BAB II PENGATURAN SUMBER-SUMBER KEUANGAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH A. Defenisi Hukum Keuangan daerah Sebelum membahas defenisi hukum keuangan daerah maka terlebih dahulu diketahui tentang pengertian keuangan daerah. Defenisi keuangan daerah dapat ditinjau dari beberapa sisi yaitu : 67 1. Dari sisi objek, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD. Pengertian ini sejalan dengan penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berbunyi sebagai berikut : “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. 2. Dari sisi subjek, keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 3. Dari sisi proses, keuangan daerah adalah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban. 4. Dari sisi tujuan, keuangan daerah adalah keseluruhan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan keuangan daerah di atas pada dasarnya berada pada satu kegiatan yang disebut dengan pengelolaan keuangan
67
Hendra Karianga, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, ( Bandung : Alumni, 2011), hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
daerah. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,
penggunaan,
pengawasan
dan
pertanggungjawaban. 68
Dalam
menjalankan pengelolaan tersebut dikenal adanya kekuasaan pengelola. Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan daerah. 69 Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan oleh dua komponen yaitu Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala SKPD selaku Pejabat Anggaran/Barang Negara. 70 Penjabaran pengertian dari keuangan daerah tidak jauh berbeda dengan defenisi hukum keuangan daerah. Hukum keuangan daerah merupakan hukum yang mengatur masalah-masalah keuangan daerah atau dengan kata lain hukum keuangan daerah
adalah
sekumpulan
peraturan
hukum
yang
mengatur
kegiatan
penyelenggaraan keuangan daerah yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan pemerintahan yang lain 71. Dari rumusan pengertian diatas, berarti pengaturan di bidang keuangan daerah akan menyangkut yang antara lain adalah : 72 1. Dasar- dasar keuangan daerah menyangkut kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, asas-asas pengelolaan keuangan daerah seperti norma efisiensi, keefektifan, akuntabilitas, profesionalisme pelaksana keuangan daerah, maksud dan tujuan dari penyelenggaraan keuangan daerah, serta yang berkaitan dengan perbendaharaan. 68
Ibid. Pasal 6 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 70 Pasal 10 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 71 Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keuangan Daerah, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal.12. 72 Ibid. 69
Universitas Sumatera Utara
2. Kedudukan hukum pejabat keuangan daerah seperti kaidah-kaidah mengenai bendahara umum daerah, pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran ataupun pihak yang terafiliasi dalam kegaiatan keuangan daerah juga mengenai bentuk badan pelayanan umum, perusahaan daerah, pengelolaan barang daerah dan barang daerah yang dipisahkan serta mengenai kepemilikannya. 3. Kaidah-kaidah keuangan daerah yang secara khusus memperhatikan kepentingan umum, seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan yang tidak wajar dalam penyediaan dan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah, keadilan anggaran untuk masyarakat untuk memerhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pembangunan dalam penganggaran, dan lainnya. 4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi yang mendukung kebijakan keuangan daerah, seperti DPRD, BPK, serta hubungan keuangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan daerah dan juga pihak lainnya. 5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan penyelenggaraan keuangan daerah yang berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya, misalnya pertanggungjawaban pelaksanaan keuangan daerah, pengenaan sanksi pidana, sanksi administrasi dan ganti rugi. Dengan demikian hukum keuangan daerah yang merupakan satu sistem akan mengandung pengertian-pengertian dasar berupa orientasi pada tujuan, berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yakni hukum pemerintahan, hukum tata negara, hukum keuangan negara, atau hukum secara keseluruhan. B. Pengaturan Sumber-Sumber Keuangan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah 1. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah Dengan adanya Undang-Undang Dasar, maka Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum sehingga tidak berdasar atas kekuasaan semata. Pemerintah yang berdasarkan sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme sehingga kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk menyerahkan sebagian urusan-urusannya untuk menjadi kewenangan daerah, garis-garis besarnya diserahkan melalui
Universitas Sumatera Utara
peraturan-peraturan perundang-undangan. 73 Sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan, pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UndangUndang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, sejak proklamasi kemerdekaan dapat dilihat bahwa pemerintah daerah beberapa kali membentuk undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Perubahan-perubahan
terlihat
karena
masing-masing
undang-undang
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Terdapat beberapa Undang-Undang Pemerintahan Daerah setelah kemerdekaan yakni: 74 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berlaku mulai tanggal 23 Juli 1974, undang-undang ini dinamakan pokok-pokok pemerintahan di daerah sebab dalam undang-undang ini diatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan di daerah 75. Dasar hukum otonomi ini ialah Pasal 18 UUD 1945 dengan rujukan Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang di dalamnya ditetapkan bahwa pemerintahan otonomi adalah seluas-luasnya kepada daerah. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah berdasarkan pengalaman dapat menimbulkan kecenderungan yang membahayakan
73
