BAB II PENGATURAN ALUR LAUT KEPULAUAN BERDASARKAN UNCLOS 1982
A. 1.
Negara Kepulauan Lahirnya Konsepsi Negara Kepulauan Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Replubik Indonesia mengeluarkan suatu
Deklarasi mengenai wilayah Perairan Indonesia yang isinya sebagai berikut: “Bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Replubik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Replubik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Replubik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Replubik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang. Jadi, lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garisgaris pangkal (baseline) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar.” Inilah yang dinamakan Wawasan Nusantara, bahwa bangsa Indonesia menganut Wawasan Nusantara dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan keamanannya, sehingga diperoleh ketahanan nasional yang mantap yang juga akan berarti semakin kokohnya posisi kekuasaan Indonesia dalam hubungan internasional.20 Selanjutnya, Wilayah Replubik Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan
20
Adi Sumardiman dkk., Wawasan Nusantara, Jakarta: Yayasan Harapan Nusantara, 1982, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
lautan serta udara diatasnya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan Undang-undang No. 4 Prp. 1960. Jadi, dengan ketentuan hukum yang baru ini, seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah satu kesatuan dimana dasar laut, lapisan tanah dibawahnya, udara diatasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan Indonesia. Undang-undang No.4 tahun 1960 ini, yang merupakan dokumen yuridik dasar dari kebijaksanaan kita tentang tentang perairan Indonesia, dilengkapi pula dengan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam perairan Indonesia dan Keputusan Presiden Replubik Indonesia No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia. Dapat dilihat isi ketentuan yang mengatur tentang peraiaran Indonesia sesuai Undang-undang No.4 Prp. Tahun 1960 yang antara lain : 1. Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta peraiaran pedalaman Indonesia. 2. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya Negara tepi garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat. 3. Perairan pendalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.21 4. Lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan asing.22
21
Pasal 1 UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Jadi, ketentuan pokok Undang-undang No. 4 tahun 1960, ialah cara penarikan garis dasar yang sama sekali berlainan dengan cara tradisional. Selanjutnya bagi Indonesia tidak berlaku lagi cara penarikan garis air rendah (low-water line), tetapi penarikan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar seluruh kepulauan Indonesia (straight baselines from point to point). Semua titik-titik terluar yang menghubungkan seluruh kepulauan Indonesia berjumlah 200 dan 196 garis lurus dan garis yang terpanjang terdapat pada nomor 60, lintang 02-38,5 U, bujur 128-33,5 T dengan jarak 122,7 mil di tanjung Sopi. Hukum laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman.23 Di laut lepas terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, di laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan di perairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan, bagi Indonesia karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesia agak sedikit berbeda dengan Negara-negara lain. Sesuai Undang-undang no 4 Prp tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan. Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan di jamin oleh hukum internasioanl. 24 Di laut wilayah perairan Indonesia, kapal semua Negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut territorial.25 Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pendalaman atas dua golongan:
22
Pasal 3 ayat (1) UU No. 4 Prp Tahun 1960. Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Bandung: P.T Alumni, 2005, hal. 383. 24 Ibid. 25 Pasal 17 KHL 1982 23
Universitas Sumatera Utara
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pendalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas. 2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal water. Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Apa pula syarat-syarat yang harus dipenuhi agar lalu lintas itu dapat dikatakan damai? Pemerintah beranggapan bahwa yang dimaksud dengan damai ialah selama lintas itu tidak bertentangan dengan kepentingan Indonesia. Kalau lintas kapal asing itu akan membahayakan perdamaian, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan Indonesia, lintas tersebut tidak lagi dapat dianggap damai.26 Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat menjamin lintas tersebut atau meminta kapal-kapal asing tersebut meninggalkan laut wilayah dengan segera, kebijaksanaan sesuai dengan prinsip Pasal 30 Konvensi Hukum Laut. Di bidang riset, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 8, Pemerintah juga dan dalam hal ini Presiden, dapat memberikan izin kepada kapal-kapal asing untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah di perairan Indonesia dengan syarat tidak merugikan kepentingan Negara. Bagi Indonesia menurut Pasal 7 Peraturan Pemerintah diatas, Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut dapat melakukan alur-alur (sealanes) untuk kapal-kapal perang dan kapal-kapal publik asing lainnya. Mengenai kapal-kapal selam asing yang melalui laut wilayah Indonesia, sebagaimana praktek internasional umumnya dan juga seperti ditegaskan oleh Pasal 20 Konvensi 1982 diharuskan berlayar di atas permukaan laut dan menunjukan benderanya dan kalau tidak mematuhi ketentuan-ketentuan Pemerintah, maka pada kapal-kapal tersebut dapat diminta
26
Boer Mauna, Hukum Internasional, op. cit, hal. 384.
Universitas Sumatera Utara
untuk segera meninggalkan perairan Indonesia karena lintasnya sudah dianggap tidak damai lagi. Di samping itu, sambil menunggu adanya alur-alur, Keputusan Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin belayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia,memberikan penjelasan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal public asing yang melakukan lintas damai di perairan Indonesia harus memberitahuakan terlebih dahulu pada Pemerintah. Itulah ketentuan-ketentuan dalam garis besarnya yang dikeluarkan pemerintah, baik dalam bentuk undang-undang, pengumuman pemerintah, ataupun keputusan presiden, yang menentukan status hukum perairan Indonesia serta mengatur lalu lintas di perairan tersebut. Demikianlah berdasarkan pelaksanaan Undang-undang No.4 Prp Tahun 1960, Indonesia telah mengadakan perjanjian-perjanjian garis batas laut wilayah dengan Negara-negara tentangga seperti dengan Malaysia yang ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 17 maret 1970, mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1971, dengan Australia mengenai garis batas tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini di Jakarta tanggal 12 Febuari 1973 dan dengan Singapura yang ditandatangani di Jakarta tanggal 25 Mei 1973 dan mulai berlaku tanggal 30 Agustus 1974. 2.
Status Hukum Negara Kepulauan Ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan definisi Negara
Kepulauan dan Kepulauan, sebagai berikut : a. “Negara Kepulauan”berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain; b.
“kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termaksud bagian pulau, perairan di
antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu
Universitas Sumatera Utara
kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sedemikian.27 Dari uraian diatas tampak bahwa Negara kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya.Pengertian kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, peraian diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demukian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Adapun yang disebut pulau yaitu daratan yang tampak di permukaan laut baik pada saat air surut maupun pada saat air laut pasang. Dalam kaitan ini, G. Colombos menyatakan bahwa dapat tidaknya suatu gugusan pulau membentuk kepulauan, selain ditentukan oleh keadaan geografisnya, juga tergantung pada faktor sejarah dan factor-faktor lainnya.28 Istilah Negara kepulauan (archipelago state) telah dikenal sebelum KonvensiHukum Laut 1982.29 Tetapi konsepsi Negara kepulauan sebagai kaidah hukum laut internasional yang baru dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional, baru muncul setelah di tandatanganinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jarnaica.30 Dengan diterimanya prinsip Negara kepulauan sebagai salah satu lembaga dalam hukum laut internasional sebagaimana termuat dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982, maka masalah status hukum Negara kepulauan menjadi pasti. 27
Pasal 46 KHL 1982. Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: Penerbit Alumni, 1993, hlm. 17. 29 Lihat, Ali Nur,Azas Negara Kepulauan dan Konsekuensinya terhadap Aktualisasi Pengakuan Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia,Taskap Kursus Singkat Angkatan VI, Jakarta : Lembacas, 1996, hal, 12, Istilah Archipelagic berasal dari istilah Bahasaitalia archipelagos, arci artinya penting atau terutama sedangkan pelagos artinya laut atau wilayah lautan, Sebelum istilah archipelagos tersebut lahir, naskah remi perjanjian antara Replubik Vonezza dan Raja Micael Palnelogus pada tahun 1268 mengenalnya sebagai “Aigaius Pelagos” yang berarti laut Aigaia yang dianggap sebagai laut terpenting, Dalam perkembangan selanjutnya pulau-pulau yang ada di dalam laut Aigaia dinamakan; Arc (h) ilago”, yang mengandung arti wilayah lautan dengan pulaupulau di dalamnya. 30 Atje Misbach, op. cit, hlm. 95. 28
Universitas Sumatera Utara
Pasal 47 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa negara-negara yang berdasarkan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan negara kepulauan dapat menarik
garis
pangkal
lurus
kepulauan
(straight
archipelagic
baselines)
yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering dari pulau itu, dengan akibat bahwa kedaulatan Negara kepulauan luas hingga ke perairan yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus demikian, sampai ke ruang udara yang ada di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi syarat-syarat berikut ini harus terpenuhi:31 a.
Garis pangkal harus mencakup pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara perairan dan daerah daratan adalah 1:1 dan 9:1.
b.
Panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah keseluruhan garis pangkal dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga pada suatu kepanjangan maksimun 125 mil laut.
c.
Garis pangkal tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut.
d.
Garis pangkal tersebut tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut , kecuali jika diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial.
e.
Garis pangkal tidak boleh diterapkan dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
f.
Apabila bagian perairan kepulauan terletak di antara dua bagian suatu Negara tetangga yang lansung berdampingan, hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah Negara yang disebut terakhir, dan semua hak yang ditetapkan dengan perjanjian antara kedua Negara
31
J.G.Starke, Penghantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1989, hlm. 354.
Universitas Sumatera Utara
akan tetap berlaku dan harus dihormati. Lebar laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus diukur dari garis pangkal .
3.
Kedaualatan Negara Kepulauan di Perairan Kepulauan.
Dengan telah dimasukkannya Pasal 46 sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut 1982, perjuangan Negara kepulauan untuk menjaga kepentingan-kepentingan politik, keutuhan wilayah, ekonomi dan sosialnya telah mendapatkan dasar hukum dengan diakuinya kedaulautan Negara kepulauan di perairan kepulauan.32 Kententuan tersebut diatas merupakan penegasan lebih lanjut dari ketentuan pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan bahwa : “ Kedaulatan suatu Negara Pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut territorial.” Di satu pihak, ketentuan ini menunjukan bahwa perairan kepulauan, sebagaimana juga perairan pedalaman dan laut territorial, merupakan bagian dari wilayah perairan yang berada di bawah kedaulatan Negara kepulauan. Di lain pihak, meskipun perairan yang berada di bawah yuridiksi Negara kepulauan tersebut,terletak di sebelah dalam dari garis pangkal, status hukumnya berbeda dengan status hukum perairan pedalaman suatu Negara pantai biasa. Selanjutnya ayat (2) pasal ini menyebutkan bahwa kedaulatan Negara kepulauan meliputi seluruh wilayah perairannya, termaksud ruang udara diatasnya, dasar lautan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dengan demikian kedaulatan Negara kepulauan itu dilihat dari luang lingkupnya tidak saja bersifat horizontal melainkan juga bersifat vertikal.33 Kedaulatan Negara di perairan kepulauan juga tidak dapat disamakan dengan di laut territorial, karena perairan kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut pasal 49 ayat 3 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab IV 32
Pasal 49 ayat (1) dan (2) KHL 1982. Atje Misbach, Op. cit, hal. 100.
33
Universitas Sumatera Utara
dari konvensi ini. Meskipun bukan perairan pedalaman, perairan kepulauan mempunyai sifat laut territorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing melalui perairan ini.34 Pengertian kedaulatan Negara atas perairan tidak sama dengan kedaulatan Negara atas daratannya yaitu karena adanya pasal-pasal lain yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengharuskan dihormatinya hak-hak yang ada dan kepentingan yang sah dari Negara-negara lain yang berkepentingan terhadap Negara kepulauan ini. Adapun ketentuan-ketentuan dari bab ini, yang secara praktis merupakan pembatasan terhadap kedaulatan Negara kepulauan itu adalah35: a.
Ketentuan tentang keharusan menghormati hak-hak dan kepentingan- kepentingan yang sah (the existing rights and legitimate interests) dari Negara-negara tetangga yang berbatasan.36
b.
Ketentuan yang berkenaan dengan penghormatan atas persetujuan-persetujuan yang ada dengan Negara-negara lain, pengakuan hak-hak perikanan tradisional dan kegiatankegiatan yang sah lainya dari Negara-negara tetangga yang berdekatan serta kabelkabel dasar laut yang ada.37
c.
Ketentuan tentang hak lintas damai.38
d.
Ketentuan tentang hak lintas melaui alur-alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes passage).39
e.
Ketentuan yang berkenaan dengan larangan untuk menghalangi pelayaran melaui aluralur laut nusantara.40
34
Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982- Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung : Abardin, 1991, hal. 174. 35 Atje Misbach, loc. cit. 36 Pasal 47 ayat (6) KHL 1982. 37 Pasal 51 KHL 1982. 38 Pasal 52 KHL 1982 39 Pasal 53 KHL 1982 40 Pasal 44 KHL 1982
Universitas Sumatera Utara
Mengenai
pembatasan
Kedaulatan
suatu
Negara
ini,
Mochtar
Kusumaatmadja
mengemukakan41 bahwa hubungan suatu Negara- Negara atau hubungan internasional yang teratur tidak mungkin tanpa menerima pembatasan terhadap kedaulatan Negara yang menjadi anggota masyarakat itu. Tunduknya suatu Negara yang berdaulat atau tunduknya paham kedaulatan kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional demikian merupakan syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.
4.
Perjuangan Memperoleh Pengakuan Internasional atas Azas- azas Negara Kepulauan Dengan Menghadapi Tantangan dari berbagai Negara maritim besar dan melawan hukum
kebiasaan internasional (customary internasional law), Indonesia seperempat abad lamanya berjuang melalui saluran diplomasi untuk memperoleh pengakuan internasional atas “Azasazas Negara Kepulauan (archipelagic state principles)”, azas-azas yang sangat penting artinya bagi bagi Indonesia dalam mewujudkan Wawasan Nusantara. Perjuangan itu dilaksanakan sejak dimaklumatkannya Pengumuaman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 sampai ahkirnya azas-azas tersebut diakui oleh masyarakat internasional dengan menampungnya di dalam Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dan menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Sesuai dengan pengaturan yang terdapat didalamnya, Konvensi memberikan kepada Negara-negara kepulauan seperti Indonesia hak untuk menentukan alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing yang ingin melintasi perairan kepulauan tanpa bermaksud
41
Mochtar Kusumaatmadja, Penghantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1990, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
mengunjungi salah satu pelabuhan dari Negara kepulauan tersebut (archipelagic sealane passage). Seperti halnya dalam memperjuangkan azas-azas Negara kepulauan, penentuan aluralur ini diperkirakan akan merupakan masalah yang pelik karena persoalanya tidak saja penting artinya bagi pertahanan dan keamanan Negara, tetapi juga menyangkut kepentingan komunikasi vital banyak Negara, baik dari segi angkutan dan perdagangan internasional, maupun dari segi pertahanan dan keamanan global Negara-negara maritim besar. Sehubungan dengan itu guna mencapai kepentingannya dan sekaligus mencegah terjadinya benturan-benturan dengan masyarakat internasional secara tidak perlu, Indonesia perlu mengupayakan cara-cara terbaik dalam menentukan alur-alur kepulauan di perairan kepuluannya. Sewaktu Kabinet Perdana Menteri Replubik Indonesia memaklumatkan Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Replubik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957, Pengumuman ini ditentang oleh berbagai Negara maritim besar, antara lain amerika Serikat, Inggris, Australia dan Belanda dengan alasan Bahwa tindakan Indonesia tersebut merupakan: “A serious encroachment upon the freedom of the high seas” yang dapat mengancam “The freedom of navigation” serta bertentangan dengan hukum internasional.42 Inggris dalam nota diplomatiknya dengan tegas menyatakan bahwa negaranya akan tetap memandang laut-laut yang berada di sekitar pulau-pulau Indonesia sebagai laut-laut bebas.43 Timbulnya tantangan dari Negara-negara tersebut menyebabkan Indonesia pada ahkirnya
42
Michael Leifer and Dolliver Nelson, “Conflict of Interests in the Strait of Mallaca”, Majalah Internasional Affairs, vol, 49, No. 2, April 1973, hal. 200. 43 “Keesing‟s Contemporary Archieves 1957-1958”, Weekly Diary of world Events,(Bristol, England: Keesing Plubication Ltd),hal. 16043.
