BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III Titel 3 Pasal 1365-1380 KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah dirumuskan secara eksplisit. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur apabila seseorang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, maka ia dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pengadilan negeri. Jadi pasal tersebut bukan mengatur mengenai onrechtmatigedaad, melainkan mengatur mengenai syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum. 13 Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang melanggar hukum, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 14 Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pasal ini mempunyai sejarah yang panjang. Pada tahun 1910 HR Belanda menerbitkan suatu kaidah hukum tentang perbuatan melawan hukum. Arrest ini dikenal dengan nama Zuthpense Waterleiding Arrest HR 10 Juni 1910, No. 108
13
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1982, hal.18 14 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 81
13 Universitas Sumatera Utara
14
HR. Menurut arrest ini, perbuatan melawan hukum ialah perbuatan yang melanggar undang-undang (hukum yang tertulis). Peristiwanya sebagai berikut : 15 Di dalam sebuah gudang terdapat satu saluran air yang sewaktu-waktu dapat meledak. Keran utama dari saluran itu berada di tingkat atas gudang tersebut. Akan tetapi, penghuninya tidak mau menutup keran tersebut, sehingga gudang banjir air. Ketika penghuni tersebut digugat untuk ganti rugi, ia membela diri dengan pendapat bahwa undang-undang tidak mewajibkan untuk menutup keran utama sehingga ia tak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan pendirian ini dibenarkan Mahkamah Agung Negeri Belanda. Kaidah hukum ini merupakan ajaran sempit. Pada tahun 1919, Hoge Raad dalam Arrest yang dikenal dengan nama Arrest Lindenbaum-Cohen tahun 1919 HR 31 Januari, Hoetink No. 110 memperluas arti dari perbuatan melawan hukum menjadi sebagai berikut: 16 Berbuat atau tidak berbuat yang dengan kesalahannya melanggar hukum tertulis dan tidak tertulis, melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dengan kesusilaan (moral) ataupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya di dalam lalu lintas masyarakat yang diakui sebagai norma hukum. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut: 15
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku Ketiga, Penerbit: Citra Aditya, bandung, 2015, hal.146 16 Ibid, hal.147
Universitas Sumatera Utara
15
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian). 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Jika ditilik dari model pengaturan KUH Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagaimana juga dengan KUH Perdata di negara-negara lain dalam sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut: 17 a. Tanggungjawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. b. Tanggungjawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata. c. Tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Ada juga yang mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum, yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggungjawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat. Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: 1.) Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk 17
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hal.3
Universitas Sumatera Utara
16
meminta ganti rugi. 2.) Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, di mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan. 3.) Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. 4.) Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya. 5.) Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu'perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. 6.) Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. 7.) Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak, seperti juga kimia bukan suatu fisika atau matematika. 18 Mengenai istilah perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad), ada
18
Ibid, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
17
juga yang menyebutnya perbuatan melanggar hukum, 19 tetapi alasan yang tepat adalah perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum tentang perbuatan melawan hukum merupakan suatu mesin yang sangat rumit yang memproses pemindahan beban risiko dari pundak korban ke pundak pelaku perbuatan tersebut. Namun begitu, dalam praktek ternyata mesin tersebut terlalu rumit sehingga sering kali terasa berada jauh dari jangkauan keadilan.
B. Unsur-Unsur Dari Perbuatan Melawan Hukum Selanjutnya, untuk dapat dikatakan seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, menurut Mariam Darus Badrulzaman 20 mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Harus ada perbuatan. 2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. 3. Ada kerugian bagi korban 4. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. 5. Adanya kesalahan(schuld). Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan
19
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.2. selanjutnya mengatakan dalam bukunya ... mengenai perkataan “melanggar” dalam rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar hukum” saya akui, bahwa mungkin sekali ada kata-kata yang lebih tepat misalnya “perbuatan menyalahi hukum” atau “perbuatan bertentangan dengan hukum” akan tetapi justru oleh karena hal yang dimaksudkan disini, adalah bersifat “actief”, maka saya rasa, perkataan “melanggar” adalah paling tepat. Terserah pada khalayak ramai untuk memutuskan soal ini. 20 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, cet.2, PT.Alumni, Bandung, 2006, hal.146
Universitas Sumatera Utara
18
hukum tersebut, yaltu sebagai berikut: Ad.1. Harus ada suatu perbuatan Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap
perbuatan
melawan
hukum,
tidak
ada
unsur ; "persetujuan atau kata sepakat" dan tidak ada juga unsur "causa yang diperbolehkan" sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. 21 Ad.2.
