BAB II PENGAJARAN KETERAMPILAN PENGGUNAAN TONGKAT OLEH GURU ORIENTASI DAN MOBILITAS (O&M) PADA SISWA TUNANETRA A. Orientasi dan Mobilitas (O&M) Orientasi
dan
mobilitas
merupakan
suatu
keterampilan
yang
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan tunanetra. Tidak ada satu aktifitas dalam kehidupan ini yang tidak membutuhkan keterampilan gerak. Akibat hilangnya fungsi penglihatan siswa tunanetra mengalami beberapa keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa keterbatasan tersebut antara lain sebagai berikut: keterbatasan dalam bergerak/berpindah tempat, keterbatasan dalam memperoleh pengalaman baru, dan keterbatasan dalam
berinterkasi
dengan
lingkungan.
Kemampuan
memperoleh
pengalaman/informasi, dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan, merupakan dasar bagi seseorang dalam mempertahankan hidup di tengahtengah lingkungan masyarakat. Oleh karena itu dalam pendidikan tunanetra, orientasi dan mobilitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Keterampilan orientasi dan mobilitas bertujuan agar siswa tunanetra dapat bepergian dengan aman dan mandiri di lingkungannya baik dengan atau tanpa menggunakan tongkat. Dalam hal ini Tooze yang dikutip Mason dan McCall (Djadja Rahardja, 2008) membedakan antara orientasi dan mobilitas. Orientasi adalah kemampuan memahami hubungan antara objek yang satu dengan lainnya-kreasi dari pola mental tentang lingkungan. Sedangkan 8
9
mobilitas meliputi kecakapan dari suatu keterampilan dan teknik yang memungkinkan seorang tunanetra untuk bepergian secara mudah di lingkungannya. Dari pengertian di atas, jelas bahwa orientasi dan mobilitas harus dikuasai oleh siswa tunanetra apabila dia menghendaki dirinya bisa hidup secara wajar dalam lingkungannya. Hal ini mengingat bahwa siswa tunanetra tidak dapat dengan mudah memonitor gerakannya dan mungkin juga memiliki kesulitan memahami apa yang terjadi ketika mereka bergerak atau menjangkau sebuah dahan, bertolak pinggang atau berguling. Tanpa penglihatan yang jelas siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam menciptakan suatu mental map tentang keadaan sekelilingnya. Tanpa intervensi yang tepat, mereka mungkin tidak mengetahui kemana arah untuk pergi atau bagaimana menemukan jalan untuk mencapai tujuannya. Ketidak tentuan tentang keadaan sekelilingnya menunjukan kurangnya percaya diri dalam menjelajahi lingkungan. Kurang efektifnya penglihatan mungkin juga menghilangkan sumber motivasi penting bagi siswa yang sesungguhnya mungkin mereka tidak dapat melihat objek yang menarik, yang akan mendorong mereka untuk berusaha bergerak secara perlahan menuju ruangan atau ke luar ruangan. Oleh karena itu, siswa tunanetra menunjukan keterlambatan dalam perkembangan gerak.
10
Agar siswa tunanetra dapat bergerak secara mandiri, kemudian dapat melewati ketiga tahap proses perjalanan tersebut di atas, maka perlu menguasai pengetahuan dan keterampilan orientasi dan mobilitas. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hal yang berkaitan dengan orientasi dapat kita lihat pada pembahasan berikut ini. 1. Orientasi Seperti halnya kita ketahui bahwa di dalam melakukan suatu perjalanan melalui sebuah proses, yang merupakan rangkaian fisik, dan mental. Rangkaian kegiatan fisik dan mental tersebut merupakan proses orientasi dalam mencapai suatu objek atau tujuan secara tepat. Untuk dapat berorientasi dengan baik diperlukan hal-hal sebagai berikut: indera yang baik (indera-indera yang digunakan dapat menyalurkan semua rangsangan informasi ke otak untuk di proses), dan mental yang baik (dapat mengolah informasi yang di terima di analisa dan di seleksi sehingga informasi yang di pilih tepat dengan kebutuhan). Ali, A. (1983/1984:7) memberikan pengertian orientasi secara singkat sebagai berikut: ”Orientasi yaitu: Pemanfaatan/penggunaan indera yang masih berfungsi, untuk menentukan posisi diri serta hubungannya dengan lingkungan sekitar”. Selanjutnya pendapat Hosni, I. (1975:5) pengertian orientasi sebagai berikut: ”Orientasi yaitu proses penggunaan semua indera yang masih berfungsi untuk menentukan posisi dirinya hubungannya dengan objek lain dalam lingkungan”.
