PENDIDIKAN HUMANIS: TELAAH PERBANDINGAN KI HAJAR DEWANTARA DAN PAULO FREIRE Hepi Ikmal Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan E-mai :
[email protected] Abstract: Education is essentially the process of humanization that is capable of leading the learners to understand the reality of life in addition to positioning human beings as human beings (caliph). But in the process, the education itself precisely shackles and even resticts the way of thinking of learners. It is certainly not in accordance with the purpose of education itself. Humanization as an educational goal is never completed. That is why the study of humanistic education always finds its context. On this stand, the writer is interested in reviewing the humanistic education in the perspective of Ki Hajar Dewantara and Paolo Freire. By using a bibliography research, the sources of data obtained through the literatures explaining the biography and the thought of both Ki Hajar Dewantara and Paolo Freire are considered relevant. And by using the content analysis techniques and interpretations, this study aims to: 1. Understand the concept of humanistic education in the perspective of Ki Hajar Dewantara; 2. Understand the concept of humanistic education in the perspective of Paolo Freire; and 3. Reviewing the comparison of humanistic education of Ki Hajar Dewantara and Paolo Freire. Keywords: Humanistic, Humanistic Education Pendahuluan Berbicara soal pendidikan adalah sesuatu yang tak berujung. Karena pendidikan sendiri merupakan proses tanpa akhir (never ending process), ada pula ungkapan pendidikan sepanjang hidup (long life education). Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi seseorang. Orang dapat hidup dengan layak di dunia ini manakala mempunyai pendidikan yang cukup baik, dan orang akan hidup menderita manakala tingkat pendidikannya rendah. Pendidikan yang dimiliki seseorang sangat menentukan, sekaligus dapat mewarnai perjalanan hidup untuk menggapai masa depannya, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka dia akan lebih paham akan realita, dan mempunyai kelebihan untuk memecahkan berbagi masalah, sehingga dia dapat menjalani dan melalui hidup ini dengan mudah. Namun, bagi mereka yang pendidikannya di bawah rata-rata akan sulit dalam memahami realitas kehidupan ini, hal itu menyebabkan dia kesulitan dalam menentukan masa depan. Pada hakekatnya pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia. Pendidikan juga merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia. Dalam pengertian lebih luas, pendidikan bertujuan untuk memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam mempertahankan hidupnya.1 Hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia (humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai kemanusiaan (dehumnisasi). 2 Hal ini 1
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 7 Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua entitas yang bertentangan namun menjadi kemungkinan riil. Lihat Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, terj. Myra Bergman Ramos (New York: Penguin Books, 1972), 20. Istilah ―pemanusiawian‖ dipandang berbeda dengan ―pemanusiaan‖. Istilah pertama dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memberikan nilai kemanusiaan, sedangkan yang kedua berarti merubah status dari yang bukan manusia menjadi manusia. Tema pemanusiawian dipilih untuk proses humanisasi karena yang berubah hanyalah 2
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
138
merupakan akibat adanya perbedaan antara konsep dengan pelaksanaan dalam lembaga pendidikan. Kesenjangan ini mengakibatkan kegagalan pendidikan dalam mencapai misi sucinya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan belum berhasil memanusiawikan peserta didik. Islam sebagai ajaran suci sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang zaman. 3 Ajaran Islam memberikan perlindungan dan jaminan nilai-nilai kemanusiaan kepada semua umat. Setiap muslim dituntut mengakui, memelihara, dan menetapkan kehormatan diri orang lain. Tuntutan ini merupakan cara mewujudkan sisi kemanusiaan manusia yang menjadi tugas pokok dalam membentuk dan melangsungkan hidup umat manusia. Pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia (humanisasi) sejalan dengan makna dasar humanisme sebagai pendidikan manusia. 4 Sistem pendidikan dalam Islam yang dibangun atas dasar nilai-nilai humanistik sejak awal kemunculannya sesuai dengan esensinya sebagai agama kemanusiaan. Islam menjadikan dimensi kemanusiaan sebagai orientasi pendidikannya. Sangatlah naif kalau dikatakan bahwa konsep pendidikan humanistik-islami merupakan konsep pendidikan Barat yang diberi label Islam. Banyak pemikir-pemikir genius yang mendasarkan kajiannya pada pendidikan humanis. Di antaranya Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara5 Keduanya memiliki satu kesamaan pola pikir bahwa pendidikan itu harus mampu membebaskan masyarakat dari kungkungan ketidakmampuan dirinya. Pendidikan harus mampu membuka mata manusia bahwa di luar dirinya ada rahasia-rahasia yang perlu dipikirkan, dikaji secara kritis, dan ditemukan maknanya. Pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari kungkungan manusia lain, dan bahkan pendidikan itu adalah hak asasi setiap manusia. 6 Freire mendasari pemikiran pendidikan humanisnya berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. 7 Begitupun dengan Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu pemikir pendidikan Islam dengan semangat humanis, dia berpendapat bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka Ki Hajar Dewantara menawarkan beberapa konsep dan teori pendidikan di antaranya ―Panca Darma‖, yaitu dasar-dasar pendidikan yang nilai kemanusiaannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia tetap manusia yang tidak bisa berubah dari kenyataan sebagai manusia. Ide pemanusiawian manusia di Dunia Barat muncul pada abad ke-13 sebagai sebuah aliran dengan nama Humanisme. Humanisme adalah filsafat kemanusiaan yang mengakui nilai dan harkat manusia dan menjadikannya sebagai dasar atau ukuran penilaian segala sesuatu. Lihat Nicola Abbagnano, ―Humanism‖, terj. Nino Langiulli, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III (New York: MacMillan, 1972), 69-70. 3 Islam yang lahir pada abad ke-6 telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Moussa mengatakan, ―Islam is the last of all the divine messages …. The nature of this messages must be of a kind that makes it fit for all humanity in every age, generation and time. LihatMuhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It (Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379 H), hlm. 60. Misi Nabi Muhammad, pembawa ajaran Islam, adalah memberikan kasih sayang (rahmat) kepada seluruh alam (Q.S. al-Anbiya‘ 21: 107) 4 Quoted from Aulus Gellius by Nicola Abbagnano, ―Humanism‖, terj. Nino Langiulli, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III (New York: Macmillan, 1972), 70 5 Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, (Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media. 2009). 223 6 UNESCO, The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education (Paris: CSIE, 1994), 7 7 Paulo Freire, ―Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan‖, dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 459
