Dari contoh di atas maka yang dapat mempengaruhi ragam hias suatu daerah terhadap ragam hias daerah lain antar lain tata warna, isen-isen, kegunaan kain batik dan ukuran kain batik.
Lebih lanjut Atik Soepandi menguraikan bahwa masih dapat ditelusuri namanama tenun batik Sunda, antara lain: a.
Boéh siang
:
b.
Gagang senggang
:
c.
Giringsing
:
d.
Hujan riris
:
e.
Kalangkang ayakan
:
f.
Kampuh jayanti
:
g. h. i. j.
Kekembangan Kembang muncang Kembang taraté Lusian besar
: : : :
k.
Mangin hiris
:
l.
Parigi nyéngsoh
:
m.
Surat awi
:
Boéh = Lawon = kain. Siang = artinya merah. Boéh siang berarti kain merah. Gagang = tangkai. Senggang = tanaman perdu yang berduri. Gagang senggang berarti tangkai tanaman perdu yang berduri. Motif batik berwarna coklat dan sangat halus, diberi lukisan sayap dengan campuran gambar lain. Motif batik yang menggambarkan titk-titik air hujan atau disebut juga udan iris. Kalangkang = bayangan. Ayak=ayakan = saringan dari bambu. Kalangkang ayakan berarti bayangan saringan dari bambu. Kain batik yang berlukiskan pohon jayanti (pohon yang buahnya bisa dijadikan kopi). Bermacam-macam bunga. Bunga kemiri. Bunga teratai. Lusian = benang-benang yang dilukiskan membujur pada tenunan. Besar = besar. Lusian besar berarti motif batik yang bergaris membujur yang dilukiskan dengan benang besar. Mangin = angin. Hiris = tanaman perdu yang buahnya seperti petai hanya berukuran sangat kecil. Mangin hiris berarti motif batik yang menggambarkan pohon, daun dan buah hiris yang tertiup angin. Parigi = sumber air atau sumur. Nyéngsoh = miring. Parigi nyéngsoh berarti sumur atau pagar sumur yang telah miring. Serat awi = serat bambu dan bambu besar atau gombong. Motif kain yang bergambar serat-serat
94
n.
Seumat sahurun
:
o.
Urang-urangan
:
bambu atau bergambar bambu gombong atau bambu besar. Seumat = peniti atau penusuk. Sahurun = seikat atau setumpuk. Seumat sahurun berarti motif batik yang menggambarkan seikat atau setumpuk peniti. Urang-urangan = udang-udangan atau huranghurangan atau huhurangan. Motif batik yang menggambarkan udang. Warnanya coklat tua sebagai warna dasar dan coklat muda untuk warna udang. Bisa dibandingkan dengan batik uwit udang sekarang.
Pada saat ini sangat banyak corak batik yang antara lain ada yang dinamakan batik Giringsing, Giringsing Wayang, Kawung Écé, Katuncar Mawur, Kangkung, Kumeli, Keris, Parang Rusak, Parang Sari, Méga mendung, Sidamukti, Léréng Enéng, Soré Isuk, Uwit, Uwit Udang, Pecah Kopi, Jayanti, Bilik, dan Rengganis. Pengrajin batik pada masa lampau disebut pangheuyeuk.
Berdasarkan topografi wilayah Sunda, motif batik yang ada di wilayah Sunda dapat digambarkan sebagai berikut: Jenis Topografi Sunda Perbukitan (bagian selatan)
• • •
Dataran tinggi (bagian tengah)
•
Dataran rendah (bagian utara)
•
Flora Taraté(teratai) Tumbuhan air Ganas (nanas)
Tanaman perdu berdaun lebar • Hanjuang
Areuy (Tumbuhan merambat) • Sisi laut • Bako (bakau)
• • • • • • • •
Motif Batik Fauna Buhaya (buaya) Oray (ular) Cakcak (cecak)
Maung (harimau) Uncal (kijang) Gogog (Anjing) Kuda Merak (Burung merak) • Hurang (udang) • Kerang • Cumi-cumi • Lauk cai (ikan laut)
Alam / Barang Banji, ceplok, ganggong, kawung, parang, léréng, tiruan pola anyam • Bentuk-bentuk geometris (bujur sangkar, empat persegi panjang, lingkaran, belah ketupat) •
• • • • • • •
Méga (awan) Seuneu (api) Cai (air) Batu Parahu (perahu) Kipas Payung
Tabel III.1 Pemetaan Motif kain batik untuk iket Sunda berdasarkan topografi wilayah Sunda
95
3.8 Warna Tradisonal pada Kain Batik Parahyangan Warna alami pada kain tenun Sunda diperoleh dengan mencelup kain tenun dengan bahan alam seperti dicelupkan pada leutak (lumpur) untuk memperoleh warna marun (biru kehitaman), pada tarum (nila) untuk memperoleh warna bulao kolot (biru keunguan) dan warna gandaria (ungu kemerah-merahan) serta pada gambir untuk memperoleh warna merah.
Mengenai warna khas Parahyangan seperti ditulis oleh Sulasmi Darmaprawira (2002:162-163) bahwa warna khas Parahyangan telah banyak diungkapkan dalam bentuk sastra dan puisi atau lagu-lagu Sunda lama seperti Cianjuran dan pada cerita pantun sinyun ada semacam pantun yang disebut sisindiran atau paparikan, yaitu: Lawon sepré gandaria Nu kayas kantun sakodi Teu maliré satia Bet luas ngantunkeun abdi (Kain seprai berwarna ungu Yang merah muda tinggal satu kodi Tidak mengindahkan yang setia Sampai hati meninggalkan diriku). Warna yang dikenal masyarakat Sunda adalah gandaria (ungu), kayas (merah muda), paul (biru ultramarine), héjo paul (biru turquoise). Dikenal pula warna gradasi antara merah dengan biru seperti beureum, kayas kasumba, gandaria, gondola, paul (merah, merah muda, merah muda keunguan, ungu, biru keunguan dan biru ultramarine. Selain itu dikenal pula warna gumading atau gading (krem). Menurut Felix Feitsma9 warna khas Sunda pada intinya memiliki warna dasar bulao (biru) dan gading (krem). Hal ini dikarenakan daerah Sunda merupakan penghasil buah Tarum Areuy yang berwarna biru sehingga di Sunda dikenal pula sebagai daerah aliran sungai 9
Citarum dan adanya kerajaan Tarumanagara,
Felix Feitsma merupakan seorang pemerhati budaya Sunda dan bekerja pada bagian Seni dan Budaya Paguyuban Pelestari Budaya Bandung pada wawancara tanggal 13 Mei 2006.
96
sedangkan warna gading (krem) karena bahan tekstil dari Sunda berasal dari tanaman kapuk (kapas). Masyarakat Sunda juga mengenal warna sebagai simbolis seperti: Warna Lambang Putih Kesucian Merah dan Keberanian putih dan kesucian
Kuning Hitam putih
Penggunaan Warna busana pengantin perempuan a. Ngaruat rumah baru b. Upacara panen pertama kali c. Pemberian nama anak d. Numbas (kesucian gadis pada saat menikah) Kejayaan Upacara berbagai syukuran dan Bangun tulak Pada iket dengan motif batik tritik dan berbagai atau tolak bala benda lain agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan Tabel. III.2 Simbol warna bagi masyarakat Sunda
Gambar III.35 Iket dengan warna hitam putih yang berfungsi sebagai tolak bala. (Sumber : Nian S. Djumena, 1990:113) Menurut Hidayat Suryalaga10 bahwa warna khas Sunda dipengaruhi oleh keadaan topografi. Pada dasarnya Jawa Barat (Sunda) terdiri dari tiga jenis topografi yang membentang dari barat ke timur, yaitu dataran rendah di bagian utara, dataran tinggi di bagian tengah dan perbukitan di bagian selatan.