11
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orientasi adalah merupakan proses penggunaan semua indera yang masih berfungsi dalam menangkap rangsangan dari luar sebagai sumber informasi. Adapun inderaindera yang dapat difungsikan oleh siswa tunanetra di luar indera penglihatan antara lain: indera pendengaran, perabaan, penciuman, pengecap (rasa) dan kinestetik. Dengan menggantikan fungsi penglihatan melalui indera-indera yang masih berfungsi, maka siswa tunanetra dapat memperoleh informasi tentang lingkungan sekitar. Dalam melakukan suatu orientasi ada tiga prinsip yang bisa diformulasikan ke dalam tiga pertanyaan, yaitu: a. Dimanakah saya sekarang ? b. Dimanakah tujuan saya ? c. Bagaimanakah saya mencapai tujuan ? Jika siswa tunanetra dalam aktifitas sehari-hari selalu berpedoman pada tiga prinsip orientasi tersebut, maka siswa tunanetra dapat menemukan objek yang dikehendakinya. 2. Mobilitas Dalam melakukan orientasi, tunanetra tidak bisa terlepas dari mobilitas sebaliknya mobilitas tidak akan berhasil dengan efektif tanpa didasari oleh orientasi. Jadi antara orientasi dan mobilitas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan keduanya harus berjalan secara serempak, terpadu dalam mencapai suatu objek atau tujuan. Setiap gerakan yang bertujuan memerlukan orientasi, dan disaat melakukan orientasi di
12
saat itu pula melakukan mobilitas. Dengan penjelasan tersebut di atas kiranya kita sudah dipahami mengenai hal-hal yang berkaitan dengan orientasi. Selanjutnya dalam usaha meningkatkan keberhasilan tunanetra, disamping harus memiliki kemampuan orientasi yang baik juga salah satu kebutuhan dasar yang harus dimiliki adalah keterampilan melakukan mobilitas dengan baik. Keterampilan mobilitas yang dimaksud yaitu siswa tunanetra harus mampu melakukan mobilitas pada setiap lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat secara mandiri. Istilah mobilitas selalu berkaitan dengan masalah gerak, baik itu pindah tempat maupun pindah posisi. Ali, A. (1983/1984) memberikan definisi mobilitas secara singkat sebagai berikut: ”Mobilitas yaitu kemampuan bergerak dari suatu tempat ke tempat lain yang diinginkan dengan cepat, tepat dan aman”. Kemudian Hosni, I (1997:13) menjelaskan mengenai pengertian mobilitas sebagai berikut: Mobilitas adalah suatu kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak serta bagaimana ia (tunanetra) dapat melakukan gerak dan berpindah dari posisi dirinya semula ke posisi objek yang dikehendaki dengan selamat.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mobilitas adalah merupakan suatu kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak. Bergerak di sini tidak hanya diartikan berjalan tetapi lebih luas dari itu. Bergerak bisa
13
dari suatu posisi ke posisi lain misalnya menggerakkan tangan dari posisi menggenggam ke posisi tangan terbuka atau dari posisi badan duduk ke posisi badan berdiri. Bergerak dari suatu tempat ke tempat lain mengandung arti adanya perpindahan. Misalnya seorang berjalan dari ruang makan dan sebagainya. Mobilitas diartikan sebagai kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak tidak hanya kelihatan di saat ia melakukan gerak tetapi mobilitas diartikan sebagai daya dan kesiapan untuk melakukan gerak. Misalnya seorang tunanetra tidak bisa menggerakkan kakinya, tetapi ia punya daya, kemampuan dan kesiapan menggunakan kursi roda atau alat bantu lainnya untuk bergerak. Kemampuan untuk bergerak dalam suatu lingkungan ”the ability to move within one’s environment” banyak mendatangkan manfaat. Bila seorang tunanetra melakukan mobilitas, berarti ia memfungsikan organ tubuhnya. Mobilitas dapat meningkatkan ketahanan, stamina, serta kelenturan tubuhnya. Di samping itu, melakukan mobilitas akan menambah pengalaman serta informasi baru yang bisa di simpan ke dalam persepsinya. Banyaknya data yang tersimpan dalam persepsi seseorang berarti ia akan mudah berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungan mengandung hubungan dua arah. Pertama bagaimana agar tunanetra bisa masuk dan menyatu dengan lingkungan dan kedua bagaimana lingkungan bisa masuk dan menyatu dengan tunanetra.
