius, Hal.
28 28
131
John Rawls memberikan definisi keadilan sebagai fairness.Definisi keadilan versi Rawls menekankan kepada keadilan dalam ranah politik, khususnya hak-hak sipil.Asas fairness menjadi titik pijak dalam memberikan kesempatan kepada semua individu untuk dapat berperan secara adil dalam ranah publik.165 Berbagai pembacaan terhadap pengertian keadilan menunjukkan bahwa ada tiga cara pandang terhadap keadilan:166 1. Pandangan yang menekankan kepada kemerdekaan manusia sebagai bagian mutlak kehidupan manusia. Dengan demikian, keadilan adalah suasana yang memberikan kesempatan bagi kemerdekaan manusia untuk berkembang secara seksama. 2. Pandangan yang menekankan keadilan sebagai keadaan jiwa atau sikap. Menurut pandangan tersebut orang hanya bisa bertindak adil manakala ia memiliki suatu sikap atau mental tertentu. Keadilan bukanlah sebuah argumentasi yang perlu dinalar lebih jauh dengan logika, melainkan representasi keseluruhan jiwa manusia. 3. Pandangan yang mengaitkan keadilan dengan kebenaran. Bertindak adil adalah bertindak secara benar. Mencari keadilan sama dengan mencari kebenaran. Jadi, konsepsi keadilan tidak dapat dilepaskan dari konsepsi dasar mengenai manusia yang menjadi titik tolaknya. Konstruksi nalar Islam tentang hukum dan keadilan dapat dijumpai dalam Alquran dan hadis.Alquran mengandung beberapa istilah yang dekat dengan 165
. John Rawls, Justice as Fairness: A Restatment, London: Harvard University Press.2001,Hal. 43 166 . Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1086,Hal. 51-52.
132
istilah keadilan, yaitu al-qisth, al-adl, dan mizan. Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian balasan atau retribusi yang sama. Dimisalkan, jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa, maka ia harus mengganti pada hari lain. Semantara itu, kata qisth merujuk kepada kesamaan dalam pengertian pemberlakuan aturan kepada orang-orang yang bukan warga negara.Pengertian keadilan dalam kata qisth mengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung keseimbangan antara kepentingan antar kelompok.Mengenai kata mizan dalam Alquran merujuk kepada pengertian keseimbangan (balance).167 Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian keadilan dalam Alquran pada ranah politik.Penjelasannya mengenai ayat-ayat keadilan dalam Alquran didasarkan
kerangka
bahwa
keadilan
nomokrasi.168Keadilan dalam Islam
menjadi
prinsip
ketiga
dalam
menurut Azhary identik dengan
kebenaran.Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan dengan Allah sebagai sumber kebenaran, yang dalam Alquran disebut dengan al-haqq. Kata adl dalam Alquran menurut Azhary secara bahasa berarti sama. Kata adl menunjukan keseimbangan atau posisi tengah.169 Quraish Shihab memetakan pengertian keadilan yang dipahami oleh para ulama dengan empat pengertian.yaitu : 167
. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhui atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,1966, Hal. 112. 168 . Nomokrasi adalah istilah yang digunakan oleh Azhary untuk menyebutkan pemerintahan Islam.Istilah tersebut diajukan karena ketidakmadanian istilah-istilah politik yang ada untuk menggambarkan pemerintahan Islam.Nomokrasi juga diartikan sebagai pemerintahan yang didasarkan atas asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam. Lihat Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,Jakarta: Bulan Bintang, Hal. 66. 169 .. Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,Jakarta: Bulan Bintang, Hal. 66.
133
1.Keadilan yang berarti sama yang didasarkan atas surat an-Nisa ayat 4. Kata adil dalam keadilan dalam pengertian pertama tersebut berkenaan dengan sikap hakim dalam proses pengambilan keputusan. 2. Keadilan berarti seimbang, yang identik dengan proporsional dalam segala hal 3. Adil juga berarti memberikan perhatian kepada hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada pemiliknya.Keadilan dalam pengertian ketiga itu berkaitan dengan konteks sosial.Adil dalam pengertian keempat dinisbatkan kepada Allah. 4.Keadilan
berarti memelihara kewajaran dan kelangsungan eksistensi.170
Keadilan dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan aspek Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia dalam perspektif wahyu. Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam
170
. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhui atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,1966, , Hal. 114-116
134
kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 1711Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.Walhasil diskurusus tentang keadilan begitu panjang dalam lintasan sejarah filsafat hukum. Hal ini juga terjadi dalam filsafat hukum Islam dimana teori keadilan, atau sering juga disebut dengan teori maslahat,selalu menjadi topik yang tidak hentinya dikaji oleh para ahli filsafat hukum Islam (ushul fiqh), terutama pada saat membahas tentang persoalan maqashid tasyri‟atau maqashid syari‟ah172 Bahkan persoalan keadilan ini juga masuk dalam ranah teologi, terutama terkait dengan masalah keadilan ilahiyah dan tanggung jawab manusia yang memunculkan dua kelompok besar yaitu muktazilah dan asy‟ariyah. Penulis akan menguraikan tentang persoalan keadilan ini dari perspektif filsafat hukum dan Islam. Dalam perspektif filsafat hukum, Penulis hanya akan mengurai teori keadilan Aristoteles dan John Rawl. Sedangkan dalam perpektif filsafat hukum Islam, Penulis akan mengurai teori keadilan ilahiyah Muktazilah dan Asyariyah,dan teori maqasyid syariah sebagai cita keadilan sosial hukum Islam. Harapan penulis tulisan ini bisa menjadi
171
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis , Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239. 172 Kemaslahatan dan keadilan menjadi inti dari hukum Islam. Ini diwujudkan dengan banyaknya ayat al Quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan Diantaranaya , yaitu anNisaa‟:58; an-Nisaa‟:135; al -Maidah: 8;al-An‟aam:90; dan asy -Syura:15
135
alternatif argumentasi hukum para hakim pengadilan agama dalam menegakkan nilai-nilai keadilan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. 2.Teori Keadilan dalam filsafat hukum Teori- teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”1733 Terdapat macam macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori teori itu dapat disebut:teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice .
a. Teori keadilan Aristoteles Pandangan pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric . Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics , buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”174.Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.
173
Theo Huijbers,Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah , cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hal. 196. 174 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis , Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 24.
136
Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif , hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang -barang lain yang sama -sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distrbusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat175. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan 175
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis , Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 25
137
korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan
kepada
sipelaku.
Bagaimanapun,
ketidakadilan
akan
mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Keadilan
korektif
bertugas
membangun
kembali
kesetaraan
tersebut.Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.176 Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena ,berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundangundangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.177 b Keadilan sosial ala John Rawl s John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity Inti the difference principle , adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang 176
Carl Joachim Friedrich,Filsafat Hukum Historis, , Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004
hal 25 177
Carl Joachim Friedrich,Filsafat Hukum ,hal. 26-27
138
paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung Istilah perbedaan sosilekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip -prinsip utilitarisme, orang -orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenar kan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang -orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan jabatan yang terbuka bagi semua
139
orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.178 Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang - orang yang paling kurang beruntung.Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama , melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua ,setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
178
John Rawls,A Theory of Justice , London: Ox ford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,Teori Keadilan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
140
Ada 2 (dua) prisip keadilan Rowls, yakni equal liberty principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference
principle dan Equal opportunity principle, yang
akhirnya berjumlah 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari konstruksi pemikiran Original Position.
3.Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam a.Keadilan ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy‟ariah. Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah) Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu:mu`tazilah dan asy`ariyah.Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas,bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategorikategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar–yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak.Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan
141
kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis179. Pendirian Mu`tazilah tentu mendapat tentangan. Kaum Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Lebih realistis untuk mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil kehendak Nya, tanpa penjelasan atau pembenaran.Namun, penting untuk membedakan antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan gerakan–gerakan yang dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas,suatu fungsi yang, menurut Mu`tazilah, menentukan cara bertindak yang dihasilkan.Namun hanya Allah semata –mata yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa tindakan, suatu kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang menjadi kan seseorang sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab. Karenanya, tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau tidak, nilai-nilai tidak memiliki dasar
179
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah -Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan, 1994, hal. 154-155.
142
selain kehendak Allah yang mengenai nilai-nilai itu.180 Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikena sebagai subyektivisme teistis,yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah.Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran berisikan ayat -ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat -ayat yang dapat mendukung pandangan Asy`ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, AlQuran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi -implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia
181
, dan membuktikan tanggung jawab
manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa Al -Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para
180
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah -Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan, 1994 , hal.
1568. 181
Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976, Surat Asy Syam: 7
143
Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan: “Manusia adalah umat yang satu; maka Allah mengutus para Nabi,sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Ia menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”182 Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar - dasar natural - moral tingkah laku manusia di dalam Al -Quran. Ayat –ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama sama bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah perintah moral tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan -keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial,karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al-Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan -perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk “tampil dengan perbuatan -perbuatan baik”:Untuk tiap -tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah 182
Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976 ,Surat Al Baqarah: 213
144
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu),tetapi, (ia tidak melakukan demikian).Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian -Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah -lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”183 Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan –keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna.Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”184 Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal,manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang
183
Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976 ,Surat Al -maidah: 48 184 Departemen Agama RI.,Alqur‟an dan Terjemahnya,PT.Bumi Restu,Jkt, 1976 ,Surat Al-Baqoroh: 112
145
berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena AlQuran
mengakui
keadilan
teitis
dan
obyektif,
maka
mungkin
untuk
mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles – yaitu, suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial.Mengakui Aristoteles, para sarjana seringkali menyamakan keadilan Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak seperti pakar-pakar hukum natural yang memperhatikan hubungan keadilan dengan masyarakat, faqih –faqih memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim –alim tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan tujuan akhir dari wahyu Islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum –hukum islam yang suci (syari`ah).185 b.Maqashid syariah: cita keadilan sosial hukum Islam Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam filasafat hukum Islam adalah konsep maqasid at-tasyri' atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."186 Teori maslahat di sini
185
Mumtaz Ahmad (ed),Mas alah-Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan, 1994, hal.
