BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak abad ke-17 dan
terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awal kemunculannya di tahun 1970-an, konsep CSR telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Potensi dampak negatif dari kegiatan usaha telah menjadi perhatian pembuat kebijakan sejak dahulu. Tahun 1940-an istilah community development atau pengembangan masyarakat dipergunakan di Inggris, tepatnya pada tahun 1948. Pengembangan masyarakat merupakan pendekatan alternatif berbasis komunitas yang dapat melibatkan pemerintah, swasta, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Pengembangan masyarakat tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Manajer perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap kepentingan perusahaan tetapi juga memiliki kepentingan pada masyarakat yang lebih luas dan lingkungan10. Tahun 1950-an menjadi masa konsep CSR modern. Konsep CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen dalam Solihin (2009) melalui karyanya yang diberi judul “ Social Responsibilities of The Businessman”. Dua hal yang menjadi perhatian mengenai CSR pada era tersebut, yaitu pada saat itu dunia bisnis belum mengenal dunia korporasi sebagaiman kita saat ini dan judul buku Bowen saat itu masih menyiratkan bias gender karena para pelaku bisnis didominasi oleh kaum laki-laki (businessman).
10
[CSR Jawa Timur]. T.t. Sejarah CSR. [Internet]. [diunduh 30 Maret 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 278 KB. Dapat diunduh dari: http://csrjatim.org/2/data/sejarah-csr.pdf
11
Tanggung jawab sosial didefinisikan oleh Bowen dalam Solihin (2009) sebagai: “The obligations of businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desireable in terms of the objectives and values of our society”. Tahun 1960-an, Keith Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan diluar tanggung jawab ekonomi. Tahun 1970-1980-an, para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika serta para peneliti membentuk Commite for Economic Development (CED). CED membagi tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam tiga lingkaran tanggung jawab, yaitu inner circle of responsibilities: tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi, intermediate circle responsibilities: tanggung jawab melaksanakan fungsi ekonomi dan secara bersamaan juga peka terhadap nilai-nilai atau prioritas sosial, dan outer circle of responsibilities: mencakup kewajiban perusahaan dalam meningkatkan kualitas lingkungan sosial. Tahun 1992, diadakan Earth Summit yang dilaksanakan di Rio de Janeiro. Earth Summit dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama “Lingkungan
dan
Pembangunan
Berkelanjutan”.
Pertemuan
tersebut
menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya ecoefficiency dijadikan sebagai prinsip utama dalam berbisnis dan menjalankan pemerintahan11. Definisi CSR menurut Sukada et al. (2007) adalah “Segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak-dampak positif di setiap pilar”. Definisi CSR menurut ISO 26000 adalah:
“Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the enviroment throught transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and welfare of society; tasks into 11
Ibid.
12
account the expectation of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization”. Tingkatan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan (korporat) menurut Carroll dan Wood (1991) dalam Zainal (2006) adalah sebagai berikut ini: Tabel 1
Tingkatan Tanggung Jawab Perusahaan Uraian Tingkatan/ Level Dimana perusahaan bertanggung jawab untuk Level Ekonomi memproduksi barang dan jasa sesuai dengan keinginan masyarakat, dan menjualnya kepada masyarakat dengan motif profit. Perusahaan mematuhi semua peraturan dan kebijakan Level Legalitas yang dibuat oleh pemerintah (contoh: pajak, regulasi). Perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi Level Etika keinginan dan ekspektasi dari masyarakat terhadap bisnis yang dijalankannya, melebihi apa yang seharusnya dilakukan perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab legalitasnya. Perusahaan melakukan tanggung jawabnya melebihi dari Level Keterbukaan apa yang diinginkan masyarakat, dan menganggap perusahaan adalah bagian dari komunitas. Dua tahapan pertama banyak terjadi pada era tahun 1970 dan 1980 dimana perusahaan hanya mementingkan dan mengutamakan pada aspek ekonomi dan legalitas dalam pemenuhan tanggung jawabnya. Pendekatan ini sering disebut juga sebagai pendekatan corporate philantrophy, yaitu pelaksanaan CSR oleh perusahaan hanya sebatas dalam bentuk derma atau charity yang diberikan oleh perusahaan kepada komunitas lokal di sekitar perusahaan. Pada era 1990, arah tanggung jawab perusahaan beralih ke inisiatif perusahaan itu sendiri untuk melakukan CSR yang mengedepankan etika. Triple Bottom Line merupakan tiga prinsip dasar yang terdapat dalam CSR. Istilah ini dipopulerkan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Triple bottom line, meliputi economic prosperity, enviromental quality, dan social justice (Wibisono, 2007). Ketiga prinsip tersebut (3P: People, Planet, Profit) saling bersinergi satu sama lain.
13 Sosial (People)
Ekonomi (Profit)
Lingkungan (Planet)
Sumber: Wibisono (2007).
