25
BAB II PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan secara bahasa berasal dari kata dasar didik yang berarti memelihara dan memberi latihan mengenal akhlak dan kecerdasan pikiran.1 Dari kata dasar didik yang mendapat awalan pe dan ahiran an yang berarti ajaran, tuntunan, pimpinan.2 Berdasarkan pengertian pendidikan secara bahasa di atas, maka pendidikan berarti sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 3 Pendidikan berarti upaya atau proses yang berorientasi pada transformasi nilai.4 Bilamana kita menyimak apa yang dikemukakan Plato lewat perumpamaan tentang gua, maka sesungguhnya pendidikan itu adalah proses yang ditempuh seseorang yang keluar dari gua, sehingga ia
1
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia ..., h. 157
2
Suryani, Hadits Tarbawi; Ananlisis Paedagogis Hadits-Hadits Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 136 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan NasionalPasal 1 ayat 1 4
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam; Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 28
25
26
mengetahui akan kebenaran, oleh karena diluar gua ia sanggup melihat realitas yang sebenarnya. Jadi pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan, dalam hal ini pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.5 Dari definisi pendidikan diatas, pendidikan secara umum memiliki
kata
kunci
tentang
“proses
dan
manusia”.
Hal
ini
menggambarkan bahwa obyek sekaligus subjek pendidikan adalah manusia itu sendiri. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Socrates (470-399 SM)6 ketika mendefinisikan hakikat manusia, yaitu ia ingin tahu dan untuk itu harus ada orang yang membantunya yang bertindak sebagai bidan yang membantu bayi keluar dari rahimnya.7 Pendidikan menurut tokoh pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, pendidikan pada umumnya daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.1 Pengertian yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan mengandung makna yang komprehensip. Karena didalam menjelaskan pengertian pendidikan, beberapa unsur yang ada pada 5
J.H. Raper, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 110
6
Ia dihukum mati pada tahun 399 SM oleh pengadilan Athena dengan tuduhan mempengaruhi anak muda dengan pikiran yang buruk. Ia mengajak para pemuda memikirkan apaapa yang diatas langit dan dibawah bumi. 7
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 9 1
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 5
27
manusia telah tercover di dalamnya. Sehingga ketika akan berdiskusi tentang ontologi pendidikan, manusia yang berdimensikan tiga unsur,2 selalu menjadi pusat kajiannya. Sedangkan Islam secara syar‟i, menurut Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Jazaa adalah:
االنقياد هلل ولرسولو صلي اهلل عليو وسلم بالنطق باللسان والعمل بالجوارح Ikatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan nyata.3
Jika pendidikan disandingkan dengan kata Islam, maka pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bersumber dari nilainilai Islam. Namun, jika dilihat dari konsep dasar dan operasionalnya serta praktik penyelenggaraannya, maka Pendidikan Islam pada dasarnya mengandung
tiga
pengertian:pertama,
Pendidikan
Islam
adalah
pendidikan menurut Islam atau Pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur‟an dan al-Sunnah. Kedua, Pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian kedua ini, Pendidikan Islam dapat berwujud: 1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu
2
Unsur al-baysar (fisologis), unsur an-naas (sosiologis), dan unsur al-insaan (intelektual-spiritual) 3
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Jazaa,Al-Qawaaniin Al-Fiqhiyyah, (Bairut: Dar al-Fikr), h. 18
28
lembaga untuk membantu seseorang atau kelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilainilainya. 2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang
atau
lebih
yang
dampaknya
ialah
tertanamnya
dan
tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak. Ketiga, Pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, Pendidikan
Islam
dalam
realitas
sejarahnya
mengandung
dua
kemungkinan, yaitu Pendidikan Islam tersebut benar-benar dekat dengan idealitas Islam atau mungkin mengandung jarak atau kesenjangan dengan idelaitas Islam.8 Hal ini sejalan dengan pengertian pendidikan Islam menurut Zakiyah Daradjat, sebagaimana dikutip oleh Umiarso, adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh.9 Beberapa definisi pendidikan Islam menurut para pakar pendidikan yang lain, seperti menurut Ahmad. D. Marimba, sebagaimana dikutip
8 9
oleh
Abd.