157-162. 186 Muhammad S a'id Ramdan al-Buti,Dawabit al-Maslahah Islamiyah,(Beirut: Mu'assasah ar -Risalah,1977), hal.12.
fi as-Syariah al -
146
menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.187 Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut .Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah -perintah dan larangan-larangan-Nya.188 Kemudian alJuwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: yang masuk kategori dharuriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder),makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok dhruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.189 Dengan demikian pada prinsipnya alJuwaini membagi tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu dharuriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh
187
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. hal. 97. 188 Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al -Juwaini,Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: Daral-Ansar,1400 H),I:295. 189 Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al -Juwaini,Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: DaralAnsar,1400 H),hal. 923-930.
147
muridnya, al-Ghazali. Al-Ghazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan tema istislah.190Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.191Kelima macam maslahat di atas bagi al-Ghazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.192 Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara
hakiki
dalam
bentuk
menolak
mafsadat
dan
menarik
manfaat.193Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat.194 Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.195 Pembahasan tentang maqasid al-syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh alSyatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-syari'ah
190
Al-Gazali,al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412), hal.250 Al-Gazali,al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412 hal.251. 192 Al-Gazali,al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412 hal.251 193 Izzuddin ibn Abd al-Salam,Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam(Kairo: alIstiqamat,t.t),I:hal.9. 194 Izzuddin ibn Abd al-Salam,Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam(K airo: al-stiqamat,t.t),II , hal. 60 dan 62 195 Izzuddin ibn Abd al-Salam,Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam(K airo: al-stiqamat,t.t),II , hal. 60 dan 62 191
148
. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut196 ,maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.197 Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Ghazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta198 Konsep maqasid al-syari'ah atau maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad –abad sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan alGhazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.199 Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.200At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas
196
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II:hal.4. Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II:hal.4. 198 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II hal.5. 199 Nur A. Fadhil Lubis,Huk um Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan :Pustaka Widya sarana,1995),hal.34-35. 200 Nur A. Fadhil Lubis,Huk um Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan :Pustaka Widya sarana,1995),hal.34-35. 197
149
Alquran,sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia.201Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.202 Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'ah Islam dicanangkan demi
kebahagiaan
manusia,
lahir
-batin;
duniawi-ukhrawi,
sepenuhnya
mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi,telah membuat prinsip maslahat hanya sebagai jargon kosong, dan syari'ah yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.203 Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum . Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui cara qiyas . Akan tetapi, seperti diketahui,qiyas haruslah dengan illat , sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum,bukan hukum itu sendiri. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan204.Tidak mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi dingin, suatu wajah fiqh yang
201
Najmuddin at-Tufi,Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. 1954. alMaslahat fi at-Tas yri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi,Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal.46. 202 Najmuddin at-Tufi,Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. 1954. alMaslahat fi at-Tas yri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi,Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal.48. 203 Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat ....", hal. 94. 204 Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995., hlm.94-95
150
secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.205 Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal-hal yang zanni , yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus-menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama, definisi tentang maslahat, keadilan, dalam konteks ruang dan aktu nisbi dimana kita berada; kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita maslahat -keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma maslahat -keadilan, seperti dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersangkutan. Perbedaan antara maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang bersifat "sosial-obyektif".Maslahat yang bersifat individual subyektif, adalah maslahat yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat independen, dan terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam maslahat kategori ini, karena sifatnya yang sangat subyektif, yang berhak menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya tentu saja adalah pribadi bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang berhak menentukan apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh seseorang.206 Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak 205
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995 , hlm.96. 206 Masdar F. Mas'udi,”Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995 , Hal..99
151
memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, di mana kita merupakan bagian daripadanya, itulah hukum tertinggi yang mengikat.Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan-ketentuan legal-normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), kedudukannya adalah sebagai material yang juga dengan logika maslahat sosial yang obyektif, bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang subyektif,masih harus dibawa untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga permusyawaratan. Apabila kita berhasil membawanya sebagai bagian dari kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai hukum yang secara formal-positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal memperjuangkannya sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang –orang yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya bersifat moral-subyektif, tidak bisa sekaligus formal-obyektif. Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekaligus norma hukum yang bersumber padanya" pada ijma' lembaga syura, atau keputusan lembaga parlemen dalam terma ketatanegaraan modern, bukan tidak ada kelemahannya. Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga syura,parlemen, ternyata hanya merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam, yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi rakyat manusia di mana pun mereka berada. Yakni, bagaimana
152
mereka bisa mengusahakan tumbuhnya satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat-secara langsung atau melalui wakilnya dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya perihal tata-kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan keadilan207 Konstruksi nalar Islam tentang hukum dan keadilan merepresentasikan pandangan yang mengaitkan keadilan dengan kebenaran. Bertindak adil adalah bertindak secara benar. Mencari keadilan sama dengan mencari kebenaran. Kebenaran adalah representasi dari kehendak Tuhan kepada manusia yang dijabarkan melalui al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Keadilan substansif dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan kehendak pembuat syara‟ (Allah) terhadap manusia, baik kehendak tersebut dipahami melalui deduksi logis (kaedah lughawiyyah),deduksi analogis (qiyas), atau deduksi dari kaedah-kaedah umum syariah (maqasid syari‟ah).208 Pada akhirnya, keadilan mengacu pada upaya hakim untuk menemukan kebenaran dan memberikan hukum jika ada pelanggaran yang tidak ada aturan tegasnya
secara
formal.Hal
tersebut
adalah
bentuk
dari
keadilan
prosedural.Keadilan prosedural adalah aspek ekternal hukum, tempat keadilan substantif direalisasikan. Tanpa adanya keadilan secara prosedural, keadilan substantif hanya akan menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas
207
Masdar F. Mas'udi, " Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah" Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995 , Hal..99 208 Abdul Wahhab Khallaf, 1978, Ushul Fiqh. Beirut: Dar al-Qalam, Hal. 105-112.