14
Mobilitas sebagai sesuatu yang digunakan untuk mendeskripsikan gerakan tubuh dari suatu posisi atau tempat semula ke posisi atau tempat lain yang diharapkan, Thomas J. Carrol mengatakan bahwa ”for mobility mean more than walking”. Jadi mobilitas bukan hanya sekedar berjalan tetapi lebih dari itu. Mobilitas lebih dari sekedar berjalan, di dalam mobilitas mengandung banyak manfaat terutama terhadap pengembangan fisik dan mental. Mobilitas mengembangkan fisik sebab mobilitas menggerakkan organ tubuh yang berarti melatih fungsi organ tersebut untuk meningkat. Mobilitas adalah gerakan yang bertujuan yang berarti ada proses mempelajari dan menilai lingkungan. Dari proses mempelajari dan menilai lingkungan akan ditemukan pengetahuan dan pengalaman baru. Di dalam proses mempelajari dan menilai lingkungan ada unsur berfikir. Berarti ada proses melatih fungsi mental dan akan meningkat kemampuan berfikirnya seperti kemampuan memecahkan masalah, berfikir sistematis dan sebagainya. Manfaat melakukan mobilitas ini tidak hanya berlaku bagi orang tunanetra, bagi orang awas akan lebih banyak lagi yang dapat diperoleh dari melakukan mobilitas. Mobilitas merupakan ”physical locomotion” yang mana itu merupakan suatu gerakan organisme dari suatu tempat atau posisi ke suatu tempat atau posisi lain dengan mekanisme organismenya sendi. Dengan mekanisme organismenya sendiri diartikan ia mempunyai kemampuan,
15
kesiapan dan mudahnya bergerak dari dalam diri sendiri. Artinya mobilitas merupakan suatu kemampuan untuk bergerak dalam lingkungannya dengan selamat dan semandiri mungkin, artinya seorang tunanetra diharapkan tidak terlalu banyak meminta bantuan dari orang lain. Yang lebih penting, bagaimana kita berusaha untuk mengurangi bantuan orang lain (Hosni, I. 1997:14). 3. Tujuan pengajaran Orientasi dan Mobilitas (O&M) Pengajaran orientasi dan mobilitas diberikan kepada siswa tunanetra tidak terlepas kepada usaha mengatasi adanya keterbatasan dalam melakukan gerak, berpindah tempat, memperoleh pengalaman baru, dan berinteraksi dengan lingkungan. Dengan kata lain O&M bertujuan mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh siswa tunanetra sehingga memiliki bekal keterampilan untuk hidup ditengah lingkungan masyarakat secara mandiri. Dengan bekal keterampilan O&M inilah diharapkan siswa tunanetra dapat memasuki semua lingkungan baik lingkunagan yang sudah dikenal maupun lingkungan yang belum dikenal secara tepat, cepat, aman, dan lentur tanpa banyak meminta bantuan orang lain. Hosni, I. (1997:15) mengemukakan pengertian O&M sebagai berikut: Orientasi dan mobilitas adalah kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak dan berpindah tempat ke suatu posisi atau tempat lain yang dikehendaki dengan selamat, efisien dan baik tanpa banyak meminta bantuan orang lain.
16
Jadi dengan demikian keterampilan O&M sangatlah penting dan harus dikuasai oleh siswa tunanetra sehingga dengan keterampilan orientasi dan mobilitas, maka siswa tunanetra diharapkan dapat berpindah tempat/posisi secara mandiri dalam mencapai suatu objek secara cepat, tepat dan aman tanpa menjadi beban orang lain. Untuk dapat melakukan mobilitas secara mandiri maka ada beberapa alat bantu khususnya yang bisa dipergunakan oleh siswa tunanetra, antara lain: pendamping awas, tongkat panjang, anjing penuntun, dan alat bantu elektronik. Dari keempat alat bantu khusus tersebut, yang paling banyak digunakan oleh tunanetra di Indonesia yaitu tongkat panjang. Dengan tongkat panjang siswa tunanetra dapat mendeteksi/menemukan objek yang ada di lingkungan secara cepat, tepat, dan aman. Untuk mengetahui lebih jelas tentang alat bantu khusus tersebut.