Rahman,
adalah
bimbingan
jasmani-rohani
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum ..., h. 6
Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 90
29
berdasrakan
hukum-hukum
agama
Islam
menuju
terbentuknya
menurut
Abdurahman
kepribadian utama menurut ukuran Islam.10 Demikian
juga
pendidikan
Islam
Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyanti, adalah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan, baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.11 Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, mendefinisikan pendidikan Islam dapat ditinjau dari tiga pendekatan, pertama menganggap pendidikan sebagai pengembangan potensi. Kedua, cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya. Ketiga, menganggap sebagai interaksi antara potensi dan budaya.12 Berkaitan dengan budaya, teori tentang budaya dapat disederhanakan menjadi dua kelompok besar, yaitu organisasi makna dan system adaptasi.13 Pendidikan Islam merupakan suatu proses yang berlangsung secara kontinue dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas
10
Abd. Rahman, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam; rekonstruksi pemikiran dalam tinjauan filsafat pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Yogyakarta Press, 2001), h. 34 11
NurUhbiyati, IlmuPendidikan Islam, (Bandung: PustakaSetia, 1998), h. 9
12
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum ..., h. 67
13
Pertama, aliran teori yang memandang budaya sebagai suatu system atau organisasi makna. Kedua, aliran teori yang memandang budaya sebagai system adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya. Budaya ditempatkan sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun menurun sesuai dengan tuntunan lingkungan yang dihadapai. Lebih lengkap, baca karyaBurhanBungui, “Analisi Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi”, (Jakarta: RajaGrafindoPesada, 2003), h. 7
30
dan fungsi Pendidikan Islam yang perlu diemban adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat.14 Oleh karena itu, konsep Pendidikan Islam harus menawarkan beberapa hal, antara lain: 1) Karena bersumber dari kebenaran ilahiah, maka ia menawarkan kesempurnaan dan keutamaan hidup sekaligus terbebas dari kekurangan. 2) Meliputi segenap aspek kehidupan manusia. 3) Berlaku universal, tidak terbatas hanya pada bangsa tertentu. 4) Berlaku sepanjang masa, tidak dibatasi oleh musim atau saat-saat tertentu saja. 5) Sangat sesuai dengan fitrah kemanusiaan, bahkan menyiapkan pengembangan
naluri-naluri
kemanusiaan
hingga
tercapainya
kebahagiaan yang hakiki. 6) Memberikan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan pada aspek kemanusiaan.15 Ada perbedaan antara pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikan agama Islam disebut pendidikan agama Islam. Dalam hal ini, pendidikan agama Islam sejajar atau sekategori dengan pendidikan 14
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Fisafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 32 15
Adi Sasono, Solusi Islam Atas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998),
h. 88
31
Matematika, Pendidikan olah raga dan sejumlah mata pelajaran lainnya. Sedangkan Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits.16 Merujuk pengertian pendidikan Islam menurut beberapa ahli pendidikan Islam di atas, pendidikan Islam merupakan proses edukasi untuk manusia yang secara integral berorientasi pada ranah intelektual (al„Aql) yang akan mengasah kemampuan kognisi dalam menganalisis dan berpikir manusia tentang dirinya dan alam, emosioanl (An-Nafs) yang akan membentuk ranah afektif dalam sikap atau moral dan keterampilan atau skill manusia dalam menjalani hidup bermasyarakat, dan spiritual (ArRuh) yang akan melandasi segala perbuatannya berdimensikan ketuhanan yang bernfaskan Islam. 2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam Dalam pemerintah
konstitusi
mengusahakan
negara dan
Indonesia
dikatakan
menyelenggarakan
satu
bahwa, sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.17 Untuk melaksanakan amanat ini, melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 11 Juni 2003 disahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam sidang paripurna DPR-RI, dan pada tanggal 16
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), h. 6 17
Undang-Undang Dasar 1945 Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 3
32
18 Juli 2003 ditandatangani oleh Presiden, dengan nomor 20 tahun 2003.18 Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.19 Pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan20 dan memiliki ciri yang berorientasi makro, berskala universal, dan bersifat deduktif normatif.21 Sehingga ruang lingkup pendidikan Islam sangat luas, tidak hanya menyangkut landasan ideal dan dasar pendidikan Islam, melainkan secara operasional. Ruang lingkup pendidikan di dalam pandangan Islam tidak hanya terbatas pada pendidikan agama dan tidak pula terbatas pada
18
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, 2003, h. 25
19
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 20
Moh. Haitami & Syamsul Kurniawan, Studi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 16 21
S. Lestari & Ngatini, Pendidikan Islam Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 2-16
33
pendidikan duniawi saja, tetapi setiap individu dari umat Islam supaya bekerja untuk agama dan dunia sekaligus.22 Menurut Deswati dan Linda Herdis, ruang lingkup pendidikan Islam yaitu; segi sifat, corak kajian (histories dan filosofis) , dan segi komponennya yang meliputi; tujuan, kurikulum, proses belajar-mengajar, guru, murid, manajemen, lingkungan, sarana dan pra sarana, biaya dan evaluasi.23 Adapun komponen tujuan pendidikan Islam secara teoritis dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu tujuan normatif, tujuan fungsional, dan tujuan operasional.24 Menurut Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, ruang lingkup ilmu pendidikan Islam adalah pengertian, sumber, dan dasar pendidikan Islam, perpekstif Islam tentang ilmu, perpekstif Islam tentang manusia, perpekstif Islam tentang tujuan pendidikan, perpekstif Islam tentang pendidik dan peserta didik, perpekstif Islam tentang sarana dan prasarana pendidikan, perpekstif Islam tentang kurikulum pendidikan, perpekstif Islam tentang strategi, pendekatan, dan metode pendidikan, perpekstif Islam tentang evaluasi pendidikan, dan perpekstif Islam tentang lingkungan pendidikan.25
22
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami, judul asli At-Tarbiyyah al-Islaamiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 2 23
Deswati dan Linda Herdis, Ruang Lingkup Pendidikan Islam, www.infodiknas.com, 29 Juni 2012, diakses pada Jumat, 12 Desember 2014 24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. 75-76 25
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan,Studi Pendidikan ..., h. 17-18
34
Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang luas dan lintas dimensi, yaitu dimensi di dunia dan di akhirat, urusan dunia sekaligus urusan akhirat. Oleh karena itu, ruang lingkup pendidikan Islam yang mengandung aspek definisi, landasan dan sumber pendidikan, tujuan pendidikan, hakikat manusia dan alam, serta perangkat kasar seperti sarana dan prasarana penunjangnya, yang keseluruhannya itu bersumber dari nilai-nilai Islam yang universal.
