BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA
A. Sejarah Pungutan Liar di Indonesia Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 61 Pada awalnya, tindakan kolutif
dari masyarakat lebih banyak karena
keterpaksaan, yaitu sebagai bentuk respons mereka terhadap kerumitan, pemaksaan dan ketidak pastian pelayanan publik. Namun, apabila pada perkembangannya masyarakat pengguna layanan justru banyak yang merasa lega ketika melakukan hal itu, atau bahkan mengharapkannya karena beranggapan hal itu dapat mempercepat urusannya, dan tidak menganggapnya sebagai praktik negatif yang merugikan berarti masyarakat kita telah ikut melembagakan praktik pungutan liar. 62 Pada masa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977 tentang Operasi Penertiban (1977-1981), dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang 61
BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat, (Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI , 2002), hal. 6. 62 Berdasarkan hasil penelitian dan data Governance and Decentralization Survei pada tahun 2002 yang menunjukan sebahagian besar masyarakat pengguna pelayanan publik di Indonesia merasa senang dan lega jika mereka dimintai membayar pungutan liar pada saat mengurus pelayanan publik. Dalam Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2003), hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
siluman, penertiban aparat pemda dan departemen. Untuk memperlancar dan mengefektifkan pelaksanaan penertiban ini ditugaskan kepada Menteri Negara Penertiban
Aparatur
Negara,
untuk
mengkoordinir
pelaksanaannya
dan
Pangkopkamtib untuk membantu Departemen/Lembaga pelaksanaanya secara operasional. 63 Pemberantasan pungutan liar yang dipimpin oleh Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yaitu Laksamana Sudomo. Jabatan Pangkopkamtib pada masa orde-baru merupakan institusi super body bidang politik, hukum dan keamanan. Militer, dan seluruh institusi penegak hukum di bawah kendali Pangkopkamtib. Pungutan liar di jembatan timbang dijadikan simbol pemberantasan pungutan liar. Karena “kebiasaan” di jembatan timbang, telah terjadi puluhan tahun. Begitu pula dengan institusi perizinan juga dituding sebagai sarang pungutan liar. 64 Prioritas penindakan Operasi Tertib adalah "pungutan liar" dalam segala bentuknya. Khususnya pungutan liar yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, seperti pungutan liar di jembatan timbang, pungutan liar oleh penegak hukum di semua instansi (hakim, jaksa, polisi), per-caloan kreta api/pesawat/kapal laut, pungutan liar pada pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain sebagainya. 65
63
Wijayanto,dkk, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010). hal. 672. 64 Ibid,. 65 Lihat juga mengenai Program Global Melawan Korupsi Dalam Singgih, Op. Cit. Hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib bertujuan untuk menghilangkan praktek-praktek yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam aparatur Pemerintah yang tidak berdasarkan peraturan seperti pungutan liar dalam berbagai bentuknya dan untuk memperbaiki serta meningkatkan dayaguna dan hasil-guna aparatur Pemerintah, diperlukan adanya langkah-langkah penertiban secara menyeluruh dan terus menerus di dalam tubuh aparatur Pemerintah. Pada awalnya Operasi Tertib dibentuk untuk pembersihan pungutan liar di jalan-jalan, penertiban uang siluman di pelabuhan, baik pungutan tidak resmi maupun resmi, tetapi tidak sah menurut hukum. Namun, pada tahun 1977 sasaran penertibannya diperluas, beralih dari jalan-jalan ke aparat departemen dan daerah. Terbentuknya Operasi Tertib adalah juga pengakuan bahwa masih banyak yang tidak tertib dalam administrasi pemerintahan sehingga menciptakan pungutan liar. Adanya Operasi Tertib di lain pihak juga menyajikan harapan kepada masyarakat yang tahu bahwa tidak bersihnya aparatur negara sudah pada titik yang menimbulkan putus asa. 66 Dengan undang-undang dan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya menindak koruptor, pemerintah tetap merasa perlu mengerahkan Kopkamtib dan Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah yaitu Kodam) untuk melaksanakan "Operasi Tertib" memberantas korupsi, manipulasi dan pungutan liar. Operasi Tertib bergerak dengan jaringan Satgas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi
66
Sudarta, 40 Tahun Oom Pasikom, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
dan inspektorat jenderal departemen ditempatkan inspektur Operasi Tertib untuk "mendinamisir" pengawasan. 67 Meskipun Operasi Tertib pada saat itu telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai selama tahun 1977-1981, dan setiap selambatnya tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah, Ketua BPK Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa "tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi". Sebulan kemudian, November 1981, Wakil Presiden Adam Malik menimpali bahwa "korupsi sudah epidemik. 68 Memangkas biaya pungutan liar juga bertujuan untuk meringankan beban pengusaha, dan mengalihkan biaya tersebut untuk kepentingan buruh. Pemerintah tak perlu menempuh kebijakan populis yang seolah membela tapi sebenarnya dalam jangka panjang merugikan buruh. 69 Berhasil tidaknya Operasi Tertib ini juga tergantung dari aparatur negara. Ada kesan bahwa atasan itu cenderung melindungi bawahan. Satu dan lain hal disebabkan karena pungutan liar memang terjadi dari atas
67
Ibid,. http://www.tempo.co/read/news/ dalam artikel Operasi Tertib Pungutan Liar, diakses pada tanggal 19 Juli 2012. 69 Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). 68
Universitas Sumatera Utara
sampai ke bawah. Bahkan tidak mustahil merupakan jaringan kerjasama dari atas ke bawah. 70 Beberapa contoh tentang bentuk penyelewengan tersebut antara lain: 71 a. Pungutan atas gaji/pensiun Pegawai Negeri oleh oknum instansi yang bersangkutan; b. Pungutan atas pengangkatan Pegawai Negeri oleh instansi yang bersangkutan; c. Pungutan atas biaya-biaya perjalanan pegawai oknum instansi yang bersangkutan; d. Pungutan oleh oknum-oknum instansi atas pembelian Departemen atau instansi, sehingga meningkatkan harga di luar kewajaran (dalam hal tender misalnya); e. Pungutan atas pemberian izin-izin seperti izin usaha, izin dagang, izin bangunan, izin kerja, paspor dan sebagainya oleh oknum instansi yang bersangkutan dalam hal melakukan pelayanan kepada masyarkat dan hal-hal semacam ini terjadi di hampir setiap instansi yang mengeluarkan, perizinan-perizinan tersebut; f. Pungutan-pungutan oleh oknum-oknum KPN atas penguangan SKO untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan; g. Pungutan-pungutan yang terjadi dalam pemasukan barang, khususnya di Bea & Cukai;
70
Tugas atasan memang harus melindungi bawahan. Tapi kalau bawahan sudah menyelewengkan kekuasaannya, atasan harus berani melakukan penindakan. Terpenting dalam hal ini, sebelum melakukan pembersihan atasan harus bersih terlebih dulu. Ini prinsipil. Kalau atasannya sendiri tak bersih dengan sendirinya merasa ragu-ragu melakukan pembersihan. Dengan begitu kepemimpinan jadi tidak tegas. 71 Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1977 Tentang Operasi Tertib.