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
139
meliputi: ―Dasar kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan dasar kemanusiaan‖. 8 Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap pikiran-pikiran tentang pendidikan humanis. Karenanya, penulis ingin menkaji lebih jauh tentang pendidikan yang humanis, karenanya tulisan ini beragkat dari tiga pertanyaan dasar yaitu : 1). Bagaimana konsep pendidikan humanis menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara? 2). Bagaimana konsep pendidikan humanis menurut pemikiran Paolo Freire? dan 3). Bagaiamana perbandingan pendidikan humanis Ki Hajar Dewantara dan Paolo Freire? Pendidikan Humanis Dalam kamus besar Indonesia,9 dapat kita jumpai humanis yang berasal dari akar kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kata ―human‖ memiliki arti: (1) bersifat manusiawi, (2) berprikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata ―humanis‖ memiliki arti: (1) orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan azas-azas kemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2) penganut faham yang manganggap manusia sebagai obyek yang terpenting. Selain itu, humanisme adalah keyakinan bahwa manusia mempunyai martabat yang sama sebagai prinsip sikap prima facie positif, beradab dan adil, dan sebagai kesediaan untuk solider ; senasib sepenanggungan tanpa perbedaan. Pius A Partanto dan Dahlan Al-Barry menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara manusia, sedangkan humanis sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran huminisme. Sedangkan humanisme sendiri adalah suatu doktrin yang menekankan kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan didasarkan atas peradaban Yunani purba sedangkan humanisme modern menempatkan manusia secara eksklusif. 10 Humanisme mengajarkan kepada kita bahwa tidak bermoral untuk menantikan Tuhan bertindak atas nama kita. Kita harus bertindak untuk menghentikan peperangan, kejahatan dan kekejaman ini dan masa depan berbagai zaman. Kita mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kita mempunyai suatu derajat tinggi kebebasan dalam memiliki apa yang akan kita lakukan. Humanisme menunjukkan bahwa apapun juga yang filosofi kita menyangkut alam semesta sehingga muncul tanggung jawab untuk dunia dimana kita hidup terletak ditangan kita). 11 Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu, manusia merupakan pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang. Sehingga bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini sangatlah tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam melakukan hal terbaik bagi dirinya. Landasan Pendidikan Humanis Dalam konsep pendidikan humanis ini, bila ditelusuri terdapat tiga aliran pendidikan yang dijadikan pendekatan atau sebagai paradigma/landasan pendidikannya. Pertama, aliran progresivisme. Aliran progresivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat berpengaruh dalam 8
Abdurrahman Soerjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), 52 9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1995), 361 10 Pius A. Partanto, M Dahlan Al Barry, 234 11 Abdurrahman Mas‘ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 275
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
140
pembaharuan pendidikan. Progresivisme sebagai teori pendidikan muncul sebagai reaksi yang nyata terhadap pendidikan tradisional, yang menekankan pada metode-metode pengajaran formal, mental belajar, dan literatur-literatur klasik. Karena progresivisme sendiri selalu berhubungan dengan pengertian the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.12 Harus diakui bahwa progresivisme, yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey adalah sebuah aliran pendidikan yang sudah sangat mapan, dan keberadaannya telah mempengaruhi sistem pendidikan di belahan dunia. 13 Prinsip dasar aliran ini bahwasanya asal dan tujuan proses pendidikan bisa ditemui pada diri anak. Aliran ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, serta kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk merubah dan menyelamatkan manusia demi masa depannya, sebagaimana ungkapan Hegel, “the dynamic, ever-readjusting processes of nature and society”. Dengan kata lain, alam dan masyarakat bersifat dinamis dalam proses penyesuaian dan perubahan yang tidak pernah berhenti. 14 Dalam progresivisme, tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus dan bersifat progresif. 15 Kedua, aliran konstruktivisme. Konstruktivisme dikemukakan pertama kali oleh Giambatista dan kemudian diperkenalkan oleh Mark Baldwin serta dikembangkan lebih lanjut oleh Jean Piaget. Dalam teori pendidikan ini, secara ontologis, heterogenitas yang menjadi dasar pandangan tentang realitas, yang membuat paradigma konstruktivisme menjadi dinamis. Disini, individu dipandang sebagai makhluk yang otonom dan mandiri. Dalam hal ini, belajar menjadi bersifat demokratis sesuai dengan kebutuhan minat dan diferensiasi individu. Disini anak diperlakukan sesuai dengan kemampuan bakat dan minat sehingga kegiatan belajar itu dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, karena anak akan berkembang sesuai dengan gerak dinamikanya masing-masing.16 Ketiga, aliran eksistensialisme. Eksistensialisme pada hakikatnya merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran ini dikembangkan oleh Kierkegaard, dan Sartre. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap dua aliran yang memiliki pandangan ekstrem, yaitu materialisme, yang memandang manusia sebagai objek dan materi sebagai keseluruhan manusia, dan idealisme, yang dikembangkan Hegel, yang memandang manusia sebagai subjek kesadaran dengan terlalu meremehkan eksistensi yang kongkret manusia, mengutamakan idea yang sifatnya umum, serta menjunjung aspek kesadaran yang sangat berlebihan sehingga seluruh manusia tergantung dari berpikir. 17 Kaitannya dengan pendidikan, sebagaimana yang disimpulkan oleh van Cleve Morri, bahwasanya eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu, eksistensialisme dalam hal ini menolak adanya bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang, terutama bentuk hegemonik dan dominasi yang sangat membelenggu kreativitas dan nalar kritis anak didik.
