BAB II PENJELASAN UMUM MEDIASI DAN MEDIATOR A. Mediasi 1.
Pengertian Mediasi Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi
akhir-akhir ini. Para ilmuwan berusaha mengungkap secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur ilmiah melelui riset dan studi akademik. Mediasi dapat dimaknai secara etimologi (bahasa) maupun secara terminologi (istilah), berikut ini adalah pemaknaan mediasi yang diberikan oleh para ahli. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.1 Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).2 Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa, tujuannya yaitu membantu dua pihak yang bersengketa tersebut untuk menghasilkan suatu kesepakatan agar keduanya sama-sama merasa puas. 1 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. Ke-1, h.2. 2 Lorna Gilmour, Penny Hand, dan Cormac McKeown (eds.), dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.2.
17
18
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan mediasi sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.3 Pengertian mediasi menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti mengandung
tiga
unsur
penting.
Pertama,
mediasi
merupakan
proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. Dari beberapa pengertian mediasi secara etimologi di atas dapat disimpulkan bahwa penjelasan mediasi lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang netral atau sering disebut dengan mediator, fungsinya sebagai penghubung antara dua pihak atau lebih yang berperkara dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan guna mencapai kepuasan bersama. Penjelasan ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang lainnya seperti arbitrase, negosiasi, dan lain-lain. Penjelasan mediasi dari segi etimologi ini dipandang dari sifatnya masih sangat umum dan belum bisa menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, pengertian mediasi juga perlu dikemukakan secara terminologi (istilah). Berikut ini adalah pengertian mediasi secara terminologi yang diungkapkan oleh sejumlah ahli resolusi konflik. 3
Tim Penyusun Pusat Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
h. 569 .
19
Cristopher Honeyman dan Nita Yawanarajah mendefinisikan mediasi sebagai berikut: Mediation is a process in which a third-party neutral assist in resolving a dispute between two or more other parties. It is a non-adversarial approach to conflict resolution. The rule of the mediator is to facilitate communication between the parties, assist them in focusing on the real issues of the dispute, and the generate option that meet the interest or need of all relevant parties in the an effort to resolve the conflict.4 J. Folberg dan A. Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi. Kedua ahli ini menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bersengketa dan dibantu oleh pihak yang netral. Mediator dapat mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa, dan para pihak dapat pula mempertimbangkan tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam penyelesaian sengketa.5 Jika alternatif penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh mediator dapat diterima oleh kedua pihak maka mediasi tersebut berhasil membawa para pihak mencapai kesepakatan tanpa ada pihak yang dimenangkan ataupun yang dikalahkan (win-win solution). Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersangkutan untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Dari pengertian ini Goopaster jelas menekankan bahwa mediasi adalah proses negosiasi, di mana 4
Christopher Honeyman dan Nita Yawanarajah, Mediation, 2003, http://www.beyondintractability.org/Essay/Mediation/, h. 1. (diakses pada 31 Mei 2011). 5 J. Folberg dan A. Taylor dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 2.
20
pihak ketiga melakukan dialog dengan pihak bersengketa dan mencoba mencari kemungkinan penyelesaian sengketa tersebut sehingga dapat mencapai perjanjian atau kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Said Faisal dalam Pengantar Mediasi mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi sebagai berikut, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi.6 Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 dalam Pasal 1 ayat (7) mendefinisikan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pengertian mediasi ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga unsur penting yang saling terkait satu sama lain. Ketiga unsur tersebut yaitu: ciri mediasi, peran mediator dan kewenangan mediator. Dalam ciri mediasi tergambar bahwa mediasi berbeda dengan bentuk penyelesaian sengketa lainnya, terutama dengan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti arbitrase. Dalam mediasi seorang mediator berperan membantu para pihak yang bersengketa dengan melakukan identifikasi persoalan yang dipersengketakan, mengembangkan pilihan, dan mempertimbangkan alternatif yang dapat ditawarkan kepada para pihak untuk 6
Said Faisal dalam Sugiri Permana, Mediasi dan Hakam dalam Tinjauan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 5. www.Badilag.net, (Diakses pada 31 Mei 2011)
21
mencapai kesepakatan. Mediator dalam menjalankan perannya hanya memiliki kewenangan dan peran menetukan dalam kaitannya dengan isi persengketaan, ia hanya menjaga bagaimana proses mediasi dapat berjalan sehingga menghasilkan kesepakatan (agreement) dari para pihak. Sedangkan dalam arbitrase, seorang arbitrator mempunyai wewenang untuk memutus perkaranya dan sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.7 2.