Universitas Sumatera Utara
h. Pungutan-pungutan yang terjadi dalam hal penyetoran pajak, sehingga besarnya pajak yang masuk ke Negara relatif kecil dibandingkan yang masuk ke oknum petugas pajak yang bersangkutan; i. Pungutan-pungutan resmi yang tidak didasarkan atas peraturan perundangundangan yang sah baik di Departemen maupun di Pemerintah Daerah; dan j. Pungutan-pungutan yang berhubungan dengan pemberian kredit oleh perbankan yang biasanya disebut "uang hangus". Pimpinan Instansi bersangkutan yang diawasi memberikan bantuan pada pelaksanaan pengawasan baik yang dilakukan oleh Inspektur Jenderal atau Instansi Pengawasan lainnya, seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Departemen Keuangan. Pengawasan yang dilakukan oleh atasan ataupun Instansi pengawas hendaknya tidak hanya berdasarkan formalitas saja (yaitu kelengkapan laporan saja) tapi harus lebih dipentingkan adanya pengawasan materiil dengan memeriksa keadaan sesungguhnya. Apabila dalam pelaksanaan pengawasan tersebut ternyata terdapat buktibukti adanya pelanggaran hukum pidana, maka harus segera dilaporkan kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang (polisi atau jaksa). 72 Peningkatan pelaksanaan pengawasan dan penertiban di lingkungan Departemen/Lembaga dan di lingkungan aparatur Pemerintah Daerah telah dilaksanakan dengan dilancarkannya Operasi Tertib terhadap penyalahgunaan 72
Pengawasan merupakan bagian dari seluruh kegiatan pemerintahan, justru untuk menjamin tercapainya tujuan kebijaksanaan yang telah digariskan dan sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu pengawasan bukan ditujukan untuk mencari-cari kesalahan atau mencari siapa yang salah. Tujuan utama pengawasan ialah untuk memahami apa yang salah, demi perbaikan di masa datang. Lihat Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1989), hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
jabatan, komersialisasi jabatan, korupsi, pemborosan-pemborosan, pungutan liar
dan
perbuatan
tercela
lain.
Operasi
Tertib
dimaksudkan
untuk
mendinamisasikan fungsi aparatur pengawasan Pemerintah dalam peningkatan tertib organisasi, kepegawaian, keuangan dan ketatalaksanaan dalam lingkungan Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah. 73 Selain Operasi Tertib yang dilaksanakan secara fungsional dan secara operasional oleh atasan langsung kepada bawahan dalam beberapa tahun berikutnya, dilaksanakan pula penertiban-penertiban yang dilakukan secara khusus, seperti Operasi Bersih dan Berwibawa (Sihwa I) dan Operasi Tunas. Pada tahun ketiga Repelita III telah dilaksanakan operasi penertiban yang diberi nama "Operasi Bersih dan Berwibawa" sebagai operasi untuk menangani adanya penyimpangan dalam pengangkatan pegawai honorer daerah dan pengangkatan lurah dan perangkat kelurahan menjadi pegawai negeri. 74 Desakan publik yang kuat bagi pemerintahan baru untuk memberantas korupsi telah melahirkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang No. 3 tahun 1971, karena UndangUndang No. 3 tahun 1971 dipandang oleh berbagai kalangan mempunyai banyak kelemahan, sehingga banyak koruptor yang lolos dari jerat hukum. 75
73
Timothy Lindsey, Corruption in Asia: Rethinking the Governance Paradigm, (Sydney: The federation press,2002), hal. 134. 74 Ibid,. 75 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, terdapat 12 (dua belas) instruksi kepada para pimpinan birokrasi. Diantaranya adalah instruksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa ataupun perizinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang
meliputi
persayaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar. 76 Dalam Instruksi Presiden tersebut, Presiden antara lain secara khusus menginstruksikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menyiapkan rumusan kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Presiden juga menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota agar meningkatkan
pelayanan
publik
dan
meniadakan
pungutan
liar
dalam
pelaksanaannya. Inpres itu sendiri hanyalah instruksi yang bersifat umum dan bukan bersifat teknis. Oleh karena itu, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 perlu diterjemahkan masing-masing
pimpinan
birokrasi
dengan
mengeluarkan
rumusan-rumusan
kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis atau aplikatif dalam pelayanan publik, sehingga pelayanan yang diberikan aparat birokrasi sesuai dengan harapan inpres
76
Lihat juga Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
tersebut, yakni pelayanan berkualitas dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 77 Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon dan sebagainya merupakan sektor yang rentan terjadinya pungutan liar, karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. 78Di sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum. 79 Pada hakikatnya korupsi 80 seperti tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi fiktif, manipulasi laporan keuangan, transfer komisi, mark up, pemerasan, penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). 81 Pada tahun 2012, Pemerintah meluncurkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 17 tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.
77
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6882/ http://arsip.gatra.com/2004-06-25/artikel.php?id=39966, diakses pada Pukul 16.50 WIB tanggal 20 Juli 2012. 79 http%3A%2F%2Fitjen-depdagri.go.id%2Farticle-23-pelayanan-publik-good-governanceamp-aaupb-dalam diskresi.html&ei=3_YHUKvhOsXLrQeJkYnzAg&usg=AFQjCNECzFUxfeZnshfQi3n-tDo2Dx8kw, diakses pada tanggal 19 juli 2012. 80 Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), hal. 50. 81 http://protespublik.com/antara-pungutan-liar-dan-baku-tumbuk-di-pelabuhan-merak/ 78
Universitas Sumatera Utara
Inpres tersebut melakukan lanjutan dari Inpres nomor 9 tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang diluncurkan pada Mei 2011 lalu. 82 Wakil Presiden Boediono mengatakan, pencegahan dan pemberantasan korupsi akan selalu menjadi permasalahan yang menjadi prioritas. Hal yang dibahas adalah yang sudah dilakukan dilihat dari segi penataan dari berbagai tata kerja, maupun dari segi prosedur dan lain-lain. Beberapa hal menonjol yang mulai diterapkan pada tahun 2011, disebutkan, seperti diterapkannya sistem yang transparan di lembaga-lembaga kepolisian dan kejaksaan. Termasuk juga berbagai macam perbaikan yang berlangsung di Kemkumham. Tapi, yang menonjol adalah sistem whistle blower dan justice collaborator. 83 Instruksi Presiden No.17 tahun 2011 terdiri dari 13 fokus dan 106 rencana aksi yang terdiri atas 82 aksi bidang pencegahan, 6 aksi bidang penegakan hukum, 5 aksi bidang penyusunan peraturan perundang-undangan, 7 aksi bidang kerja sama internasional dan penyelamatan aset, 4 aksi bidang pendidikan dan penyebaran budaya antikorupsi, serta 2 aksi bidang pelaporan. UKP4 yang akan memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. 84 Pada Bulan Januari 2012, Menteri Hukum dan HAM mengukuhkan sebanyak 293 satuan kerja sebagai wilayah bebas korupsi. Beliau menjamin dengan
82
http://www.ukp.go.id/profil/pengawasan-pembangunan-nasional/37-inpres-92011pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi, diakses pada tanggal 13 Juli 2012. 83 http://www.presidenri.go.id/index.php/uu/instruksi-presiden/, pada tanggal 15 Juli 2012. 84 Berdasarkan isi dan lampiran dalam Instruksi Presiden No.17 tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