B. Landasan Pendidikan Islam Dalam merumuskan landasan pendidikan Islam, ada dua landasan pendidikan Islam yaitu landasan ideal dan landasan operasional. Landasan ideal berkaitan dengan data autentik sumber pendidikan Islam, sedangkan landasan operasional
pendidikan
Islam
berkaitan dengan perangkat
Pendidikan Islam. 1. Landasan Ideal Landasan ideal pendidikan Islam menurut Zubaedi terdiri dari landasan al-Qur‟an, sunnah, kata-kata sahabat (mazhab sahabi), kemaslahatan masyarakat (masalihul mursalah), nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat („urf), dan hasil pemikiran muslim (ijtihad).26 a. Al-Qur‟an Al-Qur‟an yang merupakan kitab suci umat Islam, diyakini memiliki seperangkat aturan yang mengatur dan menuntun manusia 26
Zubaedi, Isu-Isu Baru Dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam Dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 17-23
35
di segala aspek kehidupannya, salah satunya adalah persoalan pendidikan. Sebagai kitab suci yang dipercaya memiliki nilai-nilai absolut, konsep pendidikan yang ideal harus dikembalikan kepada sumber kebenaran sebagai landasan ideal pendidikan. Al-Qur‟an sebagai landasan pendidikan seperti termaktub di dalam firman-Nya,
ِل لنَّناا وبَبيَبنٰا ٍت ِل الْل ٰا والْل ُقرَا ِل ان اَال ُقْلق ْلرٰاا ُقن ُقى ًد ل ِل َا َا َا ُق َا ْل “Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” QS. Al-Baqarah: [2] 185
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"QS. Al-Baqarah [2] : 31. Fungsi al-Qur‟an menurut Abuddin Nata, sebagai sumber atau landasan pendidikan Islam, pertama karena al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai kitab pendidikan. Al-Qur‟an secara bahasa saja berarti bacaan atau membaca. Kedua, dari segi surat yang pertama kali turun berisi perintah membaca. Ketiga, al-Qur‟an menyebut dirinya sebagai kitab petunjuk yang tidak memiliki keraguan padanya. Keempat, dari segi kandungannya al-Qur‟an
36
isyarat tentang aspek pendidikan, dan kelima dari segi sumbernya dari Allah swt.27 b. Sunnah Nabi saw diutus oleh Allah dalam kapasitasnya sebagai manusia untuk menjadi sumber inspirasi, pendidik dan teladan.28 Sunah atau hadits diyakini dan disepakati sebagai sumber hukum Islam merupakann satu-satunya sumber referensi penjelas al-Qur‟an. Ia merupakan kumpulan interpretasi al-Quran sekaligus diri Nabi saw bukanlah teks yang hidup tanpa adanya pemahaman. Sunah sebagai landasan pendidikan Islam, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Israa‟ [17] : 94 dan hadits shahih Imam Bukhari
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” QS. AlIsraa‟ [17] : 94
27
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
h. 76-77 28
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” QS. Al-Ahzab [33] : 21
37
تعم ا ّ علي ّ بلّغوا عنّي ولو اية وح ّ ثوا ع بني اسراءيل وال حرج و ك ّذب رواىاحم والبخاريوالتر ذي.فليتبوء قع ه النّار ّ “Sampaikanlah dariku walupun satu ayat. Dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa. Barang siapa yang berdusta atas nama aku, maka ia berhak menduduki api neraka.” HR. Ahmad, Bukhari, dan Turmudzi.29
Sunah secara bahasa adalah: jalan yang baik atau buruk, dan secara istilah, sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, sahabat atau tabi‟in baik sebagian maupun secara keseluruhan. Sedangkan definisi sunah menurut istilah adalah.
غير افتراض
عن فق اء أن السنة ىي الطريقة المسلوكة في ال ي
ول أو فعل أو تقرير أو
كل ا أثر ع الرسول: عن المح ثي.وال وجوب
: وعن األصوليي.ص ة أو خلقية أو سيرة سواء كان ذلك بل البعثة أو بع ىا ول أو فعل أو تقرير
السنة ىي كل ا ص ر ع النبي غير القرآن الكريم .ما يصلح أن يكون دليال لحكم شرعي
“Ahli fiqih mengatakan, sunah adalah jalan menuju jalannya agama bukan dari. Menurut ahli hadits sunah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik perkataannya, perbuatannya, takrirnya, sifat-sifatnya, dan terkait keadaan fisiknya, dan sejarah hidupnya baik sebelum diutus maupun setelah diutus menjadi nabi. beberapa kefardluan dan kewajiban. Sedangkan menurut ahli ushul, sunah adalah Segala sesuatu yang muncul dari Nabi saw selain Al-Qur‟an, yang berupa perkataan, perbuatan, 30 maupun takrirnya sebagai landasan hukum syari‟at.”
29 30
Jalaluddin „Abdu al-Rahmān bin Abi Bakr al-Suyûṭi, al-Jāami‟u al-Ṣoghir, Juz I, h. 14
Yuyun Afandi, al-Lughoh al-„Arabiyah; Mudzakaroh, (Semarang: Rafi Sarana Perkasa, 2013), h. 71-72
38
Sunah dalam arti syar‟i ialah apa yang bersumber dari Rasul. Perkataan, atau perbuatan, atau ketetapannya. Sunah terbagi menjadi tiga: sunah qauliyah yaitu hadits-hadits yang diucapkan Nabi saw, sunah fi‟liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi saw, sunah takririah yaitu apa yang ditetapkan oleh Rasul.31 c. Masālihu al-Mursalah Masālihu al-Mursalah secara bahasa berarti mencapai kemaslahatan. Dalam istilah usul, yaitu kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar‟ hukum untuk ditetapkan. Dinamakan muthlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkannya.32 Ketentuan
yang dicetuskan berdasarkan
masālil
al-
mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: pertama, apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analsisi, misalnya pembuatan tanda tamat belajar yang berupa ijazah dengan foto pemiliknya. Kedua,
kemaslahatan
yang
diambil
merupakan
kemaslahatan yang bersifat universal, mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi, misalnya pembuatan Undangundang Sisdiknas. Ketiga, keputusan yang diambil tidak bertentangan
31
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, terj. Halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 37 32
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih ..., h. 98
39
dengan nilai-nilai dasar al-Qur‟an dan as-Sunnah, misalnya perumusan tujuan pendidikan.33 d. Madzhab sahabi Yang dimaksud dengan madzhab sahabi adalah pendapat para sahabat Rasul. Adapun yang dimaksud dengan pendapat sahabat adalah pendapat sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat ataupun hadits tidak menjelaskan kasus tersebut.34 Upaya para sahabat Nabi saw dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan Islam dewasa ini. Upaya yang dilakukan Abu Bakar al-Shiddiiq ra, misalnya, mengumpulkan mushkhaf yang kemudian dijadikan sumber dan landasan pendidikan Islam.35 Dalam implementasi pendidikan, mengkodefikasi ilmu-ilmu umum yang secara detail tidak ditemukan di dalam sumber hukum Islam, merupakan hal yang dapat membantu peserta didik dalam memahami materi pelajaran. e. „Urf „Urf berasal dari kata dasar „arafa yang berarti mengetahui, mengenal, dan mengakui36 sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai hal yang dikenal baik. „Urf itu ada dua, „urf yang sahih yaitu
33
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 41
34
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 155
35
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 40
36
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia Al„Ashr, (Pondok Pesantren Krapyak: Multikarya Grafika, 1996), h. 1283
40
apa yang diketahui orang tidak menyalahi dalil syair‟at. „Urf fasad apa yang saling dikenal orang tapi berlainan dengan syari‟at.37 Menurut Masifuk Zuhdi, sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini memiliki syarat: tidak bertentangan dengan nash, tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, dan tidak mengakibatkan kemunduran, dan kerusakan.38 Dalam konteks „urf sebagai landasan ideal pendidikan Islam, misalnya tradisi menggunakan seragam bagi guru dan peserta didik. Dalam Islam tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa pendidik maupun peserta didik harus mengenakan busana dengan warna dan bahan tertentu. Prinsip busana dalam Islam hanya menutup aurat. Jadi, tradisi seragam bagi pendidik dan peserta didik yang bermacam-macam corak dan motifnya merupakan tradisi dalam institusi pendidikan yang tidak bertentangan dengan Islam. f. Ijtihad Ijtihad berasal dari fi‟il madli, ijtahada yajtahidu yang dibentuk dari kata dasar jahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh, dan membebani diluar batas kemampuannya.39 Orang yang dianggap mempunyai kesanggupan berijtihad disebut
37
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih ..., h. 104
38
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 42
39
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer ..., h. 704
41
mujtahid. Orang yang dianggap kompeten melakukann ijtihad harus mempunyai empat rupa pengetahuan yang lengkap: ilmu yang memungkinkannya mengetahui segala rupa dalil aqli maupun dalil naqli, mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, mengetahui nasikh mansukh, dan mengetahui ilmu riwayat hadits.40 Ijtihad menjadi penting dalam pendidikan Islam ketika suasana pendidikan mengalami status quo, jumud, dan stagnan. Tujuan dilakukan ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi, dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang berkualitas.41 Contoh dalam konteks ijtihad sebagai landasan ideal pendidikan Islam adalah mengembangkan pembaharuan dalam bidang fiqih muamalah. Zakat profesi adalah salah satu hasil ijtihad dalam mengembangkan perintah zakat bagi orang muslim yang berpenghasilan melebihi nisob emas dengan prosesntasi zakatnya 2,5%. Demikian juga masalah air sungai yang dalam fiqih ibadah dianggap sebagai air mutlak yang suci menyucikan. Krisis ekologi yang beruapa pencemaran air sungai hasil dari aktifitas industri dan rumahh tangga, tidakk bisa dimaknai seabai air yang suci menyucikan.
