BAB II PENDIDIKAN PEMBEBASAN PAULO FREIRE
A. KONSEP MANUSIA MENURUT PAULO FREIRE Paulo Freire dalam memandang hakekat manusia cenderung menganut filsafat eksistensialisme. Dimana aliran ini sangat menjunjung tinggi pengalaman personal, karena dalam pengalaman personal, manusia dilengkapi dengan kesadaran yang bersifat langsung dan subyektif. Manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan dan ia bertanggung jawab atas masa depannya, yaitu atas dirinya sendiri dan seluruh manusia. Aliran ini mengajak manusia untuk memberontak terhadap segala hal yang merampas sisi kemanusiaan manusia dan menjadikan manusia sebagai subyek bagi perubahan terhadap dunia.1 Menurut Freire, fitrah manusia adalah menjadi pelaku atau subyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta. Manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga punya naluri, tetapi manusia mempunyai kesadaran (consciousness). Manusia juga memiliki kepribadian dan eksistensi.2 Manusia bukan subyek yang
1
Abdurrachman Assegaf dan Suryadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat, (Yogyakarta: Gama Media, 2008). Hlm. 64. 2 Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang memanusiakan, dalam Omi Intan Naomi (ed), Menggugat Pendidikan Konservatif, Liberal dan Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. III, 2001), hlm. Viii.
34
35
tanpa batas, tetapi dengan kesadaran manusia menjadi subyek yang mampu mengatasi keterbatasannya. Manusia adalah penguasa atas dirinya dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan bebas.3 B. CONSCIENTIZACAO
(KESADARAN)
SEBAGAI
TUJUAN
PENDIDIKAN PAULO FREIRE Conscientizacao4 adalah tujuan pendidikan Paulo Freire yang mengemban amanat pembebasan, yang dengan amanat itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Pembebasan yang bermakna transformasi atas sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi negatif dari para pelakunya. Kesadaran manusia tidak muncul dengan sendirinya, kesadaran akan timbul sebagai akibat hasil pengalaman, pertimbangan akal/kecerdasan yang dikuatkan oleh kemauan manusia itu sendiri. Jadi perlu ada usaha yang sistematis dan proses yang terusmenerus untuk menumbuhkan kesadaran manusia menuju kesadaran kritis, kesadaran yang paling esensial.5 Paulo
Freire
menganalogikan
kesadaran
manusia
menjadi
kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Pertama, kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran manusia yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya dan hanya menerima fakta sebagai sesuatu yang given. Kesadaran ini ditandai oleh 3
Ibid., hlm. 145. Conscientizacao adalah proses perkembangan seorang individu yang berubah dari kesadaran magis menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis. 5 Abdurrachman Assegaf dan Suryadi, op.cit., hlm. 147. 4
36
fatalisme yang membuat manusia berpangku tangan, pasrah dan menganggap musykil setiap usaha untuk mengubah fakta. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan, sehingga mereka hanya pasrah dan menganggap kemiskinan mereka adalah takdir Tuhan yang tidak bisa diubah.6 Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) adalah kesadaran manusia yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat.7 Kesadaran ini mengambang di atas realitas, dimana seseorang terus bergulat dalam kondisi dilematis, antara menjadi diri atau mengimitasi, antara melawan atau pasrah, antara menjadi penonton atau pelaku dan lain sebagainya.8 Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness) adalah kesadaran yang menganggap semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi kausalitas dan lingkungannya. Kesadran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kesadaran kritis ini adalah yang terpenting untuk ditumbuhkan di masyarakat. Secara esensial, Freire menyatakan bahwa kesadaran kritis terhadap realitas merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan transformasi sosial.9
6
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. II, 2009), hlm. 90. 7 Firdaus, Paulo Freire-YB. Mangunwijaya: Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka, cet, III, 2007), hlm. 50. 8 Ahmad Tantowi, op.cit., hlm. 91. 9 Firdaus, op.cit., hlm. 53.
37
Analogi Freire di atas mengandung tingkat kesadaran manusia telah menunjukkan bahwa tindakan manusia tergantung pada pemahaman mereka tentang kenyataan. Setiap tindakan pemahaman menentukan setiap tindakan tanggapan. Jadi setiap perilaku manusia yang nyata berawal dari pemahaman mereka atas perilaku tersebut.10 Pendidikan
kritis,
dengan
conscientizacao
sebagai
tujuan
utamanya, secara pedagogis berbeda dengan bentuk pendidikan lainnya. Dalam pendidikan kritis, peserta didik diberi keleluasaan untuk dapat mengatakan apa yang dipahaminya, bukan mengatakan apa yang dikatakan oleh orang lain. Proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional bukan sekedar suatu kegiatan teknis yang mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis.11 Belajar dalam pendidikan kritis merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Kegiatan belajar (misalnya membaca), bukan hanya sekedar menghafal teks, tapi lebih jauh lagi yaitu untuk memahami makna teks yang lebih dalam. Belajar (membaca) juga bukan sekedar perilaku yang tanpa makna, karena itu untuk belajar, ada beberapa cara yang harus dilakukan, agar tidak 10
Dwi Laelasari, Membentuk Moralitas Peserta Didik Di Era Kontemporer (Studi Komparasi Pemikiran Paulo Freire dan K.H. Hasyim Asyari), (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2011), hlm. 58. 11 Paulo Freire, op.cit., hlm. XiX.
38
kehilangan maknanya, dalam hal ini adalah penumbuhan sikap kritis, yaitu:12 Pertama, orang yang belajar harus mengetahui peran dirinya. Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subyek, bukan obyek. Maka disini orang yang belajar harus mengetahui bahwa dirinya adalah subyek dalam proses belajar. Kedua, pada dasarnya praktek belajar adalah bersikap terhadap dunia. Sebenarnya sebuah teks merupakan refleksi dan mengekspresikan pergulatan penulis dengan dunia. Dengan demikian belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir secara benar. Maka orang yang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyatanya dan selalu berusaha mencari apa yang belum ia dapatkan. Rasa ingin tahu terhadap dunia harus ditanamkan pada diri setiap orang yang belajar. Ketiga, perilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis. Hubungan dialektis antara peserta didik dan pendidik, antara pembaca dan penulis, itu merupakan proses dalam belajar. Tanpa adanya hubungan dialektis, proses belajar akan menjadi timpang, karena tidak adanya pemahaman yang sama. Keempat, perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty). Jika ingin belajar, maka seseorang harus benar-benar menanamkan sikap rendah hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh dengan kesulitan yang
12
Dwi Laelasari, op.cit., 59.