153
masyarakat. Meskipun demikian, selain keadilan, nilai kepastian dan kemanfaatan hukum juga penting untuk dipertimbangkan dalam penegakkan hukum.209 Dalam bahasa Arab ,kata keadilan (adl) berarti lurus, konsisten, berimbang dan patut210. Keadilan dalam bahasa Arab berkaitan erat dengan hukum sehingga keadilan juga dimaknai “ wadl‟u syai‟in ala mahalih”211 menempatkan sesuatu pada tempatnya atau i‟th al mar‟i maa lahu wa akhdza maa alayh” memberikan apa yang menjadi milik seseorang dan mengambil darinya apa yang menjadi haknya.212 Dari uraian di atas ,dapat dipahami bahwa keadilan berhubungan dengan kebahagiaan dan pemenuhan hak seseorang dengan cara yang dapat dibenarkan oleh masyarakat dan oleh peraturan yang telah dibuat bersama. Keadilan yang demikian itulah yang digunakan untuk menelisik ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang telah menetapkan hak janda atau duda untuk memperoleh hak atas separo dari harta bersama dan hak pemeliharaan anak yang ditentukan dengan tetap menjunjung tinggi kepentingan anak . Pengkajian tentang keadilan sama dengan nilai-nilai tinggi hukum Islam , ia lebih luas dari ketentuan-ketentuan normatif , ia inheren dalam setiap norma/pasal dan dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak ada
209
. Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum , namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda s atu dengan yang lainnya , sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut.(Spannungsverhaltins).Lihat Theo Huijbers,1993, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta :Kanisius,Hal. 161. 210 Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia,Universitas Yarsi,Jakarta,1999,hal.28. 211 Moch,Hashem Kamali,Freedom,Equality and justice in Islam,Ilmiah Publisher,Sdn.Bhd Kuala Lumpur,1999,hal..140. 212 Wahbah al Zuhaily,Al Fiqh Al-Islamy wa Adilatuhu,juz IX,Dar al Fikr al Nu‟ahir, Beirut,1997,hal..271.
154
sumber dan hukumnya. Kajian keadilan berkait erat dengan studi filosofis yang melihat hukum lebih dalam , lebih luas dari sekedar teks undang-undang atau pasal. Yurisprudensi Islam menghasilkan satu konsep besar filosofis hukum yang memayungi dan memberi pengertian terhadap pola kerja hukum Islam yang konsisten pada tujuan.Konsep tersebut adalah maslahah.Istilah maslahah dalam kajian hukum Islam dipakai dalam dua pengertian, yaitu maslahah mursalah dan maslahah sebagai maqasid syari‟ah.Maslahah menurut pengertian pertama (maslahah mursalah) adalah salah satu upaya menggali hukum dengan didasarkan kepada pertimbangan kebaikan umum.Maslahah mursalah sebagai sebuah metode penggalian hukum mula-mula diasosiasikan
dengan mazhab Maliki, namun
dalam perkembangannya metode maslahah digunakan secara luas untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk ekplisitnya dari Alquran dan hadis. Pengertian maslahah sebagai maqasid syari‟ah dikembangkan oleh alJuwayni213 yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali dan mencapai puncaknya dalam pemikiran as-Syathibi.Maslahah dalam pengertian maqasid syari‟ah menekankan kepada tujuan-tujuan esensial yang ingin dicapai oleh hukum Islam. Tujuan-tujuan esensial syariah tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu memelihara kepentingan manusia yang bersifat primer (dharury), 213
Al-Juwayni membagi maslahah menjadi lima tingkatan. Pertama, dharury, yaitu kebutuhankebutuhan mendasar bagi manusia. Kedua, al-hajat al-ammah (kebutuhan umum), yang sebenanya hampir sama dengan dharury tetapi dari tingkat kebutuhan masih di bawah dharury. Ketiga, mukarromah, yaitu hal-hal yang terkait dengan keutamaan, seperti kebersihan.Keempat, hampir sama dengan yang ketiga dengan prioritas lebih rendah dari yang ketiga. Tingkatan keempat mencakup hal-hal yang patut dipuji/dihargai, seperti mencatat kontrak dan pembebasan budak.Kelima, tingkatan yang sebenarnya kurang jelas dan hanya didefinisikan sebagai hal-hal yang tidak termasuk dalam empat tingkatan sebelumnya.Contohnya adalah ibadah fisik murni. Lihat dalam Muhammad Khalid Masud, 1997, Shatibi‟s Philoshopy of Islamic Law, Delhi: Adam Publisher, Hal. 138
155
