14
BAB II PENALANGAN SUATU BANK GAGAL
A. Pengertian Bank Gagal Bank berasal dari bahasa Italy “banca” yang berarti bence yaitu suatubangku tempat duduk.Sebab,pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy dalam usahanya memberikan pinjaman kepada nasabahnya; dilakukan dengan duduk di bangku-bangku dihalamanpasar. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah bank dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata financial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, misalnya seperti pinjaman,
memberikan
pinjaman,
mengedarkan
mata
uang,
melakukan
pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda/surat-surat berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan. 13 Seperti telah diketahui bahwa, yang dimaksud dengan bank menurut Undang-Undang Perbankan adalah :“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.14 Bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah: 1.
Menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana. Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Tujuan lainnya adalah sebagai tempat untuk melakukan investasi. Dengan menyimpan uangnya dibank,
13
Munir Fuady,Hukum Perbankan Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 21. Ismail, Manajemen Perbankan, Jakarta: Penerbit Kecana, 2010, hlm.3.
14
14 Universitas Sumatera Utara
15
nasabah juga akan mendapat keuntungan berupa return atas simpanannya yang besarnya tergantung kebijakan masing-masing bank. Return merupakan imbalan yang diperoleh nasabah atas sejumlah dana yang disimpan di bank. 2.
Menyalurkan
dana
kepada
masyarakat
yang
membutuhkan
dana.
Menyalurkan dana merupakan aktivitas yang sangat penting bagi bank, karena bank akan memperoleh pendapatan atas dana yang disalurkan. Penyaluran dana kepada masyarakat sebagaian besar berupa kredit untuk bank konvensional dan/atau pembiayaan untuk bank syariah. 3.
Pelayanan jasa perbankan yang diberikan oleh bank antara lain Jasa pengiriman uang (transfer), pemindah bukuan, penangihan surat-surat berharga, kliring, letter of credit, inkaso, garansi bank dan pelayanan jasa lainnya. Dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan ditentukan: “Bank wajib
memelihara tingkat kesehatan Bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank, dan wajib melakukan kegiatan sesuai prinsip kehati-hatian”.15 Untuk menilai apakah bank sehat atau tidak, ada 3 faktor yang harus dinilai, yaitu: 1.
Keadaan keuangan bank, yang meliputi likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas;
15
Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.86.
Universitas Sumatera Utara
16
2.
Kualitas aktiva produktif, yaitu kekayaan bank berupa penanaman dalam berbagai aktiva yang diharapkan dapat memberi penghasilan pada bank;
3.
Tata kerja kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan terutama yang berkaitan dengan bidang perbankan.16 Dalam Pasal 29 ayat 1 UU Perbankan disebutkan bahwa pembinaan dan
pengawasan Bank di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.17 Pengertian kesehatan bank adalah Kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Banyak kegiatan operasional yang dilakukan oleh bank untuk memenuhi tingkat kesehatan bank yaitu :Kemampuan menghimpun dana, Kemampuan mengelola dana, Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat, Kemampuan memenuhi kewajiban kepada pihak lain, Pemenuhan peraturan yang berlaku. Ukuran tingkat kesehatan bank di Indonesia adalah mengukur dengan sistem Camel (Capital,Asset,Management, Earning, Likuidity) plus. Pengertian dari sistem Camel tersebut adalah sistem yang menilai keadaan keuangan bank juga menilai keadaan atau unsur-unsur yang tidak termasuk dalam keadaan 16
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Jakarta: .Mandar Maju,2000), hlm.44. Ibid, hlm 44.
17
Universitas Sumatera Utara
17
keuangan bank faktor plus yaitu kepatuhan terhadap peraturan-peraturan khususnya peraturan di bidang perbankan.Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Capital, yaitu untuk memastikan kecukupan modal dan cadangan untuk memikul risiko yang mungkin timbul. Modal merupakan benteng pertahanan bagi bank, apabila modal tergerus untuk pembiayaan bank maka akan berdampak masalah terhadap bank tersebut. Asset, untuk memastikan kualitas aset yang dimiliki bank dan nilai real dari aset tersebut.Kemerosotan kualitas dan nilai aset merupakan sumber erosi terbesar bagi modal bank. Management, untuk memastikan kualitas dan tingkat kedalaman penerapan prinsip manajemen bank yang sehat, terutama yang terkait dengan manajemen risiko.Manajemen yang kompeten dan memiliki integritas yang tinggi merupakan ujung tombak atau pameran terdepan dari pertahanan atas risiko bank. Earning, untuk memastikan efisiensi dan kualitas pendapatan bank secara benar dan akurat.Kelemahan dari segi pendapatan real merupakan indikator terhadap potensi masalah bank. Liquidity, untuk memastikan dilaksanakannya manajemen aset dan kewajiban (liabilities) dalam menentukan dan menyediakan likuiditas yang cukup serta mengurangi exposure yang sensitive terhadap risiko suku bunga.Likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat.Oleh karena itu, kelemahan dari segi likuiditas merupakan indikator terhadap adanya ancaman bagi bank yang paling cepat dan
Universitas Sumatera Utara
18
dapat diketahui.Bila kekurangan likuiditas tersebut disebabkan oleh kesenjangan pendanaan jangka pendek dan sementara, tidak terlalu berbahaya, sebab dapat diimbangi dengan pinjaman di pasar uang atau bank sentral.Namun, jika kesulitan tersebut bersumber dari faktor yang fundamental, seperti rendahnya kualitas aset, rendahnya sumber pendapatan, atau berakar pada insolvensi, persoalannya menjadi sangat serius.18 Penjabaran lebih lanjut perihal kesehatan bank ini, dapat dilihat dalam SK Direksi BI No: 30/11/Kep/Dir, tanggal 30 April 1997, Tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Dalam Pasal 2 ayat (1) dikemukakan: “Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif atau berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Pasal 2 ayat (2): “Pendekatan kualitatif pada ayat (1) dilakukan dengan penilaian terhadap permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas.19 Selanjutnya dalam Pasal 3 dikemukan: “Pelaksanaan penilaian tingkat kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
pada tahap
pertama dilakukan dengan mengkuantifikasi komponen dari masing-masing faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), (3). Penilaian faktor dan komponen dilakukan dengan sistem kredit yang dinyatakan dalam nilai kredit 0100 (Pasal 4 ayat 2). Dalam Pasal 5 ayat (2) dikemukakan, bahwa tingkat
18
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm. 34-35. 19 Ibid hlm. 45.