pengukuhan ini, di 239 satuan kerja itu tidak lagi terdapat pungutan liar, suap, atau praktik korupsi lainnya. 293 satuan kerja tersebut, di antaranya adalah, 10 kantor wilayah, 65 lembaga permasyarakatan dan 58 rumah tahanan negara. 85 Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membersihkan instansi-instansi pemerintah dari sarang korupsi dan pungutan liar, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, juga menyentuh kantor Badan Pertanahan Negara (BPN). BPN ditargetkan bisa menyelenggarakan pelayanan pertanahan yang cepat, non diskriminatif, transparan dan akuntabel, serta bebas pungutan liar, setidaknya pada akhir 2012 mendatang. Presiden juga meminta Kepala BPN agar meningkatkan perlindungan whistle blower, dengan menyusun mekanisme (SOP) perlindungan bagi aparat/petugas di Kantor Pertanahan/BPN, dan mendorong pengungkapan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan aparat Kantor Pertanahan (BPN). 86 Ombudsman dan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga membuka 42 pos pengaduan pengutan liar dalam Penerimaan Siswa Baru tahun 2012/2013, hingga Oktober 2012. Laporan itu menyusul temuan berbagai modus pungutan liar di sejumlah sekolah mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. 87
85
http://www.setkab.go.id/halberita-720.html, diakses pada tanggal 13 Juli 2012. http://www.setkab.go.id/index.php?pg=detailartikel&p=3442, pada tanggal 20Juli 2012. 87 http://www.tempo.co/read/news/2012/07/05/079415059/Praktek-Pungutan-Liar-SekolahDilaporkan-ke-Kejati, diakses pada tanggal 19 Juli 2012. 86
Universitas Sumatera Utara
Ombudsman membuka tujuh pos pengaduan: 88 1. Jawa Barat di Jalan PHH Mustofa, Gedung Dapensos. 2. Yogyakarta-Jawa Tengah di Jalan Wolter Monginsidi No 20, Yogyakarta. 3. Sumatera Utara-Aceh di Jalan Majapahit No 2, Medan. 4. Sulawesi Utara-Gorontalo di Jalan Babe Palar No 57, Tanjung Batu, Manado. 5. Jawa Timur di Jalan Embong Kemiri No 23, Surabaya. 6. Kalimantan Selatan di Jalan Brigjen H Hasan Basry, Komplek Kejaksaan, Banjarmasin. 7. Nusa Tenggara Tiur-NusaTenggara Barat di Jalan Veteran No 4 Pasir Panjang, Kupang. ICW memiliki 6 pos pengaduan: 89 1. Kantor ICW di Kalibata. 2. Serikat Guru Tangerang, Perumahan Citra Raya, Jalan Irama 8 Blok 1, Cikupa. 3. Garut Governance Watch, Jalan Pajajaran Gang Sagaranten No 157, Garut. 4. Lembaga Pendidikan Rakyat Anti Korupsi di Jalan Melati VI No 3, Makassar. 5. Kantor Pattiro Semarang di Jalan Wonodri Joho I No 986 G. 6. Sumba Barat di Jl A Yani No 145.
88
http://www.ombudsman.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=83:ombud sman-dan-icw-terima-50-pengaduan-pungutan-pendaftaran-siswa-baru&catid=44:artikel&Itemid=74. Berdasarkan data di posko bersama ini ditemukan 112 kasus di 108 sekolah diberbagai jenjang. Diantara kasus tersebut, kasus yang banyak terjadi adalah pungutan pada saat PSB (60 kasus), kekacauan proses PSB (18 kasus), pungutan daftar ulang (10 kasus), pungutan sekolah (10 kasus, penahanan ijazah (8 kasus), jual beli bangku (3 kasus) dan intervensi proses PSB (1 kasus)., diakses pada tanggal 19 juli 2012. 89 http://antikorupsi.org/, diakses pada tanggal 19 juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
Pungutan yang diberlakukan pihak sekolah antara lain untuk keperluan seragam, operasional, bangunan, buku, dana koordinasi, internet, koperasi, amal jariyah, formulir pendaftaran, perpisahan guru, praktek, SPP, administrasi rapor, ekstrakurikuler, sumbangan pengembangan institusi, uang pangkal dan pungutan liar lainnya. Selain pungutan liar, masyarakat juga menyampaikan keluhan terhadap proses penerimaan siswa baru yang tidak tersosialisasi dengan baik. Mereka mengeluhkan kurangnya informasi tentang persyaratan dan jangka waktu pelaksanaan PSB. Selain itu, mereka juga mengeluhkan mengenai PSB Online yang tidak transparan, proses seleksi diskriminatif, adanya titipan anak pejabat. 90 Pada saat ini, paradigma mempersulit harus berhadapan dengan Komisi Pelayanan Publik (KPP) yang telah didirikan di berbagai daerah. Sehingga masyarakat pengguna layanan P2T maupun perizinan lain yang kecewa dapat mengajukan pengaduan. Terdapat standar (waktu dan harga) serta kepatutan dalam segala urusan publik. 91 Berkurangnya ruang untuk menyalahgunakan kekuasaan serta mempersulit birokrasi akan mengurangi pungutan liar. Dengan memperbesar kemungkinan atau
90
Ibid,. Ombudsman RI Perwakilan daerah akan memanggil kepala sekolah, kepala dinas dan kepala daerah terkait dengan maraknya pelanggaran prosedur PSB tahun ajaran 2012/2013. Pungutan dalam PSB dilarang apalagi bagi sekolah yang menerima dana BOS. Berdasarkan pasal 52 H PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang berbunyi “pungutan sekolah tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan” Artinya, pungutan sekolah tidak boleh dilakukan pada saat penerimaan siswa baru. 91 Lihat juga mengenai birokrasi pelayanan publik dalam Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implermentasi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), hal 35.
Universitas Sumatera Utara
bahkan jaminan terbongkarnya praktik pungutan liar berjamaah tentu akan menurunkan keinginan untuk melakukan korupsi. Apalagi ketika mekanisme pengawasan dalam birokrasi menjadi semakin efektif dengan mekanisme pengawasan yang bersifat menyeluruh, terbuka, partsisipatif. Mekanisme pengawasan seperti ini akan membuat semua aparatur dalam birokrasi khususnya pelayanan publik akan semakin sulit untuk melakukan pungutan liar. 92
B. Pengaturan Pungutan Liar Dalam KUHP Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan. Meskipun menurut pendapat Penulis, pemerasan merupakan perbuatan awal, yang pada akhirnya bersama serangkaian perbuatan yang lain menghasilkan pungutan liar. 93 Pasal 12 huruf e menunjuk pada Pasal 423, Pasal 12 huruf f, rumusannya mengambil dari Pasal 425 ayat (1). Termasuk pada golongan ini adalah perbuatan
92
Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Publik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal. 235. 93 Berdasarkan catatan dari Dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Upaya Pemberantasan Korupsi, pungutan liar merupakan pungutan tidak resmi, permintaan, penerimaan segala pembayaran, hadiah atau keuntungan lainnya, secara langsung atau tidak langsung, oleh pejabat publik atau wakil yang dipilih dari suatu negara dari perusahaan swasta atau publik termasuk perusahaan transnasional atau individu dari negara lain yang dikaitkan dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tugas yang berkaitan dengan suatu transaksi komersial internasional. Lihat juga Singgih, Op. cit, hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
yang kerap dilakukan yaitu perbuatan pungutan liar yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri. Sedangkan pasal 368 merupakan perbuatan pemerasan yang dilakukan dalam kasus-kasus premanisme atau yang lebih sering dikenal dengan “pemalakan”. Perbuatan pidana yang berkaitan dengan premanisme merupakan perbuatan-perbuatan yang lebih sederhana pembuktiannya dibandingkan dengan kasus korupsi. Perbuatan premanisme yang berkaitan dengan Pasal 368 tidak memiliki unsur penyalahgunaan wewenang sehingga menjadikan Pasal 368 tidak dikonversi ke dalam UU PTPK. Adapun penjelasan beberapa Pasal di dalam KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar adalah sebagai berikut: 1. Pasal 368 KUHP Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Beberapa penjelasan unsur-unsur adalah sebagai berikut : a. untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain Pengertian "menguntungkan diri sendiri atau orang lain" adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau
Universitas Sumatera Utara
orang lain. Sedangkan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagai tujuan terdekat. Adanya penyerahan sesuatu dari korban kepada pembuat merupakan suatu keharusan dalam delik ini.
