27
BAB II PENENTUAN HAK PERWALIAN BAGI ANAK DIBAWAH UMUR TERHADAP PASANGAN BERBEDA KEWARGANEGARAAN
A. Akibat Hukum Perkawinan Campuran 1.
Pengertian Perkawinan Campuran Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang–Undang Perkawinan yaitu pada
bagian kalimat kedua yang berbunyi “...dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Pengertian dari tujuan perkawinan tersebut juga merupakan suatu hal yang didambakan oleh setiap pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan baik yang melakukan perkawinan secara hukum Islam, catatan sipil maupun perkawinan yang dilangsungkan secara adat dan rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa diharapkan perkawinan dapat memberikan kebahagian lahir batin untuk jangka waktu yang lama, bukan hanya bersifat sementara bagi suami isteri yang terikat dalam perkawinan tersebut. Sehingga berdasarkan rumusan tersebut, undang-undang membuat pembatasan yang ketat terhadap perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan. Perkawinan campuran yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda kewarganegaran pada masa penjajahan Belanda ada diatur dalam pasal 1 GHR yang dalam kutipan aslinya berbunyi : huwelijken tussen personen die in Indonesie aan verschillend recht onderworpen zijn, worden gemengde huwelijken geneoemd (perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
27
Universitas Sumatera Utara
28
berlainan disebut perkawinan campuran). 71 Hal ini bermakna bahwa perkawinan campuran diartikan bahwa perkawinan tersebut hanya dilakukan di Indonesia dan menurut hukum yang mengatur pada masa tersebut. Pengertian mengenai perkawinan campuran pada saat ini di Indonesia, dapat ditinjau dari beberapa aspek dan sistem, yang kemudian dipersempit menjadi menjadi 3 sistem, yaitu : a.
Perkawinan Campuran Menurut KUHPerdata Pengertian mengenai perkawinan campuran dalam sistem ini di atur dalam
KUHPerdata (Burgerlijk wetboek) yang pengaturannya di peruntukkan bagi golongan eropah, golongan Timur Asing-Cina dan untuk sebahagian golongan Timur Asing bukan Cina, serta untuk sebagian atau seluruh orang-orang lain yang tunduk pada KUHPerdata. Peraturan tersebut tetap berlaku bagi orang yang termasuk golongan yang disebutkan tidak merubah hukum perdata yang berlaku bagi mereka. 72 Perkawinan campuran diartikan sebagai perkawinan antara WNI dengan WNA dan pengaturan mengenai perkawinan campuran tidak banyak disinggung dalam KUHPerdata serta esensinya mengenai perkawinan hanya mengatur tentang syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukannya suatu perkawinan, hal ini sesuai dengan pandangan dari para Ahli yang menyusun KUHPerdata dengan mengartikan bahwa soal perkawinan hanya dilihat dalam hubungan perdata saja.73
71 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 25 72 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, ( Jakarta : Ghalia Indonesia , 1982) hal. 69 73 Pasal 26, KUHperdata
Universitas Sumatera Utara
29
Menurut R Subekti, pasal 26 KUHPerdata tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah hanya perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh KUHPerdata dan bahwa syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan, hal ini juga dapat diartikan bahwa perkawinan itu hanya ditinjau sebagai suatu lembaga hukum dan tidak bergantung pada pandangan-pandangan keagaman dari pasangan calon suami dan istri.74 Namun demikian sebagaimana yang terdapat dalam KUHPerdata bahwa Indonesia mengakui adanya perkawinanan campuran yang dilakukan diluar Indonesia dan
dilakukan
menurut
hukum
yang
berlaku
dimana
pasangan
tersebut
melangsungkan perkawinannya, selama perkawinan tersebut telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan kemudian di catatkan di Indonesia paling lama setahun setelah perkawinan dilaksanakan.75 Perkawinan campuran yang akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda kewarganegaran dapat dilangsungkan selama persyaratan telah dipenuhi seperti yang diatur dalam KUHPerdata karena perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia sehingga tidak satupun aturan yang dapat menghalangi sepanjang persyaratan dan ketentuan telah dipenuhi termaksud juga yang paling mendasar yaitu bahwa perkawinan didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga karena jika tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak maka dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan76, tidak terkecuali terhadap pelaku dari perkawinan campuran.
74
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Op.Cit., hal.13 Pasal 83, KUHPerdata 76 Pasal 87, KUHPerdata 75
Universitas Sumatera Utara
30
b. Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan mengartikan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia. 77 Dari rumusan tersebut, perkawinan campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan terbatas pada perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita di Indonesia, dimana yang bersangkutan (calon mempelai)78 : 1). tunduk pada hukum yang berlainan; 2). karena perbedaan kewarganegaraan 3). salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Undang-Undang Perkawinan, secara sempit pengertiannya hanya mengarah kepada perbedaan kewarganegaraan namun tidak membahas secara rinci mengenai pelaksanaan ataupun tata cara untuk melangsungkan perkawinan campuran dan mengenai perkawinan campuran dibahas dalam 5 (lima) pasal yaitu dari pasal 57 sampai pasal 61 Undang-Undang Perkawinan. Selain itu perkawinan campuran yang dimaksud oleh Undang-Undang Perkawinan terbatas hanya pada perkawinan campuran internasional, yakni perkawinan yang akan dilakukan antara seorang WNI
77
Pasal 57, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ) hal. 297 78
Universitas Sumatera Utara
31
dengan seorang WNA dan masing–masing calon mempelai dengan sendirinya tunduk pada hukum yang berlainan.79 Perkawinan campuran tidak diatur secara khusus pada Undang-Undang Perkawinan namun pada dasarnya apabila ada pasangan yang akan melakukan perkawinan campuran maka pasangan tersebut juga harus mematuhi semua persyaratan yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan selama perkawinan dilaksanakan di Indonesia dan menurut hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip domisili yang dianut dalam HPI dimana dalam menjalankan aturan hukum, prinsip domisili sangat tepat diterapkan di Republik Indonesia dengan berpegang pada alasan praktis yaitu dengan diperkecil berlakunya hukum asing dan dengan prinsip ini dapat mendatangkan keuntungan, karena dengan demikian akan lebih banyak jaminan bahwa hakim Indonesia akan memakai hukumnya secara baik, karena ia lebih mengenal hukumnya sendiri daripada hukum asing dalam menyelesaikan suatu perkara dengan WNA.80 c.
Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam Pada dasarnya setiap ketentuan hukum agama di Indonesia tidak mengizinkan
umatnya untuk melakukan perkawinan dengan umat beragama lainnya. Ini berarti sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan, seharusnya tidak akan ada lagi perkawinan beda agama, karena perkawinan beda agama merupakan perkawinan diluar ketentuan hukum masing-masing agama dan juga kepercayaannya. 81 Dalam 79
Ibid BPHN, Latar Belakang Penyusuan RUU Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jurnal Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, September 1983, hal.9 81 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 316 80
Universitas Sumatera Utara
32
hukum Islam perkawinan diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga untuk keturunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam.82 Pengertian mengenai perkawinan campuran dalam hukum Islam yaitu perkawinan antara laki dan perempuan yang berbeda keyakinan atau berbeda agama dan kebangsaannya (asal keturunannya) atau kewarganegaraannya.
83
Namun
penjelasan tentang hukum perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim, disepakati oleh para ulama menyatakan bahwa bagi seorang pria muslim haram mengawini wanita non muslim dari bangsa Arab yang sewaktu turunnya Al Qur’an mereka tetap menyembah berhala.84 Hukum Islam memperbolehkan perkawinan campuran dengan ketentuan agama yang dianut oleh kedua pasangan sama-sama beragama Islam, dan merupakan larangan apabila seorang pria beragama Islam menikahi wanita yang bukan beragama Islam begitu pula sebaliknya. 2.
