BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Agraria Pengertian agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (UU No.5 Tahun 1960) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi: 1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan. 2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan. 3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan. 4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi” 5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri. Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria
merujuk pada
berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Masing-masing subjek agraria tersebut memiliki hubungan yang dapat dilihat melalui gambar berikut: Komunitas
Sumber Agraria
Swasta
Pemerintah
Gambar.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber: Sitorus 2002) Keterangan: Hubungan teknis agraria Hubungan sosio agrarian 2.1.2 Konsep dan Definisi Lahan Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalam Akbar, 2008). Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni: 1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain. 2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil. 2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.
3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.
2.1.3 Konversi Lahan Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu: 1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. 3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan. 5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif. Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia (Cristodoulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni: 1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah. 2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah
Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas. 3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.
2.1.4 Faktor Penyebab Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiawan (1997) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu: 1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3. Faktor Kebijakan. Merupakan Aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendirisendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu: 1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan 3. Peningkatan jumlah penduduk Pakpahan, et.al (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang.
Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian. Penelitian ini merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan kebijakan pemerintah.
2.1.5 Konsep Petani Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.
Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat
pada
usaha
milik
keluarga.
Kedua,
selaku
petani
mereka
menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.
2.1.6 Pelapisan Sosial Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian. Smith dan Zopf (1970: 278-281) dalam Tjondronegoro (1998) mengetengahkan adanya lima faktor yang determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa, yaitu: 1. Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa. 2. Pertautan antara sektor pertanian dan industri 3. Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah 4. Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya 5. Komposisi rasial penduduk. Sayogyo membagi masyarakat petani atas dasar kepemilikan lahan yang dikuasainya di Jawa dalam tiga golongan, yaitu:4 1. Petani lapisan bawah (petani gurem dengan luas tanah < 0,5 ha) 2. Petani lapisan menengah (petani kecil dengan luas tanah antara 0,5 - 1,0 ha) 3. Petani lapisan atas (petani kaya, dengan luas tanah > 1,0 ha) Penelitian ini merumuskan tiga kategori pelapisan sosial masyarakat petani berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu: 1. Petani lapisan bawah ( memiliki luas lahan < 0,25 ha) 4
http://roykesiahainenia.i8.com/materi_sospol/materi_6.html. [diakses tanggal 1 Februari 2010].
2. Petani lapisan menengah (memeiliki luas lahan 0,25-0,5 ha) 3. Petani lapisan atas (memiliki luas lahan ≥ 0,5 ha)
2.1.7 Taraf Hidup dan Kesejahteraan Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat. Sawidack (1985) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. BPS (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumah tangga. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), yaitu: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya Kesejahteraan pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti tingkat kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup sumbangansumbangan yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni: 1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian. 2. Kesejahteraan dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan kegiatan kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan kelompok informal. 3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa kekeluargaan dan kemasyarakatan. 4. Peraturan-peraturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak manusia atas penggunaan tanah.
Yosep (1996) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni: 1. Pendekatan makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. 2. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera. Penelitian ini menggunakan beberapa indikator dalam mengukur taraf hidup. Indikator yang digunakan adalah tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat kepemilikan aset.
2.2
Kerangka Pemikiran Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara
ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat).
Faktor Internal: Tingkat Pendapatan rumahtangga petani Jumlah tanggungan anggota keluarga Tingkat Ketergantungan pada lahan Tingkat Pendidikan
Faktor Eksternal: Pengaruh tetangga Pengaruh swasta (investor) Kebijakan Pemerintah
Konversi Lahan Pertanian
Taraf Hidup Tingkat Pendapatan Kondisi Tempat Tinggal (Perumahan) Tingkat Pendidikan Tingkat Kesehatan Tingkat Kepemilikan aset
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Perubahan Taraf Hidup Rumahtangga Petani Setelah Konversi Lahan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konversi Lahan. Keterangan: Mempengaruhi
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi seberapa besar tingkat konversi lahan yang dipilih oleh petani diantaranya eksternal.