Keuntungan yang diperoleh haruslah secara
langsung, artinya mtidak diperlukan tahap-tahap tertentu untuk mencapainya. b. melawan hukum Melawan hukum di sini merupakan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jadi, si pembuat harus mengetahui bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dilakukan secara melawan hukum. Maksud di sini merupakan sesuatu yang subyektif. c. memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan Pengertian "memaksa" dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Menurut Van Bemmelen, bila ada seorang pemiutang memaksa dengan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seorang untuk membayarnya, yang memang dia berutang dan harus membayarnya, maka bukan perbuatan yang diatur dalam Pasal 368 KUHP. d. memberikan atau menyerahkan sesuatu barang. Berkaitan dengan unsur itu, maka persoalan-persoalan yang muncul adalah kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang. Penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah
Universitas Sumatera Utara
terjadi, apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas. Delik dalam pasal 468 KUHP erat hubungannya dengan delik pencurian dengan kekerasan atau perampokan dalam Pasal 365 KUHP. Karena keduanya mengenai pengambilan barang orang lain. Perbedaannya ialah pada delik pemerasan ada semacam “kerjasama” antara yang meminta dan diminta, yang menyerahkan barang itu dengan terpaksa (dengan ancaman), sedangkan pada delik pencurian dengan kekerasan tidaklah demikian. 94 e. supaya memberi hutang Berkaitan dengan pengertian "memberi hutang" dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya
94
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, (Jakarta: PT. Warsif Watampone, 2010), hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki. f. Unsur "untuk menghapus utang". Menghapuskan
piutang
yang
dimaksudkan
adalah
menghapus
atau
meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. Penghapusan utang misalnya dengan paksaan seorang menandatangani kuitansi lunas padahal sebenarnya utang tersebut belum dibayar. Hal itu depat dilakukan dengan acaman maupun kekerasan. Pasal ini merupakan pasal yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat kasus-kasus premanisme maupun kejahatan yang dilakukan oleh “debt collector”. 95 2.
Pasal 423 KUHP Kejahatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang secara
melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain
95
Diakses melalui www.kompolnas.go.id/ pada tanggal 30 Mei Tahun 2012, penggolongan preman sebagai target operasi berdasarkan Komisi Kepolisian Nasional: a. preman yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban (mabuk-mabukan, mengganggu lalu lintas, ribut-ribut dl tempat umum). b. preman yang memalak (meminta dengan paksa) di lokasi umum (misalnya menjual majalah secara paksa, mengemis dengan gertakan, mendorong mobil mogok minta uang dengan paksa, memalak masyarakat / perseorangan yang menaikkan dan menurunkan bahan bangunan dl pabrik / industri / komplek perumahan, parkir liar dengan meminta uang secara paksa, dan lain-lain sejenis). c. preman debt collector (penagih utang dengan memaksa / mengancam nasabah, menyita dengan paksa, menyandera). d. preman tanah (menguasai / menduduki lahan / poperty secara illegal yang sedang dalam sengketa dengan memaksakan kehendak satu pihak). e. preman berkedok organisasi (organisasi jasa keamanan, preman tender proyek dan organisasi massa anarkis).
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri oleh seorang pegawai negeri seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 423 KUHP itu, termasuk dalam golongan kejahatan jabatan. Pasal 423 KUHP itu berbunyi: Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP merupakan tindak pidana korupsi, sehingga sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum di dalam rumusan Pasal 423 KUHP itu merupakan suatu bijkomend oogmerk 96, sehingga oogmerk atau
96
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 318.
Universitas Sumatera Utara
maksud tersebut tidak perlu telah terlaksana pada waktu seorang pelaku selesai melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang di dalam pasal ini. 97 Dari rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP di atas, dapat diketahui bahwa yang dilarang di dalam pasal ini ialah perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain: a. untuk menyerahkan sesuatu; b. untuk melakukan suatu pembayaran; c. untuk menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran; d. untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku. Perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran dan melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku itu merupakan tindak-tindak pidana materil, hingga orang baru dapat berbicara tentang selesai dilakukannya tindak-tindak pidana tersebut, jika akibat-akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau telah terjadi. Karena tidak diberikannya kualifikasi oleh undang-undang mengenai tindak-tindak pidana yang diatur dalam Pasal 423 KUHP, maka timbullah kesulitan di dalam praktik mengenai sebutan apa yang harus diberikan pada tindak pidana tersebut.
97
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 390.
Universitas Sumatera Utara
Sejak diperkenalkannya kata pungutan liar oleh seorang
pejabat negara,
tindak-tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 423 KUHP sehari-hari disebut sebagai pungutan liar. Pemakaian kata pungutan liar itu ternyata mempunyai akibat yang sifatnya merugikan bagi penegakan hukum di tanah air, karena orang kemudian mempunyai kesan bahwa menurut hukum itu seolah-olah terdapat gradasi mengenai perbuatan-perbuatan memungut uang dari rakyat yang dilarang oleh undang-undang, yakni dari tingkat yang seolah-olah tidak perlu dituntut menurut hukum pidana yang berlaku hingga tingkat yang seolah-olah harus dituntut menurut hukum pidana yang berlaku, sedang yang dewasa ini biasa disebut pungutan liar itu memang jarang membuat para pelakunya diajukan ke pengadilan untuk diadili, melainkan cukup dengan diambilnya tindakan-tindakan disipliner atau administratif terhadap mereka, padahal kita semua mengetahui bahwa yang disebut pungutan liar itu sebenarnya merupakan tindak pidana korupsi seperti yang antara lain diatur dalam Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kebiasaan tidak mengajukan para pegawai negeri yang melanggar laranganlarangan yang diatur dalam Pasal 423 atau Pasal 425 KUHP Jo. Pasal 12 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 ke pengadilan untuk diadili, dan semata-mata hanya mengenakan tindakan-tindakan administratif terhadap mereka itu perlu segera dihentikan, karena kebiasaan tersebut sebenarnya bertentangan dengan beberapa asas tertentu yang dianut oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita yang berlaku, masing-masing yakni:
Universitas Sumatera Utara
a. asas legalitas, yang menghendaki agar semua pelaku sesuatu tindak pidana itu tanpa kecuali harus dituntut menurut undang-undang pidana yang berlaku dan diajukan ke pengadilan untuk diadili; b. asas verbod van eigen richting atau asas larangan main hakim sendiri, yakni menyelesaikan akibat hukum dari suatu tindak pidana tidak melalui proses peradilan. 98 Maksud untuk tidak mengajukan tersangka ke pengadilan untuk diadili, maka maksud tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, suatu perkara itu hanya dapat dikesampingkan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan tersangka/ korps atau organisasi tersangka. Perbuatan menyampingkan perkara itu tidak dapat dilakukan setiap orang dengan jabatan atau pangkat apa pun, karena menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN Tahun 2004 No. 67, yang berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu hanyalah Jaksa Agung saja. 99 Mengenai pengertiannya sebagai uang, perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang menyerahkan sesuatu itu sehari- hari dapat dilihat dalam bentuk pungutan di jalan-jalan raya, di pos- pos pemeriksaan, di instansi-instansi
98 99
P.A.F. Lamintang, KUHAP, hlm. 30-31. P.A.F. Lamintang, Op. cit., him. 189 dan seterusnya.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah, bahkan yang lebih tragis lagi adalah bahwa pungutan-pungutan seperti itu juga dilakukan oleh para pendidik baik terhadap sesama pendidik maupun terhadap anak-anak didik mereka. Akan tetapi, tidak setiap pungutan seperti yang dimaksudkan di atas itu merupakan pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP jo. Pasal 12 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena jika pungutan tersebut ternyata telah dilakukan karena pegawai negeri yang memungut pungutan itu telah melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu di dalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya, maka perbuatannya itu merupakan pelanggaran terhadap larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 419 angka 2 KUHP jo. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Perbuatan
yang
dilarang
dalam
Pasal
423
KUHP
ialah
dengan
menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang memaksa orang lain melakukan suatu pembayaran. Sebenarnya tidak seorang pun dapat dipaksa melakukan suatu pembayaran kecuali jika pemaksaan untuk melakukan pembayaran seperti itu dilakukan berdasarkan suatu peraturan undang-undang. Delik pemaksaan untuk memberikan barang, membayar uang, dan memberi tenaga, yang dinamai menurut istilah asli KUHP knevelarij, yang diterjemahkan oleh Engelbrecht 100 dengan "kerakusan," oleh Moeljatno 101 dengan "pemerasan," Soesilo
100 101
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 94. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Yogyakarta: tanpa penerbit, 1976).
Universitas Sumatera Utara
dan Soenarto Soerodibroto 102 dengan "permintaan memaksa," H. Husni 103 dengan "pemerasan dalam jabatan," Kitab Oendang-oendang Hoekoem Hindia Belanda memakai istilah "perbuatan aniaya”. Ada dua pasal mengenai ini. Kedua ditarik menjadi delik korupsi, yaitu Pasal 423 dan 425 KUHP (sekarang Pasal 12 e dan f Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999). Di dalam Ned. W.v.S. hanya ada satu pasal saja, yaitu artikel 366 yang sama dengan Pasal 425 KUHP. Menurut
pertimbangan
panitia
penyusunan
(pemerintah Belanda), Pasal 425 KUHP itu
W.v.S.
untuk
Indonesia
tidak memadai untuk masyarakat
Indonesia karena di dalam pasal itu terdapat unsur "pada waktu menjalankan jabatannya" (in de uit-oefening zijner bediening), sedangkan pejabat Indonesia sebagai kepala yang berpengaruh di dalam
masyarakat sulit untuk menentukan
dengan pasti kapan ia menjalankan jabatannya dan kapan tidak. Pejabat-pejabat Indonesia cenderung untuk melakukan praktik knevelarij atau extortion yang dalam tulisan ini dipakai istilah "permintaan memaksa," sehingga disisipkanlah Pasal 423 KUHP ini. 104 Walaupun ada Pasal 421 KUHP, tetapi dipandang pidananya ringan, lagi pula terlalu mirip dengan delik pemerasan (afpersing).
102
Soesilo, KUHP (Bogor: Politeia, tanpa tahun); dan Soenarto Soerodibioto, KUHP dilengkapi arrest-arrest Hoge Rand Jakarta: tanpa penerbit, 1979). 103 H. Husni, Kitab Himpunan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia (Jakarta: Departemen Penerangan Republik lndonesia,1960). 104 P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pionir Jaya, 1991), hal. 142-147.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lemaire, penciptaan Pasal 423 KUHP tersebut merupakan bentuk antara (tussen figuiir} delik penyalahgunaan wewenang (misbruik van gezag) Pasal 421 KUHP, delik permintaan memaksa (knevelarij) Pasal 425 KUHP, dan delik pemerasan (afpersing) Pasal 368 KUHP. 105Di dalam praktik, terutama setelah ditariknya kedua pasal itu masuk ke dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 423 KUHP memang lebih sering diterapkan daripada Pasal 425 KUHP. Hal itu terjadi karena lebih mudah membuktikan Pasal 423 KUHP, daripada Pasal 425 KUHP yang mengandung unsur "pada waktu menjalankan jabatannya" itu. Di dalam praktik kadang-kadang sulit untuk membedakan Pasal 423 KUHP ini dari Pasal 418 dan 419 KUHP (penyuapan pasif) karena apabila unsur paksaan (extortion) tidak ada, dan inisiatif muncul dari si pemberi barang atau uang, maka akan jatuh menjadi penyuapan. 106 Batas antara Pasal 423 KUHP sekarang disadur menjadi Pasal 12 e UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 muncul dalam perkara maritan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri.
107
Dia didakwa primair Pasal 12 e (berasal dari Pasal 423 KUHP) yang biasa
disebut delik knevelavarij atau pemerasan dalam jabatan dan subsidiair Pasal 11 (berasal dari Pasal 418 KUHP) yang biasa disebut penyuapan pasif (menerima suap).
105
Ibid,. Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, (Jakarta: Penaku, 2011), hal. 32. 107 Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, yang menjadi terpidana kasus korupsi pungutan dliar di Departemen Kelautan dan Perikanan. Diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2009/11/25/15353673/includes, pada Pukul 10.20 WIB pada Tanggal 1 Maret 2012. 106
Universitas Sumatera Utara
Ada kesulitan dalam penerapan Pasal 12 e (berasal dari Pasal 423 KUHP), yaitu ada bagian inti delik (dehctsbestanddeel) atau unsur "memaksa", bagaimana jika pemberian itu diberikan dengan sukarela bukan karena terpaksa memberi dari para penyumbang. Hal yang jelas adalah perbuatan terdakwa itu perbuatan tercela dan merupakan pungutan liar, tetap bagaimana merumuskan dalam dakwaan tentang delik apa yang dilanggar sangatlah sukar.
3.