Josef Riwu Kaho, Analisis, op.cit hal. 29. Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara-Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara, ( Jakarta : Permata Aksara, 2012) hal. 157. 75 Nimatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2005), hal. 332. 74
Universitas Sumatera Utara
keutuhan Negara Kesatuan RI, dengan demikian pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dikatakan nyata dalam arti pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitunga-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan
yang
benar-benar
dapat
menjamin
derah
yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dikatakan bertanggung jawab dalam artian bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Pada masa berlakunya undang-undang ini, demokrasi tidak berkembang bahkan pemerintah sering mencurigai aktifitas masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Pemerintahan daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan undang-undang ini daerah diberi kesempatan luas untuk mengatur daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai. Melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 terdapat prinspi-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonomi, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah ekonomi. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi
Universitas Sumatera Utara
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. g. Pelaksanaan asas dekonsentralisasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukan
sebagai
wilayah
administrasi
untuk
melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepala daerah tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjwabkan kepada yang menugaskannya. 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,kebutuhan untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dalam rangka perbaikan dan pembenahan pengaturan di bidang pemerintahan derah merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan, baik itu kebutuhan rekonstruksi hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah, kebutuhan esensi pengawasan, demokrasi dan otonomi daerah, kebutuhan efesiensi anggaran, politik, struktur hubungan antar tingkat pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten dan kota maupun kebutuhan penyesuaian terhadap prinsip dan sistem pemerintahan presidensil yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen maka atas kebutuhan-kebutuhan tersebut pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disahkan dan diundangkan
Universitas Sumatera Utara
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 76, berdasarkan undang-undang
ini
ditegaskan
bahwa
pemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan urantar susunan pemerintahan. Penegasan ini merupakan koreksi terhadap pengaturan sebelumnya di dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Akibat pengaturan yang demikian kepala daerah kabupaten/kota menanggap
gubernur
bukanlah
atasan
mereka
sehingga
jika
akan
berhubungan dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota tidak perlu berkoordinasi dengan gubernur tetapi langsung ke pusat. Akhirnya kewenangan gubernur menjadi tidak ada, hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan kedudukan gubernur pada masa Undang-Undang No.5 Tahun 1974.
76
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah-Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, ( Bandung : Alumni, 2008), hal. 197.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan antara Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dengan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah : 77 1. Tidak dikenal Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II namun yang dikenal adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2. Penekanan titik berat otonomi ada pada daerah kabupaten dan daerah kota dari kombinasi dekonsentrasi dan desentralisasi menjadi desentralisasi. 3. Dilihat dari struktur kelembagaan atas pembagian tugas dan tanggungjwab yang tadinya menyatu antara kepala daerah dan DPRD dalam struktur pemerintahan kini kedua lembaga itu terpisah. 4. Sistem penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, pelayanan masyarakat yang tadinya cenderung seragam kini lebih heterogen sesuai daerah masing-masing dan adat istiadat daerah. 5. Kecenderungan konsentrasi kekuasaan dan yang bersifat sentral menjadi sentrifugal yaitu adanya pemencaraan kekuasaan atau kewenangan. 6. Pertanggungjawaban pemerintah daerah atau kepala daerah kepada DPRD yang tadinya formalitas kini bersifat menentukan. 7. Kemampuan
keuangan
daerah
termasuk
kewenangan
memantapkan
pendapatan daerah kini menjadi lebih besar bagi daerah yang bersangkutan sehingga dengan pendapatan asli daerah yang besar daerah provinsi, kabupaten/kota yang satu akan lebih makmur dari provinsi, kabupaten/kota yang lain. 77
Nomensen Sinamo, op.cit, hal.169.
Universitas Sumatera Utara
8. Untuk menciptakan koordinasi antara Gubernur dengan Bupati/Walikota maka dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dipertegas agar Bupati/Walikota memperhatikan dan mendengarkan instruksi Gubernur demi kebaikan bersama. 9. Peraturan daerah yang dibentuk harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah pusat (Kementrian Dalam Negeri) Berkaitan dengan keuangan daerah maka pemerintah daerah memiliki beberapa kewenangan dalam mengurus keuangan daerahnya sendiri sebab pemerintah daerah dalam hal ini gubernur/bupati/walikota selaku kepala daerah telah ditunjuk untuk mengelola keuangan daerahnya dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan
pengelolaan
keuangan
daerah
yakni
gubernur/bupati/walikota
bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah daerah. Dengan, demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah yakni Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perihal keuangan daerah diatur dalam BAB VIII tentang Keuangan Daerah, yangmana terdiri atas 11 paragraf dan 40 puluh pasal. Adapun kesebelas paragraf tersebut yakni : a. Paragraf Kesatu tentang umum.
