41
BAB II PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN PADA PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pengertian dan Sejarah Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintah sendiri.56 Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses menyejahterakan rakyat”, sedangkan menurut Thoha, otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya pemerintah di bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakannya.57 Selain itu, pengertian otonomi daerah menurut Fernandes adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan daya guna dan
56
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 81. 57 Ibid, hal. 82.
30
Universitas Sumatera Utara
42
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.58 Pengertian otonomi daerah sering disalahgunakan atau dipertukarkan penggunaannya dengan istilah desentralisasi. MP Walker III menyebutkan bahwa so complete
was
the
confusion
that
among
many
Indonesians…..politicians,
administrators, lawyers, and teachers…the two words otonomi and desentralisasi were generally used interchangeably.59 Secara singkat pengertian desentralisasi mengandung pengertian adanya pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya (daerah yang dibentuk) oleh pemerintah pusat.60 Sementara itu, otonomi daerah adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintah pusat.61 Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada kata-kata
58
Ibid. Millidge Penderell Walker III, Administration and Local Government in Indonesia, Ph.D. Thesis, Berkley, University of Carolina, 1967, hal. 16 dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pasc asarjana, 1993, hal. 17. 60 Bhenyamin Hoessein, Ibid., hal. 12. 61 Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 18. 59
Universitas Sumatera Utara
43
“oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Moh. Hatta sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa dan aktivitas sendiri.62 Komponen pertama : wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu tersebut diperoleh dari pemerintah pusat melalui desentralisasi wewenang dan wewenang tersebut merupakan kekuasaan formal (formal power).63 Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidangbidang (gatra) kehidupan yang terliput dalam wewenang (scope of power) ditetapkan oleh pemerintah pusat (sebagai pihak yang memberi wewenang melalui desentralisasi) yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.64 Domain dan scope of power tersebut dapat berubah yang berakibat pada perubahan bobot wewenang (weight of power), yaitu misalnya pemerintah pusat dalam wilayah yang sama melaksanakan dekonsentrasi atau desentralisasi fungsional atau bahkan menarik kembali (resentralisasi) kewenangan dalam gatra kehidupan tertentu sehingga wewenangnya mengecil. Dapat juga terjadi wewenang tersebut membesar bila pemerintah pusat menambah penyerahan kewenangannya kepada daerah.65 Masih merupakan bagian dari komponen pertama, yaitu perubahan bobot wewenang tidak akan menimbulkan staat dalam Negara Indonesia. Penyerahan wewenang tersebut tidak meliputi wewenang untuk menetapkan produk legislatif 62
Ibid Harorl D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A Framework for Political Inquiry, forth printing, Yale University Press, New Haven, 1961, hal. 133, dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertai Program Pascasarjana, 1993, hal. 19. 64 Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 19. 65 Ibid. 63
Universitas Sumatera Utara
44
yang disebut secara formal dengan “undang-undang” dan wewenang yudikatif (rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian.66 Terdapat pula wewenang lain yang tidak diserahkan kepada daerah bentukan tersebut yang kemudian diatur secara tegas pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada Pasal 7 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat (1 dan 3). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal di luar pemerintahan pusat sebagai pengemban dan pelaksana wewenang penetapan kebijaksanaan yang tertuang dalam peraturan daerah. Lembaga-lembaga tersebut dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 diwujudkan dalam bentuk pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lembaga pemerintah daerah tersebut memiliki birokrasi daerah beserta birokratnya sebagai badan yang menyiapkan dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. Sebagai wujud pelaksanaan suatu kegiatan pemerintahan, daerah yang memiliki otonomi harus memiliki sumber keuangan dan dikelola secara terpisah dari keuangan pemerintah pusat untuk mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan daerahnya, terutama untuk tugas rutin dan tugas pembangunan.67 Komponen kedua dapat dilihat dari kemandirian daerah dari sisi pendapatan yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Bila pendapatan asli daerahnya (PAD) relatif besar dibanding dana yang didapat dari bantuan pemerintah pusat dalam bentuk Dana
66 67
Ibid. Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
45