sekunder (hajjy) dan suplementer (tahsiny). Kepentingan manusia yang bersifat primer tercakup dalam al-kulliyah al-khamsah, yaitu memelihara agama (hifdzud diin), memelihara jiwa (hifdzun nafs), memelihara akal (hifdzul „aql), memelihara keturunan/kehormatan (hifdzun nasl) dan memelihara harta (hifdzul mal). Rumusan tersebut dipandang berasal dari nilai-nilai ajaran hukum Islam.214 Hubungan antara maslahah dan keadilan memang tidak mudah dipahami apabila hal tersebut tidak dihubungankan melalui aspek teologis yang membangun paradigma hukum Islam.Kalangan Mu‟tazilah mengajukan kebaikan umum sebagai inti ajaran hukum Islam, yang di dalamnya mengandung nilai keadilan dan maslahah sekaligus. Akan tetapi, meskipun diakui sebagai sesuatu yang dikandung hukum Islam, keadilan sebagai sebuah pembahasan hukum akan sulit dijumpai kitab-kitab ushul fiqh. Ushul fiqh (yurisprudensi Islam) memberikan petunjuk mengenai hubungan Tuhan dengan manusia, posisi Tuhan sebagai pemberi hukum dan berbagai kaedah yang menjabarkan bagaimana kehendak Tuhan dalam Alquran dan penjelasan Nabi dipahami. Keadilan dalam penjelasan tersebut
masuk
dalam kategori
hukum
substantif.Keadilan didefinisikan dalam sudut pandang teologis, hubungan Tuhan dengan manusia bersifat vertikal.Allah sebagai Maha Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan keadilan hakiki. Manusia harus selalu menemukan keadilan dan kebenaran yang dianugerahkan Tuhan melalui proses ijtihad. Prinsip keadilan meniscayakan penggunaan rasio untuk membuat perbandingan antara satu kasus yang tidak diterangkan oleh Firman Tuhan atau sabda Nabi dengan 214
Muhammad Khalid Masud, Shatibi‟s Philoshopy of Islamic Law, Delhi: Adam Publisher,, 1997,Hal. 152
156
kasus lain yang telah memiliki legitimasi hukum. Dengan cara itu, hukum Islam berkembang dan menjangkau kasus-kasus hukum yang lebih luas berdasarkan prinsip persamaan. Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama dan pemeliharaan anak. Sebenarnya konsep harta bersama dalam hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara tegas menyebutkan hukum harta bersama baik dalam Al-Qur‟an maupun hadis. Hal ini merupakan ranah ijtihad bagi ulama yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad
atau
yang
dikenal
dengan
istilah
mujtahid.
Mujtahid
dapat
mengembangkan payung besar keadilan dan nilai-nilai filosofis sebagai panduan dalam memutus perkara yang tidak ada sumber hukumnya. Di dalam hukum Islam ada beberapa teori yang dapat dipakai dalam kaitannya upaya mencari pemecahan terhadap persoalan baru yang belum jelas akan nash yang mengaturnya atau upaya penemuan hukum yang harus dilakukan terhadap permasalahan yang masih samar yang membutuhkan kejelasan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat . Dan di antara teori –teori tersebut adalah seperti teori masalahat.teori perubahan hukum , teori hukum responsif , dengan penjelasan sebagai berikut :. a. Teori Masalahat : Teori mașlahat dapat digunakan sebagai teori aplikasi untuk mengetahui manfaat komulasi perkara perceraian dengan pemeliharaan anak dan harta bersama dalam beracara di pengadilan Agama.
Tentu saja tidak dapat
mengabaikan penggunaan teori hukum Islam yang juga telah digunakan oleh
157
kalangan pemikir sebelumnya. Diantara tokoh-tokoh ulama dan pemikir muslim yang telah memperkenalkan teori mașlahah Imam al-Syatibi, al-Ghazali, Najamuddin Al-Tufi dan A. Wahab Kholaf. Teori masşlahah diperkenalkan oleh Imam al-Syathibi, yang dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam yang banyak menjelaskan teori mashlahah dalam karyanya, al-muwāfaqat, melalui konsep tujuan hukum syara` (maqashid al-syari`ah). Perumusan tujuan syari`at Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum (mașhlahah al-ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum syari`ah yang paling utama dan sekaligus menjadi șālihah li kulli zaman wamakan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya). Imam al-Syathibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syari`at yang bersifat dharuriyyah, hajjiyyah, dan tahsiniyah dan berisikan lima asas hukum syara` yakni: (a) memelihara agama, (b) memelihara jiwa, (c) memelihara keturunan, (d) memelihara akal, dan (e) memelihara harta.215 Sepanjang eksistensi peradilan Agama tersebut mampu menjamin bagi tercapainya tujuan-tujuan hukum syara`, maka kemashlahatan menjadi tujuan akhir. Teori mashlahah yang diperkenalkan al-Syatibi dalam konsep maqashid alsyari`ah ini tampaknya masih relevan untuk menjawab segala persoalan hukum dimasa depan, termasuk penerapan nilai-nilai filososfis pasal 97 dan pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam
dalam penyelesaian perkara perceraian
yang
dikumulasikan tersebut dalam putusan Pengadilan Agama Cilacap.
