BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PAJAK MENURUT UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
A. Tindak Pidana Pajak 3. Pengertian Pajak Terdapat berbagai perbedaan penafsiran tentang pengertian pajak. 52 Secara umum pajak diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya digunakan dalam hal pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya (Wajib Pajak) dan pelaksanaannya dapat dipaksakan. Balas jasa dalam hal ini diberikan kepada seluruh masyarakat seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, pembangunan sarana-sarana umum masyarakat, dan sebagainya. Para ahli di bidang perpajakan memberikan pengertian pajak yang berbedabeda namun perbedaan itu tidak terlalu prinsipal dan tidak mengaburkan makna yang
52
Zainul Pelly, Pengantar Hukum Pajak, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 1. Chairuddin Syah Nasution, “Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia Periode 1990-2000”, Artikel dalam Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 7, No. 2 Juni 2003, hal. 63. Istilah pajak dalam Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa baku yang sudah menjadi bahasa rakyat yang berurat berakar dalam sehari-hari. Istilah pajak baru muncul pada abad XIX di Jawa pada saat pulau Jawa dikuasai Pemerintah Inggris tahun 18111814 yang pada waktu itu diadakan pungutan landrente oleh Thomas Stafford Rafflles. Penduduk menamakan pembayaran landrente itu pajag atau duwit pajag atau pajag diartikan jumlah uang yang tetap pada setiap tahunnya harus dibayar dalam jumlah yang sama. Ada pula versi yang mengatakan istilah pajak itu bermula dari istilah bahasa Belanda yaitu pacht yang berarti sewa tanah yang harus dibayar oleh penduduk pada zaman kolonial Belanda hingga rakyat terbiasa menyebutnya pajag. Isitilah pajak yang modern saat ini disebut dengan fiskal.
Universitas Sumatera Utara
terkandung di dalamnya. Beberapa sarjana memberikan pengertian pajak sebagai berikut: 53 a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. mengatakan: Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah), berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan imbalan (tegen prestatie) yang secara langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. b. Drs. B. Boediono mengatakan: Pajak adalah suatu iuran penduduk (rakyat) kepada negara yang berdasarkan undang-undang dapat dipaksakan dimana pembayarannya tidak mendapat imbalan secara langsung yang ditunjuk oleh negara yang gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas negara harus menyelenggarakan pemerintahan. c. Prof. Dr. P.J.A. Adriani mengatakan: Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Soeparman Soemahamidjaja mendefinisikan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 54 Tampak dari beberapa pengertian pajak di atas penting dipahami bahwa pajak merupakan iuran rakyat kepada negara. Maksud iuran di sini adalah suatu kewajiban rakyat untuk mengalihkan kekayaannya ke dalam kas negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, seperti biaya pengeluaran rutin dan biaya pembangunan. Pengeluaran rutin dimaksud termasuk pengeluaran negara berupa
53
Ibid, hal. 25-26. Muahmmad Djaja Sadli, Pembaharuan Hukum Pajak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 23-25. 54
Universitas Sumatera Utara
pembiayaan sehari-hari atau pengeluaran rumah tangga negara seperti administrasi penggajian para pegawai pemerintah. Termasuk biaya pembangunan misalnya pengeluaran negara yang khusus ditujukan untuk pembayaran pembangunan negara seperti pembuatan jalan-jalan raya, irigasi, rumah sekolah, puskesmas, dan lain-lain. Pajak tidak dapat ditunjuk kontra prestasi langsung secara indvidual. Kontra prestasi yang dimaksud di sini bahwa seseorang Wajib Pajak yang telah membayar pajak, tidak dapat ditunjuk kontra prestasi tertentu kepadanya atau imbalannya tidak secara langsung diberikan kepada mereka yang membayar pajak melainkan disampaikan secara umum, sehingga orang yang tidak membayar pajak juga menikmati hasil pembayaran tersebut. 55 Pajak dapat pula dipaksakan dalam artian bahwa apabila hutang-hutang pajak tidak dibayar oleh Wajib Pajak, maka hutang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan paksaan dan sita. Mengenai hal “paksaan” ini Soeparman Soemahamidjaja mengatakan terlalu berlebihan kiranya kalau kasus mengenai pajak ditekankan pentingnya “paksaan” itu, seakan-akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya oleh sebabnya lebih tepat hanya cukup dikatakannya saja bahwa pajak adalah “iuran wajib” tidak perlu diberi tambahan yang dipaksakan. 56 Pajak pada hakikatnya dipungut dengan bantuan dan kerja sama dengan Wajib Pajak berdasarkan kesadaran sehingga unsur “paksaan” dapat dihindari.
