BAB II PENGATURAN SISTEM BAGI HASIL DALAM HUKUM ISLAM A.Pengertian Dan Pengaturan Sistem Bagi Hasil Dalam Hukum Islam. 1.Sejarah Sistem Bagi Hasil
Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraanbisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalanberdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi (Crone, 1987; Kazarian, 1991; Cizaka,1995). Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. 16 Di Madinah masa itu system bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan muzara’ah, (An-Nadwi, 2006:131). Mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal penggarapnya, (Hosen dan Ali, 2007:49). Muzara’ah adalah kerja sama
16
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta : Kencana
2001). Hlm.90.
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal pemilih lahan, (Hosen dan Ali, 2007:53). Praktek bagi hasil yang dijalankan di Mekah masa itu adalah kerja sama perdagangan (usaha) dalam bentuk shirkah dan mudharabah. Afzalurrahman dalam bukunya Muhammad sebagai Seorang Pedagang, (2000:3) menulis: ”Kaum Qurasy... Mereka mempunyai pengetahuan dagang yang sangat baik dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Usaha perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi organisasi usaha pun telah mereka dirikan. Shirkah (kerjasama) dalam berbagai tipe dijalankan, di mana para pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya sleeping partner, dan dengan cara demikian 134 mereka ikut menikmati keuntungan dan menderita kerugian (mudlarabah). Lebih lanjut Afzalurrahman menerangkan bahwa kerjasama dengan sistem bagi hasil ini telah dipraktekan nabi Muhammad SAW pada masa mudanya antara usia 17 atau 18 tahun. Nabi menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal uang orang lain, baik dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra. Kerjasama bisnis Nabi Muhammad yang banyak diriwayatkan adalah kerjasama Nabi dengan Siti Khatijah. Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan muzara’ah dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama bagi hasil memelihara ternak dengan cara maro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50% dari anak ternaknya
Universitas Sumatera Utara
atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserhakan kepada pemeriharannya). Konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam mengharamkan bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan isinya yang paling pokok, akan dapat beroperasi untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada ekonomi dan membantu negara Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosioekonomi jangka pendek dan jangka panjang. (Chapra, 1985).Qureshi (1974), Uzair (1978), dan Siddiqi (1983) menyatakan bahwa bagi hasil-lah yang harus menjadi karakteristik utama operasional pembiayaan perbankan Islam. Teori perbankan Islam, muncul setelah Qureshi (1946) mengeluarkan buku Islam and the Theory of Interest. Qureshi memandang bahwa bank merupakan sebuah pelayanan sosial yang disponsori oleh pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan publik. Ia mengambil titik pandang ini semenjak bank tidak akan membayar bunga baik kepada pemegang rekening maupun tidak memberi beban bunga pada pinjaman. Qureshi juga membicarakan kemitraan antara bank dan pengusaha sebagai sebuah alternatif yang memungkinkan, bagi untung dan bagi rugi jika ada kerugian. Mannan (1970:164) menyatakan bahwa konsep Bank Islam, bersumber pada konsep Islam tentang uang. Dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Dengan demikian Bank Islam atau Bank Syariah adalah sistem perbankan yang beroperasi berdasarkan pada syari’ah Islam. Pelaksanaan operasional135 bank Islam selalu berprinsipkan pada keadilan, kasih sayang, kesejahteraan (falah) dan kebijaksanaan atau anti
Universitas Sumatera Utara
penindasan, anti kekerasan, anti kemiskinan dan anti kebodohan serta menolak ribadalam segala bentuknya. 