6
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.1.1 Definisi CSR Menurut Budimanta (2008), CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terakit, utamanya masyarakat di sekitarnya dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan. CSR juga merupakan komitmen dunia usaha untuk melaksanakan kewajiban sosial terhadap lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keseimbangan hidup ekosistem di sekelilingnya (Depsos, 2005 seperti yang dikutip Dewani, 2009) . Menurut Hardinsyah (2009) dalam Dewani (2009) memaparkan bahwa CSR adalah meminimalkan resiko negatif dan memaksimalkan manfaat dari kebijakan dan program perusahaan bagi lingkungan fisik dan sosialnya. Oleh karena itu, suatu perusahaan seharusnya tidak saja memberikan dampak positif, berbuat kebajikan bagi kesejahteraan stakeholders, tetapi juga mengelola kegiatan untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan perusahaan CSR merupakan tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Wibisono, 2007).
2.1.1.2 Prinsip dan Ruang Lingkup CSR Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumber daya masyarakat, juga komunitas setempat (lokal). Kemitraan
7
ini, tidaklah bersifat pasif dan statis. Kemitraan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antar stake holders (Budimanta et.al, 2008). Menurut Zainal (2006) terdapat beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan suatu program CSR yang baik adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan program CSR dari aspek perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi bersama-sama antar stake holder.
2.
Membangun komunikasi berkala antar pemangku kepentingan untuk mengkordinasikan, mensinergikan dan memantau serta mengevaluasi penerapan program CSR.
3.
Mengembangkan sistem dan mekanisme penerapan program CSR berdasarkan aturan dan panduan yang berlaku bagi semua stake holder dengan mengedepankan program dan kegiatan yang langsung menyentuh masyarakat, dan berdampak jangka panjang.
4.
Mengembangkan sistem dan perencanaan program CSR pengetahuan yang terpadu dan transparan melalui program lokakarya atau musyawarah perencanaan yang khusus dilakukan untuk merumuskan program CSR.
5.
Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang transparan dan akuntabel agar dapat mencapai sasaran dan dampaknya terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan membangun daerah. Terdapat lima dasar Corporate Social Responsibility Management System
Standards yang muncul dari Customer Protection dalam Global Market Working Group Report yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanaan CSR (Budimanta, 2008): 1.
Mengidentifikasi dan menyeleksi substansi dari norma dan prinsip yang relevan oleh sebuah perusahaan
2.
Cara-cara untuk mendekatkan jarak antar stakeholder oleh aktivitas perusahaan dalam kaitannya peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan dan pendekatan dalam implementasi
8
3.
Proses dan sistem untuk menjamin efektivitas operasional dari komitmen CSR
4.
Teknik-teknik untuk verifikasi kemajuan ke depan dari komitmen CSR
5.
Teknik-teknik untuk stakeholder dan laporan publik serta komunitas Menurut Wibisono (2007) menyatakan ada empat tahapan yang dilakukan
oleh suatu perusahaan dalam melaksanakan program CSR, yaitu: 1.
Tahap perencanaan: tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kodisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkahlangkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, perencanaan merupakan inti dalam memberikan petunjuk pelaksanaan CSR bagi konsumen perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien.
2.
Tahap implementasi: pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari 3 langkah utama yaitu sosilaisasi, pelaksanaan dan internalisasi.
3.
Tahap evaluasi: tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR.
4.
Pelaporan: pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
9
Adapun menurut Ambadar (2008) terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan dalam menerapkan program CSR yang sistematis dan kompleks, maka langkah atau tahapan yang dapat ditempuh adalah; 1.
Dimulai dengan melihat dan menilai kebutuhan (needs assessment) masyarakat sekitar. Caranya dengan mengidentifikasi masalah atau problem yang terjadi di masyarakat dan lingkungannya setelah itu dicarikan solusinya yang terbaik menurut kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, perusahaan tidak perlu melakukan sendiri, melainkan dapat menggunakan sumber daya di luar perusahaan, misalnya menunjuk perusahaan atau lembaga lain melakukan riset dasar atau base line study.
2.
Membuat rencana aksi rangkap dengan anggaran , jadwal waktu, indikator untuk mengevaluasi dan sumber daya manusia yang ditunjuk untuk melakukannya. Dalam hal ini, perusahaan dapat membagi program dalam bentuk kegiatan jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang. Hingga masyarakat mandiri dalam arti yang sesungguhnya.