55 56
Ibid. Soeparman Soemahamidjaja, dalam Zainul Pelly, Ibid, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan pula adanya paksaan demikian: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam memungut pajak dapat dipaksakan apabila terjadi penunggakan oleh Wajib Pajak namun paksaan dimaksud di sini diperhalus dalam UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yaitu dengan mempergunakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. 57 Surat Paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menurut Pasal 7 angka 1 UU No.19 Tahun 2000 mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat Paksa yang memberikan kekuatan eksekutorial dan memberi kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dimaksudkan bertujuan agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak. Kedudukannya sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
57
Pasal 1 angka 12 UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian-pengertian pajak yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur pajak adalah: a. Iuran rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak adalah negara dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang atau jasa); b. Ketentuan pajak berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh penyelenggara negara dan pemerintahan; c. Tanpa jasa timbal balik dan kontra prestasi dari negara atau yang secara langsung dapat ditunjuk; dan d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yaitu pembiayaan negara yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Secara umum jenis-jenis pajak yang tersebar dalam peraturan perundangundangan perpajakan dapat dibagi menjadi: a. Pajak Penghasilan (PPh); b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN); c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan e. Pajak Lainnya. Menurut Prabowo berdasarkan penerimaannya pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
Universitas Sumatera Utara
atau dilimpahkan kepada orang lain seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 58
4. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pajak Penghindaran pajak terjadi karena adanya kesepakatan antara Wajib Pajak dengan petugas pajak yang dapat mengakibatkan Pajak Kurang Bayar. Apabila terdapat Pajak Kurang Bayar menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Setelah jangka waktu 5 (lima) tahun, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, Wajib Pajak dapat dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam hal ini ada indikasi untuk menghindari pembayaran pajak. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (5) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penghindaran pajak dapat dianalisis dalam kerangka hubungan antara pemerintah sebagai prinsipal yang berupaya untuk memfasilitasi Wajib Pajak dengan berbagai insentif agar mereka membayar pajak yang seharusnya dibayar. Penghindaran pajak terjadi terutama dari adanya kolaborasi antara Wajib Pajak dalam kegiatan transaksi misalnya terjadinya penghindaran Pajak Penghasilan yang 58
Prabowo, dalam Chairuddn Syah Nasution, Op. cit, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
merupakan interaksi antara Wajib Pajak dan pemerintah. Penghindaran Pajak Penghasilan terjadi adanya dua belah pihak yang bekerja sama. Demikian juga pajakpajak seperti Pajak Penjualan, cukai bisa terjadi penghindaran oleh para Wajib Pajak disebabkan adanya kolaborasi. Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfully) dan penggelapan pajak dapat dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. 59 Penggelapan pajak melalui pemalsuan (fraud) di bidang perpajakan terjadi baik dilakukan oleh orang pribadi atau orang-orang yang bekerja di badan hukum atas kerja sama antara Wajib Pajak dan petugas pajak dengan tujuan untuk memperkaya diri. Oleh banyak negara pemalsuan dan penipuan di bidang pajak termasuk dalam kategori pelanggaran atau tindak kriminal biasa. Kriminalisasi atas perbuatan pemalsuan dokumen pajak terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf f UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan “Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya”. Apabila pemalsuan itu dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara
59