Gambar 1 Triple Bottom Line Profit atau ekonomi menjadi salah satu aspek terpenting dan menjadi tujuan dalam setiap kegiatan usaha karena merupakan tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap para pemegang saham. People atau sosial merupakan tanggung jawab sosial dari perusahaan terhadap masyarakat. Planet atau lingkungan menjadi salah satu tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif dari operasi perusahaannya terhadap lingkungan. Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan penerapan CSR, yaitu: 1) Tahap perencanaan: tahapan awal dari penerapan CSR, langkah-langkah yang biasa dilakukan pada tahapan ini antara lain menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan
CSR,
merancang
struktur
organisasi,
menyediakan
SDM,
merencanakan program operasional, membuat wilayah, dan mengelola dana. Tahapan ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR assesement, dan CSR manual building; 2) Tahap implementasi: tahapan ini terdiri atas tiga langkah, yaitu sosialisasi, implementasi, dan internalisasi. Sosialisasi merupakan tahap memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR. Implementasi kegiatan dilakukan sejalan dengan pedoman CSR yang ada. Internalisasi adalah tahap jangka panjang yang mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh proses bisnis perusahaan; 3) Tahap evaluasi: tahap ini merupakan tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur Sejauhmana efektivitas penerapan CSR; dan 4) Tahap pelaporan: tahap pelaporan
14
diterapkan untuk membangun sistem informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Pengembangan masyarakat (community development) merupakan salah satu upaya bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengembangan masyarakat dalam CSR melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders dalam implementasinya. Menurut Princes of Wales Foundation dalam Untung (2008) ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, yaitu 1) menyangkut human capital atau pemberdayaan manusia, 2) environments (lingkungan), 3) good corporate governance, 4) social cohesion, yaitu pelaksanaan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial, 5) economic strenght atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi. Peningkatan ekonomi masyarakat lokal adalah konsentrasi CSR pada eksternal stakeholders. Dengan meningkatkan kemampuan ekonomi komunitas sekitar perusahaan, maka perusahaan telah turut berpartisipasi mengurangi kemiskinan yang merupakan tujuan pertama yang tercantum dalam MDGs. Pemberdayaan ekonomi lokal berarti memampukan masyarakat sekitar agar dapat mandiri secara ekonomi atau setidak-tidaknya memberikan pemacu agar terjadi perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Pembangunan ekonomi lokal dapat digolongkan dalam penyediaan modal manusia (human capital) dalam bentuk pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, usaha (business capital) dapat dalam bentuk pemberian mesin dan peralatan, serta pengetahuan (knowledge capital) dalam bentuk pemberian pengetahuan (Radyati, 2008). Menurut Hubeis (2010), pemanfaatan dana CSR dalam konteks ekonomi makro merupakan sarana cerdas dan tangguh dalam memberdayakan perempuan menuju ketahanan ekonomi keluarga melalui pendidikan dan model PENDANAAN PLUS (Pelatihan dan Pendampingan Usaha). Pemberdayaan ekonomi lokal menjadi salah satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk melalui pelaksanaan Baitul Maal wa Tamwil Swadaya Pribumi.
15
2.1.2
Baitul Maal wa Tamwil Sistem ekonomi dan perbankan yang dominan dikembangkan di
Indonesia adalah sistem perbankan konvensional yang menggunakan teori dari Negara Barat. Perbankan konvesional memberikan permodalan kepada peminjam modal dengan peraturan yang rumit dan kewajiban membayar bunga yang ditentukan oleh pihak bank. Berbeda dengan sistem perbankan dari Negara Barat, sistem perbankan dengan syariat Islam berprinsip pada saling mempercayai antara pelaku ekonomi sehingga apabila mendapatkan keuntungan ataupun kerugian akibat jalinan kerjasama akan ditanggung bersama (Koesoemowidjojo, 2000). Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan mikro berbasis syariat Islam. Baitul Maal wa Tamwil atau padanan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka meningkatkan derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual BMT memiliki dua fungsi: 1)
Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pengembangan harta) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.