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana-dana yang lain, daerah tersebut memiliki kemandirian yang relatif besar, dan demikian pula sebaliknya. Pengaturan otonomi daerah di Indonesia terletak pada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Cikal bakal sudah dimulai pada tahun 1903 dengan keluarnya Decentralizatie Wet. Pada tahun tersebut, Pemerintah Belanda menetapkan Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie68 (S. 1903/219 dan S. 1903/329) yang disebabkan oleh dorongan dari berbagai pihak dan faktor. Berdasarkan wet (undang-undang) tersebut dan peraturan pelaksanaannya, dibentuklah daerah otonom di wilayah gewest dan bagian gewest yang bercorak perkotaan yang disebut dengan gemeente. Pembentukan daerah otonom dan pelaksanaan pemerintahannya inilah yang mengawali hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di Indonesia.69 Kemudian, ketika Indonesia merdeka, mulailah masalah pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang yang terus berganti, dan terakhir pengaturannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Masing-masing undang-undang membawa nuansa tersendiri yang berhubungan erat dengan situasi dan tujuan negara pada saat itu, terutama masalah politik. Dalam menjalankan kebijaksanaan, menetapkan dan melaksanakan, daerah harus memiliki wewenang. H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang dapat dijelaskan sebagai 68
Sutandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal. 11 69 Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, CLGS-FHUI, Depok, 2007, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
46
keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenangwewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik,70 E. Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia melihat bahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari kekuatan (matcht, power) apabila diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit).71 Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.72 Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht) menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih lanjut Nicolai menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.73 Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
70
Stout H.D. De Betekenissen van de wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hal. 102 dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 40. 71 Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjajaran, Bandung, 1960, hal. 43. 72 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, hal. 79-80 73 Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
47
Daerah. Beberapa undang-undang yang mendahului Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Namun, konsep otonomi daerah yang diperkenalkan dalam undang-undang tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah dilaksanakan secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.74 Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab ini dalam tahap implementasinya lebih berkonotasi hak daripada kewajiban, dimana banyak memerlukan koordinasi dengan pemerintah pusat sehingga muncul kesan sentralistik. Berbeda dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan atas asas desentralisasi dalam upaya mewujudkan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.75 Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konsep otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya justru memunculkan “raja-raja kecil” di daerah sehingga mendesak dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.
74 75
Ibid, hal. 90. Ibid, hal. 91
Universitas Sumatera Utara
48
Saat ini, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memerhatikan keseimbangan hubungan antarpemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.76 Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
76
Sadu Wasistiono, Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah disampaikan pada Rakernas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
49
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.77 Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.78 Berdasarkan pengertian otonomi daerah dan wewenang yang telah diuraikan, otonomi daerah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah otonom yang diberikan oleh pemerintah pusat (melalui desentralisasi) untuk menjalankan hak, kewajiban, dan wewenang yang dimilikinya untuk mengatur rumah tangganya sendiri sehingga dapat meningkatkan daya dan hasil guna untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya dan melakukan pembangunan di daerahnya.
77 78
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi terinci disebut dengan dekonsentrasi. Pada dekonsentrasi tersebut wewenang untuk mengurus dilimpahkan oleh pemerintah pusat, tetapi wewenang pengaturannya masih tetap di tangan mereka. Harold Alderfer menyebutkan sebagai berikut. In deconcentration, it merely sets up administrative units or field stations, singly or in a hierarchy, separately or jointly, with orders as to what that should do it. No Major matters or policies are decided locally, no fundaental decisions taken. The central agency reservers’ all basic powers to itself. Local officials area strictly subordinate, they carry out orders.79 Dekonsentrasi menciptakan kesatuan administrasi atau instansi vertikal untuk mengemban perintah atasan. Kesatuan administrasi atau instansi vertikal tersebut merupakan bawahan dari pemerintah pusat sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh penerima pelimpahan kewenangan (daerah atau instansi vertikal) adalah atas nama pemberi pelimpahan kewenangan (pemerintah pusat) dalam wilayah yurisdiksi tertentu. Selain itu, di dalam dekonsentrasi juga tidak terdapat keputusan yang mendasar atau keputusan kebijaksanaan di tingkat daerah. Hal tersebut yang menyebabkan dekonsentrasi juga disebut sebagai “desentralisasi
administrasi”
(administrative
decentralization)
karena
dalam
79
Harold F. Aldelfer, Local Government in Developing Countries, Mc. Grian Hill Book Co, New York, 1964, hal. 176 dalam Dwi Andayani B, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertai, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2004, hal 62-63.