17 Sistem bagi hasil dalam sektor keuangan (perbankan) pertama digunakan pada abad XX yaitu berdirinya bank Mit Ghaur tahun 1963 dan Nasir Social Bank di Mesir pada tahun 1963 (Capra, 2000:266). Pada awalnya bank ini berkembang pesat tetapi karena alasan politik dibekukan pada tahun 1967. Eksperimen lainnya adalah Bank Koperasi di Pakistan yang didirikan oleh S.A. Ishad pada bulan Juni 1965, tetapi pada perjalanan mengalami mismanajemen sehingga akhirnya tutup (Joyosumarto, 2007). Kemudian disusul bank-bank Islam lainnya yaitu: The Islamic Development Bank (Saudi Arabia, 1975), The Dubai Islamic Bank (1975), The Faisal Islamic Bank (Mesir, 1976), The Faisal Islamic Bank (Sudan 1977), The Jordan Islamic Bank (1978), The Jordan Financial and Investment Bank (1978), The Islamic Investment Company (Uni Emirat Arab, 1978), Kuwait Finance House (1979). Pada tahun 1983, perbankan di Iran menerapkan bagi hasil dan melarang bunga. Iran merupakan negara yang paling sukses mendorong ekonominya dengan sistem perbankan bagi hasil. Sudan menerapkan sistem bagi hasil mulai tahun 1984 tetapi karena kondisi politik maka tidak sesukses Iran. Pada bulan Juli 1985 semua bank di Pakistan dirubah dengan sistem profit sharing dan bunga dilarang. Profit sharing dalam keuangan di Malaysia pertama dipraktekan dalam pengelolaan dana haji yaitu mulai tahun1963. Di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia (201 juta jiwa, BPS:2006), dikategorikan terlambat mempraktekan sistem bagi hasil 17
Ibid, hlm 91.
Universitas Sumatera Utara
khususnya pada perbankan. Bank syari’ah pertama kali berdiri pada tahun 1992 yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada Desember 2006 di Indonesia telah berdiri 3 Bank Umum Syari’ah (BUS), 20 Unit Usaha Syari’ah (UUS) dan 94 Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS). Perkembankan perbankan syari’ah ini masih dikategorikan
lambat
melihat
potensi Indonesia
sebagai
negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia. 2. Pengertian Sistem Bagi Hasil a. Pengertian Akad Bagi Hasil / Mudharabah Prinsip bagi hasil (Profit-and Loss Sharing) sudah ada sebelum datangnya Islam. Di Timur Tengah Pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. 18 Secara harafiah dalam konsepsi pandangan hukum Islam, bagi hasil lebih sering dikenal dengan istilah “Mudharabah”, yang dapat disebutkan dalam sejarah merupakan akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak jaman nabi. Bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunannya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Siti Khadijah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib “Jika memberikan dan kepada mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan 18
M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Mahzab” (Jakarta : Erlangga, 2000), hlm 1-2.
Universitas Sumatera Utara
agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syaratsyarat
tersebut
kepada
Rasulullah
SAW,
dan
Rasulullah
pun
membolehkannya”(HR.Thabrani) Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “tiga hal yang di dalamnya
terdapat
keberkatan:
jual
beli
secara
tangguh,
muqaradhah(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”(HR. Ibnu Majah) Diriwayatkan dari Hakim bin Nizam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa diatas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya. 19 Dengan demikian, apabila ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut Alquran, Sunnah, maupun Ijma. 20 Konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam mengharamkan bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan isinya yang paling pokok, akan dapat 19
HR Ad-Daruqutni dalam sunnahnya no.3033 dan Al-Baihaqi dalam assunnah Al-Kubra VI/111 no.11944. Syaikh Al-albani menshahihkannya dalam Al Irwa’ no.1472 20
Ibid.hlm 4.
Universitas Sumatera Utara
beroperasi untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada ekonomi dan membantu negara Islam dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosio ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh nabi ketika itu keluar negeri. Dalam hal ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal sedangkan nabi berperan sebagai pelaksana usaha. Bentuk kontrak antara dua pihak dimana salah satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni pelaksana usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang disebut dengan akad mudharabah. 21 Akad mudharabah adalah persetujuan berbagi antara harta dari salah satu pihak dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak lain. 22 b. Rukun Bagi Hasil / Mudharabah Faktor-faktor yang harus dimunculkan (ada) dalam sistem akad bagi hasil adalah: 1) Pelaku (Pemilik modal maupun pelaksana usaha) Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual-beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama pelaku kiranya cukup jelas. Dalam hal akad pemilik modal (shahib almal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaku usaha (mudharib ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak akan ada. 2) Objek Mudharabah (Modal dan kerja)
21
Adiwarwan Karim, “Analisis Fiqih dan Keuangan Bank Islam” (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm 204. 22 Ibid, hlm 205.