39
menghadang. Justru dengan sikap rendah hati dan kritis, lantas akan mengetahui bahwa kesulitan itu menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Yang terpenting adalah meningkatkan diri menjadi lebih baik. Dan belajar bukanlah hanya sekedar mengkonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.13 Keempat cara tersebut harus ditanamkan dalam setiap proses belajar agar peserta didik tahu harus bagaimana ia bersikap dalam belajar. Sehingga proses belajar yang dilaluinya bermakna, tidak sekedar menyerap ide, tapi juga mampu menciptakan ide. Kesadaran dalam belajar seperti ini yang digagas Paulo Freire dalam pendidikannya, yang mengharuskan peserta didik tidak hanya berhenti pada menerima ide/pengetahuan dari pendidik atau dari buku, tapi juga peserta didik harus mampu menyerap ide tersebut dan kemudian merefleksikannya dalam sebuah bentuk tindakan, yaitu menciptakan sebuah ide/gagasan.14 C. MEMBENTUK
MORALITAS
PESERTA
DIDIK
MELALUI
PENDIDIKAN KRITIS Pendidikan kritis adalah pendidikan yang menghendaki sikap dan kesadaran kritis15 dari masing-masing pelaku pendidikan, baik pendidik maupun peserta didik. Pendidikan kritis merupakan sebuah alternatif ideologi pendidikan pembentuk moral. Di dalam pendidikan kritis ini 13
Ibid., hlm. 29-33. Dwi Laelasari, op.cit., hlm. 60-61. 15 Kesadaran kritis adalah kesadaran yang menganggap semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi kausalitas dan lingkungannya. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kesadaran kritis ini adalah yang terpenting untuk ditumbuhkan di masyarakat. Secara esensial, Freire menyatakan bahwa kesadaran kritis terhadap realitas merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan transformasi sosial. 14
40
peserta didik tidak hanya belajar tentang pengetahuan (teoritis) namun juga praktikal. Sehingga pendidikan kritis berupaya untuk menciptakan peserta didik yang mampu beradaptasi dengan peradaban.16 Melalui pendidikan kritis, peserta didik akan belajar dengan sikap kritis dan sistematik.17 Sehingga dengan kesadaran kritis itulah mereka mampu menganalisis hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencari jalan keluarnya.18 Kesadaran kritis juga membuat orang untuk terfokus pada etnisitasnya sendiri, bukan karena mereka membenci penindas dan sekedar ingin tampil beda, tetapi karena ingin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang unik dan jujur terhadap tradisi dan kebiasaan mereka sendiri. Ada kesadaran untuk menjadi ‘asli’, menjadi diri sendiri sesuai dengan apa yang diyakini.19 Pendidikan kritis akan menjadikan peserta didik sebagai subyek aktif pembelajaran, bukan “beo” dari kata-kata pendidikannya ataupun dari buku teks. Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai deskripsi atas realitas, pendidikan yang menghubungkan antara ‘mengetahui’ dan kemudian ‘merubah’ realitas. Pada akhirnya, proses pendidikan mampu menghantarkan anak didik dalam menemukan jawaban-jawaban dari masalah yang dihadapi yang belum terpikir solusinya. Dengan begitu akan menumbuhkan dan dihasilkan output yang 16
Dwi Laelasari, op.cit., hlm. 61. Paulo Freire, op.cit., hlm. 28. 18 Firdaus, op.cit., hlm. 91. 19 Dwi Laelasari, op.cit., hlm. 61-62. 17
41
tidak sekedar cerdas tetapi juga peka terhadap realitas sosial. Inilah moralitas manusia yang diperlukan untuk mencapai kemajuan suatu bangsa.20 D. KONSEP
PENDIDIKAN
GAYA
BANK
SEBAGAI
ALAT
PENINDASAN Suatu analisis yang cermat tentang hubungan antara murid-murid pada
semua
tingkatan,
baik
di
dalam
maupun
luar
sekolah,
mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyekobyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan menderita penyakit semacam itu.21 Guru membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Atau dia menguraikan sebuah topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Tugasnya adalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan, bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan dapat memberinya arti. Katakata telah dikosongkan dari makna sesungguhnya dan menjadi pembicaraan boros kata asing dan mengasingkan.22 20
Ibid., hlm. 62. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terjemahan tim redaksi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, cet. VI, 2008). Hlm. 51. 22 Ibid., hlm. 51-52. 21
42
Ciri yang menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu, adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. “Empat kali empat sama dengan enam belas, ibu kota Para adalah Belem”. Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami apa arti sesungguhnya dari empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota Para adalah Belem”, yakni apa arti Belem bagi Para dan apa arti Para bagi Brasil.23 Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubahnya menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadahwadah itu untuk diisi, semakin baik pula mereka menjadi seorang murid.24 Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataanpernyatan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Memang benar mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat 23 24
Ibid., hlm. 52. Ibid., hlm. 52.
43
barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendirilah yang disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan, dalam sistem pendikan yang dalam keadaan terbaik pun masih salah arah ini. Padahal tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus-menerus dan penuh harapan di dunia, dengan dunia dan bersama orang lain.25 Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan
kepada
mereka
yang
dianggap
tidak
memiliki
pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Guru menampilkan diri di hadapan murid-muridnya sebagai orang yang berada pada pihak yang berlawanan; dengan menganggap mereka mutlak bodoh, maka dia mengukuhkan keberadaan dirinya sendiri. Para murid yang bagaikan budak terasing dalam dialektika Hegel, menerima kebodohan mereka sebagai pengesahan keberadaan sang guru, tetapi tidak seperti budak, mereka tidak pernah menyadari bahwa mereka mendidik gurunya.26 Raisin d’etre pendidikan yang membebaskan, sebaliknya, terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan 25 26
Ibid., hlm. 52-53. Ibid., hlm. 53.
44
pemecahan masalah kontradiksi murid-murid tersebut, dengan merujukkan kutub-kutub dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid.27 Pemecahan demikian tidak (dan tidak mungkin) dijumpai dalam konsep pendidikan gaya bank. Sebaliknya, pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan berikut, yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan: 1. Guru mengajar, murid diajar. 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. 3. Guru berpikir, murid dipikirkan. 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur. 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui. 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. 9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
27
Ibid., hlm. 53.
45
10. Guru adalah subyek dalam prose belajar, murid adalah obyek belaka. E. KURIKULUM DAN KONSEP “PAKAI DAN BUANG” Paulo Freire: Saya berbicara masalah keingintahuan, tetapi saya bisa menguraikan daftar panjang kata-kata atau konsep yang telah “dikosongkan” maknanya. Sebenarnya, akan baik bila kita melakukan semacam penelitian diantara kita sendiri terhadap gugusan konsep yang telah dikosongkan itu untuk mengalami dan menghidupkan kembali konsep-konsep itu, sehingga benar-benar menempatkannya dalam praktek. Saya merasa, rasa ingin tahu yang kadang-kadang berkelindan pada sebagian kita dengan cara yang aneh berdampingan dengan kekuatan otoritarianisme, kendatipun kita mungkin memiliki opini politik yang progresif dan radikal. Saya tidak tahu apakah Anda di Meksiko mencermati fenomena ini, tapi ini ada di Brazil. Tentu saja ada kecurigaan terhadap setiap kehidupan, semakin demokratis, semakin terbuka prosedur kerja yang tampak bertentangan dengan akademi ilmiah yang ketat.28 Dalam
pengertian
ini,
ada
kecenderungan
untuk
mempertimbangkan para sejawat spontan yang bersekutu dengan posisi progresif (saya tidak ingin menyebutnya revolusioner karena saya menghormati makna kata yang dahsyat ini!) karena alasan sederhana, mereka bekerjasama dengan mahasiswa dan merangsang kreativitas mereka. Meskipun demikian, sejawat-sejawat itu dianggap manipulator. 28
Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme Yang Licik, terjemahan Mundi Rahayu, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, Cet. III, 2007), hlm. 72.
46
Ini dipecahkan. Saya tidak menerima kedua posisi itu, saya biasa mengandalkan konsep demokrasi radikal, yang saya rasa berlawanan dengan keduanya. Dalam kedua posisi yang dikritik itu saya kira tidak ada kreativitas, tidak ada keseriusan, tidak ada rasa ingin tahu. Yang ada penindasan kemampuan mahasiswa untuk berpikir dan mencipta. Konsep kurikulum dijabarkan dari sikap ini dan kurikulum ditampilkan sebagai semacam ketidakwajaran yang tidak dilihat seperti apa hal ini, maka saya bisa melihat akan seperti apa jadinya. Dengan demikian, kurikulum dielaborasikan dengan cara benar-benar sembarangan dan bukan dalam bentuk yang anarkis. Dari sudut pandang ini, kurikulum akan muncul sebagai tentara upahan yang disewa untuk mempertahankan agar tetap berada dalam domestikasi. Ini tidak masuk akal! Dengan solusi otoriter ini, berarti mereka mengorganisir kurikulum yang diterima dari Tuhan dengan menyelamatkan setan-setan miskin.29 Saya rasa, upaya kita harus menjadi upaya kreatif. Tentu saja kita mempunyai keterbatasan yang tak terbayangkan dalam tugas mencipta dan mencipta ulang realitas kurikulum. Tak seorang pun ragu bahwa banyak kesulitan yang merintangi jalan menuju kemungkinan kreatif, saya sangat percaya bahwa salah satu tugas terpenting kita adalah mendiskusikan hambatan-hambatan menuju kreativitas itu dengan para mahasiswa. Saya tidak ingin mereduksi semua ini hanya pada pemahaman intelektual, tapi mutlak diperlukan refleksi kritis dan teori tertentu mengenai praktek
29
Ibid., hlm. 72-73.