B. Tongkat Sebagai Alat Bantu 1. Pengetahuan Dasar Tongkat Tongkat adalah alat bantu tunanetra yang praktis dan murah kegunaan tongkat penting sekali yaitu agar tunanetra dapat berjalan mandiri, tanpa selalu minta tolong kepada orang lain, disamping itu dengan menggunakan tongkat akan dapat berjalan dengan aman, dan selamat.
17
Secara umum tongkat yang digunakan oleh tunanetra di Indonesia ada 2 macam, antara lain: 1. Tongkat panjang/tongkat tongkat putih (Long Cane/White Cane) Jenis tongkat ini yang memenuhi standar persyaratan nasional. Di Indonesia sendiri kebanyakan memakai jenis tongkat ini, disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. 2. Tongkat lipat (Collapsable Cane) Jenis tongkat ini merupakan tongkat yang praktis, karena biasa di lipat apabila tidak digunakan. Jenis tongkat ini kurang baik digunakan tunanetra karena daya hantarnya kurang peka, serta kurang kuat apabila
digunakan.
Walaupun
tunanetra
memilih
karena
praktis/mudah membawa di kendaraan umum. Ada beberapa keuntungan dan kerugian dari alat bantu tongkat seperti halnya yang dikemukakan oleh Hosni, I. (1997 : 103) antara lain sebagai berikut: 1. Keuntungan penggunaan alat bantu tongkat yaitu: a. Memberikan
informasi
tentang
benda-benda
dipermukaan jalan. b. Mempunyai gerakan yang tinggi. c. Tidak mahal dan mudah perawatannya. d. Mudah disimpan (khusus untuk tongkat lipat).
yang
ada
18
2. Kerugian penggunaan alat bantu tongkat yaitu: a. Bagian atas badan terlindungi, khususnya terhadap benda yang menggantung seperti ranting pohon. b. Sulit penyimpanan (khusus tongkat panjang). c. Sulit dipergunakan pada saat angin kencang. d. Menandakan bahwa pemakai sebagai seorang tunanetra. Dengan menggunakan alat bantu tongkat, siswa tunanetra diharapkan dapat bergerak secara mandiri dan dapat menemukan objek yang ada dilingkungan yang dikehendaki secara cepat, tepat, aman. Jadi dengan demikian tongkat adalah merupakan perpanjangan indera peraba yang dimiliki tunanetra, jadi dengan sentuhan tongkat tunanetra bisa memperoleh informasi tentang objek yang disentuhnya. 2. Teknik Keterampilan Penggunaan Alat Bantu Tongkat Secara garis besar teknik tongkat dibagi dua bagian menurut Abidin, N. (2004 : 25-33) (a) teknik di dalam ruangan (in door technique) dan (b) teknik di luar ruangan (out door tehnique). Adapun macam dan langkah-langkah dari kedua teknik tersebut adalah sebagai berikut: a. Teknik di Dalam Ruangan (In Door Tehnique) 1). Teknik Diagonal/Teknik Menyilang Tubuh (Cross Body Technique) Teknik diagonal atau teknik menyilang tubuh bertujuan agar siswa tunanetra dapat berjalan di tempat yang sudah dikenal, maupun belum dikenal. Dengan perlindungan tongkat siswa
19
tunanetra dapat berjalan dengan selamat. Langkah-langkah dari teknik ini adalah sebagai berikut: a). Squaring off b). Tongkat dipegang dengan teknik yang benar c). Sikap, tongkat didorong ke depan tubuh sehingga pegangan terangkat dan antara lengan dengan badan membentuk sudut kurang lebih 60. Posisi tongkat menyilang di depan tubuh atau sepanjang paha, dengan ujung tongkat (tip) berada pada posisi yang lain yang berlawanan dengan pegangan tongkat. Pada waktu yang bersamaan dengan tongkat didorong, pergelangan tangan diputar sehingga ujung tongkat berada lurus dengan bahu tangan bebas, untuk melindungi bahu yang memegang tongkat. 2). Teknik Menelusur/Menyusuri (Trailing Technique) Teknik ini merupakan teknik diagonal yang digunakan untuk trailing (menyusuri garis pengarah). Pada teknik ini, ujung tongkat bergerak menelusuri benda berupa dinding, tepi jalan, trotoar, dan yang berfungsi sebagai garis pengarah sehingga tunanetra dapat berjalan dengan lurus. Langkah-langkah teknik ini adalah: a). Line off pada dinding b). Tongkat dipegang dengan cara yang benar menggunakan teknik diagonal
20
c). Sikap, seperti pada teknik diagonal tetapi pada teknik ini posisi tip menempel pada garis pengarah (pertemuan antara dinding/tembok dengan lantai). 3). Teknik Naik dan Turun Tangga a). Teknik Naik Tangga Teknik yang digunakan adalah teknik menyilang tubuh yang telah diaplikasikan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Menemukan bibir tangga 2. Mendekati bibir tangga 3. Squaring off pada bibir tangga 4. Kontrol dan lebar permukaan tangga 5. Berdiri di tengah-tengah tangga 6. Tongkat dipegang agak ke bawah dari grip 7. Cruk menghadap ke depan, tip menyilang (cross body) menyinggung riser di atasnya. 8. Pada waktu melangkah naik, jatuhnya kaki bersamaan dengan jatuhnya tip mengenai riser berikutnya. 9. Kalau tip sudah tidak menyinggung riser lagi berarti tangga berikutnya sudah habis, tinggal melangkah sekali lagi. 10. Tongkat dipegang seperti semula
21
11. Cek permukaan di depan, jika aman perjalanan bisa dilanjutkan. b). Teknik Turun Tangga Teknik yang digunakan sama seperti naik tangga. Adapun langkahnya sebgai berikut: 1. Squaring off pada bibir tangga 2. Cek panjang dan lebar bibir tangga 3. Cara pegang tongkat dengan teknik menyilang tubuh, lengan mendekat ke badan. 4. Tip yang menyinggung bibir lantai berarti tangga sudah habis, tinggal melangkah sekali lagi. 5. Tongkat dipegang seperti biasa b. Teknik di Luar Ruangan (Out Door Technique) 1). Teknik Sentuhan (Touch Tehnique) Teknik ini digunakan di daerah yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Dalam teknik ini ada beberapa hal yang yang perlu diperhatikan, yaitu: a). Grip, cara memegang tongkat b). Arm resting on body, kelenturan posisi tangan pada badan. c). Arc, konsistensi atau kestabilan gerakan busur. d) Clearing before walk, pengecekan keamanan sebelum berjalan atau melangkah.
22
e). Coordinating keep in step, koordinasi atau keharmonisan gerakan tongkat dengan langkah kaki. Tujuan menggunakan teknik sentuhan: agar tunanetra mampu berjalan di daerah yang sudah di kenal maupun yang belum di kenal dengan mendapat perlindungan, sehingga dapat mencapai sasaran dengan tepat, cepat dan aman. Langkah-langkah penggunaan teknik sentuhan: f). Grip, cara memegang tongkat seperti orang berjabat tangan, rilek, tidak tegang, tidak kaku atau tidak terlalu erat. Yang berfungsi pada teknik ini adalah tiga jari, yaitu: 1. Jari telunjuk, berada pada bagian grip yang datar, berfungsi untuk menggerakkan tongkat ke kanan atau ke kiri. 2. Jari tengah, berada di bawah pegangan, berfungsi untuk menahan tongkat. 3. Ibu jari, berada pada bagian atas pegangan, berfungsi untuk menekan (memperkuat) pegangan pada grip yang berfungsi membantu menahan grip. g). Arm resting on body, setelah tongkat dipegang dengan benar, lalu didorong ke depan dan sikut tidak lurus betul. Selanjutnya tongkat ditarik mendekati badan berada di tengah-tengah badan (pusar) harus dalam keadaan lentur,
23
sehingga kalau tongkat menyentuh atau menabrak sesuatu akan menyentuh/mengenai pusar. h). Arc, gerakan tongkat ke kiri dan ke kanan menghasilkan gerakan busur harus seimbang (stabil) yaitu ke kiri melindungi langkah kaki kiri atau gerakan tip tepat lurus atau bisa sedikit lebar dengan bahu kanan. Ujung tongkat harus berada di depan dengan jarak kurang lebih satu meter dari kaki. Gerakan busur diharapkan tidak terlalu tinggi, kira-kira tingginya 1 inchi dari permukaan bumi. Posisi tongkat semakin rendah semakin baik. i). Clearing before walk, pada waktu tunanetra hendak melangkah atau melanjutkan perjalan hendaknya mengecek dahulu keadaan yang ada di depannya, karena dikhawatirkan ada suatu benda yang menghalangi, dan mebahayakan dirinya.