12
Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: Bayumedia Publishing, 2004) , 176 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), viii 14 Djumberansjah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: PT. Krya Abditama1994), 179 15 Ibid, 131 16 Ahmad Samawi, 2000, Perspektif Filsafat tentang Dialektika Paradigmatik dalam Pendidikan (FIP IKIP Malang No. 27, th. 1 Januari 2000), 5 dan 8 17 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya (Yogyakarta: Logung Pustaka), 32-33 13
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
141
Dari ketiga aliran pendidikan inilah konsep pendidikan humanis melahirkan pola filsafat pendidikan yang dianggap membebaskan sebagai jalan untuk menanggulangi dehumanisasi dalam pendidikan.18 Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nila-nilai budaya), yang meliputi; nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan (sosial) dan politik. Dengan demikian sangat penting kiranya nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman kepribadian dipisahkan. Sangat disayangkan, ternyata hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang banyak dikembangkan di sekolah, sedangkan kecerdasan yang lainnya sedikit sekali. Hal ini tentu sangat merugikan anak didik, sebab tidak semua bakat dan kemampuan dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian anak didik yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan untuk mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas, baik otak kanan maupun otak kiri, yang mampu mengakomodir semua aspek kemanusiaan perseorangan yang dibutuhkan. Tujuan Pendidikan Humanis Tujuan dari pendidikan humanis adalah terciptanya satu proses dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan manusia sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki segala potensi yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis, maupun spiritual yang perlu untuk mendapatkan bimbingan. Kemudian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa masing-masing potensi yang dimiliki oleh manusia itu berbeda satu dengan yang lainnya. Dan semuanya itu perlu sikap arif dalam memahami, dan saling menghormati serta selalu menempatkan manusia yang bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-masing adalah cara paling tepat untuk mewujudkan pendidikan humanis. Pendidikan Islam bertujuan pada terbentuknya satu pribadi seutuhnya, yang sadar akan dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakat serta menanamkan kemampuan manusia, untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri. 19 Dalam hal pendidikan harus menjadi sebuah wahana untuk membentuk peradaban yang humanis terhadap seseorang untuk menjadi bekal bagi dirinya dalam menjalani kehidupannya. 20 Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus senantiasa dihormati, begitu juga proses dalam pendidikan itu sendiri harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai humanisme. Kemanusiaan dan pemanusiaan merupakan tinjauan pokok yang tidak terlepas dari bidikan pendidikan humanis yang membebaskan, sebab selama ini terlihat adanya proses pendidikan yang membelenggu, yang pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk penindasan terhadap kebebasan berpikir kritis sekaligus penaklukan terhadap kreatifitas peserta didik 18
Tetapi bila dilihat dari pelopor pendidikan pembebasan sendiri, yaitu Paulo Freire, secara filosofis dalam konsep pendidikan pembebasan terdapat lima jaringan filosofis yang terkolaborasi dalam ide-ide pendidikan humanis tersebut. Kelima jaringan filosofis tersebut antara lain yaitu (a) Personalisme, (b) Eksistensialisme, (c) Fenomenologi, (d) Marxisme, dan (e) Kristianitas. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya, (Yogyakarta: Logung Pustaka), 32-41 19 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 133 20 Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), 5
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
142
sebagai makhluk yang otonom. Hal inilah yang nantinya akan mengarah kepada bentukbentuk dehumanisasi. Tinjauan pokok tersebut memang menjadi tujuan dasar untuk mengembalikan fungsi pendidikan itu sendiri sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi). Ini perlu sekali dilakukan karena menurut pandangan aksiologis, 21 pemanusiaan selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia yang memprihatinkan, 22 dan masalah ini perlu sekali dipedulikan dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana dijelaskan bahwa saat ini dalam perjalanan peradaban manusia, akhirnya secara tegas mereka menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak-hak asasi manusia. Dan semua itu di deklarasikan dalam deklarasi universal HAM akhir perang dunia ke II.23 Apa yang menjadi tujuan di atas, seakan semakin mengukuhkan bahwa pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai humanis harus senantiasa dijalankan dan dikembangkan dalam dunia pendidikan saat ini. Sebagaimana sudah menjadi satu kesepakatan para ahli pendidikan sejak dulu sampai sekarang yang selalu berkeinginan untuk mewujudkan satu proses pendidikan yang benarbenar berlandaskan dan sesuai dengan nilai-nilai humanisme. Pendidikan Humanis Ki Hajar Dewantara Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. 24 Beliau adalah putra kelima dari Soeryaningrat putra dari Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.25 Menurut silsilah susunan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara masih mempunyai alur keturunan dengan Sunan Kalijaga. 26 Jadi Ki Hadjar Dewantara adalah keturunan bangsawan dan juga keturunan ulama. Sebagaimana seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio kultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan keluarga sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilai-nilai kultural sesuai dengan lingkungannya. Pendidikan keluarga yang tersalur melalui pendidikan kesenian, adat sopan santun, dan pendidikan agama turut mengukir jiwa kepribadiannya. Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan ―Nikah Gantung‖ antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta.27 Jadi Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara adalah sama-sama cucu dari Paku Alam III atau satu garis keturunan. Pada tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai ―Pahlawan Nasional‖. Dan pada tanggal 16 Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki 21
Pandangan aksiologi adalah pandangan yang melibatkan aspek-aspek etik, estetik, dan religius. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan (Yogyakarta: LP3ES, 1991), 10 23 Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan, cet. I (Yogyakarta: Insist Cindelaras, Pusataka Pelajar, 2001), viii 24 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: 1989, Cipta Adi Pustaka, cet. I), 330 25 Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984), 8-9 26 Ibid, 171 27 Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), 12 22
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
143