40
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustka Rizki Putra), h. 127-128 41
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 43
42
2. Landasan Operasional Landasan
operasional
pendidikan
Islam
menurut
Hasan
Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, meliputi: a. Dasar historis, dasar yang memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, berupa undang-undang dan peraturan-peraturan maupun berupa tradisi dan ketetapan. b. Dasar sosiologi, dasar berupa kerangka budaya dimana pendidikan itu bertolak dan bergerak, seperti memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya. c. Dasar ekonomis, dasar yang memberi perspektif tentang potensipotensi manusia, keuangan, materi, persiapan yang mengatur sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelanjaan. d. Dasar politik dan administrasif, dasar yang memberi bingkai ideologi (akidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat. e. Dasar psikologis, dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, metode yang terbaik dalam praktek, pengukuran dan penilaian bimbingan dan penyuluhan. f. Dasar filosofis, dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.42
42
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 62
43
Menurut Abdul Mujib sebagai mana dikutip oleh Abuddin Nata, landasan pendidikan Islam tersebut diatas paling tidak memiliki tiga fungsi yang sangat penting dan strategis: a. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai b. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana, dan evaluasi. c. Menjadi standar dan tolak ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.43 Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas tentang landasan pendidikan Islam, berpijak pada landasan al-Qur‟an dan as-Sunnah, pemikiran Islam, sejarah Islam dan realitas kehidupan. Oleh karena itu, dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal atau sumber pendidikan Islam.44
C. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, adalah membentuk akhlak mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rizki dan memlihara segi kemanfaatannya, menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta
43
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 74-75
44
Abdul Mujibdan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 44
44
didik, dan mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.45 Sedangkan menurut Ahmad Arifi, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim yang berkarakter islami yang diimplementasikan dalam perilaku sosial sebagaimana misi diutusnya Nabi Muhammad saw.46 Beberapa pemikir Islam memberikan gambaran tujuan pendidikan Islam dengan beragam. Misalkan, Ichwanus Sofa seorang ulama bermadzhab filsafat menekankan pada kepribadian seorang muslim, Al-Ghazali dan Abu Hasan al-Qabisi seorang ulama bermadzhab ahlu sunnah wal jama‟ah samasama menekankan pada pencapaian makrifat dalam agama, sedangkan Ibnu Maskawaih seoarang pakar hadits dan fiqih merumuskan tujuan pendidikan dengan melakukan pencapaian kebaikan, kebenaran, dan keindahan.47 Sedangkan menurut rumusan Konferensi Pendidikan Islam sedunia yang ke-2 pada tahun 1980 di Islamabad, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata,
tujuan
pendidikan
Islam
adalah
ditujukan
untuk
mencapai
keseimbangan pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demkian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya: spiritual, intelektual, daya imaginasi, fisik, keilmuan dan bahasa, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan ahir pendidikan 45
Sasmsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teorits dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 37 46
“انما بعثت التمم مكارم االخالقSesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak”
HR. Ahmad 47
Ahmad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 226
45
diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah, baik pada tingkat individual, mauun masyarakat dan kemanusiaan secara luas.48 Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa pakar pendidikan Islam diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan mengolah bumisesuai dengan aturan-aturan dan kehendak Tuhan. b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan Allah swt, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. c. Mengarahkan
manusia
agar
berakhal
mulia,
sehingga
ia
tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.49 Merumuskan tujuan pendidikan Islam merupakan syarat mutlak dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta pertimbangan
48 49
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 30-31
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 40-41
46
prinsiprinsipnya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan hakikatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.50 Dalam hal konsep dan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam, para pakar pendidikan Islam telah banyak mengemukakannya. Namun, tujuan pendidikan Islam tetap harus dikembalikan pada hakekat manusia. Dimana tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi pengabdinya Allah („Abdu allah)51 yang termanifestasikan dalam pengabdiannya kepada manusia dan alam (Ḥalifah allah).52 Dalam al-Qur‟an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaanya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapai dengan akal. Dalam hal ini Ibn „Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan memutuskan.”53 Konsepsi tentang manusia dalam pandangan Ikhwan al-Shafa mempunyai “dualistik”, yakni tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur 50
Istighfarotun Rahmaniyah, Pendidikan Etika, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 55
51
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” QS. Adz-Dzāriyāt [51] : 56 52
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."QS. Al-Baqarah [2] : 30 53
SamsulNizar, FilsafatPendidikan Islam ..., h. 1
47
jiwa-rohaniah.54 Oleh karena keduanya memiliki dimensi yang berbeda, maka hakikat pendidikan harus bisa menyuplai perbedaan dan kesamaan kedua unsur tersebut secara integratif. Tujuan
Pendidikan
Islam
mencakup
dua
dimensi,
dimensi
keakhiratan dan keduniawian. Tujuan ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan NasionalPasal 1 ayat 3menyebutkan, pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 55 Jika merujuk tujuan pendidikan yang termaktub di dalam Undangundang di atas, maka tujuan pendidikan memiliki dua dimensi. Menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merupakan tujuan pendidikan yang berdimensi keakhiratan. Sedangkan cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab
merupakan
tujuan
pendidikan
yang
berdimensi
keduniawian. Jadi, tujuan Pendidikan Islam memiliki dua tujuan sekaligus
54
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Perspektif Sosiologis-Filosofis, judul asli, al-Fikr al-Tarbawiyy al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih alIjtima „iyyati wa al-„Aqliyyat, terj. Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 153 55
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 3
48
secara integral, yaitu tujuan yang bersifat ideal (keakhiratan) dan tujuan yang bersifat praktis (keduniawian).56 Tujuan pendidikan Islam menurut Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, adalah pendidik jasmani (al-Tarbiyyah al-Jismiyah), pendidikan akal (al-Tarbiyyah al-„Aqliyah) dan pendidikan akhlak (al-Tarbiyyah al-Khuluqiyah).57 Tujuan tersebut sepertinya merujuk pada hakikat manusia yang mengatakan manusia tersusun dari unsur jasmani, rohani dan akal. Sedangkan menurut Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, tujuan Pendidikan Islam secara prinsip dan
teoritis ada dua, yaitu tujuan keagamaan (ideal) dan tujuan keduniaan (pragmatis).58 1. Tujuan Keagamaan Dimensi ini mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. dimensi ni menuntut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai duniawi atau materi.59 Tujuan keagamaan yang dimaksud adalah bahwa agama menjadi landasan gerak dan berpijak. Segala aktifitas yang dilakukan setiap pribadi muslim harus berangkat atas petunjuk nilai-nilai yang dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang shahih. Tujuan Pendidikan Islam yang bersifat keagamaan ini tidak berhenti pada aspek duniawi yang kemanfaatannya hanya sebatas "ربنا اتنا في ال نيا حسنة وفي االخرة حسنة و نا عذاب النارYa Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". QS. Al-Baqarah [2] : 201 56
57
Moh. Haitami & Syamsul Kurniawan, Studi Pendidikan Islam ..., h. 117-119
58
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 37 59
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 120
49
kebendaan atau materi saja, melainkan secara paralel menyambung menuju akhirat. Oleh karena itu, tujuan Pendidikan Islam berpijak pada keikhlasan dan kemurnian tauhid.