2)
Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menerima titipan dana zakat, infaq, dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya12. Lembaga keuangan mikro berbasis syari’ah, seperti bank syari’ah,
koperasi syari’ah, atau Baitul Maal wa Tamwil memiliki jenis produk yang tidak lepas dari akad (perjanjian). Menurut Ascarya (2008), berbagai jenis akad dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu: 1)
Pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
2)
Pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
12
Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara Pendirian BMT. [Internet]. [diunduh 3 Januari 2012]. Format/Ukuran: PDF/ 470KB. Dapat diunduh dari: http://pkesinteraktif.pkes.org/download/bmt_pkes_secure.pdf
16
3)
Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4)
Pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5)
Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan
6)
Pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn. Salah satu Baitul Maal wa Tamwil yang merupakan bagian dari CSR
suatu perusahaan adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Swadaya Pribumi. BMT Swadaya Pribumi merupakan salah satu bentuk dari lembaga keuangan mikro yang berbasis syari’ah yang dibentuk secara bersama oleh pihak Community Relation PT Holcim Indonesia Tbk dan tokoh masyarakat di Kecamatan Klapanunggal. BMT Swadaya Pribumi memiliki dua jenis produk, yaitu produk pembiayaan (murabahah, mudharabah, ijarah, dan musyarakah) dan produk simpanan (simpanan swadaya pribumi, simpanan pendidikan, simpanan Idul Fitri, simpanan qurban, dan simpanan berjangka mudharabah). Penjelasan mengenai BMT Swadaya Pribumi dan jenis produk yang ada di BMT Swadaya Pribumi dijelaskan pada BAB V.
2.1.3
Tujuan ke-3 MDGs MDGs memiliki delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015,
diantara kedelapan tujuan tersebut terdapat tujuan yang berkaitan dengan kesetaraan gender, yaitu tujuan pertama sampai dengan tujuan keenam. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan secara lebih spesifik diuraikan pada tujuan ketiga MDGs: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Salah satu tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa membeda-bedakan antara laki-laki maupun perempuan. Meskipun telah banyak pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) masih ada dalam sebagian besar bidang (UNDP Indonesia, 2007). Perempuan dan laki-laki memang berbeda, namun tidak untuk dibeda-bedakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender diantaranya dengan menghilangkan ketimpangan gender dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan di sektor
17
formal maupun informal, dan berbagai kegiatan atau program lainnya, termasuk program CSR bidang pemberdayaan ekonomi lokal PT Hocim Indonesia Tbk. Tabel 2
Indikator dari Tujuan Ketiga MDGs
Tujuan 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4
Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari dari tahun 2015 4.1 Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki (%) 4.2 Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender) (%) 4.3 Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan (%) 4.4 T ingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%) 4.5 Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%) 4.6 T ingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) pada kelompok perempuan (%) 4.7 Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%).
Sumber: UNDP Indonesia (2007).
Tabel 2 menunjukkan indikator atau pengukuran terhadap pencapaian tujuan ketiga MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Indonesia dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan ketiga apabila indikator tersebut telah tercapai dengan optimal. Beberapa tantangan yang dihadapi untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu: 1) menjamin kesetaraan gender dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota, terutama dibidang-bidang pembangunan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, ekonomi, hukum, dan politik; 2) meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan melalui aksi afirmasi (affirmative action) di berbagai bidang pembangunan; 3) meningkatkan kualitas dan kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender; 4) meningkatkan peran lembaga masyarakat dalam pemberdayaan perempuan; 5) merevisi peraturan perundang-undangan dan
18
kebijakan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan (UNDP, 2007).
2.1.4
Definisi Gender Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 Tanggal 19
Desember 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dimaksud dengan gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender menurut Hubeis (2010) adalah:
“Suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosialbudaya, politik, dan ekonomi sehingga tidak bersifat kodrati atau mutlak”. Selain itu, menurut Hubeis (2010) gender lebih mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan laki-laki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki dan pada pandangan tentang bagaimana beragam kegiatan yang mereka lakukan seharusnya dinilai dan dihargai. WHO (2011) memberi batasan gender sebagai13: "Gender refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women”. (Gender mengacu pada seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi perempuan dan laki-laki, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat). Menurut Simatauw et al. (2001) gender dan jenis kelamin (sex) memiliki konsep yang berbeda. Gender merupakan bentukan manusia yang tidak mutlak dan dapat berubah tergantung situasi, kondisi, dan waktu, serta dipengaruhi oleh 13
[WHO] World Health Organization. 2011. What do we mean by "sex" and "gender"?. [Internet]. [dikutip 18 Mei 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.who.int/gender/whatisgender/en/index.html
19
budaya dan kehidupan sosial, seperti perempuan
memasak,
mengurus
rumahtangga, mengurus anak, dan kegiatan lainnya. Sedangkan jenis kelamin (sex) merupakan sesuatu yang bersifat kodrat yang tidak dapat diubah, seperti perempuan menstruasi, hamil, menyusui, dan ciri-ciri biologis perempuan lainnya. Laki-laki menghamili, memiliki sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya. Seks Tidak dapat dipertukarkan (kodrat) Laki-laki Ciri dan fungsi Penis Jakun Sperma Membuahi
Gender Dapat dipertukarkan dan merupakan bentukan manusia
Perempuan Ciri dan fungsi Vagina Sel telur Menyusui Melahirkan
Laki-laki Citra/jati diri /peran
Perempuan Citra/jatidiri /peran
Kuat Rasional Tampan Kasar Maskulin Publik
Lemah Emosional Cantik Halus/lembut Feminim Domestik
Sumber: Depkeu (T.t).