Model-Model Mediasi8 Untuk menemukan peran mediator dalam melihat posisi sengketa dan peran
para pihak dalam upaya penyelesaian sengketa, Lawrence Boulle, seorang Proffesor dalam Ilmu Hukum dan Directur Dispute Resolution Centre-Bond University, menyebutkan ada empat model mediasi yaitu: 1. Settlement Mediation dikenal sebagai mediasi kompromi, merupakan mediasi yang mempunyai tujuan utama untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam mediasi bentuk ini, tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berstatus tinggi, sekalipun tidak terlalu ahli dalam proses dan teknik-teknik mediasi. Adapun peran yang dapat dimainkan oleh mediator adalah menentukan bottom lines dari disputan dan secara persuasif mendorong kedua belah pihak bertikai untuk sama-sama menurunkan posisi mereka ke titik kompromi.
7
JG. Merrils, Internasional Dispute Settlemet, Cambridge UP, 1995, h. 105, dalam buku Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. Ke-2, h.41. 8 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 31-35.
22
Model settlement mediation mengandung sejumlah prinsip antara lain: - Mediasi dimaksudkan untuk mendekatkan perbedaan nilai tawar atas suatu kesepakatan. - Mediator hanya terfokus pada permasalahan atau posisi yang dinyatakan para pihak. - Posisi mediator adalah menetukan posisi bottom line para pihak dan melakukan berbagai pendekatan untuk mendorong para pihak mencapai titik kompromi. - Biasanya mediator adalah orang yang mempunyai status yang tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi. 2. Facilitative Mediation, yang juga disebut sebagai mediasi yang berbasis kepentingan (interest-based) dan problem solving yang bertujuan untuk menghindarkan para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dari hak-hak legal mereka secara kaku. Dalam model ini mediator harus ahli dalam proses mediasi dan menguasai teknik-teknik mediasi, meskipun penguasaan materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting. Dalam hal ini mediator harus dapat memimpin proses mediasi dan mengupayakan dialog yang konstruktif di antara para pihak yang bersengketa, serta meningkatkan upaya-upaya negosiasi dan upaya kesepakatan.
23
Model fasilitative mediation, mengandung sejumlah prinsip antara lain: - Prosesnya lebih terstruktur. - Penekanannya lebih ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak yang berselisih. - Mediator mengarahkan para pihak dari positional negotiation ke interest based negotiation yang mengarahkan pada penyelesaian yang saling menguntungkan. - Mediator mengarahkan para pihak untuk lebih kreatif dalam mencapai alternatif penyelesaian. - Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan. 3. Transformative Mediation, juga dikenal sebagai mediasi terapi dan rekonsiliasi. Mediasi model ini menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan di antara para pihak yang bersengketa, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar resolusi konflik dari pertikaian yang ada. Dalam model ini mediator harus dapat menggunakan terapi dan teknik profesional sebelum dan selama proses mediasi serta mengangkat isu relasi/hubungan melalui pemberdayaan dan pengakuan. Model
transformatif
atau
lebih
mengandung sejumlah prinsip antara lain:
dikenal
dengan
theurapic
model
24
- Fokus pada permasalahan yang lebih komprehensif dan tidak terbatas hanya pada penyelesaian sengketa tetapi juga rekonsiliasi antara para pihak. - Proses negosiasi yang mengarah pada pengambilan keputusan tidak akan dimulai, bila masalah hubungan emosional para pihak yang berselisih belum diselesaikan. - Mediator berfungsi mendiagnosis penyebab konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis dan emosional, hingga para pihak yang berselisih dapat memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan mereka. - Mediator diharapkan lebih memiliki kecakapan dalam konseling dan juga proses dan teknik mediasi. - Penekanannya lebih ke terapi, baik tahapan pramediasi atau kelanjutannya dalam proses mediasi. 4. Evaluative Mediation, yang juga dikenal sebagai mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal dari para pihak yang bersengketa dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Peran yang bisa dijalankan oleh mediator dalam hal ini adalah memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para pihak dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan dipaparkan.9
9
David Spencer dan Michael Brogan dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 35.