Universitas Sumatera Utara
b. Paragraf Kedua tentang Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. c. Paragraf Ketiga tentang Surplus dan Defisit APBD. d. Paragraf Keempat tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi. e. Paragraf Kelima tentang BUMD. f. Paragraf Keenam tentang Pengelolaan Barang Daerah. g. Paragraf Ketujuh tentang APBD. h. Paragraf Kedelapan tentang Perubahan APBD. i. Paragraf Kesembilan tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. j. Paragraf Kesepuluh tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. k. Paragraf Kesebelas tentang Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme yang telah ditetapkan bertujuan agar pengaturan tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal terutama dalam menggali potensi PAD. 2. Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Pasal 21 huruf (e) dan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, hal ini mengharuskan dibentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang No. 11 Drt. Tahun 1975 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Drt. Tahun 1957 tentang Retribusi Daerah, namun kedua undang-undang darurat ini diganti, hal ini dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini atau dengan artian lain pemerintah menginginkan suatu landasan atau pedoman yang kuat dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sehingga dapat mencakup pengertian pemungutan pajak dalam arti luas dimulai pendataan, pengenaan, pembayaran, pemungutan, penagihan dan sanksi pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam pelaksanaan terdahulu UU Darurat (Drt) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah banyak mempunyai kelemahan dalam berbagai hal sehingga banyak tumpang tindih baik dalam sistem maupun teknis pengenaan dan pemungutannya. UU Drt tentang Pajak Daerah menyebabkan daerah berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, yang antaranya adalah pengutipan biaya administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya tidak memadai, disamping itu juga terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut daerah karena tumpang tindih dengan pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama, menghambat efisiensi alokasi sumber ekonomi, bersifat tidak adil, atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi. 78
78
Paragraf ketigadari Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai pungutan retribusi yang diatur dalam UU Drt juga menunjukkan beberapa kelemahan antara lain yakni: 79 1. Hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya penyediaan jasa oleh daerah. 2. Biaya pemungutan relatif tinggi. 3. Kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur dan besarnya tarif. 4. Adanya beberapa jenis retribusi yang ada hakekatnya bersifat pajak karena pemungutan tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemerintah daerah kepada pembayaran retribusi. 5. Adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan. 6. Adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau objek yang sama. Oleh karena itu, jenis-jenis retribusi perlu diklafisikasikan dengan kriteria tertentu guna memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan pemerintah daerah. Dengan berbagai kelemahan dari UU Drt ini, maka diganti dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.
79
Paragraf keempat dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Undang-Undang N0. 34 Tahun 2000, memberikan daerah kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang ini juga mengatur tentang tarif pajak maksimum untuk kesebelas pajak jenis pajak tersebut. Selanjutnya mengenai retribusi, undang-undang hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut daerah. Provinsi dan kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi selain yang ditentukan dalam peraturan pemerintah. Di dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan secara rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 jenis pajak tersebut dan menetapkan 27 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah serta menetapkan tarif pajak yang seragam terhadap seluruh jenis pajak provinsi. Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada pada saat ini dianggap belum mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan
yang
semakin
besar
kepada
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. 80 Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu 80
Ibid, hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya, hal ini yang menyebabkan digantinya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efesien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan retribusi. Dalam
meningkatkan
akuntabilitas
penyelenggaraan
otonomi
daerah,
pemerintah daerah seharusnya diberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberikan keluasan kepada daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Terdapat empat dasar kebijakan mendasar yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 yakni: 81 1. Closed- list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah, hal ini bertujuan guna memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar.
81
Nota Keuangan dan RAPBN 2011, diakses dari www.depkeu.go.id., tanggal 15/02/2013, pukul 22:56 Wib.
Universitas Sumatera Utara
2. Penguatan local taxing power, hal ini bertujuan agar terjadi perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (misalnya pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. 3. Perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal. 4. Peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif. Di dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB) terdapat beberapa perubahan mendasar dari Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya adalah: 82 1. Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, maksudnya pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang dimaksud. Walaupun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan 82
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak daerah dan retribusi daerah baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 2. Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru. 3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Misalnya sebagaian penerimaan pajak penerangan jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan pajak kendaraan bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Universitas Sumatera Utara
4. Dalam rangka mengefektifkan pengawasan pajak daerah dan retribusi daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi derah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum (DAU) dan/atau dana bagi hasil (DBH). Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. 2.1. Pengertian dan Jenis Pajak Daerah Menurut para sarjana, terdapat beberapa defenisi pajak yaitu 83: 1. Menurut Leroy Beauliey dalm bukunya yang berjudul Traite de la Sciences des Finances menyatakan pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah. 2. Menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung menyatakan pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprsetasinya) yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand ( sasaran pemajakan) yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.