Universitas Sumatera Utara
mengambil kebijaksanaan untuk tidak dengan segera mengkukuhkan deklarasinya dalam bentuk undang-undang.44 Disamping itu Peserikatan Bangsa-Bangsa telah merencanakan untuk Konferensi Hukum Laut I pada bulan Februari 1958, sehingga penangguhannya juga ditujukan untuk melihat lebih dahulu bagaimana reaksi dunia secara luas di dalam konferensi yang bersifat internasional itu.45 i. Konferensi Hukum Laut PBB Tahun 1958 dan II Tahun 1960 Himbauan kepada masyarakat Internasional yang intinya agar mengusulkan Negaranegara kepulauan seperti Indonesia dibenarkan untuk menarik batas-batas wilayahnya secara khusus disampaikan Indonesia untuk pertamakalinya pada Pertemuan Ketujuh Komite I Konperensi Hukum Laut PBB I Tahun 1958. Usul ini kemudian didukung oleh Yugoslavia dan Philippina serta kedua Negara itu mengajukan usul-usul mereka secara konkret berupa rancangan pasal-pasal mengenai (archipelagos) untuk melengkapi rancangan yang disiapkan oleh International Law Commission.46 Dukungan yang diberikan oleh Yugoslavia ternyata lebih menyulitkan dari pada membantu posisi Indonesia. Usul itu yang kemudian direvisi dan diajukan kembali oleh Denmark lebih mengutamakan pencapaian kepentingan Negara kontinental yang letaknya jauh dari pantainya (continental state with group of outlying islands) dan usul ini sudah jelas berbeda dengan konsep Negara kepulauan yang diajukan Indonesia. Sementara itu usul philippina dinilai terlampau umum, sehingga dikhawatirkan akan dapat disalahgunakan. Pemikiran mengenai kepulauan milik Negara kontinental telah lama dibicarakan tanpa hasil dalam sidang-sidang Institute de Droit Interntional Law Association Tahun 1924 dan 1926
44
Etty R. Agoes, “ Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan Masalah Peraturan Hak Lintas kapal Asing”, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Padjajaran, 1959, hal. 242. 45 Ibid. 46 Law of the Sea Commentary Project, Centre for Oceans Law and Policy,vol. II,(School of Law , University of Virginia, 1990), hal.Part 4/3.
Universitas Sumatera Utara
serta The Hague Condification Conference of International Law Tahun 1930.47 Dibawanya kembali konsep yang telah lama dibicarakan dan ditolak didalam berbagai forum internasional menyebabkan perundingan mengenai mata acara “archipelagos” menjadi sangat kontroversial. Amerika Serikat, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa pemberian hak bagi kepulauan untuk menggunakan garis-garis pangkal lurus akan membahayakan prinsip kemerdekaan laut bebas.48 Akibatnya International Law Commision yang ditugaskan PBB untuk menyiapkan rancangan pasal-pasal guna dibahas dalam Konferensi tidak dapat mengajukan rancangan pasal-pasal mengenai kepulauan dan bahkan terpaksa mengeluarkan permasalahannya dari agenda persidangan dengan alasan
bahwa seperti halnya The Hague Condification
Conference of International Law tahun 1930, International Law Commision tidak dapat mengatasi kesukaran-kesukaran yang ada, terutama sekali karena : a. Belum tercapainya persetujuan mengenai lebar laut territorial. b. Terlampau beragamnya bentuk kepulauan yang ada. c. Kurangnya Informasi teknis mengenai permasalahan kepulauan. Pada Konferensi Hukum Laut PBB II tahun 1960, Indonesia dan Philippina menyinggung kembali perundingan mengenai permasalahan kepulauan. Namun karena konferensi II ini khusus diadakan sebagai upaya untuk menyelesaikan dan mencapai kata sepakat mengenai lebar laut territorial, konferensi tidak membahas masalah kepulauan. Dari jalannya pembahasan pada Konperensi I dan II tersebut terdapat pelajaran yang sangat bermanfaat. Belum dapat diterimanya azas-azas Negara kepulauan pada saat itu karena ada dua faktor kendala yang sangat mengait. Faktor pertama besifat politis, sedangkan yang kedua bersifat teknis.
47
The Law of the Sea, Archipelagic States, Legislative History of Part IV of the United Nation Convention on the Law of the Sea .,( Office for Ocean Affairs and the Law of the Sea, United Nation., 1990), hal. 1. 48 Sumitro L. S. Danuredjo, Hukum Internasional Laut Indonesia, (Jakarta: Bhatara, 1971), hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai Faktor politis, masyarakat internasional pada waktu itu belum siap untuk menerima gagasan-gagasan baru guna mengatur laut. Pada Konperensi I dan II semangat yang ada masih sama dengan Konperensi Den Haag, yaitu sekedar untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional mengenai laut kedalam bentuk konvensi yang disetujui bersama. Sementara itu keadaan politik dan keamanan in ternasional juga tidak menunjang semangat untuk mengadakan pembaharuan karena semua Negara maritim besar sedang terlibat dalam perang dingin yang semakin memuncak. Di dalam keadaan seperti ini prinsip kebebasan berlayar menjadi sangat penting artinya bagi strategi global mereka masing-masing dan karenanya mereka gigih dalam mempertahankan konsep laut bebas. Bagi, kepentingan merek itu, lebih besar laut yang tidak tunduk pada yuridiksi nasional adalah lebih baik. Kegagalan untuk menetapkan lebar laut territorial merupakan bukti nyata dari kegigihan mereka mempertahankan kepentingannya.49 Dalam masalah teknis, baik Indonesia maupun Philippina dapat dikatakan kurang siap menghadapi konperensi. Di pihak Indonesia mungkin karena singkatnya waktua antara dimaklumatkannya Deklarasi Djuanda 1957 Replubik Indonesia tidak sempat melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan.Didalam persidangan Indonesia hanya menyampaikan himbauan agar Negara-negara kepulauan diberi hak untuk menarik wilayahnya secara khusus serta bersifat reaktif terhadap usul-usul Negara lain tanpa pernah mengajukan gagasannya secara konkret berupa rancangan pasal-pasal. Tidak adanya Negara yang menyajikan kriteria objektif mengenai azas-azas Negara kepuluan dalam bentuk rancangan pasal-pasal untuk dikaji dalam perundingan, menimbulkan kesulitan bagi para peserta sidang guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan berhak menarik wilayah perairannya secara khusus. Tanpa kriteria semacam itu dikhawatirkan tidak aka nada cara yang efektif untuk mencegah sebuah
49
Etty R. Agoes, op. cit., hal. 254.
Universitas Sumatera Utara
Negara secara semena-mena menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan dan keadaan seperti ini dapat dipastikan akan lebih menimbulkan kekacauan dari pada ketertiban iternasional di laut.50 Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki tersebut peserta konperensi ahkirnya terpaksa menghentikan perundingan mereka tentang masalah kepulauan sampai adanya keterangan-keterangan yang teknis yang lebih lengkap.51 ii.
Konperensi Hukum Laut PBB III Tahun 1974 – 1982
Memperoleh pengalaman yang sangat bermanfaat sewaktu menghadapi Konperensi I dan II, Indonesia dalam menghadapi Konperensi III mengadakan persiapan-persiapan secara cermat.Pemikiran-pemikiran untuk menciptakan suatu kriteria objektif guna menentukan Negara mana saja yang dapat dinyatakan sebagai Negara kepulauan dan usaha-usaha untuk membedakan masalah “kepulauan” dengan “Negara kepulauan” dikristalisasikan dengan langkah-langkah terpadu. Langkah-langkah ini tidak saja dilakukan di dalam lingkungan nasional berupa loka-karya dan rapat-rapat interdepartemental, tetapi yang lebih penting lagi Indonesia juga melakukannya di bidang diplomasi untuk menggalang kekuatan antar Negaranegara yang berpotensial menjadi Negara kepulauan. Untuk itu pada tahun 1972, dua tahun sebelum Konferensi dimulai, Indonesia, Filipina, Maurititus, dan Fiji mengadakan pertemuan guna merumuskan defenisi mengenai “Negara kepulauan” dan untuk menyusun strategi dalam menghadapi persidangan. Sebagai upaya memperoleh dan menggalang dukungan yang luas bagi perjuangannya, Indonesia memprakarsai usaha agar organisasi Asia-Africa Legal Consultative Committee (AALCC) turut membahas masalah hukum laut. Pada sidang di Ghana tahun 1970, AALCC
50
The Law of the Sea Commentary project, op. cit.,supra No. 5, hal. Part IV/4. Namun demikian peranan delegasi RI di Konperensi tidak dapat dikatakan sia-sia. Peranan Delegasi Indonesia itu tidak saja dapat menarik perhatian dunia atas masalah kepulauan, tetapi juga bersama-sama Kanada berhasil menggagalkan usaha Inggris untuk membatasi garis-garis pangkal kepulauan maksimun sepanjang 15 mil. Jika usul ini diterima, hal itu jelas merugikan perjuangan Indonesia selanjutnya. Lihat saja Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 12-16. 51
Universitas Sumatera Utara
menerima usulan Indonesia bahkan menjadikannya sebagai mata acara prioritas dalam sidang-sidang AALCC selanjutnya. Dalam kesempatan di sidang-sidang ini Indonesia kemudian memanfaatkan peluang yang tercipta untuk memperoleh dukungan. Juga berbeda dengan sikap di masa lalu, Indonesia mengadakan langkah-langkah untuk mendekati negara-negara tetangganya. Diperkirakan bahwa jika pada tingkat regional saja Indonesia tidak berhasil memperoleh dukungan, maka usaha untuk memperoleh dukungan global akan lebih sulit lagi, terutama dari negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sejak sidang-sidang persiapan pada Komite Dasar Laut PBB menyatakan dengan tegas akan mempertahankan prinsip kemerdekaan laut bebas khususnya atas laut-laut yang selama ini digunakan sebagai jalur pelayaran internasional. Fora bilateral juga tidak luput dari sasaran diplomasi Indonesia dalam memperkuat perjuangan untuk memenangkan pengakuan internasional atas azas-azas negara kepulauan. Dengan Australia, misalnya Indonesia merundingkan batas-batas landas kontinen dan di dalam perundingan itu
Indonesia menerapkan azas-azas tersebut. Sebelum menghadapi
sidang-sidang, Indonesia mengundang atau mengunjungi delegasi Negara-negara maritim besar untuk melakukan pembicaraan dan mengupayakan kata sepakat. Berbagai perjanjian bilateral diluar bidang hukum laut juga digunakan untuk menyelipkan “territorial clause” seperti di dalam perjanjian-perjanjian Percegahan Pajak Berganda, Riset dan Teknologi serta Narkotika. Forum-forum akademis di luar negeri bahkan juga dimanfaatkan oleh diplomasi Indonesia untuk mempengaruhi pendapat umum, para ahli, dan penasehat pemerintah negaranegara asing. Di dalam persidangan, Indonesia memainkan peranan yang lugas namun taktis. Usaha Inggris untuk menambah kriteria-kriteria baru seperti masalah penentuan panjang maksimum garis-garis pangkal kepulauan, besarnya perbandingan antara wilayah air dan daratan, serta usul untuk menggantikan istilah “perairan pedalaman” menjadi “perairan kepulauan” bagi
Universitas Sumatera Utara
laut-laut yang berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan ditampung dan disesuaikan agar kriteria itu dapat diterapkan di Indonesia. Dengan persiapan dan pelaksanaan strategi seperti ini akhirnya sukar bagi masyarakat internasional untuk menolak pengakuan atas azas-azas ngara kepulauan.
B.
Masalah Alur- alur Kepulauan Sebagaimana keadaan sejak Indonesia memaklumatkan Deklarasi Djuanda 1957,
masalah pelayaran internasional melalui perairan kepulauan merupakan masalah yang terpelik.Sementara itu keadaaan perundingan dapat dikatakan kurang menguntungkan karena dari semua Negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara kepulauan, hanya Indonesia dan Filippina yang secara gigih berkeinginan untuk mengatur pelayaran di perairan kepulauan. Negara-negara lain seperti Fiji dan Mauritius hanya bertujuan untuk berdaulat atas sumbersumber alam di perairan kepulauannya masing-masing.52 Pada intinya permasalahan mengenai penentuan alur-alur kepulauan ini timbul dari dua pandangan (school of thought) yang berbeda. Pandangan pertama menilai bahwa karena sejarah perkembangan bangsanya dan keunikan bentuk geografis wilayahnya, maka negara kepulauan berdaulat secara mutlak di wilayah perairan tersebut.Kapal-kapal asing memang dibenarkan untuk berlayar di sana, namun hal itu semata-mata merupakan “Preveliges” yang diberikan oleh negara kepulauan. Undang-undang No. 4/PRP tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 didasarkan pada pandangan ini. Pandangan kedua berpendapat bahwa perairan tersebut pada mulanya adalah laut bebas dimana prinsip kebebasan berlayar berlaku dengan mutlak. Diperkenankanya negara
52
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta, 1978, hal. 66-67.
Universitas Sumatera Utara
kepulauan untuk menarik batas wilayah perairannya secara khusus merupakan hak yang bersifat “optional” yang diberikan masyrakat internasional kepada negara kepulauan.53 Jika negara kepulauan berminat untuk menggunakan hak ini maka hak kapal-kapal internasional untuk berlayar di sana khususnya pada “routes customarily used for international navigation” harus tetap dihormat.54 Antara lain Uni Soviet, salah satu negara pertama yang mengakui Deklarasi Djuanda 1957, pada Konperensi III dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya penerimaan azas-azas negara kepulauan akan memberikan kepada Indonesia dan Philippina secara tidak adil bagian laut bebas sangat luas, namun Uni Soviet bersedia untuk menerima azas-azas tersebut asalkan dapat tercapai kompromi yang memuaskan mengenai hak lintas pelayaran internasional di dalam perairan kepulauan. Dukungan-dukungan yang bersyarat seperti ini hamper dinyatakan oleh semua peserta konperensi.55 Bab IV Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang mengatur mengenai negara kepulauan adalah hasil kompromi maksimal berupa suatu keseimbangan antara kepentingan negara kepulauan dengan kepentingan bagi navigasi internasional.56 Pada mulanya Indonesia mengusulkan agar pelayaran internasioanl di batasi pada aluralur laut yang ditentukan oleh negara kepulauan dengan rejim hak lintas damai. Namun negara-negara maritime besar tidak dapat menerima usul ini dan Inggris kemudian mengajukan usul tandingan yang intinya membenarkan adanya dua rejim pelayaran melalui perairan kepulauan. Rejim pertama memberikan pada masyarakat internasional hak lintas pelayaran (transit passage) melaui “routes customarily used for international navigation” 53
Walaupun terdapat suatu negara yang memenuhi kriteria yang sudah ditentukan, namun negara itu tidak secara otomatis menjadi negara kepulauan. Negara itu baru menjadi negara kepulauan jika menerapkan pasal 47 ayat 1 Konvensi HukumLaut 1982. Perumusan pasal ini bersifat “optional” karena menggunakan kata “may”. Sebagai contoh Inggris dan Jepang secara geografis memenuhi persyaratan yang ada. Namun karena mereka tidak ingin menerapkan pasal 47 itu, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagi negara kepulauan, Lihat “Law of the Sea Commentary Project”. Supra 5, hal. Part IV/8. 54 Pandangan ini antara lain dianut oleh Inggris, Lihat “The Law of the Sea”, supra no. 6, hal. 41. 55 Ibid, hal 38-64. 56 Law of the Sea Commmentary Project, op.cit, supra no. 5, hal.53/3-53/29.
Universitas Sumatera Utara
dan rejim kedua memberikan hak lintas damai (innocent passage) di semua perairan kepulauan. Setelah melalui perundingan selama dua tahun tanpa kemajuan yang berarti, Bahamas yang kemudian turut menyatakan minatnya untuk menjadi negara kepulauan mengajukan usul-usul kompromi yang ternyata dapat mempengaruhinya jalannya perundingan selanjutnya dan ahkirnya para pihak yang berkepentingan dapat mencapai kata sepakat seperti yang tercantum didalam Pasal 53 Konvensi.57 Dengan adanya kriteria objektif untuk menentukan sebuah negara kepulauan dan dicapainya kesepakatan mengenai masalah alur-alur pelayaran kepulauan ahkirnya azas-azas negara kepulauan diakui oleh masyarakat internasional dengan menampungnya di dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Dewasa ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982 belum berlaku. Dari persyaratan 60 ratifikasi yang diperlukan untuk memberlakukannya, baru 48 negara yang meratifikasinya dan semuanya adalah negara-negara berkembang. Negara-negara maju tampaknya masih menunggu sikap Amerika Serikat yang dewasa ini hendak mengubah beberapa prinsi dari konvensi yang menyangkut penambangan dasar laut dalam. Seperti disebut diatas dalam memperoleh pengakuan internasional dan guna menjamin dilaksanakannya azas-azas negara kepulauan, Indonesia senantiasa menyiapkan “territorial clause” ke dalam berbagai perjanjian bilateralnya dengan negara-negara lain. Dalam perundingan-perundingan yang bersifat bilateral ini juga terdapat kesan yang jelas bahwa mereka hanya mengakui penerapan azas-azas negara kepulauan sepanjang hal itu dilaksanakan sesuai dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982.58 Pasal 53 ayat 2 Konvensi 1982 menentukan bahwa perairan kepulauan, semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas alur alut kepulauan melalui alur laut kepulauan 57
Ibid. Antara lain lihat “side letters” yang terdapat pada “Convention between the Government of the Replubic of Indonesianand the Government of the United State of America for the Avoidance of Double Taxation and the Prevetion of Fiscal Evasion with respect to Taxes on Income”. Keputusan Replubik Indonesia Nomor 44 tahun 1988. 58
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan dan rute udara diatasnya. Menurut pasal 53 ayat 3 lintas alur laut kepulauan adalah : “Pelaksanaan sesuai dengan Konvensi hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan dengan cara-cara yang normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus –menerus cepat dan tidak terhalang antara satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.”59 Selanjutnya berdasarkan pasal 44 (yang berlaku mutatis mutandis atas dasar pasal 54), Negara Kepulauan tidak boleh menghambat atau menghentikan lintas pelayaran alur laut kepulauan. Defenisi tentang alur laut kepulauan tersebut sangat mirip dengan defenisi tengtang lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional. Kesamaan antara kedua rejim tersebut terutama terlihat dari kenyataan bahwa keduanya memuat prinsip bahwa lintas pelayaran tidak boleh dihentikan.Meskipun antara kedua rejim tersebut terdapat titiktitik persamaan, terdapat perbedaan yang penting yang mungkin tak begitu tampak.Seperti telah dikemukakan, pasal 53 ayat 3 Konvensi memberikan defenisi lintas pelayaran alur laut kepulauan sebagai “pelaksanaan……..hak-hak pelayaran dan lintas penerbangan………..”, sedangkan pasal 38 ayat 2 memberikan defenisi tentang lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional sebagai “pelaksanaan…...kebebasan pelayaran dan penerbangan……….” Tidak adanya kata ” kebebasan” (freedom) dalam defenisi tentang lintas pelayaran alur laut kepulauan mempunyai efek yuridis yang secara jelas membedakan lintas pelayaran alu)r laut kepulauan dari kebebasan laut lepas. Istilah “kebebasan pelayaran dan dan lintas penerbangan” dalam defenisi lintas transit menunjukan bahwa rejim lintas transit lebih dekat ke rejim kebebasan laut lepas. Rejim lintas alur laut kepulauan lebih jauh
59
Pasal 53 ayat (3) KHL 1982
Universitas Sumatera Utara