Susno Duaji, Selayang Pandang dan Kejahatan Asal, (Bandung: Books Trade Center, 2009), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Tindak pidana pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pajak ini selain akan merugikan negara, juga sebagai korbannya adalah masyarakat umum karena kerugian itu baik dalam bentuk uang, barang maupun pelayanan. Sehingga pemalsuan dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan menurut UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menurut Rukiah Komariah dan Ali Purwito, beberapa contoh dari pemalsuan yang terjadi di bidang perpajakan, antara lain seperti di bawah ini: 60 1. Wajib Pajak malas atau tidak menyimpan dengan baik arsip pajak penghasilan; 2. Orang yang dipekerjakan tidak dapat menyimpan dengan baik semua penerimaan/pendapatan yang diterima (dalam hal-hal tertentu transaksi dilakukan secara lisan); 3. Dengan sengaja mengarsipkan Pajak Penghasilan di bawah jumlah yang sebenarnya; 4. Melaporkan secara tidak benar orang yang menjadi tanggungan dalam SPT PPh Orang Pribadi; 5. Membuat klaim palsu atas restitusi; 6. Menyiapkan dokumen, buku dan salinan-salinan yang jumlahnya di bawah pendapatan yang sebenarnya dan melaporkan jumlah yang lebih tinggi biayabiaya yang telah dikeluarkan; 7. Tidak membayar cukai atas importasi hasil tembakau atau barang kena cukai lainnya (hanya Bea Masuk, PPn/PPnBM); 8. Mengoperasikan usaha tanpa mendaftarkan sebagai badan hukum; 9. Pembayaran upah berbentuk tunai kepada karyawan dengan maksud menghindarkan pajak with holding.
60
Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak, Proses Banding Pajak, Pabean dan Cukai, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2006), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana di bidang perpajakan adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam UU KUP. Sebagian kalangan berpendapat bahwa tindak pidana yang dilakukan dalam perpajakan dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara termasuk dalam tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya, sebagian jaksa menuntut perkara pidana dalam bidang perpajakan dengan pidana korupsi seperti kasus PT. Galunggung Mega Sakti di PN Bandung. Sebaliknya ada pula jaksa yang menuntut perkara serupa, tetapi dengan pidana pajak, misalnya kasus PT. Mega Radilam Mandiri di PN Cibinong. 61
B. Pengaturan Tindak Pidana Pajak dalam Undang-Undang Perpajakan Peraturan perundang-undangan khususnya mengenai perpajakan di Indonesia dipengaruhi oleh pemerintahan di zaman penjajahan Belanda. Antara lain misalnya Bea Materai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 semuanya itu merupakan undang-undang yang dibuat pada masa penjajahan Belanda. Karena terdapat perbedaan falsafah yang melatarbelakangi dan sistem yang melekat pada undang-undang tersebut, maka perundang-undangan perpajakan belum memenuhi fungsi sebagai sarana pembangunan nasional. Oleh karena itu, peraturan perundangundangan di bidang perpajakan telah beberapa kali dilakukan perubahan dan penyesuaian.
61
Mochamad Tjiptardjo, Op. cit, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Banyak dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan di bidang perpajakan (UU KUP) namun tidak semua dasar pengaturan pajak dibahas di sini melainkan beberapa undang-undang saja khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana. 62 Dasar hukum pajak diletakkan paling tertinggi pada Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang sehingga tidak mungkin ada pajak yang dipungut hanya berdasarkan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah atau berdasarkan peraturan lainnya yang lebih
62
Dasar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan di bidang perpajakan (UU Perpajakan) diantaranya: a. UUD 1945. b. UU No.10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011. c. UU No.18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. d. UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. e. UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. f. UU No.17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. g. UU No.16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. h. UU No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. i. UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. j. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. k. UU No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. l. UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. m. UU No.17 Tahun 2006 perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Universitas Sumatera Utara
rendah dari undang-undang. 63 M.W.F. Prins mengatakan, banyak istilah-istilah KUH Perdata yang dipergunakan dalam hukum pajak. 64 Hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa yang dalam hukum pajak disebut dengan tatsbestand. Hukum pajak mempergunakan istilah yang terdapat dalam Pasal 17-25 KUH Perdata misalnya istilah tempat tinggal (domisili). Domisili sangat membantu pelaksanaan hukum pajak misalnya dalam hal menyampaikan Surat Teguran, Surat Tagihan, Surat Paksa, Surat Ketetapan Pajak, Pemberitahuan Sita, dan sebagainya. Orang atau pihak atau suatu badan hukum yang wajib membayar pajak disebut dengan Wajib Pajak yang berkewajiban membayar pajak kepada negara. Hal ini menimbulkan hubungan hukum karena ada perikatan (verbintenis) seperti yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Dalam hal ini, negara pada satu sisi sebagai pihak penagih (berpiutang) sedangkan di pihak lain Wajib Pajak sebagai pihak yang tertagih (berhutang). Perikatan dalam hukum pajak, pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata dalam hal menentukan: sejak kapan hutang pajak timbul dan sejak kapan hutang pajak hapus. Berpedoman kepada Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan timbul karena persetujuan dan undang-undang. Hal ini sesuai dengan hukum pajak sebab hutang timbul karena undang-undang artinya