25
Model evaluasi (evaluative model) juga mengandung sejumlah prinsip: - Para pihak berharap bahwa mediator akan menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mengarahkan penyelesaian sengketa ke suatu kisaran yang telah diperkirakan terhadap masalah tersebut. - Fokusnya lebih tertuju pada hak melalui standar penyelesaian atas kasus yang serupa. - Mediator harus seorang ahli dalam bidang yang diperselisihkan dan dapat juga terkualifikasi secara legal. Mediator tidak harus memiliki keahlian dalam proses dan teknik mediasi. - Kecenderungan mediator memberikan jalan keluar dan informasi legal guna mengarahkan para pihak menuju suatu hasil akhir yang pantas dan dapat diterima oleh keduanya. 3.
Upaya Penyelesaian Sengketa Selain Mediasi Upaya penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
salah satunya yaitu mediasi. Oleh karena itu perlu adanya pembedaan antara mediasi dengan upaya penyelesaian sengketa lainnya. Berikut ini adalah berbagai proses penyelesaian sengketa selain mediasi yaitu sebagai berikut:10 1. Arbitrase, suatu sistem di mana prosedur dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat. 10
Sugiri Permana, Mediasi dan Hakam dalam Tinjauan Hukum Acara Pengadilan Agama, h. 5-6, www.Badilag.net, (diakses pada 31 Mei 2011).
26
2. Case Appraisal/Neutral Evaluation, suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada. 3. Fasilitasi, suatu proses yang digunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak. 4. Konsiliasi, proses yang sama dengan mediasi namun diatur oleh undangundang. 5. Litigasi, di mana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan. 6. Mini Tria, proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masingmasing organisasi. 7. Provati Judging, suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk menaati keputusan tersebut. 8. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.11
11
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet. Ke-2, h. 26.
27
B. Mediator 1.
Pengertian Mediator dan Hakim Mediator a. Pengertian Mediator Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para
pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan. Meditor menjembatani pertemuan para pihak, melakukan negosiasi, menjaga dan mengontrol proses negosiasi, menawarkan alternatif solusi dan bersama-sama para pihak merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Meskipun mediator terlibat dalam menawarkan solusi dan merumuskan kesepakatan, bukan berarti ia yang menentukan hasil kesepakatan. Keputusan akhir tetap berada di tangan para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah membantu mencari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama menyelesaikan sengketa yang mereka alami. Dalam pedoman pelaksanaan mediasi Pengadilan Agama se-Wilayah Jawa Tengah mediator dijelaskan sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara litigasi.12 Sedangkan dalam PERMA No. 01 Tahun 2008 mediator dijelaskan sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
12
PTA Semarang, Pedoman Pelaksanaan Mediasi Pengadilan Agama Sewilayah Jawa Tengah, 2010,
h. 3.
28
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.13 Disebutkan dalam Black’s Law Dictionary bahwa: “The mediator has no power to impose a decision on the parties”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Mark E. Roszkowsky yang menyebutkan bahwa: “A mediation generally has no power to impose a resolution”, yang artinya di dalam penyelesaian sengketa para pihaklah yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan bentuk penyelesaiannya.14 Jadi dapat disimpulkan bahwa mediator adalah pihak ketiga yang netral15 yang berfungsi menengahi, mendorong dan membantu para pihak mencari penyelesaian terhadap sengketa yang tengah mereka hadapi, dengan cara mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa sehingga mediator harus mempunyai keterampilan khusus agar mediasi yang dilakukannya dapat berhasil. b. Pengertian Hakim Mediator Proses penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dapat dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu mediasi yang dijalankan oleh mediator yang berasal dari lembaga penyedia jasa pelayanan mediasi, dan mediator yang berasal dari anggota 13 Lihat: Mahkamah Agung Republik Indonesia, PERMA No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 1 Ayat (6). 14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Lihat dalam D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Cet. Ke-1, Bandung: Alfabeta, 2011, h. 89. 15 Netral di sini maksudnya adalah tidak memihak pada salah satu pihak yang bersengketa, oleh karena itu mediator tidak boleh berasal dari salah satu keluarga pihak yang bersengketa, karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi keberpihakan terhadap pihak yang lebih dekat dan menghilangkan netralitas dalam mencari opsi bagi penyelesaian sengketa. (Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif……, h. 64).