Gambar 2 Perbedaan Seks dan Gender 2.1.5
Kesetaraan dan Keadilan Gender Instruksi Presiden dalam Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional
mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap perempuan dan laki-laki. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara lain (Simatauw et al. 2001): 1)
Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi Lemahnya kesempatan perempuan meliputi akses dan kontrol perempuan terhadap
sumber-sumber
ekonomi,
seperti
tanah,
kredit,
pasar.
20
Perempuan
dipinggirkan
dalam
berbagai
kegiatan
yang
lebih
memerlukan laki-laki. 2)
Subordinasi (penomorduaan) Keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih baik, lebih penting, atau lebih diutamakan dibandingkan jenis kelamin yang lain. Terdapat batasan-batasan yang berasal dari kultural, agama, atau kebijakan terhadap perempuan dalam melakukan sesuatu. Perempuan tidak memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut dengan dirinya. Perempuan diharuskan tunduk terhadap keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama (a main breadwinner) sedangkan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner).
3)
Beban kerja berlebih (over burden) Pembagian peran dibagi menjadi produktif, reproduktif, memelihara masyarakat, dan politik masyarakat. Perempuan biasanya memiliki tiga peran (triple role), yaitu produktif, reproduktif, dan memelihara masyarakat. Perempuan lebih dominan pada tiga peran tersebut sedangkan laki-laki lebih dominan pada peran produktif dan politik masyarakat.
4)
Cap-cap negatif (stereotype) Pelabelan negatif pada salah satu jenis kelamin, umumnya perempuan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional, tidak rasional, lemah, dan lainnya. Padahal laki-laki juga dapat berperilaku seperti itu. Pelabelan negatif dapat melahirkan ketidakadilan yang merugikan dan berdampak buruk pada salah satu pihak.
5)
Kekerasan (violence) Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Bentuknya bermacam-macam dapat berupa kekerasan fisik maupun psikologis. Kekerasan terjadi akibat dari adanya konstruksi sosial yang sering dibudayakan di dalam masyarakat.
21
2.1.6
Peran (Pembagian Kerja) Gender Peran (pembagian kerja) gender terlihat dari perbedaan peran atau
kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berdasarkan nilai sosialbudaya yang berlaku. Perempuan dan laki-laki dibeda-bedakan dalam melakukan peran atau kegiatan karena persepsi masyarakat yang lazim terbentuk secara umum. Peran gender berbeda antar masyarakat atau bahkan antar kelompok di dalam masyarakat tertentu dan seringkali mengalami perubahan setiap saat. Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu atau jenis kelamin tertentu, namun secara perseorangan ada kemungkinan bahwa seorang perempuan dan/atau lelaki memiliki peran aktual gender yang bertentangan dengan peran gender per jenis seks yang dipandang tepat dan lazim serta disepakati di masyarakat bersangkutan (Hubeis, 2010). Peran perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga jenis peran, yaitu peran reproduktif, produktif, dan sosial. Menurut Simatauw et al. (2001) peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang atau mengahasilkan barang-barang lainnya yang tidak dikonsumsi atau digunakan sendiri, misalnya bertani, beternak, berburu, menjadi buruh, berdagang. Peran reproduktif adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya merawat dan mengurusi keperluan keluarga seperti, merawat anak, mengambil air, memasak (Simatauw et al. 2001). Peran sosial terdiri dari peran merawat masyarakat dan politik masyarakat. Peran merawat masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya menjalin kebersamaan, solidaritas antar masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat, seperti arisan, pengajian, upacara adat. Peran politik masyarakat yaitu kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat, seperti pemilihan kepala desa, rapat pembagian tanah, dan lain-lain (Simatauw et al. 2001). Menurut Hubeis (2010) peran reproduktif (domestik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran
22
produktif menurut Hubeis (2010) menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan (petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha). Peran sosial menurut Hubeis (2010) adalah peran masyarakat terkait kegiatan jasa dan partisipasi politik. Tabel 3
Klasifikasi Tiga Peran Gender: Peran Reproduktif, dan Peran Sosial Reproduktif Produktif Gender Peran Utama: 1. Acap 1. Perempuan Istri, Ibu, Ibu diansumsikan Rumahtangga tidak memiliki (Keluarga) peran produktif 2. Pembantu 2. (turut) mencari nafkah keluarga Bapak Peran Utama: 1. Lelaki Kepala keluarga Mencari nafkah 2. keluarga 3.
Peran Produktif, Sosial Manajemen, jasa penyuluhan terkait pada aspek peran reproduktif Pekerja tidak dibayar (informal)
Kepemimpinan Politik Ketahanan/ militer 4. Pekerja dibayar/ formal
Sumber: Hubeis (2010).