Universitas Sumatera Utara
Faktor kedua objek bagi hasil merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bebentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerjayang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, managemen keahlian, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini maka mudharabah bisa dikatakan tidak ada. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang, tetapi ia harus memberikan uang tunai karena barang ridak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian besarnya modal mudharabah. Namun para ulama mahzab hanafi memperbolehkan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal. Hal yang jelas tidak boleh adalah modal mudharabah yang belum disetor. Para fuqaha tidak sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul ‘mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal para mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maiki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. 3) Persetujuan kedua belah pihak / ijab Kabul Faktor ketiga yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip sama-sama rela (an-taraddin minkum). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
Universitas Sumatera Utara
Pemilik dana setuju dengan pernannya untuk mengkontribusikan dana, sementara pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. 4) Nisbah keuntungan Faktor keempat yakni nisbah merupakan rukun khas dalam akad mudharabah, yang tidakada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al’mal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungn inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. 23 c. Nisbah Keuntungan dalam Sistem Bagi Hasil Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal atau harga tertentu. Jadi nisbah keuntungan itu misalnya itu dalam pembagian setengah-setengah, sepertiga untuk selebihnya atau seperempat-tigaperempat. Jadi nisbah keuntungan itu ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi modal setoran; tentuu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal harga mata uang tertentu. Pada penjelasan tentang bagi untung dan bagi rugi, ketentuan diatas merupakan konsekueni logi dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong kedalam kontrak investasi. Dalam kontrak ini, return dan timing cash
23
Al-Kasani, Ibnu Qudamah, “Jurnal-jurnal Islam tentang Bank Islam vol 1-9 ”.
Universitas Sumatera Utara
flow kita tergantung pada kinerja sector rillnya. Bila laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, maka mereka psti mendapatkan keuntungan yang kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nilai nominal mata uang tertentu. Bagaimana halnya bila terjadi kerugian dalam pelaksanaan bisnis, dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian maka bagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan modal pihak masing-masing. Terjadinya perbedaan dalam pembagian antara bagi untung dengan bagi rugi karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Apabila terjadi keuntungan maka tidak ada masalah untuk menikmati keuntungan, karena sebesar apapun yang terjadi kedua belah pihak akan selalu menikmati keuntungan tersebut. Lain halya bila terjadi bisnis merugi, kemampuan shahib al’mal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dank arena proporsi modal / financial ditanggung keseluruhan oleh shahib al’mal. Dilain pihak, karena proporsi modal / financial mudharib dalam kontrak ini adalah nol persen, maka apabila terjadi kerugian, mudharib akan menanggung kerugian sebesar nol persen pula. 24
24
Wahbah Zuhaili, Jurnal Islam : Al-fiqhu Al-Islamib wa-Adilatuhu, vol 5, hlm 195.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengaturan Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Islam Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat (275) dan surat An-Nisa ayat (29) yang intinya : Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang dan/atau jasa. Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. 25 Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang atau jasa dulu baru ada uang, sehingga akan mendorong produksi barang atau jasa, mendorong kelacaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi. Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga ekonomi islam menyediakansarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi
25
Ascarya. Akad&Produk Bank Syariah. (Semarang : Tohaputra,2008). Hal: 50.