Dari perbedaan
topografi ini menghasilkan warna yang biasa dipakai oleh masyarakat
10
Hidayat Suryalaga, salah satu tokoh Sunda dalam wawancara tanggal 20 Juli 2006.
97
pendukungnya. Uraian warna tradisional Sunda dapat digambarkan sebagai berikut: a. bagian selatan merupakan perbukitan yang pada umumnya mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan. Warna yang muncul pada daerah ini antara lain mulai dari merah, kuning, oranye, kuning emas dan perak. b. Bagian tengah merupakan daerah dataran tinggi yang masyarakatnya hidup bertani baik berladang maupun bersawah. Warna pada daerah ini umumnya gradasi dari hijau muda sampai hitam pekat. c. Bagian dataran rendah merupakan daerah dataran rendah yang masyarakatnya pada umumnya berdagang. Warna pada daerah ini umumnya gradasi dari warna krem sampai coklat tua pekat.
3.9 Iket sebagai Pelengkap Busana Tradisional Sunda Tatakrama berbusana masyarakat Sunda merupakan tatakrama yang mendukung proses daur hidup (cyclelife). Atau dapat dikatakan sebagai bagian dari kegiatan yang menunjang terlaksanananya proses daur hidup. Karena dalam menjalankan kegiatan daur hidup baik daur hidup makro yaitu proses perjalanan kehidupan manusia dari mulai lahir sampai manusia itu mati maupun proses perjalanan manusia dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, manusia menggunakan busana sebagai penutup tubuhnya. Hal ini juga menunjukkan manusia sebagai makhluk berbudaya. Hidayat Suryalaga (1993:32) menyebutkan bahwa: ″…henteu ngan dina “daur hirup” wungkul nu ngandung ajén tatakrama téh, tapi ogé dina sugri aspék adat istiadat séjénna. Kayaning dina tatanan, arsiték, tata busana, jeung réa-réa deui…″ (tatakrama tidak hanya terdapat pada daur hidup saja, tapi juga pada aspek adat istiadat lainnya. Seperti pada norma, arsitek, tata busana dan lain sebagainya). Penataan busana dalam kehidupan sehari-hari merupakan unsur utama dalam menata kehidupan, hal ini seperti diuraikan disebutkan pula oleh Hidayat Suryalaga (1993:34) bahwa: ″…unsur atawa aspék tatakrama upama rék diwincik mah kacida jembarna. Da puguh tatakrama mah sasatna ngawengku usik malik, ucap lampah, tingkah laku manusa ti mimiti hudang saré, tepi ka hudang deui. Tapi sanajan kitu bisa baé dicoba dipasing-pasing nurutkeun unsur-unsur
98
utamana, pangpangna upama maké ukuran tatakrama nu digunakeun di lingkungan hirup kumbuh masarakat urang Sunda, nyaéta kwalitas pangaweruh, basa, wirahma nyarita (lentong), sikep awak (rengkuh, penampilan), tata cara gaul (pergaulan), dangdanan (tata busana) jeung itikad…″. (unsur atau aspek utama tatakarama seandainya diuraikan lebih rinci akan sangat kompleks. Karena tatakrama meliputi semua tingkah laku manusia mulai dari bangun tidur sampai bangun tidur lagi. Walaupun demikian bisa saja dicoba dipilah-pilah menurut unsur-unsur utamanya, terlebih seandainya memakai ukuran tatakrama yang digunakan di lingkungan tempat tinggal masyarakat Sunda, yaitu kualitas pendidikan, bahasa, dialek berbicara, sikap atau penampilan, pergaulan, tata busana dan tujuan hidup). Berbusana serasi bagi masyarakat Sunda merupakan unsur utama dalam tatakarama pergaulan bermasyarakat, selain salah satunya sebagai identitas dalam pergaulan sehari-hari. D.K Ardiwinata (1916:9) menguraikan: ″ …demi anu jadi tanda tatakrama aya tilu nyaéta peta atawa kalakuan, basa jeung papaes… ″. (yang menjadi tanda tatakrama ada tiga hal yaitu prilaku, bahasa dan berbusana).
Dalam tatakarama pemakaian tutup kepala khususnya untuk menghadap orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya, masyarakat Sunda memiliki aturan khusus seperti ditulis D.K Ardiwinata (1916:17) bahwa:”…ditotopong kudu dibendo jawa, upama teu bisa dapon bérés jeung rapat baé, ulah diiket kebo modol, diporténg, ngéré, dibendo jucung sumawona barangbang semplak” (…..memakai tutup kepala haruslah memakai bendo damelan seperti di Jawa, apabila tidak sempat karena setiap selesai bekerja selalu harus rapat, jangan sekali-kali menggunakan iket kebo modol, porténg, ngéré, memakai bendo dengan letak terlalu ke atas apalagi barangbang semplak)”. Keterangan ini juga membuktikan bahwa kedudukan jenis tutup kepala pada masyarakat Sunda memiliki stratifikasi yaitu mulai dari yang rendah menuju yang tinggi dengan urutan dudukuy, iket dan bendo. Apabila mereka akan menghadap orang yang lebih tinggi kedudukannya maka dianjurkan untuk memakai iket dengan bentuk lebih rapi yaitu seperti bentuk udeng atau bendo damelan. Hal ini menunjukkan udeng atau bendo damelan merupakan iket yang termasuk padanan berbusana resmi atau untuk kesempatan istimewa dibandingkan model iket yang lain.
99
jenis-jenis iket sunda
100
Seperti ditulis Iwan Bloch yang dikutip Soegeng Toekio M. (1974:13) bahwa berbusana bagi tiap suku bangsa itu senantiasa dipengaruhi oleh faktor-faktor kesopanan atau etika, lingkungan, kesehatan, dan nilai kegunaan yang ditentukan pemakainya. Dikatakannya pula bahwa semula busana hanya merupakan alat penutup tubuh, yang berfungsi sebagai pelindung tubuh terhadap pengaruh iklim. Kemudian dengan berkembangnya perikehidupan dan pergaulan hidup manusia maka berkembang pula fungsi serta jenisnya. Fungsi yang semula itupun kian meningkat dan bertambah pula dengan pemikiran-pemikiran yang melibatkan unsur estetika dan kegunaan busana yang disesuaikan dengan selera, lingkungan, dan taraf kehidupan pemakainya.
Sesuai perkembangan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat, berbusana pun mengalami perkembangan. Secara tradisional seseorang dikatakan berbusana lengkap apabila telah mengenakan unsur kelengkapan busana pada bagian kepala, badan dan bagian bawah badan. Hal ini
dikemukakan
pula oleh
Soegeng
Toekio M. bahwa: bagi seorang wanita tentu saja rambut disanggul atau dipotong sedemikian rupa dan mengenakan hiasan pada rambut. mengenakan baju, mengenakan busana bagian bawah dari berbagai jenis kain dan mengenakan alas kaki. Sedangkan seorang laki-laki busana lengkapnya terdiri dari tutup kepala, baju, kain dan alas kaki. Di setiap daerah di Indonesia kita mengenal tata cara berbusana yang berbedabeda yang kita kenal sebagai busana daerah atau busana tradisional. Tata cara ini menyangkut penilaian seseorang dalam berbusana dan nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk serta falsafah pada setiap bagian busana yang memiliki makna simbol tersendiri.
3.10 Perkembangan Iket Sunda Pertumbuhan
dan
perkembangan
masyarakat
turut
berpengaruh
pada
perkembangan bentuk dan wujud iket sebagai salah satu kelengkapan busana pria. Masyarakat
selalu
berusaha
memenuhi
kebutuhannya
dengan
segala
kemampuannya yang ditunjang oleh materi. Iket merupakan benda pakai yang
101
dicipatakan berdasarkan pemikiran masyarakat pendukungnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi, bentuk, teknik dan bahan iket. Iket berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sunda, di antaranya selain sebagai benda pakai, juga untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan lingkungan masyarakatnya serta dalam perkembangannya iket dibuat karena adanya pesanan.