47
penciptaan kurikulum tempat ditemukan hambatan-hambatan berkaitan dengan batas-batas yang ditentukan oleh kekuasaan otoriter. Oleh karena itu, penting sekali memahami batas-batas praksis kreatif ini. (Saya ingin berhenti disini dan menawarkan forum kepada rekan lain yang ingin menyelami lebih dalam pokok-pokok persoalan ini).30 A. Fernandez: Saat ini tepat sekali untuk meneruskan diskusi mengenai makna struktur simbolik kekuasaan, bentuk-bentuk reproduksi, pengembangan dan pembatuan dominasi, dan dari sini menganalisis konsep Freire, bagaimana struktur simbolik memulai proses membangun, melahirkan “kata-kata dominasi baru”.31 G. Guevara-Niebla: Disini saya melihat dilema pendapat yang berlawanan sehubungan dengan tatanan simbolik, karena Freire berbicara tentang dua alternatif berkaitan dengan kata itu. Disatu sisi, dia menunjukkan bahwa usahanya diarahkan pada penguatan kembali maknamakna, pengintegrasian kembali simbol dengan maknanya. Sekarang ketika dia berbicara kepada kita mengenai pembatasan, alienasi kata-kata dipihak kekuasaan, kita bertanya apakah problemnya persis terletak pada pemisahan simbol dari maknanya atau sebenarnya simbol dan makna itu pada hakikatnya teralienasi karena kekuasaan. Dengan demikian, ini menegaskan bahwa di depan kita sesungguhnya ada dua strategi pendidikan yang berbeda bersama dengan pembedaan ini. atau kita memahami kebudayaan sebagai unit yang sewaktu-waktu bisa rentan 30 31
Ibid., hlm. 73. Ibid., hlm. 73.
48
karena pemisahan atau pembatasan antara simbol dan makna. Atau kita memahami kebudayaan sebagai dua tatanan simbolik yang berlawanan. Pada saat yang sama, hal ini akan memberikan kita dua tugas yang berbeda: kita akan menyatukan simbol-simbol dan makna-makna, atau kita akan berupaya memberikan kata-kata baru, kata-kata alternatif. Dengan kata lain, mengembangkan tatanan simbolik alternatif. Saya pikir Freire memiliki persoalan menarik, tapi sekalipun secara historis dan sosial mungkin untuk menghidupkan makna simbol yang dikosongkan karena pembatasan-pembatasan yang diberlakukan kekuasaan yang ditimpakan kelas dominan atas tatanan itu sendiri, atas bentuk-bentuk simbolik yang ditolak dan atas bentuk-bentuk kultural kelas sosial yang tersubordinasi. Ini masalah yang sudah dipaparkan dengan sangat jelas oleh Jose Angel Pescador kemarin. Atau lebih persisnya, dia menyatakan hal tersebut dengan sangat jelas tanpa menggembar-gemborkan kontribusinya. Ini kita memiliki sejumlah pertanyaan yang berfungsi memperluas penjelasan terhadap fenomena ini, seperti: Mengapa pembatasan? Bagaimana kita membatasi pembatasan negara? Dan lalu apa pilihan bersama kita? Bagaimana ini dikembangkan? Memahami pembatasan dan pilihan bersama tergantung bagaimana kita memahami negara. Di Meksiko tampaknya teori-teori pendidikan mutakhir didukung oleh kekuatan kelompok sosial dan revolusioner. Ini konsepsi negara monolitik, dengan kata lain konsepsi subyek kesatuan yang dibekali dengan kemauan dan nasib yang jelas. Misalnya, jika gerakan buruh berjuang karena ia percaya
49
pada sekolah untuk buruh, dan negara menciptakan sekolah-sekolah. Pandangan negara kesatuan ini akan ditafsirkan sebagai pilihan bersama dengan negara itu sendiri. Oleh karena itu, negara membatasi dan mengalienasi tuntutan para pekerja. Penting untuk bertanya pada diri kita sendiri apakah kita perlu memahami negara sebagai entitas atau sebagai wilayah yang mencerminkan hubungan kekuatan sosial. Saya tidak berpendapat bahwa dua pendapat atau konsepsi menganai kekuasaan politik negara ini akan mengizinkan kita menentukan peran kita dalam strategi sebelumnya.32 Paulo Freire: Jauh di relung pikiran, saya berpendapat bahwa ruang tempat pembatasan diberikan bersifat ideologis, wilayah yang sangat konkret dan ini diberikan dalam suatu hubungan yang kadangkadang tidak jelas, tapi benar-benar memberikan hubungan kekuasaan yang sedang berkuasa dan kebutuhan untuk menciptakan kekuasaan baru bagi mereka yang tidak memilikinya. Saya pikir disinilah pembatasan itu berkembang.33 Untuk menghadapi kekuasaan, kekuatan-kekuatan rakyat perlu memperoleh kekuasaan (nyata atau simbolik) untuk melindungi atau menciptakan kembali kekuasaan baru sehingga akan tercipta jenis masyarakat baru. Kekuatan-kekuatan rakyat yang tidak memiliki kekuasaan harus memahami perjuangan dan tindakan mereka sendiri secara 32 33
teoritis.
Ibid., hlm. 73-75 Ibid., hlm. 75.
Mereka
harus
membangun
taktik
militan
dan
50
mempertimbangkan dengan jelas wilayah perjuangan itu. karena alasan inilah, mereka harus mengembangkan pernyataan interpretatif teoritis terhadap situasi ketika kekuasaan mencari kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan sedang berkuasa, karena itu ia harus mempertahankan kekuasaannya. Artinya, ia harus tetap berkuasa (ini bukan permainan katakata) dan kekuasaan yang berkuasa memiliki beberapa mekanisme penyelesaian dalam bentuk kekuasaan kombinasi simbolik, bukan sematamata kekuasaan kekuatan fisik.34 Dalam upaya simbolik, kekuasaan yang berkuasa memiliki dominasi sebagai salah satu instrumennya dengan pemberlakuan pembatasan dan pengosongan kekuatan simbolik yang muncul dari massa rakyat yang mencari kekuasaan. Menarik untuk diamati bagaimana hal ini muncul. Ini masalah perjuangan untuk meraih kekuasaan dan tidak mungkin memahami pendidikan sebagai pembicaraan tentang kekuasaan. Dengan cara ini, pemahaman mendasar tentang pendidikan, praktek pendidikan, masalah kurikulum, isi program terkait dengan arena konfrontasi politik atau kekuasaan yang membangun dirinya sendiri. Dalam jangka panjang, pemahaman terhadap konfrontasi antara kekuasaan yang mencoba untuk tetap bertahan dan kekuatan yang memperjuangkan kekuasaan baru membantu kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih kritis terhadap kurikulum. Oleh karena itu, dengan mengetahui logika kekuasaan simbolik, para perancang kurikulum dapat menghindari
34
Ibid., hlm. 75.
51
pengambilan
indeks
dari
buku-buku
Amerika
Serikat
dan
menggunakannya untuk membangun program studi. Pilihan penting lainnya dalam memahami realitas sosial adalah apa yang berlangsung dalam “dunia” kita. Pendidikan universitas lazim melatih para mahasiswa membaca buku teks, kadang-kadang dengan efisien, namun buku-buku ini tidak benar-benar dibaca, karena ada dikotomi antara teks dan konteks. Dengan cara ini, universitas membaktikan tugas abstraknya dan muncul sebagai semacam kuil suci tempat purifikasi menjadi kebajikan.35 Kemurnian pengetahuan universitas, tetapi bukan pengetahuan akademis, mungkin menghindarkan kita dari pemahaman terhadap realitas. Misalnya, saya yakin kebanyakan kita sulit memahami surat kabar. Kita juga tidak memiliki hubungan sosial yang baik dengan telivisi. Kita tidak “berperang” dengan program-program berita di layar TV, kita penerima tanpa berpikir, kita hanya mendengar. Segala sesuatu tampak sedemikian jauh sehingga hakikat hubungan kekuasan tersembunyi dari kita. Saya tidak tahu apakah saya sekarang ini kehilangan konstelasi segala sesuatu yang Anda (Gilberto) argumentasikan. Tapi saya benar-benar menganggap penting, ketika hal itu Anda ungkapkan. Dalam konfrontasi antara pencarian kekuasaan dan perlindungan terhadap kekuasaan yang ada, saya kira penting bagi kita untuk menghidupkan gagasan-gagasan kita, kekuatan atau kata-kata seperti yang saya lakukan terhadap kata kesadaran. Dialektika berkait erat dengan motif strategi revolusioner dan
35
Ibid., hlm. 75-76.
52
hanya berarti bagi mereka yang bisa memahami perubahan revolusioner dengan sedikit katastropis dan memberontak, atau bagi mereka yang memahami perubahan revolusioner sebagai perubahan demokratis, dengan partisipasi aktif massa ketika modifikasi subyektivitas memainkan peran tertentu. Di satu sisi, saya ingat pernyataan luar biasa dari Amilcar Cabral, yang mengatakan bahwa perjuangan pembebasan adalah tindakan politis bersama momen-momen militer yang memungkinkan. Itulah masalahnya! Dan masih ada orang-orang yang menyatakan sebaliknya: “Perjuangan pembebasan adalah perjuangan bersenjata dengan atau tanpa momen politis”. Bila ini terjadi, kaum revolusioner tidak memahami keluarbiasaan momen militer dan momen politis, dan mereka mereduksi setiap momen militer menjadi momen taktis militer semata. Dalam salah satu kunjungan saya di Granada, saya telah melakukan pembicaran pribadi, tetapi sering terbuka dengan uskup dan dengan menteri pendidikan (yang juga dibunuh) selama lebih dari empat jam. Uskup meminta saya untuk melakukan pembicaraan khusus dengan kelompok-kelompok angkatan bersenjata dan ketika berbicara dengan mereka, saya kutip dengan tepat pemikiran Amilcar mengenai militansi dan saya katakan kepada mereka, “Menurut saya, bila tidak menerima saran Amilcar, katakanlah begitu, bila tidak berpikir mengenai militansi Anda menjadi militer, cepat atau tidak kita akan mengkudeta negara Granada, dan terus saya mengatakan, “Orang harus militan secara politis dengan senjata di tangan, bukan hanya menjadi
53
tentara tanpa politik. Sekarang ini menyedihkan, karena ternyata militerisme telah berubah menjadi militansi”.36 Saya berpikir bahwa elemen-elemen itu bersifat ideologis dalam horizon revolusi
yang sama. Konsep-konsep revolusioner selalu
dikotomis. Pertimbangkan, misalnya revolusi yang terdiri atas kader-kader dan revolusi massa. Kebutuhan akan kader-kader tidak pernah bisa dipisahkan dari massa. Sebaliknya, mereka harus dipertimbangkan secara terus menerus bersama massa. Disinilah kita menemukan sifat pedagogis tindakan politik, massa dan kader saling mendidik satu sama lain dan melakukannya dengan cara revolusioner.37 Konsep revolusi kader-kader adalah keliru kerena seseorang menyangka mereka adalah para intelegensia yang pemurah sehingga rela mati demi revolusi dan mempersembahkannya kepada massa. Bagi saya ini konsepsi yang sangat elistis dan sangat otoritatif. Tetapi saya juga mengakui bahwa dari posisi dialektik, dalam momen sejarah perjuangan revolusioner tertentu, massa memang membutuhkan “momen kaderkader”.38 F. MENUJU KONSIENTISASI TANPA SEKOLAH Hubungan dialogis merupakan ciri dari aktivitas kognitif, dimana obyek
pengetahuan
yang
menjadi
penghubung
subyek-subyek
pengetahuan sebagai penjelas yang kritis. Signifikasi hubungan dialogis ini menjadi jelas ketika kita mendudukkan rangkaian epistemologi sebagai 36
Ibid., hlm. 76-77. Ibid., hlm. 77-78. 38 Ibid., hlm. 78. 37
54
totalitas, bukan memecahnya menjadi fase memperoleh pengetahuan yang sudah terumuskan dan fase lainnya, yakni penciptaan pengetahuan baru. Hubungan dialogis ini sama dengan puncak proses berpikir aktivitas heuristik kesadaran.39 Dalam
kedua
rangkaian
epistemologis,
sikap
kritis
dan
keingintahuan yang besar perlu dimiliki untuk menguasai subyek-subyek pengetahuan. Mengingat obyek pengetahuan, sikap kritis yang akan selalu dinegasikan ketika (dalam memecahkan hubungan dialogis tersebut) dilema transfer pengetahuan sepenuhnya terjadi. Dikatakan dilema karena proses mengetahuinya, bukan dengan mencipta dan terus mencipta, namun mengkonsumsi.40 “Menuju konsientisasi tanpa sekolah” yang dirubah menjadi katakata semi atau magis sepenuhnya (apa yang menjadi harapan saya dan Ivan Illich) merupakan ungkapan yang sepurna untuk menyatukan langkah yang
sama.
Setelah
mengamati
obyek
pengetahuan
berdasarkan
keingintahuan kita, kemudian kita menganalisa makna obyek yang sebenarnya. Namun demikian, ada tujuan-tujuan tertentu dari analisa tersebut dan ini merupakan poin awal untuk melakukan refleksi dan itu seharusnya kita jalankan.41 Jika paparan diatas belum menunjukkan luasnya pengetahuan yang kita hadapi, maka saya akan menguraikannya. Dan untuk melakukan itu, 39
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet. VI, 2007), hlm. 273. 40 Ibid., hlm. 273-274. 41 Ibid., hlm. 274.
55
saya harus menjaga jarak dengan obyek refleksi saya. Ini merupakan proses konsientisasi. Saya akan bertanya pada diri saya sendiri tentang beberapa hal. Pertanyaan pertama, supaya lebih menyatukan diri saya, adalah tentang konsientisasi (conscientization) yang berasal dari kata kesadaran (consciousness). Pemahaman tentang kesadaran akan dunia.42 Jika saya memposisikan diri pada kerangka pikir yang idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyataan, berarti saya menundukkan kesadaran pada kenyataan, meskipun memang kenyataan itu diserap oleh kesadaran. Oleh karena itu, transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi kesadaran. Jika saya memposisikan diri dalam kerangka pikir yang mekanistik yang juga mendikotomikan antara kesadaran dan kenyataan, saya menganggap kesadaran sebagai cermin yang hanya merefleksikan
kenyataan.