Hak Dan Kewajiban Suami Istri Pada Perkawinan Campuran Mengenai hak dan kewajiban suami istri yang telah terikat dalam perkawinan
campuran, tidak berbeda dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pasangan yang menikah secara adat, agama maupun dengan hukum nasional. Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya
82
Zahry Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta : Binacipta, 1976) hal. 1 83 Hasballah Thalib dan Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004) hal. 152 84 Ahmad ABD Madjid, Masa’il Fiqhiyyah, (Pasuruan Jawa Timur : PT Garoeda Buana Indah, 1991), hal.9
Universitas Sumatera Utara
33
perkawinan antara mereka. Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar pula,85 sesuai dengan fungsi dan perannya. Hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 Undang-Undang Perkawinan, sedangkan dalam hukum Islam mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam beberapa surat dalam Al Qur’an yaitu antara lain dalam surat al-Baqarah dan surat al-Nisa juga dalam Hadist Nabi. Hak dan kewajiban suami istri diatur dari pasal 103 sampai dengan pasal 118 pada buku I KUHPerdata. Dari ketiga referensi hukum yang disebutkan, pada dasarnya tujuan pengaturan dari hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan adalah supaya tercipta keluarga yang damai dan harmonis dan juga agar suami istri dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar dari dari susunan masyarakat. Oleh karena itu suami istri wajib untuk saling mencintai, saling menghormati, saling setia dan saling membantu lahir dan batin seorang kepada yang lain.86 Pada prinsipnya hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat, walaupun pada praktek terkadang ada perbedaan hak dan kewajiban suami istri didasarkan pada 85
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, cetakan. I (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal 15-116, dalam Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, bahasa oleh Agus Nuryanto, cet. I, alih bahasa Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal 37-65 86 Wibowo Turnadi, Hak dan Kewajiban Suami Istri, http://www.jurnalhukum.com/hak-dankewajiban-suami-istri/, diakses tanggal 20 september 2014
Universitas Sumatera Utara
34
perbedaan elemen keadaan yang baik. Tetapi ini saling berhubungan dan selalu tidak harmonis. Dalam banyak situasi tuntutan yang suami istri lakukan mungkin bertentangan. Masalah penyesuaian kemudian timbul yang dari pandangan etika, mungkin melibatkan evaluasi komparatif tentang kebaikan yang dilibatkan dalam suatu pengertian pada kondisi mana suami istri bisa didamaikan ataupun diselaraskan.87 Secara umum setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 88 Berhubungan dengan perbuatan hukum, undang-undang memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah pihak dalam melakukan perbuatan hukum, namun dalam KUHPerdata istri tidak memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. 89 Meskipun demikian keduanya memiliki peran yang berbeda. Suami sebagai kepala keluarga, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi dan memenuhi semua keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya.90 Persamaan hak dan kewajiban antara suami istri juga diakui oleh hukum negara barat seperti hukum keluarga Perancis yang diberlakukan pada tanggal 4 Juni 1970, dimana dalam hukum keluarga tersebut menyatakan bahwa suami dan isteri 87
Morris Ginsberg, Keadilan Dalam Masyarakat, ( Bantul : Pondok Edukasi, 2003), hal. 6 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung , CV Nuansa Aulia, 2006) , hal. 23 89 Pasal 108 KUHPerdata 90 Komariah, Hukum Perdata, ( Malang : Universitas Muhammadiyah , 2002 ), hal. 61-62 88
Universitas Sumatera Utara
35
mempunyai kewajiban yang sama dalam mengurus kepentingan keluarga dan memilih tempat tinggal bersama. Sejak berlakunya undang-undang ini, kesamaaan kedudukan suami dan istri menjadi asas fundamental hukum keluarga Perancis.
91
Tinjauan mengenai hak dan kewajiban ini dari sudut pandangan hukum negara lain diselaraskan karena adanya perbedaan kewarganegaraan dari pasangan perkawinan campuran yang tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan tersebut akan mengikuti atau tunduk pada salah satu hukum dimana mereka akan tinggal atau juga kemungkinan tunduk pada yuridiksi dua hukum yang berbeda. Hak dan kewajiban berurusan dengan hukum. Keseluruhan bangunan hukum disusun dari kedua hal tersebut. Semua jaringan hubungan yang diwadahi oleh hukum senantiasa berkisar pada hak dan kewajiban tersebut. Dalam hukum pada dasarnya hanya dikenal dua stereotif tingkah laku, yaitu menuntut yang berhubungan dengan hak dan berutang yang berhubungan dengan kewajiban.92 Pasangan perkawinan campuran yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia maka sebaiknya pasangan tersebut harus terlebih dahulu mempelajari serta mengerti akan semua pengaturan mengenai perkawinan terlebih mengenai hak dan kewajiban bagi masing–masing pasangan sehingga perkawinan tersebut bisa berjalan langgeng dan terutama juga anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa memiliki keluarga yang bahagia walaupun ada perbedaan kultur dan cara hidup yang berbeda karena memiliki orang tua yang berbeda kewarganegaraan. 91
AbdulKadir Muhammad, Perkembangan Hukum Keluarga dibeberapa Negara Eropah, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998 ) hal.7 92 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , ( Bandung : Alumni Bandung , 1996 ), hal.66
Universitas Sumatera Utara
36
3.
Harta Benda Pada Perkawinan Campuran Persoalan mengenai harta benda dalam perkawinan sangat penting karena
salah satu faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya suatu kehidupan rumah tangga terletak kepada harta benda, walaupun kenyataan sosial menunjukkan masih adanya keretakan rumah tangga bukan disebabkan harta benda namun faktor lain, namun tidak dipunggiri bahwa harta benda merupakan penopang dari kesejahteraan suatu rumah tangga.93 Menurut ketentuan Pasal 119 KUHPerdata, sejak dilangsungkannya perkawinan antara suami istri secara hukum (van rechtswege ) terjadilah kebersamaan harta perkawinan sejauh hal tersebut tidak menyimpang dari perjanjian kawin. Dengan demikian terbukti bahwa walaupun ada kebersamaan secara bulat, tetapi ada kemungkinan bahwa barang-barang tertentu yang diperoleh suami atau istri dengan cuma-cuma, yaitu karena pewarisan secara testamentair, secara legaat atau hadiah, tidak masuk dalam kebersamaan harta kekayaan itu, tetapi menjadi milik suami pribadi atau milik istri pribadi. 94 Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 120 KUHPerdata, sedangkan dalam Pasal 35, 36 dan 37 Undang-Undang Perkawinan tentang harta benda yaitu : harta bawaan, hadiah dan warisan; harta bersama suami isteri; dan bila terjadi perceraian, harta diatur menurut hukumnya masing-masing, ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dalam Undang-Undang Perkawinan ada kewenangan yang sama pada masing-masing suami istri untuk 93 94
Tan Kamelo dan Syarifah Lisa Andriati, Op. Cit., hal. 65 Ahmad Kusari, Perkawinan SebagaiSsebuah Perikatan , (Jakarta : Rajawalipers, 1995),
hal.12
Universitas Sumatera Utara
37
mengelola (beheer) ataupun menentukan pengalihan (vevreemden) atas harta masingmasing, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing dan hal ini sesuai dengan apa yang berlaku pada hukum adat.95 Pengaturan harta benda dalam perkawinan campuran merujuk pada Konvensi HPI Den Haag mengenai hukum harta benda perkawinan yang ditandatangani pada tanggal 23 Oktober 1976 (Convention in the law applicable to matrimonial property regimes), ditentukan bahwa pertama-tama kepada suami-isteri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi harta benda perkawinan mereka. Jika mereka tidak menggunakan kesempatan ini, akan berlakulah hukum intern dari negara tempat kedua suami isteri menetapkan kediaman sehari-harinya yang pertama setelah perkawinan. Pasal 4 ayat 1 berbunyi : “if the spouses, before marriage, have not designated the the applicable law their matrimonial property regime is governed by the internal law of the state in which both sponses establish they first habitual residence after marriage ” 96 .Melalui konvensi ini tiap-tiap negara yang ikut meratifikasi mengakui adanya pilihan hukum (choice of law/rechtswahl) walaupun biasanya pilihan hukum lebih condong dipakai dalam hal kontrak (perjanjian) dengan pembatasan yaitu sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan tidak boleh
95
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, ( Jakarta : Universitas Trisakti, 2009 ), hal. 61 96 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1981) hal. 69
Universitas Sumatera Utara
38
menjelma menjadi penyelundupan hukum.