29
masyarakat. Bila mediasi dijalankan oleh lembaga formal seperti pengadilan maupun lembaga penyedia jasa mediasi, maka pengangkatan mediator mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan para pihak sebagai bentuk pengangkatan mediator dalam masyarakat, agak berbeda dengan pengangkatan mediator pada lembaga pengadilan maupun lembaga penyedia jasa pelayanan mediasi. Dalam Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia No. 02 Tahun 2003 disebutkan bahwa mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah mendapat sertifikat mediator. ketentuan ini menegaskan bahwa pihak luar dapat menjadi mediator di pengadilan dengan syarat yang bersangkutan memiliki sertifikat sebagai mediator. Hakim yang bertindak sebagai mediator adalah hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan perkara yang akan dimediasikan, baik sebagai ketua majelis maupun sebagai anggota majelis.16 Hakim yang bertindak sebagai mediator dan pihak luar yang memiliki sertifikat mediator diangkat oleh ketua pengadilan sebagai mediator. Oleh karenanya, setiap pengadilan memiliki daftar mediator beserta riwayat hidup dan pengalaman kerja mediator dan juga mengevaluasi daftar tersebut setiap tahun.17
16
Artinya bahwa hakim mediator yaitu seorang yang berprofesi sebagai hakim dan ia bertindak sebagai mediator dalam sengketa para pihak, dengan syarat hakim tersebut bukan hakim yang sedang memeriksa dan menyidang perkara yang sedang dimediasikan, dan ia juga tidak mempunyai wewenang memutus perkara mediasi yang sedang ditanganinya, melihat kedudukannya pada saat itu adalah sebagai mediator bukan sebagai hakim, (Pasal 4 ayat (4) Perma No. 2 Tahun 2003). 17 Bunyi ketentuan Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2003.
30
Dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Pernyataan ini disampaikan hakim kepada para pihak pada sidang pertama. Ia meminta para pihak untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan maupun mediator di luar daftar pengadilan. Apabila para pihak memilih mediator dari daftar pengadilan maupun mediator yang berasal dari luar daftar pengadilan, maka ketua majelis akan membuat surat penetapan mediator. Bila para pihak tidak setuju dengan daftar mediator yang ada di pengadilan atau mediator dari luar pengadilan, maka ketua majelis dengan kewenangan yang ada menunjuk seorang mediator dari daftar mediator pada pengadilan tingkat pertama dengan suatu penetapan. Dari uraian di atas terlihat bahwa mediator pada pengadilan yang berasal dari bukan hakim diangkat oleh ketua pengadilan sebagai mediator. Ia dimasukkan dalam daftar mediator pada pengadilan tingkat petama. Para pihak yang bersengketa dapat memilih mediator dari daftar nama-nama yang tersedia di pengadilan, yang kemudian mediator ini baru dapat menjalankan kegiatan mediasi. 2.
Persyaratan Mediator Mengingat
peran
mediator
sangat
menentukan
efektivitas
proses
penyelesaian sengketa, maka ia harus memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
31
internal mediator dan sisi eksternal mediator.18 Sisi internal berkaitan dengan kemampuan personal mediator dalam menjalankan misinya menjembatani dan mengatur proses mediasi, sehingga para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang dapat mengakhiri persengketaan mereka. Sedangkan sisi eksternal berkaitan dengan persyaratan formal yang harus dimiliki mediator dalam hubungannya dengan sengketa yang ia tangani. Persyaratan mediator berupa kemampuan personal antara lain; kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Kemampuan personal ini erat kaitannya dengan sikap mental seorang mediator yang harus ditunjukkan dalam proses mediasi. Mediasi sebenarnya mempertemukan dua sikap mental yang berbeda dari dua pihak, berupa berbedanya kepentingan. Seorang mediator harus mempunyai sikap mental yang mampu mendekatkan perbedaan kepentingan para pihak ke arah suatu konsensus. Di samping persyaratan di atas, mediator harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, jelas, dan teratur, serta mudah dipahami para pihak dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Kalimat-kalimat yang dipakai mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi adalah kalimat yang tidak menimbulkan ambiguitas dan membuka peluang salah tafsir dari kedua belah pihak. Hal ini 18
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
60.