3.
Monitoring, yang dapat dilakukann dengan survei maupun kunjungan langsung. Evaluasi dilakukan secara reguler dan dilaporkan, agar menjadi pandun untuk strategi atau untuk pengembangan program selanjutnya.selain itu evaluasi juga dilakukan dengan mencocokkan hasil evaluasi internal perusahaan dengan pihak eksternal. Disampig itu perlu juga dilakuakn audit sosial secara objektif terhadap pelaksanaan program, untuk melihat apakah program telah tepat sasaran, serta dirasakan manfaatnya oleh masyrakat, sesuai tujuan pelaksanaannya. Mekanisme pelaksanaan program CSR atau kegiatan CSR menurut
Wibisono (2007) dapat dilakukan sebagai berikut: 1.
Bottom Up Prosess, yaitu program berdasar pada permintaan beneficiaries, yang kemudian dilakukan evaluasi oleh perusahaan.
2.
Top Down Process, yaitu program berdasar survei atau pemeriksaan seksama oleh perusahaan yang disepakati oleh beneficiaries.
3.
Partisipatif, yaitu program dirancang bersama antara perusahaan dan beneficiaries.
10
2.1.2 Pengembangan masyarakat 2.1.2.1 Definisi dan Prinsip Pengembangan Masyarakat Johnson (1984) dalam Wibisono (2007) bahwa pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau seting praktek pekerjan sosial yang bersifat makro (makro practice). Maksud konsep tersebut yaitu pengembangan masyarakat tidak hanya dilakukan oleh para pekerja sosial saja, akan tetapi dapat pula dilakukan oleh para pekerja dalam profesi lain. Definisi lain tentang pengembangan masyarakat diungkapkan oleh AMA (1993) dalam Wibisono (2007) sebagai metode yang memungkinkan orang daapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Menurut Suharto (2005) Pemberdayaan atau pengembangan masyarakat adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau kebrdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki keuasaan atau mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam memenuhi kebutuahan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Konsep pengembangan masyarakat menurut Rothman (1968) dalam Wibisono (2007) menjelaskan konsep pengembangan masyarakat melalui 3 model praktek pengorganisasian komunitas (Three Models of Community Organization Practice), yaitu pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial. Menurut Budimanta dalam Rudito dkk (2007), pengembangan masyarakat adalah kegiatan pembangunan komunitas yag dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai
11
kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat. Secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat melainkan juga bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005). Glen (1993) dalam Adi (2003) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan masyarakat: 1.
Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka. Tujuan utama dari pengembanagan
masyarakat
menurut
Glen
(1993:
h.
25)
adalah
mengembangkan kemandirian dan pada dasarnya memantapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas berdasarkan basis ‘ketetanggan’ (neighbourhood) meskipun bukan secara ekslusif. 2.
Proses pelaksanaanya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun
kelompok-kelompok
dalam
masyarakat
tersebut.
Glen
memprasyaratkan adanya kerjasama dan kreatifitas sebagai dasar proses pengembangan masyarakat yang baik. Melihat komunitas sebagai kelompok masyarakat yang secara potensial kreatif dan kooperatif mereflesikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif dan pembentukan identitas komunitas. 3.
Praktisi
yang
menggunakan
model
intervensi
ini
(lebih
banyak)
menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat non-
12
direktif. Peran community worker pada pendekatan ini lebih banyak difokuskan pada peran sebagai ‘pemercepat perubahan’ (enabler), ‘pembangkit semangat’ (encourager) dan ‘pendidik’ (educator). Menurut Budimanta (2008), ruang lingkup program-program pengembangan masyarakat (community development) dapat dibagi berdasarkan tiga kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-sama yang terdiri dari: 1.
Community
Relation;
yaitu
kegiatan-kegiatan
yang
menyangkut
pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) perusahaan. Dari hubungan ini, maka dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalahmasalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. 2.
Community Services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Dalam kategori ini, program-program dilakukan dengan adanya pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, sumber air minum, dan sebagainya. Inti dari kategori ini adalah kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan tentang masalah yang ada di komunitas dilakukan oleh komunitas sendiri dan perusahaan hanya sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer.
3.
Community Empowering; merupakan program-program yang berkaitan dengan pemberiaan akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang
kemandiriannya,
misalnya
pembentukan
koperasi.
Pada
dasarnya, kategori ini melalui kategori tahapan-tahapan lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community service dengan segala metodologi pangilan data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini.