97
Untuk permasalahan harta pada
perkawinan campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata Internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR Stablaat 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga
negara Indonesia, maka tidak ada
permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-Undang Perkawinan. Perbedaan lain yang sangat mendasar mengenai harta perkawinan pada perkawinan campuran dengan perkawinan secara hukum nasional maupun hukum yang berlaku di Indonesia adalah mengenai kepemilikan harta khususnya pada harta tidak bergerak seperti kepemilikan tanah ataupun rumah setelah terjadinya perkawinan. Hal ini terjadi karena adanya larangan kepemilikan harta tidak bergerak tersebut terhadap WNA. Hal lain yang juga yang membedakan serta memberikan pengaruh mengenai harta dalam perkawinan campuran bagi wanita WNI
yaitu
terhadap asset yang dimilikinya seperti tanah dengan status hak milik, hak guna bangunan maupun hak guna usaha baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau wasiat, maka dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak-hak tersebut. 98 Pelepasan hak tersebut dapat dilakukan dengan cara menjual atau menghibahkan hak-hak atas tanah tersebut 97 98
Sudargo Gautama, Op Cit, hal. 168-170 Pasal 21 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok-Pokok
Agraria
Universitas Sumatera Utara
39
apabila telah melakukan pernikahan yang sah dengan Pria WNA. Jika jangka waktu tersebut telah lewat, maka hak-hak tersebut hapus karena hukum dan tanah-tanah tersebut jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung. 99 Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin tersebut dibuat dengan akta autentik yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil. 100 Apabila akta perjanjian kawin tersebut tidak disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum, perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran harta. Undang-Undang Perkawinan menggariskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kecuali, kedua belah pihak membuat perjanjian perkawinan untuk menghindari percampuran harta secara hukum.101 B. Kewarganegaraan Dan Kedudukan Hukum Anak Dari Perkawinan Campuran 1.
Status Kewarganegaraan Anak Dari Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Lama Sejarah mengenai kelahiran Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia
pada mulanya terbentuk karena banyaknya permasalahan-permasalahan mengenai 99
Kartini Muljadi, Hak-Hak Atas Tanah (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal 22 Pasal 29 Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974Tentang Perkawinan 101 Irma Devita, Hak Waris WNI yang menikah dengan WNA http://irmadevita.com/2012/kewarganegaraan-status-pemilikan-tanah-warisan-pada-perkawinancampuran/ diakses pada tanggal 22 September 2014 100
,
Universitas Sumatera Utara
40
kewarganegaraan yang tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku pada saat itu. Salah satu yang mengatur mengenai kewarganegaraan pada masa pasca kemerdekaan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946, namun dalam pasal-pasal tersebut tidak secara rinci mengatur mengenai WNA yang mana pada masa tersebut masih banyak WNA tinggal dan menetap di Indonesia, terutama orang-orang Belanda dan Eropah. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut pada waktu itu Republik Indonesia Serikat dengan kerajaan Belanda melakukan konfrensi meja bundar dan salah satu yang dibicarakan dan disetujui dalam konfrensi tersebut yaitu perihal pembagian warganegara dengan jalan menentukan siapa saja yang menjadi warga negara masing-masing setelah Republik Indonesia serikat berdaulat penuh dan lepas dari penjajahan kolonial Belanda. Hal ini merupakan pelaksanaan dari hak opsi kewarganegaraan yaitu mengenai hak seseorang untuk memilih atau menerima tawaran kewarganegaraan suatu negara tertentu, dan sebaliknya hak repudiasi adalah hak seorang menolak tawaran kewarganegaraan suatu negara tertentu.102 Permasalahan mengenai kewarganegaraan pada awal kemerdekaan tidak saja dialami oleh orang-orang Belanda dan Eropah namun juga bagi orang Tiongha yang saat itu masih banyak tinggal di Indonesia serta pada masa tersebut warga Tiongha memiliki dwi kewarganegaraan yang dianut oleh Pemerintahan Republik Rakyat China.
Untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut
maka
Undang-undang
Kewarganegaraan Lama disahkan pada tanggal 11 Januari 1958 diundangkan dalam
102
Soetoprawiro, Koerniamanto, Hukum kewarganegaraan dan keimigrasian, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996 ), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
41
Lembaran Negara 1958-58 pada tanggal 27 Januari 1958. Undang-Undang Kewarganegaraan Lama menganut asas ius sanguini, dimana kewarganegaraan anak yang lahir mengikuti kewarganegaraan ayahnya sesuai dengan pasal 13 ayat 1 yang menyatakan : Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bermukim dan berada di Indonesia. Keterangan mengenai bertempat tinggal dan berada diIndonesia tidak berlaku terhadap anak-anak yang ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan Lama yang lama, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi WNI tetapi tidak menutup kemungkinan juga menjadi WNA, hal ini bisa terjadi jika ayah si anak memiliki Ayah seorang WNI namun bila si Ibu yang WNA memberikan kewarganegaraannya kepada si Anak maka anak tersebut bisa menjadi WNA, 103 sebaliknya bila wanita WNI menikah dengan pria WNA maka otomatis anak dari pasangan tersebut menjadi WNA dan konsekwensi dari perkawinan ini terhadap si anak harus dibuatkan passport dan Kartu Ijin Tinggal Sementara (KITAS) jika si anak berdomisili di Indonesia. Undang-Undang Kewarganegaraan Lama bagi sebahagian kalangan dinilai masih bersifat diskriminasi terutama bagi kaum wanita WNI yang menikah dengan pria WNA sedangkan pada prakteknya perkawinan campuran di Indonesia
103
Pasal 15 ayat 2 dan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Kewarganegaran Nomor 62 Tahun
1958
Universitas Sumatera Utara
42
kebanyakan pelaku perkawinan campuran adalah wanita WNI dengan pria WNA.104 Selain itu Undang-Undang Kewarganegaraan Lama tersebut juga dianggap tidak mewadahi kesetaraan hak baik dari sisi gender, etnik, dan terutama dalam hal perlindungan anak. Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Lama, pemerintah menerapkan hal yang dikenal sebagai doktrin kesatuan hukum. Menurut undangundang ini, suami atau ayah adalah acuan utama yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan anak-anaknya.105 Hukum sebagai pedoman untuk menjalankan suatu pembaharuan dan pembaharuan tersebut agar dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological jurisprundensi yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hidup di dalam masyarakat, 106 sebab jika tidak akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan Lama yang dinilai belum cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah perkawinan campuran yang berhubungan dengan kewarganegaran serta menghadapi tantangan dari pasangan yang melakukan perkawinan campuran
serta kemudian membentuk suatu organisasi bagi pelaku
perkawinan campuran dan melalui organisasi tersebut berjuang terus menerus untuk mendapatkan keadilan kepada Badan Legislatif sehingga membutuhkan waktu sekitar 104
Hasil wawancara dengan Eni Macdonald, Ketua Organisasi Perkawinan Campuran (PerCa), Perwakilan Batam , tanggal 16 September 2014 105 Nursyahbani, Katjasungkana, Perempuan dalam Peta Hukum Negara Indonesia, (Bandung : Midzan , 1999 ), hal.71 106 Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum ,( Bandung : Mandar Maju, 2002 ) , hal. 74
Universitas Sumatera Utara
43
48
Tahun
untuk
akhirnya
dapat
melakukan
perubahan
Undang-undang
Kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. 2.