Dalam
kasus
ini
saya
akan
menolak
konsientisasi ketika saya bukan hanya mengenal, namun juga mengalami dialektika antara obyektivitas dan subyektivitas, kenyataan dan kesadaran, serta praktik dan teori.43 Seluruh kesadaran seseorang merupakan kesadaran akan sesuatu yang ingin diketahuinya. Kesadaran diri manusia mengimplikasikan kesadaran akan sesuatu, yakni sebuah dunia nyata dimana masyarakat melihat dirinya sebagai makhluk pembuat sejarah dalam konteks dimana mereka belajar melalui kemampuan berpikirnya. Pengetahuan tentang kehidupan nyata sangat penting untuk mrngembangkan kesadaran diri dan 42 43
Ibid., hlm. 274. Ibid., hlm. 274-275.
56
meningkatkan pengetahuan selanjutnya. Karena kesadaran itu betul-betul berasal lubuk hatinya, maka cara untuk memperoleh pengetahuan selalu menuntut pengungkapan obyeknya. Artinya tidak mendikotomikan antara obyektivitas dan subyektivitas, aksi dan refleksi, serta praktik dan teori.44 Ketika seseorang sedang mengungkapkan kenyataan sosial dalam rangka proses konsientisasi, dia harus memahami dunia nyata, bukannya sebagai sesuatu yang hanya ada, namun sesuatu yang berproses, sesuatu yang hidup. Namun jika kenyataan tersebut sekedar keberadaan, dan jika kenyataan tidak berada dibawah kontrolnya, pengaruh antara apa yang tetap dan yang berubah hanya akan menjadi hasil pengalaman manusia dalam hidupnya.45 G. PERAN LANJUT KONSIENTISASI Setelah realitas revolusioner terwujud, konsientisasi masih tetap dilanjutkan. Ini merupakan alat untuk menolak mitos budaya yang masih menghinggapi masyarakat meski pun sudah ada realitas baru. Lebih dari itu, konsientisasi merupakan kekuatan yang melawan birokrasi yang menantang visi revolusioner yang menguasai rakyat atas nama kebebasan. Akhirnya, konsientisasi adalah pertahanan untuk melawan tantangan yang lain, yakni teknologi sebagai mitos bahwa masyarakat baru menuntut perubahan infrastruktur kembali seperti semula.46 Ada dua arah yang mungkin dapat membuka kesadaran transitif. Pertama, pertumbuhan dari kesadaran penuh ke kesadaran kritis, Goldman 44
Ibid., hlm. 275. Ibid., hlm. 275. 46 Ibid., hlm. 155. 45
57
menyebutnya dengan ’puncak potensi kesadaran’. Kedua, distorsi kesadaran transitif, menjadi bentuk patologis, yakni kesadaran yang fanatik atau irasional. Bentuk ini bersifat mitos yang menggantikan sifat magis kesadaran semi transitif dan penuh. Masifikasi (massification), fenomena massa yang berasal dari tingkat kesadaran ini. Masyarakat massa (mass society) seharusnya tidak diartikan sebagai munculnya massa dalam sejarah, sebagaimana mata aristokratik melihat fenomena ini. Benar bahwa munculnya massa dengan klaim dan tuntutannya membuat mereka hadir dalam proses sejarah, namun dengan kesadaran penuh, sebuah fenomena yang menyertai pecahnya masyarakat karena pengaruh perubahan infrastruktur yang pertama kali. Namun demikian, masyarakat massa semakin banyak muncul. Mereka muncul dalam teknologi tinggi dan masyarakat yang kompleks. Untuk mengfungsikannya, masyarakat ini memerlukan spesialis yang menjadi spesialisme dan secara rasional yang memotong irasionalisme yang menciptakan mitos.47 Namun
demikian,
spesialisme
(sebagai
paham)
akan
mempersempit wilayah pengetahuan yang secara umum menyebabkan para spesialis menjadi tidak mampu berpikir, karena mereka telah kehilangan visi keseluruhan, padahal spesialisasi itu hanya salah satu dimensi saja, bahkan mereka tidak dapat berpikir secara benar dalam bidangnya sendiri.48
47 48
Ibid., hlm. 155-156. Ibid., hlm. 156.
58
Sama halnya dengan rasionalitas sebagai dasar sains dan teknologi yang menghilang di bawah pengaruh teknologi itu sendiri, dan tempatnya diambil alih oleh irasionalitas yang menciptakan mitos.49 Dalam masyarakat massa, cara berpikir menjadi ukuran yang sama dengan cara berpakaian dan cara merasakan lezatnya makanan. Orang berpikir dan bertindak menurut aturan yang dibacanya dari koran setiap hari daripada menurut tanggapan kritisnya terhadap dunia. Dalam masyarakat massa, dimana segala sesuatu diproduksi dan perilaku menjadi otomatis, orang kehilangan makna karena mereka tidak menanggung resiko dirinya sendiri. Mereka tidak harus berpikir tentang hal-hal kecil, karena selalu ada petunjuk manual untuk melakukan sesuatu dalam situasi tertentu. Meskipun rambu-rambu lalu lintas bukan merupakan setan bagi mereka, dan perlu bagi kota-kota kosmopolitan, mereka hanya salah satu dari ribuan tanda-tanda masyarakat teknologis yang menghalangi orang untuk berpikir.50 Teknologi lantas tidak lagi dianggap sebagai salah satu kemajuan kreatif, namun menjadi makhluk suci yang disembah. Efisiensi tidak diukur dengan kekuatan berpikir, berimajinasi dan tingkat resiko yang membahayakan nyawanya dalam berkreasi, tetapi diartikan menjadi pesanan dari semuanya itu secara sempurna dan tepat pada waktunya.51 Mari kita perjelas, bahwa perkembangan teknologi harus menjadi salah satu perhatian proyek revolusi. Akan menjadi terlalu dangkal untuk 49
Ibid., hlm. 156. Ibid., hlm. 156-157. 51 Ibid., hlm. 157. 50
59
menimpakan tanggung jawab atas semua penyimpangan ini kepada teknologi itu sendiri. Ini akan menjadi salah satu jenis irasionalisme, yakni irasionalisme yang menerima teknologi sebagai entitas jahat (demonic), yang mengatasi dan menjadi lawan manusia. Sedangkan menurut pandangan yang kritis, teknologi tidak lebih dan tidak kurang dari fase proses kreatif manusia yang alamiah yang mengikat manusia dari momentum ketika dia melupakan alat kehidupannya yang pertama (yang masih sederhana) dan mulai melakukan perubahan dunia untuk humanisasi.52 Dengan menganggap bahwa teknologi bukan hanya penting tetapi juga merupakan bagian dari perkembangan alamiah manusia, maka pertanyaan yang diajukan kepada kaum revolusioner adalah bagaimana menghindari penyimpangan mitos teknologi. Pola hubungan antar manusia (human relation) bukanlah jawaban, karena dalam analisa terakhir penyimpangan itu hanyalah cara lain untuk mendomestifikasi dan mengalienasi manusia bahkan sampai pada pelayanan produktivitasnya. Karena hal ini dan alasan lain, kita telah menjelaskan dalam tulisan ini, bahwa kita menekankan aksi budaya untuk memperoleh kebebasan. Namun demikian, kita tidak menjadikan konsientisasi sebagai kekuatan magis yang hanya akan memitoskannya. Konsientisasi bukan daya tarik magis bagi kaum revolusioner, namun sebagai salah satu dasar untuk melakukan refleksi. Jika orang bukan makhluk yang sadar yang dapat
52
Ibid., hlm. 157.