215
Al-Syathibi, al-Muawafaqat fi Usul al-Syari`ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), Juz II, hal.7.
158
Al-mașhlahah menduduki posisi yang sangat penting dalam menetapkan hukum, berkenaan dengan karena harta bersama
kasus harta bersama di Pengadilan Agama, oleh
adalah tidak terdapat dalam fikih
termasuk pembaharuan hukum Islam di Indonesia melalui
klasik dan hal ini Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap “mașhlahah” yang bertentangan alQur`an, Sunah, ijma` adalah batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap kemashlahatan yang sejalan dengan syara` harus diterima untuk dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam. Dengan pernyataan ini al-Ghazali ingin menegaskan tidak ada hukum Islam yang kontra dengan kemashlahatan, atau dengan kata lain tidak satupun akan ditemukan hukum Islam yang menyengsarakan dan membuat mudārat (kerugian) umat manusia. Berdasarkan teori ini, penulis berpendapat bahwa penerapan komulasi perkara perceraian dengan pemeliharaan anak dan harta bersama di pengadilan Agama hendaknya membawa kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya umat Islam pencari keadilan di Pengadilan Agama. Maslahah menurut Najamuddin al-Tufi sebagaimana ia telah menulis syarah empat puluh hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Nawawiy. Ketika sampai kepada hadis ketiga puluh dua yaitu sabda
Rasulullah saw
., ال ضشس ٔال ضـشاس
beliau merasa kesulitan dalam mencarahnya, kemudian beliau mendapatkan inspirasi terhadap dalil syar`i yang berkaitan dengan hukum dan posisi
159
pemeliharaan mashlahat dalam hadis ini. Beliau dalam mensyarah hadis ini memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama terdahulu.216 Najamuddin al-Tufi memberi keterangan bahwa hadis ini mengindikasikan penafsiran mashlahat dan mafsadat secara syar`i. itu pula sebabnya bahwa posisi hadis ini menurutnya harus lebih diutamakan dari dalil-dalil syar`i lainnya.217 Bagi al-Tufi tujuan Syari`at adalah kemaslahatan, sehingga segala bentuk mashlahat (didukung atau tidak didukung oleh teks wahyu) harus dicapai tanpa memerincinya. Menurutnya segala persoalan kehidupan manusia prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila suatu pekerjaan tersebut mengandung kemaslahatan bagi manusia, maka harus dikerjakan.218 Konsep mashlahat yang dibangun oleh Najamuddin al-Tufi memiliki perbedaaan dengan pandangan jumhur ulama. Pemikiran al-Tufi tentang mashlahat yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh ketika itu. Ada 4 (empat) perinsip yang dianut oleh al-Tufi yang membuat ia berbeda pandangan dengan ulama lainnya. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (kemudaratan), khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Karenanya akal dapat menentukan kemaslahatan dan kemudaratan, namun kemaslahatan itu harus mendapat dukungan dari nash atau ijmak, baik bentuk, sifat, maupun jenisnya. Akan tetapi, beliau membatasi kemandirian akal itu dalam hal mu`amalah (interaksi sosial) dan
216
Abdul Wahhab Khallaf, Masâdir al-Tasyri` al-Iaslamiy fi mâlanassa fihi (Cet. III; alKuwait: Dar al-Qur`an, 1392 M), hal.105. 217 Abdul Wahhab Khallaf, Masâdir al-Tasyri` al-Iaslamiy fi mâlanassa fihi (Cet. III; alKuwait: Dar al-Qur`an, 1392 M),, hal. 109. 218 Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. I., Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999), hal. 326-332.
160
adat istiadat. Ia melepaskan ketergantungan pada nash baik buruknya kedua bidang masalah itu; b. Maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Untuk itu kehujjahan maslahat tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahat itu didasarkan pada akal semata; c. Maslahat hanya berlaku pada masalah muamalah dan adat kebiasaan. Adapun maslahah ibadah dan ukuranukuran yang ditetapkan syara` (seperti shalat zuhur empat rakaat, puasa selama 30 hari, dan tawaf itu dilakukan 7 kali), tidak termasuk obyek kajian maslahat, karena masalah-masalah seperti ini merupakan hak Allah semata; d. Maslahat merupakan dalil syara` paling kuat. Karenanya, ia juga mengatakan apabila nash atau ijmak bertentang dengan maslahat, maka didahulukan maslahat dengan cara takhsis nash tersebut dan penjelasan hukum (bayan).219 Contoh penerapan teori maslahat dalam permasalahan pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian antara suami isteri yang telah memiliki harta bersama yaitu
bahwa sekalipun di dalam nash tidak disebut secara rinci
namun ternyata harta bersama yang di dapat suami isteri selama dalam perkawinan mengandung masalahat yaitu bagi kepentingan suami isteri yang bercerai.Dengan pemmbagian harta bersama pasca perceraian secara adil akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak terutama untuk kehidupan mereka selanjutnya. Dan dengan memperhatikan besarnya andil masing-masing suami isteri dalam perolehan harta bersama tersebut akan membawa kemaslahatn bagi keduanya karena dengan demikian tidak akan terjadi ketimpangan.Begitu pula bila ternyata suami isteri punya andil yang sama dalam perolehannya, maka harta
219
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Cet. V. Jakarta: PT Intermasa, 2001), hal. 1147.