Sehingga
setelah
melakukan
clearing
atau
mengecek kondisi medan yang akan dilalui perjalan dapat dilakukan atau diteruskan. Clearing juga dapat dilakukan bila tunanetra hendak menyebrang jalan. j). Coordinating keep in step, antara gerakan tongkat dan langkah kaki hendaklah selalu seirama dan stabil. Bila kaki kiri melangkah maka tongkat bergerak atau bergeser ke kanan dan begitu sebaliknya, bila kaki kanan melangkah maka tongkat bergerak atau bergeser ke kiri.
24
2). Teknik Dua Sentuhan (Two Thouch Tehnique) Teknik dua sentuhan pada dasarnya sama seperti teknik satu sentuhan, hanya penggunaanya yang berbeda yaitu dua objek atau medan yang berlainan. Tujuan penggunaan teknik dua sentuhan:. a). Untuk berjalan harus mengikuti garis pengarah (shore line). b) Untuk mengetahui atau mencari belokan, misalnya jalan masuk ke rumah. c) Untuk mengetahui jalan yang berbahaya. d) Untuk mengecek bahwa posisi tubuh di pinggir jalan. Langkah-langkah teknik dua sentuhan: e). Teknik dua sentuhan pada dasarnya sama seperti teknik sentuhan. Teknik ini merupakan tambahan dari teknik sentuhan yaitu sentuhan sebelah kiri berada di shore line dan kadangkadang lebih lebar dari sentuhan yang berada di jalan. f). Teknik ini tidak digunakan sepanjang perjalanan, biasanya digunakan hanya untuk mencari jalan masuk ke rumah atau ke tempat lainnya. 3). Gabungan dari teknik sentuh dan teknik geser (Touch and Slide) Tujuan teknik ini adalah agar dapat mendeteksi seluruh permukaan jalan dan menghindari bahaya yang ada di depannya.
25
Langkah-langkah dari gabungan teknik sentuh dan teknik geser yaitu: a). Pada dasarnya sama dengan two touch technique. b). Tip disentuhkan lalu digeser ke kiri/ke kanan. 4). Teknik tiga sentuh (three point touch tehnique) Teknik ini digunakan di daerah pesawahan dan jalan raya. Tujuannya teknik ini adalah untuk mengetahui shore line dan menemukan objek. Langkah-langkah dari teknik tiga sentuhan yaitu: a). Pada dasarnya sama dengan touch technique. b). Tip disentuhkan tiga kali ke kiri/ke kanan lalu kembali ke semula. 5). Teknik mendorong dan menggeser tongkat (Pushing Slide Tehnique) Teknik ini digunakan di daerah pedesaan atau pesawahan yang khususnya di jalan setapak. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menghindari hambatan yang ada di kiri dan di kanan serta mempermudah dalam menempuh perjalanan. Langkah-langkah teknik mendorong dan menggeser tongkat yaitu: a). Pada dasarnya sama dengan teknik sentuh. b). Gerakan tongkat didorong dan digeser. c). Langkah kaki harus seirama dengan gerakan tongkat.
26
6). Teknik Menyeberang Jalan Ada 3 (tiga) teknik dalam menyeberang jalan, yaitu: a). Teknik menyeberang di jalan satu arah Langkahnya yaitu: 1. Squaring off, kemudian dengarkan suara kendaraan dari arah kanan. 2. Setelah aman baru menyeberang. 3. Berjalanlah dengan langkah yang tetap dan tenang sampai menemukan trotoar atau batu tepi jalan. b). Teknik menyeberang di jalan dua arah Langkahnya yaitu: 1. Squaring off, lalu dengarkan suara kendaraan dari arah kanan. 2. Setelah aman baru menyeberang sambil mendengarkan suara kendaraan yang datang dari arah kiri. 3. Kalau ada kendaraan dari arah kiri dapat berhenti di tengah jalan, tunggu sampai kendaraan lewat. 4. Setelah aman teruskan berjalan sampai ketepi. c). Teknik menyeberang dipertigaan dan perempatan jalan. Langkahnya yaitu: 1. Squaring off, di dekat lampu setopan. 2. Kalau tidak ada lampu setopan, berhenti dekat belokan.