83
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ( Bandung : Refika Aditama, 2003), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
3. Menurut Mr. Dr. N.J. Feldman dalam bukunya De Overheidsmiddelen van Indonesia menyatakan pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontarprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Dalam pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi dari negara. 4. Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeet dalam bukunya yang berjudul De Economische Betekenis der Belastingen menyatakan pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprsetasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 5. Menurut Dr. Soeparman Soehamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong menyatakan bahwa pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasajasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari kerjasama dengan wajib pajak sehingga perlu dihindari penggunaan paksaan. 6. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH, dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menyatakan bahw pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Berdasarkan beberapa pengertian pajak di atas maka disimpulkan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran. Terdapat beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak yakni 84: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. 2. Jasa timbal balik (kontraprestasi) tidak dapat ditunjukan secara langsung. 3. Pajak dipungut oleh pemerintah. 84
Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, ( Jakarta : Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2001), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah. 5. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena bersifat yuridis. Negara melakukan pemungutan pajak dengan
suatu tujuan yakni guna
mencapai kondisi ideal dari suatu negara, oleh karena itu tujuan pemungutan pajak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tujuan negara sehingga tujuan pajak tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara 85. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipergunakan untuk mendukung terwujudnya tujuan negara dengan cara mengefektifkan fungsi pemerintah dalam suatu negara, pajak tidk dapat terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan negara, meskipun pajak bukan merupakan satu-satunya sumber penerimaan negara. Negara memerlukan pajak untuk memutar roda pemerintahan demi kelangsungan hidup negara dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat seluruhnya 86. Demikian juga kabupaten/kota, tanpa adanya sumber keuangan yang memadai maka daerah sulit untuk melaksanakan tugastugasnya yang mana bertujuan untuk membangun daerahnya. Selain itu juga, kemandirian daerah juga dapat dilihat dari bagaimana tersebut dapat membiayai kebutuhan daerahnya, salah satu cara daerah untuk meningkatkan pendapatan daerahnya adalah dengan memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Walaupun daerah diberi kewenangan dalamrah dan memungut pajak daerah, namun daerah memiliki batasan-batasan dalam menetapkan tarif pajak daerah. Di
85
Mustaqiem, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, ( Yogyakarta : FH UII Press, 2008), hal. 46. 86 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah menentukan kriteria terhadap pemungutan pajak daerah yakni: 1. Daerah dilarang memungut pajak selain jenis pajak yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini. 2. Daerah tidak dapat memungut jenis pajak yang tidak memiliki potensi di daerahnya. 3. Pemungutan pajak ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Selain itu juga dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 juga diatur tentang kriteria pemungutan pajak daerah yakni : 1. Bersifat pajak bukan retribusi. 2. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 3. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 4. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat. 5. Potensinya memadai. 6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. 7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. 8. Menjaga kelestarian lingkungan. Setelah menguraikan defenisi tentang pajak secara umum maka pada sub ini diuraikan beberapa pengertian pajak daerah menurut beberapa undang-undang yang pernah berlaku. a. Menurut Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah, Pasal 2 yang menyatakan bahwa dalam Undang-undang Darurat ini yang dimaksud dengan pajak daerah ialah “pungutan Daerah menurut peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik”.
Universitas Sumatera Utara
b. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana dalam Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.” (pengertian pajak daerah dalam undang-undang ini sama juga dengan pengertian pajak daerah dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD) c. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana dalam Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa “Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Setelah memberikan pengertian mengenai pajak daerah menurut beberapa undang-undang, maka didalam beberapa undang-undang yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia juga mengatur berbagai jenis pajak daerah yakni : a. Menurut UU Drt No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah, jenis pajak daerah diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 yakni : Pasal 13 mengatur sebagai berikut : “Selain yang ditunjuk dengan atau berdasarkan Undang-Undang pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah tingkat ke-I adalah antara lain: a) pajak atas izin menangkap ikan di perairan umum di dalam wilayahnya.
Universitas Sumatera Utara
b) pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan rumah-rumah sekolah rakyat, yang menjadi beban daripada Pemerintah Daerah. c) opsen atas pokok pajak kekayaan (ordonansi pajak kekayaan 1932). d) opsen atas pajak (cukai) penjualan bensin. Pasal 14 mengatur sebagai berikut : “Selain yang ditunjuk dengan atau berdasarkan Undang-Undang, pajak daerah yang dapat dipungut oleh Daerah lain dar Daerah tingkat ke-I adalah antara lain : a) pajak atas pertunjukan dan keramaian umum. b) pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan memuatnya dalam majalah atau warta harian. c) pajak anjing. d) pajak atas izin penjualan atau pembikinan petasan dan kembang api. e) pajak atas izin penjualan minuman yang mengandung alkohol. f) pajak atas kendaraan tidak bermotor. g) pajak atas izin mengadakan penjudian. h) pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan penghias kubur. i) pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari dalam suatu tahun pajak, kecuali untuk perawatan di dalam rumah sakit atau sanatorium, dan juga atas penyediaan rumah lengkap dengan perabotnya untuk diri sendiri atau keluarganya selama lebih dari 120 hari dari satu tahun pajak, semua itu tanpa bertinggal tetap di daerah itu, dengan ketentuan bahwa mereka yang berdiam di luar daerahnya guna menjalankan tugas yang diberikan oleh negara atau daerah, tidak boleh dikenakan pajak