3.10.1 Masa Pembentukan Kabupaten-kabupaten di Wilayah Parahyangan Hingga Masa Awal Kekuasaan Eropa di Wilayah Sunda (1620-1808) Secara kultural, penduduk yang mendiami Tatar Sunda berasal dari berbagai etnis atau suku bangsa. Suku bangsa Sunda merupakan suku bangsa mayoritas karena hampir sebagian besar mereka mendiami wilayah Tatar Sunda. Suku bangsa Sunda menggunakan bahsa Sunda sebagai bahasa pergaulannya sehari-hari. Sementara suku bangsa Jawa merupakan komunitas yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya. Suku bangsa Jawa mendiami daerah pesisir utara yaitu Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Banten. Pengaruh kebudayaan Jawa sebagian disebabkan karena politik ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Pada waktu Kerajaan Mataram berperang melawan VOC di Batavia, Sultan Agung membangun sebuah koloni Jawa di sekitar Karawang. Selain suku bangsa Sunda dan Jawa, di Tatar Sunda berdiam pula berbagai etnis pendatang seperti bangsa Eropa, Cina, Arab, dan lainlain.
Pada awal pertumbuhan kekuasaan Eropa di Tatar Sunda, struktur sosial yang dikenal masyarakat Sunda tidak didasarkan pada etnis tertentu, tetapi lebih didasarkan pada status sosial. Dengan bertambah besarnya kekuasaan Eropa di Tatar Sunda maka struktur sosial pun bergeser menjadikan etnis sebagai salah satu kriteria untuk pelapisan sosial. Berdasarkan kriteria ini, masyarakat Sunda terbagi ke dalam empat golongan, yaitu: 1. Golongan bangsa Eropa 2. Golongan masyarakat Cina 3. Golongan masyarakat Arab
102
4. Golongan pribumi, yang terdiri dari : a. b. c. d.
Golongan raja dan keluarganya Golongan elite Golongan non elite Golongan budak
Sejak tahun 1620 yaitu setelah Kerajan Sumedanglarang menyerahkan diri kepada Mataram, di wilayah Parahyangan pelapisan sosial yang dikenal oleh masyarakat terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. Golongan kaum ménak yakni para Bupati dan keluarganya sebagai penguasa di kabupaten. Ciri khusus golongan ini ialah memakai gelar kebangsawanan Radén untuk pria dan Nyiradén untuk wanita. Gelar yang lebih tinggi yaitu Pangéran dan Panembahan khusus untuk ménak Sumedang dan sifatnya tidak diwariskan tetapi bergantung pemerintah Hindia Belanda. Selain itu adapula gelar kehormatan yang sifatnya melekat pada pribadi penyandangnya, dapat dicabut kembali dan tidak dapat diwariskan. Gelar itu adalah Tumenggung, Aria, Adipati, Rangga, Ngabéhi dan Demang. 2. Golongan santana yakni kaum bangsawan rendahan. Ciri khusus golongan ini yaitu dari gelarnya yang dipakai seperti Asép, Agus dan Ujang untuk pria dan . Nyimas untuk wanita. Golongan ini terdiri dari para bangsawan yang tidak memerintah, para orang kaya dan agamawan. 3. Golongan cacah atau somah yaitu golongan rakyat kebanyakan yang terdiri dari pedagang, petani, tukang, nelayan, pegawai, agamawan yang melayani orang-orang biasa dan tentara.
Golongan cacah atau somah merupakan masyarakat yang paling banyak jumlahnya. Golongan petani lebih banyak tinggal di daerah pedalaman. Mereka memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Sunda. Seluruh kebutuhan makanan, baik untuk kebutuhan sehari-hari keluarga maupun untuk keperluan perdagangan, dipasok oleh para petani. Golongan tukang juga berperan karena memiliki keahlian di bidang tertentu baik untuk kepentingan militer maupun untuk kepentingan perlengkapan rumah tangga.
103
Pada saat itu, iket yang dipakai masyarakat Sunda mengalami perubahan baik dari segi bentuk maupun pemakaian kain batik yang digunakan untuk iket. Golongan ménak dan santana menggunakan iket yang disebut udeng sedangkan golongan somah menggunakan iket yang disebut totopong. Iket menjadi bagian penting dalam berbusana karena dapat menunjukkan tanda identitas dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Sunda.
Nina H. Lubis (2003:323) mengatakan kehidupan golongan elite yang jumlahnya terbatas serta menduduki status sosial yang tinggi itu berhubungan erat dengan status ekonomi yang tinggi pula, dibandingkan dengan golongan non elite. Golongan elite membedakan dirinya dari lapisan atau golongan non elite bukan karena kehidupan ekonominya saja, melainkan pula berkaitan dengan kehidupan sosial budayanya, cara berbahasa, gelar-gelar yang dimilikinya, rumah-rumahnya mempunyai bentuk serta keadaan yang berbeda dengan orang golongan non elite.
Memasuki abad ke-16 Masehi, kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Sunda mengalami pergeseran yang cukup mendasar. Hal ini disebabkan karena: a. Semakin kuatnya pengaruh agama leluhur ke dalam agama Hindu. Hal ini menurut Nina H. Lubis (2003: 325) dapat dilihat dari naskah Sanghyang Siksakanda (ng) Karesian (2) … mangkubumi ngabakti di ratu, ratu ngabakti di déwata, déwata ngabakti di hyang….( mangkubumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang). Penurunan derajat dewa di bawah hyang karena konsep hyang tidak dikenal dalam agama Hindu. b. Masuknya agama Islam ke wilayah Sunda mengakibatkan runtuhnya peradaban Hindu yang di Tatar Sunda mulai dibangun sejak abad ke-5 Masehi. Pada pertengahan abad ke-16, Islam telah menyebar sampai ke daerah Parahyangan. Puncak penyebaran Islam terjadi pada tahun 1579 seiring dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat serangan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf.
104
Sejak saat itu kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Sunda didominasi oleh Islam. Walaupun demikian ajaran Islam dan pengaruh Hindu mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat Sunda. Konsep Hindu disesuaikan dengan ajaran Islam kalau dulu seorang raja dianggap sebagai keturunan dewa, sejak Islam diterima masyarakat Sunda maka raja dianggap sebagai seseorang yang mampu menghubungkan mikrokosmos dengan makrokosmos. Dengan demikian konsep dewa-raja berubah menjadi pandita-ratu.
Iket pada masa ini dijadikan sebagai salah satu benda yang memiliki falsafah keagamaan, misalnya dijadikan falsafah silaturahmi, sebagai benda yang melindungi otak karena uteuk (otak) adalah lemah putih tempat cicingna para sang hyang (tempat suci yang merupakan tempat diamnya petunjuk dari Yang Maha Kuasa), serta dijadikannya kain untuk iket sebagai sajadah pada saat shalat lima waktu.
3.10.2 Masa Awal Kolonial sampai Awal Pendudukan Jepang di Wilayah Sunda (1808-1942) Sejak Pemerintah Hindia Belanda mengantikan VOC sebagai pemegang kekuasaan di Nusantara maka penjajahan yang sesungguhnya melakukan penetrasi bukan hanya di bidang ekonomi dan politik, tetapi bidang sosial dan budaya. Ikatan-ikatan tradisional yang telah terbina selama berabad-abad diterabas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan sosial pun tidak dapat dihindari. Pengaruh budaya barat terlihat dalam segala segi kehidupan masyarakat termasuk dalam gaya hidup, terutama di kalangan kaum ménak sehingga adat istiadat pun terpengaruh budaya barat.