Universitas Sumatera Utara
hasil, pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan. a. Investasi, bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank ini (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dana yang sifat tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan bisa satu hari. b. Pembiayaan Investasi, ialah pembiayaan yang baik sepenuhnya (almudharabah) ataupun sebahagian (al-musyarakah) terhadap suatu usaha yang tidak termasuk dalam bentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan. c. Dari keseluruhan penjelasan diatas, dalam konsepsi pembiayaan yang paling disukai sebenarnya adalah pembiayaan mudharabah. Karena ketika dala sejarah perdagangan hukum islam (tarikh) Nabi Muhammad SAW sebagai contohnya, dengan adanya sistem mudharabah sebagai sistem penitipan modal yang dikelola Nabi ketika beliau dipercaya membawa sebagian barang dagangannya Siti Khadijah r.a. dari Mekkah ke negeri Syam. Barang dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha, karena oleh nabi dijual
Universitas Sumatera Utara
dan hasilnya dibelikan untuk barang dagangan yang lainyya untuk dijual lagi dipasar Busrha di negeri Syam. Nabi dalam perjalannya (dharb) untuk mencari sebahagian karunia Allah SWT. Setelah berapa lama nabi kemudian ke Mekkah membawa hasil usahanya dengan dilaporkan kepada Siti Khadijah r.a. harta yang telah dikembankannya itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada yang memiliki, sedangkan selisihnya antara harta asal (rabbul maal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula. 26 Menurut buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar SAW, sebelum nabi berangkat ke negeri Syam, Siti Khadijah r.a. menjanjikan bagian keuntungan kepada beliau dua kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Quraisy lainnya. 27
A. Jenis Pola dan Penentuan Sistem Bagi Hasil dalam Hukum Islam. 1.
Jenis dalam Penentuan Bagi Hasil Sistem bagi hasil dapat diterapkan dalam empat model yaitu pertama, bagi
sistem hasil berdasarkan pendapatan (Revenue Sharing System,RSS), kedua, sistem bagi hasil berdasarkan laba kotor (Gross Profit Sharing System(GPSS), ketiga, sistem bagi hasil berdasarkan laba operasi bersih (Operating Profit Sharing System, OPSS) dan keempat, sistem bagi hasil berdasarkan laba bersih (Net Profit Sharing System, NPSS). Sistem bagi hasil pendapatan (Revenue
26
Widyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2000), hlm 16-
17. 27
M. Al Hamid Husaini, Riwayat Nabi Besar Muhammad SAW, (Jakarta: Yayasan AlHamid, 2002), hlm 24.
Universitas Sumatera Utara
Sharing System,RSS) atau sistem bagi hasil yang berbasiskan pendapatan (Sharing System for Based of Revenue, SSBR ) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan (revenue) yang diperoleh sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model bagi hasil ini digunakan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: a. Posisi lembaga pembiayaan pada saat negosiasi akad lebih kuat daripada penerima pembiayaan. Posisi ini berbalik setelah akad terjadi yaitu posisi penerima pembiayaan lebih kuat dari pemberi pembiayaan, ini terjadi karena pada saat pembagian hasil usaha penerima pembiayaan berubah menjadi pemberi hasil usaha dan pemberi pembiayaan berubah menjadi penerima hasil usaha. b. Meminalisir moral hazard dari penerima pembiayaan yang akan merugikan pemberi pembiayaan, misalnya manipulasi laporan keuangan yang cenderung membesarkan biaya-biaya yang dikeluarakan untuk menghindari pembayaran bagi hasil. c. Antara penerima dan pemberi pembiayaan belum terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya). 28 Revenue Sharing System dianggap sistem bagi hasil yang paling kecil moral hazard, sehingga Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dalam fatwanya no: 15/DSN-MUI/IX/2000, menetapakan bahwa bagi hasil boleh dilaksanakan berdasarkan profit dan pendapatan pengelolaan dana yang diperoleh. Tetapi karena pertimbangan demi kemaslahatan sebaiknya sistem yang digunakan adalah 28
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Islam Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 187-188.