63
Dengan mendasarkan pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang karena yang membuat undang-undang adalah Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini dapat pula ditarik pemahaman bahwa telah ada kesepakatan antara rakyat dengan negara sehingga merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi meskipun diwakili oleh DPR ketika membuat undang-undang tentang pajak. 64 M.W.F. Prins, Zainul Pelly, Pengantar Hukum Pajak, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
pungutan pajak akan diperkenankan dan berlaku sah bila ada undang-undang yang mengaturnya. 65 Timbulnya hutang pajak secara materiil dihubungkan dengan Pasal 1352 KUH Perdata terlihat adanya penarikan pajak oleh negara karena hutang pajak itu timbul dan dilahirkan undang-undang itu sendiri tanpa campur tangan dari aparat perpajakan. Misalnya dalam Pajak Penghasilan orang akan berhutang pajak apabila telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Secara formil hutang pajak timbul pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hutang pajak dianggap tidak ada sebelum ada Surat Ketetapan Pajak. Perbuatan Direktorat Jenderal Pajak inilah yang disebut sebagai perbuatan manusia yang menimbulkan hutang pajak. Hapusnya hutang pajak diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya perikatan disebabkan karena: pembayaran; penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; konpensasi hutang; pencampuran hutang; pembebasan hutang; karena musnahnya barang yang terhutang; pembatalan atau batal demi hukum; berlaku suatu syarat batal; dan karena daluarsa. 66 1. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai Menurut UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, dengan nama bea materai dikenakan pajak terhadap dokumen yang berisikan tulisan dan mengandung 65
Ibid, hal. 33. Ibid, hal. 34. Lihat juga: R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), hal. 291. 66
Universitas Sumatera Utara
arti serta maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Materai yang dimaksud berupa benda materai, materai tempel, dan kertas materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 7 ayat (2) UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai menentukan, bea materai atas dokumen dilunasi dengan cara: a. Menggunakan benda materai; b. Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jika bea materai atas dokumen tersebut tidak dilunasi dengan cara menggunakan benda materai atau menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, maka menurut Pasal 14 undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. Misalnya dengan dengan sengaja menggunakan cara lain selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan. Pengaturan dalam Pasal 14 UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai sangat tegas menentukan bahwa jenis perbuatan demikian adalah kejahatan dan sanksinya dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun jika dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (dolus) karena adanya unsur niat yang disengaja oleh Wajib Pajak. Sengaja benar-benar karena adanya niat dan perbuatan sengaja harus diberikan sanksi hukum. 67 Namun dalam ketentuan pidana UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai ini tidak disebutkan tindak pidana yang dilakukan tanpa 67
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 173.
Universitas Sumatera Utara
disengaja atau kelalaian. Padahal kelalaian (culpa) merupakan perbuatan yang harus dihukum walaupun tidak seberat perbuatan yang disengaja. 68 Selanjutnya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai ada yang dikategorikan sebagai tindak pidana namun tidak diatur ketentuan sanksi pidananya, pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal 13 UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, diantaranya adalah: a. Barang siapa meniru atau memalsukan materai tempel dan kertas materai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan materai; b. Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak; c. Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah materai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak; d. Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda materai.