Perbuatan tersebut melawan hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Berdasarkan
putusan Mahkamah Agung Belanda (hoge raad) sebelum tahun 1919 mengartikan perbuatan melawan hukum itu sebagai: “suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri” Rumusan ini harus diperhatikan hak dan kewajiban hukum berdasarkan undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan undangundang, dengan demikian, melanggar hukum sama dengan melanggar undang-undang (onwet matig) dengan tafsiran sempit itu, banyak
21
Munir Fuady, Op.Cit., hal.10
Universitas Sumatera Utara
19
kepentingan orang dirugikan tetapi tidak menuntut apa-apa. 22 Sejak tahun 1919 unsur perbuatan melawan hukum diartikan seluasluasnya. Pada tahun 1919 Mahkamah Agung Belanda (hoge raad) memberikan putusan yang terpenting dalam bidang hukum perdata dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen atau yang dikenal dengan “Lindenbaum-Cohen”. Lindenbaum menggugat Cohen supaya membayar ganti rugi dengan alasan bahwa Cohen telah merugikannya dengan cara tidak patut telah membujuk seorang pekerja perusahaan percetakan M.Lindenbaum & co. supaya membocorkan rahasia perusahaannya dengan memberikan hadiah dan janji kepada pekerja itu, sehingga pekerja itu memberikan keterangan yang diperlukannya. Lindenbaum merasa dirugikan dan akhirnya menggugat Cohen berdasarkan perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata. Putusan 31 Januari 1919 Hoge Raad memutuskan “membatalkan putusan “Gerechtschof Amsterdam dengan pertimbangan bahwa perbuatan Cohen melawan hukum (onrecht-matig), sedangkan perbuatan melawan hukum, adalah : “Berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap hati-hati sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.” 23 Sejak tahun 1919 unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut: 24
22
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
hal.144 23 24
Ibid, hal.146 Munir Fuady, Op.Cit. hal.11
Universitas Sumatera Utara
20
a. b. c. d.
Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, atau Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goedezeden), atau e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Ad.3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku Salah satu syarat yang lain dari perbuatan melawan hukum adalah adanya kesalahan dari pelaku, jika dilihat kembali dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua faktor penting dari perbuatan melawan hukum, yaitu adanya faktor kesalahan dan kerugian. Kesalahan adalah perbuatan dan akibat akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada diri si pelaku. Pasal 1365 KUHPerdata kesalahan dinyatakan sebagai pengertian umum, dapat mencakup kesengajaan maupun kelalaian. Menurut H.F Vollmar, bahwa untuk adanya kesalahan ada pertanyaan sebagai berikut: 25 a. Kesalahan dalam arti subjektif atau abstrak, yaitu apakah orang yang bersangkutan umumnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu? b. Kesalahan dalam arti objektif atau konkrit,yaitu apakah ada keadaan memaksa (overmacht) atau keadaan darurat (noodtoestand). Dalam hal ini,orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, namun karena ada keadaan memaksa maka tidak ada kesalahan yang dipertanggungjawabkan. Agar dapat dikenakan Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar
pada
pelaku
haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggungjawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. 25
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994,
hal.82
Universitas Sumatera Utara
21
Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggungjawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal tersebut tidaklah didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undang-undang lain. Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur "kesalahan" (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimanakah cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 26 1. Ada unsur kesengajaan, atau 2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan - pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. Timbul pertanyaan dalam hal ini, yakni apakah perlu dipersyaratkan unsur "kesalahan" di samping unsur "melawan hukum" dalam suatu perbuatan melawan hukum, apakah tidak cukup dengan unsur "melawan hukum" saja. Untuk menjawab pertanyaan ini, berkembang 3 (tiga) aliran sebagai berikut: 27 a) Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melawan hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Oven. b) Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja Sebaliknya, aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan,
26 27
Munir Fuady, Op.Cit., hal.12 Ibid., hal.13
Universitas Sumatera Utara
22
sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan /'hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur "melawan hukum" terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di
negeri
Belanda
aliran
ini dianut
rfiisalnya oleh Van Goudever. c) Aliran yang menyatakan diperlukan,
baik unsur melawan hukum
maupun unsur kesalahan Aliran ketiga ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Meyers. Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum, baik kesalahan dalam arti "kesalahan hukum" maupun "kesalahan sosial" Dalam hal ini
hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu
kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu pergaulan masyarakat. Sikap yang demikian kemudian mengkristal dalam istilah hukum yang disebut dengan standar " manusia yang normal dan wajar” (reasonable man). Ad.4. Adanya kerugian bagi korban Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil,
Universitas Sumatera Utara
23
yurispruensi. juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang. 28 Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa pada setiap bentuk perbuatan melawan hukum yang menimbulkan suatu kerugian adalah wajib untuk mengganti kerugian, namun bentuk ganti rugi atas perbuatan melawan hukum tersebut tidak ditentukan secara tegas oleh undangundang, untuk itu para sarjana menganalogikan hal ini dengan menggunakan ketentuan ganti rugi yang disebabkan karena ingkar janji, yaitu Pasal 12431252 KUHPerdata. 29 Kerugian materiil menurut Moegni disebut juga kerugian kekayaan sedangkan kerugian immateril disebut juga kerugian idiil, kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang diharapkan diterimanya. Sementara kerugian idiil adalah kerugian moriil atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup. 30 Ad.5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah "fakta" atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan 28
Ibid Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal.108 30 M.A. Moegni, Op.Cit., hal.76. 29
Universitas Sumatera Utara
24
hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai "but for" atau "sine qua non". Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep "sebab kirakira" (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang, untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya. 31
C. Doktrin Kewajiban (Duty Rules) Dalam Perbuatan Melawan Hukum Seseorang pelaku perbuatan melawan hukum (dengan unsur kelalaian) dapat dimintakan tanggungjawabnya secara hukum, maka pada orang tersebut harus ada suatu kewajiban (duty), yakni kewajiban kehati-hatian yang merupakan kewajiban untuk bertindak hati-hati (duty of care) terhadap orang lain dan kewajiban kehati-hatian tersebut dilanggar, sehingga kemudian timbullah perbuatan kelalaian tersebut. 1. Ciri khas manusia wajib untuk bertindak hati-hati Salah satu ciri khas mahusia adalah adanya kewajiban untuk bertindak hati-hati dalam pergaulannya antar sesama manusia. Ini pula misalnya yang membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan. Adanya unsur kewajiban kehati-hatian (duty of care) merupakan syarat
31
Munir Fuady, Op.Cit.,hal.14
Universitas Sumatera Utara
25
agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan suatu kelalaian, yakni merupakan suatu kewajiban untuk bersikap tindak terhadap korban (dari perbuatan melawan hukum) dengan tingkat kepedulian seperti seandainya jika seorang manusia normal yang wajar (reasonable man) akan melakukannya dalam situasi yang serupa. Seperti telah pernah disebutkan bahwa kriteria manusia normal yang wajar tersebut banyak kekecualiannya. Misalnya kekecualian sebagai berikut: 32 a. Kebutaan pelaku b. Keadaan mental pada umumnya. c. Kegilaan pelaku. d. Keterbelakangan mental pelaku. e. Pelaku adalah anak di bawah umur, f. Kebiasaan masyarakat. g. Keadaan emergensi h. Antisipasi pelaku terhadap perbuatan dari pihak lain. i. Kurang kesadaran/mabuk dari pelaku. Dalam banyak hal, hukum memberlakukan orang mabuk seperti orang sadar biasa. j. Pengetahuan umumnya. Orang ahli atau spesialis memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari orang biasa, sepanjang keahlian-nya itu berhubungan dengan tindakan yang dilakukannya. Karena itu, tanggung jawab profesional seorang ahli seperti lawyer, dokter, dokter spesialis, akuntan, insinyur, memiliki derajat kehati-hatian (degree of care) yang lebih tinggi, dan ini termasuk ke dalam wilayah hukum yang disebut
32
Ibid, hal.88
Universitas Sumatera Utara
26
dengan malpraktek, yang dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum mempunyai kaidah-kaidah yuridis tersendiri. k. Sifat dari perbuatan. Misalnya, seorang pengangkut manusia (seperti sopir, masinis, nakhoda, atau pilot) mempunyai derajat kepedulian (duty of care) yang lebih besar dari orang biasanya terhadap orang yang diangkut itu. 2. Kegagalan untuk berbuat Banyak menjadi perdebatan dari segi hukum apakah ada kewajiban bagi seseorang untuk membantu orang lain yang berada dalam kesusahan. Misalnya, seorang guru renang yang melihat saja orang lain yang sedang tenggelam tanpa memberi bantuannya, apakah guru renang tersebut karenanya telah melakukan perbuatan melawan hukum? Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa secara umum (dengan berbagai kekecualian), orang yang pandai berenang tersebut tidak mempunyai
kewajiban hukum untuk
menolong orang yang sedang tenggelam tersebut. Tetapi,
yang ada
hanyalah kewajiban moral. Karena meskipun pandai berenang, orang tersebut oleh hukum hanya diangap sebagai orang yang berada di dekatnya (mere bystander), yang memang tidak mempunyai kewajiban hukum secara perdata. Demikian juga seorang dokter yang tidak mau memberikan pertolongan pertama terhadap korban kecelakaan yang terjadi persis di depan tempat prakteknya. Hukum tentang ketiadaan kewajiban bagi orang berdiri dekat korban seperti ini berlaku secara universal, meskipun gema berlakunya lebih kencang di negara-negara Anglo Saxon, terutama di Amerika Serikat.