Gaya hidup orang-orang Eropa pengusaha perkebunan melahirkan budaya baru yang disebut budaya Indis atau Mestiezencultuur yang berkembang di kota-kota keresidenan. Di sana mereka membangun sarana untuk penunjang kehidupan mereka seperti tempat hiburan dan balai pertemuan serta vila yang mewah. Hal ini terjadi pula di kota Bandung sebagai ibu kota Keresidenan Parahyangan yang di
105
resmikan sejak tahun 1864. kota Bandung sejak adanya transportasi kereta api, jumlah penduduknya terus bertambah baik penduduk pribumi maupun penduduk Eropa dan Cina. Dalam hal ini kota Bandung yang berstatus sebagai ibu kota kabupaten merangkap ibu kota keresidenan merupakan pusat kegiatan orangorang Eropa, baik kegiatan pemerintahan maupun kegiatan perekonomian dan budaya.
Pria di wilayah Sunda pada saat itu sudah mengenal dan memakai iket dan bendo. Masyarakat memakainya karena adanya kesadaran akan tradisi yang dipakai baik untuk sehari-hari maupun untuk upacara adat. Kebiasaan menggunakan iket di masa ini tidak hanya berlangsung di kalangan orang dewasa. Dalam kesehariannya anak-anak usia sekolah pun terbiasa mengenakannya. Bahkan sekolah-sekolah lanjutan negeri pada masa kolonial memberlakukan aturan bagi muridnya untuk mengenakan iket sebagai bagian dari seragam sekolah.
Perkembangan busana di Sunda pada abad ke-19 tampaknya terus berlangsung. Bupati Sukapura Radén Tanuwangsa yang bergelar Radén Tumenggung Wiradadaha yang memerintah sejak tahun 1855 telah mengadakan perubahanperubahan dalam tata cara kehidupan masyarakat antara lain dalam cara berbicara dan berbusana. Perubahan itu dilakukan dengan menyaring tata cara lama yang masih sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap berupaya agar kepribadian Sunda tetap dipertahankan. Program ini diikuti oleh kabupatenkabupaten lain. Salah satunya yang berkembang dari program ini dalam bidang busana adalah berkembangnya bentuk bendo. Baik bendo berdasarkan ciri wilayah maupun bentuk bendo yang mencirikan sekolah. Semua bendo itu akhirnya melahirkan satu bentuk bendo yang kini disebut bendo Sunda.
Perkembangan busana pria tampak pula pada busana bagian atas dan kain. Bagi kalangan somah dipakai baju kamprét dengan pasangan iket dan calana sontog atau calana totog atau calana komprang serta sarung yang dipakai diselendangkan atau dipasang agak tinggi, sedangkan bagi kaum terpelajar dan kalangan
106
menengah dipakai baju tutup (jas tutup dan samping kebat atau kain panjang). Jas tutup sering diganti dengan bedahan (jas biasa) lengkap dengan dasinya, sedangkan kain sarung poléng diganti dengan samping kebat yang seperti biasa dipakai oleh perempuan.
Pada saat itu bentuk iket telah berkembang menjadi bendo damelan, yakni tutup kepala yang dibuat dari batik berbentuk setengah bulatan dan bagian atasnya agak menggelembung. Selain itu sejak usia sekolah yaitu mulai dari tingkat dasar, menengah atas dan perguruan tinggi para pelajar bangsa pribumi diwajibkan memakai iket berupa bendo yang disesuaikan dengan busana pelajar yang mereka pakai. Begitu pula dengan pegawai pemerintah. Muchtar Affendi (1997:29) dalam tulisannya menguraikan: Ti keur di Jampangkulon kénéh kuring sok mindeng nénjokeun para pagawé pamaréntah di kantor kawadanaan, lamun kabeneran keur kumpulan dines bulanan. Sok rempeg éta téh, ti mimiti para juru tulis, para camat nepi ka wadana, kitu deui para guru katut mantrina ti sakola kelas II anu aya di dayeuh kawadanan, sarta pagawé negri séjénna. Saréréa maraké iket nu di bendokeun. Tara aya anu maké bendo citak, lamun rék dipaké téh, ukur tinggal ngalelepkeun kana sirah wungkul. Éstu teu aya héséna. Jadi teu aya “senina”, dianggapna téh. Maké bendo citak jaman harita mah boro-boro meunang pamuji masing katémbong alus ogé. Malah sabalikna sok diparoyok, komo deui mun goréng mah. Pajarkeun téh bodo katotoloyoh, teu bisa nyieun bendo-bendo acan. Ku kituna, lantaran bendona nu diparaké téh hasil pangabisa masingmasing, nya beubeunangannana ogé biasana rupa-rupa pisan. Ti mimiti model parékos nangka nepi ka bendo nu rapih nyiripit model sakola ménak téa. Tara aya anu milu rapat ukur maké kopéah wungkul,sumawonna bubudugulan mah, da dianggapnya henteu sopan jaman haritamah”. (waktu masih di Jampangkulon saya sering memperhatikan para pegawai pemerintah di kantor kewedanaan, kalau kebetulan sedang kumpulan rutin bulanan. Banyak orang saat itu, mulai dari para juru tulis, para camat sampai wedana, begitu pula para guru beserta mantrinya dari sekolah kelas II yang ada di kota kewedanan, serta pegawai negeri lainnya. Semuanya menggunakan iket yang dibuat seperti bendo. Tidak ada yang menggunakan bendo citak, yang apabila akan digunakan , hanya tinggal menyimpannya di atas kepala saja. Sangat mudah, jadi dianggapnya tidak ada “seninya”. Menggunakan bendo citak waktu itu sangat tidak dihargai walaupun kelihatannya bagus. Malah sebaliknya
107
suka diejek, apalagi kalau memakainya tampak tidak bagus. Dianggapnya sangatlah bodoh tidak bisa membuat bendo damelan. Karena kondisi itu, memakai iket merupakan hasil kreasi masing-masing, maka hasilnyapun beragam. Dari mulai model Parekos Nangka sampai bendo damelan yang sangat rapi seperti model sakola menak. Tidak ada yang mengikuti rapat hanya memakai peci saja, apalagi tanpa tutup kepala, karena dianggapnya tidak sopan waktu itu”).
Gambar III. 37 Macam-macam bendo damelan priyayi se-Tatar Sunda (Sumber: Muchtar Affendi, 1997:30)
Gambar III. 38
Berbagai jenis iket, udeng dan bendo damelan yang dipakai pegawai urusan desa beserta kepala desa di Kewedanaan Cicalengka tahun 1951 (Sumber: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat)
108
Pada abad ke 19, Bandung merupakan kota pendidikan. Kondisi ini terlihat pada tembang yang berbunyi: Néng néléng néng gung Geura gedé geura jangkung Geura sakola ka Bandung Geura nyiar élmu luhung Néng néléng néng gung Geura gedé geura jangkung Geura sakola ka Bandung Geura makayakeun indung Artinya: Neng neleng neng gung Cepat besar cepat tinggi Segera sekolah ke Bandung Segera mencari ilmu yang tinggi Neng neleng neng gung Cepat besar cepat tinggi Segera sekolah ke Bandung Segera memuliakan ibunda Pendidikan di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk anak-anak barat yang oleh Daendels dinyatakan bahwa anak-anak barat harus mengenal kesusilaan, adat istiadat, hukum, dan pengertian keagamaan orang Jawa. Jenis sekolah di Tatar Sunda pada waktu itu adalah: a. Pendidikan untuk penduduk Golongan Eropa • Pendidikan dasar (Europeesche Lagere School (ELS)) • Pendidikan Menengah dan Lanjutan b. Pendidikan untuk penduduk Golongan bumiputra • Di Tatar Sunda pada umumnya anak-anak pribumi belajar agama (Islam pada kyai/ulama diprakarsai para Bupati sehingga disebut Sakola Bupati • Sekolah dasar Negeri 1) Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) atau HIS (Hollandsch Inlandsche School) 2) Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Teeede Klasse) atau Sekolah Distrik atau Sakola Walanda c. Sekolah Lanjutan • Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool) • Sekolah Pendidikan Calon Guru atau HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool)
109
•
Sekolah calon pegawai atau Hoofdenshool atau Sakola Menak atau OSVIA (Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren)
Meluasnya kesempatan bagi penduduk untuk menikmati pendidikan memasuki abad ke-20 adalah sebagai akibat lahirnya Politik etis atau Ethische Politiek yang merupakan gagasan Van Deventer terhadap pemerintah Belanda untuk membayar hutang kehormatan kepada bangsa Indonesia. Gagasan ini dikenal dengan Trilogi Van deventer atau Trias Etika yaitu pendidikan, irigasi dan emigrasi.