Hadjar Dewantara tanggal 2 Mei sebagai ―Hari Pendidikan Nasional‖ berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor: 316 tahun 1959.28 Tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di rumahnya Mujamuju Yogyakarta.29 Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, kemudian diserahkan kepada Majlis Luhur Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, jenazah diberangkatkan ke makam Wijaya Brata Yogyakarta. Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku Alam tersebut,. Ki Hadjar Dewantara juga mendapat pendidikan formal antara lain: a. ELS (Europeesche Legere School), Sekolah Dasar Belanda III. b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta. c. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hadjar Dewantara sakit.30 Pendidikan Humanis dalam Perspektif Ki Hadjar Dewantara Pandangan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan budi pekerti sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Perkembangan jasmani tanpa diimbangi dengan budi pekerti dapat membuat manusia serakah. Ki Hadjar Dewantara tidak setuju dengan sistem pendidikan kolonial Belanda yang sistem pengajarannya lebih menekankan pada penalaran yang dapat menimbulkan diktator rasio dalam jiwa. Perasaan tidak diindahkan, sehingga pendidikan budi pekerti tidak dapat berkembang. Intelektual (penalaran) dapat menimbulkan sifat buruk (egoisme dan egosentrisme), yaitu sifat yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Di samping itu intelektualisme juga dapat menimbulkan sifat materialisme atau kemurkaan benda yang hanya mementingkan keduniawiaan.31 Pendidikan seharusnya juga diarahkan kepada moral anak didiknya, tidak hanya diarahkan untuk mengejar intelektual saja. Pembentukan moral adalah tugas pendidikan budi pekerti. Dengan pendidikan budi pekerti, anak didik diharapkan dapat menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi masyarakat. Dalam pendidikan, yang terpenting bukan kecerdasan otaknya saja, tetapi juga budi pekertinya. Banyak manusia yang cerdas tetapi tidak memiliki budi pekerti yang baik, sehingga mereka menggunakan kecerdasannya untuk mencelakakan orang lain. Landasan atau dasar pendidikan taman siswa berazaskan Pancadharma,32 Pertama Kebangsaan, Azas kebangsaan tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, oleh karena itu mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan lahir dan batin seluruh bangsa. 33 Pengembangan rasa kebangsaan bukan berarti menafikkan bangsa lain, menjauhkan bangsa lain. Namun yang dimaksud dengan mengembangkan nasionalisme yaitu memupuk rasa kebangsaan sendiri dalam membina pergaulan dan kerja sama dengan bangsa lain di dunia. Kedua Kebudayaan Azas ini dipakai untuk membimbing anak didik agar tetap menghargai serta mengembangkan kebudayaan sendiri. Manakala ada kebudayaan yang dapat
28
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan (Yogyakarta: MLPTS, cet. II, 1962), xiii Ibid, 137 30 Gunawan, Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah dalam Buku Peringatan Tahun Taman Siswa (Yogyakarta: MLPTS, 1992), 302-303 31 Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: 473 32 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cet. I, 1977), 51-52 33 Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan Taman Siwa 30 Tahun (Yogyakarta: MLPTS, 1952), 58. 29
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
144
memperindah, memperhalus dan meningkatkan kualitas kehidupan, hendaknya diambil. Tetapi jika berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak. Kebudayaan sebagai buah budi dan hasil perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam sebagai tanda kesanggupannya untuk mengatasi berbagai rintangan dan hambatan dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama. Taman siswa berusaha untuk mengembangkan kebudayaan nasional untuk menghambat pengaruh budaya asing yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Ketiga Kemerdekaan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap makhluk, termasuk juga manusia. Sikap pendidik sebagai pimpinan adalah menjalankan sikap laku ―Tutwuri Handayani‖. Berarti mengikuti dari belakang dan memberikan pengaruh. Mengikuti dari belakang berarti memberikan kebebasan kepada anak didik tanpa meninggalkan pengawasan. Sehingga anak didik tidak bebas lepas tanpa pengawasan dan juga tidak terkekang atau terhambat dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan manusia dibatasi oleh potensi yang ada pada dirinya. Kemerdekaan manusia ada 3 macam: berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung kepada orang lain (anafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (zelfsbeschikking).34 Keempat, kemanusiaan. Dasar kemanusiaan ialah berusaha mengembangkan sifat-sifat luhur manusia. Hidup bersama atas dasar kegotongroyongan dan saling mengasihi dan saling mengasuh dan membimbing agar bisa menjadi pribadi yang baik. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan selalu diorientasikan untuk kepentingan bersama. Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang keberadaan manusia adalah manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia tidak dapat menghidupi dirinya tanpa bantuan orang lain. Kehidupan manusia yang membutuhkan bantuan orang lain adalah ciri makhluk hidup sosial, mereka tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bermasyarakat. Kelima Kodrat Alam yaitu azas yang dimanfaatkan untuk bisa mengembangkan segenap bakat, potensi dan kemungkinan yang ada pada diri manusia secara kodrati. Bahwa semua orang itu adalah sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pendidikan budi pekerti, unsur kodrat alam sangat diperlukan. Karena pada hakekatnya suatu pendidikan itu tidak terlepas dari manusia dan di dalam diri manusia terdapat kekuatan dasar atas potensi yang dibawanya sejak lahir. Ki Hajar Dewantara melaksanakan pendidikan budi pekerti dengan cara ―Tutwuri Handayani‖, yang dikenal dengan sistem Among. (Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka duka dengan memberi kebebasan anak asuhan bergerak menurut kemauannya. 35 Guru memberikan kebebasan pada anak didik untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma dan tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa secara eksplisit Ki Hadjar Dewantara adalah alur keturunan bangsawan dan ulama. Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosiokultural dan religius yang tinggi serta kondusif. Dia dididik dan dibesarkan menjadi seorang muslim yang lebih menekankan aspek hakekat dari pada syari‘at. Pandangan pendidikan dalam pengertian umum Ki Hadjar Dewantara, hanyalah suatu ‗tuntunan‘ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Anak-anak hidup dan tumbuh dengan kodratnya masing-masing, semua itu di luar kuasa pendidik. Oleh karena itu, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatankekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Jadi pendidikan menurut Ki Hadjar yaitu sebagai berikut. ―Pendidikan adalah segala 34 35
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I Pendidikan, 4 Moh. Tauchid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, 36.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
145