Pembagian peran gender mempengaruhi pembagian kerja, relasi antara perempuan dan laki-laki, akses dalam memperoleh sumberdaya dan manfaat, kontrol atau kuasa dalam memperoleh suamberdaya dan manfaat. Implikasi pembagian kerja gender yang tercantum dalam Panduan Pelatihan PUG (Depkeu, T.t) adalah sebagai berikut: 1)
Perempuan menjalankan pekerjaan yang beragam dan pergantian peran yang lebih banyak dan lebih cepat daripada laki-laki
2)
Pekerjaan perempuan lebih banyak berhubungan dengan pekerjaan rumahtangga dan pengasuhan anak (reproduktif), sementara laki-laki bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan yang lebih nyata terlihat oleh masyarakat seperti pekerjaan ekonomi maupun politik.
2.1.7
Analisis Gender dalam CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal Kegiatan atau program dikatakan telah responsif gender apabila
kebijakan, program, kegiatan atau kondisi yang sudah memperhitungkan
23
kepentingan perempuan dan laki-laki (lihat Tabel 4). BMT Swadaya Pribumi merupakan program CSR Holcim Indonesia Pabrik Narogong di bidang pemberdayaan ekonomi lokal yang bergerak sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syari’ah dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebutuhan atau kepentingan peserta perempuan dan peserta laki-laki meliputi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Analisis gender menjadi suatu alat analisis untuk mengetahui sejauhmana kesetaraan gender dipertimbangkan dalam pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi. Tabel 4
Konsep dan Pengertian Istilah Gender Pengertian Konsep Kondisi atau keadaan seseorang yang tidak memahami tentang Buta gender pengertian atau konsep gender (ada perbedaan kepentingan (gender blind) antara perempuan dan laki-laki). Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan Sadar gender perempuan dan laki-laki. (gender aware) Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu Bias gender jenis kelamin daripada jenis kelamin lain sebagai akibat pengaturan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada laki-laki daripada perempuan dan sebaliknya. Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang tidak Netral gender memihak pada salah satu jenis kelamin. Kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan Sensitif gender menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan dengan kepentingan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki). Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang sudah Responsif memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki. gender Selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, Peka gender proyek, atau kegiatan organisasi adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Menggunakan aspek gender untuk membahas atau Perspektif menganalisis isu-isu dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, gender agama, dan psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan dalam kegiatankegiatan pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang. Sumber: Dephut (2004).
24
Definisi analisis gender dalam Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional adalah:
“Proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja atau peran perempuan dan laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa”. Analisis gender merupakan suatu alat kunci bagi gender mainstreaming14 untuk memperoleh pemahaman lebih mengenai lingkungan, dampak dan manfaat dari suatu kegiatan, dan prakarsa pemberdayaan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis gender menjadi himpunan dan analisis informasi dan data mengenai: 1) Peran, kewajiban, dan hak-hak berbeda bagi perempuan dan lakilaki; 2) Kebutuhan, prioritas, peluang, dan hambatan berbeda bagi perempuan dan laki-laki; 3) Alasan mengapa terjadi perbedaan tersebut; dan 4) Peluang-peluang serta strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender15. Kegiatan analisa gender tersebut meliputi: a. Mengidentifikasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan, b. Mengidentifikasi
dan
memahami
sebab-sebab
terjadinya
ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktorfaktor penyebabnya, c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upayaupaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. 14
“Gender mainstreaming” adalah proses penilaian dampak dari setiap tindakan yang terencana terhadap perempuan dan laki-laki. 15
Sophie Dowling. 2008. Analisis Gender: Sebuah Panduan Pengantar Disiapkan untuk PT Kaltim Prima Coal (KPC) Mitra Proyek. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Aria Jalil). [Internet]. [diunduh 30 April 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 431 KB. Dapat diunduh dari: empoweringcommunities.anu.edu.au/.../Gender%20Analysis%20Toolkit_Bahasa%20Version.pdf
25
Terdapat lima komponen kunci dalam analisis gender tersebut, yaitu: a. Data yang dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin: data sosialekonomi yang dipilah berdasarkan jenis kelamin dan variabel demografis, seperti umur, kelompok sosial, dan etnis (kuantitatif maupun kualitatif), b. Analisis pembagian tugas: apa, dimana, kapan, dan berapa banyak yang
dikerjakan
oleh
laki-laki
maupun
perempuan
untuk
menggambarkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga perempuan dan laki-laki, berapa pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi kebutuhan seharihari, c. Analisis akses dan kontrol, d. Analisis kebutuhan strategis dan kebutuhan praktis, e. Analisis konteks sosial: meneliti dan memahami konteks sosial setempat
(hukum,
sosio-kultural,
agama,
institusi,
kebijakan
pemerintah) yang mempengaruhi peran dan hubungan gender16. Teknik dalam analisis gender memiliki beberapa model yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli (Depkeu, T.t), yaitu: 1)
Model Harvard Model Harvard dikembangkan oleh Harvard Institute for International
Development bekerjasama dengan Kantor Women in Development (WID)-USAID. Model Harvard didasarkan pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender paling awal. Model analisis Harvard lebih sesuai digunakan untuk perencanaan proyek, menyimpulkan data basis atau data dasar (Dephut, 2004). Komponen dasar dalam model Harvard, yaitu: a. Profil kegiatan (produktif, reproduktif, dan sosial) yang didasarkan pada pembagian kerja dan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, b. Profil akses dan kontrol, c. Faktor yang mempengaruhi kegiatan akses dan kontrol, 16
Ibid. h. 7-8.