Status Kewarganegaraan Anak Dari
Perkawinan Campuran Menurut
Undang-Undang Kewarganegaraan Baru Perubahan pada Undang-undang Kewarganegaraan Baru yaitu Nomor 12 Tahun 2006 terjadi tidak terlepas dari proses pembangunan karena proses pembangunan membawa konsekwensi terjadinya proses perubahan dan pembaharuan seluruh pranata sosial yang ada, termasuk pranata hukum. 107 Perubahan UndangUndang Kewarganegaraan Baru juga merupakan salah satu dari policy atau kebijakan Pemerintah dalam hal kepentingan warganegara dan policy atau kebijakan ini tertuang dalam dokumen resmi dan bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, juga tersirat dan terkandung pokok kebijaksanaan itu, misalnya dalam Undangundang, PP, Kepres dan lain-lain.
108
Dengan berlakunya Undang-Undang
Kewarganegaraan Baru yang digunakan sebagai sarana implementasi kebijakan publik dikarenakan Undang-Undang Kewarganegaraan Baru yang merupakan perangkat hukum dan memiliki beberapa kelebihan yaitu hukum bersifat rasional, integratif, memiliki legitimasi, didukung oleh adanya mekanisme pelaksanaan dan memiliki sanksi.109
107
Bambang Sugono, Hukum dan Kebijakan Publik, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1994 ), hal. 104 Solly Lubis, Kebijakan Publik, ( Bandung : Bandar Maju, 2007 ), hal.5 109 Mulyana W Kusumah dan Paul S. Baut “Hukum Politik dan Perubahan Sosial ( Jakarta : YLBHI, 1997 ), hal.10 108
Universitas Sumatera Utara
44
Undang-Undang Kewarganegaraan Baru menganut beberapa asas khusus yaitu110 : a. Asas kepentingan Nasional yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan nasional Indonesia dan bertekad mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia namun tidak menyampingkan tujuan dan cita-cita sebagai Negara Kesatuan. b. Asas perlindungan maksimum, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan penuh kepada seluruh WNI dalam keadaan apapun baik berada didalam maupun di luar negeri c. Asas persamaan didalam hukum dan pemerintahan yang bertujuan bahwa setiap WNI mendapat perlakuan yang sama dibidang hukum dan pemerintahan. d. Asas kebenaran substansif yang bertujuan bahwa untuk mengajukan prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat admininstratif tetapi juga disertai juga substansi dan persyaratan permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan permohonannya. e. Asas non diskriminatif dengan tujuan tidak membedakan perlakuan terhadap warga negara atas dasar suku,ras maupun golongan , jenis kelamin dan gender. f. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dengan tujuan masing-masing Negara wajib menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan warga negara pada khususnya. g. Asas keterbukaan yaitu asas yang bertujuan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka h. Asas publisitas adalah asas yang bertujuan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan RI.
Perbedaan antara Undang-Undang Kewarganegaraan
Lama dan Undang-
Undang Kewarganegara Baru, kedua asas pokok mengenai kewarganegaraan yaitu asas ius sanguini dan ius soli diakui dalam sistim Undang-Undang Kewarganegaraan Baru. Menentukan seseorang dapat menjadi warganegara suatu negara atau tidak, dengan menggunakan asas ius sanguini dan ius soli tidak dapat dilepaskan dari 110
Bahan sosialisasi Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
Universitas Sumatera Utara
45
keadaan-keadaan yang menjadi latar belakang penentuan itu, yaitu keinginan pembentuk
negara
atau
pemerintah
masing-masing
negara
menjadikan
warganegaranya sebagaimana yang mereka kehendaki dan dicita-citakan. 111 Dalam hal kewarganegaraan bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran diberikan kemudahan yaitu dengan memberikan kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak perkawinan campuran yang lahir setelah tanggal 1 Agustus 2006, dimana setelah berusia 18 (delapan belas) tahun diwajibkan untuk memilih salah satu kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat yang berwenang dengan melampirkan dokumen-dokumen yang ditentukan dalam perundang-undangan dalam kurun waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. 112 Adapun tujuan dari kewarganegaraan ganda terbatas adalah untuk menghindari supaya anak yang lahir dari perkawinan campuran tidak kehilangan kewarganegaraannya.113 Status kewarganegaraan adalah penting bagi setiap individu tidak terkecuali bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran dan sudah menjadi hak individu tersebut
untuk
memilih
status
kewarganegaraanya.
Alasan
pentingnya
kewarganegaraan dalam hukum internasional adalah sebagai berikut 114 :
111
B.P Paulus, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 ( Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa ), Cetakan 1, ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1983 ), hal.41 112 Pasal 9 Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 113 Hasil wawancara dengan Cahyono, Hakim di Pengadilan Negeri Batam pada tanggal 7 Okotber 2014 114 J.G Starke, Hukum Internasional 1, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2001 ), hal. 25
Universitas Sumatera Utara
46
1) Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri atribut esensial kewarganegaraan. Negara bertanggung jawab melindungi warganya yang berada di luar negeri 2) Negara dimana seseorang merupakan warga negaranya menjadi bertanggung jawab kepada negara yang satu lagi jika gagal dalam kewajibannya untuk mencegah tindakan-tindakan salah tertentu yang dilakukan oleh orang ini atau gagal menghukumnya setelah tindakan tindakan salah ini dilakukan. 3) Secara umum, suatu negara tidak boleh menolak atau menerima kembali warganegaranya sendiri di wilayahnya. 4) Nasionalitas berhubungan erat dengan kesetiaan, dan salah satu hak utama dari kesetiaan adalah kewajiban untuk dinas militer di negara terhadap mana kesetiaaan itu di baktikan. 5) Suatu negara mempunyai hak luas, kecuali adanya traktat khusus yang mengikatnya untuk melakukan hak itu, untuk menolak pengekstradisian warganya kepada negara lain yang meminta penyerahannya. Berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan Baru serta dicabutnya Undang-Undang Kewarganegaraan Lama, pada saat sosialisasi diberikan kesempatan serta juga diberikan kelonggaran bagi pasangan yang memiliki anak dibawah umur yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan Baru untuk melakukan pembaharuan atau istilah umum disebut dengan pemutihan untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda, dan waktu yang diberikan dari bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Oktober 2006.115 3.
Kedudukan Hukum Anak Dari Perkawinan Campuran
a.
Anak Sebagai Subjek Hukum Subjek hukum (rechts subyek) berkaitan erat dengan kecakapan hukum.
Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam
115
Hasil wawancara dengan Eni Macdonald, Ketua Organisasi Perkawinan Campuran (PerCa), Perwakilan Batam , tanggal 16 September 2014
Universitas Sumatera Utara
47
hal telah mencapai paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah. 116 Pengertian subjek hukum menurut Algra adalah ”setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subjek dari hak-hak”. 117 Subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 118 Dalam hukum perdata subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan hukum disebut sebagai orang (persoon) yaitu pembawa hak dan kewajiban. 119 Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum berawal ketika ia dilahirkan dan berakhir ketika ia meninggal dunia. Setiap penyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Pada umumnya sekalipun setiap orang mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban.120 Subjek hukum orang, yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap bertindak disebut personal miserabile.121
116
Pasal 1 ayat 2 KUHPerdata, Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006 ), hal. 36-37 118 Ibid 117
119
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia ( Jakarta : Djambatan, 2008 ), hal. 22
120
Rachmadi Usman, op cit, hal .83 Sudikno Mertokusumo, op cit, hal.61
121
Universitas Sumatera Utara
48
Pengaturan dalam Kitab Hukum Perdata mengenai seseorang dapat menjadi subjek hukum atau tidak yaitu122 : 1). Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa dan belum menikah 2). Orang yang berada dalam pengampuan misalnya orang yang sakit mental 3). Orang perempuan dalam perkawinan Status sebagai subjek hukum pada anak yang lahir dari perkawinan campuran tergantung kepada status hukum yang disandangnya. Hal ini kembali ke status perkawinan kedua orang tua, jika memang perkawinan tersebut dilangsungkan secara sah menurut hukum maka anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran juga akan diakui secara sah oleh hukum. Pengesahan perkawinan campuran maupun diluar perkawinan campuran secara hukum bertujuan untuk adanya ketertiban terutama dalam hal hukum perkawinan, karena tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban (order), disamping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.123 Terkait mengenai batas kedewasaan sebagai syarat untuk menjadi subjek hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan campuran, peraturannya tidak berbeda dengan anak yang lahir dari perkawinan lainnya selama perbuatan hukum tersebut dilakukan di wilayah hukum atau tunduk pada hukum Indonesia, namun terdapat berbagai pernyataan yang berbeda mengenai batas usia dewasa, baik secara hukum perdata, hukum perkawinan maupun dalam hukum perlindungan anak. Batas 122
Pasal 1330, KUHPerdata Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Cetakan I (Bandung : Pusat Studi Wawasan Nusantara, 2002 ), hal.4 123
Universitas Sumatera Utara
49
kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain, apakah anak, orang tua si anak atau wali si anak. Jadi seseorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri atas apa yang dilakukan jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu perbuatan hukum.
124
Menurut
KUHPerdata
batas
dewasa
dihubungkan
dengan
kebelumdewasaan yaitu mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin, 125 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Kewarganegaraan Baru Nomor 12 Tahun 2006 dan Konvensi Hak Anak batas usia dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun. Beberapa negara juga memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun.126 Pasal 419 KUHPerdata menentukan, dengan pendewasaan, seorang anak yang dibawah umur boleh dinyatakan dewasa, atau kepadanya boleh diberikan hak–hak
124 Djuhaendah Hasan, Masalah Kedewasaan Dalam Hukum Indonesia, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran , 2000 ) , hal.7 125 Pasal 330, KUHPerdata 126 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice , ( Bandung : Refki Aditama, 2009), hal. 34-35
Universitas Sumatera Utara
50
tertentu orang dewasa. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa ada 2 (dua) macam pendewasaan yaitu : 127 a). Pendewasaan penuh (Pasal 420 KUHperdata). Pendewasaan penuh diberikan dengan surat pernyataan dewasa (venia aetatis) kepada orang yang telah mencapai umur 20 (dua puluh) tahun oleh Kepala Negara melalui Menteri Kehakiman setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. Akibatnya orang yang dinyatakan dewasa penuh mempunyai kedudukan yang sama seperti orang dewasa (pasal 424 ayat 1 KUHperdata). Kecuali untuk kawin masih memerlukan izin orang tua/ wali. Juga dapat ditentukan bahwa untuk menjual barang tidak bergerak miliknya memerlukan izin Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya. 128 b).Pendewasaan terbatas (Pasal 426 KUHperdata). Pendewasaan terbatas ini diberikan kepada mereka yang telah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun oleh pengadilan negeri setempat atas permintaan yang bersangkutan, namun dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, lembaga pendewasaan ini tidak berfungsi lagi. b. Hak-Hak Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari perkawinan Campuran Anak-anak yang sah lahir karena dan dalam perkawinan yang sah antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki baik yang berbeda kewarganegaraan , karena itu antara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah itu timbul hubungan hukum dengan orangtunya yaitu Ibu dan Bapaknya . Hubungan hukum itu yang menimbulkan hak dan kewajiban antara anak dengan orangtua atau sebaliknya. 129 Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orangtua dan anak dalam Bab X meliputi pasal 45,46,47,48 dan pasal 49.
127
Djaja S. Meliala, op cit, hal. 24 Achmad Ichsan, Hukum Perdata I A, ( Jakarta : PT. Pembimbing Masa, 2001 ), hal. 81 129 Rusdi Malik, Op cit, hal.75 128
Universitas Sumatera Utara
51
Anak dalam hukum memiliki hak-hak yang dilindungi meskipun baru terlahir kedunia, salah satu hak yang hakiki adalah hak untuk hidup layak dan mendapatkan kesejahteraan dari kedua orangtuanya. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang asas dan tujuan perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut: Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak anak meliputi: 1) Non diskriminasi 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak 3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan 4) Penghargaan terhadap anak. Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera. Perlindungan hukum terhadap anak baik bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran bukan semata-mata hanya perlindungan jasmani saja tetapi juga termasuk akan perlindungan terhadap hak-hak dari anak itu sendiri. Perlindungan hukum adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap ataupun segenap warganegara
Universitas Sumatera Utara
52
dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan tertib.130 Perlindungan hukum mengenai hak tersebut adalah untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan anak. Mengenai masalah pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah menyatakan serta mengaturnya dalam Pasal 41 sub B, bahwa yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana ayahnya dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu wajib memikul biaya tersebut. Pada hakikatnya biaya pemeliharaan dan pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari ayah sebagai kepala keluarga meskipun telah terjadi perceraian dan dalam suatu perkara perceraian biasanya pihak suami masih lebih memiliki keuangan yang lebih dari pihak isteri dengan cara mempertahankan harta kebersamaan sementara si isteri dengan proses perceraian yang cukup memakan waktu serta dengan keadaan yang tidak stabil memungkinkan mengalami kondisi keuangan yang sulit.131 Negara-negara yang menganut sistim hukum common law, pemeliharaan anak diserahkan kepada ayahnya, dan dia dapat melaksanakan hak pemeliharaan yang dikecualikan dari istrinya. Ayah hanya akan hilang hak pemeliharaannya dalam keadaan yang sangat
130
Indradi Kusuma, Kewarganegaraan Indonesia, (Jakarta : Nuansa Advertising, 2002 ),
hal.106 131
AB Loebis, Undang-Undang Perkawinan Yang Baru ( Komentar dan Analisa ), ( Jakarta : Lokacitra, 1974 ), hal.52
Universitas Sumatera Utara
53
luar biasa, misalnya jika ia
bertindak memperburuk dan merusak moral anak
sehingga tidak pantas diberi hak pemeliharaan.132 Perlindungan hak asasi anak dalam dunia international juga diakui, hal ini sejalan dengan dideklarasikannya 10 (sepuluh) hak asasi anak yang dimuat dalam Konvensi Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child) yaitu 133 : a) Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak. b) Setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup. c) Negara menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak. d) Bagi anak yang terpisah dari orangtuanya, berhak mempertahankan hubungan pribadi’ dan kontak langsung secara tetap e) Setiap anak berhak mengembangkan diri, menyatakan pendapatnya secara bebas, kemerdekaan berpikir dan beragama f) Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, perlakuan salah, termaksud penyalahgunaan seksual g) Setiap anak berhak mendapat Pelayanan kesehatan, perawatan dan pemulihan kesehatan, dengan sarana yang sebaik-baiknya h) Setiap anak berhak mendapat pendidikan dasar secara cuma-cuma, yang dilanjutkan pendidikan menengah, umum, kejuruan, pendidikan tinggi sesuai sarana dan kemampuan i) Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, perlindungan atau perawatan kesehatan rohani dan jasmani secara berkala dan semaksimal mungkin j) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam rekreasi yang sesuai dengan usia anak. Pokok-pokok pemikiran mengenai hak asasi anak dalam konvensi tersebut di tuangkan dalam undang-undang mengenai perlindungan anak, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 132
AbdulKadir Muhammad, Op cit, hal.40 Prayogo P, Aplikasi Hukum Pada Perlindungan Anak Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum, Vol.XXI/No.4/April-Juni/2013, Edisi Khusus, hal.21 133
Universitas Sumatera Utara
54
Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak. Selain itu juga ada beberapa badan hukum maupun komisi perlindungan anak yang fungsinya untuk menampung permasalahan terutama permasalahan mengenai anak tidak terkecuali permasalahan mengenai anak yang lahir dari perkawinan campuran. c.