161
bersama tersebut secara maslahat dibagi dua sama besarnya, masing-masing mendapat separo dari harta bersama tersebut , hal ini sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. b.Teori Perubahan Hukum Perubahan hukum dan perubahan sosial adalah sebuah keadaan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Perubahan hukum dalam suatu negara dapat mempengaruhi perubahan sosial di masyarakat. Sebaliknya, perubahan social di masyarakat dapat membawa terjadinya perubahan hukum dalam suatu negara. Atas dasar tersebut, perubahan hukum tentang acara penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama dengan mengkumulasikan perkara perceraian dan pembagian harta bersama dan pemeliharaan anak dan penerapan nilai-nilai filosofisnya dalam putusan pengadilan agama adalah suatu hal yang membawa kemaslahatan bagi masyakat pencari keadilan. Dalam hal ini penulis mengangkat teori perubahan hukum yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziayyah. Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar di abad pertengahan dan juga pemikir hukum Islam yang banyak menjelaskan teori perubahan hukum Islam dalam karyanya, I`lam alMuwaqqi`ien. Menurut Ibn Qayyin al-Jauziyyah, aplikasi prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam di masyarakat hendaknya koheren dengan perubahan hukum Islam sesuai dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat muslim itu sendiri. Logika semacam ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan: merubah suatu hukum hendaknya disesuaikan dengan situasi, kondisi, waktu dan tempatnya serta
162
merujuk kepada tujuan hukum Islam yang meniadakan kemudharatan dan mendahulukan kemaslahatan .220 Contoh aplikatif teori ini dalam kaitannya dengan persoalan pemeliharaan anak pasca perceraian suami isteri. Bahwa pada dasarnya anak yang belum mumayyiz maka hadlanahnya jatuh kepada ibu mengingat ibu adalah pendidik pertama dan utama, tentunya dengan segala syarat yang harus terpenuhi. Namun bila terjadi ternyata karena perubahan sosialnya hingga menjadikan ibu itu kurang baik dalam akhlaknya maka tentunya akan menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim yang memutus perkaranya. Demi mengingat kepentingan anak maka hak hadhanah anak tersebut bisa jadi berubah menjadi jatuh kepada suami bila suami tersebut memenuhi syarat . c.Teori Hukum Responsif Teori ini dipopulerkan oleh Philippe Nonet dan Philipp
Selznick dalam
bukunya „Law and Society in Transition: toward Responsive Law: Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan tipe hukum responsif sebagai tahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negara dapat menyesuaikan sendiri kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga masyarakat untuk 220
Ibnu Qayyim al-Jauziayyah, I`lam al-Muwaqqi`in, (Qairo: Maktabah al-Kulliyyah alAzhariyyah, 1980, Vol.III), hal.3.
163
memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu . 4.Teori Penemuan Hukum a. Ijtihad Wahyu yang diturunkan oleh Allah, ada kalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu. Namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum (tertentu) yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath), kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan al-Sunnah (qauliyah, fi‟liyah, dan taqriyah). Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad SAW hidup hanya dua yaitu, al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW., meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadangkala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalanpersoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu berijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalahmasalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad. Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma‟ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat
164
Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma‟ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma‟ para sahabat. Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas penetapan hukum jatuh ke tangan generasi tabi‟in kemudian tabi‟tabi‟in dan seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalanpersoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur‟an, al-Sunnah dan ijma‟ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur‟an, al-Sunnah dan ijma‟ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam menggali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; istihsan (Imam Hanafi), maslahah-mursalah atau istislah (Imam Malik), dan lain sebagainya. b.ISTIHSAN Istihsān merupakan salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsān dalam arti bahasa (lughāwī), yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik. Tetapi dalam pengertian
165
istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan istihsān itu.221 Istihsān menurut bahasa adalah menganggap sesuatu baik. Menurut istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan.222 Definisi tersebut merupakan secara umumnya yang kemungkinan banyak ulama sepakat. Namun, di sisi lain ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Sebagaimana Ibn Subkhi dalam kitab Jam‟u al-Jawami‟ yang dikutip oleh Kutbuddin Aibak memberikan dua rumusan definisi tentang istihsan,223 yaitu: ُّاط اقٕٖ يٛاط انٗ قٛعذٔل عٍ ق “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama)”. م انٗ انعادة نهًصهحتٛعذٔل يٍ انذن “Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.” Dari definisi kedua tersebut, untuk definisi pertama ada kesamaan dengan definisi sebelumnya, namun definisi kedua ada pihak yang menolaknya. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat kebiasaan itu baik karena berlaku
221
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 150. 222 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kaidah Hukum Islam, terj. Faiz el-Muttaqin, Cet. I (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 104. 223 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), ., hal. 151.
166
seperti itu pada masa Nabi Muhammad SAW. atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya baik dalam bentuk nash maupun ijma‟. Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti. Pada intinya istihsan tersebut, menyikapi status hukum yang selanjutnya yang masih ada kecenderungan terkait hukum awal dengan menentukan dengan cara berbeda, yaitu dengan mengunggulkan qiyas khafi, maslahah, al-Qur‟an atau Sunnah, atau pendapat kalangan ulamanya. Dari uraian di atas, paling tidak istihsan ada dua macam dan dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: a.Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga macam,224 yaitu: 1).Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. 2).Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. 3)Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. b.Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 224
Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. . 308-310. Dalam hal ini Abdul Wahhab al-Khallaf membagi istihsan menjadi dua bagian, Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, loc. cit.
167
1).Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi 2).Istihsan yang sandarannya adalah nash 3).Istihsan yang sandarannya adalah urf (adat) 4)Istihsan yang sandarannya adalah dharurat c. ‘ADAT DAN ‘URF Kata urf berasal dari kata arafa, ya‟rifu sering diartikan dengan “al-ma‟ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sedangkan kata „adat berasal dari bahasa arab dari akar kata : „ada, ya‟udu mengandung arti takror (perulangan). Karena itu, sesuatu yang dilakukan satu kali, dua kali belum dikatakan sebagai adat. Kata urf pengertiannya tidak dilihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah lama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.225 Sedangkan perbedaan antara kata adat dan urf adalah kata adat menunjukkan suatu perbuatan yang sudah dikenal dan diakui oleh orang banyak tapi tidak ada penilaian baik dan buruk atas perbuatan tersebut. sedangkan urf adalah suatu perbuatan yang dikenal dan diakui oleh masyarat serta ada penilain baik pada perbuatan tersebut. 225
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pers, 2011, hal. 262.
168
Penyerapan „adat dalam Hukum; a. Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan. b. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau madarat) namun dalam pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh islam. c. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat dan tidak mengandung unsur manfaat. d.Adat atau urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara‟. d. ISTISHAB Istishab menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap tidak ada
169
hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang menetapkan hukumnya. 226 Apabila seseorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash dalam al qur‟an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar‟i yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah : “sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan” Hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli. Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar‟i atas hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibahah) adalah asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya. Apabila dikaitkan tentang pembagian harta bersama pasca perceraian dengan teori maslahat sangat berhubungan erat. Pembagian harta bersama sebagai implikasi dari perceraian mengandung kemaslahatan bagi suami isteri yang bercerai , walaupun tentang harta bersama di dalam nash tidak ada nash yang pasti yang mengaturnya. Dan untuk itu perlu adanya upaya penemuan hukum yaitu melalui ijtihad yang dilakukan oleh ulama maupun hakim yang menangani 226
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pers, 2011), hal. 260-261
170
perkara tersebut . Karena masalah harta bersama ini sebagaimana dikatakan oleh Satria Effendi bahwa dalam kultur masyarakat muslim berkaitan dengan harta yang diperoleh dalam sebuah pernikahan ada dua kultur yang berlaku, pertama; kultur masyarakat yang memisahkan antara harta suami dan harta isteri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan adanya istilah harta bersama. Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta yang diperoleh suami isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal dan mengakui adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim yang mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan dalam Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang perkawinan yang menyebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.227 Dan adat di masyarakat muslim itu yang mengakui adanya harta bersama bersama dalam perkawinan merupakan “urf yang berkembang dari waktu ke waktu.Dan hakim yang menangani perkara tentunya akan mempertimbangkan kemaslahatan bagi suami isteri yang bercerai sehingga dapat menjatuhkan putusan yang berkeadilan yang membawa kemaslahatan bagi pencari keadilan. Dengan adanya implikasi perceraian terhadap pemeliharaan anak bila dihubungkan dengan teori keadilan maupun teori maslahat sangat berperan penting juga dengan istihsan yang menjadi salah satu ijtihad yang dilakukan hakim di Pengadilan dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perceraian dan implikasinya terhadap pemeliharaan anak. .Pengadilan atau hakim akan 227
Satria Effendi, “Problematika ,Jakarta.Cet.2 hal. 60-61.
Hukum
Keluarga
Islam
Kontemporer”,
Kencana
171
memutus perkara perceraian dengan implikasinya dengan pemeliharaan anak tentunya akan mempertimbangkan terutama kemasalahatan anak, walaupun dalam masyarakat sebagian besar anak pasca perceraian orang tuanya cenderung ikut atau dalam asuhan ibunya, namun dalam kasus tertentu hakim dapat menentukan bahwa pemeliharaan anak jatuh kepada ayah anak tersebut .Di sini diperlukan keyakinan hakim dalam memutus yang tentunya didasari dengan pengetahuan tentang nash-nash yang berkaitan .Dengan tidak adanya nash
yang qoth‟i
terhadap suatu kasus atau masalah hukum , sedangkan masyarakat pencari keadilan membutuhkan kepastian hukum yang berkeadilan , maka hakim dalam memutus perkara
harus menggali nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai filosofis
yang berkembang di masyarakat , sedang hakim bisa keluar dari teks undangundang tetapi memuliakan penemunya.