26
d. Analisis siklus proyek. 2)
Model Moser Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu
perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender
dengan
menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis (Handayani dan Sugiarti, 2008). Model Moser didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat ‘teknis dan politis’, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu ‘debat’. Terdapat kelemahan dalam model ini yang tidak memperhitungkan kebutuhan strategis laki-laki (Dephut, 2004). Komponen dasar model Moser adalah: a. Tiga peran gender, b. Kontrol dan pengambilan keputusan, c. Kebutuhan strategis dan praktis gender, d. Matriks
Women
In
Development
(WID)
dan
Gender
And
Development (GAD), e. Pelibatan organisasi untuk pemastian pemasukan kebutuhan startegis gender dan kebutuhan praktis gender. Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan dasar atau hidup, seperti pangan, air, tempat tinggal, air, sandang, penghasilan, dan perawatan kesehatan sedangkan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan akan kesetaraan dan pemberdayaan, seperti pemerataan tanggung jawab dan pengambilan keputusan, akses pendidikan dan pelatihan yang sama17.
17
Nelien Haspels dan Busakorn Suriyasarn. 2005. Panduan Praktis bagi Organisasi: Meningkatkan Kesetaraan Gender dalam Aksi Penaggulangan Pekerja Anak serta Perdagangan Perempuan dan Anak. [Internet]. [diunduh 10 Mei 2011]. Format/ Ukuran: PDF/808 KB. Dapat diunduh dari:https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/--ilojakarta/documents/publication/wcms_150508.pdf
27
3)
Model SWOT Analisis manajemen dengan cara mengindetifikasikan secara internal
mengenai kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) serta secara eksternal mengenai peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Aspek internal dan eksternal tersebut dipertimbangkan dalam rangka menyusun program aksi, langkah-langkah atau tindakan untuk mencapai sasaran maupun tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman, sehingga dapat mengurangi resiko dan meningkatkan efektivitas.
STRENGTH
OPPORTUNITY
WEAKNESS
THREATS
Sumber: Depkeu (T.t).
Gambar 3 Bagan Analisa SWOT 4)
Model PROBA Suatu teknik atau cara analisis gender untuk mengetahui masalah
kesenjangan gender sekaligus menyusun kebijakan program dan kegiatan yang responsif gender serta rancangan monitoring dan evaluasi. 5)
Model GAP dan POP Suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para
perencanaan dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek, atau kegiatan pembangunan. Model analisis gender yang dilakukan dalam menganalisis keberhasilan BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini adalah menggunakan model Harvard dan model Moser. Kedua model tersebut digunakan dengan pertimbangan pengukuran keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberhasilan BMT Swadaya Pribumi dalam memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dengan
28
menggunakan profil kegiatan, profil akses, profil kontrol, dan manfaat yang dirasakan dan diperoleh oleh peserta perempuan dan peserta laki-laki.