Status Hukum Anak Dengan Kewarganegaraan Ganda Kewarganegaraan dalam Hukum Perdata Internasional erat kaitannya dengan
status personal. Pada madzab Italia status personal dibagi menjadi 3 (tiga) kaidahkaidah HPI yaitu : statuta personalia, statuta realita, dan statuta mixta. Statua personalia adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi; statuta realita adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengatur tentang benda tetap; sedangkan statuta mixta (campuran), adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengatur tentang bentuk dari suatu perbuatan hukum. 134 Status personal juga di dianggap sebagai suatu kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan atau diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personil ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap tindak di bidang hukum, yang unsurunsurnya tidak dapat diubah atas kemauan pemiliknya.135 Perjanjian Internasional tentang hak sipil dan politik dan Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa setiap anak, dimanapun dilahirkan, harus segera didaftarkan 134
Djasadin Saragih, Dasar-Dasar Hukum Perdata International, (Bandung : Alumni, 1974),
hal. 33-35 135
Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto Susilo, Op Cit, hal.15
Universitas Sumatera Utara
55
setelah lahir. Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh kewarganegaraan. Kewarganegaraan seorang anak akan ditentukan menurut hukum dari negara yang bersangkutan, dan semua negara memerlukan penjelasan tentang dimana anak itu dilahirkan dan dari siapa dilahirkan. Tanpa bukti kelahiran ini, atau tanpa adanya pendaftaran kelahiran yang diakui, maka sulit bagi anak untuk menegaskan identitas diri serta memperoleh kewarganegaraan. 136 Demikian juga dengan anak yang lahir dari perkawinan campuran, untuk keperluan status hukumnya maka harus dilakukan pendaftaran kelahirannya menurut hukum perkawinan yang telah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Pendaftaran kelahiran merupakan suatu persyaratan administrasi untuk mendapatkan statusnya sebagai anak dibawah umur yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.137 Status hukum terkait dengan status personal bagi anak dibawah umur yang memiliki
kewarganegaraan
ganda
telah
diatur
dalam
Undang-Undang
Kewarganegaraan Baru dimana undang-undang ini menganut asas persamaan derajat sehingga baik suami maupun istri berhak menentukan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan, yang membawa konsekwensi anak memiliki kewarganegaraan ganda terbatas.138Isi dan jangkauan mengenai status personal ada 3 (tiga) yaitu :139
136
Marilyn Achiron, Kewarganegaraan dan Tak berkewarganegaraan, Buku Panduan untuk Anggota Parlemen, UNHCR & Presses Centrales de Lavsanne, Switzerland, tth., 6, hal.37 137 Pasal 41 Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 138 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, ( Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer,2007), hal.669 139 http://indahpangestu.wordpress.com/2012/10/10/hukum-perdata-international/diakses 8 Oktober 2014
Universitas Sumatera Utara
56
1) Konsepsi luas mengartikan status personil meliputi berbagai hak permulaan/lahir dan terhentinya/mati, kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, soal-soal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan perkawinan. 2) Konsepsi yang agak sempit, seperti yang dianut negara Perancis, tidak menganggap sebagai status personal : hukum harta benda perkawinan, pewarisan dan ketidakmampuan dalam bertindak dibidang hukum dalam hal khusus. 3) Konsepsi yang lebih sempit, sama sekali tidak memasukkan hukum keluarga dan pewarisan dalam jangkuan status personal. Penerapan dari status hukum kepada anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda berhubungan dengan status personal yang disandangnya, yaitu bisa mendapatkan passport Indonesia khususnya bagi anakanak yang lahir setelah Undang-Undang Kewarganegaraan Baru berlaku. Apabila dikaitkan lebih jauh dengan sistim HPI yang berlaku di Indonesia dimana sistim tersebut merupakan sebuah warisan dari sistem HPI yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan asas konkordansi, dimana pengaturan mengenai status personal terdapat dalam pasal 16 Algemene Bepalingen Van Wetgeving (Selanjutnya disebut AB), yang berasal dari pasal 6AB Belanda yang menyalin lagi dari Pasal 3 ayat 3 code civil Perancis.140 Sumber hukum tertulis HPI Indonesia hanya berdasarkan pasal 16AB, 17AB dan 18 AB yang meyebutkan141 : a) Pasal 16AB : tentang status dan wewenang seseorang. Dalam hal ini berlaku hukum nasional warga negara yang bersangkutan (asas lex patrie) b) Pasal 17AB : tentang benda-benda tetap atau tidak bergerak (lex resitae), berlaku hukum dari negara dimana benda itu bergerak. 140
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid 3, ( Bandung : Alumni ,
1981), hal.2 141
Ibid
Universitas Sumatera Utara
57
c) Pasal 18AB : tentang cara atau tindakan hukum/perbuatan-perbuatan hukum yang berlaku adalah hukum dari negara dimana cara dilakukan (locus regit actum) Pasal
16
AB
menyatakan
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
mengenai status dan wewenang orang-orang tetap mengikat WNI jikalau mereka di luar negeri. Berdasarkan pasal tersebut dinyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan dalam menentukan status personal seseorang. Hal ini berarti jika seorang anak dibawah umur yang berada di luar negeri dibuktikan dengan memakai passport Indonesia, maka sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personal-nya tetap berlaku hukum nasional Indonesia. Sebaliknya menurut yurisprudensi, bagi orang-orang asing yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut termasuk dalam lingkup status personal, antara lain mengenai perkawinan dan perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian, kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak di bawah umur dan lain-lain. Karena pasal 16 AB merupakan kaidah penunjuk sepihak (eenzijdige verwijingregels). C. Penentuan Perwalian Bagi Anak Dibawah Umur Yang Memiliki Kewarganegaraan Ganda. 1.