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” QS. An-Nahl [16] : 30
2. Tujuan Keduniaan Tujuan
ini
lebih
mengutamakan
pada
upaya
untuk
mewujudkan kehidupan sejahtera di dunia dan kemanfaatannya. Tujuan pendidikan jinis ini sejalan dengan filsafat aliran pragmatis yang menyatakan tujuan pendidikan hanya menitik beratkan pada suatu kemanfaatan hidup manusia di dunia dimana ukurannya sangat relatif. Nilai-nilai kehidupan didasarkan atas kecenderungan hidup sosial budaya yang berbeda-beda menurut temat dan waktunya.60 Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern saat ini yang diarahkan kepada pekerjaan yang berguna
60
Ahmad Arifin Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 228
50
(pragmatis), atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Allah sendiri menyuruh manusia untuk mencari dunia setelah menunaikan urusan akhirat.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” QS. Al-Jumu‟ah [62] : 10
D. Problem Implementasi Pendidikan Islam Salah satu problem pendidikan Islam yang selalu aktual menurut A. Syafii Maarif, adalah adanya dikotomi dalam sistem pendidikan Islam. Problem ini dianggap aktual karena masih sering dipersoalkan oleh para pakar pendidikan Islam.61 Adanya perbedaan sistem pendidikan yang memayungi institusi pendidikan umum dengan pendidikan agama, telah berdampak pada pemisahan keilmuan (dikotomi) sekaligus parsialnya kurikulum pendidikan Islam.62 Lembaga pendidikan Islam yang dinaungi oleh Kementerian Agama dan disatu sisi lembaga pendidikan umum dibawah naungan Kementerian
61
A. Syafii Maarif, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 3 62
Tantangan pendidikan Islam juga bisa datang dari dalam dan luar. Tantangan pendidikan Islam yang datangnya dari luar disebut tantangan globalisasi, sedangkan tantangan yang datangnya dari dalam diakibatkan dari otonomi pendidikan. Lebih lengkapnya, di bukunya Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 55-56
51
Pendidikan dan Budaya, ahirnya kurikulum pendidikan Islam tidak bisa optimal di dua lembaga pendidikan tersebut. Keilmuan yang idealnya terintegrasi-interkoneksi ahirnya menjadi problem dasar di dunia pendidikan Islam. Kebijakan ini memang sangat terkait dengan kebijakan politik balas budi, ahirnya dunia pendidikan Islam tidak bisa berkembang maju sesuai dengan tujuan idealnya. Dengan meminjam istilahnya Fachry Ali, “berpolitik atas nama tuhan” tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan ideology sebuah kelompok yang dibalut atas nama agama.63 Peran pendidikan Islam mestinya tidak diinterfensi oleh kepentingan-kepentingan paham sebuah golongan, ormas dan partai politik apapun. Dari problem pendidikan Islam yang disampaikan oleh A. Syafii Maarif,
setidaknya
Pertama,sekulerisasi
ada
dua
pendidikan,
problem yaitu
dasar
upaya
pendidikan
mendikotomikan
Islam. ilmu
pengetahuan dengan agama. Kedua, parsialisasi pemahaman agama, yang akan melahirkan klaim-klaim kebenaran dan mengkultuskan “sempalan pemahaman agama”. 1. Sekulerisasi Pendidikan Salah satu problem pendidikan hari ini adalah dikotomi ilmu, ilmu agama pada satu sisi, dan ilmu sekuler pada sisi yang lain. Oleh karena itu Fazlur Rahman berusaha mengintegrasikan kedua sistem
63
Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan; Keharusan Demokrasi dan Islam Indonesia, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 7
52
pendidikan itu.64 Pendidiakan yang mempunyai andil besar dalam perubahan diri manusia dan peradaban ini justru menjadi objek sekulerisasi. Sekulerisasi adalah proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian perhatian yang lebih besar dari sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Sekulerisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian. Ia membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini.65 Jika
ditelusuri,
latarbelakang
munculnya
sekulerisme,
sesungguhnya sekulerisme tidak memiliki akar sejarah dalam agama Islam. Sekulerisme justru dilahirkann oleh cendikiawan Kristen yang jenuh dengan dogma-dogma agamanya yang tidak rasional. Mereka ramairamai meninggalkan agamanya dan bersama-sama mereka mengkaji Islam. Ketika 7 abad peradaban Islam memimpin dunia, orang-orang Eropa Barat berbondong-bondong menimba ilmu pengetahuan di Baghdad dan Kordoba. Peristiwa perdebatan dan intimidasi oleh otoritas gereja terhadap para sarjanah Eropa, menjadikan ilmuan muali melawan dan menghantam dogma-dogma gereja yang tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, otoritas gereja ahirnya jatuh tersungkur dan ditinggalkan karena diklaim menjadi batu sandungan
244
64
Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan ..., h. 2
65
Nurcholish Majdid, Islam, Kemodernan, Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h.