pemeliharaan lahir dan batin terhadap anak-anak untuk dapat memanujakan kehidupan lahir atau jasmani dan batin atau rohani.‖ Tujuan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. Dalam konteks demikian, pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas social apapun, baik ras, suku, agama, adat, dan lain seterusnya. Pendidikan yang ingin dijalankan oleh Ki Hadjar Dewantara itu berorientasi pada pendidikan kerakyatan.36 Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir. Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai ―berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budipekerti (rasa-fikiran, roh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...‖ Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka ―ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan‖. ―Untuk dapat mencapai tujuan ini cukuplah di sini saya menasehatkan: didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri…. ‖Bukan hanya tujuan pendidikannya harus jelas tetapi agar proses pendidikannya dapat berjalan sesuai dengan tujuan tersebut dibutuhkan sistem atau metode dalam prakteknya. Guru Menurut Ki Hadjar Dewantara Guru adalah sosok yang bisa dijadikan pemimpin, di depan dapat memberi contoh keteladanan, di tengah dapat membangkitkan motivasi dan di belakang mampu memberikan pengawasan serta dorongan untuk terus maju. Prinsip pengajaran ini dikenal dengan semboyan Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tutwuri handayani. Menurut Ki Hadjar, seorang pendidik (guru) memiliki tanggung jawab sangat besar guna menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Pertama, seorang guru harus memiliki modal yang luar biasa mengenai kejiwaan, kepribadian, dan budaya yang dimiliki bangsa ini apabila betul-betul ingin menjadi pendidik yang sejati. Modal kecerdasan intelektual tidaklah cukup untuk menjadi pendidik yang bisa menanamkan nilainilai kecintaan terhadap tanah air. Pendidik yang disebut seorang Rasul Kebangunan adalah seorang pendidik yang bisa membangun semangat pembangunan dan perjuangan untuk mengubah bangsa Indonesia dari keterpurukan menuju kebangikatan, sebut saja keterpurukan moral, mentalitas, pemikiran, dan etika. 37 Kedua adalah kemampuan seorang pendidik untuk secara sabar dan telaten memberikan wejangan bagaimana sesungguhnya menjadi seorang anak bangsa yang bisa memberikan manfaat bagi bangsanya. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas 36
Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika,2009), 95 Tauchid, Moch. Ki Hadjar Dewantara (Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional), (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1968), 170 37
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
146
sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Peserta Didik Menurut Ki Hadjar Dewantara Dalam berbagai penjelasannya Ki Hadjar memandang siswa atau peserta didik adalah manusia yang mempunyai kodratnya sendiri dan juga kebebasan dalam menentukan hidupnya. Ia berpendapat bahwa anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak didik mencari jalan seniri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun. Kamajuan anak didik, dengan membiarkan hal seperti itu, akan menjadi kemajuan yang sejati dan hakiki. 38 Dengan kata lain, masih mengunakan gagasan inti Ki Hadjar, untuk memperlancar prosesnya, seorang pendidik harus mencerminkan sosok yang bisa disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya. Mengutip pernyataan Ki Hadjar dalam sebuah penggambaran, sebagai berikut: ―…Berilah kemerdekaan kepada anak-anak kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju kearah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kehidupan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan…‖39 Baik dan buruknya perilaku seorang anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan pengajaran dalam melakukan interaksi sosial baik dalam kelas atau lainnya. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan ketika pendidikan anak dengan menggunakan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani pun wajib dimaksimalkan implementasinya karena ini membicarakan generasi penerus bangsa. Metode Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara merangkum konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem among. Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana ―among‖ (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau pendidik di Taman Siswa disebut Pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Sistem among yang menyokong kodrat alam anak didik bukan dengan ―perintahpaksaan‖, tetapi dengan tuntunan agar berkembang hidup lahir dan batin anak menurut kodratnya secara subur dan selamat. Sistem among mengemukakan dua prinsip dasar, yaitu: a. Kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun. Kemerdekaan ini diinternalisasi dengan sedemikian rupa dalam kehidupan praksis anak 38
Baharuddin dan Moh. Makin. Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, 150 39 Darmiyati Zuchdi, Ed.D., Humanisai Pendidikan; Menemukan Kembali endidikan Yang Manusiawi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 115
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
147
didik sehingga mereka merasa sudah berada dalam kehidupannya, bukan kehidupan yang lain yang diupayakan masuk dalam kehidupannya. b. Kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat cepatnya dan sebaik-baiknya. Kodrat alam tersebut adalah bahwa alam yang selama ini ada harus dijaga dengan sedemikian baik, jangan dirusak karena alam menjadi modal bagi pendidikan anak didik agar bertanggung jawab melestarikan dan memajukannya. Kemerdekaan itu menjadi hak milik setiap anak bangsa, bukan satu golongan saja. Oleh karenanya, kita harus mempertahankannya dengan menggerakkan dan menghidupkan prinsip kekuatan sendiri. Dalam salah satu Azas Taman siswa disebutkan pula ―Pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus mendidik siswa mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.‖ Sistem among melakukan pendekatan secara kekeluargaan artinya menyatukan kehangatan keluarga dengan sekolah. Pendidikan Humanis Perspektif Paulo Freire Riwayat pendidikan paolo Freire Paulo Freire seorang tokoh pendidikan humanis, ia merupakan putra Brazil yang lahir pada tanggal 19 September 1921 tepatnya di daerah Recife, sebelah timur laut Brazil. 40 Pada saat itu merupakan pusat salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di dunia ketiga. Freire berasal dari keluarga menengah, tetapi ia sejak kecil hidup dalam situasi miskin karena keluarganya tertimpa kemunduran finansial, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat sekitar tahun 1929 dan juga imbasnya juga sampai ke Brazil. 41 Paulo Freire menamatkan studi pada Fakultas Hukum Universitas Recife. Dari sinilah kemudian Paulo Freire mengasah dan menggembleng diri untuk memperdalam pengetahuan filsafat dan psikologi bahasa yang secara tidak langsung menjadi bekal untuk memperkuat konsep-konsep kritisnya. Pengaruh pemikirannya, tidak hanya dalam pendidikan saja, tetapi dalam teori-teori sosial modernpun sempat merujuk pada buah pemikirannya. Pemikiran kritis Paulo Freire telah menghegemoni (menguasai) wilayah-wilayah teoritis maupun praktis dalam bidang pendidikan. 42 kecenderungan Freire lebih ke arah pendalaman konsep pendidikan ketika Freire menjalani mahligai rumah tangga bersama Elza Maria Costa Oliveira, pada tahun 1944. Ini berpengaruh pada jiwanya yang sebelumnya padahal lebih menghegemoni filsafat dan psikologi bahasa. 43 Sewaktu masih muda, Paulo Freire banyak menelaah karya-karya Karl Marx, Maritain, Bernanos dan Mounier. 44 Pada tahun 1959, ia meraih gelar doctor dalam bidang sejarah dan filsafat pendidikan. freire yang kemudian berkarir di bidang pendidikan masyarakat, memberi perhatian besar pada awal tahun 60-an pada berjuta-juta rakyat Brazil yang tidak berhak ikut pemilihan umum karena tidak mampu membaca dan menulis. Dengan kegigihan yang tidak pernah surut Freire terlibat dalam gerakan pemberantasan buta huruf, yang oleh lawan-lawannya dinilai sebagai gerakan penghimpunan kekuatan. Ia dianggap orang berbahaya (segala ancaman) bagi pemerintah ketika itu. Akibatnya, Freire segera dipenjara setelah kudeta militer pada tahun 1964. ia dibebaskan tujuh puluh hari kemudian dan diperintahkan segera meninggalkan negerinya. Freire pergi ke Chili, di mana kemudian ia menghabiskan lima tahun dari waktunya untuk bekerja pada UNESCO dan lembaga pembaruan pertanian Chili dalam program-program pendidikan masyarakat.45 40