Politik Etis telah mengubah pandangan dalam politik kolonial sehingga pemerintah Belanda beranggapan bahwa Hindia Belanda tidak lagi sebagai Wingewest (daerah yang menguntungkan), tetapi menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan budayanya harus ditingkatkan. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan memberikan pendidikan barat secara intensif yang meliputi: a.
Pendidikan dasar • Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch lagere Onderwijs)
1) Sekolah rendah (Europeesche lagere (ELS))
Eropa School
2) Sekolah Bumiputra-Belanda atau HIS (Hollandsch Inlandsche School) •
b.
c.
Sekolah rendah dengan 1) bahasa pengantar bahasa daerah
Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Teeede Klasse) atau Sekolah Distrik atau Sakola Walanda
2)
Sekolah Rakyat atau Sakola Desa atau Volkschool dengan lanjutannya Vervolgsschool atau Schakelschool
Pendidikan lanjutan • MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) • AMS (Algemeene Middlebare School) • HBS (Hogere Burger School) • OSVIA (Opleidings School voor Inlandsche Ambtenaren) Pendidikan Kejuruan • Sekolah perkebunan (Culruurschool)
110
d.
e.
• Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middlebare Landbouw School) • Sekolah Desa (Landbouwschooltjes) Pendidikan tinggi • Sekolah Teknik Tinggi atau THS (Technische Hoge School) • Sekolah Hakim Tinggi atau RHS (Rechtskundige Hoge School) • Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Lembaga Pendidikan Swasta • Sekolah Raden Dewi Sartika • Sekolah Kautamaan Istri Lasminingrat • Sekolah Siti Jenab • Bale Pawulang Pasundan • Ksatrian Institut • Pesantren Persatuan Islam (Persis)
Gambar III. 39
Busana anak sekolah berdasarkan ilustrasi dari buku Penjaga Diri (1914) yang terdiri dari iket, baju takwa, samping tanpa alas kaki. (Sumber: Atik Sopandi, 1995:57)
111
Gambar III. 40
Busana pria dewasa pada tahun 1914 berdasarkan ilustrasi dari buku Penjaga Diri, yang terdiri dari iket, baju takwa beuheung nangtung, samping poleng dan tarumpah (Sumber: Atik Sopandi, 1995:78)
Gambar III. 41
Busana guru dan murid berdasarkan ilustrasi dalam buku Roesdi jeung Misnen (1922) (Sumber: Atik sopandi, 1995:121)
112
Gambar III. 42
Busana yang digunakan para calon menak, murid OSVIA di Bandung tahun 1913 (Sumber: Haryoto Kunto, 1984:185)
Baik pelajar ataupun pegawai pemerintah menurut R.M Abdullah Kartadibrata (1997:2) mengenakan busana dengan pilihan paduan busana yaitu: Jenis busana
Paduan busana I
Paduan busana II
Busana sekolah
• • •
• •
Busana pegawai pemerintah
• • • •
Tabel III.3
Kamprét Sarung Bendo
Jas tutup Sarung Bendo Sandal
Jas tutup Sarung pekalongan • Bendo • • • •
Paduan busana III • Jas tutup • Celana panjang • Bendo • Sandal / sepatu pantofel
Jas tutup Celana panjang Bendo Sepatu/sandal/ tarumpah
Paduan Busana untuk kesempatan sekolah dan bekerja sebagai pegawai pemerintah
113
Kaum pria mengenakan iket sebagai penutup kepala baik di kalangan rakyat kebanyakan maupun di kalangan priyayi dan ménak (bangsawan). Yang membedakan iket di antara mereka adalah kualitas kain saja. Orang kebanyakan menggunakan kain batik kasar yang dikenal dengan kain iket hideung wulung atau iket wulung. Kaum bangsawan dan para gegedén (pembesar) pemerintah menggunakan bahan batik yang lebih bagus kualitasnya, halus dengan motif bunga atau daun yang sangat indah. Saat itu terkenal batik Solo-an, Banyumas-an, Tasik-an, Garut-an, dan Ciamis-an.
Dari uraian masa pendudukan Belanda ini, jelas iket telah berkembang menjadi bentuk bendo. Bendo yang berkembang saat itu terdiri dari bendo damelan dan bendo citak. Kondisi ini lama kelamaan membawa pada keadaan di mana orang cenderung lebih praktis memakai bendo citak karena tidak memerlukan waktu lama untuk membuatnya tetapi tinggal memakai. Bendo-bendo yang terkenal saat itu adalah Bendo Sakola Ménak, Bendo Sakola Dokter, Bendo Sakola Raja, Bendo Bandung, BendoTasikmalaya, dan Bendo Garut.
3.10.3 Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Tindakan pertama yang dilakukan Jepang setelah menyatakan kekuasannya atas Seluruh wilayah Indonesia ialah mengeluarkan UU NO. 2 tanggal 8 Maret 1942 tentang larangan kegiatan berkumpul dan rapat. Tidak lama kemudian diperkuat dengan UU No.3 tanggal 20 Maret 1942 yang melarang segala macam perbincangan, pergerakan, dan anjuran atau propaganda mengenai aturan dan susunan organisasi negara.
Dengan dikeluarkannya kedua UU tersebut jelas bahwa sejak pertama Pemerintahan Militer Jepang sudah melakukan tindakan keras terhadap bangsa Indonesia. Semua pergerakan rakyat, baik yang bersifat politik maupun sosial dilarang. Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan hukuman yang seberat-beratnya. Dengan kata lain, kehidupan politik bangsa Indonesia terhenti sama sekali. Kebebasan mengeluarkan pendapat tidak ada lagi. Dengan demikian
114
pada hakekatnya rakyat Indonesia hanya berganti penjajah. Pada tanggal 10 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang telah mengeluarkan Osamu Seirei No. 1 yang antara lain
menerangkan bahwa balatentara dai Nippon berkehendak
memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang sebangsa dan seturunan dengan bangsa Jepang dan juga hendak mendirikan ketenteraman yang teguh untuk hidup dan makmur bersama dengan rakyat Indonesia atas dasar mempertahankan Asia Timur Raya.
Pernyataan bahwa bangsa Indonesia adalah satu keturunan dengan bangsa Jepang merupakan suatu politik rasial untuk mengikis pengaruh barat, khususnya pengaruh Belanda dari rakyat Indonesia. Di balik ungkapan itu tersembunyi maksud Jepang yang ingin men-Jepang-kan bangsa Indonesia. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya UU No.4 tentang larangan mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sejak itu bendera yang boleh dikibarkan hanya bendera Kokki (Hinomaru) Jepang, dan lagu kebangsaan yang boleh dinyanyikan hanyalah lagu Kimigayo. Pada tanggal 1 April 1942 menyusul peraturan yang menyatakan bahwa sejak saat itu waktu khususnya jam yang berlaku adalah waktu Jepang (waktu Tokyo). Mulai tanggal 24 April 1942 tarikh yang dipakai adalah tarikh Sumera dengan angka tahun 2602 (dipercepat 660 tahun). Sejak saat itu rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tencosetsu (hari kelahiran Kaisar Hirohito) setiap tahun.