Universitas Sumatera Utara
51
dekonsentrasi wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabat di daerah merupakan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi. Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap beberapa istilah yang akan dibahas dalam bagian ini, berikut ini disajikan pengertian terhadap istilah-istilah di bawah ini.80 1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 5. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 80
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Op.cit, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
52
Sejumlah istilah tersebut menjadi istilah yang amat populer pada awal tahun 2000. Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam UndangUndang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam ayat (5) disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dalam
konteks
pertanahan,
ketentuan
ini
setidaknya
menimbulkan
ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran UUPA. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara tegas dinyatakan bahwa bidang tersebut harus dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran rakyat. Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
pelimpahan
kewenangan
dalam
otonomi
adalah
mengenai
bidang
pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.81 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan
81
Hutagalung, Tebaran Pemikiran, Op.cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
54
wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind. Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2 UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.82 Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
82
Indonesia, Undang-Undang Agraria, Op.cit, Pasal 14, bandingkan dengan Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Universitas Sumatera Utara
55
kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik, dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.83 Menurut rumusan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :84 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
83
Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN No. 4725, Penjelasan. 84 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Op.cit, Pasal 13.
Universitas Sumatera Utara
56
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara itu, urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Di samping itu, menurut rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi :85 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 85
Ibid, Pasal 14.
Universitas Sumatera Utara
57
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan pertanahan; 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara itu, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Undang-undang ini memang menyebutkan pelayanan pertanahan sebagai salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini muncul pertanyaan yaitu, bagaimana kriteria dan mekanisme pelayanan pertanahan dan bagaimana landasan konsepsinya terhadap pembagian urusan
Universitas Sumatera Utara
58
pemerintahan tersebut. Apakah serta merta menjadi kewenangan penuh dari pemerintah kabupaten/kota dengan menegasikan peran Badan Pertanahan Nasional. Untuk membahas Pasal 13 dan 14 undang-undang tersebut, perlu kita cermati ketentuan Pasal 10 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan. Dalam ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah, dengan menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Terhadap hal ini, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi :86 1. Politik luar negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter dan fiskal nasional; dan 6. Agama Dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan wajib pemerintah pusat tersebut, pemerintah dapat :87 1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
86 87
Ibid, Pasal 10 ayat (3) Ibid, Pasal 10 ayat (5)
Universitas Sumatera Utara
59
2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah; 3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini jika kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA yang mengatakan bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Penjelasan pasal ini semakin menyatakan bahwa kewenangan pertanahan sesungguhnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yang menyatakan bahwa soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atau desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan bidang pertanahan yang merupakan tugas pembantuan, pemerintah daerah dapat membentuk dinas pertanahan, dapat
Universitas Sumatera Utara
60
melaksanakan tugas pembantuan tersebut melalui struktur pemerintahan yang ada misalnya bagian hukum. Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana yang profesional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan, yang ada pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk perangkat pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup kantor wilayah BPN provinsi, kantor pertanahan kabupaten/kota diperbantukan kepada provinsi, kabupaten/kota yang bersangkutan dengan tetap berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya.88
C. Peraturan Terkait di Bidang Penyerahan Kewenangan Pertanahan Kepada Pemerintah Daerah 1. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan, dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
88
Boedi Harsono, 46 Tahun UUPA, Usaha Penyempurnaan yang Belum Selesai, Makalah disampaikan pada Pertemuan Tahunan Memperingati Hari Ulang Tahun UUPA, Jakarta, 14 September 2006, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
61
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah-langkah percepatan :89 1. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya dibidang pertanahan; 2. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi : a. Penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah daerah di seluruh Indonesia; b. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah yang dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment; c. Pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah; d. Pembangunan pemanfaatan
dan tanah
pengembangan melalui
sistem
pengelolaan informasi
penggunaan geografi
dan
dengan
mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional.