60
bertindak dan memahami, mengetahui dan berkreasi, jika mereka tidak menyadari diri sendiri dan dunia, gagasan konsientisasi tidak akan berarti, dan akibatnya tidak akan muncul gagasan revolusi. Revolusi yang benar dilakukan dalam rangka membebaskan manusia secara sempurna, karena orang dapat mengetahui diri sendiri sebagai kaum tertindas dan menjadi sadar akan realitas yang menindas dimana mereka hidup.53 Namun, sejak kita melihat bahwa kesadaran manusia dikondisikan oleh realitas, maka konsientisasi merupakan usaha pertama untuk mencerahkan manusia untuk melihat dunia secara jelas. Dalam peran ini, konsientisasi mempengaruhi penolakan terhadap mitos kultural yang membingungkan kesadaran masyarakat dan membuatnya menjadi makhluk yang ambigu.54 Karena manusia merupakan makhluk sejarah, kebelumsempurnaan dan kesadaran akan ketidaksempurnaannya itu, maka revolusi yang alamiah (dan akan selalu ada dan sangat manusiawi) merupakan pendidikan. Hanya mentalitas yang mekanistik yang beranggapan bahwa pendidikan dapat menghentikan revolusi, atau bahwa revolusi dapat ditunda ketika mental itu berkuasa. Untuk menjadi alamiah, revolusi harus merupakan peristiwa yang terus-menerus terjadi. Dengan kata lain, mentalitas mekanistik itu hanya akan menghentikan revolusi, dan akan menjadi birokrasi yang sklerotik.55
53
Ibid., hlm. 157-158. Ibid., hlm. 158. 55 Ibid., hlm. 158-159. 54
61
Revolusi selalu bersifat kultural, apakah dalam fase pengaduan masyarakat yang tertindas maupun dalam fase memproklamasikan (mengumumkan) kemajuan masyarakat yang adil, atau dalam fase masyarakat baru yang dihasilkan oleh revolusi. Dalam masyarakat baru, proses revolusi menjadi revolusi budaya.56 Akhirnya, mari kita perjelas alasan mengapa kita berbicara tentang aksi dan revolusi budaya sebagai selang waktu yang berbeda dalam proses revolusi. Dalam aksi budaya untuk meraih kebebasan dilakukan dengan berposisi terhadap elit kekuasaan yang mendominasi, sedangkan revolusi budaya berlangsung dalam keadaan harmoni dengan regim yang revolusioner, meskipun ini tidak berarti bahwa revolusi budaya merupakan subordinasi kekuasaan yang revolusioner. Semua revolusi budaya menawarkan kebebasan sebagai tujuannya. Sebaliknya, aksi budaya, jika disponsori oleh regim yang menindas, dapat menjadi strategi untuk menguasai, yang dalam kasus ini tidak akan pernah menjadi revolusi budaya.57 Batasan antara aksi budaya ditandai dengan kenyataan yang menindas itu sendiri dan oleh budaya bisu yang dibentuk oleh elit penguasa. Oleh karena itu, sifat menindas (opresif) menentukan taktik yang berbeda dengan taktik yang dipakai dalam revolusi budaya. Sedangkan aksi budaya untuk kebebasan, terjadi perlawanan terhadap budaya bisu sebagai fakta eksternal dan kenyataan yang merana. Aksi dan 56 57
Ibid., hlm. 159. Ibid., hlm. 159.
62
revolusi budaya adalah usaha untuk menegasikan kekuasaan yang mendominasi secara kultural, bahkan sebelum kebudayaan baru dihasilkan oleh negasi itu. Realitas budaya yang baru itu sendiri sebagai subyek yang secara
terus-menerus
menegasikan
afirmasi
manusia
yang
terus
meningkat. Namun demikian, dalam revolusi budaya negasi ini terus terjadi secara terus-menerus bersamaan dengan kelahiran kebudayaan baru dalam kandungan budaya lama.58 Aksi revolusi budaya mengimplikasikan komuni antara pemimpin dan masyarakat, sebagai subyek yang merubah realitas. Dalam revolusi budaya, komuni adalah sebuah perusahaan yang antara pemimpin dan rakyatnya bersatu seperti satu tubuh, dikontrol oleh proses penelitian diri (self-scrutiny) yang cermat dan permanen. Keduanya, aksi dan revolusi budaya, ditemukan dalam pengetahuan ilmiah, namun harus diingat bahwa dalam revolusi budaya, sains tidak lebih dari pelayan penguasa. Namun demikian, tidak ada perbedaan antara aksi dan revolusi budaya untuk kebebasan.
Keduanya
mempunyai
komitmen
untuk
melakukan
konsientisasi, dan saling menjelaskan dengan dialektika overdeterminasi.59 Kita telah membicarakan tantangan yang dihadapi Amerika Latin dalam periode transisi ini. Kita yakin bahwa kondisi daerah-daerah lain di dunia ketiga sama dengan apa yang kita uraikan di depan, meskipun setiap wilayah akan menghadirkan nuansa yang berbeda. Jika jalan yang mereka lalui membimbing ke arah pembebasan, mereka tidak dapat potong 58 59
Ibid., hlm. 159-160. Ibid., hlm. 160.
63
kompas dalam melakukan aksi budaya untuk konsientisasi. Hanya dengan melalui proses ini, puncak potensi kesadaran dapat diraih dengan munculnya massa, dan keterangan yang menyelam ke kesadaran semi transitif dapat diperoleh secara penuh. Dan jika kita percaya kepada manusia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka adalah manusia yang tidak melakukan apa pun yang konkret yang menyebabkan mereka hidup.60 H. PENDIDIKAN DAN KEKUASAAN 1. Pedagogisme Menurut Freire Paulo Freire: Saya berusaha memberi ceramah yang mungkin tidak tertata baik. Saya berusaha merenungkan beberapa pokok persoalan utama yang telah diungkapkan. Saya pikir saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda secara tepat dengan refleksi saya ini, tapi saya berusaha menyatakan apa yang saya pikirkan dan mungkin akan mengulang beberapa hal yang telah diungkapkan dalam beberapa makalah atau buku saya yang terbit sejak 1978 sampai 1981. Saya yakin wawancara saya tahun 1973 berkaitan dengan pertanyaan Anda. Meskipun begitu, saya mungkin mengatakan sesuatu untuk pertama kalinya hari ini. Ini luar biasa dan ini hak saya. Anda berbicara mengenai sesuatu yang sangat saya setujui, yaitu bahwa saya mengajukan optimisme tertentu berkaitan dengan tugas pendidikan. Namun, persoalan mendasar adalah optimisme macam apa. Karena
60
Ibid., hlm. 160-161.
64
dalam mengajukan sudut pandang mengenai pendidikan yang optimistik dan penuh harapan, saya juga dapat tergelincir ke dalam “pedagogisme” tertentu, yaitu optimisme naif menyangkut praktek pendidikan.61 Dalam prespektif pedagogis, Anda akan mengubah atau mereduksi semua transformasi pendidikan dan ini berkaitan dengan salah satu pertanyaan Anda. Saya pikir saya tidak tergelincir ke dalam pedagogisme sehingga membuat saya menyesal, namun sebagian pengkritik saya mengatakan bahwa saya melakukan kesalahan itu dan telah mereduksi transformasi revolusioner pendidikan. Dengan kata lain, mereka bermaksud mengatakan bahwa saya melakukan kesalahan ketika
menganggap
pendidikan
menjadi
pemicu
transformasi
revolusioner bahkan Francisco Weffort mengatakan hal ini dalam pengantar buku pertama saya, Education Como Praticia de la Libertad (Mexico, Sigloxxi Editores, 1969), buku yang benar-benar naif, tapi dalam kenaifan itu menunjukkan beberapa kritik. Menurut saya, beberapa kritisi keliru ketika mereka tidak mampu memahami dialektika antara kenaifan dan “kekritisan”, dan ketika mereka tidak bisa memahami kenaifan tertentu.62 Buku tersebut merupakan salah satu teks yang saya tulis pada tahun 1977. Saya menulis ulang dan menambahkan hal-hal yang sebelumnya tidak ada, antara lain tesis universitas lama yang telah 61 62
Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme Yang Licik, op.cit., hlm. 31 Ibid., hlm. 31-32.