Indonesia selama penjajahan Jepang sangat menderita dalam segala bidang termasuk diwilayah Jawa Barat. Segala keperluan hidup sangat sulit didapat. Kekurangan bahan terjadi di segala bidang terutama bahan makanan, bahan busana, barang-barang lain dan terjadi pula berbagai penderitaan seperti mewabahnya penyakit biri-biri bahkan banyak rakyat yang meninggal.
Masyarakat Sunda saat itu berbusana seadanya dan pada akhirnya meninggalkan pemakaian iket dan bendo. Kondisi ini terpengaruh pula dengan adanya prinsip
115
kepraktisan sehingga untuk melindungi kepala pada umumnya masyarakat mulai menggunakan dudukuy dan topi.
Untuk menyatakan kembali rasa nasionalisme pada bangsa Indonesia, Ir. Sukarno memasyarakatkan kopiah atau peci hitam dalam berbusana bagi rakyat pribumi. Dengan demikian pada umumnya saat itu baik pemimpin rakyat maupun masyarakat luas menggunakan kopiah hitam dalam berbusana.
Gambar III. 43
Para Pemimpin rakyat menggunakan kopiah atau peci hitam sebagai pelengkap berbusana (Sumber: http://www.indonesia.nl/images/content/100565133223)
3.10.4 Masa Republik Indonesia (1945-1965) Pada masa perang kemerdekaan orang telah meninggalkan iket dan bendo mereka pada umumnya telah memakai berbagai topi seperti topi jepang, dan berbagai dudukuy seperti dudukuy cetok, dudukuy cotom, dudukuy toroktok.
116
Setelah keamanan pulih, mulailah orang-orang mengenakan lagi iket dan bendo namun pemakaiannya terbatas hanya pada saat-saat tertentu di mana banyak orang berkumpul atau pasamoan saat yaitu seperti untuk upacara adat, pernikahan dan khitanan.
Pembuatan bendo di Jawa Barat dimulai pada awal abad ke-20. Karena kepraktisannya itulah akhirnya bendo lebih banyak digemari oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Para pegawai pamong praja, guru, pelajar, dan dalang akhirnya mengenakan bendo, yang tetap mengenakan iket adalah masyarakat kebanyakan. Kata bendo menurut Atik Soepandi (1995:24): ″…kemungkinan asli bahasa Sunda karena tidak terdapat dalam kamus bahasa Jawa. Adapun yang ada adalah blangkon, udheng dan kethu yang dalam bahasa Sunda ditulis dan diucapkan udeng dan ketu dan merupakan kata halus dari kata bendo sedangkan ketu merupakan padanan dari kata kopeah atau peci″. Bila melihat bentuk dan cara pembuatannya diperkirakan bendo merupakan perkembangan dari iket. Diperkirakan pula bendo hadir di Sunda sejalan dengan kedatangan tentara Mataram ke Jawa Barat. Selanjutnya pada masa Kolonial Belanda pemakaian bendo diwajibkan sebagai kelengkapan busana resmi bagi kalangan ménak (priyayi dan bangsawan). Pemakaian bendo saat itu dipadukan dengan busana jas tutup, kain panjang atau celana panjang, selop atau pantofel.
117
Gambar III. 44
Busana resmi atau Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) Bupati Bandung R. Wiranatakusumah memerintah awal abad ke-20 (Sumber: Album Busana Tradisional Indonesia, 1998/1999:69)
118
Gambar III. 45
Soeria Kartalegawa saat berpidato memproklamasikan Negara Pasundan 4 Mei 1947 di alun-alun Bandung, menggunakan Bendo Sunda dengan padanan pantalon, jas, kemeja dan dasi (Sumber: Sudarmono, 1981:140)
Pada awalnya para ménak memakai bendo damelan atau dadakan yaitu bendo yang dibuat secara mendadak dengan cara mengikatkan langsung di kepala jika dipergunakan. Bentuk bendo dadakan hampir menyerupai sorban dengan hiasan sederhana berupa segitiga kecil di dahi dan ujung simpul mencuat ke samping kiri dan kanan bagian belakang. Perkembangan bendo damelan selanjutnya ada dua macam bendo dilihat dari pembuatannya, yaitu: a. Bendo yang dibuat sendiri oleh pemakainya disebut bendo damelan atau bendo beulitan atau bendo dadakan. b. Bendo yang siap pakai buatan tukang bendo atau bendo citak. Bendo citak memiliki dua jenis yaitu:
119
•
Model yang sudut ujungnya tampak di bagian depan dan simpul yang lain tampak terlihat kebelakang.
•
Model yang tanpa sudut ujung di depan sedangkan dibagian belakang tidak kelihatan ada simpul karena tertutup oleh lipatan yang mirip blangkon Jawa tapi tanpa mondolan (bagian yang bulat seperti telur atau jendolan).
Bendo merupakan salah satu bentuk atau cara membelitkan tutup kepala. Ini berarti bahwa bendo adalah bagian dari totopong atau iket atau udeng. Padanan kata bendo adalah pinti. Kata pinti sudah jarang digunakan baik dalam tulisan dan percakapan bahasa Sunda, sekarang hanya dikenal sisir pinti yakni sisir yang melengkung yang diterapkan pada kepala sebagai aksesoris. Menurut H.R. Hadian Suryadiningrat11 perkembangan iket yang di kalangan ménak disebut udeng berubah menjadi ketu udeng atau bendo dikarenakan para ménak pria saat itu yang asalnya memanjangkan rambut kemudian memendekkan rambutnya dengan cara diporocol (dipangkas).
Yang dikatakan bendo sebelum perang dunia II adalah bendo yang dibuat langsung atau bendo damelan atau bendo beulitan atau bendo dadakan bukan bendo yang dicetak seperti lazimnya sekarang. Menjelang tahun 1930-an tampaknya bendo buatan sendiri sudah mulai tersisihkan oleh bendo citak yang praktis karena siap pakai. Bendo sekarang dibuat dengan cara pembuatan menurut ukuran kepala tertentu dan dijahit serta diberi kanji dari bahan tepung sampeu (ketela pohon) yang beri air panas secukupnya. Bendo memiliki bagian-bagian yang terdiri atas:
11
H.R Hadian Suryadiningrat, salah satu menak Sumedang yang juga mantan ketua Yayasan Pangeran Sumedang Museum Geusan Ulun dalam wawancara tanggal 12 Juni 2006.
120
a. Cula b. Enol c. d. e. f.
Awak bendo Biwir bendo Lamban bendo Waton
b
: ujung ikat kepala yang dipasang di bagian muka berbentuk sudut segitiga. : bagian bendo yang berbentuk seperti ujung lidah yang berada di tengah-tengah bagian belakang. : bagian yang menutupi kepala. : bagian bawah bendo. : lipitan yang menghimpit cula. : bagian yang menonjol dan memanjang pada sisi kanan dan kiri atas.
f
d
a
c
e
Gambar III.46 Bendo Sunda dan bagian-bagiannya (Sumber : Dok. 2006) Bendo dadakan dirasakan kurang praktis karena memerlukan waktu lama sehingga kemudian dibuat bendo citak dengan cara dijahit dan dilapisi kertas karton. Pembuatan bendo citak dilakukan oleh seorang yang ahli. Bendo yang dihasilkan mengalami proses modifikasi sehingga baik bentuk maupun hiasannya menjadi lebih baik dan unsur estetiknya semakin tinggi.
Bendo citak dibuat dari kain iket separon, dibentuk menjadi setengah bulatan agak lonjong. Sudut kain bagian tengah ditempatkan di depan, sehingga membentuk kuncung yaitu hiasan segitiga pada dahi. Disisi kiri dan kanan dibuat wiron. Wiron merupakan lipatan kecil berjumlah tujuh lipatan. Semula pembuatan wiron
121
tidak sekedar hiasan tetapi juga menunjukkan kepangkatan atau status pemakainya.