27
3. Dengarkan dan tunggu sampai kendaraan yang lewat berhenti. Penggunaan teknik-teknik tongkat tersebut apabila digunakan dengan baik oleh anak tunanetra, maka akan sangat memungkinkan sekali bagi mereka untuk bepergian secara mandiri tanpa banyak meminta bantuan orang lain. Dengan adanya hal itu aktifitas yang mereka lakukan akan lancar.
C. Hakekat Ketunanetraan 1. Pengertian Tunanetra Banyak anggapan yang salah tentang tunanetra, khususnya bagi mereka yang masih awam. Hal ini pelu diungkap supaya ada keseragaman dalam menafsirkan ketunanetraan. Anggapan yang salah tentang tunanetra itu antara lain: 1. Anak tunanetra mendengar lebih baik dan lebih tajam dari orang awam. 2. Penglihatan akan hilang atau bertambah rusak apabila ia sering menggunakan matanya. 3. Orang sering menganggap seorang tunanetra membutuhkan cahaya yang terang untuk dapat melihat lebih baik. 4. Setiap tunanetra membutuhkan kacamata hitam. Dengan adanya beberapa anggapan yang salah, maka siapa sebenarnya tunanetra itu? Banyak definisi/pengertian tunanetra dilihat dari berbagai sudut pandang.
28
Nesker Simmons, dkk. (Asep A. Sopyan, 2006 : 26) mengklasifikasikan gangguan penglihatan ke dalam: (a) Totally blind, yaitu tidak dapat melihat cahaya sedikitpun; (b) Light perception dapat membedakan terang dari gelap; (c) Form or motion perception dapat melihat bentuk atau gerakan pada jarak beberapa kaki; (d) Guiding vision memiliki cukup penglihatan untuk membantu siswa dalam berpindah tempat (bergerak). Selanjutnya pendapat Barraga (1983). Yusuf Munawir. M. (2001 : 23) mengemukakan pengertian tunanetra sebagai berikut: Tunanetra adalah keadaan cacat penglihatan sedemikian rupa sehingga mengganggu pencapaian belajarnya secara optimal kecuali dilakukan penyesuaian dalam metoda pengajaran, pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang diajarkan, dan atau lingkungan belajarnya. Dari kedua definisi di atas dapat dijelaskan bahwa tunanetra atau gangguan penglihatan diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek medis yang didasarkan pada pengukuran, dan aspek fungsional yaitu didasarkan pada bagaimana siswa memanfaatkan penglihatannya untuk menguasai lingkungan. Jadi definisi siswa tunanetra dari aspek pendidikan adalah siswa yang mengalami gangguan penglihatan sedemikian rupa yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pendidikannya, sehingga memerlukan tulisan Braille bagi yang buta dan tulisan yang dicetak tebal atau diperbesar atau menggunakan alat bantu khusus bagi yang masih memiliki sisa penglihatan.
29
2. Karakteristik Ketunanetraan Agar kita dapat memberikan pelayanan pendidikan secara tepat, maka perlu memahami berbagai karakteristik yang dimiliki oleh siswa tunanetra. Adapun karakteristik ketunanetraan tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: totally blind, dan low vision. a. Karakteristik totally blind yaitu: 1). Rasa curiga pada orang lain 2). Perasaan mudah tersinggung 3). Ketergantungan yang berlebihan 4). Blindism 5). Rasa rendah diri 6). Sikap badan yang bungkuk 7). Suka melamun 8). Fantasi yang kuat untuk mengingat objek 9). Kritis 10). Pemberani (Jamal, 1999 :10) b. Karakteristik low vision yaitu: 1). Mengadakan fixition atau melihat benda dengan menfokuskan pada titik-titik benda. 2). Menanggapi rangsangan cahaya yang datang padanya, terutama papa benda yang kena sinar, disebut visually function. 3). Bergerak dengan penuh percaya diri, baik di rumah maupun di sekolah.