dibedakan dari lintas transit melalui selat untuk pelayaran internasional melalui ketentuanketentuan khusus yang mengatur hak lintas alur laut kepulauan. Penetapan alur alut kepulauan mengandung beberapa ciri khusus. Menurut pasal 3, Negara Kepulauan dapat menetapkan alur alut kepulauan dan rute diatasnya. Alur-alur demikian harus melintasi perairan kepulauan dan laut territorial yang berdampingan serta mencakup semua rute lintas normal yang digunakan sebagai rute atau alur untuk pelayaran internasional (“routes customarily used for international navigation”), Namun demikian sebelum menetapkan alur laut kepulauan tersebut, negara kepulauan diharuskan oleh ayat 9 dari Pasal 53 untuk mengajukan usulnya tentang alur laut kepulauan yang ditetapkan tersebut kepada organisasi internasional yang kompeten “dengan maksud untuk dapat disetujui”. Ayat ini juga menentukan bahwa organisasi tersebut hanya dapat menyetujui alur laut kepulauan yang disetujui bersama dengan negara kepulauan. Ini berarti bahwa negara kepulauan hanya dapat menetapkan alur alut kepulauan yang telah disetujui bersama dengan organisasi internasional yang kompeten. Jika persetujuan ini tidak tercapai sehingga negara kepulauan tidak dapat menetapkan alur laut kepulauan, maka menurut ketentuan ayat 12 dari Pasal 53, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui “rute-rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional”.60 Sesuai dengan ketentuan Konvensi tersebut diatas dan melihat betapa peliknya permasalahan alur-alur alut kepulauan ini, Indonesia mutlak perlu mengadakan kerjasama dengan masyarakat internasioanal dalam menentukan alur-alur kepulauan di peariran kepulauan Indonesia. Menarik pelajaran dari perjuangan Indonesia dalam memenangkan pengakuan internasioanal atas azas-azas negara kepulauan, kiranya strategi yang sama dapat dilakukan, yaitu memanfaatkan forum multilateral, regional dan bilateral. Sebelum melancarkan usah mendekatkan diplomasi dengan negara-negara lain, kiranya Indonesia 60
Mengenai hak lintas alur laut kepulauan ini lihat Nugroho Wisnumurti, “Pengaruh konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 terhadap poliyik luar negri Indonesia”, (TASKAP peserta khusus Regular Angkatan ke-XXI, Lembaga Pertahanan Nasional, 1988), hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
perlu juga terlebih dahulu mengadakan persiapan-persiapan dengan melakukan penelitianpenelitian yang bersifat teknis bagi penyusunan alasan yang nalar untuk mempermudahkan perjuangan nantinya di for a internasional. Sehubungan dengan perlunya melakukan persiapan-persiapan yang bersifat teknis, sebagaimana diketahui, dewasa ini tidak ada kepastian hukum mengenai dimana letaknya “routes customarily used for international navigation” di perairan kepulauan Indonesia. Biasanya “routes” yang dimaksud dicantumkan dalam berbagai buku panduan pelayaran yang diterbitkan untuk kepentingan penerbitnya, misalnya seperti “Ocean Passages for the World” yang dibuat oleh Angkatan Laut Inggris. Guna memperoleh data yang berbobot dan sukar untuk digugat oleh lawan, Indonesia dapat melaksanakan kerjasama teknis dengan Seketariat International Maritime Organization (IMO), anatara lain, untuk mengetahui rute mana yang sering digunakan, kedalamnya dan jenis-jenis serta kebangsaan dari kapal-kapal yang menggunakan rute-rute itu. Sekretaris Jenderal IMO pernah menyatakan bahwa organisasinya siap untuk mengadakan kerjasama teknik dengan negara-negara dalam rangka menerapkan Konvensi dan memajukan kerjasama internasional mengenai laut.61 Data yang diperoleh ini nantinya juga akan sangat berguna bagi Indonesia
jalur untuk merencanakan penetapan jumlah dan tempat dari alur-alur
tersebut serta negara-negara mana saja yang perlu diadakan pendekatan diplomasi. Sebelum mengajukan usul-usulnya pada tingkat multilateral (organisasi internasional yang berwenang) sebaiknya Indonesia melakukan pendekatan-pendekatan dengan negaranegara tetangganya, baik melalui jalur bilateral, maupun jalur organisasi regional seperti ASEAN. Diperkirakan jika usul-usul tersebut tidak diterima oleh negara-negara tetangga, maka dukungan-dukungan dari negara-negara lain akan lebih sulit untuk diperoleh. Dalam
61
Address by Mr. C. P. Stavastava, Secretary General of the International Maritime Organization (IMO) to the 19th Annual Conference of the Law of the Sea Institute, (Cardiff, 26 jullly 1985)
Universitas Sumatera Utara
kaitan ini negara-negara maritim besar juga perlu diadakan pendekatan seperti Jepang dan Amerika Serikat. Pada tingkat multilateral, diperkirakan IMO dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam usahanya untuk menetapkan alur-alur laut. Perkiraan ini didasarkan pada praktek dan tujuan didirikannya IMO. Center for Oceans Law and Policy, University of Virginia, menilai bahwa yang dimaksud dengan “organisasi yang berwenang” oleh Konvensi adalah IMO. 62 Sekretaris Jenderal IMO secara implisit juga berpendapat demikian.63
C.
Penerapan ALKI pada Perairan Indonesia Sebagai negara kepulauan, perairan Indonesia dapat merupakan jalur pelayaran untuk
menghubungkan wilayah-wilyah antara keua samudera (Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik) dan kedua benua (Benua Asia dan Benua Australia) pada jalur-jalur tertentu.64 Jalurjalur tersebut dapat melalui perairan tertentu dari negara Indonesia. Misalnya pada rezim laut territorial, zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), maupun pada perairan kepulauan Indonesia. Selain Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 13.500 pulau, Philippina juga merupakan negara dengan 7.100 pulau, Micronecia dengan 10.000 pulau,
62
Law of the Sea Communentary Project, op. cit, supra no. 5, hal. 53/25. Ibid. supra no. 18. 64 Jalur pelayaran pada saat ini yang melalui perairan Indonesia adalah Selat malaka. Pada saat ini selat malaka merupakan jalur pelayaran yang sangat penting dan terpadat bagi pelayaran internasional.Penting dan padatnya selat malaka dapat diketahui dari volume pelayaran melalui selat tersebut. Pada tahun 1992 kurang lebih 33.527 kapal dalam satu tahun berlayar melalui selat malaka, diantarany 10.000 kapal tanker. Sebanyak 7% dari kapal tanker yang berlayar di selat tersebut adalah kapal-kapal tanker dengan bobot mati lebih dari 30.000 ton. Kapal-kapal tanker ini umumnya mengankut minyak dari timur tengah ke Jepang dengan kapasitas lebih kurang 3,2 juta barrel perhari. Ditambah lagi dengan diangkut dari negara-negara Asia Tenggara lebih kurang 3,81 juta barrel perhari. Lihat Edgar gold, “Compensation for Ship-Source Marine Pollution: A Hypothetical Case Study”, dalam Valencia, Mark. J.,(ed), Shipping, Energy, and Environment: Shoutheast Asean Perspective for the Eighties, (Halifax, Canada: the Dalhousie Ocean Studies Programme,1981), h. 261. Lihat pula Noel Boston, Reducing the Risk Oil Pollution in the Juridictional Seas of Indonesia, (Jakarta: A Canada-Indonesia Cooperation Project, 1994), hal. 10. 63
Universitas Sumatera Utara
Bahamas dengan 700 pulau, Marshal dengan 1.200 pulau, dan Maldives dengan 2.000 pulau.65 Masalah hak lintas kapal asing melalui perairan Indonesia khususnya pada perairan kepulauan merupakan suatu masalah yang bersifat global, karena pengaturan tentang ini akan mempunyai dampak tidak saja bagi negara pemakainya, akan tetapi bagi negara kepulauan itu sendiri. Dampak pengaturan ini juga dirasakan oleh negara-negara lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan merasakan akibatnya pada segi-segi kehidupan politik, militer, dan ekonominya.66 Pada perairan Indonesia sebagai negara kepulauan, terdapat hak pelayaran internasional. Hal ini merupakan proses akomodasi berbagai kepentingan antara kepentingan negara kepulauan Indonesia dan negara pengguna laut dalam pelayarannya pada waktu proses perundingan untuk membentuk Konvensi Hukum Laut 1982. Amerika Serikat yang juga ikut dalam perundingan pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982, berpendapat bahwa walaupun Amerika Serikat belum meratifikasi Konvensi, namun tetap mengakui adanya hak-hak negara pantai atas perairannya, sepanjang negara-negara tersebut menghormati hak-hak negara lainnya pada perairan tersebut di bawah kerangka hukum internasional, berupa hak kebebasan berlayar (freedom of the sea).67 Pengakuan internasioanl melalui Konvensi Hukum Laut 1982 atas negara kepulauan Indonesia, membawa konsekuensi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi bagi pelayaran internasional pada perairannya dalam bentuk :68 (1) Hak lintas alur laut kepulauan; dan (2) Hak lintas damai.