Bagian
dalam
dilapisi
kertas
karton
agar
dapat
memudahkan
dalam
pembentukannya serta bendo menjadi kaku. Pelapisan itu yang menyebabkan terbentuknya waton yaitu bagian yang menonjol pada sisi kanan dan kiri atas. Tonjolan itu membentang dari depan hingga belakang sedangkan bagian tengah depan menjorok ke dalam. Di bagian belakang tidak terdapat hiasan karena ujung kain dimasukkan dan disimpulkan di bagian dalam sehingga tampak menonjol.
Pada bentuk bendo Parahyangan terdapat ikatan atau simpul ujung-ujung kain pada bagian depannya. Bendo mengalami perkembangan sendiri, sehingga muncul jenis bendo yang merujuk kepada tempat muncul atau digunakannya dan yang merujuk kepada kelompok orang.
Corak bendo Parahyangan
sama halnya
dengan corak yang terdapat pada kain batik. Pada umumnya bendo Parahyangan bermotif geometris misalnya léréng atau parang dalam berbagai ukuran, disesuaikan dengan pangkat dan golongan pemakainya. Motif léréng merupakan ornamen simbol dari bentuk pilin berganda menggambarkan kebesaran dan keagungan. Oleh karena itu pemakaian bendo dan busana bermotif léréng tidak boleh digunakan oleh sembarang orang kecuali golongan bangsawan dan golongan menengah.
Dalam perkembangan kemudian pemakaian bendo yang memakai motif léréng tidak terbatas sebagai kelengkapan busana resmi dinas saja tetapi digunakan juga untuk kelengkapan busana pengantin pria dari kalangan menengah. Bentuk ragam hias pilin digambarkannya lebih sederhana dengan ukuran lebih kecil dari léréng barong. Bendo pada dasarnya dibuat sebagai perkembangan dari bentuk iket lohén atau paltén karena biasanya dipakai oleh pejabat atau rakyat namun untuk upacara resmi. Pemakain bendo kemudian tergeser dengan adanya kopéah. Menurut Suwardi Alamsyah P. (2001:78) bahwa pici atau kopéah agaknya sudah dipakai
122
sekitar tahun 1860 oleh santri dan tukang roda pengangkut penumpang jarak Banten- Jakarta.
Kata kopéah menurut Atik Soepandi (1995:24) berasal dari bahas Arab yang ditulis kopia sedangkan péci berasal dari bahasa Belanda pet atau petje. Dapat diduga bahwa kata kopéah terlebih dahulu masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Sunda daripada kata péci. Di samping itu ada kata kerepus yang berasal dari kata Belanda karpoets. Dalam bahasa Sunda sekarang dikenal dengan kata kerepus, kopéah, péci atau ketu. Pada dekade tiga puluhan dan empat puluhan orang-orang Parahyangan mulai mengenakan kopéah atau pici.
Keadaan ini telah menggeser keberadaan iket. Iket yang sudah dibentuk menjadi bendo merupakan tutup kepala yang dijadikan kelengkapan suatu busana dalam lingkungan masyarakat Sunda. Kedudukan bendo jauh berbeda dengan jenis iket yang hanya merupakan tutup kepala yang dipakai oleh masyarakat kebanyakan atau golongan somah yang dikenal dengan masyarakat pakuringan.
Kondisi di atas terjadi sebagai akibat dalam kehidupan seni budaya, pada tahun 1960-an terjadi perubahan di kalangan generasi muda pribumi dimana mereka lebih menyukai budaya barat salah satunya melalui musik melalui siaran radio dan melalui televisi. Akibatnya iket hanya di pakai para orang tua dari kalangan orang kebanyakan di daerah pinggiran kota. Generasi muda menggunakan busana ala barat tanpa tutup kepala.
123
Gambar. III. 47
Busana anak sekolah dari golongan somah berdasarkan ilustrasi dari buku Ganda Sari (1949) (Sumber: Atik Sopandi, 1995:74)
Gambar III. 48
Busana guru dan murid-murid pada tahun 1949 berdasarkan ilustrasi dalam buku Matahari Terbit I (Sumber: Atik Sopandi, 1995:75)
124
3.10.5 Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi (1968-2006) Pada masa sekarang pemakaian iket hanya dapat dijumpai di beberapa daerah yang masih memegang kuat tradisi leluhurnya. Di wilayah Parahyangan antara lain di desa Cikondang iket biasa dipakai oleh juru pantun, di kampung adat Rancakalong Sumedang iket dipakai oleh para petani dan saéhu (ketua kelompok tani), di kampung Naga Tasikmalaya, di kampung Kuta Ciamis dan di kampung Sirnaresmi Sukabumi.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan bidang kebudayaan dan kesenian ditingkatkan pada masa ini yang berlangsung secara relatif merata baik di desa maupun di perkotaan. Berbagai kegiatan kebudayaan dan kesenian mengalami perkembangan yang cukup berarti. Demikian pula berbagai upaya penggalian budaya asli banyak dilakukan dikalangan generasi muda. Salah satunya adanya perkumpulan budaya daerah atau suku bangsa di Indonesia. Selain itu televisi juga berperan dalam memberikan kesempatan dan peluang kepada para pelaku budaya dan seni untuk mengekspresikan karyanya melalui media visual. Kondisi ini telah menyebabkan semakin memasyarakatnya kegiatan kesenian dan budaya termasuk memasyarakatkan busana daerah. Selain pada busana tari dan pertunjukan rakyat kini generasi muda etnis Sunda khususnya pemuda sekarang ini banyak yang menggunakan iket sebagai pelengkap busana sehari-harinya.
125
Gambar III. 49 Model iket Sunda yang dipakai penari jaipong pria (Sumber: Dok. SMKI Bandung)
Gambar III. 50 Model iket Sunda pada busana tari rakyat kontemporer (Sumber: Dok. SMKI Bandung)
126
Gambar III.51 Model iket Sunda yang dipakai para pemain kesenian rakyat (Sumber: Dok. Informasi dan Agenda Kegiatan Taman Budaya, 2006)
127
3.11 Transformasi Budaya di Wilayah Parahyangan Transformasi terjadi setiap saat dan sangat kompleks, begitu pula di wilayah Sunda Parahyangan. Transformasi dapat terjadi pada semua aspek kehidupan baik dunia kebendaan maupun non kebendaan. Apabila merujuk pada budaya Sunda, faktor penyebab dan gejala yang terjadi pada lingkungan kehidupan budaya Sunda maka sangat mungkin kajian transformasi terjadi pada Iket Sunda di wilayah Parahyangan.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan masyarakat Sunda khususnya untuk menjawab tantangan dan perkembangan zaman. Tantangan dan perkembangan itu terjadi pada segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya aspek kebudayaan. Terjadinya perubahan dalam kebudayaan, secara langsung mengubah tata kehidupan masyarakat pendukungnya. Perubahan yang membawa kebaruan atau kekinian
menawarkan berbagai kemudahan yang pada akhirnya cepat atau
lambat, besar atau kecil, direncanakan atau tidak direncanakan mengubah kebudayaan yang telah menjadi pegangan hidup sebelumnya.
Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan yang tidak mencolok, perubahan yang pengaruhnya terbatas atau pengaruhnya luas serta sifatnya dapat merupakan perubahan yang lambat atau cepat. Perubahan yang ada di masyarakat menurut Soerjono Soekanto (1990:333) dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma sosial, pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan sosial dalam masyarakat, kekuasaan, dan wewenang.