30
4). Merespon warna 5). Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa penglihatannya. 6). Terlatih pada benda yang bergerak. 7). Kesulitan melakukan gerakan yang halus dan lembut. 8). Selalu melihat benda global dan menyeluruh. 9). Mereka akan selalu menjadi penuntun bagi temannya yang totally blind. 10). Koordinasi dan kerjasama mata dan anggota badan yang lemah (Jamal, 1999 : 15). Dengan memperhatikan kedua jenis karakteristik ketunanetraan tersebut di atas, maka diharapkan para pendidik dapat memahami kondisi setiap siswa, sehinngga pelayanan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan setiap siswa tunanetra secara efektif dan efesien. 3. Pengaruh Ketunanetraan terhadap fungsi kognitif Hilangnya fungsi penglihatan pada siswa tunanetra akan mempengaruhi terhadap perkembangan kognitif. Menurut Lowenfeld yang dikutip oleh Kingsley dalam Mason dan McCall (Djadja Rahardja, 2008) menyatakan bahwa ketunanetraan pada seseorang akan mengakibatkan tiga keterbatasan dasar dalam fungsi kognitif, yaitu: (a) dalam lingkup dan keanekaragaman; (b) dalam kemampuan berpindah-pindah; (c) dalam interaksi dengan lingkungan.
31
Keterbatasan dalam lingkup dan keanekaragaman pengalaman. Hilangnya fungsi penglihatan pada siswa tunanetra memaksa dirinya untuk menggantungkan pengamatannya tentang dunia luar pada indera-indera yang masih berfungsi, seperti pendengaran, penciuman, pengecap, perabaan, serta sisa penglihatan apabila masih ada. Namun indera-indera ini tidak bisa memberikan gambaran yang utuh di luar jangkauan fisiknya. Indera pendengaran mungkin bisa mengenal suatu objek hanya apabila objek itu bersuara, dan apabila tidak ada suara, maka objek itu tidak ada artinya. Begitu pula dengan indera penciuman yang hanya dapat memberikan jarak atau arah dari suatu objek, tetapi tidak bisa memberikan gambaran yang konkrit tentang objek itu. Sama halnya dengan kedua indera tersebut di atas, indera perabaan dan kinestetik pun memiliki keterbatasan dalam hal pengamatan, dimana harus terjadi kontak secara langsung dengan objek itu, tanpa ada kontak objek itu pun tidak ada artinya bagi tunanetra. Dan yang terakhir adalah indera pengecapan yang keterbatasannya sama dengan indera perabaan, yaitu memerlukan kontak secara langsung, dan hanya memberikan sifat rasa suatu objek. Keterbatasan indera inilah yang mengakibatkan adanya keterbatasan pengalaman yang sangat beranekaragam. Hal ini, menurut Hosni (1996 : 29) akan mengakibatkan miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek dan lingkungannya. Dalam hal ini, Tillman sebagaimana yang dikutip oleh mason dan McCall (Asep A. Sopyan, 2006:30) juga menyatakan bahwa siswa buta mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan seluruh fakta yang berbeda
32
yang mereka pelajari, sehingga setiap item informasi lebih memungkinkan untuk terus dalam kerangka yang terpisah dari setiap item yang lainnya. Keterbatasan dalam berpindah-pindah. Akibat lain dari kehilangan ketajaman penglihatan secara langsung adalah keterbatasan berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau disebut mobilitas. Keterbatasan ini sangat dipengaruhi oleh ketidakmampuannya dalam menentukan posisi dirinya dengan lingkungan dan objeknya, sehingga tidak memahami dimana dia berada, dan harus kemana dia bergerak atau berpindah. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya mengenal dan memahami lingkungan dan objeknya yang terpenting untuk menentukan posisi dirinya berada, dikarenakan miskinnya informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan melalui penggunaan inderaindera yang masih berfungsi. Dengan demikian, siswa tunanetra cenderung merasa ragu dan cemas untuk memulai bergerak dalam berpindah tempat. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hilangnya penglihatan bukan hanya akan mengakibatkan miskinnya informasi, tetapi juga mengakibatkan hilangnya rangsangan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang beraneka ragam. Berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial memerlukan banyak pengalaman konkrit.