Mu‘arif, Wacana Pendidikan Kritis (Yogyakarta: IRCiSoD,2005), 68 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan (Jakarta: Penerbit Pena, 2000), 17 42 Mu‘arif, Wacana Pendidikan Kritis, 67 43 Agung Prihantoro, Pendidikan sebagai Proses (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 9 44 Ibid.,69 45 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan, 18 41
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
148
Paulo Freire meninggal pada hari Jum‘at tanggal 2 Mei 1997 kematiannya diawali dengan serangan jantung yang kemudian menjadi sebab dari akhir hidupnya. Nama Paulo Freire menjadi semakin harum setelah buah pikirannya banyak dipertimbangkan oleh berbagai kalangan, terutama bagi kalangan praktisi pendidikan. sehingga Paulo Freire terkenal dengan pendidikan kritis menuju pembebasan yang saat ini menjadi trend pendidikan ideal. 46 Adapun karya-karya Paulo Freire banyak meninggalkan buku dan esai-esai pendidikan. Namun karena keterbatasan mengakses pemikirannya, terutama pada proses penerjemahannya dari bahasa Latin ke bahasa Inggris semakin menyulitkan kita untuk berkenalan, bercengkrama secara langsung dengan pemikirannya. Beberapa karya Freire yang sempat diakses oleh berbagai negara maju maupun berkembang, seperti Education as The Practice for Freedom ditulis pada tahun 1973, Cultural Action for Freedom, ditulis pada tahun 1970,47 merupakan satu dari dua buku yang ditulis oleh Freire pada tahun 1970 yang diterbitkan Amerika. Dalam buku ini Freire membahas masalah-masalah perubahan kultural yang berjalan seiring dengan pengajaran dan pembelajaran ketrampilan baru. 48 Karya Freire yang ini sering dikutip bahkan telah menjadi bacaan klasik dalam kepustakaan ilmu sosial. 49 Pedagogy of The Oppresed (Pendidikan Kaum Tertindas), ditulis pada tahun yang sama (1970). Buku ini merupakan hasil refleksi Freire secara mendalam mengenai proses pembebasan manusia. Dalam buku ini Freire berusaha mneyajikan suatu pandangan filosofis tentang apa yang dapat terwujud dari para laki-laki dan perempuan untuk mentransformasi sejarah menjadi subyek melalui suatu refleksi yang kritis; The Meaning of Conscientizacao ditulis pada saat dunia melihat kejinya perang saudara (perang Vietnam, perang di Libanon, perang Pakistan), kejinya tindak kekerasan yang diberi cap ―teror‖ (IRA), kejinya kemiskinan (di Somalia), mobilisasi anak-anak (misalnya Sudan).50 Pada tahun 1969-1970 Freire menerbitkan dua buah artikel untuk Harvard Educational Review yang berjudul ―Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom‖ dan ―Cultural Action and Conscientization‖. Kedua makalah ini merangkum hampir semua teori kependidikannya dalam bahasa Inggris yang pertama kali karena karya-karya tulisannya yang lain selalu dalam bahasa Spanyol dan Portugis. Kemudian buku Pedagogy of The Heart (1999) merupakan buku paling menarik, karena Freire berusaha melihat ke dalam hidupnya sendiri untuk berefleksi tentang pendidikan dan politik. Freire menampilkan dirinya sebagai demokrat yang tidak mengenal kompromi dan pembaru radikal yang gigih. Paedagogy of Hope (1994), adalah karya yang terakhir, ditulis seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua jalan yang ia tempuh telah buntu kecuali jalan terakhir: hope – harapan. 51 Pendidikan Humanis Perspektif Paulo Freire Menurut Paulo Freire ―education as the practice of freedom‖52 pendidikan pembebasan adalah membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu suatu keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Sebenarnya Freire ingin mengajak atau mengarahkan pendidikan untuk membentuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir kritis dan menganggap dirinya sebagai subyek 46
Mu‘arif, Wacana Pendidikan Kritis, 70 Mu‘arif, Wacana Pendidikan Kritis, 70 48 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas, 29 49 Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan,Kekuasaan dan Pembebasan.., v 50 William A. Smith, Concientizacao; Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta: Pusataka Pelajar Offset,2001), v 51 Ibid., vi 52 Carolina, Education for Critical Paulo Freire Consciousness (New York: The Continum Publishing Company, 2000), vii 47
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
149
atas dunia dan realitas. Freire menitik beratkan proses penyadaran (conscietization) terhadap diri manusia atas segala kelemahannya dan kesahalannya baik dalam menerima nasib serta melakukan upaya pendobrakan untuk menjadi manusia yang bebas dari belenggu yang mengerikan. Pada awalnya memang Freire tertarik pada pembebasan buta huruf atau aksara, tetapi dalam perjalanannya yang ia lakukan dalam pendidikan justru lebih dari sekedar pembebasan buta huruf. Melek huruf merupakan modal awal guna melawan proses dehumanisasi. Pembongkaran terhadap dehumanisasi mampu dikurangi sedikit demi sedikit dengan melek huruf. Freire menginginkan manusia yang utuh serta memiliki otonom terhadap diri, realitas dan dunianya. Di sisi lain, memanusiakan manusia (proses humanisasi), ini adalah gambaran manusia ideal bagi Freire. Manusia ideal adalah manusia tersebut memperoleh keutuhan. Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi manusia yang ideal (humanisasi) ini memerlukan manusia yang sadar akan diri. Adanya kesadaran dalam diri manusia itu diperoleh dengan kebebasan. Tujuan Pendidikan Paulo Freire Perlunya dan cita rasa harapan adalah nama lain dari conscientizacao. Keduanya menggambarkan keberanian orang untuk menjemput resiko tak terelakkan demi perubahan. Conscientizacao adalah sesuatu yang praktis, sebuah panggilan untuk pembelaan kemanusiaan.53 Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas gerakan ―penyadaran‖ (conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan yang bisu yang selalu menakutkan. Arti dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenali realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri, memahami kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkannya. 54 Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori: a. Magic Conscientizacao (kesadaran magis). Merupakan jenis kesadaran yang paling determinis (dikuasai). Seseorang tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan takdir yang telah menentukan. b. Naival conscientizacao (kesadaran naif), adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatannya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial. Ia baru mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. c. Critical conscientizacao (kesadaran kritis). Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah dan lebih menganalisis. Di sini seseorang mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. d. Transformation conscientizacao (kesadaran transformatif). Ini adalah puncak dari kesadaran kritis. Dengan istilah lain kesadaran ini adalah ―kesadarannya kesadaran‖ (the conscie of the conscieousness). Dalam merumuskan suatu persoalan, lebih mengintegrasikan antara ide, perkataan, dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Eksistensi diri manusia atau humanisasi manusia sejati inilah yang menjadi inti dari tujuan pendidikan Paulo Freire. Maka, hal itulah yang menjadikan diperlukannya proses 53
William A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, ixx Fakih, Mansour. Wiliam A. Smith, conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 146 54
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
150
penyadaran atau dalam istilah Paulo Freire konsientisasi (conscientization) diri manusia sebagai makhluk yang sadar dan punya kesadaran lewat pendidikan. 55 Dari pandangan tentang hakikat manusia dan realitas dunia yang telah dijelaskan sebelumnya, maka konsep pendidikan Freire berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Karena manusia selama ini terlihat ―tertindas‖ dan ―terbelenggu‖ yang mengalami degradasi kesadaran diri sebagai manusia yang utuh dan kehilangan akan kebebasan untuk mengaktualisasikan kreatifitas dirinya. Dengan demikian diperlukan adanya suatu proses penyadaran diri sebagai hakikat sebuah tujuan yang dilaksanakan memalui pendidikan. Guru Menurut Paulo Freire Pendidikan Freire menempatkan guru dan peserta didik dalam posisi belajar bersama, masing-masing memiliki peran sebagai subyek, atau sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Disini terlihat adanya posisi ―guru yang peserta didik‖ dan ―peserta didik yang guru‖, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horisontal. Guru menurut Freire adalah seorang guru yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai kepercayaan kepada peserta didiknya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah. Maksudnya, dalam proses belajar mengajar hendaknya ada hubungan dialog antara Peserta didik dengan guru, dan kontradiksi antara keduanya harus dihapuskan supaya terjadi pendidikan yang benar. 56 Gurupun diajari melalui dialog dengan peserta didik. Tak ada seorang mengajar yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri, jadi fungsi guru di sini adalah sebagai fasilitator. Freire berpendapat bahwa seorang pendidik yang revolusioner, akan mencari usaha-usaha agar peserta didik terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama lain. Dengan kata lain, seorang guru harus menjadi fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi seswanya agar tercipta suasana komunikatif dalam proses belajar mengajar. Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Peserta didik Menurut Paulo Freire Freire memberikan pendapat bahwa peserta didik adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak seharusnya diperlakuakan seperti robot atau mainan yang bisa dipermainkan secara manipulatif. Peserta didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa depan pendidikan masing-masing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk yang dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Menurut Freire belajar adalah proses belajar ini mulai dengan kata-kata, ide-ide dan situasi hidup peserta didik. Pendidikan mempergunakannya untuk mengkodifikasikan alam dunia kongkrit yang sudah menjadi dunia sehari-hari para peserta didik. Dengan demikian proses belajar merupakan proses ditantang dan menantang oleh situasi kehidupan seseorang dan oleh situasi realitas sosial-budaya di mana ia berada. Dan tugas guru di sini adalah untuk menolong peserta didik untuk memeriksa, menantang dan mengkritisi situasi dunia kongkrit peserta didik. 55
Ibid, 135 Baharuddin dan Moh. Makin. Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, 115 56
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
151
Metode Pendidikan Menurut Paulo Freire Adapun metode pendidikan yang digunakan oleh Paulo Freire dalam proses pembelajaran yaitu: a. Pendidikan Hadap Masalah Metode Pendidikan Hadap Masalah adalah kebalikan dari metode gaya Bank. Freire menyebutkan pendidikan lama sebagai pendidikan dengan ―sistem bank‖. Praktik pendidikan semacam ini mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat. Paulo Freire ingin merontokkan pendidikan sistem atau gaya bank tersebut. Sebagai alternatif, Freire menciptakan sistem baru yang dinamakan ―problem-posing education‖ atau ―pendidikan hadap masalah‖. Suatu bentuk pendidikan yang harus diolah bersama, bukan untuk, kaum tertindas—sebagai perorangan maupun anggota masyarakat secara keseluruhan—dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut kembali kemanusiaan mereka. 57 Pada saat bertidak dan berfikir itulah seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah fikirannya melalui kata-kata. Dengan belajar seperti itu, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahanpermasalahan realitas dan keberadaan diri mereka di dalannya. b. Metode Dialogis Freire berpendapat bahwasanya dialogis merupakan unsur pendidikan kaum tertindas. Sedangkan hakikat dari dialog itu sendiri adalah kata. Namun, kata itu lebih dari sekedar alat yang memungkinkan dialog dilakukan; oleh karenanya, harus dicari unsur-unsur pembentuknya. Di dalam kata terdapat dua dimensi, refleksi dan tindakan, dalam suatu interaksi yang sangat mendasar hingga salah satunya dikorbankan—meskipun hanya sebagian seketika itu yang lain dirugikan. Dialog adalah bentuk perjumpaan di antara sesama manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dunia. Dialog tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia. Cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog seta dialog itu sendiri. Di satu sisi lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati. Dialog sebagai perjumpaan antar sesama manusia yang dibebani tugas bersama untuk belajar dan berbuat, akan rusak jika para pelaku (atau salah satu di antara mereka) tidak memiliki sikap kerendahan hati. Keyakinan pada diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog; ―manusia dialogis‖ percaya pada orang lain bahkan sebelum bertatap-muka dengannya. Mendasarkan diri pada cinta kerendahan hati, dan keyakinan, maka dialog akan menjadi sebuah bentuk hubungan horisontal di mana sikap saling mempercayai di antara pelakunya merupakan konsekuensi yang logis. Jadi antara guru-peserta didik, saling belajar satu sama lain, mereka saling memanusiakan tanpa ada dominasi. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyeknya adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang brsifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Pendidikan Humanis; Telaah Perbandingan Pendidikan dalam pengertian umum Ki Hadjar Dewantara merupakan suatu ‗tuntunan‘ di dalam hidup tumbuhnya peserta didik. Peserta didik hidup dan tumbuh dengan kodratnya masing-masing, semua itu di luar kuasa pendidik. Oleh karena itu, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Jadi pendidikan humanis menurut Ki Hadjar yaitu segala pemeliharaan lahir dan batin terhadap anak-anak untuk dapat memanujan kehidupan lahir atau jasmani dan batin atau rohani. 57
Ibid., 185
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
152
Pendidikan menurut Paulo Freire adalah praktek pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog. Kedua-duanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu mulai menganggap diri cukup berharga biarpun buta huruf, miskin, dan tidak menguasai teknologi, dan yang lain belajar berdialog meski masih saja dibayang-bayangi oleh peranan pendidik yang serba tahu. Freire berpendirian bahwa kegagalan metodologis selalu dapat dikembalikan kepada kekeliruan ideologis. Intinya, pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis; pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan pada peserta didik. Baik itu pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paolo Freire adalah menghidupkan pengalaman ―demokrasi‖ dalam dunia pendidikan. Adapun persamaannya dapat dilihat dari pandangan mereka tentang konsep manusia dan pendidikan, meliputi: a) Pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia, yakni manusia memiliki kemampuan atau potensi dalam dirinya untuk berkembang. b) Humanisasi pendidikan, yakni menjadikan pendidikan sebagai media pembentukan manusia seutuhnya, dan pembebasan sebagai tujuan pendidikan. Yakni terciptanya manusia yang bebas untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai manusia. c) Sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan, juga menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik. d) Seperti halnya pendangannya mengenai manusia, kedua tokoh tersebut juga memandang peserta didik sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya peserta didik mendapat tekanan atau paksaan yang bisa menghambat perkembangan potensinya. Sedangkan perbedaan pemikiran pendidikan humanistik kedua tokoh tersebut tidaklah banyak dan mendasar karena dasar yang mereka pakai sama-sama ingin memanusiakan manusia secara utuh, adapun hasil analisis mengenai perbedaanya meliputi: a) Tujuan pokok kedua tokoh tersebut memang pemanusiaan, tetapi landasan dasarnya berbeda, pendidikan Freire ingin mengkonstruk pendidikan sebagai media untuk keluar dari belenggu penindasan. Sedang Ki Hadjar lebih mengutamakan nilai luhur, kebudayaan atau budi pekerti, yang dari situ, nantinya akan tercipta rasa kasih sayang atau saling menghormati sesama dalam diri setiap individu. b) Dalam metode yang digunakan, Freire dengan metode hadap masalahnya, mengembangkan paserta didik untuk berfikir lebih kritis dalam menghadapi masalah dan memecahkan masalahnya. Sedang Ki Hadjar menggunakan metode Among yang bersifat menuntun atau membimbing peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara utuh. Akan tetapi keduanya juga menggunakan dialog atau partisipasi siswa sebagai cara efektif untuk belajar. Penutup Pertama, Pemikiran humanis Ki Hadjar Dewantara, yaitu dengan memposisikan pendidikan sebagai penuntun. Ki Hadjar Dewantara, lebih mengutamakan nilai luhur, kebudayaan dan budi pekerti, yang dari situ, nantinya akan tercipta rasa kasih sayang atau saling menghormati sesama dalam diri setiap individu sebagaimana yang tercermin dalam azaz Pancadharma. Kedua, bagi Paulo Freire pendidikan harus melepaskan diri dari kecenderungan hegemoni dan dominasi, karena menurutnya pendidikan yang mempunyai karakteristik hegemonik dan dominasi tidak akan pernah mampu membawa para peserta didik pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh, semua pemikiran berangkat dari teori penyadaran (conscientizacao).
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
153
Sedangkan ketiga, persamaannya dapat dilihat dari pandangan mereka tentang konsep manusia dan pendidikan, meliputi: Pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia; Semangat humanisasi pendidikan; dan sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan, juga menjadi fasilitator dan motivator. Sedangkan perbedaanya meliputi: pendidikan Freire ingin mengkonstruk pendidikan sebagai media untuk keluar dari belenggu penindasan. Sedangkan Ki Hadjar, lebih mengutamakan nilai luhur, kebudayaan atau budi pekerti, yang dari situ, nantinya akan tercipta rasa kasih sayang atau saling menghormati sesama dalam diri setiap individu. Di sisi lain metode menuju pendidikan humanispun ditempuh dengan jalan yang berbeda, Freire mengunakan metode hadap masalah dan juga dialogis. Sedangkan Ki Hadjar menggunakan metode Among. Daftar Rujukan Abbagnano, Nicola, ―Humanism‖, terj. Nino Langiulli, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III, New York: MacMillan, 1972. AR., Muhammad, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, Yogyakarta: Prismashopie, 2003. Arifin,M. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Carolina, Education for Critical Paulo Freire Consciousness, New York: The Continum Publishing Company, 2000. Dewantara, Ki Hadjar, Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa, dalam Buku Peringatan Taman Siwa 30 Tahun, Yogyakarta: MLPTS, 1952. --------, Karya Bagian I: Pendidikan, Yogyakarta: MLPTS, cet. II, 1962. --------,Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika, 2009. Dhakiri, Muh. Hanif, Paulo Freire Islam Pembebasan, Jakarta: Penerbit Pena, 2000. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, Jakarta: 1989, Cipta Adi Pustaka, cet. I Freire, Paulo, ―Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan‖, dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. -------, Pedagogy of the Oppressed, terj. Myra Bergman Ramos (New York: Penguin Books, 1972 --------, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan, Yogyakarta: LP3ES, 1991. Gunawan, Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah dalam Buku Peringatan Tahun Taman Siswa, Yogyakarta: MLPTS, 1992 Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan, Jakarta: Gunung Aguna, 1980 Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004. Indar, Djumberansjah, Filsafat Pendidikan, Surabaya: PT. Krya Abditama1994. -------, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cet. I, 1977. Mansour, Fakih, Wiliam A. Smith, conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Mas‘ud, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media, 2003 Moussa, Youseef, Islam and Humanity’s Need of It, Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379 H Mu‘arif, Wacana Pendidikan Kritis, Yogyakarta: IRCiSoD,2005 Prihantoro, Agung, Pendidikan sebagai Proses, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015
154
Saksono, Gatut, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media. 2009. Samawi, Ahmad, 2000, Perspektif Filsafat tentang Dialektika Paradigmatik dalam Pendidikan, FIP IKIP Malang No. 27, th. 1 Januari 2000. Smith, William A., Concientizacao; Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pusataka Pelajar Offset, 2001. Soeratman, Darsiti, Ki Hadjar Dewantara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984.
AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 1, Juni 2015