53
peradaban di Eropa. Maka lahirlah paham sekulerisme yang memisahkan urusan gereja dengan urusan science di Eropa Barat pada abad 16 M. Sejak itu, Eropa mulai membedakan sekaligus memisahkan urusan agamanya dengan urusan ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Urusan akhirat (doktrin Injil) ditempatkan dalam pojok kehidupan privasi seseorang, sementara urusan dunia (segala aspek kehidupan) diletakan diatas segala-galanya. Di tengah kemajuan Eropa Barat yang semakin pesat dan kemunduran umat Islam yang semakin parah, Barat tidak segan-segan untuk mengkampanyekan bahwa kemajuan mereka tidak lain karena mereka sukses dalam menjadikan Agama sebagai urusan pribadi antara manusia dengan Tuhannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu bangsa manapun kalau ingin maju harus melakukan hal yang sama. Kampanye ini diterima oleh sebagian umat Islam khususnya setelah runtuhnya dinasti Ottoman dan digantikan dengan negara sekuler pimpinan Kamal Ataturk. Menurut Amin Rais, ada tiga komponen sekulerisme. Pertama disenchantment of nature, yakni pembebasan alam dari nilai-nilai agama agar masyarakat dapat dengan bebas melakukan perubahan dan pembangunan. Kedua, desakralisasi, yakni penghapusan legitimasi sakral atas
otoritas
dan
kekuasaan.
Hal
ini
merupakan
syarat
untuk
mempermudah berlangsungnya berubahan sosial dan politik dalam proses
54
sejarah. Dan ketiga adalah dekonsentrasi nilai-nilai, yakni merelativisasi setiap nilai-niali agama.66 Secara umum, dikhotomi pendidikan Islam disebebkan oleh faktor-faktor berikut: stagnasi pemikiran Islam, penjajahan Barat atas dunia muslim, dan modernisasi atas dunia muslim.67 Stagnasi pemikiran Islam dimulai sejak munculnya isu pintu ijtihad telah tertutup, sehingga keberanian untuk menggali ilmu pengetahuan menjadi statis. Westernisasi ideologi Barata akibat proses modernisasi atas dunia Timur dan Islam, diyakini telah banyak mempengaruhi pemikiran cendikiawan muslim dalam mendikotomikan ilmu. 2. Parsialisasi Pemahaman Agama Agama dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai ajaran, system yang mengatur tata cara keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.68 Agama menurut para ahli adalah berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. 69Jadi agama adalah institusi yang mengatur seperangkat aturan yang sistematis, termasuk didalamnya mengatur tentang aspek kehidupan, disamping mengatur tata cara beribadah.
66
M. Amin Rais, Tauhid Sosial ..., h. 79
67
Ikhrom, Paradigma Pendidikan Islam; Dikhotomi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 83-85 68
QonitaAlya, KamusBahasa Indonesia ..., h. 6
69
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam ..., h. 28
55
Dien, berasal dari bahasa Arab. Dr. Faisal Ismail, MA mengutip pendapat H. Moenawar Chalil, dȋn merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja dāna yadȋnu; menurut bahasa kata dien mempunyaiarti 1). Cara atau adat kebiasaan; 2). Peraturan; 3). Undang-undang; 4). Taat atau patuh; 5). Menunggalkan ketuhanan; 6). Pembalasan; 7). Perhitungan; 8). Hari qiamat; 9). Nasehat; 10). Agama.70 Senada dengan A.W. Munawwir dalam kamus Al-Munawwir, alDȋn jamaknya adyān yang berarti: agama, kepercayaan, tauhid, ibadah, kesalehan.71 Bahkan selain agama, ada istilah millah.72 Hanya saja millahlebih cenderung berarti “mendikte”. Sedangkan religi berasal dari bahasa Inggris kata religion yang berarti kepercayaan atau agama.73 Agama secara terminology, suatu cara kehidupan social manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk beragama.74 Dengan demikian, secara otomatis agama mendorong para penganutnya
70
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam ..., h. 29
71
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h.
437 72
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” QS. Al-Baqarah [2] : 120 73
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer, (Jakarta: Widyatamma Pressindo, 2011),
74
Jurnal Religio, Vol. 01. No. 01, Maret 2011, Fak. Ishuluddin IAIN Sunan Ampel, h. 77
h. 401
56
untuk mempraktekkan ajarannya karena agama dengan doktrin dan ajarannya memberikan gambaran ideal.75 Secara garis besar, teori tentang bentuk agama tertua dapat dibagi atas dua.Pertama,
berpendapat bahwa agama tertua berbentuk paling
sederhana, seperti dinamisme, animisme, totemisme (yakni kepercayaan; bahwa sukunya keturunan dewa yang berwujud binatang atau tumbuhtumbuhan)76 kemudian politeisme, dan terahir monoteisme yang merupakan bentuk paling sempurna. Menurut teori ini, agama adalah hasil pemikiran manusia, bukan dari Tuhan. Teori ini dianut oleh para sarjana sekuler yang dipengaruhi oleh teori evolusi. Teori yang lain mengatakan bahwa bentuk agama asli dan tertua adalah monoteisme, yang berasal dari wahyu Tuhan. Sejak zaman Nabi Adam as, manusia telah menganut monoteisme. Dinamisme, animisme, totemisme, politeisme, dan bentuk lainnya adalah penyelewengan dari monoteisme. Teori monoteisme ini dianut oleh Yahudi, Nasrani, dan Islam.77 Agama yang dipadang sebagai system nilai, berkecenderungan dipahami oleh pengikutnya secara beragam bahkan yang lebih berbahaya secara pasial. Dampak pemahaman parsial terhadap agama, tidak hanya menjadikan agama tidak lagi menjadi sacral dan inspiratif, tetapi akan
75
Afadlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2004), h. 7
76
S. Wojowasito dan Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, IndonesiaInggeris, (Bandung: Hasta, 1980), h. 239. 77
Luthfi Assyaukanie dkk, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar Jilid, jilid 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 23
57
berimbas pada pengaburan kemurnian agama dan tatanan sosial dunia. Dimana ketika agama dipahami tidak tuntas, maka problem kehidupan tidak akan terpecahkan bahkan pemahaman agama itu akan menjadi bagian problem social.