Pasal 425 KUHP Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 425 KUHP yakni menerima atau
melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran seolah-olah merupakan utang kepada dirinya atau kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum dan lain-lain, yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam menjalankan tugas jabatannya, untuk dapat mengetahui dengan lebih jelas tentang unsur-unsur kejahatan ini, artinya serta syarat-syaratnya. Sekedar untuk mengingatkan kembali tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pasal ini, berikut ini penulis hanya akan menuliskan kembali rumusannya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia saja. Pasal 425 KUHP itu berbunyi : Karena bersalah telah melakukan pemerasan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun : 1. Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta, menerima, atau melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran seolaholah merupakan utang kepada dirinya atau kepada pegawai negeri yang lain atau kepada sesuatu kas umum, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada;
Universitas Sumatera Utara
2. Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya meminta atau menerima jasa-jasa secara pribadi atau penyerahan-penyerahan seolah-olah orang berutang jasa atau penyerahan seperti itu, sedang ia mengetahui bahwa utang seperti itu sebenarnya tidak ada; 3. Pegawai Negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya menguasai tanah-tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai bangsa Indonesia dengan merugikan orang yang berhak, seolah-olah yang ia lakukan itu sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sedang ia mengetahui bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu sebenarnya ia telah bertindak secara bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 425 KUHP di atas menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga merupakan tindak pidana korupsi, yang sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf f, huruf g, dan huruf h dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuat pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Mengenai pengertian unsur pegawai negeri yang di dalam menjalankan tugas jabatannya seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 425 angka 1-3 KUHP tersebut di atas itu, kiranya dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan oleh Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasinya tertanggal 23 Januari 1956 Nomor 25 K./Kr./1955 yang antara lain telah memutuskan : Salah satu unsur dari Pasal 425 angka 1 KUHP itu ialah menjalankan perbuatan itu di dalam jabatannya. Karena pembuatan daftar penerimaan uang dan pembayaran gaji dari orang-orang yang dimintai uang oleh terdakwa itu bukan merupakan tugas terdakwa sebagai seorang klerek pada Jawatan Pengajaran Daerah, akan tetapi merupakan tugas dari Kepala Sekolah Rakyat
Universitas Sumatera Utara
yang bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai bantuannya, maka permintaan uang tersebut tidak dilakukan terdakwa dalam jabatannya. 108 Menurut putusan kasasi Mahkamah Agung RI di atas, sudah jelas bahwa yang dapat dikenakan ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 425 KUHP, hanyalah para pegawai negeri yang wewenang menurut jabatan mereka ada hubungannya secara langsung dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Pasal 425 KUHP tersebut. Misalnya seorang kepala cabang dari suatu bank yang meminta, menerima atau memotong sebagian dari suatu pembayaran kredit atas nama orang lain, seorang kepala daerah yang meminta, menerima atau melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran biaya pemborongan suatu bangunan, seorang direktur rumah sakit pemerintah yang meminta, menerima atau memotong sebagian dari pembayaran obat-obatan, bahan makanan dan lain-lain, seorang kepala lembaga pemasyarakatan yang meminta, menerima, atau memotong sebagian dari uang pembayaran bahan makanan untuk keperluan lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya dan sebagainya. Tindak pidana melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 425 KUHP oleh seorang kepala desa yang meminta sejumlah uang dari penduduk desanya, oleh Mahkamah Agung RI telah dinyatakan terbukti dalam putusan kasasinya tertanggal 25 Desember 1957 Nomor 61 K./Kr./1957 yang mengatakan antara lain bahwa : Keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi bahwa perbuatannya meminta sejumlah uang dari beberapa orang penduduk desa itu merupakan pelaksanaan dari putusan musyawarah penduduk desa, tidak dapat dibenarkan karena putusan musyawarah tersebut ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang 108
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1979), hal. 184.
Universitas Sumatera Utara
ditentukan dalam Pasal 6 IGO, hingga putusan tersebut adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 109 Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 425 angka 2 KUHP, undangundang telah memakai secara umum kata-kata meminta atau menerima jasa-jasa pribadi dan meminta atau menerima penyerahan-penyerahan secara pribadi. Kata-kata secara pribadi di atas itu tidak perlu harus diartikan seolah-olah jasa atau pemberian yang diminta atau yang diterima itu harus diperuntukkan bagi pribadi pelaku sebdiri melainkan juga dapat diperuntukkan bagi pribadi orang lain, bagi sesuatu yayasan, bagi sesuatu lembaga, bagi sesuatu kegiatan kemasyarakatan atau kemanusiaan, bagi sesuatu organisasi politik tertentu dan lain-lain yakni dalam yayasan, lembaga, kegiatan atau organisasi politik mana pelaku mempunyai kepentingan pribadi. Perbuatan seorang pegawai negeri yang dalam menjalankan tugas jabatannya telah meminta orang lain untuk membantu mengembangkan organisasinya atau telah meminta orang lain menyerahkan sesuatu misalnya uang kepada organisasi politik, dalam organisasi mana ia mempunyai kepentingan, seolah-olah orang lain tersebut berutang jasa, misalnya karena telah diberinya kemudahan-kemudahan itu, merupakan tindak pidana melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 425 angka 2 KUHP, yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dinyatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi, sehingga sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 dari undang-
109
Ibid, hal. 262-263.
Universitas Sumatera Utara
undang yang sama, dapat membuat pegawai negeri tersebut dipidana dengan pidana penjara selama seumur hidup atau dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Berdasarkan unsur dalam menjalankan tugas jabatannya yang rumusannya diatur dalam Pasal 425 angka 1 sampai dengan angka 3 KUHP, tidaklah perlu bahwa perbuatan yang dilarang itu telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri pada waktu ia sedang berdinas di kantornya, melainkan juga dapat dilakukan di setiap tempat di mana ia menghendakinya. Permintaan atau penerimaan jasa-jasa secara pribadi atau penyerahanpenyerahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 425 KUHP angka 2 KUHP itu juga dapat ia lakukan misalnya : di rumah tempat tinggalnya, di rumah tempat kediaman sementaranya, di hotel atau tempat penginapannya, bahkan juga di tempattempat umum secara terbuka seperti dalam dakwah mesjid, dalam khotbah di gereja, dalam memberi pelajaran di kelas, dalam pertemuan di kampus, di gedung pertemuan, di kantor kepala desa, camat, dan lain-lain. Karena permintaan jasa-jasa secara pribadi seolah-olah orang berutang jasa yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri di dalam menjalankan tugas jabatannya seperti yang dimaksudkan di atas itu, misalnya meminta kepada para pensiunan untuk masuk dalam suatu organisasi politik tertentu seolah-olah mereka itu berutang jasa kepada organisasi politik tersebut sebagai pemberi uang pensiun, meminta kepada karyawan dari suatu perusahaan untuk memasuki suatu organisasi politik tertentu seolah-olah mereka itu dapat memperoleh upah karena adanya jasa-jasa organisasi politik tersebut yang telah
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan perusahaan di mana mereka bekerja mendapatkan kemudahankemudahan dari pemerintah dan lain-lainnya, merupakan tindak pidana korupsi melanggar larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 425 angka 2 KUHP jo. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka menurut hemat penulis kiranya perlu dipikirkan oleh para pimpinan dari pegawai negeri melakukan perbuatanperbuatan seperti yang antara lain telah penulis sebutkan di atas itu sesungguhnya merupakan perbuatan menggerakkan para pegawai negeri melakukan kejahatankejahatan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 jo. Pasal 425 angka 2 KUHP jo. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang membuat mereka juga dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
C. Pengaturan Pungutan Liar Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pungutan liar dalam konteks hukum yang berkembang, bukan merupakan persoalan baru. Menurut bahasa Inggris pungutan liar disebut extortion or illegal fees, yang maknanya obtains either money, property or services from a person(s), entity, or institution, through coercion. Makna ini kemudian berkembang ke makna yang lebih dominan kepada pemerasan, dipahami sebagai bentuk lain dari korupsi. 110
110
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk Membasmi Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), tanpa halaman.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa tahun ini sudah banyak pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tersangkut kasus korupsi, ternyata tak membuat jera aparat yang lain. Terbukti, kasus korupsi tetap saja marak, bahkan tak sedikit yang tertangkap tangan secara langsung oleh petugas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Jaksa, maupun Polisi. 111 Anehnya, permainan kongkalikong yang merugikan negara milyaran hingga triliunan rupiah terus saja berlangsung dan menggurita. 112 Praktik pungutan liar juga semakin membudaya dan tak terkendali. Budaya ini sudah merasuk ke hampir semua instansi yang melayani urusan dan kepentingan publik. Baik instansi yang ada di tingkat pusat maupun di daerah. Para oknum di instansi itu sepertinya saling berlomba untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan jabatan yang ada pada dirinya, baik yang dilakukan sendiri maupun secara berjamaah. Artinya, pungutan liar itu atas sepengetahuan atau bahkan atas perintah atasannya. Meski beberapa pimpinan instansi yang sering diketahui sebagai sarang berlangsungnya praktik pungutan liar diganti, ternyata tak menjamin instansi itu menjadi bersih. 113 Hampir semua instansi pelayanan publik menjadi sarang bercokolnya praktik pungutan liar meski cara yang dipakai oleh oknum petugas cukup beragam. Beberapa 111
Salah satu contoh kasus korupsi yang tertangkap tangan yaitu kasus pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pegawai Dinas Perhubungan Deli Serdang di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara. 112 Lihat Harian Sinar Indonesia Baru pada Hari Kamis 26 April 2012 halaman 1 lanjut halaman 15 dengan judul artikel ”Pengusulan Mata Anggaran Pempropsu Rawan Penyelewengan,” Medan, Sumatera Utara. 113 Korupsi menjadi sebuah tindakan yang melibatkan atasan dan bawahan, dimana ada saling menguntungkan satu sama lain. Atasan memberikan perintah dan mendelegasikan pekerjaan kepada bawahannya dan setiap hari bawahan harus memberikan setoran dari hasil pungutan liar kepada atasannya.