32
perlu dijaga oleh mediator, karena penggunaan bahasa yang keliru akan membawa kesulitan bagi dirinya dan para pihak dalam menjalani proses mediasi lebih lanjut. Kemampuan mediator menjalin hubungan antar personal dan keahlian menciptakan pendekatan merupakan syarat penting bagi seorang mediator. Kemampuan ini biasanya lahir dari keluwesannya bergaul dalam kehidupan sosial. Di samping itu, pengalaman melakukan negosiasi dan menyelesaikan sengketa di pengadilan juga ikut membantu kapasitas mediator dalam menjalankan kegiatannya. Pengalaman menyelesaikan konflik dan adanya sedikit pengetahuan tentang masalah yang dihadapi para pihak, akan cukup memperkuat kapasitas mediator, walaupun persyaratan yang terakhir ini tidak cukup signifikan bagi seorang mediator. Persyaratan di atas adalah persyaratan mediator dalam kaitannya dengan kemampuan interpersonal. Persyaratan ini tidak cukup bagi seorang untuk menjadi mediator, karena ia harus didukung oleh persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut terdiri atas;19 1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak; 2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
19
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Cet. Ke-1 (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 97.
33
3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan finansial, atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; 5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Dalam beberapa kasus hukum yang ditangani melalui jalur mediasi, peraturan perundang-undangan di Indonesia membuat syarat mediator begitu ketat seperti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Dalam PP tersebut ditentukan kriteria menjadi mediator pada lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yaitu; 1. Cakap melakukan tindakan hukum;20 2. Berumur paling rendah 30 tahun;21 3. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit lima tahun;
20
Pemuatan syarat cakap bertindak hukum sebetulnya tidak banyak bermanfaat, karena dalam prakteknya orang yang tidak cakap bertindak hukum hampir dapat dipastikan tidak mampu melakukan kegiatan mediasi. Kegiatan mediasi hanya dapat dijalankan oleh mereka yang memiliki sejumlah keahlian dan itu hanya dimiliki oleh mereka yang cakap bertindak hukum. 21 Mengenai umur mediator sebaiknya fleksibel dan tidak ditentukan batas minimal, karena banyak orang yang menguasai persoalan lingkungan hidup dan berpengalaman menjalankan mediasi yang berusia kurang dari 30 tahun, sehingga berlakunya persyaratan tersebut menutup jalan bagi mereka untuk melakukan mediasi. (Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional h. 67).
34
4. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan); 5. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Sedangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tidak memuat sejumlah persyaratan mediator. Dalam Pasal 1 butir 5 hanya disebutkan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Jika proses mediasi dilakukan di pengadilan, maka mediator dapat berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator. 3.
Peran Mediator Mediator memiliki peran yang menentukan dalam suatu proses mediasi.
Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator. Mediator berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antar para pihak. Dengan bantuan mediator, para pihak dapat membuat penilaian objektif terhadap persoalan mereka, sehingga mereka dapat bergerak ke arah negosiasi guna menemukan kesepakatan-kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa. Dalam praktek sering ditemukan sejumlah peran mediator yang muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut antara lain: 1. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak;
35
2. Menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi dan menguatkan suasana yang baik; 3. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan; 4. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar-menawar; 5. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian masalah. Peran mediator ini hanya mungkin diwujudkan bila ia memiliki sejumlah keahlian (skill). Keahlian ini diperoleh melalui sejumlah pendidikan, pelatihan (training) dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan konflik. Berdasarkan keahlian yang dimiliki mediator, maka peran mediator dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu peran lemah dan peran kuat.22 a. Peran Lemah Mediator menampilkan peran yang lemah, bila dalam proses mediasi ia hanya melakukan hal-hal sebagai berikut: - Menyelenggarakan pertemuan; - Memimpin diskusi rapat; - Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan berlangsung secara baik;
22
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
80.