13
2.1.2.2 Partisipasi dalam Pengembangan Masyarakat Pengertian partisipasi menurut kamus besar bahasa indonesia (Depdikbud, 1986) adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat pula diartikan keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan Sastro Poerto (1988) dalam Makmur (2005) bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan. Cohen dan Uphof (1977) dalam Makmur (2005) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 1.
Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan.
2.
Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
3.
Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
4.
Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
2.1.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Perilaku seseorang terhadap suatu objek diwujudkan dengan kegiatan partisipasi, keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh beberapa
14
faktor, menurut Pangestu yang dikutip oleh Santoso (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam program penyuluhan pertanian dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: a.
Faktor internal dari individu yang mencakup ciri-ciri atau karakteristik individu yang meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha dan kosmopoitan
b.
Faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu yang meliputi hubungan antar pengelola dengan petani garapan, kebutuhan masyarakat pelayanan pengelola dengan kegiatan penyuluhan.
2.1.3 Modal Sosial 2.1.3.1 Definisi dan Konsep Modal Sosial Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama (Djohan, 2007). Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007) menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Modal sosial yaitu perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000) Modal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world- view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi memudahkan
modal-modal
lainnya
terjadinya
tindakan
(fisik, kolektif,
manusiawi,
budaya)
pertumbuhan
pembangunan (Colleta & Cullen, 2000 dalam Nasdian 2006).
sehingga
ekonomi
dan
15
Modal sosial adalah seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannnya (Putman,1993 dalam Suwartika, 2003). Sedangkan modal sosial Menurut Coleman (1988) adalah keseluruhan yang terdiri dari sejumlah aspek struktur sosial dan semua itu berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu
di dalam suartu struktur
pencerminan dari struktur kepercayaan sosial dimana tersedia jaminan-jaminan dan harapan-harapan atas suatu tindakan sosial. Coleman (2000) dalam Suwartika (2003) menganggap kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan oleh adanya dan terjaganya (trust) atau amanah dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga hubungan transaksi antar manusia, baik yang bersifat ekonomis maupun non-ekonomis, hanya mungkin bias berkelanjutan apabila ada kepercayaan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi. Konsep modal sosial yang dipergunakan Colmean telah mendorong dilakukannya studistudi mengenai modal sosial oleh banyak ilmuwan sosial yang lain, dan menggunakannya untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial. Uphoff membagi komponen modal sosial ke dalam dua kategori yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial. Kedua, kategori kognitif dihubungkan dengan proses–proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideology dan budaya. Komponen-komponen modal sosial (Uphoff, 2000 dalam Suwartika, 2003) tersebut diantaranya: 1.
Hubungan sosial (jaringan); merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan. Komponen ini termasuk pada kategori struktural.
2.
Norma; kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakii dan disetujui bersama
3.
Kepercayaan; komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertidak sama. Komponen ini termasuk dalam kategori kognitif
16
4.
Solidaritas; terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersamasama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. Komponen ini termasuk ke dlaam kategori struktural
5.
Kerjasama; terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan . komponen ini termasuk ke dalam kategori kognitif. Menurut Djohan (2007), modal sosial yang ideal adalah modal sosial yang
tumbuh di masyarakat. Modal sosial yang dimiliki seyogyanya memiliki muatan nilai-nilai yang merupakan kombinasi antara nilai-nilai universal yang berbasis humanisme dan nilai-nilai pencapaian (achievement values) dengan nilai-nilai lokal. Modal sosial yang berbasis pada ideologi pancasila merupakan bentuk modal sosial yang perlu dikembangkan bersama-sama guna membangun masyarakat Indonesia yang partisipatif, kokoh, terus bergerak, kreatif, kompak, dan yang menghormati manusia lain. Modal sosial memiliki unsur-unsur penopang, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Social participation. Social participation berarti partisipasi sosial anggota masyarakat. Pada masyarakat tradisional, hal ini melekat dalam perayaan kelahiran, perkawinan, kematian, (2) Reciprocity atau timbal balik, yaitu saling membantu dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian hubungan yang terjadi menyangkut hak dan tanggung jawab, (3) Trust atau kepercayaan, (4) Acceptance and diversity atau penerimaan atas keberagaman, yaitu adanya toleransi yang memperhatikan sikap dan tindak-tanduk serta perilaku yang saling hormatmenghormati, saling pengertian, dan apresiasi di antara lingkungan, (5) Norma dan nilai. Norma dan nilai merupakan value system yang akan berkembang menjadi suatu budaya, (6) Sense of efficacy atau perasaan berharga, yaitu timbulnya rasa percaya diri dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang, dan (7) Cooperation and proactivity atau kerjasama dan proaktif. Dalam
17
kaitannya dengan modal sosial, kerjasama harus terus bergerak serta dituntut kreatif dan aktif (Djohan, 2007).