termaksud. j) pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan jalan umum di darat atau di ai, atau yang terletak disekitarnya, dan juga atas milik berupa tanah kosong yang berbatasan atau yang mempunyai jalan keluar pada jalan-jalan tersebut, pajak ini dapat dipungut atas dasar sumbangan yang layak untuk pembiayaan penerangan dan/atau pembangunan air serta kotoran oleh daerah. k) pajak atas milik berupa bangunan serta keturutannya atau tanah kosong yang terletak dalam bagian tertentu dari daerah, pajak mana dipungut tiap-tiap tahun untuk paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak guna pembiayaan pekerjaan yang diselenggarakan oleh atau dengan bantuan daerah dan yang menguntungkan milik-milik tersebut. l) pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang berbatasan dengan jalan umum di darat atau di air atau dengan lapangan, atau pajak atas tanah yang menurut rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan dipergunakan sebagai tanah bangunan dan terletak dalam lingkungan yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Universitas Sumatera Utara
m) pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan membiayai pembangunan rumah sekolah rendah untuk pelajaran umum dan pembelian perlengkapan pertama. n) opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang kemungkinan pemungutan opsen itu diberikan dalam peraturan pajak daerah tingkat itu. b. Menurut UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut : (1) Jenis Pajak Daerah Tingkat 1 terdiri dari : a) Pajak Kendaraan Bermotor. b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. (2) Jenis Pajak Daerah Tingkat II terdiri dari : a) Pajak Hotel dan Restoran. b) Pajak Hiburan. c) Pajak Reklame. d) Pajak Penerangan Jalan. e) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C. f) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Namun dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Dearah dan Retribusi Daerah, merubah jenis pajak yang diatur dalam undang-undang sebelumnya, sehingga jenis pajak daerah menurut Pasal 2 UU No. 34 Tahun 2000 yakni : (1) Jenis pajak propinsi terdiri dari : a) Pajak kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. (2) Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : a) Pajak Hotel. b) Pajak Restoran. c) Pajak Hiburan. d) Pajak Reklame. e) Pajak Penerangan Jalan. f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. g) Pajak Parkir.
Universitas Sumatera Utara
c. Menurut UU No. 28 Tahun 2009, diatur dalam Pasal 2 yakni : (1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas : a) Pajak Kendaraan Bermotor. b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d) Pajak Air Permukaan. e) Pajak Rokok. (2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas : a) Pajak Hotel. b) Pajak Restoran. c) Pajak Hiburan. d) Pajak Reklame. e) Pajak Penerangan Jalan. f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. g) Pajak Parkir. h) Pajak Air Tanah. i) Pajak Sarang Burung Walet. j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2.2. Pengertian dan Jenis Retribusi daerah Pada dasarnya retribusi daerah lebih beragam dan bervariasi antara daerah kabupaten yang satu dengan yang lainnya, semakin berkembang suatu daerah semakin banyak fasilitas atau jasa pelayanan yang disediakan pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga semakin banyak jenis retribusi yang dapat dipungut daerah tersebut 87. Terdapat beberapa defenisi retribusi daerah yang dikemukakan oleh para sarjana yaitu 88: 1. Menurut S. Prawirohardjono menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
87 88
Rahardjo Adisasmita, op.cit, hal.109. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Menurut R. Sudargo menyatakan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah. 3. Menurut Widjaja menyatakan bahwa retribusi daerah menyatakan harga dan pelayanan langsung dari pemerintah daerah ditingkatkan kualitas pelayanannya harus baik dan menarik. Pajak biasanya harus dibayar oleh anggota masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum tanpa pertimbangan apakah secara pribadi mereka mendapat manfaat atau tidak dari pelayanan yang mereka biayai. Sebaliknya retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksudkan untuk menutupi seluruh atau sebagian biaya pelayanannya, sewa atas rumah milik daerah, pungutan pajak irigasi, dan karcis masuk kolam renang adalah contoh-contoh retribusi yang dimaksudkan 89. Retribusi merupakan sumber penerimaan yang sudah umum bagi semua bentuk pemerintah daerah, retribusi tersebut dapat juga merupakan sumber utama dari pendapatan badan-badan pembangunan daerah 90. Berbeda dengan pajak, retribusi adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan dengan mendapat jasa timbal balik atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukan oleh pemerintah, misalnya retribusi terhadap pedagang kaki lima yang merupakan iuran para pedagang terhadap negara maka kontraprsetasinya adalah kesempatan pedagang untuk berdagang di tempat umum 91.
89
Darwin, op.cit, hal. 55 Ibid. 91 Indra Ismawan, loc.cit. 90
Universitas Sumatera Utara
Dalam menentukan tarif retribusi terdapat beberapa prinsip dan sasaran yang perlu diperhatikan yaitu 92: 1. Untuk retribusi jasa umum, ditetapkan berdasarkan kegiatan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan serta efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga diharapkan prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan
misalnya
tarif
retribusi
persampahan
untuk
golongan
masyarakat yang mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat menutup biayan pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah sedangkan untuk golongan masyarakat kurang mampu tarif ditetapkan lebih rendah 93. 2. Untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperolah keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efesien dan berorientasi pada harga pasar 94. 3. Untuk retribusi perizinan tertentu yang didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, 92
Rahardjo Adisasmita, op.cit, hal. 111. Darwin, op.cit, hal. 180. 94 Ibid. 93
Universitas Sumatera Utara
dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut, untuk pemberian izin mendirikan bangunan misalnya dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya pengawasan 95. Setelah menguraikan defenisi retribusi daerah secara umum maka diuraikan juga pengertian retribusi daerah menurut beberapa undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia. a. Menurut Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, dimana pengertian retribusi daerah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yakni : “Dalam Undang-Undang Darurat ini yang dimaksud dengan retribusi daerah ialah pungutan Daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha, atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah” b. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , diatur dalam Pasal 1 angka 26 yakni : “Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”. (pengertian retribusi daerah dalam undang-undang ini sama juga dengan pengertian pajak daerah dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997).