Dalam bagian pembuka Pasal 13 UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa keempat perbuatan ini merupakan tindak pidana tetapi tindak pidana yang dimaksud di sini dipedomani berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUH Pidana. Dengan demikian dalam penerapan sanksi terhadap ketentuan Pasal 13 UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai mengacu pada KUH Pidana. Dalam penjelasan Pasal 13 UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai pun tidak dijelaskan mengenai keempat jenis tindak pidana ini. 68
Ibid., hal. 174.
Universitas Sumatera Utara
]
2. UU No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pengaturan tindak pidana dalam UU No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, juga diatur mengenai perbuatan dengan sengaja dan lalai. Perbuatan karena disengaja diatur dalam Pasal 25. Perbuatan karena disengaja dan termasuk sebagai kejahatan disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) adalah barang siapa dengan sengaja: a. Tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak; b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar; c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya; e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan. Perbuatan dengan disengaja tersebut di atas harus menimbulkan kerugian pada negara, baru perbuatan tersebut dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang. Berarti jika tidak menimbulkan kerugian maka tidak termasuk kejahatan menurut Pasal 25 ayat (1) UU No.12 Tahun 1994 jo UU No.12 Tahun 1985 di atas. Selanjutnya perbuatan karena kelalaian dan termasuk sebagai pelanggaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) UU No.12 Tahun 1994 jo UU No.12 Tahun 1985 adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). b. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarkan denda. Pengaturan mengenai waktu berlakunya pidana terhadap tindak pidana pajak kurang mencerminkan keadilan misalnya jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 26 UU No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebab waktu berlakunya pidana dalam Pasal 26 hanya berlaku untuk 10 (sepuluh) tahun jika telah lewat 10 (sepuluh) tahun, maka tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Padahal pajak merupakan penghasilan negara yang berasal dari rakyat dan merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada negara yang kemudian untuk didistribusikan kepada rakyat melalui APBN setiap tahunnya. Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.10 Tahun 2010 tentang APBN bahwa anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2011 diperoleh dari sumber-sumber: penerimaan perpajakan; penerimaan negara bukan pajak; dan penerimaan hibah. Pendapatan tersebut
Universitas Sumatera Utara
dimasukkan ke dalam pendapatan negara yakni semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. 69 Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, cukai, dan pajak lainnya. 70 Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar. 71 Salah satu penerimaan negara dari sektor pajak adalah peningkatan investasi melalui perusahaan penanam modal asing. Kebutuhan akan modal asing bagi negaranegara yang sedang berkembang mutlak diperlukan sebab peranan modal asing secara langsung akan terkait pada peningkatan ekonomi suatu negara, seperti arus masuk barang, modal, manajemen, skill, dan teknologi. 72 Penanaman modal asing tetap diperlukan untuk menunjang proses pertumbuhan ekonomi maupun untuk menopang ekspor baik yang migas maupun non migas. Keberadaan perusahaan penanam modal asing tidak dapat dilepaskan dari peranan perusahaan multinasional. Penanaman modal asing ini hanyalah salah satu bentuk dari kegiatan bisnis perusahaan multinasional. 73
69
Pasal 1 angka 3 UU No.10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011. Ibid, Pasal 1 angka 4. 71 Ibid, Pasal 1 angka 5. 72 Normin S. Pakpahan dan Peter Mahmnud, Pemikiran ke Arah Pembaharuan UndangUndang Penanaman Modal Indonesia, (Jakarta: Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Proyek ELIPS, 1996), hal. 1. 73 Pandji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hal. 47. 70
Universitas Sumatera Utara
3. UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Dalam UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa juga ditentukan jenis tindak pidana pajak. Jenis pertama yakni sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 ayat (1) undangundang tersebut terdiri dari perbuatan: a. Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita; b. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu; c. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau d. Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan berita acara pelaksanaan sita yang telah ditempel pada barang sitaan. Sanksi pidana yang dapat diterapkan atas keempat perbuatan di atas menurut Pasal 41A ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Tetapi ketentuan ini hanya mengenakan sanksi kepada penanggung pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). Untuk bentuk penyertaan dalam pengaturan Pasal 23 ayat (1) ini tidak diatur. Penyertaan menurut hukum pidana umum juga merupakan perbuatan yang harus dihukum. 74 Selanjutnya tindak pidana menurut Pasal 41A ayat (2) UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, adalah jika pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak melaksanakan kewajibannya, dipidana
74
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002) hal. 336-337.