65
saya tulis pada tahun 1958 atau 1959, karena saya tidak pernah percaya pendidikan bisa memicu revolusi. Tepatnya, karena saya benar-benar meyakini sesuatu yang pada tahun 1970-an tampak terdefinisikan dengan baik, yaitu peran reproduksi sekolah atau sistem pendidikan sistematis terhadap ideologi dominan, ideologi yang berkuasa.63 2. Pendidikan dan Reproduksi Sosial Posisi optimis saya sekarang ini lebih jelas terdefinisikan. Saya juga benar-benar yakin bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik. Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai reproduksi sebagai tugas kelas dominan, ada kemungkinan kelas tandingan terhadap reproduksi ideologi dominan. Bagi saya, tingkat atau derajat pendidikan tidak penting, apakah pra sekolah, universitas atau pasca sarjana, yang jelas kita menerima gerakan permanen yang sangat dinamis dan kontradiktif, antara tugas reproduksi dan tugas tandingan. Kedua tugas ini bersifat dialektik. Yang pertama adalah tugas sistem dan yang kedua adalah tugas kita. Oleh karena itu, ia ditentukan oleh sistem, tetapi tidak dituntut olehnya. Sistem percaya dari pendidikan ia menerima salah satu instrumen fundamental untuk mereproduksi
63
Ibid., hlm. 32.
66
kekuasaannya,
dan
dengan
demikian,
secara
dialektik
harus
menciptakan antagonisnya sebagai tugas revolusioner kita.64
3. Transformasi dan Ruang institusional Kini penting untuk mengetahui bagaimana dan kapan kita menempati ruang institusional untuk memenuhi tugas serangan tandingan peran reproduksi pendidikan sistematis. Tentu sangat mudah memenuhi tugas yang ditetapkan oleh sistem. Mereproduksi ideologi dominan sama dengan berenang mengikuti air pasang. Sementara mengambil peran tandingan berarti berenang melawan arus. Oleh karena itu, menggunakan ruang untuk mendukung reproduksi adalah satu hal dan menggunakan ruang untuk melawan reproduksi adalah hal lain. Masalah penting lain yang sedang dibahas disini adalah hubungan kekuasaan, karena tidak mungkin berpikir tentang pendidikan tanpa berpikir tanpa kekuasaan. Saya pikir masalah ini penting bagi setiap pertimbangan yang berkaitan dengan tugas reproduksi dan tugas tandingan itu sendiri, juga tugas mereka yang bermimpi tentang transformasi
masyarakat,
bukan
reproduksi
dan
pemeliharaan
masyarakat borjuis.65 Tugas tandingan ditujukan bagi mereka yang dengan rendah hati menerimanya. Mereka yang mengetahui bahwa ini buka pemicu dan dari sini saya sampai pada gagasan yang dikedepankan oleh 64 65
Ibid., hlm. 32-33. Ibid., hlm. 33.
67
Gilberto Guevara, yaitu masalah pemahaman kritis dan dialektika hubungan antara praktek dan strategi.66 Menurut saya, seorang pendidik dengan pilihan politik transformasi masyarakat borjuis untuk mendukung kepentingan kelas pekerja,
tapi
tidak
mempertimbangkan
mau
mencurahkan
pengalamannya
secara
waktunya sistematis
untuk sehingga
membuat praktek dan strategi menjadi terkait, tidak bisa berperan dengan baik.67 Misalnya, bila Anda menggunakan suatu strategi, sadari tempat Anda menempatkan impian Anda, impian yang mungkin belum terwujud. Saya mengira apa yang kita miliki disini masih berupa impian yang belum menjadi kenyataan, yakni impian transformasi sekarang ini. Bila impian Anda pada strategi Anda, tujuan Anda, Anda harus menemukan cara untuk membuat impian itu menjadi kenyataan, dan cara itu adalah taktik, sarana yang harus Anda ciptakan.68 Kemudian, persoalan yang mengemuka adalah sifat historis yang nyata dari sarana-sarana ini. Disatu sisi, sarana-sarana ini, praktek-praktek ini, harus dikaitkan atau disesuaikan dengan strategi, dengan impian. Dengan kata lain, saya tidak bisa bermimpi tentang pembebasan sambil menggunakan sarana domestikasi. Menurut saya, inilah salah satu persoalan paling serius yang kita hadapi sebagai intelektual. Kita seringkali hidup dalam ketidaksinambungan antara 66
Ibid., hlm. 33. Ibid., hlm. 33-34. 68 Ibid., hlm. 34. 67
68
wacana dan praktek. Kita berbicara demi impian kita, demi strategi revolusioner yang jelas, tapi praktek kita reaksioner. Misalnya, di hadapan mahasiswa dan rakyat, kita sebut diri kita pemilik ilmu dan revolusi, dan kita mencela lemahnya kesadaran kelas buruh, namun kita mengatakan kita memiliki kesadaran kelas yang kita sendiri bukan anggota kelas itu. Ini agak gila dan tidak boleh terjadi.69
4. Freire dan Wacana Kekuasaan Freire telah membuat salah satu dari banyak konsep kekuasaan yang paling radikal dalam teori sosial kontemporer miliknya. Kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan juga positif, sifatnya dialektis tetapi mode of operatio-nya selalu represif. Menurut Freire, kekuasaan pada dan melalui masyarakat. Di satu sisi, ini berarti dominasi tidak sepenuhnya mutlak, yang dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif. Disisi yang lain kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia dimana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik. Secara umum teori Freire tentang kekuasaan dan gambarannya mengenai sifatnya yang dialektis menunjukan bahwa fungsi kekuasaan ini sangat penting dan merasuk ke berbagai segi kehidupan. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipahami hanya dalam wilayah publik dan pribadi dimana
69
Ibid., hlm. 34.
69
pemerintah, kelas-kelas yang dominan dan kelompok-kelompok lainnya memainkan peran. Kekuasaan itu ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaannya dan bentukbentuk resistennya.70 Pandangan Freire tentang kekuasaan bukan hanya merupakan cara pandang yang menjadi alternatif dan berguna bagi para teoritisi radikal yang terperangkap dalam keputusasaan dan sinisme, tetapi juga menekankan bahwa kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial, seperti sekolah dimana kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan positif yang resisten. Akhirnya, Freire mengetahui bahwa kekuasaan sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya, seperti polisi, tentara, dan departemen kehakiman. Dominasi dipraktikkan lewat kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Pembicaraan dominasi tidak hanya mengacu pada ekspresi budaya yang mempengaruhi kaum tertindas dalam kesehariannya, namun juga menyangkut bagaimana kaum tertindas ini menginternalisasi pengaruh dan turut melestarikan penindasan tersebut. Pembicaraan ini merupakan topik yang sangat 70
16
Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,op.cit., hlm.