65
Mario C. Manansala, “Philippine Archipelagic Sea Lane”, dalam Ronaldo S. Delta Cruz (ed), The World Biletin, (University of the Philippines Law Centre:a Bulletin og the Institute of International Legal Studies, Vol. 12 Nos. 5-6, Sept-Dec 1996), hal. 134. 66 Etty. R. Agoes, Beberapa Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 yang Berkaitan dengan Hukum Maritim, (Bandung: Makala, 1996), hal. 8-9. 67 “Rights and Freedom in International Waters”, Superintendent of Documents Depart-ment of State Bulletin, (Vol. 86, 1986), hal. 1-2. 68 Pasal 52 dan pasal 53 KHL 1982
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak tersebut terdapat pada laut territorial dan perairan kepulauan
Indonesia. Pada
laut territorial, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas yng tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal.69 Sedangkan pada laut territorial ini kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai.70 Negara pantai juga mempunyai hak berdaulat atas jalur laut sejauh 200 mil laut pada zona ekonomi eksklusif. Negara pantai juga mempunyai hak berdaulat atas dasar laut dan tanah dibawahnya hingga jarak 200 mil laut, atau dapat melebihi ini berdasarkan “specified circumstance”.71 Dengan adanya hak-hak yang telah dijamin oleh Konvensi Hukum Laut tahun 1982, berarti Indonesia dapat memanfaatkan kondisi hukm lingkungan bagi kesejahteraaan bangsa. Namun kondisi ini sebagai pengertian bahwa Indonesia tetap mengakui hak-hak tradisional negara-negara lain untuk dapat lewat melalui perairan-perairan nusantara Indonesia yang bisa dipakai untuk pelayaran internasional. Untuk maksud ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982
juga memperkenankan Indonesia untuk menetapkan alur-alur pelayaran melalui
perairan Indonesia sebagi tempat lewat bagi pelayaran internasional.72 Kembali pada awal Indonesia mengklaim pertama sekali wilayah lautnya menjadi wilayah laut nusantara, yaitu dengan UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Hak pelayaran internasional seperti hak lalu lintas damai (innoncent passage) sudah diakui Indonesia. Pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962.73 Selanjutnya perjuangan Indonesia di forum internasional pada waktu Konferensi Hukum Laut III (1973-1982) dalam memperjuangkan Wawasan Nusantara yang sesuai dengan UU No.4 Prp tahun 1960 cukup berat. Pada waktu itu negara-negara maritime menolak konsep Wawasan Nusantara, keberatan negara-negara maritime ditandai dengan kekhawatiran tidak 69
Pasal 3 KHL 1982 Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian. Lihat pasal 19 KHL 1982. 71 Ocean and the law of the Sea-Convention overview, (14-06-2000),
. 72 KBRI-Ottawa, (05-12-2000), http://www.indonesiaottawa.org/news/Hot%20Topics/ht98sep/ht-alki.htm. 73 Pasal 3 ayat 2 UU NO. 4 Prp Tahun 1960. 70
Universitas Sumatera Utara
adanya “kebebasan berlayar”. Negara-negara maritime akan mengakui konsep wawasan nusantara jika kebebasan berlayar melalui perairan Indonesia diakui dan di jamin. Deklarasi Djuanda 1957, UU No. 4 tahun 1960 dan PP No. 8 tahun 1962 dinilai tidak cukup untuk memberikan kebebasan berlayar bagi kapal-kapal Asing. Padahal terdapat kebijaksanaan Indonesia dengan memberikan adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal asing tersebut. Hak lintas damai sengaja dibuat berdasarkan pertimbangan adanya keseimbangan antara kepentingan nasional Indonesia dengan mewujudkan perluasan wilayah dengan dijadikannya perairan nusantara (antar pulau) sebagai perairan nasional dan adanya kepentingan pelayaran internasional yang berkepentingan agar lalu lintas kapal melalui perairan Indonesia untuk maksud-maksud damai dapat berlangsung terus tanpa gangguan.74 Dengan demikian konsep wawasan nusantara tidak akan diakui oleh masyarakat internasional kecuali jika terdapat penyelesaian yangsaling memuaskan mengenai ketentuan hukum tentang masalah pelayaran dan lalu lintas laut melalui perairan Indonesia. Hak lintas damai seperti yang tertuang di dalam UU No. 4 Prp Tahuun 1960 dianggap oleh negara-negara maritime kurang menjamin kebebasan berlayar melalui perairan yang kini sudah menjadi bagian dari perairan Indonesia. Oleh karena itu disamping mengakui adanya hak lintas damai, mereka juga meminta adanya ketentuan yang lebih membebaskan mereka untuk berlayar di perairan Indonesia, karena mengangap bahwa memang sejak dahulu sudah terdapat hak kebebasan berlayar.75
74
Mochtar Kusumaatmadja, “Perkembangan Hukum Laut Indonesia Dewasa ini, dalam Lima Puluh tahun Pendidikan Hukum di Indonesia”, Himpunan Karya Ilmiah Guru-Guru Besar Hukum di Indonesia, Jakarta, FHUI (1974), hal. 350. 75 Hasjim Djalal, “Penentua “Sea Lanes” (ALKI) Melalui Perairan Indonesia”, Bandung: Unpad, penataran hukum laut internasional, (1996) hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu negara maritim yang alot mempertahankan konsep kebebasan berlayar di laut adalah Amerika Serikat. Keberatan Amerika Serikat atas konsep Konvensi pada waktu diadakanya Konperensi PBB III tentang Hukum Laut Internasional diantaranya adalah: 76 1.Pelaksanaan hak dan kebebasan yang tidak mengakui adanya klaim historis pada perairan tersebut; 2.Klaim laut territorial yang melebihi 12 mil; 3.Ketentuan-ketentuan pada hak lintas damai yang membatasi hak-hak negara lain untuk tipe kapal-kapal tertentu; Hasil kompromis atas perdebatan ini menghasilkan kesepakan seperti yang termaksud dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diantaranya adalah: 1. Kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan. 77 Negara kepulauan dapat juga menangguhkan sementara lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya. Hal ini dapat dilakukan jika penangguhan tersebut sangat perlu untuk melindungi keamanannya.Penangguhan ini harus diumumkan terlebih dahulu oleh negara kepulauan. 2.
Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan diatasnya, yang
cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat asing yang terus menerus serta langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal asing dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan (rights of archipelagic sea lanes passage) dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.78 Konsep hak lintas alur laut kepulauan (Indonesia menyebut lintas alur laut kepulauannya dengan “alur lintas kepulauan Indonesia”-ALKI), merupakan hal yang baru di dalam ketentuan tentang kelautan seperti yang tercantum pada Konvensi Hukum Laut 1982. 76
Rights ….., op. cit, hal. 3. Pasal 52 ayat (1) KHL 1982 78 Pasal 53 ayat (1) dan (2) KHL 1982. 77
Universitas Sumatera Utara
Setelah peratifikasian Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 tanggal 3 Desember 1985, maka Indonesia mulai memikirkan dan berusaha untuk menetapkan aluralur laut kepuluan Indonesia (ALKI) melalui perairan nusantara Indonesia.79 Ketentuan untuk menetapkan alur laut kepulauan Indonesia dibolehkan oleh Konvensi Hukum Laut 1982. The United Nations Convention on the Law of the Sea gives the Coustal State the right to designate sea lanes in archipelagic waters.80 Penetapakan ALKI harus sesuai dengan konsep yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982,81 dimana “all ships and aircrafs” memperoleh “right of archipelagic sea lanes passage”. Dengan demikian Indonesia memberikan hak lintas alur laut kepulauan atas perairan kepulauannya. ALKI harus mencangkup semua tempat lewat yang biasa untuk dipakai untuk pelayaran dan penerbangan internasional (all normal passage routes for international navigation or overflights), dengan catatan jika di suatu tempat ada beberapa tempat lewat yang kirakira sama kemudahannya, maka cukup satu saja ditetapkan sebagai alur (duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points shall not be necessary).82 Selanjutnya the coastal State is required only to take into account the recommendations of the competent international organization. Whereas a State boudering an archipelagic state may designate sea lanes and prescribe traffic saparation schemes of substitute them only after they have been adopted by the competent international organization and agreed to by the state concerned.83
79
Hak ini tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KHL 1982. Safety of, and Right to Navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/Depts/los iyo/safetyof-navigation.htm. 81 Jika Indonesia tidak menetapkan ALKI nya, maka sesuai dengan pasal 53 ayat (12) KHL 1982, kapalkapal asing boleh melaksanakan lintas alur laut kepulauan “through the routes normally use for international navigation”. 82 Hasjim Djalal, loc. cit. 83 Safety of, and Right to navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/Depts/los iyo/safety-of-navigation.htm. 80
Universitas Sumatera Utara
Lintas alur laut kepulauan juga diamanatkan didalam UU. No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan bahwa:84 1. Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang; 2. Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif lainnya. Namun yang perlu diperhitungkan dalam penetapan ALKI adalah penetapan tersebut jangan sampai merugikan kepentingan nasional Indonesia atas pemanfaatan kelautannya dari segala ancaman yang dapat merugikan negara, misalnya ancaman pencemaran yang bersumber dari kapal-kapal asing. Untuk mencegah hal demikian diperlukan upaya-upaya penelitian dan identifikasi yang mendalam pada kawasan yang akan dijadikan ALKI. Penelitian dan identifikasi yang mendalam di kawasan yang dilewati ALKI, antara lain meliputi:85 1. Intensitas lalu lintas lokal atau yang memotong ALKI 2. Lokasi daerah-daerah penangkapan ikan yang padat dan intensif; 3. Lokasi daerah-daerah eksplorasi eksploitas migas yang sedang berlangsung; 4. Lokasi pipa-pipa dan kabel bawah laut; 5. Lokasi daerah-daerah wisata, khususnya pantai-pantai dan pulau-pulau wisata yang berdekatan dengan ALKI; 84
Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 6 Tahun 1996. Hasjim Djalal, Penentuan…..,op. cit, hal. 6.
85
Universitas Sumatera Utara
6. Lokasi-lokasi daerah yang sensitif di bidang lingkungan laut; 7. Identifikasi kemampuan fasilitas yang ada sepanjang ALKI untuk menghadapi segala kemungkinan, baik pencemaran laut maupun pengamanan dan penegakan hukum. Prakasa penetapan ALKI dimulai oleh ABRI/TNI-AL, setelah mempelajarinya selama beberapa tahun, maka dalam Rapat Kerja Nasional (RKN) mengenai ALKI pada bulan januari 1995 yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negri Cisarua (Bogor) memutuskan bahwa untuk waktu ini (1995) Indonesia telah sipa mengajukan usul penetapan 3 (tiga) Alki kepada Organisasi Maritim Internasional (IMO) di London.86 Selanjutnya Indonesia secara intensif juga mengadaan konsultasi-konsultasi dengan IMO dan negara-negara terkait, khususnya negara-negara maritim dan negara-negara tetangga. Konsultasi intensif ini dilakukan dengan:87 1.
Dengan IMO di London pada tanggal 15 Februari 1996;
2.
Dengan delegasi USA pada tanggal 25 dan 26 Maret 1996 di Bandung, dan tanggal 17 Mei 1996 di Jakarta;
3. Dengan delegasi Australia pada tanggal 22-24 April 1996 di Jakarta. a.
Tentang ALKI I Delegasi USA dan Australia telah mengajukan proposal ALKI I yang melewati Selat
Karimata, mengingat lebih baik ditinjau dari aspek keselamatan pelayaran, selain itu disarankan adanya cabang ALKI (ALKI IA) yang keluar menuju Singapura. Delegasi
86
RKN dihadiri oleh wakil-wakil departemen dan lembaga Pemerintah, yaitu Kantor Menko Polkam, Departemen hankam, Mabes ABRI, BIA, Departemen Kehakiman, Pussurta ABRI, Mabes TNI-AL, Dishidros, Mabes TNI-AU, Ditjenperla, Ditjen Perikanan, Ditjen Migas, kantor menriste, Unpad juga dihadiri oleh para pakar seperti Mochtar Kususmaatmadja, mantan menteri Kehakiman dan Menlu Ri Marsekal Madya Soedarmono, mantan Kasops Dephankam dan sekjen Deplu RI, Dubes RI di London/ wakil tetap Ri pada IMO, Rekernas dipimpin oleh Hasyim Djalal Duta Besar Keliling Urusan Hukum Laut dan Masalah Kelautan. Lihat Tim Panja Dishidros, Alur Laut Kepulauan Indonesis(ALKI), (Jakarta: Mabes TNI-AL Dinas HidroOseanografi, Mei 1996), h. 1. 87 KBRI-Ottawa, (05-12-2000),
Universitas Sumatera Utara
Australia menambah proposal ALKI I tersebut dengan mengusulkan cabang ALKI dari Selat Sunda- Selat Gelasa kearah Singapura.88 Setelah melaui pengkajian dalam pertemuan-pertemuan intern, delegasi Indonesia sepakat atas: 1. Menimbang positif ALKI I yag melewati Selat Karimataa karena sesuai dengan usulan Indonesia sebelumnya; 2. Menimbang positif pada cabang ALKI IA yang menuju Singapura; 3. Tidak dapat menerima usulan ALKI yang melewati Selat Gelasa, mengingat dari segi jarak tidak begitu berbeda dengan melewati Selat Karimata, selain itu lebih aman bagi pelayaran untuk melewati Selat Karimata. b. Tentang ALKI II Usulan pihak USA tentang ALKI II tidak berbeda dengan proposal Indonesia, kecuali ada tambahan cabang ALKI (ALKI IIA), yaitu ALKI dari Laut Jawa (ALKI Timur Barat) yang menuju Selatan kea rah Selat Lombok dengan melewati sebelah Selatan Pulau Kamudi. Sedangkan Australia menambahkan usulan cabang ALKI II (ALKI IIB), yaitu cabang ALKI yang memotong dari tengah Selat Makassar kea rah Tenggara menuju ALKI Timur-Barat di Laut Flores. Namun delegasi Indonesia dalam pertemuan intern kurang sependapat dengan adanya ALKI IIA dan ALKI IIB.89 c. Tentang ALKI III Delegasi USA mengajukan cabang-cabang usulan tambahan pada ALKI III, masingmasing cabang III D dan III H di bagian Selatan, cabang III F dan III G di bagian Utara. Sedangkan delegasi Australia menambahkan usulan cabang ALKI dari Utara ke Selatan melalui perairan di antara pulau-pulau Maluku dan Irian Jaya.
88
89
Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 1-2. Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Setelah mempelajari usulan dari negara-negara sahabat ini, Indonesia membuat usulan sebagai berikut:90 1. Mempertimbangkan secara positif cabang ALKI III G, yang keluar ke arah Filipina; 2. Mempertimbangkan secara positif cabang III D sebagai pengganti III A; 3. Tidak dapat menerima cabang ALKI III F, III H tentang ALKI Timur – Barat. USA dan Australia secara terus menerus mengusulakan akan adanya ALKI Timur – Barat, muali dari Laut Jawa sampai Laut Flores. Padahal dalam pertemuan informal sebelumnya
Indonesia
selalu
menyatakan
“belum
siap”
(not
ready)
dalam
membicarakannya.91 Pada tanggal 15 Februari 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI, yaitu:92 1. ALKI I di bagian Utara bercabang menuju Singapura (IA) dan menuju Laut Cina Selatan; 2. ALKI II melaui Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan 3. ALKI III, yaitu di bagian Selatan bercabang tiga menjadi ALKI III-A, IIIB, III-C dan III-D. Dan yang di bagian Utara bercabang menuju Laut Sulawesi (III-E) dan Samudera Pasifik. ALKI I meliputi Laut Cina Selatan – Laut Singapura – Laut Natuana – Selat Karimata – Laut Jawa – Selat Sunda. Kondisi umum Hidro- Oseanografi telah memenuhi syarat untuk penetapan ALKI, namun perlu diwaspadai kedangkalan-kedangkalan pada perairan Selat Sunda sampai dengan Selat Karimata, hal ini dapat diatasi dengan sarana alat bantu navigasi.