Universitas Sumatera Utara
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu. Kemudian bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang atau dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau menggagalkan tindakan dalam melaksanakan undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41A ayat (3) undangundang ini.
4. UU No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sanksi tidak dilaksanakannya ketentuan perpajakan tidak hanya bersifat administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan tergantung jenis pelanggaran. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan (UU KUP) memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menerapkan sanksi perpajakan mulai dari sanksi yang ringan berupa administrasi sampai dengan sanksi yang lebih berat berupa sanksi pidana dimana sanksi pidana bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku sehingga peraturan perpajakan dapat diterapkan sesuai ketentuan. 75 Pelanggaran atas ketentuan perpajakan yang tergolong perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak beserta sanksinya adalah sebagai berikut: 75
Rudi Suhartono dan Wirawan B.Ilyas, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), (Jakarta: Salemba Empat, 2010) hal.175.
Universitas Sumatera Utara
a. Kealpaan Bagi Wajib Pajak Tindak pidana pajak yang termasuk kealpaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menentukan setiap orang yang karena kealpaannya: 76 1) Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau 2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Perbuatan kealpaan juga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak disengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. 77
76
Pasal 38 UU No.28 Tahun 2007. R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 20-21. 77
Universitas Sumatera Utara
b. Kesengajaan Bagi Wajib Pajak Tindak pidana pajak yang termasuk perbuatan disengaja disebutkan dalam Pasal 39 UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menentukan setiap orang dengan sengaja: 78 1) Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP); 2) Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; 3) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); 4) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; 5) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak; 6) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; 7) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; 8) Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia; 9) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; 10) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak. Kemudian perbuatan sengaja dari Wajib Pajak juga diatur dalam Pasal 39A UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja: 79
78
Pasal 39 UU No.28 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
1) Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau 2) Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Secara hierarki, ketentuan hukum pidana diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Ketentuan hukum pidana umum berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam KUH Pidana, sedangkan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai perbuatan yang khusus (bijzonder lijkfeiten). 80 Hukum pidana dalam perspektif sistem hukum di Indonesia berada pada ruang lingkup hukum publik dan dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil (materieel
strafrecht)
dan
hukum
pidana
formal
(formeel
strafrecht
atau
strafprocesrecht). 81 Secara khusus kelemahan pengaturan dalam KUH Pidana tidak ada diatur mengenai pidana perpajakan karena ketentuan pidana yang bersifat umum berlaku secara umum. Ketentuan pidana yang bersifat khusus dituangkan dalam peraturan khusus pula seperti yang terdapat dalam UU KUP sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 103 KUH Pidana. 82 Dalam UU KUP dan UU Kepabeanan diatur tindak pidana perpajakan meliputi: 83
79
Pasal 39A UU No.28 Tahun 2007. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1. 81 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 171. Lihat juga: Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 5. 82 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 106. 83 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Op. cit, hal. 13. 80
Universitas Sumatera Utara
1. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau oleh badan yang diwakili orang tertentu (pengurus); 2. Perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana; 3. Perbuatan yang melawan hukum; 4. Perbuatan yang dilakukan di bidang perpajakan; dan 5. Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan Negara. Misalnya perumusan tindak pidana pajak terdapat dalam Pasal 38 UU No.6 Tahun 1983 yang diubah melalui UU No.16 Tahun 2000 diubah lagi melalui UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan pidana perpajakan telah diubah perumusannya sebanyak dua kali setelah UU No.6 Tahun 1983 dikeluarkan. Kealpaan bukanlah semata-mata menentang larangan yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dikatakan alpa karena pelakunya lalai atau teledor sehingga mengakibatkan hal yang dilarang atau dengan kata lain karena kekurang hati-hatian mengakibatkan hal yang dilarang terjadi. 84 Kealpaan (culpa) terbagi dua: sengaja melakukan tindakan yang ternyata salah karena niat dan pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi tetapi tidak dicegahnya. Kealpaan tidak menghendaki akibat berbeda dengan kesalahan yang menghendaki akibat. 85 Kealpaan tidak menghendaki akibat sehingga dengan demikian hukum pidana memberikan kesempatan dengan alasan pemaaf yang menurut hukum pidana alasan pemaaf adalah suatu alasan yang menghapuskan kesalahan dimana perbuatan yang dilakukan itu tetap dikatakan melawan hukum atau tetap merupakan tindak pidana tetapi dia tidak dipidana. 86
84
Moeljatno, Op. cit, hal. 199. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit, hal. 192-193. 86 Moeljatno, Ibid, hal. 137. 85
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan kealpaan yang dimaafkan tidak diatur dalam Pasal 38 UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun pengaturannya ditemukan dalam Pasal 38 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di atas menekankan Wajib Pajak tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang. Menurut Mochamad Tjiptardjo, mengatakan bahwa dalam UU No.16 Tahun 2000 kealpaan yang pertama termasuk perbuatan pidana tetapi menurut UU No.28 Tahun 2007 kealpaan yang pertama mengalami depenalisasi atau dekriminalisasi yaitu perbuatan yang tadinya termasuk perbuatan pidana menjadi bukan perbuatan pidana. 87 Wajib Pajak yang tidak dikenakan sanksi tersebut adalah Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Adanya alasan pemaaf yang terdapat dalam substansi Pasal 15 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila 87
Mochamad Tjiptardjo, Op. cit, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 88 Ketentuan ini mensyaratkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan baru kemudian diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Hal ini berarti undang-undang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melunasi hutang pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hukum pidana akan diterapkan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. 89 Ketentuan KUH Pidana yang bersifat umum seperti pemerasan, penyuapan, penggelapan, penipuan, paksaan, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam bidang perpajakan, maka dikatakan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana fiskal walaupun perumusannya tidak terdapat dalam perundang-undangan pajak. KUH Pidana tidak akan membiarkan adanya perbuatan pidana yang terlepas dari ketentuan KUH Pidana apalagi yang memiliki kaitan langsung dengan kepentingan negara yang dalam hal ini adalah masalah pajak. 90
88
Pasal 15 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. 89
Pasal 15 ayat (4) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 90 Zainul Pelly, Op. cit, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan perbuatan kealpaan dan kesengajaan, bahwa hukum pidana menganut salah satu asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan menentukan “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld atau keine strafe ohne schuld atau no punishment without guilt) atau disebut juga sebagai asas mens rea atau asas culpabilitas. 91 Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang padahal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana. 92 Sifat pertama dari kesengajaan menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, adalah dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan kedua: kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya
91
Barda Nawawi Arief, “Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004”, Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tanggal 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta, hal. 13 dan hal. 18. 92 EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Asas-Asas....Op. cit., hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. 93 Dalam KUH Pidana, sengaja diartikan sebagai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan kesengajaan yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan). Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undangundang. Sedangkan menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat. 94 Selain kesalahan yang didasarkan pada unsur kesengajaan, unsur lain yang dipenuhi oleh pelaku agar dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana secara umum adalah unsur kelalaian atau kealpaan (culpa). Menurut hukum pidana umum, dikatakan lalai atau alpa harus memiliki karakteristik dengan sengaja melakukan sesuatu yang ternyata salah atau dengan kata lain bahwa pelakunya kurang kewaspadaan dalam melakukan sesuatu hal sehingga mengakibatkan penderitaan atau kematian pada orang lain. Dalam hal lalai atau alpa, pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi dari perbuatannya itu, tetapi ia merasa dapat
93 94
Ibid, hal. 171. Ibid, hal. 180.