36
- Mengendalikan emosi para pihak; dan - Mendorong pihak/perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya. b. Peran Kuat Keterampilan dan pengalaman matang mediator akan terus-menerus mendorong dirinya melakukan tindakan-tindakan positif dalam proses mediasi. Sehingga ia mampu menampilkan peran yang kuat dalam mediasi. Hal-hal yang dilakukannya adalah sebagai berikut: - Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan; - Merumuskan titik temu agar menyadari bahwa sengketa bukanlah sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan; - Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah; - Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah; - Membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu dalam rangka penyelesaian sengketa. Dalam menampilkan perannya secara maksimal, mediator harus terlebih dahulu menjelaskan proses mediasi dan peranan mediator.23 Meskipun salah satu atau kedua belah pihak sudah mengetahui cara kerja mediasi dan peran yang harus dilakukan mediator, akan sangat bermanfaat apabila mediator menjelaskan 23
Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 7 tentang Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum, yang terdapat pada ayat (6).
37
semuanya di hadapan kedua belah pihak dalam sebuah pertemuan. Penjelasan itu terutama berkaitan dengan identitas dan pengalaman mediator, sifat netral mediator, proses mediasi, mekanisme pelaksanaannya, kerahasiaannya dan hasilhasil dari mediasi. Bila para pihak sudah memahami dengan sempurna mekanisme kerja mediasi, maka mediator akan lebih mudah menampilkan perannya secara lebih kuat dan sempurna. C. Kriteria Hakim Pengadilan Agama di Indonesia24 Kriteria ataupun persyaratan agar dapat diangkat menjadi seorang hakim di Pengadilan Agama telah diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yaitu pada Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: Untuk dapat diangkat menjadi calon Hakim pada Pengadilan Agama, seseorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia b. Beragama Islam c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa d. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 e. Sarjana Syariah dan/atau Sarjana Hukum yang menguasai Hukum Islam f. Sehat jasmani dan rohani
24
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita, Cet. Ke-2, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h.13.
38
g. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela h. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi masanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI”, atau organisasi terlarang yang lain. Dan Pasal 13 ayat (2) yang berbunyi: “Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 tahun. Berdasarkan uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa, persyaratan menjadi hakim dalam peraturan perundangan berlaku sangat ketat, mengingat implikasi putusan hakim sangat menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat. D. Peraturan Mediasi di Indonesia Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah dading telah diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan di atas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang. Berikut beberapa aturan hukum tentang upaya mediasi di Indonesia: 1.
HIR Pasal 130 (Pasal 154 Rbg) Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv, pada tahun 1894 penyelesaian perkara
39
dengan cara damai sudah diperkenalkan.25 Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut: (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, (2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu sidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa, (3) Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan di banding, (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan yang berikut dituruti untuk itu. 2.
PERMA No. 01 Tahun 2008 Disamping HIR/Rbg, pengaturan mediasi di pengadilan terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
3.
PERMA No. 02 Tahun 2003 Perma ini mengatur tentang prosedur mediasi di pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), yang meliputi pra mediasi, proses mediasi, tempat dan biaya mediasi, sebanyak 18 pasal. Dalam Perma ini semuanya mengatur mediasi yang integrated dalam proses berperkara di pengadilan, dan tidak menyinggung mediasi di luar pengadilan, karena memang dimaksudkan untuk penerapan mediasi dalam peradilan.
25
Muhammad Saifullah, Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia, http://wmc-iainws.com, h. 3. (Diakses pada 1 Agustus 2011).
40
4.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 65, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115, Pasal 131 ayat (2), Pasal 143 (1-2), Pasal 144, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 Pasal 32 Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan KHI sebagaimana di atas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai. Jika upaya hukum ini tetap gagal maka barulah dilakukan penyelesaian hukum secara litigasi.
5.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai Isi SEMA No. 1 Tahun 2002 ini mencakup: (1) Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekadar formalitas, (2) Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majelis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majelis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan), (3) Untuk melaksanakan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan
41
diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itu dengan persetujuan ketua Pengadilan Negeri (PN), dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992, (4) Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk menaati apa yang telah disepakati, (5) Apabila mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua PN/ketua majelis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan perkara berlangsung, dan (6) Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator atau mediator.