Pengertian Perwalian Perwalian dapat terjadi dalam perkawinan karena adanya perceraian atau
karena kematian dari salah satu pasangan yang terikat dalam perkawinan. Sebelum perwalian terjadi, anak-anak berada didalam kekuasaan orang tuanya namun jika orangtuanya melepaskan tanggung jawab dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
Universitas Sumatera Utara
58
mengurus anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua baik salah satu dari nya atau keduanya terhadap anak dapat dicabut. Sementara anak yang dicabut kekuasaan orangtuanya dapat pada seorang anak saja atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dalam keputusan lain.142 Secara etimologi, kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak awliya yang berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah teman, sanak atau pelindung. Menurut literatur fiqih Islam, perwalian disebut dengan istilah Al-walayah yang berarti orang yang mengurus atau menguasai sesuatu, sedangkan Al-wali adalah orang yang mempunyai kekuasaan.143 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perwalian berasal dari kata ”per” berarti satu, sedangkan ”wali” orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu.144 Pendapat mengenai pengertian perwalian bermacam-macam jika di tinjau dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Sri Widoyati pengertian perwalian yaitu ”seorang anak yang menurut undang-undang dinyatakan belum dewasa dan belum dapat melakukan suatu perbuatan hukum, maka anak tersebut harus diwakili oleh orangtua atau keluarga adat dari salah satu orang tua tersebut yang cakap melakukan perbuatan hukum”. 145 Dalam hal ini Sri Widoyati mengkaitkan perwalian dengan sistim hukum adat yang parental dimana wali yang ditunjuk tidak memandang dari 142
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, ( Yogyakarta : Liberty, 1986), hal.57 143 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam , ( Jakarta : PT.Raja Grafindo, 2001 ), hal.134 144 Alhabsyi Husen, Kamus Alkausar, ( Surabaya : Darussagaf , 1977 ) , hal.1267 145 Sri Widoyati, Anak dan Wanita Dalam Hukum, ( Jakarta : LP3ES, 1983 ), hal.48
Universitas Sumatera Utara
59
keluarga ibu atau ayah jika keduanya meninggal dan untuk mengurus anak-anaknya hanya yang dianggap telah cakap. Kasus seperti ini banyak terjadi pada sistim hukum adat yang berlaku di Aceh, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Pendapat lain mengenai arti perwalian menurut Subekti mengatakan bahwa ” perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa
atau belum akhil-balig dalam
melakukan perbuatan hukum”. 146 Perwalian menurut KUHPerdata yaitu pada pasal 330 ayat 3(tiga) menjelaskan ”mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada diperwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dan terperinci diuraikan
dalam bagian kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam”.
Pengaturan tentang perwalian dalam KUHPerdata sangat mendetail tidak seperti dalam Undang-Undang Perkawinan yang sangat sederhana, walaupun dengan tegas dikatakan dalam pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa anak yang belum berumur 18(delapan belas) tahun bila tidak dibawah kekuasaan orang tua, harus berada dibawah perwalian.147 Pengaturan perwalian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak secara jelas menerangkan jika salah seorang orang tua meninggal atau terjadi perceraian mengenai berpindahnya perwalian anak dan siapa yang menjadi walinya sehingga perlu peranan yurisprudensi sebagai bagian dari mengisi kekosongan hukum sistim hukum Indonesia yang menganut civil law yaitu bentuk hukum yang tertulis dan
146 147
Soedoaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, ( Jakarta : Sinar Grafika , 1992 ), hal.60 Rusdi Malik, Op cit, hal.87
Universitas Sumatera Utara
60
kodifikasi seperti Undang-undang Perkawinan, yang memungkinkan dengan kodifikasi hukum belum mampu untuk menampung semua permasalahan dalam masyarakat termasuk didalamnya permasalahan mengenai perwalian. Oleh sebab itu pengisian mengenai kekosongan hukum perlu dilakukan yang salah satu dapat melakukannya yaitu hakim, karena bila di telaah lebih lanjut mengenai perwalian dalam Udang-Undang Perkawinan, kekuasaan orang tua itu dapat dilaksanakan hanya oleh satu orang tua dari saja baik Ayah maupun hanya Ibu.148 Perwalian diperlukan dalam hal ditinjau dari kedudukan (status) anak, yaitu terhadap anak sah, anak yang diakui sah dan pada anak alam atau anak sumbang Dalam perkawinan campuran bahwa perwalian hanya dapat diberikan jika anak yang lahir dari perkawinan tersebut adalah anak sah ataupun anak yang diakui sah. Untuk anak sah maka perwalian diperlukan apabila149 : a. b. c. d.
Salah seorang atau kedua-duanya orang tua meninggal dunia, Diantara kedua orang tuanya terjadi perceraian Orang tuanya dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua Salah seorang atau kedua-duanya dari orangtuanya berada dalam keadaan tidak hadir (afwezig) Dengan timbulnya perwalian, maka wali dapat dibedakan menjadi 5 (macam)
macam yaitu150 : 1) Wali Menurut hukum ialah seorang yang dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anak yang dibawah umur. Atas kedudukan sebagai wali tersebut tidak diperlukan keputusan atau penetapan Pengadilan Negeri, tetapi kedudukan itu diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang.
148
Ibid Syahril Sofyan, Makalah Kuliah Hukum Keluarga, hal.42 150 Ibid 149
Universitas Sumatera Utara
61
2) Wali yang diangkat berdasarkan keputusan/penetapan Pengadilan Negeri, hal ini diberikan karena terjadinya perceraian, dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua dan karena ketidak-hadiran (afwezig) 3) Wali yang ditunjuk berdasarkan surat wasiat. Seseorang dapat mengangkat atau menunjuk seorang lainnya menjadi wali dari anak dibawah umur yang berada dibawah kekuasaannya sebagai orang tua atau perwaliaannya sesuai dengan ketentuan pasal 355 KUHPerdata. 4) Perwalian yang diperintahkan kepada perkumpulan-perkumpulan, yayasanyayasan atau badan sosial yang telah berstatus sebagai badan hukum. Untuk wali ini diangkat berdasarkan keputusn/ketetapan Pengadilan Negeri karena untuk berfungsinya suatu perkumpulan, yayasan atau badan sosial yang berstatus badan hukum sebagai wali memerlukan keputusan atau ketetapan dari Pengadilan Negeri, yang membedakannya bahwa yang diangkat bukan manusia, tetapi adalah suatu badan hukum yang oleh hukum dianggap sebagai pendukung hak dan kewajiban. 5) Wali sementara, yaitu wali yang berfungsi sebelum wali definitif ditentukan atau diangkat oleh Pengadilan Negeri dengan tujuan supaya anak dibawah umur jangan sampai berada dalam keadaan ketiadaan wali, yang mengakibatkan tidak terselenggaranya kepengurusan yang berhubungan dengan kepentingan dari anak yang dibawah umur. 2.
Persyaratan
Penerima Perwalian Yang Dikhususkan Bagi Pasangan
Berbeda Kewarganegaraan Perbedaan kewarganegaraan bukan menjadi suatu penghalang bagi pasangan yang telah bercerai dalam hal mendapatkan hak perwalian anak, namun untuk mendapatkan hak perwalian tersebut harus berpedoman kepada hukum yang telah mengatur. Dalam hal perbedaan kewarganegaraan maka negara memiliki peran untuk melindungi kepentingan warganegaranya termasuk masalah hak individu yang tidak ada satupun hak abslut.151 Ini berarti bahwa hak perwalian anak tidak mutlak dimiliki oleh pihak yang memiliki kewarganegaran yang sama dengan dimiliki oleh anak dibawah umur ataupun karena hukum yang dipakai mengikuti kewarganegaraan salah
151
Morris Ginsberg, Op cit, hal.186
Universitas Sumatera Utara
62
satu pasangan maka hak perwalian tidak lantas diberikan karena alasan kewarganegaraan. Peranan Hakim dalam memutuskan hak perwalian terhadap pasangan yang telah bercerai dalam perkawinan campuran sangat berpengaruh serta sangat dituntut kebijaksanaan serta pertimbangan yang benar-benar mewakili kepentingan dari anak, sehingga dapat dikatakan bahwa masa depan anak ada ditangan Hakim dalam memutus hak perwalian bagi anak tersebut. Ditinjau dari macam-macam perwalian yang telah dibahas sebelumnya, maka perwalian yang menjadi titik fokus pembahasan adalah perwalian karena putusan pengadilan akibat terjadinya perceraian pada pasangan yang melakukan perkawinan campuran. Dalam perwalian ini maka hanya ada dua pihak yang dapat ditunjuk atau sebagai penerima hak perwalian, yaitu Ibu atau Ayah dari anak dibawah umur dan kedua belah pihak masing-masing berbeda kewarganegaraan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama untuk dapat mengajukan sebagai penerima hak perwalian namun untuk mendapatkan hak perwalian beberapa persyaratan harus dipenuhi bagi pihak-pihak tersebut. Untuk masalah pengaturan perwalian bagi pelaku perkawinan campuran maka ketentuannya mengikuti apa yang telah dirumuskan dalam KUHPerdata. 152 Dasar persyaratan sebagai penerima hak perwalian yang dirangkum dari ketentuan perwalian yang dirumuskan dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan yaitu153 :
152 153
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , ( Jakarta : Rineka Cipta, 2005 ), hal. 205 Pasal 382 KUHPerdata dan Pasal 51 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
63
a. b. c. d. e. f.