Universitas Sumatera Utara
diantaranya yang sering dikeluhkan masyarakat karena pelayanannya sering dikaitkan dengan pungutan liar antara lain Badan Pertanahan Negara (BPN), Samsat, Balai Uji Kir Kendaraan, jembatan timbang Dishub, kepolisian, pengadilan, kejaksaan, lembaga pemasyarakatan (lapas), kantor imigrasi, bea cukai, kantor pajak, PLN, Telkom, dan masih banyak lagi. Termasuk instansi di jajaran struktural pemerintahan yang mengurusi masalah retribusi, perizinan, pembuatan KTP, akte kelahiran, surat nikah, dan lain-lain. 114 Pada kantor-kantor tertentu ada pencantuman kata-kata bagus dengan papan yang digantung “Say No to Pungli”, tapi realitanya masih tetap berlangsung, anehnya lagi yang memungut pungutan liar justru oknum berseragam, dengan alasan yang kurang masuk akal. Negeri ini semakin tidak terkendali dengan masalah korupsi. Peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan akan larangan hal tersebut sudah cukup lengkap, namun ketika dilaksanakan di lapangan, banyak oknum-oknum yg memanfaatkan
celah-celah
korupsi
demi
keuntungan
pribadi.
Sebenarnya
“atasannya” tahu, namun mungkin pura-pura tidak tahu, sebab ia dapat “jatah” juga, sehingga korupsi berjamaah semakin banyak. 115 Sejatinya, pungutan tidak resmi, pungutan yang dipaksakan dengan memanfaatkan momentum dan menyalahgunakan jabatan yang tidak ada dasar 114
Berdasarkan hasil Laporan Tahunan KPK Tahun 2009-2011. Bahwa sebahagian besar Tindak Pidana Korupsi terjadi di sektor pelayanan publik, instansi penegak hukum, pengadaan barang dan jasa, maupun perbaikan infrastruktur. 115 Kalimat “Say No to Pungli” merupakan kalimat yang dipopulerkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Mantan Kapolri Jenderal Pol Sutanto pada saat mengkampanyekan Gerakan anti Pungutan liar (Pungli)di Istana Merdeka pada Tahun 2005. Diakses melalui http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/10/25/, pada Pukul 12.30 WIB Hari Rabu Tanggal 6 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
hukumnya adalah tindak pidana korupsi. Termasuk pungutan yang tidak disertai dengan bukti kuitansi pembayaran, meminta komisi yang dianggap sebagai suatu kebiasaan maupun meminta ‘’uang pelicin’’ untuk mempercepat proses birokrasi, tetap tidak dibenarkan. Siapapun yang merasa dirugikan seharusnya berani melaporkan kepada yang berwajib meski pembuktiannya terkadang sulit. Selain itu, kita juga bisa mengadukan kepada Komisi Pelayanan Publik (KPP) 116 yang ada di tingkat provinsi. Kita masih berharap tumbuhnya motivasi yang kuat dari para aparat pelayan masyarakat dalam memperbaiki kinerjanya. Termasuk kesungguhan para pimpinan instansi pelayanan publik dalam memberantas praktik pungutan liar yang bisa merugikan negara dan masyarakat luas. Termasuk, memberikan sanksi yang tegas terhadap oknum pelaku pungutan liar. Lebih-lebih, kini mulai banyak lembaga pemberi penghargaan kepada instansi layanan publik yang kinerjanya bagus dan memiliki program inovasi yang semakin mempermudah masyarakat. 117 Adapun penjelasan beberapa pasal di dalam UU PTPK yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar antara lain sebagai berikut:
116
Salah satu tugas KPP disebutkan dalam Perda Pelayanan Publik adalah memenuhi pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik. Setidaknya ada 125 lembaga yang terkait dengan pelayanan publik. Lihat juga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 117 Penghargaan Pelayanan Publik diberikan kepada instansi pemerintah yang memiliki prestasi terbaik dalam penilaian unit pelayanan public di daerahnya masing-masing, maupun tingkat nasional.
Universitas Sumatera Utara
1. Pasal 12 Huruf e Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e adalah berasal dari Pasal 423 KUHP, tetapi jika kedua ketentuan tersebut dibandingkan, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mengganggu untuk dapat memahami ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Antara unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum” dengan unsur “menyalahgunakan kekuasaan” pada perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e ada kata “atau”, sedangkan pada perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 423 KUHP tidak ada kata of atau “atau”, yang ada hanya tanda baca berupa “koma” (,). Akibatnya, jika diikuti perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e, unsur “menyalahgunakan kekuasaan” merupakan alternatif dari unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”, tetapi jika diikuti perumusan ketentan yang terdapat dalam Pasal 423 KUHP, unsur “menyalahgunakan kekuasaan” merupakan sarana dari Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara untuk “memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya tidak tepat juga jika dikatakan bahwa dalam perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e, unsur “menyalahgunakan kekuasaan” merupakan alternatif dari unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”, karena unsur “menyalahgunakan kekuasaan” merupakan unsur objektif dari suatu tindak pidana, yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, di dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari pelaku itu harus dilakukan, sedang unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum” merupakan unsur subjektif dari suatu tindak pidana, yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. 118 Formulasi alternatif terpaksa digunakan karena adanya kata “atau” dalam perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e. R. Wiyono tidak menemukan alasan mengapa pembuat undang-undang pada waktu menuangkan Pasal 423 KUHP ke dalam Pasal 12 huruf e sengaja mengadakan perubahan dengan menambahkan kata “atau”, tetapi penulis lebih condong untuk berpendapat terdapat adanya salah tik, apalagi kalau diingat bahwa Pasal I angka 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 antara lain dapat diketahui bahwa perumusan Pasal 12 – maksudnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 –
118
P.A.F Lamintang, Op. Cit., hlm. 184.