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 1 angka 64 yakni : “Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.” Setelah memberikan pengertian mengenai retribusi daerah menurut beberapa undang-undang , maka didalam beberapa undang-undang yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia yang juga mengatur berbagai jenis retribusi daerah yakni: a. Menurut Undang-Undang Darurat 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 8 yakni : Retribusi yang dapat dipungut Daerah adalah antara lain: a) uang leges. b) uang tol bea jalan, bea pangkalan dan bea penambangan. c) bea pembantaian dan pemeriksaan. d) uang sempadan dan izin bangunan. e) retribusi atas pemakaian tanah. f) bea-penguburan. b. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (2) yakni : Retribusi dibagi atas tiga golongan : a) Retribusi Jasa Umum. b) Retribusi Jasa Usaha. c) Retribusi Perizinan Tertentu. (jenis retribusi daerah ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)
Universitas Sumatera Utara
c. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 108 yakni : 1) Objek Retribusi adalah : a) Jasa Umum. b) Jasa Usaha. c) Perizinan Tertentu. 2) Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum. 3) Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. 4) Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. Pajak daerah dan retribusi daerah pada intinya merupakan salah satu sumber dari PAD, walaupun terkadang pajak daerah dan retribusi daerah ini tidak menjadi sumber yang utama bagi pemasukan PAD. Pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai ruang lingkup yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, adapun yang membedakan antara pajak daerah dan retribusi daerah adalah 96: 1. Lapangan pajak daerah adalah lapangan yang belum digali oleh tingkat atasan (pemerintah pusat atau pemerintah provinsi), sehingga lapangan pajak yang sama tidak boleh diusahkan/dipungut oleh dua atau lebih instansi pemerintahan. Kesamaan dalam lapangan pajak daerah tidak diperbolehkan, sedangkan dalam lapangan retribusi daerah diperbolehkan. 2. Pajak daerah dipungut tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya pemberian jasa oleh masing-masing daerah. Pemungutan pajak daerah didasarkan atas paksaan dengan melalui peraturan perundang-undangan, sedangkan pemungutan retribusi daerah didasarkan atas pemberian jasa kepada pemakai jasa, apabila ingin memperoleh atau memakai jasa yang disediakan oleh pihak pemerintah daerah barulah pemakai jasa membayarnya. 3. Pajak daerah dibayar oleh orang-orang tertentu yakni para wajib pajak, namun pada retribusi daerah harus dibayar oleh siapa saja yang telah menggunakan jasa yang telah disediakan oleh pemerintah daerah baik anak-anak, orang dewasa dan lain-lain.
96
Josef Riwu Kaho, Analisa, op.cit, hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
4. Pada umumnya pajak daerah dikenakan setahun sekali dan pembayarannya dapat dilakukan secara sekaligus namun seringkali dapat dicicil sedangkan pada pemungutan retribusi daerah, pemungutan dapat dilakukan berulangulang terhadap seseorang sepanjang seseorang tersebut berulang kali menikmati jasa yang disediakan sebab retribusi biasanya biayanya kecil maka pembayarannya tidak diangsur Lapangan retribusi daerah sangat beranekaragam dan sangat dipengaruhi kualitas dari fasilitas atau sarana pelayanan yang disediakan oleh masing-masing pemerintah daerah, sehingga pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah ini mempunyai prospek yang bagus 97. Oleh karena itu, guna meningkatkan sumber penerimaan dari lapangan retribusi daerah ini ialah dengan cara membangun sarana dan prasarana yang mempunyai manfaat yang cukup besar pula bagi masyarakat daerah yang kelak akan menikmatinya 98. Berkaitan dengan pendapatan asli daerah maka bukan hanya pajak daerah dan retribusi daerah saja yang menjadi sumber pendapatan asli daerah, berikut ini beberapa sumber-sumber pendapatan asli daerah dari beberapa undang-undang yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia yaitu: 99 a.
UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri menetapkan yang menjadi pendapatan pokok dari daerah ada lima kelompok yaitu :
97
Faisal Akbar Nasution, op.cit, hal. 135. Ibid. 99 Marihot P Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 2. 98
Universitas Sumatera Utara
1) 2) 3) 4) 5)
Pajak daerah. Retribusi daerah. Pendapatan yang diserahkan kepada daerah. Hasil perusahaan daerah. Dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan.
b. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa sumber keuangan daerah adalah : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Hasil perusahaan daerah dan sebagian hasil perusahaan negara. Pajak daerah. Retribusi daerah. Pajak negara yang diserahkan kepada daerah. Bagian dari hasil pajak pemerintah pusat. Pinjaman. Lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan kepribadian nasional.
c. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menetapkan bahwa sumber keuangan daerah adalah sebagai berikut : 1) Pendapatan asli daerah, yang terdiri dari : a) Hasil pajak daerah. b) Hasil retribusi daerah. c) Hasil perusahaan daerah. d) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah. 2) Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah, yang terdiri dari : a) Sumbangan dari pemerintah. b) Sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. 3) Lain-lain pendapatan yang sah. d. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa untuk melaksanakan otonomi daerah, khususnya asas desentralisasi, pemerintah daerah memiliki sumber penerimaan dari empat kelompok sebagaimana dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
1) PAD yakni penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi : a) Hasil pajak daerah. b) Hasil retribusi daerah. c) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah serta, d) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa giro. 2) Dana perimbangan 3) Pinjaman daerah. 4) Lain-lain penerimaan yang sah antara lain hibah/penerimaan dari daerah provinsi atas daerah kabupaten/kota lainnya, dana darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari dua kelompok yaitu : 1) PAD yakni pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan, perundangundangan meliputi : a) Pajak daerah. b) Retribusi daerah. c) Hasil pengelolaan kekayaan dipisahkan, antara lain bagian laba BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan, d) Lain-lain PAD yang sah. 2) Dana perimbangan. 3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber penerimaan daerah yang kedua yakni yang bersumber dari : 1) Sisa lebih perhitungan anggaran daerah. 2) Penerimaan pinjaman daerah.
Universitas Sumatera Utara
3) Dana cadangan. 4) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka dibentuk pula peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai pelaksana dari undang-undang tersebut. Beberapa peraturan pemerintah yang dikeluarkan setelah undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah serta yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini yaitu : 1. Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, inti dari peraturan pemerintah ini adalah pembagian jenis-jenis pajak daerah yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan tujuan agar mempermudah pemerintah daerah dalam melakukan penyusunan dan penyiapan peraturan daerah tentang pajak. Terdapat beberapa jenis pajak provinsi dan kabupaten yakni : a. Jenis pajak provinsi terdiri atas : 100 1) Pajak Kendaraan Bermotor. 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 4) Pajak Air Permukaan. 5) Pajak Rokok. b. Jenis Pajak kabupaten terdiri atas : 101 100
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oeh Wajib Pajak. 101 Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oeh Wajib Pajak.
Universitas Sumatera Utara
1) Pajak Hotel. 2) Pajak Restoran. 3) Pajak Hiburan. 4) Pajak Reklame. 5) Pajak Penerangan Jalan. 6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. 7) Pajak Parkir. 8) Pajak Air Tanah. 9) Pajak Sarang Burung Walet. 10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan Pasal 3 dari peraturan pemerintah ini yakni pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak air permukaan, pajak reklame, pajak air tanah, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah. Sedangkan berdasarkan Pasal 4, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak rokok, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan bantuan, pajak parkir, pajak sarang burung walet, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibayar sendiri oleh wajib pajak. 2. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Inti dari peraturan pemerintah ini adalah mengatur tentang tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Insentif ini diberikan kepada instansi pelaksana pemungut pajak daerah dan retribusi daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai penanggungjawab pengelolaan keuangan daerah, sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah,
Universitas Sumatera Utara
sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah, pemungut pajak bumi dan bangunan pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan, kepala desa/lurah atau sebutan lain dan camat, dan tenaga lainnya yang ditugaskan oleh instansi pelaksana penungut pajak, pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak daerah dan retribusi daerah. Apabila peraturan pemerintah telah ada, maka pada tingkat kabupaten harus mengeluarkan peraturan daerah dan peraturan bupati (perbup) sebagai dasar hukum pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, sebab pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Beberapa perda dan perbup yang telah dikeluarkan oleh Pemerintahan Kabupaten Nias Barat adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, yakni mengatur tentang jenis pajak daerah kabupaten, objek pajak daerah, tarif pajak daerah, tata cara pemungutan pajak daerah, tata cara pembayaran dan penagihan, keberatan dan banding, pembetulan, pembatalan, pengurangan, ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif, pengembalian kelebihan pembayaran, kedaluwarsa penagihan, pembukuan dan pemeriksaan, insentif pemungutan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Perda ini terdiri dari 91 pasal dengan 12 bab dan 14 bagian.