2.2
Kerangka Pemikiran Pihak Comrel Holcim menyatakan BMT Swadaya Pribumi sebagai salah
satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk yang telah berhasil dan berkelanjutan. Salah satu cara meninjau apakah suatu program telah berhasil atau tidak adalah melalui ada atau tidaknya pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender (Lu’lu, 2005). BMT Swadaya Pribumi merupakan salah satu bentuk upaya memberdayakan ekonomi lokal masyarakat sekitar Holcim Indonesia Pabrik Narogong. Pemberdayaan ekonomi dilakukan melalui pembiayaan berupa pinjaman (kredit) yang diberikan kepada peserta produk pembiayaan agar dapat meningkatkan perekonomian dan mengembangkan usaha sehingga pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat terpenuhi. Menurut Anwar (1997) dalam Koesoemowidjojo (2000) upaya perbaikan dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peranan gender. Analisis gender yang dapat dilihat dari data terpilah gender antara perempuan dan laki-laki, diantaranya dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesetaraan gender (ILO, 2001). Analisis gender dalam BMT Swadaya Pribumi dilihat dari data terpilah peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi (tingkat pendidikan, jenis usaha, dan tingkat pendapatan) dan karakteristik demografi (umur dan status perkawinan) peserta perempuan dan peserta laki-laki. Karakteristik individu terpilah antara peserta perempuan dan peserta laki-laki tersebut merupakan faktor internal yang berasal dari diri individu masing-masing yang mempengaruhi kesetaraan gender dalam pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi. Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dianalisis dengan melihat dan mengukur akses atau peluang peserta produk pembiayaan terhadap sumberdaya (pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya Pribumi, kontrol atau kuasa peserta produk pembiayaan terhadap sumberdaya (pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya Pribumi, dan
29
manfaat yang dinikmati peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi (peningkatan pendapatan, peningkatan status sosial, pemenuhan kebutuhan dasar, dan peningkatan kemampuan berwirausaha) yang dirasakan peserta produk pembiayaan setelah memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi. Semakin tinggi tingkat akses, kontrol, dan manfaat yang dinikmati peserta produk pembiayaan, maka kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi telah setara gender. Peran (pembagian kerja) di dalam rumahtangga peserta produk pembiayaan diukur berdasarkan jumlah kegiatan (produktif, reproduktif, dan sosial-kemasyarakatan) yang dilakukan oleh setiap pekerja keluarga (perempuan dan laki-laki). Perempuan memiliki jumlah kegiatan yang lebih banyak daripada laki-laki. Perempuan tidak hanya mengerjakan kegiatan reproduktif dan kegiatan sosial-kemasyarakatan tetapi juga turut serta dalam mengerjakan kegiatan produktif di sela waktu istirahat mereka. Perempuan umumnya membantu suami mereka mencari nafkah dengan berdagang di sekitar rumah. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan perempuan dalam mengerjakan kegiatan mengurus rumahtangga dan mencari nafkah secara bersamaan. Peran (pembagian kerja) tidak dihubungkan dengan keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dengan pertimbangan peran dalam rumahtangga merupakan variabel diluar kegiatan pembiayaan BMT Swadaya Pribumi, namun analisis terhadap peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga peserta tetap dilakukan untuk melihat isu beban kerja berlebih (over burden) yang dialami salah satu pihak, umumnya perempuan. Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi mempengaruhi keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi. Keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini diukur dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dalam pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender yang dirasakan oleh peserta produk pembiayaan perempuan dan laki-laki. Ketika kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender peserta perempuan dan peserta laki-laki terpenuhi, maka pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah berhasil dan dapat dikatakan pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah responsif gender.
30
Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Individu terpilah jenis kelamin (X1) X1.1 : Umur X1.2 : Status Pernikahan X1.3 : Tingkat Pendidikan X1.4 : Jenis Usaha X1.5 : Tingkat Pendapatan Kegiatan Produk Pembiayaan BMT Swadaya Pribumi Responsif Gender
Tingkat Kesetaraan Gender dalam BMT Swadaya Pribumi (X2) X2.1: Tingkat Akses Peserta terhadap Sumberdaya X2.2: Tingkat Kontrol Peserta terhadap Sumberdaya X2.3: Tingkat Manfaat yang Dinikmati oleh Peserta
Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga (X3)
Tingkat Keberhasilan Produk Pembiayaan BMT Swadaya Pribumi (Y) dalam Pemenuhan Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan Startegis Gender
Isu beban kerja berlebih (over burden) yang ditanggung oleh perempuan
Keterangan : Berhubungan : Berhubungan tetapi tidak diuji : Analisis gender
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi
31
2.3
Hipotesis Pengarah Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut: 1)
Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara karakteristik individu peserta terpilah berdasarkan jenis kelamin dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara umur peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara status pernikahan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat pendidikan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. d. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara jenis usaha yang ditekuni peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. e. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat pendapatan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. 2)
Perempuan memiliki beban kerja berlebih (over burden) yang ditunjukkan melalui peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga peserta BMT Swadaya Pribumi.
3)
Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi. a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat akses peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.
32
b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat kontrol peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi. c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat manfaat yang dinikmati oleh peserta dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.
2.4 1)
Definisi Konseptual Gender adalah konsep mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
2)
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi baik perempuan dan lakilaki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
3)
Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap perempuan dan laki-laki.
4)
Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sitematis untuk mengidentifikasi dan memahami peran (pembagian kerja) perempuan dan laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.
5)
Peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang.
6)
Peran reproduktif adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat mengurus dan merawat keluarga.
7)
Peran sosial adalah kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya untuk menjalin kebersamaan dan solidaritas antar masyarakat.
33
8)
Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan segera, kebutuhan material yang diperlukan perempuan dan laki-laki yang tidak harus memerlukan perubahan-perubahan terhadap hubungan gender yang ada. Contoh: tempat tinggal, makanan, air, dan pekerjaan yang memadai.