Universitas Sumatera Utara
mencegahnya. Oleh sebab pelaku tidak mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu itu, maka terhadapnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum. 95 Kelalaian pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan kekurangan kebijaksanaan. Sehingga jika dipandang dari kealpaan yang disadari, ada kelalaian yang berat dan ada kelalaian yang ringan. Kealpaan yang disadari, pelaku dapat atau mampu membayangkan atau memperkirakan akibat yang ditimbulkan perbuatannya namun ketika melakukan tindakannya, tetap saja menimbulkan akibat fatal kepada orang lain walaupun sudah ada tindakan pencegahan dari pelaku. Kelalaian yang tidak disadari bilamana pelaku tidak dapat atau tidak mampu menyadari atau tidak memperkirakan akan timbulnya sesuatu akibat. 96 Baik kesengajaan (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) menurut hukum pidana merupakan suatu perbuatan kesalahan. Oleh sebabnya, hukum pidana harus membuktikan kesalahan tersebut terlebih dahulu agar pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Kedua unsur kesalahan tersebut dianut dalam hukum pidana secara umum di Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Walaupun
95 96
Ibid, hal. 192. Ibid, hal. 192-194.
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang jika tidak terdapat kesalahan, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan pidana. Dengan kata lain hukum pidana secara umum berkaitan dengan tindak pidana umum (tipidum) harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) sebagaimana telah diuraikan di atas barulah seseorang atau suatu subjek hukum dimaksud dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut hukum dikatakan salah karena melakukan pebuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. 97 Siapa saja yang dimaksud melakukan perbuatan pidana mencakup semua subjek hukum seperti setiap orang atau individu, badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi. Simons, mengatakan perbuatan pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaian dari subjek hukum yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 98 Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri yang ditentukan dalam Pasal 362 KUH Pidana disebut delictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang 97
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 54. Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991), hal. 4. 98
Universitas Sumatera Utara
mensyaratkannya,
misalnya
pelanggaran
terhadap
orang
yang
memerlukan
pertolongan seperti yang ditentukan dalam Pasal 531 KUH Pidana disebut delictum omissionis. Contoh kelakuan pasif yang lain misalnya Pasal 341 KUH Pidana yang menentukan dimana seorang ibu yang menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif. 99 Perbuatan subjek hukum yang termasuk ke dalam unsur pokok objektif adalah perbuatan aktif (positif) dan perbuatan tidak aktif (perbuatan negatif). Akibat perbuatan dari subjek hukum tersebut dapat membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. Keadaan-keadaan tersebut mencakup atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan itu dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. 100 Unsur pokok subjektif didasarkan pada kesalahan (sengaja atau lalai). Menurut pandangan ini, tidak ada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder
99
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op. cit, hal. 63. Leden Marpaung, Op. cit, hal. 6-7.
100
Universitas Sumatera Utara
schuld). Baik kesengajaan karena sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan maupun kealpaan. Kesengajaan dan kelalaian sama-sama dapat dipidana, namun kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk kesalahan lebih ringan sanksi pidananya dibandingkan dengan kesengajaan karena kelalaian atau kealpaan disebabkan karena tidak berhati-hatinya pelaku dan tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. 101 Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materiil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benarbenar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum. 102 Menurut hukum pidana, dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran dalam hal suatu subjek hukum dapat dijatuhi pidana atau hukum pidana didasarkan pada ajaran monisme dan ajaran dualisme. Ajaran monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana tanpa harus melihat apakah subjek hukum itu mempunyai kesalahan atau tidak. Sedangkan ajaran dualisme,
101 102
Ibid. EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Op. Cit, hal. 125 dan hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
memandang dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang, yang pertama kali dilakukan terlebih dahulu harus diselidiki apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi rumusan deliknya kemudian membuktikan apakah ada kesalahan atau tidak dan apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab. 103
c. Percobaan Bagi Wajib Pajak Selain karena kealpaan dan kesengajaan sebagaimana di atas, kemudian tindak pidana pajak juga termasuk perbuatan percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 jo UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
103
A. Zainal Abidin, Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, (Jakarta: Prapartja dan Taufik 1962), hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
d. Tindak Pidana Bagi Pejabat Pajak Selain kriteria tindak pidana bagi Wajib Pajak di atas, terdapat pula tindak pidana bagi pejabat pajak. Pasal 34 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan kewajiban setiap pejabat (pejabat pajak) dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena larangan dalam Pasal 34 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007, maka kriteria tindak pidana bagi pejabat pajak adalah pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Universitas Sumatera Utara