Universitas Sumatera Utara
27
Akan tetapi, dalam ilmu hukum ada juga variasi lain terhadap hukum tentang orang yang berdiri dekat korban tersebut: Misalnya di Negara bagian Vermont (Amerika Serikat), sejak tahun 1973 sudah ada undangundang
yang
bernama
Undang-Undang
tentang
Kewajiban
untuk
Memberikan Pertolongan dalam Keadaan Bahaya (Duty to Aid the Endangered, Act), yang antara lain menyatakan bahwa jika seseorang mengetahui ada orang dalam keadaan bahaya secara fisik, dia mempunyai kewajiban hukum untuk menolongnya secara wajar (reasonable), kecuali dalam hal-hal sebagai berikut: 33 a. Pertolongan tersebut menimbulkan bahaya bagi si penolongnya. b. Pemberi pertolongan tidak dalam melakukan kewajiban hukum lain yang tidak dapat ditunda atau dielakkan. c. Pihak korban tidak sedang dalam pertolongan orang lain Pelanggaran terhadap undang-undang ini dikenakan hukuman denda sebesar USA $100 (seratus dolar Amerika Serikat). Namun demikian apabila dia tidak menolongnya dengan baik, dia tidak dapat dimintakan tanggungjawab perdata, kecuali: 1) Apabila penolongnya melakukan kelalaian berat (gross negligence). 2) Apabila penolongnya berharap untuk menerima imbalan materil. Akan tetapi, jika orang yang tidak melakukan apa pun tersebut mempunyai kewajiban secara hukum untuk melakukannya, maka oleh hukum dia digolongkan sebagai kelalaian. Misalnya, jika seorang sopir kendaraan umum tidak membunyikan klakson mobilnya atau tidak menghidupkan
33
Ibid, hal.89
Universitas Sumatera Utara
28
lampu tanda belok, sehingga terjadi tabrakan, hal tersebut jelas merupakan suatu perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian. Sebab, sopir mempunyai kewajiban membunyikan klakson dalam keadaan-keadaan tertentu atau menghidupkan lampu tanda belok ketika hendak membelokkan mobilnya. 34 3. Penderitaan mental akibat dari perbuatan melawan hukum Salah satu hal yang khas dalam perbuatan melawan hukum yang tidak terdapat dalam kontrak adalah adanya pergantian kerugian berupa sejumlah uang kepada pihak korban yang telah mengalami penderitaan mental. Ini berarti ada suatu kewajiban bagi seseorang untuk tidak menimbulkan penderitaan mental bagi orang lain. Karena itu, ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental (mental disturbance) merupakan ganti rugi yang biasanya berupa pemberian sejumlah uang, yang diberikan kepada korban dari perbuatan melawan hukum disebabkan korban teiah menderita tekanan mental. Ganti rugi seperti ini dalam praktek sering disebut dengan istilah ganti rugi "immateril", sebagai lawan dari ganti rugi biasa yang disebut dengan ganti rugi "materi". Ganti rugi immateril ini merupakan pemberian sejumlah uang, yang jumlahnya tidak dapat diperhitungkan secara sistematis, tetapi lebih merupakan kebijaksanaan hakim, dengan syarat bahwa jumlah ganti rugi tersebut haruslah "wajar". Kewajaran dari jumlah ganti rugi tersebut bergantung kepada banyak hal, antara lain sebagai berikut: 35 a. Beratnya beban mental yang dipikul oleh korban. 34 35
Ibid, hal.90 Ibid, hal.96
Universitas Sumatera Utara
29
b. Status dan kedudukan dari korban. c. Situasi dan kondisi di mana perbuatan melawan hukum terjadi. d. Situasi dan kondisi mental dari korban. e. Situasi dan kondisi mental dari pelaku. f. Latar belakang dilakukannya perbuatan melawan hukum. g. Jenis perbuatan melawan hukum, yakni apakah kesengajaan, kelalaian atau tanggung jawab mutlak. Ganti rugi immateril ini hanya dapat dibebankan terhadap kerugian karena perbuatan melawan hukum, dan tidak layakditerapkan atas kerugian yang disebabkan oleh wanprestasi kontrak. Contoh-contoh dari tekanan mental karena perbuatan melawan hukum adalah: 1) Rasa sakit. 2) Rasa malu. 3) Tekanan jiwa/stres. 4) Jatuh nama baik 5) Rasa takut yang berlebihan 6) Dan lain-lain. Untuk mencapai suatu keadilan, maka ada beberapa pedoman yuridis dalam hal memperkenankan klaim terhadap ganti rugi terhadap kerugian berupa tekanan mental (immateril). Pedoman yuridis tersebut yaitu. sebagai berikut: 36 (a) Untuk menghindari munculnya gugatan dibesar-besarkan, maka ganti