70
penting di dalam buku Freire dan megindikasikan bagaimana dominasi itu dipraktikkan secara subyektif melalui proses internalisasi dan “pegendapan diri” dalam bentuk-bentuk kebutuhan pribadi. Apa yang sedang kita bicarakan adalah pemikiran Freire tentang betapa pentingnya usaha untuk menyelidiki dominasi yang menindas secara psikis, dan oleh karenanya, juga perlu pengamatan internal terhadap pengetahuan diri dan terhadap bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu.71 Konsep dominasi dan bagaimana kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia memperluas konsep belajar, termasuk bagaimana kebiasaan kemudian menjadi sejarah yang beku, dan bagaimana pengetahuan itu sendiri menghambat perkembangan subyektivitas tertentu dan cara manusia menjalani kehidupan di dunia. Persepsi
terhadap
pengetahuan
sangat
penting
karena
akan
menunjukkan bagaimana perbedaan-perbedaan konsep pengetahuan yang emansipatoris mungkin akan ditolak oleh orang yang mendapatkan keuntungan darinya. Dalam kasus yang seperti ini, masyarakat tertindas mendapatkan akses terhadap logika dominasi mungkin dikarenakan mereka mempertahankan pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan dunia mereka. Pengetahuan justru turut mempertahankan status quo dominasi karena menjadi kekuatan aktif yang bersifat negatif dan menolak untuk melihat adanya
71
Ibid., hlm. 17.
71
kemungkinan lain dalam kehidupan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, dari sudut pandang pendidikan muncul pertanyaan, bagaimana para pendidik yang radikal menilai dan mendiskusikan pihak-pihak yang melakukan represi dan yang melupakan tujuan dari inti dominasi? Bagaimana penjelasan terhadap kondisi yang tetap menolak untuk mengetahui dan menyelidiki bahwa pengetahuan mengandung kemungkinan yang bertentangan dengan dominasi itu sendiri?72 Pesan
yang
ingin
disampaikan
Freire
dari
konsep
pendidikannya relatif cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makana kebebasan, mereka pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, dimana dominasi itu tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi itu secara subyektif maupun obyektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang spesifik, bentuk-bentuk kehidupan sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa. Inilah isu yang diangkat Freire dalam bukunya yang akan saya bahas lebih jauh lagi berikut ini.73 5. Filsafat Freire tentang Pengalaman dan Produksi Budaya Salah satu bagian yang sangat penting dari teori pendidikannya yang radikal adalah pandangannya tentang pengalaman dan produksi budaya (cultural production). Konsep Freire tentang kebudayaan 72 73
Ibid., hlm. 17-18. Ibid., hlm. 18-19.
72
terletak diantara konsep yang konservatif dan progresif. Contoh pertama, dia menolak bahwa kebudayaan dapat dibagi secara sederhana menjadi kebudayaan tingkat tinggi, populer dan rendah, yang mana kebudayaan tingkat tinggi menjadi representasi warisan kebudayaan tingkat lanjut dari suatu negara. Menurut Freire, kebudayaan menyembunyikan ideologi yang melegitimasikan bentukbentuk kebudayaan tertentu dan mensosialisasikannya, sehingga seolah-olah ideologi tersebut tidak terkait dengan kepentingan kelompok-kelompok yang berpengaruh dan konstelasi kekuasaan yang ada. Contoh kedua, dia juga menolak bahwa ketika kebudayaan terbentuk semata-mata ditentkan oleh kelompok yang dominan dan dia pun tidak menerima bahwa bentuk-bentuk kebudayaan dijadikan pintu masuk untuk menanamkan benih dominasi. Dengan pengertian yang seperti ini, Freire mengasumsikan kaum tertindas yang berada dibawah dominasi berhak memiliki kebudayaan yang progresif dan revolusioner yang harus membebaskan mereka dari kekangan kelas-kelas yang mendominasi.74 Bagi Freire, kebudayaan merepresentasikan pengalaman hidup, hasil karya manusia dan bentuk kehidupan yang ditempa dalam hubungan sosial yang tidak adil dan dialektis, yakni kelompokkelompok yang berbeda sudah dengan sendirinya terbentuk selama kurun waktu tertentu. Kebudayaan merupakan wujud dari kegiatan
74
Ibid., hlm. 19-20.
73
prosuksi yang prosesnya sangat berhubungan dengan pembentukan struktur sosial, khususnya menyangkut gender, usia, ras, dan kelas. Kebudayaan juga merupakan kegiatan produksi yang membantu pemuka-pemuka masyarakat untuk memajukan masyarakat melalui penggunaan bahasa dan sumber-sumber material lainnya. Dalam konteks yang seperti ini, kebudayaan sangat terkait dengan dinamika kekuasaan dan akhirnya menimbulkan ketimpangan kemampuan individu dan kelompok untuk menentukan dan mencapai tujuannya. Lebih dari itu, kebudayaan juga merupakan tempat permusuhan dan terjadinya berbagai kontradiksi, dan oleh karenanya tidak ada satu kebudayaan pun yang sama. Sebaliknya, dapat dijumpai kebudayaan yang
dominan
dan
subordinatif
yang
menunjukkan
adanya
kepentingan yang berbeda, dan kebudayaan tersebut terbentuk dari kekuasaan yang tidak seimbang.75 Freire mengusulkan konsep kekuasaan yang berbudaya yang starting point-nya kekhusuan sosial dan sejarah, masalah-masalahnya, penderitaan, visi dan bentuk tindakan resistensi yang membentuk budaya dari kelompok subordinatif. Konsep kekuasaan ini mempunyai fokus ganda sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan sistem politik yang lebih mendidik. Pertama, Freire berpendapat bahwa pendidik harus bekerja dengan bekal pengalaman bagaimana siswa dewasa, anak-anak maupun peserta didik lainnya bersekolah atau
75
Ibid., hlm. 20.
74
masuk institusi pendidikan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan pengalaman tersebut baik yang bersifat publik atau personal sebagai tema pembicaraan dan harus dikonfirmasikan, sehingga pengalaman ini seharusnya dimiliki oleh mereka yang hidup dan berkecimpung didunia pendidikan dan juga akan bermanfaat bagi siswa serta pihak lain untuk terlibat secara aktif. Pengalaman pendidikan ini menjadi syarat untuk menciptakan bahasa, mimpi, nilai dan hubungan sosial dapat untuk membentuk kehidupan kaum tertindas yang dalam sejarahnya kerap kali tidak berdaya. Sebenarnya Freire
lebih
dari
sekedar
mengusulkan
pengakuan
terhadap
kebudayaan kaum tertindas. Dia juga mengemukakan bahwa pengalaman tersebut bertentangan bukan hanya dengan dampak dominasi tetapi juga dominasi yang telah “membantu”. Kekuasaan yang berbudaya menjadi kekuatan dan untuk memenuhi kebutuhan pengalaman yang meningkatkan taraf hidup kaum tertindas. Ini berarti bahwa pengalaman mereka dalam berbagai bentuk kebudayaan harus diungkap
secara
kritis
agar
dapat
diketahui
kekuatan
dan
kelemahannya. Selanjutnya, juga berarti bahwa kritik terhadap dirinya sendiri dilakukan atas nama pendidikan yang radikal yang didesain untuk menggali dan secara kritis menyesuaikan dengan pengalaman yang dimata kaum borjunis tidak dianggap emansipatoris yang
75
menambah ketrampilan yang diperlukan aum tertindas untuk menjadi pemimpin dalam keadaan yang didominasi.76 Sebenarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa Freire telah menemukan teori kekuasaan yang berbudaya dan teori produksi kebudayaan yang dimulai dengan konsep pendidikan populer. Setelah memulai dengan generalisasi yang abstrak tentang manusia, dia mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan yang berasal dari praktik nyata dimana masyarakat selalu berkutat dengan masalah, harapan, dan pengalamannya
sendiri.
Semua
ini
menegaskan
pentingnya
kebudayaan kaum tertindas, mengembangkan alat yang kritis dan analitis untuk mengevaluasinya, dan tetap mengalami definisi pengetahuan yang dominan sehingga kita dapat menganalisanya demi keuntungan yang akan diperoleh dan bagaimana kebudayaan tersebut membawa logika dominasi.77
76 77
Ibid., hlm. 20-21. Ibid., hlm 22.