Universitas Sumatera Utara
revenue sharing. Pada prakteknya bagi hasil yang umum digunakan memang sistem revenue sharing, karena sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya baik bagi pemilik dana maupun pengelola dananya. Walaupun dalam sistem ini kemungkinan terjadinya moral hazard tetaplah ada misalnya merekayasa pendapatan yang diperolehnya diperkecil dengan tujuan agar membayar bagi hasil lebih sedikit dari yang sesungguhnya diperoleh. Sistem bagi hasil laba kotor (Gross Profit Sharing System / GPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba kotor (Sharing System for Based of Gross Margin, SSBGM) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biayabiaya variabel (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model GPSS digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi pembiayaan mulai terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya). Sistem bagi hasil laba operasi bersih (Operating Profit Sharing System, OPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba operasi kotor (Sharing System for Based of Operating Profit, SSBOP) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap serta biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi. Model ini digunakan dengan pertimbangannya adalah antara penerima dan pemberi pembiayaan telah terbentuk hubungan yang saling amanah (percaya). 29
29
Ibid, hlm 189-190
Universitas Sumatera Utara
Model ini sangat sesuai pada sistem kerjasama dengan menggunakan musyarakah. Sistem bagi hasil laba bersih (Net Profit Sharing System, NPSS) atau bagi hasil berbasiskan laba bersih (Sharing System for Based of Net Profit, SSBNP) adalah sistem bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya variabel (biaya variabel produksi atau harga pokok produksi atau harga pokok pembelian) dan biaya-biaya tetap serta biaya lain-lain baik yang dikeluarkan dalam proses produksi dan telah dikurangi pajak perusahaan yang harus dibayarkan. Model ini digunakan dengan pertimbangan antara penerima pembiayaan dan pemberi pembiayaan karena benar-benar telah saling dapat dipercaya, transparan dan profesional sehingga kemungkinan moral hazard sangat kecil. Model ini sangat sesuai pada sistem kerjasama dengan menggunakan musyarakah. 2.
Pola dalam Penentuan Bagi Hasil. Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai
sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan muzara’ah denga persentase 50% banding 50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama bagi hasil memelihara ternak dengan cara bagi hasil dengan nisbah 50% banding 50% dari anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserhakan kepada pemeriharannya. Konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam, karena Islam mengharamkan bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan isinya yang paling pokok, akan dapat beroperasi untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada ekonomi dan membantu negara Islam dalam mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan sosial ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Bagi hasil bentuk tersebut merupakan menjadi bentuk karakteristik utama operasional pembiayaan perbankan Islam. 30 Ada dua jenis pola dalam sistem bagi hasil yang terdapar dalam menentukan beberapa bagian yang diperoleh masisng-masing pihak yang terkait. Sistem bagi hasil yang pada dasarnya erat kaitannya dengan beberapa marjin yang akan ditetapkan yaitu dengan: a.
Profit Sharing, adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setalh dikurangni dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Apabila suatu bank menggunakan sistem ini kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang diterima shahibul maal akan semakin kecil. Kondisi ini akan mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menginvestasikan uang ataupun dananya kepada Bank Syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana pihak tiga secara kesuluruhan.
b.
Revenue Sharing, adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biayabiaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Bank yang menggunakan sistem ini kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga pada pasar yang berlaku saat itu juga. Kondisi ini akan
30
Adiwarman, Op. Cit, hlm 212
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi pemilik dana untuk berinvestasi di Bank Syariah dan dana pihak ketiga akan meningkat. 31 Didalam perbankan syariah di Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada revenue sharing system. Bank Syariah dapat berperan sebagai pengelola maupun pemilik dimana ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh pihak bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut kepada pihak nasabah pengelola dana. Penentuan bagi hasil yang berlaku dapat dilakukan dengan langkah-langkah yaitu penentuan besarnya rasio bagi hasil yang dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi, selanjutnya besar rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh dan besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (an-taradhin) dimasing-masing tanpa adanya unsur paksaan. 32
31
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syariah, (Bandung: Erlangga, 2001), hlm 97. 32 Muhammad Kasmir, Manajemen Perbankan Syariah Edisi Revisi, Yogyakarta: UII Press, hlm 96-97
Universitas Sumatera Utara