9)
Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang memerlukan perubahan-perubahan jangka panjang terhadap hubungan gender agar kebutuhan itu tercapai. Kebutuhan strategis secara langsung dapat berkaitan dengan kebutuhan praktis. Contoh: kebutuhan praktis perempuan untuk mendapatkan tempat tinggal atau makanan dapat berkaitan dengan kebutuhan strategis mereka untuk mendapatkan hak yang sama untuk memiliki tanah atau hak untuk mendapatkan serangkaian pilihan pekerjaan dan mendapatkan sumber penghasilan.
2.5
Definisi Operasional
Tabel 5
No. 1.
Definisi Operasional Penelitian Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal PT Holcim Indonesia Tbk Definisi Operasional
Variabel
Indikator
Pengukuran Data
Karakteristik Individu Identitas biologis peserta.
Laki-laki = 1 Perempuan = 2
a.
Jenis kelamin
b.
Umur 1.Umur berdasarkan median 2.Umur berdasarkan BPS
Lamanya hidup peserta produk BMT Swadaya Pribumi.
c.
Status pernikahan
Belum menikah = 1 Identitas pernikahan Menikah = 2 peserta saat Cerai (janda/ duda) diwawancarai. =3
Nominal
d.
Tingkat
Jenis pendidikan
Ordinal
Nominal
Umur (median): < 45 tahun = 1 ≥ 45 tahun = 2 Umur (BPS): 15-31 tahun = 1 32-48 tahun = 2 49-64 tahun = 3
Tidak tamat
Ordinal
34
pendidikan
sekolah tertinggi yang ditamatkan oleh peserta.
SD/tamat SD = 1 (rendah) Tamat SMP = 2 (sedang) Tamat SMA/PT = 3 (tinggi)
Jenis usaha
Usaha yang ditekuni oleh peserta saat memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi.
Usaha makanan = 1 Usaha nonmakanan = 2
Nominal
f.
Tingkat pendapatan per bulan
Rp400.000 s.d Rata-rata hasil kerja Rp4.500.000 = 1 (rendah) berupa uang yang diterima peserta Rp4.500.000 s.d Rp atas pekerjaan 8.600.000 = 2 utama peserta setiap (sedang) bulan. >Rp8.600.000 = 3 (tinggi)
Ordinal
2.
Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga
e.
a.
b.
Peran produktif
Kegiatan yang menghasilkan uang yang terdiri dari satu kegiatan (mencari nafkah).
Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3
Nominal
Peran Reproduktif
Kegiatan mengurus rumahtangga dan keluarga yang terdiri dari 12 kegiatan rumahtangga (masak, cuci pakaian, cuci piring, Laki-laki saja = 1 menyapu,mengepel, Perempuan saja = 2 menyetrika, urus Bersama = 3 anak, mandikan anak, menyuapi anak, gendong anak, antar anak ke posyandu, dan perbaiki perkakas rumahtangga).
Nominal
35
c.
3.
a.
b.
c.
4.
a.
Peran Sosial
Kegiatan kemasyarakatan Laki-laki saja = 1 yang terdiri dari 6 kegiatan (arisan, Perempuan saja = 2 pengajian, PKK, Bersama = 3 kerjabakti,kematian, pernikahan).
Nominal
Tingkat Kesetaraan Gender Peserta dalam BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Tidak setara gender = 15-22 Setara gender = 23-30
Akses terhadap sumberdaya
Peluang atau kesempatan yang dimiliki peserta dalam memperoleh izin usaha, pembiayaan(kredit), pembayaran angsuran, pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan usaha.
Skor total 6-9 = 1 (rendah) Skor total 10-12 = 2 (tinggi)
Ordinal
Kontrol terhadap sumberdaya
Kuasa yang dimiliki peserta atas besarnya pinjaman, pemanfaatan uang, jenis usaha, dan kendali atas usaha.
Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-10 = 2 (tinggi)
Ordinal
Manfaat yang dinikmati
Manfaat yang dinikmati oleh peserta berupa peningkatan pendapatan, status sosial, kebutuhan dasar, dan kemampuan berwirausaha.
Skor total 4-6 = 1 (rendah) Skor total 7-8 = 2 (tinggi)
Ordinal
Tingkat Keberhasilan BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Keberhasilan rendah = 11-15 Keberhasilan tinggi = 16-19 Pemenuhan kebutuhan praktis
Pemenuhan kebutuhan peserta terhadap permodalan usaha, pengetahuan
Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-11 = 2 (tinggi)
Ordinal
36
kewirausahaan, kebutuhan ekonomi, perbaikan kondisi hidup, dan perkembangan usaha.
b.
Pemenuhan kebutuhan strategis
Pemenuhan kebutuhan peserta dalam memperoleh kesempatan yang setara dalam memperoleh pembiayaan, mengikuti kegiatan pelatihan kewirausahaan, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Skor total 6-7 = 1 (rendah) Skor total 8-9 = 2 (tinggi)
Ordinal