36
Ibid, hal.97
Universitas Sumatera Utara
30
rugi lebih cenderung diberikan kepada kerugian berupa tekanan mental yang diikuti juga dengan gejala fisik. Misalnya karena stres, kandungan seseorang menjadi gugur. (b) Ganti rugi karena timbulnya tekanan mental lebih dapat diterima terhadap perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan atau kelalaian berat. (c) Jika tekanan mental karena melihat korban dari pihak lain (bystander's emotional distress), maka tekanan mental yang melihatnya lebih dapat dipertimbangkan jika orang tersebut berada dekat dengan korban, atau jika antara korban dengan orang yang melihatnya ada hubungan khusus.
D. Tanggung Jawab Karena Perbuatan Melawan Hukum. Penjelasan tentang perbuatan melawan hukum tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab karena perbuatan melawan hukum adalah merupakan tanggungjawab karena adanya kesalahan dari subyek hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain tersebut, maka timbul pertanggungjawaban dari subyek hukum yang bersangkutan atas kesalahannya, sehingga ia harus mengganti kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya. Di dalam hukum perdata, pertanggungjawaban kesalahan dapat meliputi : 37 1. Setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain, maka harus ada ganti kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan itu (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
37
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
hal.274
Universitas Sumatera Utara
31
2. Seseorang tidak hanya bertanggungjawab terhadap kerugian yang diakibatkan dari perbuatan yang disengaja, tetapi juga harus bertanggung jawab karena kelalaiannya atau sikap kurang hati-hati (pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) Berkenaan dengan lingkup hukum perdata, seseorang atau badan hukum, tidak hanya bertanggungjawab terhadap kerugian yang diakibatkan dari perbuatannnya sendiri, tetapi juga harus bertanggungjawab karena perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya dan benda yang berada dalam pengawasannya (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Di dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, suatu tanggungjawab atau kewajiban untuk membayar ganti rugi adalah bilamana ada kesalahan atau kewajiban untuk membayar ganti rugi yaitu bilamana ada kesalahan atau seseorang telah bersalah baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian atau kealpaan, namun di samping itu dikenal pula dalam hukum apa yang dinamakan dengan tanggungjawab “mutlak” atau “strict liability” yang menganut
prinsip
menyimpang dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu liability based on fault, meskipun pada dasarnya gagasan dari tanggungjawab mutlak ini secara umum tidak jauh berbeda dengan gagasan dari tanggungjawab sebagaimana diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penyimpangan ini terletak pada saat pemberian ganti rugi diperoleh dari pelaku, setelah pihak yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dan beban pembuktian ada pada orang yang merasa dirugikan. Tanggungjawab mutlak atau pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah suatu tanggungjawab hukum yang
Universitas Sumatera Utara
32
dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak dan si pelaku dapat dimintakan tanggungjawab mutlak yang diutamakan adalah fakta kejadian oleh korban dan tanggungjawab oleh orang yang diduga sebagai pelaku dimana kepadanya tidak diberikan hak untuk membuktikan tidak bersalah. 38
38
Ibid, hal.275
Universitas Sumatera Utara