Khususnya perubahan yang terjadi dalam adat istiadat atau seni tradisi terjadi sebagai akibat dari proses yang menurut Jacob Utama seperti ditulis Agus Sachari (2002:860 ) adalah disebabkan:
128
a. Adanya proses pengideologian yang mengubah mental kebudayaan lama menjadi mental kebudayaan baru ataupun terjadinya perubahan dalam lapangan sosial kebudayaan, kekuasaan, pranata nilai, organisasi, hingga pertumbuhan ekonomi. Dengan Reintegrasi baru berbagai sektor kehidupan. Adanya nilai-nilai yang mengalami desintegrasi sebagai akibat adanya benturan dengan nilai-nilai baru yang datang dari luar, yang menyebabkan terjadinya kebudayaan yang kehilangan pertautan dengan berbagai sektor kehidupan manusia. b. demikian proses pengideologian ini mencakup seluruh lapangan kebudayaan. c. Hancurnya tata nilai, kontradiksi kultural, interaksi, dan inkosistensi dalam berbagai macam perangkat kebudayaan.
Dalam proses perubahan budaya, unsur penting perubahan nilai terjadi akibat enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi dapat diartikan sebagai suatu latihan setiap perilaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebudayaan yang terjadi. Selain itu unsur penting lain adalah akulturasi yang merupakan area tempat terjadinya dua kebudayaan bertemu yang masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya. Proses akulturasi terjadi karena adanya penerimaan kebudayaan baru tanpa rasa terpaksa (affinity) dan adanya penyerapan nilai baru yang tercerna akibat kesamaan tingkat dan corak budaya.
Unsur kebudayaan asing yang mudah diterima adalah kebudayaan kebendaan sebagai sesuatu yang bermanfaat besar dan unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan, sedangkan kebudayaan yang sulit diterima di antaranya adalah kepercayaan, ideologi, falsafah, dan unsur yang membutuhkan proses sosialisasi.
Dunia kebendaan apabila dikaji dalam kajian sosial di bidang desain merupakan telaah mengenai perilaku individu, sekelompok orang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh karya desain tertentu atau sebaliknya yaitu karya-karya desain menciptakan situasi sosial tertentu. Kajian sosial desain menyangkut tiga unsur
129
utama yaitu manusia, benda dan sistem nilai yang membangun wacana sosial yang kompleks.
Budaya Sunda adalah salah satu budaya yang mengalami perubahan karena persentuhan budayanya dengan budaya asing. Persentuhan budaya sebagai wujud komunikasi antar budaya yang membawa perubahan pada bidang materiil dan nonmaterial. Prinsip yang menjadi pegangan masyarakat Sunda dalam menghadapi perubahan jaman agar dapat diikuti adalah ngindung ka waktu ngabapa ka zaman (berusaha beradaptasi dan menghormati perubahan yang terjadi pada setiap saat). Kondisi ini sebagai wujud sikap terbuka masyarakat Sunda terhadap kebudayaan luar. Namun keterbukaan ini membawa pula pengaruh negarif di mana sekarang ini budaya Sunda semakin banyak ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Saini K.M (2004:65-66) menyebutkan tradisi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan selalu berubah, karena secara kreatif selalu menyesuaikan diri dengan zaman.
Tradisi telah memberikan sebuah makna bagi kehidupan manusia bahwa sepanjang kehidupan berjalan akan terbentang peradaban masa bihari (masa lalu), kiwari (masa kini), dan jaga (masa yang akan datang). Secara khusus tradisi dalam tataran seni dan budaya telah memberi makna terhadap identitas etnik atau kedaerahan. Sunda dengan identitas etnik kedaerahannya sangat kompleks dengan nilai estetik, norma etika moral, dan religius keagamaan. Lalan Ramlan (2004 :7) mengutip apa yang dikatakan Soren Kierkegaard seorang filsuf eksistensialis yang mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mengalami tiga tahap kehidupan yaitu kehidupan estetis, etis, dan religius.
Iket Sunda atau totopong merupakan salah satu benda tradisional masyarakat Sunda yang ada dan berkembang di Tatar Sunda. Keberadaannya sebagai wujud dari kebudayaan lisan yang bersifat materiil dan berkembang dengan cara diturunkan antar generasi. Eksistensinya merupakan salah satu tata nilai yang
130
dianut masyarakat Sunda sebagai salah satu tatakrama dalam berbusana khususnya pada anggoan pameget (busana untuk pria).
Walaupun demikian keberadaannya kini sudah ditinggalkan sebagian besar masyarakat Sunda baik dari segi bentuk, makna maupun falsafah pemakaiannya. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran tata nilai dalam pribadi masyarakat Sunda. Edi S. Ekadjati
(1992:15-16) dalam makalahnya menyebutkan Tatar
Sunda khususnya Bandung dalam bidang sosial dan budaya mengalami perubahan yang dapat dilihat dari: a. Adanya perubahan struktur sosial, walaupun berlangsung secara lambat. • Sejak dahulu telah terbentuk stratifikasi sosial dengan urutan kedudukan dari atas kebawah yaitu orang Eropa, orang Timur Asing, dan orang pribumi. Dalam kalangan pribumi terdapat pula stratifikasi sosial dengan urutan ménak dan somah. Dengan adanya pendidikan model barat maka muncul kelompok sosial baru yang naik kedudukan sosialnya, yaitu golongan somah atau cacah yang berpendidikan dan bekerja di lingkungan pemerintah, perusahaan dan lain-lain. Sebaliknya ada ménak yang tidak berpendidikan agak menurun derajatnya dalam pandangan masyarakat. • Sejak
dahulu
terdapat
pula
klasifikasi
sosial
dalam
kehidupan
bermasyarakat pada masyarakat Sunda berdasarkan kriteria tertentu, misalnya berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan atau mata pencaharian, hubungan kekerabatan, dan lokasi tempat tinggal. Berdasarkan jenis kelamin dibedakan adanya kelompok sosial pria dan kelompok sosial perempuan. Umumnya kaum pria lebih tinggi kedudukan sosialnya dibandingkan kaum perempuan. Namun sejak masa itu sudah mulai ada keinginan, tuntutan dan upaya dari kaum perempuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan sosial mereka. b. Mulai adanya keinginan, tuntutan dan upaya untuk mengubah pola adat istiadat yang dipandang merugikan kelompok sosial tertentu, termasuk kaum wanita, kemudian diganti dengan pola lain yang lebih menguntungkan. Di
131
samping itu muncul pula kritikan terhadap tafsiran ajaran agama Islam dan pandangan keagamaan Islam, baik yang bertalian dengan ubudiah yang dipandang merugikan kelompok sosial tertentu, sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang benar.
Perubahan kedudukan sosial salah satunya mengubah struktur busana yang digunakan golongan ménak dan somah atau cacah baik dalam keseharian maupun pada kesempatan tertentu. Khususnya penggunaan iket atau totopong, lambat laun tidak lagi khusus dipakai oleh golongan somah atau cacah karena kedudukan sosialnya yang sebagian telah berubah bahkan tatakrama penggunaan tutup kepala bagi pria
dalam pergaulan kemasyarakatanpun lambat laun mulai berubah
menjadi tidak berlaku lagi. Kondisi ini di pertajam dengan masuknya budaya barat dalam bidang busana dan perkembangan trend model rambut bagi pria.
3.12 Bagian-bagian Iket Sunda Iket Sunda memiliki bagian-bagian yang membentuk kesatuan sebagai wujud utuh sebagai tutup kepala yang dipakai dengan cara diikatkan. Bagian-bagian iket Sunda terdiri dari: a. Widang jero (bagian dalam) b. Widang luar (bagian luar) c. Keliman (bagian pinggir yang dilipit) d. Cula (ujung yang membentuk segitiga) e. Enol ( gulungan kedua ujung iket yag berada di belakang kepala) yang biasa disebut simpul)
132
Widang jero (bagian dalam)
Widang luar (bagian luar)
Keliman (bagian pinggir yang dilipit)
Cula (ujung yang membentuk segitiga)
Enol ( gulungan kedua ujung iket yang berada di belakang kepala) yang biasa disebut simpul)
Gambar III.52 Iket Sunda dengan bagian-bagiannya (Sumber: Gambar ilustrasi, 2006)
133