Universitas Sumatera Utara
diubah dengan tidak mengacu pada pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal KUHP. 119 Unsur yang terdapat dalam perumusan Pasal 12 huruf e sudah berbeda dengan susunan unsur yang terdapat dalam Pasal 423 KUHP. Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e, akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut : a. 1) pegawai Negeri. 2) penyelenggara Negara. Pengertian “Pegawai Negeri” atau “Penyelenggara Negara” dalam Pasal 12 huruf e terdiri dari : 120 1) pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian. 2) pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. 5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. b. dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum” dalam hukum pidana disebut bijkomend oogmerk atau “maksud
119
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 108. 120 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya” yang tidak perlu telah tercapai pada waktu pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidana. 121 Penuntut Umum harus mencantumkan unsur ini dalam surat dakwaan dan membuktikan di pemeriksaan sidang pengadilan jika ingin terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e. c. menyalahgunakan kekuasaan. Pengertian dengan “menyalahgunakan kekuasaan” adalah menggunakan kekuasaan untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kekuasaan tersebut. d. memaksa seseorang. Pengertian “memaksa seseorang” dalam Pasal 12 huruf e adalah suatu perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain. Rasa takut tersebut, baik karena adanya tekanan fisik, misalnya akan dipukul atau ditendang maupun adanya tekanan psikis, misalnya akan dihentikan truknya atau dibocorkan rahasianya. e. 1) memberikan sesuatu. 2) membayar. 3) menerima pembayaran dengan potongan. 4) mengerjakan sesuatu bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, baru dapat dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e, jika 121
P.A.F Lamintang, Op. cit., hlm. 196.
Universitas Sumatera Utara
seseorang yang dipaksa oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut telah memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Selama seseorang yang dipaksa belum memenuhi apa yang dikehendaki oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut, Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan belum dapat dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e. Karena seperti yang telah penulis katakan di atas, tindak pidana ini baru dianggap selesai dilakukan oleh pelaku jika orang yang dipaksa menyerahkan sesuatu itu telah kehilangan penguasaan atas sesuatu yang bersangkutan, maka dengan ditolaknya pungutan yang dilakukan oleh pegawai negeri tersebut, tindak pidana yang ia lakukan itu hanya rnenghasilkan suatu poging atau suatu percobaan untuk melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 423 KUHP jo. Pasal 12 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. Walaupun yang dilakukan oleh pegawai negeri itu hanya merupakan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 423 KUHP. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, akan tetapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e jo. Pasal 15 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, bagi pegawai negeri tersebut juga dapat dijatuhkan pidana penjara selama seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun
Universitas Sumatera Utara
dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
2. Pasal 12 Huruf f Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 12 huruf f, akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut : a. 1) Pegawai Negeri ; 2) Penyelenggara Negara ; Pengertian “Pegawai Negeri” dan “Penyelenggara Negara” dalam Pasal 12 huruf f, lihat pembahasan terhadap Pasal 12 huruf e sebelumnya. b. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran; Untuk lebih memberikan penjelasan mengenai unsur ini, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : 1) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baru dapat dikatakan “meminta pembayaran” jika Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut, telah meminta pembayaran kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau kas umum, tanpa memperhatikan apakah kemudian permintaan pembayaran dipenuhi atau tidak dipenuhi. 2) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baru dapat dikatakan “menerima pembayaran” jika Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut sebelumnya telah meminta pembayaran kepada Pegawai Negeri
Universitas Sumatera Utara
atau Penyelenggara Negara lain atau kas umum dan permintaan tersebut telah dipenuhi. 3) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baru dapat dikatakan “memotong pembayaran” jika Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut telah mengurangi pembayaran yang seharusnya diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara lain atau telah mengeluarkan dari kas umum. Pasal 12 huruf
f menentukan bahwa permintaan, penerimaan, atau
pemotongan pembayaran tersebut dilakukan oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara pada waktu menjalankan tugasnya. Pengertian “pada waktu menjalankan tugas” dalam Pasal 12 huruf f adalah pada waktu menjalankan tugas sebagaimana yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Tugas yang dijalankan oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut bukan tugas sebagaimana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dipangkunya, maka tidak dapat dikatakan bahwa permintaan pembayaran, penerimaan pembayaran atau pemotongan pembayaran dilakukan oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara pada waktu menjalankan tugasnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 huruf e, misalnya :
Universitas Sumatera Utara
1) Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Januari 1956 Nomor 25 K/Kr/1956 122 yang menyatakan bahwa X, pejabat Klerek pada Jawatan Pengajaran yang diminta bantuan oleh Kepala Sekolah untuk membuat suppletoire-aanvraag gaji dan membayarkan gaji, pada waktu menerima pembayaran dari orang-orang yang telah menerima gaji dinyatakan tidak dalam menjalankan tugasnya, karena sebenarnya tugas untuk membuat suppletoire-aanvraag gaji dan membayarkan gaji bukan tugas dari Klerek pada Jawatan Pengajaran, tetapi adalah tugas dari Kepala Sekolah. 2) Putusan Hooggerechtshof tanggal 14 Desember 1926 123 yang menyatakan bahwa
seorang
agen
(toelatingskaart),
polisi
tidaklah
yang
mengurus
melakukannya
Kartu
dalam
Izin
Masuk
melaksanakan
kewajibannya (in de uitoefening zijner bediening) yang merupakan unsur dalam Pasal 425 KUHP. Mengenai tempat dilakukannya permintaan, penerimaan, atau pemotongan pembayaran tidak harus di kantor Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, tetapi dapat juga di tempat lain. c) Seolah-olah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang lain atau kas umum mempunyai utang kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, padahal tidak demikian.
122
L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-keputusan dari Mahkamah Agung jilid III, (Jakarta: Tjerdas Tangkas), hal. 21-23. 123 Andi hamzah, Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 129.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian “kas umum” dalam Pasal 12 huruf f adalah kas yang dikelola oleh Bendaharawan seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 ICW. Pengertian “utang” dalam Pasal 12 huruf f bukan merupakan sebagai akibat perjanjian utang-piutang, tetapi merupakan kewajiban untuk memberikan sesuatu. Pengertian “seolah-olah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang” dalam Pasal 12 huruf f adalah seolah-olah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang lain atau kas umum mempunyai kewajiban untuk memenuhi permintaan pembayaran atau memberikan persetujuan pemotongan pembayaran kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang meminta, menerima, atau memotong pembayaran, padahal diketahui oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan bahwa Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut tidak mempunyai kewajiban demikian. Contoh sebaliknya dari apa yang telah dikemukakan di atas adalah Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 21 November 1973 Nomor 97 K/Kr/1973 yang menyatakan bahwa pemungutan diskon oleh Perusahaan Negara terhadap para rekanan/ penjual barang yang diperuntukkan bagi kesejahteraan pegawai, karena merupakan “zakat” atau retour commissie dari penjual yang sebelumnya telah disetujui dalam perjanjian jual beli, maka merupakan suatu kewajiban bagi penjual
Universitas Sumatera Utara
untuk melaksanakannya, sehingga tidak memenuhi unsur “seolah-olah suatu kewajiban” dari tindak pidana pemerasan dalam jabatan/tindak pidana korupsi. 124
124
Andi hamzah, Op. Cit, hal. 101.
Universitas Sumatera Utara