BAB II PENGATURAN
HUKUM
MENGENAI
KEKERASAN
YANG
DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI
A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Masalah kekerasan dalam rumah tangga pertama kali dibahas dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar di fokuskan pada suatu wacana adanya tindak kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum, yaitu tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dalam seminar tersebut diusulkan pembentukan undang-undang khusus untuk menanggulangi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Ada yang menyetujui dibentuknya undang-undang khusus, tetapi ada juga yang menentangnya. Dengan alasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah cukup mengaturnya. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap terbentuknya undang-undang baru tersebut memberikan argumentasi dari sudut pandang masing-masing. Namun kiranya, perjuangan kaum perempuan dan sebagian kaum laki-laki yang mengikuti seminar tersebut tidak berhenti sampai disitu. Karena sejak saat itu kaum perempuan mulai bangkit dengan berbagai upaya untuk menyingkap tradisi yang mengharuskan perempuan menutupi tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Disahkannya
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan momentum sejarah bagi bangsa indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya Undang-Undang tersebut merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Sejak draft awal disosialisasikan yakni tahun 1998 hingga 2004 banyak pihak dari berbagai wilayah di Indonesia yang terlibat dalam proses kelahiran undang-undang ini. Gagasan mengenai pentingnya sebuah undang-undang kekerasan dalam rumah tangga didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kererasan yang terjadi diranah domestik. Para korban tidak saja mengalami kekerasan fisik, tetepi juga bentuk-bentuk lain seperti psikis, seksual maupun ekonomi. Sementara itu, sistem hukum dan sosial yang ada tidak memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup pada para korban. Rumusan-rumusan dalam aturan perundang-undangan yang masih persifat diskriminatif dan tidak efektif dalam memberikan akses hukum dan keadilan, merupakan hambatan bagi kaum perempuan dan eksis. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan
demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak terjadi. Adapun sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup
rumah tangga. Yang
dimaksud dengan kekerasaan dalam rumah tangga adalah : “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi: 1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a. suami, istri dan anak. b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaima dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwakilan yang menetap dalam rumah tangga; dan
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan Adapun asas dan tujuan disusunnya undang-undang ini tercantum dalam pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut : Bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 : penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. non diskriminasi; dan d. perlindungan korban. Di awal telah disebutkan bahwa kaum perempuan mempunyai hak asasi yang sama dengan hak asasi kaum laki-laki. Adapun yang dimaksudkan dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi manusia dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional. Selanjutnya asas yang ke-3 adalah nondiskriminasi. Dengan diratifikasinya konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan kemudian dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, diharapkan masyarakat tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan ,baik di ranah domestik,maupun diranah publik. Diskriminasim terhadap wanita (perempuan) berarti setiap pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. 27 Selanjutnya, asas ke-4 menyebutkan adanya perlindungan korban, yang diamksud dengan perlindungan adalah: “Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban. Yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan , pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang tujuan disusunnya undang-undang tersebut, yaitu: Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : 1.
Mencegah segala bentuk kekerasaan dalam rumah tangga; 27
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Sinar Grafika ,2010, halaman.48.
2.
Melindungi korban kekerasaan dalam rumah tangga;
3.
Meninndak pelaku kekerasaan dalam rumah tangga; dan
4.
Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kekerasan dalam rumah tangga adalah
masalah sosial, bukan masalah
keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam aturan yang tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.” Untuk mewujudkan ketentuan pasal 11 tersebut, pemerintah : 1.
Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah tangga.
2.
Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
3.
Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
4.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Kemudian untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
1.
Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian ;
2.
Penyediaan aparat ,tenaga kesehatan,pekerja sosial,dan pembimbing rohani;
3.
Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban;
4.
Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi , keluarga dan teman korban (Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004). Kererasan dalam
rumah tangga
merupakan masalah sosial, sehingga
diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan batas kemampuannya untuk : 1.
Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
2.
Memberikan perlindungan kepada korban;
3.
Memberikan perlindungan darurat;
4.
Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Dalam hal ini disebut dengan perintah perlindungan adalah penetapan yang
dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban
B. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokat dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban. 1. Peran Kepolisian( Pasal 16-20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004) Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga ,aparat kepolisian harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasaan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehinga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban. Setelah menerima laporan dari korban mengenai terjadinya kekerasaan dalam rumah tangga, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah: a.
memberikan perlindungan sementara pada korban.
b.
Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari korban.
c.
Melakukan penyidikan. Sehingga dengan adanya jaminan seperti ini hendaknya para korban dari
kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi takut untuk mengungkapkan kekerasan yang sebenarnya menimpanya. Dan segera untuk melapor kepada pihak kepolisian
agar kekerasan yang menimpanya dapat segera diselidiki sesuai dengan peraturan. Sehingga tidak lagi menjadi suatu yang disimpan-simpan dan tertutup dari masyarakat. Tidak menganggap bahwa aparat kepolisian akan menimbulkan permasalah baru dalam rumah tangga yang mengalami konflik tersebut. Polisi sebagai aparat kepolisian juga harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan dalam penaganan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 16 sampai 20 Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Apabila aparat kepolian sudah menjalankan fungsinya dengan baik, maka diharapkan korban dari kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi malu untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi terhadap dirinya. 2.Peran Advokat ( pasal 25) Advokat sebagai propesi yang membela masyarakat yang bermasalah atau berbenturan dengan hukum juga harus selalu siap dalam menyelesaikan masalah atau perkara mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, dimana dalam hal memberikan perlindungan pelayanan bagi korban maka advokat wajib: a.
Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan ;
b.
Mendampingi korban di tingkat penyidikan ,penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c.
Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagai mana mestinya. Sehingga dalam hal ini advokat juga memiliki peran yang sangat penting
dalam proses terciptanya kebenaran dan penegakan hukum dalam perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga. Advokat membantu korban untuk mengatakan yang sebenar-benarnya tentang kekerasan atau hal-hal apa saja yang menimpanya, sehingga dapat mempermudah bagi korban untuk menyelesaikan masalah yang menimpanya. 3.Peran Pengadilan Peran Pengadilan dalam penyelesian kekerasaan dalam rumah tangga sangat dibutuhkan, sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak luput mengatur bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan. Seperti telah disebutkan diawal tadi, bahwa kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari peradilan. Maka setelah menerima permohona itu, pengadilan harus; a.
Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
b.
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku,
larangan
memasuki
tempat
tinggal
bersama
,larangan
membuntuti,
mengawasi atau mengintimidasi korban (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan,maka korban dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan yang ditunjukkan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya ( Pasal 38 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004) Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara tegas telah di uraikan dalam Pasal 21 sampai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. `
kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyampaikan adanya peran peran profesi tambahan selain peran dari aparat kepolisaan ,advokat dan peran pengadilan. Dimana dalam peran ini berguna bagi proses peradilan dan juga
proses kepentingan pemulihan korban (pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Korban dapat memperoleh pelayanan dari: 1.Peran Tenaga Kesehatan Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti. 2.Peran Pekerja Sosial Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial : a.
Melakukan konseling untuk menguatkan korban;
b.
Menginformasikan mengenai hak-hak korban;
c.
Mengantarkan korban kerumah aman( shelter);
d.
Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban.
3.Peran Pembimbing Rohani Demi kepentingan korban, maka Pembimbing Rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa. 4.Peran Relawan Pendamping.
Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah diaturnya mengenai perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan Pendamping, yakni : a.
menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping;
b.
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;
c.
mendengarkan segala penuturan korban;
d.
memberikan penguatan korban secara psikologis maupun fisik.
C. Efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sudah sepantasnya berdampak baik terhadap masyarakat, khususnya bagi keluarga. Dalam Undang-Undang ini efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 ini ditentukan dari kepedulian masyarakat untuk mensosialisasikan dan menerapkan Undang-Undang ini dalam kehidupan bermasyarakat, karena undang-undang itu diterapkan dalam permasalahan-permasalahan
hadir untuk dapat
yang ada dalam masyarakat
sekaligus untuk menguji akan kegunaan dan efektipitas undang-undang itu
sendiri.Masyarakat harus saling bekerja sama baik sesama warga maupun dengan penegak hukum. Sikap saling bahu membahu untuk menyelesaikan suatu perkara yang ada dalam kehidupan bermasyarakat memudahkan untuk tercapainya kelayakan dan kegunaan undang-undang ini bagi masyarakat. Sanksi dari hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang 23 tahun 2004 juga berpengaruh untuk menjaga efektipitas dalam Undang-Undang Tersebut. Dimana sebagai alat pemaksa agar seseorang menaati, norma-norma yang berlaku. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dalam kehidupan bersama , dimana kedamaian berarti suatu keserasaian antara ketertiban dengan ketentraman atau keserasian antara perikatan dengan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain dari mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Dalam masyarakat terdapat 4 (empat) norma, yaitu norma keagamaan , norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Dari keempat norma tersebut, norma hukumlah yang mempunyai sanksi yang lebih mengikat sebagai alat pemangsa. Adapun pelaksana “alat pemangsa” tersebut diserahkan kepada penguasa (negara). Berbeda dengan pelanggaran terhadap norma-norma yang lain. Di mana pelaksanaan sangsi tidak dilakukan oleh penguasa dan tidak segera dirasakan oleh yang melanggar. Sangsi yang dijatuhkan pada norma hukum , segera dapat dirasakan oleh si pelanggar dalam hal ini pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Efektipitas Undang-Undang ini juga dipengaruhi oleh jumlah dan keinginan masyarakat untuk melaporkan dan tidak lagi merasa malu membuka permasalahan kekerasan dalam rumah tangga kepada lingkungannya. Ada yang menarik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dimana dalam satu pasal ( satu jenis perbuatan pidana )sekaligus terdapat delik biasa dan (umum) dan delik aduan. Hal ini memudahkan kepada pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena tidak hanya korban yang harus langsung melaporkan tindakan kekerasan yang diterimanya, namun dapat juga dilaporkan oleh masyarakat yang melihat dan menyaksikan tindak pidana kekerasan tersebut. Karena sebagai warga masyarakat yang baik dan peduli akan terjadinya suatu perbuatan yang melanggar hukum dapat melaporkan ke aparat kepolisian. Karena menurut pasal 1 ke 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 28 Hal tersebut terdapat dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. MasingMasing pasal dikemukakan sebagai berikut : Bunyi pasal 44 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 : (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diamaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
28
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1.
penjara
paling
lama
5
(lima)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) (2) Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan kekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Kemudian pasal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 51 dari undang-undang yang Sama, yang berbunyi : “tindak pidana kekerasan fisik segagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.” Selanjutnya, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berbunyi: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah).
Kemudian Pasal 45 ini, perlu dikaitkan dengan Pasal 52 dari undang-undang yang sama , yang berbunyi : “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.” Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 berbunyi : “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 46 tersebut berkaitan dengan Pasal 53 dari undang-undang yang sama, yang berbunyi :
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh seseorang terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan.” Kiranya apa yang telah dicantumkan dalam peraturan tersebut merupakan pedoman bagi para aparat penegek hukum agar lebih mantap dalam menjalankan tugasnya dan bagi korban sendiri merupakan jaminan akan ditegakkannya keadilan dibidang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Namun, kalau kita amati justru tindak kekerasan pada istri ( yang dilakukan oleh suami), dijatuhi pidana yang lebih ringan dari pada kalau tindak kekerasan tersebut dilakukan terhadap mereka (selain istri) yang ada dalam lingkup rumah tangga. Tindak dijelaskan apa dasar pertimbangan adanya pidana yang lebih ringan tersebut. Masyarakat dan penegak hukum yang akan menguji Epektipitas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, diiringi dengan waktu dan mampunya masyarakat menerima dan menerapkan secara baik dan benarnya undang-undang tersebut.