Berkelakuan baik dan mempunyai itikad baik untuk menjadi seorang wali Cakap melakukan perbuatan hukum, karena seorang wali akan mewakili kepentingan anak dalam hal melakukan perbuatan hukum Mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan anak, sehingga anak tidak akan mempunyai rasa takut dan merasa aman Berpikiran sehat, adil, jujur sehingga diharapkan tidak akan merugikan anak baik secara lahir maupun batin Mampu memberikan pelayanan pendidikan dan pemeliharaan demi masa depan anak Mampu memenuhi kebutuhan anak, baik sandang,pangan dan papan Kemampuan dalam hal keuangan juga menjadi salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi karena terkait dengan kepentingan anak tersebut dalam hal untuk mendapatkan kehidupan yang layak serta juga bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang bagus untuk masa depan anak terutama jika anak tersebut harus mengikuti domisili yang menerima perwalian dimana masih sangat asing bagi anak tersebut serta perbedaan kultur dan budaya sehingga anak merasa terasing, hal ini pastinya akan dapat mempengaruhi faktor perkembangan anak kelak. Apabila penerima perwalian tidak mampu memberikan serta menjamin kehidupan layak bagi anak dibawah umur maka akan sulit diberikan hak wali tersebut.154 3.
Penentuan Perwalian Bagi Anak Dibawah Umur Yang Memiliki Kewarganegaran Ganda. Penentuan perwalian anak sepenuhnya ada ditangan hakim jika memang
perwalian terjadi karena perceraian. Hakim yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan di masyarakat dalam mengadili setiap permasalahan dalam suatu kasus di pengadilan harus memiliki dasar-dasar pertimbangan yang kuat serta tidak memihak kepada salah satu pihak saja serta hakim harus mengadili perkara 154
Linda Alfi Luftinda , Makalah Hukum, Masalah Perceraian dan Hak Asuh Anak, ( Kudus : STAIN, 2011 ), hal.5
Universitas Sumatera Utara
64
berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku serta berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya dengan mengingat akan kebebasan yang dimiliki hakim dalam memeriksa serta memutus suatu perkara. 155 Hak perwalian yang ditetapkan melalui putusan hakim yaitu yang merupakan pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak.156 Ada beberapa asas-asas putusan yang harus diperhatikan oleh seorang hakim dalam membuat suatu putusan antara lain157 : a. b. c. d.
Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci Wajib mengadili seluruh bagian gugatan Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan Diucapkan dimuka pihak-pihak yang berperkara dan yang dihadiri saksi dalam persidangan. Putusan hakim dalam hak perwalian anak yang lahir dari perkawinan
campuran tidak saja menjadi putusan yang diberlakukan dalam suatu negara tetapi karena menyangkut perbedaan kewarganegaraan maka putusan tersebut juga akan berlaku atau setidaknya mempengaruhi kedudukan dan status hukum anak tersebut dinegara mana nantinya anak tersebut akan berdomisili, walaupun secara umum di akui bahwa putusan-putusan pengadilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja.158 Namun bila ditinjau lebih dalam, bagaimana juga putusan
155
Achmad Ali, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, ( Jakarta : BP Iblam, 2004), hal.243 156 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Yogyakarta : Liberty, 2002), hal.201 157 Ibid 158 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, ( Bandung : Alumni, 1985), hal. 281
Universitas Sumatera Utara
65
hakim yang memberikan hak perwalian terhadap anak dibawah umur yang memiliki kewarganegaraan ganda pastinya akan sangat mempengaruhi status hukum dari anak tersebut baik jika anak tersebut berada dalam wilayah negara hukum yang memutuskan ataupun diluar negara hukum tersebut, salah satu pengaruh tersebut adalah mengenai hak waris pada anak yang lahir dari perkawinan campuran setelah hak perwalian ditetapkan. Premis hakim dalam memutus perkara mengenai hak perwalian, hakim dianggap mengetahui semua hukum atau curia novit just, 159 dan akibat hukum dari putusan yang telah ditetapkan benar-benar mewakili keadilan bagi pihak-pihak yang terkait. Hakim tidak boleh membaca atau memutus hukum secara normatif saja, tetapi dituntut melihat hukum melalui putusannya secara dalam dan lebih luas serta jauh kedepan, karena putusan tersebut berlaku sampai anak tidak memerlukan perwalian lagi. Hakim juga harus melihat hal-hal yang melatarbelakangi untuk membuat ketentuan-ketentuan tertulis dalam putusannya disertai pemikiran yang ada dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran hidup yang berlaku dalam masyarakat setempat.160 Pada hakikatnya, dalam menangani perkara hak perwalian pada perkawinan campuran, tidak menutup kemungkinan bahwa hakim akan mendapat kesulitan dalam putusannya disebabkan tidak ada Undang-undang tertulis yang mengatur.161 Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa ”kegiatan manusia sangat luas serta tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak memungkinkan hal tersebut tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan jelas, maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia sehingga tidak ada peraturan 159
Sudikno Mertokusumo, Hukum Suatu Pengantar, ( Yogyakarta : Liberty, 1999 ), hal.10 Sugianto Darmadi, Kedudukan Hukum Dan Ilmu Dan Filsafat, (Bandung : CV Bandar Madju, 1998 ), Hal.22-23 161 Hasil wawancara dengan Cahyono, Hakim di Pengadilan Negeri Batam pada tanggal 7 Okotber 2014 160
Universitas Sumatera Utara
66
perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya yang dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu hukum tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan”.162 Dengan demikian dalam hal mencari penyelesaian untuk memberikan keputusan hak perwalian, maka hakim setelah memeriksa perkara yang diajukan kepadanya dan untuk itu dia wajib mencari dan menemukan hukum objektif dan materiil yang hendak diterapkan dalam menyelesaikan sengketa dan dalam penyelesaian sengketa tidak boleh berdasarkan perasaan atau pendapat subjektif hakim namun harus berdasarkan hukum objektif atau materiil yang hidup dalam masyarakat.163 Pertimbangan mengenai moral dan karakter dari seorang wali dalam menerima hak perwalian juga menjadi masukan bagi seorang hakim untuk memutuskan kepada siapa hak perwalian diberikan, karena dengan faktor keuangan yang mencukupi belum menjamin kehidupan anak lebih baik bila ternyata anak kurang kasih sayang, sehingga hakim dalam hal ini perlu untuk menerapkan asas kemanfaatan bagi anak. 164 Sisi dari asas kemanfaatan dalam hak perwalian lebih diutamakan karena menyangkut masa depan dari anak tersebut sehingga sebelum memutuskan untuk menetapkan hak perwalian maka hakim juga mempertimbangkan mengenai faktor kedekatan anak dengan orangtuanya. Karena persoalan kecukupan materi bukanlah merupakan prioritas utama untuk menjadi seorang wali jika nantinya anak kurang kasih sayang ataupun juga tidak mendapat pengajaran yang baik menyangkut moral dan kepribadian anak.165
162
Sudikno Mertokusumo, Op cit, hal. 37 M Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005 ), hal.20 164 Hasil wawancara dengan Cahyono, Hakim di Pengadilan Negeri Batam pada tanggal 7 Okotber 2014 165 Ibid 163
Universitas Sumatera Utara