E. Pembaharuan Pendidikan Islam Ciri umum terpenting pendidikan Islam pada masa keemasan adalah masuknya ilmu-ilmu intelektual, berdirinya sekolah-sekolah dan munculnya pemikiran-pemikiran pendidikan yang unik, seperti ilmu-ilmu fislasaf, matematik, geometrik, aljabar, falak, kedokteran, kimia, musik, sejarah dan geografi.78 Munculnya multi disiplin ilmu tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari fakta ghirah kaum sarjana muslim yang menterjemahkan ilmu-ilmu Yunani kedalam bahasa Arab dari manuskrip-manuskrip berbahas Yunani. Fakta sejarah mengajarkan bahwa, Islam bukan saja sebuah agama yang mengutamakan ibadah, melaikan islam juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Seperti disebut dalam sejarah bahwa tatkala Emperor Romawi Justinuanus membuang filosof-filosof ahli-ahli ilmu Yunani dari Athena sebab mereka menyembah berhala, mereka melarikan diri ke negeri Persi
78
90
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al Husna Zikra, 2000), h.
58
sebab mereka mendapat sambutan Kisra Anu Syirwan (531-578 M) yang bekasnya masih ada sampai timbulnya kerajaan Abbasiyah.79 Pengetahuan tentang filsafat dalam ilmu pengetahua, termasuk dalam pendidikan Islam, tidak hanya urgen melainkan menjadi landasan pokok dalam memahami apa hakikat pendidikan Islam itu. Oleh karena itu, ijinkan pemakalah menyampaikan makalah ini dengan judul Pendidikan Islam dalam Perspektif Ontologi dan Metafisika. Proses kemajuan Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang pembaharuan pemikiran Pendidikan Islam di Baghdad-Irak dan Kordoba-Spanyol. Baghdad merupakan “intan dunia” yang cemerlang di gugusan planet. Louis Gardet mengatakan: Pada abad ke-10 dan 11 M, Kordoba dikenal sebagai “permata dunia” yang menandingi Baghdad pada zaman keeamasannya.80 Pada tahun 762 M, Khalifah al-Mansur telah meletakan batu pertama bagi ibu kotanya yang baru, yakni Baghdad. Beliau telah menghimpun golongan cerdik pandai diberbagai lapangan serta menggalakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan sastra dari bahasa Sangsekerta, Suriani, dan Yunani.81 Pada saat itu, lahir empat madzhab fiqih yang berkembang,82 yakni
79
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam ..., h. 91
80
M. Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, judul asli, al-Islamul„Amsu wa Islamul-Ghad, penerjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 81 81
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 3, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), h.
198 82
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 102
59
Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafi‟i (204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H).83 Demikian juga di bawah pemerintahan Abdurrahman III dan alHakam II, Kordoba mengalami puncak kejayaan, terutama dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ketika itu Islam memiliki universitas Kordoba. Universitas Kordoba merupakan pusat intelektual di Eropa dengan perguruan-perguruan yang amat terkenal dalam bidang kedokteran, matematika, filsafat, kesusasteraan dan musik. Disini banyak dilakukan penyalinan naskah-naskah Latin dan Yunani. Di Kordoba pula lahir sejumlah ilmuwan besar seperti IbnuRusyd, IbnuThufail, dan al-Bajjah.84 Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di Spanyol dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: adanya dukungan dari penguasa, didirikannya sekolah-sekolah dan universitas-universitas dibeberapa kota, banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung Timur samapai ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan bermacam-macam gagasan, dan adanya kompetitor dalam bidang ilmu pengetahuan antara universitas Kordoba di Spanyol dengan universitas Nizhamiyah di Baghdad-Irak85 Jika diteliti secara seksama, peranan, jasa dan sumbangan Islam pada bangsa-bangsa Eropa dapat dibagi menjadi dua,86pertama, ummat Islam menyelamatkan warisan kebudayaan klasik Yunani dari ancaman kehilangan
83
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam ..., h. 191
84
Luthfi Assyaukanie, Ensiklopedi Islam ..., jilid 3, h. 110
85
Abduddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam ..., h. 268
86
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam ..., h. 232
60
dan kemusnahannya sehingga penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Aristoteles, Galenus, Ptolemios dan kawan-kawannya tidak hilang. Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan kebudayaan klasik Yunani dengan penambahan unsur-unsur baru; ia kemudian menjadi sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan munculnya renaissance. Sesungguhnya cikal bakal kemajuan peradaban Islam sangat ditentukan pula oleh Pendidikan Islam melalui gerakan penerjemahan manuskrip-manuskrip kuno. Berdasarkan
asumsi
bahwa
pembaharuan
pendidikan
Islam
bersumber dari upaya pembaharuan pemikiran Islam, maka pembaharuan pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pembaharuan pemikiran yang dilakukan dalam bidang pemikiran maupun praktek pendidikan Islam.87 Pendidikan Islam sebagai kumpulan ide dan gagasan pemikiran, tentu akan senantiasa berkembang dan mengalami perubahan
berdasarkan konteks
sosial. Dalam trend umum, pemikiran Islam setidaknya terbagi dalam beberapa pemikiran, yaitu formalistik-tekstualis, tradisioanlistik, modernistik, dan transformatik-emansipatoris. Adapuan dalam trend khusus, pendidikan
87
S. Lestari & Ngatini, Pendidikan Islam Kontekstual ..., h. 93
61
Islam terdiri atas parenial-esensialis salafi, perenial-esensialis madzhabi, modernis, dan perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif.88
88
Lihat selengkapnya di Hasan Baharun & Akmal Mundiri dkk, Metodologi Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 122-127