2.1.3.2 Tipologi dan Dimensi Modal Sosial Djohan (2007) menyebutkan dua tipologi modal sosial, yaitu: 1.
Modal Sosial Terikat (Bonding Sosial Capital); Modal sosial terikat umumnya cenderung bersifat ekslusif dan memiliki ciri khas yang lebih berorientasi ke dalam (inward looking) daripada keluar (outword looking). Ragam masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya homogen dan cenderung bersifat konservatif serta mengutamakan solidaritas daripada membangun diri dan kelompok sesuai nilai dan tuntutan nilai dan norma masyarakat terbuka.
2.
Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Sosial Capital) Modal sosial yang menjembatani memiliki kecenderungan untuk senantiasa berhubungan, berteman, dan bekerjasama dengan beragam latar belakang manusia atau kelompok. Tipologi modal sosial ini disebut sebagai bentuk modern dari pengelompokkan, grup, asosiasi, atau masyarakat, dan bersikap terbuka
serta
kemajemukan,
mengembangkan kemanusiaan,
dan
nilai-nilai
persamaan,
kemandirian.
kebebasan,
Kelompok
yang
menjembatani biasanya mengembangkan semangat kebebasan kepada setiap anggotanya, antara lain bebas bicara, mengemukakan pendapat, dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ciri lain dari kelompok brigding adalah menghormati kemajemukan dan kehumanitarian. Terdapat empat dimensi modal sosial, yaitu: (Nasdian, 2006) 1.
Integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. contohnya adalah ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama
2.
Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal. Contohnya dalah jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kenegaraan (civic association) yang menenmbus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama.
18
3.
Integrasi organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menengakkan peraturan
4.
Sinergi (synergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-commuity relation). Fokus dalam perhatian sinergi ini adalah apakah Negara memberian ruang yang luas dan tidak bagi partisipasi warganegaranya. Dimensi ke-1 dan ke-2 berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi
ketiga dan ke empat, ditambah dengan pasar (market) berada pada tingkat vertical (Woolcock dalam Nasdian, 20006).
2.2
Kerangka Pemikiran Perusahaan memiliki strategi dan kebijakan tersendiri dalam menjalankan
Corporate Social Responsbility (CSR). Kebijkaan CSR yang dijalankan dengan terlebih dahulu merumuskan langkah-langkah kebijakan program. Ambadar (2008), menyebutkan ada tiga tahapan yang dilakukan oleh perusahaan dalam menerapkan program CSR yang sistematis, dengan langkah-langkah: 1) menilai kebutuhan (needs assessment), 2) membuat rencana aksi rangkap dengan anggaran, jadwal waktu, dan indikator untuk mengevaluasi, dan 3) monitoring yang dapat dilakukan dengan metode survei maupun kunjungan lapang secara langsung. Secara umum bentuk aktualisasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan meliputi bidang ekonomi, pendidikan, lingkungan, sosial dan keagamaan. Pada tahun 2007 PT Arutmin Satui Mine memfokuskan program pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan prinsip pengembangan masyarakat. Salah satu bentuk program yang dilakukan adalah program Aku Himung Petani Banua (AHPB). Budimanta dkk. (2008), mengelompokkan ruang lingkup programprogram pengembangan masyarakat ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) community relation, 2) community services, dan 3) community empowering. Kondisi sosial kebudayaan dari suatu masyarakat turut menentukan modal sosial yang terbangun antara penerima program dan perusahaan. Sasaran dari
19
program AHPB adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tambang yang dikategorikan menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Ring I, Ring II, dan Ring III. Pembagian wilayah berdasarkan jarak tempat lokasi bermukim dengan area pertambangan. Ring I merupakan prioritas dari program pengembangan masyarakat karena masyarakatnya secara langsung merasakan dampak yang ditimbulkan akibat beroperasinya kegiatan pertambangan. Masyarakat penerima program memiliki kondisi sosial ekonomi dan budaya yang berbeda, di lokasi pertambangan Satui misalnya, sebagian besar masyarakatnya adalah
transmigran
yang berasal dari pulau
Jawa.
Mata pencaharian
masyarakatnya pun beragam, mulai dari petani, peternak, buruh, pedagang, karyawan, guru, dll. Program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan menuntut adanya partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi aktif dilakukan baik dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program maupun pada evaluasi program.
Seseorang dapat berpartisispasi dalam program pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal responden merupakan faktor yang terdapat dalam diri responden, faktor tersebut mencakup ciri-ciri individu responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tigkat pendidikan, tingkat pendapatan, etnis (suku), asal mula pekerjaan, dan kedekatan tempat tinggal. Faktor eksternal dalam hal ini adalah modal sosial yang terbangun antara masyarakat dan perusahaan. Modal Sosial yang akan diuji hubungannya adalah tingkat kepercayaan dan tingat kerjasama. Modal sosial tersebut adalah modal sosial vertikal antara penerima program dan perusahaan. Modal sosial yang diteliti merupakan modal sosial sebagai perpektif bukan sebagai entitas, dengan istilah lain dikenal dengan
“Kapital
Sosial”. Modal sosial yang diteliti meliputi: 1) kepercayaan; keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertindak yang sama, 2) hubungan sosial (jaringan); pola-pola hubungan yang memfasilitasi tindakan kolektif dan saling menguntungkan serta berbasis pada kebutuhan, dan 3) kerjasama; keinginan untuk menerima tugas dan penugasan demi kemaslahatan bersama atas dasar saling menguntungkan.
20
Program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan mendatangkan manfaat baik bagi perusahan selaku penyelenggara program maupun masyarakat selaku penerima program. Manfaat yang dirasakan berupa manfaat ekonomi dan sosial. Adapun manfaat yang dirasakan oleh perusahaan adalah lancarnya proses aktivitas pertambangan akibat tidak adanya gangguan yang ditimbulkan oleh masyarakat, gangguan dapat menghambat beroperasinya proses penambangan batu bara. Sedangkan bagi masyarakat, manfaat yang dapat dirasakan adalah terciptanya lapangan pekerjaan baru sehingga membuka kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi.
21
Pendekatan CSR PT Arutmin Satui Mine
Modal sosial (Uphoff, 2000) Tingkat kepercayaan Tingkat kerjasama Kuat jaringan
Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
Tingkat partisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi program AHPB: Perencanaan program Pelaksanaan program Evaluasi program
Manfaat Program Perusahaan Masyarakat
Karakteristik sosial ekonomi individu: Umur responden Jenis kelamin Jenis pekerjaan Tingkat pendidikan Etnis (suku) Tingkat pendapatan Asal mula pekerjaan Lokasi tempat tinggal
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian Penelitian Keterangan: : Hubungan yang diuji : Hubungan yang tidak diuji 2.3
Hipotesis Penelitian
1.
Responden berusia produktif cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
22
2.
Responden berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
3.
Responden program AHPB Pertanian cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
4.
Semakin tinggi pendidikan yang pernah ditamatkan oleh responden maka cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
5.
Responden Etnis Jawa cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
6.
Semakin tinggi pendapatan responden maka cenderung lebih berpartisipasi dalam program pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine.
7.
Semakin dekat daerah tempat tinggal responden dengan lokasi tambang maka
responden
cenderung
lebih
berpartisipasi
dalam
program
pemberdayaan ekonomi PT Arutmin Indonesia Satui Mine. 8.
Responden Etnis Jawa cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan.
9.
Responden berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi dalam program AHPB.
10.
Responden berusia produktif cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi dalam program AHPB.
11.
Responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi dalam program AHPB.
12.
Responden berpendapatan tinggi cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi dalam program AHPB.
13.
Responden yang memiliki usaha sebelum bergabung dengan AHPB cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi
14.
Responden Etnis Jawa cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi terhadap perusahaan.
23
15.
Responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan kerjasama yang tinggi terhadap perusahaan.
16.
Semakin dekat tempat tinggal responden dengan lokasi tambang maka cenderung lebih memiliki tingkat kepercayaan dan tingkat kerjasama yang tinggi.
17.
Semakin tinggi modal sosial vertikal yang terbangun antara masyarakat dan PT Arutmin maka cenderung membuat masyarakat akan berpartisipasi dalam program AHPB.