89
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, No. 34 Tahun 2003, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
62
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan
yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kewenangan tersebut antara lain : 1. Pemberian izin lokasi; 2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan; 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; 7. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; 8. Pemberian izin membuka tanah; 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. Untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.90 Berdasarkan kerangka kebijakan pertanahan nasional yang disusun oleh Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, disebutkan bahwa kebijakan pertanahan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :91
90
Ibid, Pasal 2. Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004, hal. v. 91
Universitas Sumatera Utara
63
1. Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsipprinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 2. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu “..bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Oleh karena itu, merupakan tugas negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah. 3. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan pelestarian lingkungan. 4. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara langsung maupun tidak dengan pertanahan. 5. Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam pengelolaan pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
64
6. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 5 ayat 1. Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut, arah kebijakan pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut :92 1. Reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, dengan rencana tindak : mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang memayungti keseluruhan peraturan perundangan sektoral lainnya; sinkronisasi seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan pertanahan; revisi atas seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; mengintegrasikan pelaksanaan serta menegakkan berbagi ketentuan perundangan-undangan pertanahan bagi semua pihak. 2. Pengembangan kelembagaan pertanahan, dengan rencana tindak : menentukan kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat pemerintahan; menentukan struktur kelembagaan pertanahan sesuai dengan kewenangan tersebut di atas; memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pelaksana pengelola pertanahan
dalam
upaya
mengefektifkan
pelayanan
kepada
masyarakat
sebagaimana dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah.
92
Ibid, hal vi
Universitas Sumatera Utara
65
3. Peningkatan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya, dengan rencana tindak : mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah; mengembangkan sistem informasi berbasis tanah yang terpadu dan komprehensif untuk mendukung proses percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpajakan tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas emua jenis hak atas tanah; penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 4. Pengembangan penatagunaan tanah dengan rencana tindak : mengembangkan mekanisme perencanaan tata guna tanah yang komprehensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip good governance (transparansi, partisipasi, dan akuntabel) mulai dari tingkatan nasional, regional, dan lokal; melaksanakan rencana tata guna tanah secara transparan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah maupun swasta; membangun mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah yang mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna pengelolaan tata guna tanah. 5. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah dengan rencana tindak : menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah untuk setiap level pemerintahan dan atau institusi; menentukan dan mengembangkan pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi, perubahan data
Universitas Sumatera Utara
66
menyangkut updating dan edit, serta penyajian informasinya; mengembangkan pola koordinasi teknis untuk pertukaran dan pemanfaatan data dari berbagai institusi yang mengumpulkan, menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi berbasis tanah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan informasi bagi semua pihak, mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komunikasi serta sumber daya manusia yang andal. 6. Penyelesaian sengketa tanah dengan rencana tindak; menyelesaian sengketa tanah secara
komprehensif;
membentuk
mekanisme
dan
kelembagaan
dalam
penyelesaian sengketa pertanahan sebagai upaya mengeliminasi berbagai gejolak sosial akibat sengketa; serta memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasuskasus struktural yang memiliki dampak sosial ekonomi dan politik yang sangat besar dengan cara yang berkeadilan. 7. Pengembangan sistem perpajakan tanah dengan rencana tindak; mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam distribusi aset tanah yang berkeadilan; menerapkan mekanisme distribusi pendapatan yang bersumber dari pajak tanah sebagai upaya mengefektifkan pengawasan atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya mendorong pemanfaatan tanah secara maksimal dan disinsentif bagi penguasaan tanah secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal. 8. Perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dengan rencana tindak : mengakui dan melindungi semua jenis hak atas tanah yang saat ini sudah dimiliki, baik oleh
Universitas Sumatera Utara
67
masyarakat individu, kelompok masyarakat (tanah ulayah), badan hukum tertentu, serta instansi pemerintah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memberikan jaminan kepastian hukum pola hubungan kelembagaan dalam penguasaan tanah. 9. Peningkatan akses atas tanah dengan rencana tindak : membuka akses yang adil kepada seluruh masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin, untuk dapat menguasai dan atau memiliki tanah sebagai sumber penghidupannya, melalui kegiatan landrefrom; mengaitkan kegiatan landreform dengan berbagai kegiatan pembangunan lainnya sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan, baik di pedesaan maupun di perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat miskin penerima tanah objek landreform dan masyarakat secara luas melalui program-program departemen atau instansi pemerintah terkait.