Faktor internal
adalah faktor internal dan faktor
meliputi tingkat pendapatan rumahtangga petani,
jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), dan pengaruh dari tetangga. Setelah melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani, maka selanjutnya dapat dilihat pula perubahan taraf hidup yang terjadi pada rumahtangga petani setelah konversi lahan. Diduga bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup rumahtangga petani. Dalam hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang meliputi tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset.
2.3
Hipotesis Penelitian
2.3.1 Hipotesis Umum 1. Ada hubungan antara faktor internal, yaitu: tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan pada lahan, dan tingkat pendidikan dengan tingkat konversi lahan yang dipilih petani.
2. Ada hubungan antara faktor eksternal, yaitu: kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), dan pengaruh tetangga dengan tingkat konversi lahan yang dipilih petani. 3. Ada hubungan antara konversi lahan pertanian dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani. 2.3.1
Hipotesis Khusus
1. Ada hubungan antara tingkat pendapatan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan. 2. Ada hubungan antara jumlah tanggungan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan. 3. Ada hubungan antara tingkat ketergantungan pada lahan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan. 4. Ada hubungan antara tingkat pendidikan rumahtangga petani dengan besarnya tingkat konversi lahan. 5. Ada hubungan antara pengaruh tetangga dengan besarnya tingkat konversi lahan. 6. Ada hubungan antara pengaruh swasta dengan besarnya tingkat konversi lahan. 7. Ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan besarnya tingkat konversi lahan. 8. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan bawah. 9. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan menengah. 10. Ada hubungan antara konversi lahan dengan perubahan taraf hidup rumahtangga petani lapisan atas.
2.4
Definisi Operasional
1. Tingkat pendapatan rumahtangga adalah total pendapatan rumahtangga responden yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih usaha tani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan.
Pengukuran: 1. Tinggi
: > Rp. 2.000.000
2. Sedang
: Rp 1000.000-Rp 2.000.000
3. Rendah
: < Rp 1000.000
2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga selain responden yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Pengukuran: 1. Sedikit
: ≤ 4 orang
2. Banyak
: > 4 orang
3. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden. Pengukuran: 1. Rendah
: <0, 75 persen pendapatan tumah tangga
2. Tinggi
: ≥0,75 persen pendapatan rumah tangga
4. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh responden. Pengukuran: 1. Rendah
: tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD
2. Tinggi
: sedang sekolah, tidak tamat SMP/SMA, tamat SMP/SMA,
D3/S1 5. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar. Pengukuran: 1. Sempit
: <0,25 hektar
2. Sedang
: 0,25-0,5 hektar
3. Luas : ≥0,5 hektar 6. Usia adalah lama hidup responden mulai lahir sampai penelitian dilakukan yang diukur dalam skala rasio. Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) menggolongkan umur menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Dewasa awal
: 18-29 tahun
2. Dewasa pertengahan : 30-50 tahun 3. Dewasa tua
: ≥ 50 tahun
7. Pengaruh tetangga adalah banyaknya rumahtangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di sekitar wilayah tempat tinggal responden. Pengukuran: 1. Rendah
: ≤ 5 orang
2. Tinggi
: > 5 orang
8. Pengaruh swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau mengkonversi lahan pertaniannya. Pengukuran: 1.
Rendah
: skor 3-4
2.
Tinggi
: skor 5-6
9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan atau bantuan pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan sektor pertaniannya. Pengukuran: 1.
Rendah
: skor 2
2.
Tinggi
: skor 3-4
10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat yang dalam penelitian ini diukur melalui tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan tingkat pendidikan. 11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh responden. Pengukuran: 1. Sederhana : dinding terbuat dari campuran tembok dan triplek, lantai terbuat dari semen, mempunyai kamar mandi. 2. Bagus : dinding terbuat dari tembok, lantai terbuat dari keramik, mempunyai kamar mandi. 12. Tingkat Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumahtangga responden. Pengukuran: