BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Pengembangan Masyarakat 2.1.1.1 Partisipasi dan Keberlanjutan dalam Pengembangan Masyarakat Prinsip dasar pembangunan komunitas (community development) yang bersumber dari dunia usaha (perusahaan) dan pemerintah pada dasarnya masih memandang komunitas lokal termasuk di dalamnya komunitas asli, sebagai obyek yang harus diperhatikan dan dirubah agar dapat setara kehidupannya dengan komunitas lainnya dan mandiri. Banyak anggapan dari komunitas asli dan komunitas lokal melihat industri sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan bahkan lebih merupakan suatu bencana. Anggapan ini didasari adanya posisi pemerintah dan dunia usaha (industri) adalah sebagai pendatang dengan kekuatan ekonomi dan politik yang mencari kehidupan di wilayah komunitas lokal. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dan pihak perusahaan seharusnya memastikan keberlanjutan investasinya pada pengembangan infrastruktur sosial melalui program-program keterlibatan komunitas sehingga komunitas lokal terutama komunitas asli dapat mengembangkan kemampuannya. Lancar atau terhambatnya jalan sebuah korporasi tergantung pada kepekaan perusahaan dalam memperhatikan dan mengingat gejala sosial budaya yang ada disekitarnya, seperti munculnya kecemburuan sosial akibat dari pola hidup dan pendapatan yang sangat jauh berbeda antara perusahaan (pegawai perusahaan) dengan komunitas sekitar. Dalam kenyataannya, komunitas lokal tidak hanya berdiri pada sisi lingkungan sosial perusahaan, akan tetapi juga berada di dalam perusahaan sebagai karyawan atau pegawai. Untuk itu diperlukan suatu wadah program yang berguna untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial ekonomi mereka sendiri, maka diciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas yang sering disebut sebagai community development yang mempunyai tujuan untuk pemberdayaan komunitas (empowerment). Menurut Rudito dan Famiola (2007), indikator keberhasilan suatu program pembangunan komunitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebersamaan yang dijalin antar pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan komunitas lokal yang
7
tergambar dalam partisipasi dan keberlanjutan (sutainability). Partisipasi dapat dilihat sebagai keterlibatan para pihak di dalam mengelola program-program community development. Secara mendasar, partisipasi bukanlah milik dari komunitas lokal, akan tetapi semua pihak harus berpartisipasi. Sedangkan, keberlanjutan adalah strategi program yang dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas/komunitas yang dapat dilihat dari sisi-sisi manusia (human), sosial (social), lingkungan (environment) dan ekonomi (economic), sehingga dengan adanya keberlanjutan, suatu usaha dapat dinikmati tidak hanya oleh generasi pada masa sekarang saja, akan tetapi juga oleh generasi selanjutnya dalam bentuk alih teknologi maupun bentuk pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu perangkat dalam melaksanakan community development yang baik adalah menempatkan audit sosial sebagai perangkat terakhir untuk menjadi awal dalam proses selanjutnya.
2.1.1.2 Definisi Pengembangan Masyarakat Kantor
Pemerintahan
Kolonial
Inggris
mengadakan
serangkaian
konferensi musim panas mengenai administrasi negara jajahan di Afrika pada tahun 1947. Kemudian pada tahun 1948, konferensi tersebut menghasilkan definisi mengenai ‘Pendidikan Massa’ dan memutuskan bahwa pada masa yang akan datang terminologi tersebut sebaiknya diganti dengan nama ‘Pengembangan Masyarakat’. Mereka mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai: “Suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat …. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembagalembaga non pemerintah …. [pengembangan masyarakat] harus dilakukan melalu gerakan yang kooperatif dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat.” (Colonial Office 1954: appendix D, h.49 dalam Rukminto 2005) Pemerintah kolonial Inggris dalam perkembangannya mengadopsi definisi pengembangan masyarakat yang lebih singkat dari definisi yang dikembangkan pada 1948. Hal ini dilakukan ketika mereka memperkenalkan konsep pengembangan masyarakat di Malaysia: “Pengembangan masyarakat adalah suatu
8
gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat”. Dunham (1958) dalam Rukminto (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai “berbagai upaya yang terorgansir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat pedesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah ataupun lembagalembaga sukarela”. Pendapat lain menyatakan bahwa Pengembangan Masyarakat (community development) adalah kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunikasi guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta 2002 dalam Rudito 2007). Secara hakekat, community development merupakan suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan komunitas lokal (Rudito 2003). Tahapan pengembangan masyarakat yang biasa dilakukan pada Organisasi Pelayanan Masyarakat, antara kelompok yang satu dengan yang lain memang terdapat perbedaan dan kesamaannya. Tetapi secara umum dari beberapa variasi yang ada, penulis meihat pada dasarnya tahapan yang dilakukan mencakup beberapa tahapan sebagai berikut (Rukminto 2003): 1. Tahap persiapan. Tahap persiapan ini didalamnya terdapat tahap (a) Penyiapan Petugas; dan (b) Penyiapan Lapangan. Penyiapan tugas diperlukan untuk menyamakan persepsi antar anggota tim agen perubah (change agent) mengenai pendekatan apa yang akan dipilih dalam melakukan pengembangan masyarakat. Sedangkan tahap Penyiapan Lapangan, petugas pada awalnya melakukan studi kelayakan terhadap daerah yang akan dijadikan sasaran, baik secara informal maupun formal. 2. Tahap Assessment. Proses yang dilakukan disini dilakukan dengan mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan=felt needs) dan juga sumber daya yang dimiliki klien.
9
3. Tahap Perencanaan Alternatif Program atau Kegiatan. Agen Perubah (community worker) secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana cara mereka mengatasinya. 4. Tahap Pemformulasian Rencana Aksi. Agen perubah (community worker) membantu masing-masing kelompok untuk merumuskan dan menentukan program dan kegiatan apa yang akan mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. 5. Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Program atau Kegiatan. Merupakan
tahap
yang
paling
krusial
(penting)
dalam
proses
pengembangan masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antar agen perubah dan warga masyarakat, maupun kerja sama antar warga. 6. Tahap Evaluasi Evaluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan perugas terhadap program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga. 7. Tahap Terminasi Merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan komunitas sasaran. Terminasi dilakukan bukan karena masyarakat sudah dapat dianggap ‘mandiri’, tetapi tidak jarang terjadi karena proyek sudah harus dihentikan karena sudah melebihi jangka waktu yang ditetapkan sebelumnya, atau karena anggaran dana sudah tidak ada yang mau meneruskan. Tahapan di atas merupakan tahapan siklikal yang dapat berputar seperti suatu siklus guna mencapai perubahan yang lebih baik, terutama setelah dilakukan evaluasi proses (monitoring) terhadap pelaksanaan kegiatan yang ada. Meskipun siklus dapat berbalik di beberapa tahapan lainnya.
10
2.1.1.3 Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat Menurut Jim Ife (1995) dalam Nasdian (2006) memaparkan 22 prinsip pengembangan masyarakat sebagai berikut: 1. Integrated Development (Pembangunan Terpadu) Proses pengembangan masyarakat tidak berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, lingkungan, dan personal. 2. Confronting
Structural
Disadvantage
(Konfrontasi
dengan
Kebatilan
Struktural) Prinsip ini mengakar pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat. Seorang community workers harus menyadari adanya cara-cara dimana tekanan pada suatu kelas, gender, suku bangsa berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih kritis terhadap latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin, sikap berdasarkan kelas warga komunitas dan partisipasi warga komunitas pada struktur penindasan tersebut. Oleh karena itu community workers harus waspada serta memperhitungkan kompleksitas yang ditemukan suatu komunitas. Dengan kata lain pekerjaan community workers tergantung dengan berbagai faktor kontekstual. 3. Human Rights (Hak Asasi Manusia) Struktur masyarakat dan program yang dikembangkan tidak melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak ikut serta dalam kehidupan cultural, hak untuk memperoleh perlindungan keluarga, dan hak untuk selfdetermination. 4. Sustainability (Keberlanjutan) Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka sustainability yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada sumberdaya yang tidak tergantikan (non-reneweble) dan menggantikannya dengan sumberdaya yang dapat diperbaharui. 5. Empowerment (Pemberdayaan)
11
Makna pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas. 6. The Personal and The Political (Pribadi dan Politik) Pengembangan masyarakat perlu membangun keterkaitan antara aspek pribadi dan politik dan isu umum. Keterkaitan tersebut terjalin apabila kebutuhan individu, masalah, aspirasi, penderitaan, dan prestasi yang dirasakan dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan yang efektif di tingkat komunitas yang kemudian menjadi suatu kekuatan komunitas. 7. Community Owenership (Kepemilikan Komunitas) Kepemilikan komunitas ini dapat dipandang dalam dua tingkatan yaitu kepemilikan pada benda material dan kepemilikan pada proses dan struktur yang ada. 8. Self-Reliance (Kemandirian) Prinsip ini mengimplikasikan agar warga komunitas mencari atau berusaha menggunakan
sumberdaya
sendiri
apabila
memungkinkan
daripada
menyandarkan diri pada bantuan luar. Hal ini dapat ditunjukan pada berbagai bentuk sumberdaya, baik keuangan, teknik, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Kemandirian merupakan prinsip kunci dalam mengidentifikasi dan memanfaatkan sumberdaya untuk menciptakan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan menggunakan potensi lokal. 9. Independence from the State (Ketidaktergantungan pada Pemerinah) Prinsip ini berkaitan erat dengan kemandirian suatu komunitas. Community workers tidak boleh menggantungkan bantuan dari masyarakat secara berlebihan karena dapat menimbulkan kelemahan pada kekuatan berbasis komunitas.
Namun bantuan dari pemerintah kadang diperlukan dalam
memulai proses pembangunan. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai sponsor pengembangan masyarakat dan respon dari pemerintah merupakan kebutuhan untuk mewujudkan dukungan pemerintah terhadap program pengembangan masyarakat. 10. Immediate Goals and Ultimate Vision (Tujuan dan Visi)
12
Tujuan dan visi harus menjadikan perhatian dalam pendekatan pengembangan masyarakat. Tindakan untuk tujuan langsung tidak dibenarkan bila tidak sesuai dengan visi jangka panjang dan sebaliknya. Dalam pengembangan masyarakat perlu dipertahankan keseimbangan antara jangka pendek dan visi masyarakat. Dalam hal ini perlu upaya untuk menghubungkan dan membuat relevansi antara keduanya. 11. Organic Development (Pembangunan Bersifat Organik) Penerapan pembangunan yang bersifat organik memiliki suatu pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga komunitas dan lingkungannya. 12. The Pace of Development (Kecepatan Gerak Pembangunan) Prinsip ini menekankan agar proses pembangunan dibiarkan berjalan dengan sendirinya dan tidak dipercepat. Keberhasilan pengembangan komunitas akan bergantung pada dinamika komunitasnya. Secara alamiah, pengembangan masyarakat adalah proses jangka panjang dan merupakan proses belajar komunitas. 13. External Experties (Keahlian Pihak Luar) Keahlian dan pengalaman seseorang serta pengalaman pembangunan disuatu tempat dipelajari dan dikembangkan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat dan lingkungan serta sesuai dengan emampuan dan cara masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi horizontal (belajar dari sesama, bukan ditentukan konsultan) merupakan prasyarat dalam program pengembangan masyarakat. 14. Community Building (Membangun Komunitas) Melibatkan proses mendorong orang untuk bekerjasama, lebih bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu. Prinsip ini mencari cara dimana setiap orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas, mengajak kebersamaan, menterjemahkan
melalui
dialog,
pemahaman,
dan
tindakan
sosial.
Pengembangan masyarakat membawa warga komunitas ke dalam kegiatan bersama, penyelesaian masalah bersama, dan memperkuat interaksi yang bersifat formal dan informal.
13
15. Process and Outcome (Proses dan Hasilnya) Dalam pengembangan masyarakat proses dan hasil merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling menunjang sehingga keduanya menjadi penting. 16. The Integrity of the Process (Keterpaduan Proses) Proses yang dugunakan untuk mencapai tujuan harus sesuai dengan hasil yang diharapkan, keberlanjutan, keadilan sosial, dan lain-lain. 17. Non-Violence (Tanpa Kekerasan) Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk melawan berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan struktural dengan mengubah lembaga yang ada dan struktur sosial masyarakat. 18. Inclusivenes (Inklusif) Penerapan prinsip ini menekankan agar community workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut berlawanan pandangan. Meskipun orang lain tidak setuju dengan gagasan, nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan berusaha merangkulnya daripada mengasingkannya. 19. Consensus (Konsensus) Prinsip ini tidak sekedar persetujuan untuk menerima keinginan dari pihak mayoritas. Lebih jauh penerapannya adalah lebih jauh penerapannya adalah agar orang-oarang yang teribat dalam mencari penyelesaian terhadap suatu masalah dan menyadari betul-betul bahwa keputusan yang diambil adalah baik. 20. Cooperation (Kerjasama) Pendekatan pengembangan komunitas berusaha membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk member imbalan pada perilaku kerjasama. Peningkatan pengembangan komunitas yang berlandaskan pada konsensus dan tanpa kekerasan memerlukan struktur untuk bekerjasama (cooperation) daripada struktur persaingan (competition). Pada tingkat dasar, pengembangan komunitas dapat menghasilkan koperasi dari kegiatan komunitas dengan mengajak orang, bersama-sama menemukan perilaku koperasi dari individu atau kelompok. Dengan koperasi akan mampu sharing perasaan dan
14
permasalahan yang dihadapi, sehingga dalam jangka waktu panjang akan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi bersama dalam komunitas. 21. Participation (Partisipasi) Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat melibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Oleh karena itu pendekatan pengembangan komunitas selalu mengoptimalkan partisipasi, dengan tujuan semua warga ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan dalam proses implementasi serta evaluasi. Melalui peran serta warga komunitas maka akan diperoleh proses belajar satu sama lain, mereka dapat mengubah secara alamiah kegiatan tradisional yang eksklusif menjadi kegiatan yang partisipatif, dan secara sportif mereka menjadi tergantung satu sama lain. 22. Defining Need (Mendefinisikan Kebutuhan) Proses pengidentifikasian kebutuhan merupakan salah satu tugas yang harus dijalankan oleh community workers dalam pengembangan komunitas, pendekatan harus mencari persetujuan dari berbagai macam kebutuhan. Untuk itu peranan community workers yang sangat penting adalah membangun konsensus dari beragam kebutuhan warga komunitas. Batasan kebutuhan datang dari anggota komunitas itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan suatu dialog untuk merumuskan kebutuhan tersebut. Melalui dialog diharapkan dapat dirumuskan sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhan anggota komunitas, bukan keinginan. Disamping itu, pengembangan komunitas mampu mengartikulasikan titik temu antara kebutuhan dan tindakan yang harus dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat lima prinsip yang telah ditambahkan oleh Ife selain 22 prinsip pengembangan masyarakat yang telah dijelaskan sebelumnya. Ife (2002:200-225) seperti dikutip oleh Nasdian (2006) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut :
15
1. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu: holistik, keberlanjutan, keanekaragaman, pembangunan organis, dan keseimbangan. 2. Prinsip keadilan sosial, yaitu: menghilangkan ketimpangan struktural, memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of disadvantage), pemberdayaan, mendefiniskan kebutuhan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 3. Menghargai nilai-nilai lokal, yaitu:
pengetahuan lokal, budaya lokal,
sumberdaya lokal, keterampilan lokal, dan menghargai proses lokal. 4. Proses, yaitu: proses, hasil, dan visi, keterpaduan proses, peningkatan kesadaran, partisipasi, kooperasi dan konsensus, tahapan pembangunan, perdamaian dan anti kekerasan, inklusif, dan membangun komunitas. 5. Prinsip global dan lokal, yaitu: hubungan antara global dan lokal dan praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice).
2.1.1.4 Pendekatan Pengembangan Masyarakat Menurut Rothman (1970) dalam Nasdian (2006) menyatakan bahwa dengan mempertimbangkan berbagai cara maka pendekatan-pendekatan untuk pengembangan masyarakat dapat diklasifikasikan. Menurutnya, tiga klasifikasi utama
pengembangan
masyarakat:
(1)
pembangunan
lokalitas
(locality
development); (2) perencanaan sosial (social planning); dan (3) aksi sosial (social action). Mengingat pengertian tentang pengembangan masyarakat yang mempunyai tujuan mengembangkan tingkat kehidupan dan mempunyai cakupan seluruh komunitas, dapat dinyatakan bahwa pengembangan masyarakat adalah pembangunan alternatif yang komprehensif dan berbasis komunitas. Meskipun demikian, dari segi tujuan, beberapa praktisi pengembangan masyarakat dapat menunjukkan adanya pendekatan-pendekatan yang bersifat spesifik dan tidak selalu bersifat multi-objective (banyak tujuan) dalam satu kali pelaksanaan. Berikut beberapa pendekatan pengembangan yang pernah dilakukan (long, et al eds, 1973) dalam Nasdian (2006): (1) Pendekatan komunitas; (2) Pendekatan kemandirian informasi; (3) Pendekatan pemecahan masalah; (4) Pendekatan demonstrasi; (5) Pendekatan eksperimen; dan (6) Pendekatan konflik-kekuatan.
16
Sedangkan menurut Batten (1967) dalam Adi (2003) menyatakan bahwa pendekatan dalam pengembangan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Pendekatan direktif (instruktif). Pendekatan ini dilakukuan berdasarkan asumsi bahwa community worker mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan community worker bersifat lebih dominan karena prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari community worker. Community worker-lah yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dalam prakteknya community worker memang mungkin menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi jawaban yang muncul dari suatu masyarakat selalu diukur dari segi ‘baik’ dan ‘buruk’ menurut community worker. 2. Pendekatan Non-Direktif (Partisipatif). Pendekatan ini dilakukan berlandaskan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini community worker tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan ‘baik’ atau ‘buruk’ bagi suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah masyarkat itu sendiri, community worker lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Peran community worker disini berubah menjadi katalisator, pemercepat perubahan (enabler) yang mampu mempercepat terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini, community worker berusaha untuk merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk menentukan arah langkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri (self-help) (Batten, 1967: h.11) dalam Adi (2003). Tujuan dari pendekatan ini
adalah
agar
masyarakat
memperoleh
pengalaman
belajar
untuk
17
mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka. Untuk terciptanya kondisi masyarakat yang mendukung pendekatan NonDirektif maka community worker dapat melakukan tugas sebagai berikut (Batten, 1967: h. 13-14) dalam Adi (2003), yaitu: (a) Menumbuhkan keinginan untuk bertindak; (b) Memberikan informasi, jika dibutuhkan, tentang pengalaman kelompok lain; (c) Membantu masyarakat untuk membuat analisis situasi secara sistematik tentang hakekat dan penyebab dari masalah; dan (4) Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat dimanfaatkan.
2.1.2 Konsep Pemberdayaan Masyarakat 2.1.2.1 Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya Pembangunan Sosial Upaya pembangunan sosial pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat. Bagi seorang pelaku perubahan, hal yang dilakukan terhadap klien mereka adalah upaya memberdayakan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Payne (1997:h.226) dalam Rukminto (2003) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), sebagai berikut: “Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya”. Shardlow (1998:h.32) dalam Rukminto (2003) mengemukakan bahwa pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Tidak jauh berbeda dengan prinsip Biestek (1961) dalam bidang sosial dan kesejahteraan sosial yakni mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga mereka mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh.
18
2.1.2.2 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan community-based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community-driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakkan masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan. Masyarakat yang sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat serta inovatif, tentu memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat
untuk
bertahan
(survive)
dan
dalam
pengertian
dianamis
mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang dalam wawasan politik pada tingkat nasional disebut ketahanan nasional. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat Indonesia yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Kristiadi (1977) dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007)
melihat
bahwa ujung dari pemberdayaan masyarakat harus membuat swadiri, mampu mengurusi dirinya sendiri, swadana, mampu biayai keperluan sendiri, dan swasembada, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara berkelanjutan. Dalam pengertian konvensional, konsep pemberdayaan sebagai terjemahan empowerment mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability atau
to enable atau usaha untuk memberi
kemampuan atau keberdayaan (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007). Selanjutnya, Dubois dan Miley (1977) mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan antara lain meliputi: 1. Pemberdayaan adalah proses kerja sama antara klien dan pelaksana kerja secara bersama-sama yang bersifat mutual benefit.
19
2. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai komponen dan kemampuan yang memberikan jalan ke sumber penghasilan dan memberikan kesempatan. 3. Klien harus merasa dirinya sebagai agen bebas yang dapat mempengaruhi. 4. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman hidup, pengalaman khusus yang kuat daripada keadaan yang menyatakan apa yang dilakukan. 5. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut secara efektif. 6. Proses pemberdayaan adalah masalah yang dinamis, sinergis, pernah berubah, dan evolusioner yang selalu memiliki banyak solusi. 7. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur pararel dari perseorangan dan perkembangan masyarakat.
2.1.3 Partisipasi 2.1.3.1 Pengertian Partisipasi Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pengembangan atau pemberdayaan masyarakat. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang dalam suatu kegiatan yang diadakan pihak
lain
(kelompok,
asosiasi,
organisasi,
dan
sebagainya),
dimana
keikutsertaannya diwujudkan dalam bentuk pencurahan tenaga, pikiran dan/atau dana (material). Cohen dan Uphoff (1977) dalam Febriana (2008) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada saat perencanaan suatu kegiatan. 2. Tahap
pelaksanaan,
yang
merupakan
tahap
terpenting
dalam
pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
20
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya. 4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1969 dalam Zoebir, 2008)2:
Tabel 1. Tangga Partisipasi Masyarakat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tangga/Tingkatan Partisipasi Manipulasi (Manipulation) Terapi (Therapy) Pemberitahuan (Informing) Konsultasi (Consultation) Penentraman (Placation) Kemitraan (Partnership) Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power) Kontrol Masyarakat (Citizen Control)
Hakekat Kesertaan
Tingkatan Pembagian Kekuasaan
Permainan oleh pemerintah Sekedar agar masyarakat tidak marah/mengobati Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi Masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai sarannya Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan
Tidak ada partisipasi
Tokenism/sekedar justifikasi agar mengiyakan
Timbal-balik dinegosiasikan Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program) Sepenuhnya dikuasi oleh masyarakat
Tingkat kekuasaan ada di masyarakat
Sumber: Arsntein (1969:217) dalam Setiawan (2003)3
2
http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/08/13/proposal-penelitian-partisipasimasyarakat-dalam-penyusunan/ 3 www.psppr-ugm.net/jurnalpdf/Bobi.pdf
21
Arsntein (1969) dalam Zoebir menjelaskan bahwa terdapat apa yang ia sebut sebagai “ladder of citizen participation” atau tangga partisipasi masyarakat seperti yang terlihat pada Tabel 1 Berbagai tingkatan kesertaan dapat diidentifikasikan, mulai dari tanpa partisipasi sampai pelimpahan kekuasaan. Pengelola tradisional selalu enggan untuk melewati tingkat tanpa partisipasi dan tokenism, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis, membuang-buang waktu, pengelola mempunyai tanggung jawab untuk melakukannya berdasar kaidah-kaidah ilmiah, serta lembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang lebih bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan. Hal ini berkaitan dengan pendeskripsian partisipasi sebagai hasil sebuah program penerapan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan oleh Famiola dan Rudito (2007) : 1. Pasif, yaitu bentuk partisipasi yang tidak menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Biasanya perusahaan akan meminta seseorang dari anggota komunitas (misalnya ketua RT, atau orang yang berpengaruh) untuk mengumpulkan tanda tangan dari beberapa orang yang dikenal oleh orang yang dihubungi oleh perusahaan ini, tanda tangan tersebut biasanya menyatakan kesediaan penduduk dan dukungan penduduk terhadap perusahaan. Orang suruhan perusahaan tersebut biasanya diberi biaya cukup berikut juga dengan orang-orang yang menandatangi kertas persetujuan yang bersangkutan. 2. Terapi (therapy). Partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokal, dan anggota komunitas lokal memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan tidak ada pengaruh dalam usaha mempengaruhi keadaan.
Bentuk
ini
seperti
sebuah
dengar
pendapat
dengan
mengumpulkan beberapa penduduk lokal untuk saling tanya jawab dengan perusahaan sedangkan pendapat dari penduduk lokal sama sekali tidak
22
dapat mempengaruhi kedudukan program perusahaan yang sedang berjalan. 3. Konsultasi (consultation). Bentuk partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi oleh semua pihak (pemerintah dan perusahaan) sehingga pandangan-pandangan diperhitungkan dan tetap dilibatkan dalam menentukan keputusan. Dalam model ini wakil dari penduduk lokal, biasanya adalah para pemuka adat, agama, dan pemerintahan kampung diberikan hak untuk menjelaskan pandangannya terhadap kondisi wilayahnya sendiri. 4. Penenangan (Placation), suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya anggota komunitas diberikan insentif tertentu. Atau beberapa tokoh komunitas diberikan insentif tertentu untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah seingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Dalam konteks ini para wakil penduduk lokal, seperti para pemuka adat, agama dan pemerintahan kampung diberikan benda-benda materi sebagai “hadiah” dari perusahaan sehingga para pemuka ini segan berbicara untuk menentang program. 5. Kerjasama (partnership), partisipasi fungsional dimana semua pihak mewujudkan keputusan bersama (antara perusahaan, pemerintah dan komunitas). Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan para pemuka komunitas dan atau ditambah dengan orang-orang lainnya sebagai penduduk lokal, duduk berdampingan dengan wakil dari pemerintah daerah, dalam hal ini bisa dari pihak kabupaten, kecamatan dan bahkan dinas terkait serta perusahaan secara bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. 6. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif, dimana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi dan monitoring. Dalam hal ini anggota komunitas lokal diberikan keleluasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program dan bahkan pengutamaan pembuatan proposal adalah pada penduduk lokal sekitar perusahaan
23
tersebut berdiri, atau proyek atau program yang akan diterapkan tersebut ada. 7. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam model ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal terhadap perusahaan dan juga pemerintah. Monitoring yang dapat dilakukan oleh komunitas lokal biasanya adalah berupa pendapat yang biasa diletakkan di pusat informasi bagi perusahaan seperti public hearing center. 2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Partisipasi masyarakat dalam suatu program dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor internal Mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah pendapatan, dan pengalaman berkelompok. 2. Faktor Eksternal Meliputi hubungan yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran dapat mempengaruhi partisipasi karena sasaran dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila didukung dengan pelayanan pengelolaan kegiatan yang positif dan tepat dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut. Selain itu, menurut Murray dan Lappin (1967) yang dikutip Matrizal (2005), faktor internal lain yang mempengaruhi partisipasi seseorang adalah lama tinggal. Semakin lama tinggal di suatu tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagian bagian dari lingkungannya, sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan memelihara lingkungan dimana dia tinggal. Pekerjaan utama juga mempengaruhi partisipasi seseorang dalam suatu kegiatan. Jika pekerjaan utama seseorang membutuhkan waktu yang banyak maka partisipasi orang tersebut dalam suatu kegiatan akan rendah. Hal ini karena waktu
24
untuk ikut serta dalam kegiatan yang berlangsung di luar pekerjaan utama tersebut akan berkurang (Silaen 1998). Silaen (1998) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru. Tamarli (1994) juga menyatakan bahwa umur merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi. Semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan tersebut akan mempengaruhi partisipasi sosialnya. Tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan sesorang terhadap sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jumlah beban keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota, yang dinyatakan dalam besarnya jumlah jiwa yang ditanggung oleh anggota dalam keluarga. Semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga (Ajiswarman 1996). Namun, hasil penelitian yang berbeda diungkapkan oleh Nurlaela (2004) bahwa tingkat pendapatan seseorang tidak mempengaruhi partisipasi orang tersebut dalam suatu kegiatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan seseorang yang memiliki tingkat pendapatan tinggi menunjukkan jumlah persentase partisipasi yang relatif sama. Faktor eksternal lain yang mempengaruhi partisipasi selain pelayanan yaitu metode kegiatan. Metode kegiatan yang dua arah atau interaktif dapat lebih meningkatkan partisipasi seseorang (Arifah 2002).
25
2.1.4 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan(Corporate Social Responsibility) 2.1.4.1 Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)4 Gema CSR makin terasa pada tahun 1950-an. Pada waktu itu, persoalanpersoalan kemisikinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Mereka menganggap bahwa buku yang bertajuk Social Responsibilities of the Bussinessman karya Howard R. Bowen yang ditulis pada tahun 1953 merupakan literatur awal yang menjadi tonggak sejarah modern CSR dan karena karyanya tersebut, Bowen disebut “Bapak CSR”. Buku berjudul “Silent Spring” karya Rachel Carson pun jugu
turut
meramaikan
dekade
ini
yang
menceritakan
bahwa
betapa
mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Ia ingin menyadarkan bahwa tingkah laku perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak kehancuran. Tahun 1996 muncul pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi dalam “The Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow. Menurutnya kapitalisme tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut suistainable society. Sedangkan pada dasarwasa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku ini merupakan hasil pemikiran para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini menceritakan bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementari disisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Oleh karena itu, exploitasi alam harus dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Di era 1980-an, banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropinya kearah Community Development, yakni kegiatan kedermawanan yang makin berkembang kearah pemberdayaan masyarakat. Dasawarsa 1990-an, Community Development menjadi suatu akitivitas yang lintas sektor karena mencakup aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak. Pada tahun 1992 dalam KTT Bumi (Earth Summit) yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil menegaskan konsep 4
Yusuf Wibisono. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (Corporate Social Responsbility. Gresik : Fascho Publishing.
26
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hasil yang mesti dilakukakan. Konsep “3P” (profit, people dan planet) dalam buku karangan John Elkington pada tahun 1997 yang berjudul “Cannibals with Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” menerangkan bahwa bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan
ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
(planet). Gaung CSR makin bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WWSD tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang. Definisi dari CSR telah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak atau instansi, salah satunya yaitu definisi yang diungkapkan oleh The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD), sebuah lembaga internasional yang berdiri tahun 1995. Dalam lembaga tersebut, CSR didefinisikan sebagai komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas. Definisi lainnya dikemukakan oleh World Bank yang memandang sebagai komitmen
dunia
usaha
yang
mengkontribusikan
keberlanjutan
usaha
pembangunan ekonomi melalui peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas hidup demi kemajuan bisnis maupun kemajuan pembangunan. Dalam versi Indonesia, secara etimologis CSR diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, tanggung jawab sosial korporasi atau tanggung jawab sosial dunia usaha. Bulan September 2004 lalu, ISO (International Standard Organization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim yang membidangi lahirnya paduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial (social responbility) yang bakal diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responbility. Terdapat empat agenda pokok yang menjadi program kerja mereka, diantaranya adalah
27
menyiapkan draf kerja tim hingga 2006, penyusunan draft ISO 26.000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 pada bulan September 2008 dan ratifikasi serta launching ISO 26000 sebagai standar internasional pada Oktober 2008. Implementasi CSR di perusahaan pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adalah terkait dengan komitmen pemimpinnya. Kedua, menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberi kontribusi. Ketiga, regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Tahap-tahap dalam penerapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya yaitu: 1. Tahap perencanaan. Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kodisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, perencanaan merupakan inti dalam memberikan petunjuk pelaksanaan CSR bagi konsumen perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien. 2. Tahap implementasi. Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari 3 langkah utama yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi.
28
3. Tahap evaluasi. Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian
perusahaan
dalam
implementasi
CSR
sehingga
dapat
mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi. 4. Pelaporan. Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
2.1.4.2 Cara Pandang Perusahaan terhadap CSR Wibisono (2007) menjelaskan bahwa perusahaan memiliki berbagai cara pandang dalam memandang CSR. Berbagai cara pandang perusahaan terhadap CSR yaitu: 1.
Sekedar basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktekkan CSR karena external driven (faktor eksternal), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan dan reputation driven (karena ingin mendongkrak citra perusahaan).
2.
Sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance). CSR dilakukan karena terdapat regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa perusahaan menjalankannya.
3.
CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya saja, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Adapun pengamatan dari Hamann dan Acutt (2003) dalam Ambadar
(2008) yang menyatakan bahwa terdapat dua motivasi utama yang mendasari mengapa banyak perusahaan ikut-ikutan program CSR tanpa memahami fungsi sebenarnya. Pertama bersifat akomodatif, kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, seadanya (seperficial), dan tidak lengkap (partial). CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai perusahaan yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Kedua, bersifat legitimatif dengan tujuan untuk memengaruhi wacana.
29
Namun program CSR yang bersifat wacana itu pun sudah bermanfaat sebagai langkah awal dalam proses perubahan menjadi program CSR yang benar.
2.1.4.3 Menyusun Perencanaan Strategis Program CSR Berdasarakan pemikiran Wibisono (2007), secara umum perencanaan terbagi menjadi perencanaan jangka panjang (rencana operasional) dan rencana jangka panjang (rencana strategis). Umumnya berkisar satu tahun untuk rencana jangka pendek dan di atas lima tahun untuk rencana jangka panjang. Langkahlangkah yang biasa ditempuh antara lain meliputi: 1. Menetapkan Visi Visi merupakan gambaran dari sesuatu yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Diupayakan agar visi yang dibuat berdasarkan SMART, specifik, measurable (terukur), achieveable (dapat digapai), realistic (masuk akal), dan time-bound (alokasi waktu) 2. Memformulasikan Misi Misi mendiskripsikan alasan mengapa perusahaan perlu melakukan program CSR. Misi mengembangkan harapan pada karyawan dan mengkomunikasikan
pandangan
umum
dari
perusahaan
serta
merupakan cara untuk mencapai visi yang diinginkan. 3. Menetapkan Tujuan Tujuan merupakan hasil akhir atau wujud kongkret dari sebuah visi. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan oleh perusahaan dan kapan akan diselesaikan dan sebaiknya diukur jika memungkinkan. 4. Menetapkan kebijakan Kebijakan merupakan pedoman umum sebagai acuan pelaksanaan program CSR yang akan di jalankan. 5. Merancang Struktur Organisasi Pelaksanaan program CSR dapat ditempatkan pada posisi yang berbeda pada masing-masing perusahaan. Hal ini tergantung dari komitmen manajemen, besar kecilnya dana atau kegiatan yang dikelola serta harapan dan kebutuhan. Sebagai kegiatan yang bersifat strategis,
30
maka idealnya program CSR ditempatkan pada posisi struktur yang strategis dalam perusahaan. 6. Menyediakan SDM Keberhasilan pelaksanaan program CSR tidak dapat dilepaskan dari peranan SDM yang terlibat di dalamnya. SDM merupakan aset perusahaan yang sangat berharga sebagai penopang utama dalam pencapaian tujuan perusahaan. Pokok-pokok kualifikasi yang mesti dimiliki oleh SDM penggiat CSR antara lain: 1. Memiliki pengetahuan yang luas 2. Mempunyai karakter yang baik misalnya loyal 3. Mempunyai semangat kerja sama yang tinggi 4. Mempunyai etos kerja yang baik 5. Penuh inisiatif 6. Bersikap pro aktif bukan reaktif 7. Memiliki kestabilan emosi dan tingkah laku sopan / ramah 8. Memiliki kesederhanaan 9. Mempunyai kemauan baik dan optimis 10. Memiliki sensitifitas / kepekaan sosial yang tinggi 11. Supel dan kreatif 12. Pandai berkomunikasi secara verbal maupun non verbal 13. Mempunyai daya analisa yang tajam Corporate Forum for Community Development (CFCD) mengidentifikasi keterampilan pokok SDM yang perlu dimiliki oleh pelaku CSR sebagai berikut: 1. Keterampilan berkomunikasi dan mempengaruhi orang lain. 2. Keterampilan bekerja dengan atau di dalam tim 3. Keterampilan mengedukasi 4. Keterampilan menyediakn sumberdaya yang diperlukan 5. Keterampilan menulis 6. Keterampilan memotivasi, membangun antusiasme dan menggerakkan orang 7. Keterampilan mengelola konflik 8. Keterampilan melakukan advokasi
31
9. Keterampilan melakukan persentasi di depan publik 10. Keterampilan bekerja menggunakan media 11. Keterampilan manajemen dan mengorganisasi 12. Keterampilan melakukan riset / penelitian Unsur sentral perencanaan strategis bidang publik terdapat pada akronim SWOT, yang diangkat dari model kebijakan Harvard. SWOT merupakan kepanjangan dari strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman), yang dikaji dari masyarakat, sebagai dasar bagi penyusunan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam bidang isu-isu kunci. Sorkin, Ferris, dan Hudak (1984) dalam Djunaedi (2000) mengidentifikasi unsur penting lainnya, yaitu langkah-langkah dasar perencanaan strategis di tingkat masyarakat, yang terdiri dari: 1. Mengkaji lingkungan (scan the environment) 2. Memilih isu-isu kunci (select key issues); 3. Merumuskan pernyataan misi atau tujuan umum/visi (set mission statements or broad goals); 4. melakukan kajian eksternal dan internal (undertake external dan internal analyses); 5. Mengembangkan tujuan, sasaran, dan strategi yang terkait dengan tiap isu kunci (develop goals, objectives, and strategies with respect to each issue); 6. Mengembangkan rencana implementasi untuk menjalankan tindakantindakan strategis (develop an implementation plan to carry out strategic actions); 7. Memantau, memperbarui, dan mengkaji (monitor, update, dan scan). Djunaedi (2000) dalam Wibisono (2007) juga mengemukakan bahwa sebelum tahun 1980an, para perencana perusahaan dan perencana perkotaan tidak pernah saling berkomunikasi untuk bertukar cara berpikir perencanaan. Pada awal 1980an, komunikasi antara dua pihak tersebut terjalin, dan perencana perkotaan meminjam pendekatan perencanaan strategis, yang biasa dipakai di bidang usaha, ke bidang perencanaan perkotaan. Berdasar bahan-bahan dari literatur, dikaji sifatsifat perencanaan strategis perusahaan dan kemungkinannya untuk diterapkan
32
dalam perencanaan publik. Secara singkat, kajian ini menghasilkan temuan bahwa perencanaan strategis perusahaan mempunyai sifat-sifat: 1. Berorientasi lebih menuju ke tindakan, hasil, dan implementasi; 2. Mempromosikan partisipasi yang lebih luas dan beragam dalam proses perencanaannya; 3. Lebih menekankan pada pemahaman masyarakat terhadap konteks ingkungannya,
mengidentifikasi
peluang
dan
ancaman
terhadap
masyarakat melalui kajian lingkungan; 4. Mengandung perilaku kompetitif (bersaing) di pihak masyarakat; 5. Menekankan kajian kekuatan dan kelemahan masyarakat dalam konteks peluang dan ancaman.
2.1.5 Implementasi Program CSR Menurut Wibisono (2007), contoh lingkup program CSR yang disarikan dari beberapa perusahaan terkemuka adalah: 1. Bidang Sosial antara lain: a. Pendidikan/Pelatihan b. Kesehatan c. Kesejahteraan sosial d. Kepemudaan/Kewanitaan e. Keagamaan f. Kebudayaan g. Penguatan kelembagaan h. Dan lain-lain 2. Bidang Ekonomi antara lain: a. Kewirausahaan b. Pembinaan UKM c. Agribisnis d. Pembukaan lapangan kerja e. Sarana dan prasarana ekonomi f. Usaha produktif lainnya 3. Bidang Lingkungan antara lain:
33
a. Penggunaan energi secara efisien b. Proses produksi yang ramah lingkungan c. Pengendalian polusi d. Penghijauan e. Pengelolaan air f. Pelestarian alam g. Pengembangan ekowisata h. Penyehatan lingkungan i. Perumahan dan pemukiman Contoh lain tentang program operasional CSR yang diklasifikasikan dalam beberapa bidang adalah adaptasi dari Natural Resource Canada yang tersaji dalam Tabel 2 berikut ini:
34
Tabel 2. Program Operasional CSR yang Diadaptasi oleh Natural Resource Canada Bidang-Bidang Program CSR
Program CSR yang bisa dilakukan • • •
Komunitas dan Masyarakat Luas
• • • • •
Program-program karyawan
• • •
Program-Program Penanganan/Produk
• • •
• • • Program-Program Lingkungan
• • •
Mempekerjakan tenaga lokal Membeli produk lokal Mendukung karyawan yang bersedia menjadi sukarelawan Jadwal kerja yang disesuaikan dengan kebituhan lokal Filantropi Kajian dampak sosial
•
Keberagaman ditempat bekerja (khususnya dalam manajemen) Keseimbangan kerja (misalnya waktu yang fleksibel) Bagi hasil/opsi saham Manfaat bagi karyawan paruh waktu Pelatihan/kemajuan karir
•
Program penanganan produk Program pelanelan Informasi kesehatan dan lingkungan pada produk dan jasa
• •
Rancangan lingkungan (mengembangkan produk yang ekoefisien) Manajemen daur ulang Program pengadaan berwawasan lingkungan Manajemen B3 Evaluasi lingkungan atas investasi/proyek modal Program gas rumah kaca
•
• • • • •
• • • •
•
• • • •
Program yang mengembangkan masyarakat Pemantauan HAM Program diversity pemasok Program untuk penduduk setempat Program merespon kondisi darurat Latihan kepekaan kultural bagi para staf Partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan Kesehatan dan Keselamatan kerja Saluran komunikasi yang terbuka antara karyawan dan manajer Survei kepuasan karyawan Program bantuan karyawan/insentif Kajian pelanggan Komunikasi dengan pelanggan berdasarkan standar perusahaan Keterlibatan pelanggan dalam pengembangan produk Program energi alternatif Program efesiensi sumberdaya (air, bahan baku, energi) Manajemen emisi (udara, tanah, air) Transportasi dan distribusi Program ekologi industry/program memadukan produk sampingan
35 Bidang-Bidang Program CSR
Program CSR yang bisa dilakukan
Memasukkan data kontribusi • Situs Web sosial ke daam laporan • Laporan disesuaikan tahunan fasilitas lokal • Membuat laporan tersendiri • Berbagai laporan tentang lingkungan hidup pemerintahan Program-Program • Membuat laporan tersendiri Komunikasi dan tentang lingkungan hidup Pelaporan • Membuat laporan tersendiri tentang tanggung jawab sosial korporat • Kombinasi laporan sosial, ekonomi dan lingkungan • Semua informasi tentang program atau kegiatan yang dijalankan perusahaan untuk melibatkan pemegang saham dalam hal-hal yang bersifat non financial • Semua informasi tentang cara yang dilakukan perusahaan Pemegang Saham tentang cara yang dilakukan perusahaan dalam menyempaikan informasi kepada pemegang saham minoritas yang memungkinkan mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan perusahaan • Kajian atas pemasok • Audit pemasok (lingkungan, kondisi kerja, • Pelatihan atau bekerja Program-Program pekerja anak) bersama pemasok utnuk Pemasok • Komunikasi dengan memperbaiki kinerja pemasok • Kode etik • Sistem penunjang kode Program tataetik • Sistem akuntabilitas pamong/pedoman • Kajian investasi (HAM, perilaku lingkungan hidup) Sumber: Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (2007) •
Contoh bentuk dan jenis kegiatan Bina Lingkungan Perusahaan BUMN dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Bencana Alam a. Bantuan korban bencana banjir b. Bantuan koran bencana kekeringan c. Bantuan korban kebakaran d. Bantuan korban angin topan / angin ribut / angin puyuh dll. 2. Pendidikan dan atau pelatihan a. Program beasiswa / anak asuh b. Bantuan sarana pendidikan c. Bantuan perpustakaan sekolah
36
d. Bantuan pelatihan ketrampilan Karang Taruna dll 3. Peningkatan Kesehatan a. Pengobatan umum b. Khitanan massal c. Program kegiatan olah raga dan kesehatan d. Bantuan sarana olah raga 4. Pengembangan prasarana & sarana umum a. Perbaikan/pembangunan sarana jalan b. Perbaikan/pembangunan saluran sanitasi/saluran air hujan c. Perbaikan/pembangunan balai desa/tempat pertemuan d. Perbaikan/pembangunan sarana usaha (workshop) e. Program penghijauan 5. Sarana Ibadah a. Perbaikan/pembangunan tempat ibadah (masjid, mushola, dll) b. Bantuan peringatan hari besar dan kegiatan keagamaan c. Kegiatan pengajian umum, sema’an Al Qur’an, haul, majelis dzikir, istigozah, dll
2.1.6 Karakteristik CSR Kontribusi Governance
suatu
untuk
perusahaan
meningkatkan
dalam
aktualisasi
kesejahteraan
Good
masyarakat
Corporate mengalami
metamorfosis, dari yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada pencipataan kemandirian masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambaddar, 2008). Metamorfosis kontibusi perusahaan tersebut diungkapkan oleh Za’im Zaidi (2003) dalam Ambaddar (2008), yaitu dapat dilihat dalam Tabel 3 berikut:
37
Tabel 3. Karakteristik CSR Paradigma
Charity
Philantropy
Good Corporate Citizenship (GCG)
Motivasi
Agama, tradisi, adaptasi
Norma, etika dan hukum universal
Pencerahan diri dan rekonsiliasai dengan ketertiban sosial
Misi
Mengatasi masalah setempat
Mencari dan mengatasi akar masalah
Memberikan kontribusi terhadap masyarakat
Pengelolaan
Jangka pendek, mengatasi masalah sesaat
Terencana, terorganisasi dan terperogram
Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan
Pengorganisasian
Kepanitiaan
Yayasan/dana abadi/profesionalitas
Keterlibatan baik dana maupun sumberdaya lain
Penerima manfaat
Orang miskin
Masyarakat luas
Masyarakat luas dan perusahaan
Kontribusi
Hibah sosial
Hibah pembangunan
Hibah (sosial dan pembangunan serta keterlibatan sosial)
Inspirasi
Kewajiban
Kepentingan bersama
Sumber: Za’im Zaidi, Sumbangan Sosial Perusahaan (2003) dalam Ambaddar (2008)
2.1.7 Dampak CSR bagi Masyarakat Menurut Ambadar (2008), secara empirik dalam mengukur dampak CSR dapat ditransformasikan ke dalam beberapa variabel pokok yaitu adanya peningkatan dalam: kualitas SDM, kelembagaan, tabungan, konsumsi dan inovasi (TKI) dari rumah tangga warga masyarakat, dengan membandingkan data dasar (base line data) dengan periode akhir proyek: 1. Tabungan: a. Adanya peningkatan saldo tabungan anggota binaan baik di bank maupun di lembaga keuangan lain b. Peningkatan jenis, jumlah, mutu dan nilai harta rumah tangga 2. Konsumsi: a. Peningkatan rata-rata jumlah pendapatan rumah tangga perperiode b. Peningkatan jenis, jumlah dan mutu konsumsi rumah tangga perperiode
38
c. Penerapan pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT) secara tepat guna 3. Investasi: a. Peningkatan jumlah unit dan ragam sektor usaha b. Peningkatan jumlah orang yang melakukan kegiatan usaha c. Peningkatan nilai penjualan produk usaha perperiode d. Peningkatan volume penjualan atas komoditi-komoditi lama e. Peningkatan jumlah laba/pendapatan usaha perperiode f. Peningkatan modal sendiri dari unit-unit usaha bertambah g. Peningkatan aset usaha dari seluruh unit h. Peningkatan kualitas usaha 4. Sumber daya manusia: a. Peningkatan jenis, jumlah dan frekuensi kegiatan pelatihan bagi warga masyarakat b. Peningkatan jumlah orang yang telah mengikuti pelatihan dari berbagai jenis yang ada c. Peningkatan jumlah orang yang telah memiliki kemampuan untuk memperluas usaha d. Peningkatan jumlah orang yang telah dapat membuat akuntansi dan memonitor e. Peningkatan jumlah orang yang telah memiliki akses dan dapat mengelola keuangan usaha f. Peningkatan jumlah orang yang telah menguasi teknologi produksi yang relatif canggih g. Peningkatan jumlah orang yang telah dilatih dan aktif mengelola organisasi h. Peningkatan kualitas sumber daya masyarakat sekitar 5. Kelembagaan: a. Tumbuhnya lembaga keuangan pada masyarakat sasaran b. Tumbuhnya sistem jaringan antarkelembagaan yang ada termasuk lembaga keuangan c. Tumbuhnya lembaga yang bersikap korporatif
39
2.2 Kerangka Pemikiran Masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam perusahaan mempunyai peranan yang penting dalam keberlanjutan suatu perusahaan. Jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving (charity), corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development. Keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan Good Corporate Governance (GCG) bermotifkan kepada menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholder. Oleh karena itu, masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan, maka perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada mereka. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karenanya pula perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyetuh kebutuhan masyarkat (sosial, ekonomi dan lingkungan) agar diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi mereka. Dampak bagi masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan sebagai akibat adanya pengimplementasian program CSR yang dikategorikan pula dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Program CSR akan berjalan dengan baik jika didukung dengan keterlibatan masyarakat secara aktif. Tinggi rendahnya partisipasi dalam program ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik intrenal maupun external individu. Faktor internal meliputi variabel usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah beban keluarga dan lama
40 Cara Pandang Perusahaan Terhadap CSR: 1. External Driven, environmental driven, reputation driver 2. Compliance 3. Internal Driven
Pendekatan Pengembangan Masyarakat : 1. Direktif (Instruktif) 2. Non-Direktif (Partisipatif) Implementasi Kegiatan CSR : • • •
Ekonomi Sosial Lingkungan
Dimensi dan Karakteristik CSR 1. Charity 2. Philantropy Corporate 3. Good
Citizenship (GCG) Dampak CSR bagi Masyarakat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tingkatan Partisipasi Masayarakat Manipulasi Terapi Pemberitahuan Konsultasi Penenangan Kemitraan Pendelegasian Kekuasaan Kontrol Masyarakat
Faktor Intrernal (Karakterisitik Individu) • • • • •
Umur Tingkat Pendidikan Tingkat Pendapatan Jumlah Beban Keluarga Lama Tinggal
Keterangan : : Mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tingkat Partisipasi Warga dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tinggal. Pengimplementasian program CSR perusahaan juga didasari pada dua pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu pendekatan secara direktif dan pendekatan secara non-direktif. Pendekatan direktif dilakukuan berdasarkan asumsi bahwa community worker mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang
41
baik
untuk
masyarakat.
Sedangkan
pendekatan
non-direktif
dilakukan
berlandaskan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pendekatan
pengembangan
masyarakat
tersebut
didukung
oleh
perencanaan program strategis CSR perusahaan yang baik meliputi penetapan visi, misi serta tujuan program. Kemudian dilanjutkan dengan menetapkan kebijakan, merancang struktur organisasi dan penyedian SDM. Cara pandang perusahaan terhadap CSR mempengaruhi perencanaan program strategis CSR perusahaan tersebut. Cara pandang tersebut dikategorikan menjadi tiga jenis, yang pertama yaitu sekedar basa basi atau keterpaksaan (external driven). Selain itu, masih dalam kategori pertama, terdapat environmental driven dimana praktek CSR perusahaan dilakukan karena terjadinya masalah lingkungan dan reputation driven yang dilakukan perusahaan untuk mendongkrak citranya. Kategori kedua yaitu sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance) dan yang ketiga yaitu CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).
2.3 Hipotesa 2.3.1 Hipotesa Pengarah
Cara perusahaan dalam memandang CSR diduga dilaksanakan dari segi external driven, reputation driven, compliance dan internal driven. Selain itu, strategi pengimplementasian CSR perusahaan diduga menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat secara non-direktif (partisipatif) atau bahkan kombinasi pendekatan direktif dan non-direktif dalam upaya pendekatan pengembangan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan CSR perusahaan diduga mempunyai jenis program di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Karakteristik CSR perusahaan diduga masih cenderung dalam bentuk charity dan philantrophy.
2.3.2 Hipotesa Uji 1. Ada hubungan antara faktor internal (karakteristik individu) dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan CSR perusahaan
42
2. Ada hubungan antara tingkat partisipasi masyarakat dengan dampak dalam pengimplementasian program CSR perusahaan.
2.4 Definisi Operasional 1. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam individu responden yang dapat memotivasi diri atau merupakan dorongan dalam diri untuk ikut berpartisipasi dalam program CSR. Faktor intrenal meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah beban keluarga dan lama tinggal. 2. Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai ketika diwawancarai. Rentang usia diukur dalam jumlah tahun berdasarkan sebaran yang didapat dari rata-rata data lapang. 3. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal terakhir dengan enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, dan tamat SMA. 4. Tingkat pendapatan adalah rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh warga tiap bulan. Tingkat pendapatan diukur berdasarkan batas UMR Kota Bekasi tahun 2009, yaitu Rp. 994.000 dan dikategorikan menjadi: Rendah: < Rp. 994.000 Sedang: Rp. 994.000 s/d 1.998.000 Tinggi: > Rp. 1.998.000 5. Jumlah beban keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dikelompokkan berdasarkan kriteria BKKBN (keluarga kecil ≤ 4 orang, keluarga sedang 5-6 orang, keluarga besar ≥ 7 orang) 6. Lama tinggal yaitu lamanya responden tinggal di tempat ini sampai dengan dilakukan wawancara. Dikukur dengan satuan tahun. Tinggi rendahnya akan didapat dari rata-rata data lapang.
43
7. Tingkatan partisipasi adalah keikutsertaan anggota dalam semua tahapan kegiatan sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Adapun kedelapan tingkatan partisipasi tersebut yaitu , tahap manipulasi, terapi, pemberitahuan,
konsultasi,
penenangan,
kemitraan,
pendelegasian
kekusaan, dan kontrol masyarakat. Skor penilaian berdasarakan tanggapan responden dalam menanggapi tindakan perusahaan kepada reponden pada kegiatan CSR yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu tidak pernah, kadang-kadang dan selalu. Skor bernilai 1 untuk kategori tidak pernah Skor bernilai 2 untuk kategori kadang-kadang Skor bernilai 3 untuk kategori selalu 8. Tahap manipulasi, dinyatakan sebagai bentuk partisipasi yang tidak menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak dalam suatu kegiatan. Pihak perusahaan sangat dominan pada tahap awal ini. 9. Tahap terapi, bentuk ini seperti sebuah dengar pendapat dengan mengumpulkan beberapa penduduk lokal untuk saling tanya jawab dengan perusahaan sedangkan pendapat dari penduduk lokal sama sekali tidak dapat mempengaruhi kedudukan program perusahaan yang sedang berjalan. 10. Tahap pemberitahuan yaitu sekedar pemberitahuan searah atau sosialisasi dari perusahaan kepada responden. 11. Tahap konsultasi, yaitu partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi oleh semua pihak (pemerintah dan perusahaan) sehingga pandangan-pandangan diperhitungkan dan tetap dilibatkan dalam menentukan keputusan. 12. Tahap penenangan merupakan suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya ketika akan muncul suatu konflik antara perusahaan dan masyarakat, anggota komunitas diberikan insentif tertentu sehingga mereka segan berbicara untuk menentang program.
44
13. Tahap kemitraan, yaitu partisipasi fungsional dimana semua pihak mewujudkan keputusan bersama (antara perusahaan, pemerintah dan komunitas) dalam suatu negosiasi. 14. Tahap pendelegasian kekuasaan, bentuk partisipasi yang aktif, dimana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi dan monitoring. 15. Tahap kontrol masyarakat yaitu model yang sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal terhadap perusahaan dan juga pemerintah. 16. Dampak CSR bagi masyarakat merupakan perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program pengimplementasian CSR. Dampak ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. 17. Dampak Ekonomi adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program pengimplementasian CSR pada variabel perolehan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, upah kerja, pendapatan warga, dan kesejahteraan warga. Dampak ekonomi rendah, yaitu skor 5-8 Dampak ekonomi sedang, yaitu skor 9-12 Dampak ekonomi tingi, yaitu skor 13-15 18. Dampak Sosial adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program pengimplementasian CSR pada variabel kepercayaan warga terhadap perusahaan, kerjasama warga, solidaritas warga, akses warga
terhadap
sarana
pendidikan,
peran
perempuan,
peran
pemuda/karangtaruna, kesempatan warga dalam mengambil keputusan, peluang konflik dan penyelesaian konflik. Dampak sosial rendah, yaitu skor 5-8 Dampak sosial rendah, yaitu skor 9-12 Dampak sosial tinggi, yaitu skor 13-15 19. Dampak Lingkungan adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah menerima program pengimplementasian CSR pada variabel akses sarana transportasi dan kerusakan lingkungan. Dampak lingkungan rendah, yaitu skor 2-3 Dampak lingkungan rendah, yaitu skor 4-5
45
Dampak lingkungan tinggi, yaitu skor 6 20. Dampak keseluruhan diukur melalui penilaian masyarakat terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dan jumlah skor yang didapat pada dampak-dampak tersebut. Rendah , yaitu skor 12-20 Sedang, yaitu skor 21-28 Tinggi, yaitu skor 29-36