2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban di bidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan alat pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan
ini
menunjukkan
bahwa fenomena desentralisasi
bidang
pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi kenyataan
Universitas Sumatera Utara
68
karena pemerintah tetap mempertahankan keberadaan Badan Pertanahan Nasional sebagai badan yang secara nasional bertugas menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan. Di lain pihak, pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan model medebewind atau tugas perbantuan memperoleh pengaturannya dimana kedudukan Badan Pertanahan Nasional yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.93 Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi antara lain :94 1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; 2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; 3. Koordinasi kebijakan, perencanaan, dan program di bidang pertanahan; 4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; 5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; 6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; 7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; 8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
93
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Badan Pertanahan Nasional, Perpres No. 10 Tahun 2006, Pasal 2. 94 Ibid, Pasal 3.
Universitas Sumatera Utara
69
9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; 10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 11. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain; 12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; 15. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; 16. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; 17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; 18. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; 19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; 20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
70
Struktur Badan Pertanahan Nasional Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional 1. Kepala Badan Pertanahan Nasional Bertugas memimpin Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. 2. Sekretariat Utama Bertugas mengoordinasikan perencanaan, pembinaan dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Berfungsi : a. Pengoordinasian, sinkronisasi, dan integrasi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional b. Pengoordinasian perencanaan dan perumusan kebijakan teknis Badan Pertanahan Nasional. c. Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi, tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga Badan Pertanahan Nasional. d. Pembinaan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan data dan informasi, hubungan masyarakat dan protokol di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. e. Pengoordinasian penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas Badan Pertanahan Nasional. f. Pengoordinasian dalam penyusunan laporan Badan Pertanahan Nasional
Universitas Sumatera Utara
71
3. Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang survei, pengukuran, dan pemetaan. Berfungsi : a. Perumusan kebijakan teknsi di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan. b. Pelaksanaan survei dan pemetaan tematik c. Pelaksanaan pengukuran dasar nasional d. Pelaksanaan pemetaan dasar pertanahan 4. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah. Berfungsi : a. Perumusan kebijakan teknsi di bidang hak tanah dan pendaftaran tanah. b. Pelaksanaan pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah. c. Inventarisasi dan penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah. d. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah, pemerintah daerah, organisasi sosial keagamaan, dan kepentingan umum lainnya . e. Penetapan batas, pengukuran dan berpetaan bidang tanah serta pembukuan tanah. f. Pembinaan teknis Pejabat Pembuat Akta Tanah, Surveyor Berlisensi dan Lembaga Penilai Tanah.
Universitas Sumatera Utara
72
5. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengaturan dan penataan pertanahan. Berfungsi : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan pertanahan. b. Penyiapan peruntukan, persediaan, pemeliharaan dan penggunaan tanah. c. Pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan dan penggunaan tanah. d. Pelaksanaan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya. 6. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Berfungsi : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. b. Pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. c. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan d. Evaluasi dan pemantauan penyediaan tanah untuk berbagai kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
73
7. Deputi Bidang Pengkajian Penangananh Sengketa dan Konflik Pertanahan Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Berfungsi : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. b. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa dan konflik pertanahan. c. Penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum. d. Penanganan perkara pertanahan. e. Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya. f. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan. g. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku . 8. Inspektorat Utama Bertugas melaksanakan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Universitas Sumatera Utara
74
Berfungsi : a. Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan fungsional di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. b. Pelaksanaan pengawasan kinerja, keuangan dan pengawasan untuk tujuan tertentu atas petunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional. c. Pelaksanaan urusan administrasi Inspektorat Utama d. Penyusunan laporan hasil pengawasan Dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 diatur juga tentang Komite Pertanahan. Komite Pertanahan ini bertujuan untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan bidang pertanahan dan dalam rangka perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Adapun tugas Komite Pertanahan adalah memberikan masukan, saran dan pertim bangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Komite ini berjumlah paling banyak tujuh belas orang yang berasal dari para pakar di bidang pertanahan dan tokoh masyarakat. Dalam kebijakan pertanahan nasional, hal-hal yang menyangkut hukum, kebijakan, dan pedoman dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun keputusan Presiden menjadi tanggung jawab pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomro 25 Tahun 2000, yaitu mengenai :95 1. Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah; 2. Penetapan persyaratan landreform; 95
Hutagalung, Tebaran Pemikiran, Op.cit, hal. 74-76.