2.4
Definisi Operasional
1.
Umur: selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan.
2.
Jenis kelamin: sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden, yang dinyatakan dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.
3.
Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (1) Rendah, jika tamat dan tidak tamat SD dan sederajat, (2) Sedang, jika SLTP dan SLTA sederajat dan (3) Tinggi, jika pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
4.
Jenis pekerjaan adalah profesi yang menopang kehidupan responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis pekerjaan dikategorikan mendadi dua, yaitu pekerjaan yang terkait AHPB (peternak, petani, dan pembudidaya ikan) dan pekerjaan tambahan.
5.
Suku (etnis) adalah asal tempat responden dilahirkan dan atau status suku bangsa responden yang diakui oleh responden
6.
Asal mula pekerjaan adalah pekerjaan yang ditekuni responden sebelum mengikuti program. Yang dikategorikan menjadi ”baru” jika responden sebelumnya tidak memiliki pekerjaan yang terkait dengan AHPB dan
24
”lama” jika sebelumnya responden memiliki pekerjaan yang terkait dengan AHPB 7.
Tingkat pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah penghasilan seseorang. Pengukuran tingkat pendapatan sebagai berikut: Tinggi
: > Rp 3.000.000/bulan
Sedang : Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000/bulan Rendah : < Rp 1.000.000/bulan 8.
Lokasi tempat tinggal adalah jarak tempat tinggal responden dengan lokasi tambang. Dikategorikan menjadi Ring I, Ring II, Ring III. Ring I
: Desa Bukit Baru, Desa Makmur Mulia, dan Desa Sei Sungai Cuka
Ring I
: Desa Sungai Danau, Desa Satui Timur, Desa Sei Cuka Serindai, Desa Pasir Putih, dan Desa Kintapura
Ring III : Desa Kintap Kecil dan Desa Al-Kautsar 9.
Tingkat kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antara responden dan perusahaan. Digolongkan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 36,8 < x < 50
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 23,4 < x < 36,7 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 10 < x < 23,3 10.
Kuat jaringan adalah seberapa banyak simpul-simpul jaringan yang ada serta keterlibatan responden dalam simpul-simpul tersebut. Digolongkan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 36,8 < x < 50
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 23,4 < x < 36,7 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang
25
10 < x < 23,3 11.
Tingkat kerjasama adalah, seberapa sering responden melakukan kerjasama dengan perusahaan dalam kegiatan CSR yang dilakukan, yang dikategorikan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 36,8 < x < 50
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 23,4 < x < 36,7 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 10 < x < 23,3 12.
Tingkat partisipasi pada tahap perencanaan program: dinyatakan sebagai keikutsertaan responden dalam mengikuti rencana suatu kegiatan. Pada tahap perencanaan, yang dinilai adalah kehadiran responden dalam perencanaan program, terlibat dalam identifikasi kebutuhan, dan keterlibatan dalam mengemukakan pendapat. Digolongkan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 36,8 < x < 50
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 23,4 < x < 36,7 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 10 < x < 23,3 13.
Tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan program: dinyatakan dalam keikutsertaan
dalam
pelaksanaan
kegiatan
program
pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan. Partisipasi diukur berdasarkan banyaknya kegiatan yang diikuti, terlibat dalam pengambilan keputusan, serta akses dan kontrol terhadap program. Digolongkan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 36,8 < x < 50
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 23,4 < x < 36,7
26
Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 10 < x < 23,3 14.
Tingkat partisipasi pada tahap monitoring program: yaitu keikutsertaan responden dalam memonitoring kegiatan. Jika responden terlibat secara bersama dalam membuat pelaporan suatu kegiatan. Digolongkan menjadi: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 18,4 < x < 25
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 11, 7 < x < 18, 3 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 5 < x < 11,6 15.
Tingkat partisipasi dalam program AHPB adalah keseluruhan keterlibatan masyarakat dalam program AHPB dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan
evaluasi.
Tingkat
partisipasi
diukur
dengan
mengakumulasikan skor pada masing-masing tahap program dan dibuat tiga selang kategori partisipasi, yaitu partisipasi rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan selang skor berdasarkan rumus sebagai berikut: Rentang Kelas =
Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh skor sebagai berikut: Tinggi
: jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 91,68 < x < 125
Sedang : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 58,34 < x < 91, 67 Rendah : jika jumlah skor menjawab responden berada pada selang 25 < x < 58,33