90
Ibid. 91
Ibid. KBRI-Ottawa, sep/ ht-alki.htm 92
(05-12-2000),
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula dengan adanya kegiatan pertambangan dan energy di sekitar ALKI I, khususnya Konsesi Minyak MAXUS dan ARI I yang terletak di Utara Kepulauan Seribu ternyata dilalui oleh garis sumbu ALKI I. Beberapa sumur/platform minyak terletak pada jarak 4-10 mil dari garis sumbu ALKI. Padahal selama ini setiap sumur/platform diamankan terhadap lalu lintas dengan dinyatakannya daerah terlarang pada radius 500 meter dari sumur. Cagar alam laut dan taman nasional laut di sekitar ALKI I berjumlah 8 lokasi. Salah satunya adlah taman laut nasional di Kepulauan Seribu dengan jarak 7 mil dari garis sumbu ALKI. Demikian pula terdapatnya pengeboran minyak di Utara Pulau Seribu yang tumpang tindih dengan Taman Laut Nasional tersebut. Pada ALKI I terdapat pula jaringan kabel laut dari Jakarta-Singapura, khususnya di Utara Kepulauan Seribu yang memotong posisi ALKI I. juga terdapat daerah ranjau yang terletak pada posisi 10 mil yang belum dibersihkan. Posisi ALKI I akan melalui daerah-daerah penangkapan ikan nelayan yang berasal dari propinsi Aceh, Sumatera Utara dan Propinsi Riau. ALKI merupakan alur yang sangat ramai lalu lintas pelayarannya. Dengan kedangkalan yang ada, kapal-kapal biasa dapat melalui jalur ALKI I dengan aman, namun bagi jenis kapal super tanker dengan DWT > 18 meter, maka jalur ini berbahaya untuk dilewati.93 ALKI II melalui Laut Sulawesi –Selat Makasar- Selat Lombok. Kondisi data HidroOseanaografi yang mutakhir pada wilayah laut ini cukup mendukung keselamatan pelayaran. Pada perairan ini masih dibutuhkan sarana bantu navigasi, khususnya pada alur yang melalui perairan di sekitar kumpulan pulau-pulau Kalukalukuang. Pada jalur ALKI II juga terdapat 6 lokasi Taman Laut dan Cagar Alam yang masih dalam tahap pengusulan, kecuali Taman Nasional Kalukalukuang yang berjarak 13 mil dari garis sumbu ALKI. Demikian pula terdapatnya Konsensi milik British Petroleum dalam penambangan minyak dianatara Pulau
93
Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
Kangan dan Pulau – pulau Tengah (di Utara Selat Lombok) yang dilalui oleh ALKI. Pada ALKI II juga terdapat kabel laut dari Surabaya – Guam yang posisinya sejajar dengan posisi ALKI II. Pada ALKI II, yaitu di sekitar Selat Lombok terdapat daerah pembuangan amunisi. ALKI II juga akan melalui daerah- daerah penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan yang berasal dari propinsi Bali, Lombok, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Alki II juga dapat digunakan sebelumnya sebagi rute Jepang. Pelayaran kapal angkut dari Australia ke Singapura, Cina, Jepang, dan sebaliknya. Juga merupakan alur khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. ALKI III ada 3 jalur yaitu ALKI III A melalui Samudera Pasifik/Laut Sulawesi- Laut Maluku- Laut Seram (Timur Pulau Mangoli)-Laut Banda (barat Pualu Buru)-Selat AmbaiLaut Sawu(lewat Barat Pulau Roti). ALKI IIIB meliputi Samudera Pasifik/laut SulawesiLaut Maluku- Laut Seram (Timur Pulau Mangoli)-Laut Banda (barat Pualu Buru)- Selat LetiLaut Timor. Sedangkan Alki III C meliputi Samudera Pasifik –Laut Maluku- Laut (Timur Pulau Mangoli)-Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Arafuru. Pada ALKI III ini data Hidro-Oseanografi cukup mendukung bagi keselamatan pelayaran, namun sarana bantu navigasi masih perlu disempurnakan dan ditambah, terutama disekitar Pulau kai dan Pulau Tanibar. Pada jalur ini terdapat 3 Taman Nasional dan Cagar Alam yang telah disepakati dan 5 buah yang masih bersifat pengusulan. Pada jalur ini juga terdapat konsesi minyak milik Union Texas di sekitar Pualu Tanibar, dengan jarak yang terdekat kira-kira 2 mil dari titik masuk/ keluar ALKI IIIC. Alur pelayaran dari Laut Maluku, Laut Banda, sampai Laut Sawu akan melaui daerah-daerah penamgkapan ikan nelayan-nelayan yang berasal dari propinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur. Penggunaan alur ini merupakan rute pelayaran Australia Timur. Penggunaan alur ini merupakan rutepelayaran Australia Timur-New Zealand ke Samudera Pasifik melalui Flores.
Universitas Sumatera Utara
Untuk kapal super tanker dapat berlayar dengan aman, namun harus berhati-hati disekitar Selat Flores.94 Pada tahun 1996 Indonesia secara formal telah mengusulkan kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia, yaitu ALKI I (di bagian Utara bercabang menuju Singapura(IA), dan menuju Laut Cina Selatan. ALKI II melalui Selat Lombok menuju Laut Sulawesi, dan ALKI III-A, III-B, III-C, dan yang di bagian Utara III-D bercabang menuju Laut Sulawesi (III-E) dan Samudera Pasifik.95 Usul Indonesia dalam penetapan ALKI ini telah dibahas dalam Sidang Komite Keselamatan Pelayaran ke-67 (Maritime Safety Committee/MSC-67 pada bulan Desember 1996 dan sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi IMO ke -43 (NAV-43) di London pada bulan Juli 1997. Sidang majelis IMO ke-20 pada bulan Desember 1997 telah menyetujui prosedur
dan
ketentuan-ketentuan
mengenai
penetapan
ALKI
tersebut
sekaligus
mengesahkan MSC-69 untuk membahas usul Indonesia. Jika memenuhi syarat, MSC-69 dapat menerimanya tanpa perlu lagi dibawa kepada sidang majelis IMO ke-21 tahun 1999.96 Pada tanggal 19 Mei 1998 Sidang Pleno MSC-69 IMO secara resmi telah menerima (adopt) tiga ALKI yang diusulkan Indonesia dengan beberapa catatan. ALKI akan berlaku minimal setelah eman bulan sejak diundangkan oleh Indonesia. Pengundang ALKI dapat dilakukan Indonesia melalui suatu “Peraturan Pemerintah” sesuai dengan amanat UU No. 6 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan …, diatur dengan Peraturan Pemerintah.97
94
Tim Panja Dishidros, Alur laut…….., op. cit, hal. 12. International Maritime Organization (IMO) is recognized as the onlu international body responsible for establishing and adopting measures on an international level concerning ships routeing systems for use by all ships. Lihat Safety of, and Right to Navigate, (02-04-2002),http://www.dfadeplu.go.id/english2/ pt28-98.htm. 96 Siaran Pers Menteri Luar Negeri Ri mengenai Penetapan 3 (tiga) Alur laut Kepulauan Indonesia ( 97 Pasal 18 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996. 95
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal penerapan ALKI, Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang mengusulkan penetapan alur laut kepulauannya sesuai dengan Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982. Pada kenyataanya, sebenarnya ALKI adalah untuk kepentingan Indonesia sendiri, Indonesia sebelumnya sudah pernah menetapkan alur tersebut bagi kapal-kapal penangkap ikan asing utnuk melintasi perairan Indonesia, yaitu melaui Selat Lombok dan Selat Makasar, namun dalam kerangka hak lintas damai bagi pelayaran internasional.98 Jika keadaan menghendaki, Indonesia dapat mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatkan bahwa “an archipelagic State may, when circumstances require, after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation scheme for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by it”.99 Alur laut dan skema pemisah tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum. Dalam mengganti alur laut/skema pemisah lau lintas, Indonesia harus mengajukan usulusul kepada IMO dengan maksud untuk diterima. IMO hanya dapat menerimanya dengan persetujuan bersama dengan Indonesia.100
98
Siaran Pers……, op. cit, hal. 3. Hasjim Djalal, Penentuan…..,op. cit, hal. 5. 100 Pasal 53 ayat (9) KHL 1982. 99
Universitas Sumatera Utara