Universitas Sumatera Utara
75
3. Penetapan standar administrasi pertanahan; 4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; 5. Penetapan kerangka dasar kadastral nasional; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 diganti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, diatur tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan urusan pemerintahan
yang menjadi
kewenangan
pemerintah
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota. Dalam hal kebijakan pertanahan nasional, perlu ditambah sepanjang itu menyangkut hukum, pedoman dan kebijakan nasional yang secara rinci dapat diusulkan sebagai berikut.96 1. Pengaturan
penyelenggaraan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan
dan
pemeliharaan tanah. a) Perumusan kebijakan teknis pengembangan sistem informasi geografi guna kepentingan perencanaan penatagunaan tanah dan tata ruang. b) Perumusan kebijakan teknis di bidang koordinasi penyiapan rencana penatagunaan tanah dan tata ruang. c) Perumusan kebijakan teknis dan melakukan perpetaan penatagunaan tanah.
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
76
d) Perumusan kebijakan teknis dan melakukan pengendalian dan pengawasan penggunaan tanah. e) Penyelenggaraan
pengendalian
dan
pengawasan
serta
arahan
lokasi
pembangunan. 2. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. a) Pengaturan penguasaan, pengawasan, pengendalian, penetapan pedoman untuk melaksanakan objek landreform dan pemilikan tanah. b) Perumusan kebijaksanaan teknis serta pelaksanaan penataan penguasaan tanah partikelir, tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah-tanah bekas swapraja serta tanah negara lainnya. c) Perumusan
kebijakan
teknis
mengenai
pemanfaatan
tanah
negara,
pemanfaatan atas tanah pertanian dan perkotaan, pengendalian, pemanfaatan serta pengalihan hak atas tanah dan pelaksanaan konsolidasi tanah. d) Perumusan kebijakan teknis dan penetapan ganti rugi tanah partikelir, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, serta penyelesaian masalah tanah objek pengaturan penguasaan tanah. e) Penghimpunan, pengolahan, dan penyajian data serta melakukan dokumentasi dan pelaporan data penguasaan tanah. f) Penegasan tanah objek landreform g) Ganti rugi tanah kelebihan maksimum/absentee dan tanah partikelir. h) Penetapan kebijakan konsolidasi tanah.
Universitas Sumatera Utara
77
3. Pengurusan hak atas tanah a) Penetapan kebijakan pemberian hak atas tanah b) Penetapan
kebijakan
dan
penyelenggaraan
pemberian,
perpanjangan,
perpindahan, pelepasan dan pembatalan hak guna usaha perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan dan perikanan serta mengelola data hak guna usaha. c) Penetapan
kebijakan
dan
penyelenggaraan
pemberian,
perpanjangan,
peralihan, pelepasan, dan pencabutan hak guna bangunan serta mengolah data hak guna bangunan. d) Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian di atas 5.000 m2 e) Pemberian hak guna usaha di atas 200 Ha f) Pemberian hak guna bangunan di atas 15 Ha g) Pemberian hak pakai nonpertanian di atas 15 Ha h) Penyelesaian sengketa hukum di bidang pertanahan dan mengolah data penyelesaian sengketa hukum di bidang pertanahan. i) Penetapan kebijakan pengadaan tanah bagi instansi pemerintah. j) Penetapan dan penyelenggaraan pemberian hak pengelolaan tanah instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD, pemerintah daerah. 4. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum dengan tanah a) Pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Nasional (KDKN) dan pemetaan dasar.
Universitas Sumatera Utara
78
b) Pembatalan sertifikat c) Penanganan masalah tanah lintas sektoral d) Pengukuran dan pemetaan batas provinsi e) Pengukuran dan pemetaan tanah ulayat f) Penyelenggaraan informasi pertanahan nasional g) Penetapan wilayah pendaftaran tanah sistematik h) Pengukuran bidang tanah yang luasnya lebih dari 1.000 Ha i) Penyediaan blanko sertifikat dan akta tanah j) Penyelenggaraan ujian PPAT dan pengangkatannya k) Pemindahan PPAT dan surveyor berlisensi l) Standardisasi sistem, prosedur dan biaya pendaftaran tanah. m) Pembinaan teknis sumber daya manusia pendaftaran tanah n) Standardisasi penilaian tanah o) Penyelenggaraan ujian surveyor berlisensi dan pengangkatannya. Di samping itu, kewenangan pemerintah pusat termasuk juga dalam pembinaan, pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pedoman, bimbingan dan supervisi yang dapat dilakukan melalui instansi vertikal yang menangani masalah pertanahan.
Universitas Sumatera Utara