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, yakni mengatur tentang jenis retribusi jasa umum, objek retribusi jasa umum, struktur dan besarnya tarif retribusi jasa umum, cara mengukur tingkat penggunaan jasa, tata cara penghitungan retribusi, prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi, peninjauan tarif, tata cara pemungutan retribusi, sanksi administratif, tata cara pembayaran retribusi, tata cara penagihan, keberatan, pengembalian kelebihan
pembayaran,
kedaluwarsa
penagihan,
pembukuan
dan
pemeriksaan, insentif pemungutan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Perda ini terdiri dari 79 pasal, 19 bab, 9 bagian. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Nias barat No. 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, mengatur tentang jenis retribusi jasa usaha, objek retribusi jasa usaha, cara mengukur tingkat penggunaan jasa, struktur dan besarnya tarif retribusi, prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi, tata cara pemungutan, sanksi administratif, tata cara pembayaran, tata cara penagihan, keberatan wajib retribusi tertentu, pengembalian kelebihan pembayaran, kedaluwarsa penagihan, pemeriksaan, insentif pemungutan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Perda ini terdiri dari 73 pasal, 18 bab. 4. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, mengatur tentang jenis retribusi perizinan tertentu, objek retribusi perizinan tertentu, cara mengukur tingkat penggunaan jasa, struktur
Universitas Sumatera Utara
dan besarnya tarif retribusi, prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi, tata cara pemungutan, sanksi administratif, tata cara pembayaran, tata cara penagihan, keberatan wajib retribusi tertentu, pengembalian kelebihan pembayaran, kedaluwarsa penagihan, pemeriksaan, insentif pemungutan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Perda ini terdiri dari 55 pasal, 18 bab. 5. Peraturan Bupati Nias Barat No. 20 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Rumah Potong Hewan, mengatur tentang nama, subjek, objek dan jenis retribusi rumah potongan hewan, struktur dan besarnya tarif retribusi rumah potong hewan, syarat dan tata cara pemotongan hewan, pemungutan retribusi, pengembalian kelebihan
pembayaran,
kedaluarsa
penagihan,
insentif
pemungutan,
pengawasan, ketentuan penutup. Perbup ini terdiri dari 19 pasal, dan 9 bab. 6. Peraturan Bupati Nias Barat No. 18 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Pajak Restoran, mengatur mengenai Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Pajak Restoran, mengatur nama, objek, subjek dan wajib pajak restoran, pendaftaraan dan pelaporan, tata cara penghitungan pajak, tata cara pemungutan pajak, penagihan, bon jual, pembukuan, pemeriksaan dan pengawasan, keberatan, keringanan, pembebasan pajak dan banding, pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi
Universitas Sumatera Utara
administrasi, pengembalian kelebihan pembayaran, ketentuan penutup. Perbup ini terdiri dari 37 pasal, 11 bab. 7. Peraturan Bupati Nias Barat No. 19 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Pelayanan Pasar mengatur nama, objek, subjek retribusi pelayanan pasar, tata cara pemungutan dan penyetoran retribusi, tarif retribusi pelayanan, ketentuan penutup. Perbup ini terdiri dari 6 (enam) pasal, dan 5 (lima) bab. 8. Peraturan Bupati Nias Barat No. 17 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksaanan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan mengatur tentang nama, objek, subjek dan wajib pajak, dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitung pajak, wilayah pemungutan, masa pajak dan saat terutangnya pajak, pemungutan dan penetapan pajak, tata cara pembayaran dan penagihan, keberatan dan banding, pembetulan, pembatalan, pengurangan, ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif,
kedaluarsa
penagihan
pajak,
pemeriksaan,
pembinaan,
pengawasan dan pengendalian, ketentuan penutup. Perbup ini terdiri dari 29 pasal, dan 13 bab. 9. Surat Edaran Bupati Nias Barat No. 970/105/Dispenda tentang Pajak Mineral Bukan Logam yang berisi agar seluruh pimpinan Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD), Pejabat Pembuat Komitmen untuk melakukan analisis perhitungan pajak mineral bukan logam dan batuan dalam rencana anggaran
Universitas Sumatera Utara
biaya (RAB) setiap jenis proyek fisik serta menyerahkan RAB dan analisis RAB kepada Bupati Nias Barat. Berdasarkan uraian di atas, khususnya perda, perbup, dan surat edaran di Kabupaten Nias Barat tidak terindikasi bertentangan dengan undang-undang yang berada di atasnya, sebab pada hakikatnya perda merupakan produk hukum dalam rangka melaksanakan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah, 102 sehingga dapat dikatakan bahwa materi muatan peraturan daerah pada dasarnya yakni berkaitan dengan urusan rumah tangga daerah sebab halhal yang menjadi urusan rumah tangga daerah diatur oleh daerah sendiri. Atau dengan kata lain muatan perda dan perbup adalah materi yang berhubungan dengan urusan otonomi daerah (desentralisasi) dan materi yang berhubungan dengan tugas pembantuan. Pemerintah Kabupaten Nias Barat belum sepenuhnya melengkapi atau menetapkan peraturan bupati yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah, padahal Kabupaten Nias Barat telah terbentuk lebih dari tiga tahun. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kinerja dari Kepala Daerah dan Perangkat Daerah Kabupaten Nias Barat sebagai administrator negara. Di dalam hukum administrasi negara, administrator negara berfungsi untuk dapat menjamin/menciptakan
102
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, ( Bandung : Mandar Maju, 1998), hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
administrasi negara (pejabat) yang tertib, sopan, berlaku adil, obyektif, jujur, dan efisien. 103
103
Prajudi Atmosudirjo, op.cit, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara