Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN INDONESIA: Berguru pada Ki Hajar Dewantara Oleh Asmuni Makalah Seminar Pendidikan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional di STKIP PGRI Jombang tanggal 23 Mei 2012
Pendahuluan Ki Hadjar Dewantara, pendidik asli Indonesia, mempunyai pemikiran cerdas dalam memberikan solusi atas kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam azas-azas pendidikan yang diterapkan pada sekolah Taman Siswa yang didirikannya jauh sebelum Indonesia mengenal kemerdekaan. Saat ini kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan muncul kembali. Indikasinya terlihat pada kegagalan membangun manusia yang utuh. Terbukti adanya kebijakan pendidikan karakter yang menunjukkan bahwa pendidikan hanya mampu membangun manusia ‘pinter’ yang tidak cerdas lahir dan batin. Belum lagi bicara kualitas pendidikan. Konon, mutu pendidikan Indonesia kini berada di urutan ketujuh dari 10 negara di Asia Tenggara, dan urutan 124 dari seluruh Negara di dunia (UNDP, 2011). Padahal menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu dilaksanakan dalam rangka kesempurnaan hidup manusia. Sedangkan manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Maka kesempurnaan hidup manusia itu jika terdapat pengembangan semua daya itu secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia yang tidak berkarakter (manusiawi). (Riyanto, 2010). Ada dua kata kunci yang bisa dicermati dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu pertama keseimbangan. Pendidikan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai kebutuhan lahiriah, seperti strata pendidikan, ijazah, gelar, dan pekerjaan. Tetapi pendidikan harus mampu mengupayakan terbentuknya kecerdasan akal yang dibarengi dengan kecerdasan moral-spritual. Perpaduan dua kecerdasan ini akan tampak dalam sikap dan pemikiran. Sebaliknya, kecerdasan moralitas tidak akan ter-upgrade tanpa dorongan pemahaman akal yang mumpuni. Kedua, kebanggaan. Ada sebuah fenomena yang sudah lazim dipahami masyarakat kita mengenai ‘Barat’ dan ‘Timur.’ Jika orang Barat berkunjung ke Timur (baca: Indonesia), maka mereka pasti akan meninggalkan jejak budaya Baratnya kepada kita. Sebaliknya, jika orang Timur yang berkunjung ke Barat, bukan jejak budayanya yang ditinggalkan tetapi justru budaya Barat itu dibawanya pulang. (Syafbrani, 2012). Kalau demikian sungguh luar biasa pemikiran Ki hajar Dewantara yang telah memprediksi bahwa “di zaman akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan” (Soeratman, 1985). Ramalan ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara jauh sebelum Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
1
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
negeri ini merdeka telah khawatir akan munculnya sebuah krisis ketidakpercayaan terhadap bangsa sendiri. Krisis identitas diri yang akan klimaks pada hilangnya jati diri bangsa. Ironisnya, pemikiran bangsa sendiri justru termarjinalkan. Beliau hanya dikenang dengan upacara bendera, tetapi pemikiran cerdasnya tentang pendidikan nyaris terlupakan. Untuk itulah dalam carut marut pendidikan dewasa ini perlu ada rekonstruksi sistem pendidikan dengan revitalisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Sistem Pendidikan Ki Hajar Dewantara Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara terangkum dalam tujuh azas Taman Siswa 1922 dan lima dasar Taman Siswa 1947 yang dipraktikkan dengan “Sistem Pendidikan Among” atau “Among Metode”. Azas dan Dasar pendidikan Orientasi azas dan dasar Taman Siswa dari Ki Hajar Dewantara merupakan pijakan awal dari perjuangan beliau di bidang pendidikan nasional, jauh sebelum Indonesia mengenal kemerdekaan. Tujuh azas yang berintikan (1) kodrat alam, (2) kemerdekaan, (3) kebudayaan sendiri, (4) kerakyatan, (5) percaya pada kekuatan sendiri, (6) pembiayaan sendiri, dan (7) keikhlasan lahir batin. Adapun azas Taman Siswa selengkapnya (Soeratman, 1985) sebagai berikut: 1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeshikkingsrech) dengan mengingat terbitnya persatuan dalam perikehidupan umum itulah azas kita yang pertama. Terbit dan Damai itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak aka nada ketertiban kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolusi) dan harus dimerdekakan seluas-luasmya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” itulah kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan “Among-methode”. 2. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya member pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid menggali sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup kebersamaan. 3. Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar di dapatnya dengan adat penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya pikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
2
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri (cultuur histoe) kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan member kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa lain. 4. Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran secukupnya. Kekuatan bangsa dan Negara itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya. Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada meninggikan pengajaran, kalau usaha meninggikan ini seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran. 5. Untuk dapat berusaha menurut azas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan akan mengurangi kemerdekaan kita lahir dan batin haruslah ditolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan, karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri. 6. Oleh karena itu kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segera belanja dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Itulah yang kita namakan “Zelfbedruiping system” yang jadi alatnya semua perusahaan yang hidup tetap dengan berdiri sendiri. 7. Dengan tidak terikat lahir dan batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak. Ketujuh azas ini sesungguhnya merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan Barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan (Soeratman, 1985). Sedangkan lima dasar Taman Siswa tahun 1947 atau terkenal dengan nama Panca Dharma dan sekaligus menjadi azas kurikulum 1947 memuat, (1) dasar kemerdekaan, (2) dasar kebangsaan, (3) dasar kemanusiaan, (4) dasar kebudayaan, dan (5) dasar kodrat alam. Kelima dasar ini merupakan ‘operasionalisasi’ (mempertegas) dari azas pendidikan yang menjadi pijakan awal Ki Hajar Dewantara. (Asmuni, 2011). Sistem Among Ki Hajar Dewantara merangkum konsep pendidikan yang dikenal dengan istilah “Among Metode” atau “Sistem Among”. Dalam konteks ini, “among” mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana among (momong) disebut “Pamong”, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan pendidikan sistem among adalah membangun manusia seutuhnya yang seimbang antara cipta, karsa dan karya, yaitu membangun peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
3
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. (Dwiarso, 2008). Sistem Pendidikan Among Ki Hajar Dewantara ini merupakan aplikasi dari azas-azas pendidikan Tamansiswa 1922. Hal ini terlihat dari sendi-sendi yang menjadi pijakannya, yaitu pertama kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya; dan sendi kedua kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Kedua sendi pendidikan ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara menempatkan jiwa merdeka sebagai sifat kodrati sang anak yang harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itulah sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan atau kekerasan, tetapi dilaksanakan secara tut wuri handayani dimana guru/dosen dapat menemukenali peserta didik, bila perlu perilaku mereka boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Karena konsep kemerdekaan menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah kemerdekaan yang tidak tak terbatas. Kemerdekaan dibatasi oleh tertib damainya masyarakat sehingga kemerdekaan seseorang tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan orang lain. Kemerdekaan diri mengandung arti kemerdekaan yang bertanggungjawab atas pengendalian diri dan tidak melanggar kemerdekaan orang/golongan lain. (Dwiarso, 2008). Selain azas kodrati dan kemerdekaan tersebut sistem pendidikan among menerapkan pendekatan kekeluargaan, terutama dalam hubungan antara pamong dengan peserta didik, sehingga terjadi penyatuan ‘kehangatan’ keluarga dengan sekolah. Dengan demikian dalam sistem among guru/dosen tak ubahnya ibu dan bapak di keluarganya yang setiap saat selalu siap diminta nasehat (pertimbangan)-nya apabila anak menghadapi kesulitan. Sebaliknya anak tidak merasa takut menyampaikan masalah-masalahnya, karena antara keduanya terdapat ikatan batin yang intim sebagaimana ikatan yang terdapat dalam keluarga. Hasil penelitian Wangid (2009) ditemukan bahwa sebagai suatu model konseptual, sistem among karya Ki Hadjar Dewantara merupakan suatu sistem pendidikan dan pembelajaran yang lengkap dan komprehensif, baik teknis maupun filosofis. Pada dasarnya sistem among dapat diterapkan dalam situasi saat ini. Hal ini terbukti dari proses belajar mengajar dan kehidupan di SMA Taruna Nusantara yang mengadopsi konsep sistem among, dan ternyata dapat terarah dan berhasil.
Analisis Pendidikan yang Humanis Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya. Menurut beliau, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. (Riyanto, 2010). Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran Eduart Spranger (1950) yang melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
4
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguhsungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik (Suwariyanto, 1998). Oleh karena itulah, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia (humanisasi). Hal ini ditunjukkan dengan sikap ke-bapakan beliau. Padahal beliau adalah bangsawan tulen bergelar “Raden Mas”, cucu Paku Alam III. Pendapat Ki Hajar Dewantara tentang arti bangsawan tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartini, yang menyatakan bahwa bangsawan itu berarti berbudi (Soeratman, 1985). Maka untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan, beliau mengubah namanya dari Raden Mas Suryadi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara, sehingga gelar kebangsawanannya tidak nampak dan tidak lagi dipanggil “denmas” atau “ndoro” oleh anak didiknya dan masyarakat pada umumnya. Dengan nama baru inipun menunjukkan bahwa beliau telah melakukan ‘hijrah’ dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. (Soeratman, 1985, Suwariyanto, 1998). Dari sudut ini saja telah nampak bahwa pendidikan ala Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang humanis. Dan karena itu, menurut Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. (Suwariyanto, 1998). Pendidikan yang Konstruktivistik Jika dicermati, maka sistem among dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian. Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. (Takwin, 2007). Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekedar menurut dan melakukan perintah (sendika dawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai berdayaupaya dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, member teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan. (Takwin, 2007). Hal ini sejalan dengan teori kognitif Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objekMakalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
5
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Pendekatan kekeluargaan yang diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara ada kesamaan dengan prinsip konstruktivisme, yakni guru/dosen sebagai mitra para siswa/mahasiswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan sebagai sebuah partisipasi dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri. Untuk itulah guru/dosen dituntut agar memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa/mahasiswa, meskipun seringkali berbeda pendapat atau bahkan bertentangan dengan pemikirannya. Atau dalam perkataan Ki Hadjar, Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradat-Nya keadilan, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang. Sinergitas Pendidikan dan Pengajaran Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, memang dibedakan antara pendidikan dan pengajaran, tetapi keduanya harus bersinergis. Pengajaran harus bermuatan pendidikan, demikian juga sebaliknya pendidikan harus bermuatan pengajaran. Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Outcome-nya adalah “tringa” (ngerti, ngrasa, dan nglakoni). Ki Hajar Dewqantara, mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Begitu pula, merasa saja dengan tidak mengerti dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebagaimana pepatah: Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah; Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet. (Muaddab, 2011). Di sinilah urgesinya, bahwa pengajaran harus bermuatan pendidikan, dan pendidikan harus bermuatan pengajaran. Karena pengajaran itu hanya menitikberatkan pada aspek kehidupan lahiriyah, sedangkan pendidikan menitikberatkan pada aspek batiniyah saja. Di sinilah keutuhan manusia yang dibangun dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara.
SIMPULAN Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hajar Dewantara yang sesungguhnya tidak kalah dengan pemikiran pakar pendidikan dari negeri seberang. Untuk itulah beberapa pemikiran pendidikan Ki Hajar layak dijadikan pijakan untuk merekonstruksi pendidikan di negeri ini. Di mulai dari diri sendiri sebagai pendidik maupun sebagai pengambil kebijakan di lingkungan lembaga Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
6
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara
pendidikannya masing-masing. Paling tidak, merubah paradigma pembelajaran menjadi humanis, konstruktivistik, dan sinergis antara pengajaran dan pendidikan, yang kemudian dilaksanakan dengan penuh keikhlasan lahir dan batin, sudah merupakan usaha luhur untuk membangun bangsa. Syukur kalau bisa menerapkan azas-azas pendidikan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan kita masing-masing, yang nuansanya sekaligus dapat meningkat pada tataran rekonstruksi sistem pendidikan nasional. Semoga! Daftar Kepustakaan Asmuni dan Nana, 2011. Sejarah Pendidikan di Indonesia: Pasca Kemerdekaan Hingga Era Reformasi. (Makalah Diskusi Pendidikan Karakter). Surakarta: PPs-UNS Prodi Ilmu Pendidikan. Dwiarso, Priyo. 2008. Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir-batin. (Online), edisi 29 Maret 2008, (dalam http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pijar-mainmenu37/34, diakses 9 Mei 2012). Muaddab, Hafis. 2011. Pendidikan Karakter: Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara (Refleksi Hari Pendidikan Nasional). (Online), edisi 2 Mei 2011, (dalam http:// hafismuaddab.wordpress.com/2011/05/02/pendidikan-karakter-revitalisasi-pemikiranki- hajar-dewantara-refleksi-hari-pendidikan-nasional, diakses 7 Mei 2012). UNDP, 2011. Human Development Reports, (Online), (dalam http://hdr.undp.org/en/ reports, diakses 25-12-2011). Piaget, Jean. 1954. The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books. Riyanto, Theo. 2010. Pendidikan yang Humanis. (Online), (dalam http://bruderfic.or.id/ h60/pendidikan-yang-humanis.html., diakses 7 Mei 2012). Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suwariyanto, Theodorus. 1998. The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis). Manila, De la Salle University. Takwin, Bagus. 2007. Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara. (Online), edisi 1 Desember 2007, (dalam http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pusaramainmenu-38/23, diakses 8 Mei 2012). Wangid, Muhammad Nur. 2009. Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan Praktik Pendidikan, dalam Jurnal kependidikan, Volume 39, Nomor 2, November 2009, hal. 129-140.
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
7