Universitas Sumatera Utara
19
kesehatan bank ditetapkan dalam empat prediksi, yaitu: sehat;cukup sehat;kurang sehat; tidak sehat.20 Bank Indonesia dalam rangka pembinaan bank sehat sebagai badan usaha yang wajib dipenuhi oleh bank adalah sebagai berikut: 1.
Kepercayaan masyarakat pada Bank, mengingat Bank sebagai pemegang amanat menyimpan dana dan menjalankan usaha terutama dengan dana masyarakat.
2.
Prinsip kehati-hatian, terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
3.
Kesehatan Bank, ini merupakan landasan mencapai tujuan, masyarakat hanya akan percaya menyimpan dana pada bank jika bank itu sehat menurut kriteria yang ditetapkan undang-undang, pengambilan keputusan selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian dan masyarakat harus mengetahui secara transparan tingkat kesehatan bank. Tujuan tersebut dimaksudkan: a. Bagi nasabah penyimpan: menyimpan dana dengan aman serta memperoleh keuntungan berupa bunga. b. Bagi Bank: kesehatan Bank, kelancaran usaha dan keuntungan dari bunga kredit.
20
Ibid hlm. 45.
Universitas Sumatera Utara
20
c. Bagi pengusaha debitur: perkembangan usaha yang menguntungkan dan kesejahteraan masyarakat. d. Bagi Negara: keuntungan Negara berupa pajak. 4.
Penyediaan informasi mengenai risiko kerugian, mengingat Bank sebagai lembaga intermediasi dana masyarakat yang dipercaya, dan menjalankan usaha berpegang pada prinsip kehati-hatian.21 Tingkat kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang
terkait, baik pemilik maupun pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank.Sesuai dengan tanggung jawabnya, masing-masing pihak tersebut perlu mengingatkan diri dan secara bersama-sama berupaya mewujudkan bank yang sehat. Oleh karena itu, adanya ketentuan mengenai tingkat kesehatan bank adalah dimaksudkan sebagai berikut: 1. Tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Tolak ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank, baik secara individual maupun perbankan secara keseluruhan. Tingkat Kesehatan Bank sebagai ukuran pencapaian kinerja bank yang komprehensif merupakan input untuk planning ke depan. Bagi bank, tujuan penilaianTingkat Kesehatan Bank adalah memperoleh gambaran mengenai tingkat kesehatan bank sehingga dapat digunakan sebagai input bagi bank dalam 21
Abdulkadir Muhammad,Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 89.
Universitas Sumatera Utara
21
menyusun strategi dan rencana bisnis ke depan serta memperbaiki kelemahankelemahan yang berpotensi menganggu kinerja bank. Bagi regulator, penilaian tingkat kesehatan bank menjadi input dalam menyusun strategi dan rencana pengawasan bank yang efektif sehingga bersama-sama dengan bank dapat menciptakan
individual
bank
dan
sistem
perbankan
yang
sehat
dan
berkesinambungan.22 Jadi bank gagal adalah apabila suatu bank sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya kepada deposan maupun kreditur, maka bank tersebut dapat dikatakan bahwa sebagai bank gagal (failure bank).Jika kita mengacu pada UU Perbankan serta UU Bank Indonesia, kita tidak akan menemukan definisi bank gagal. Definisi diatas bank gagal dapat kita temukan pada Pasal 1 angka 7 UU LPS dikatakan bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.23 Selain definisi di atas, bank gagal juga dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 9 Perpu No. 4 Tahun 2008 dikatakan bahwa “Bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya”. 22
http://www.bankirnews.com/ diakses pada tanggal 15 Februari 2014
23
http://penelitian hukum.org/tag/definisi-bank-gagal-falling-bank.com/diakses tanggal 20 Febuari 2014
Universitas Sumatera Utara
22
B. Hal-Hal Yang Menyebabkan Bank Gagal Suatu bank dikatakan bermasalah (gagal) apabila bank mengalami suatu kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Bank yang bermasalah dapat digolongkan menjadi 2 yaitu : 1. Bank yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan kepada grup atau kelompok pemilik. 2. Bank yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam pengelolaan manajemen dan menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi
Universitas Sumatera Utara
23
penyediaan modal minimum.Kategori bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan yang kurang atau tidak sehat.24 Namun bila ada sebuah bank yang dinyatakan menjadi bank gagal dan yang dapat diselamatkan ataupun yang tidak dapat diselamatkan (ditutup), meskipun secara jernih telah dapat dilihat akar penyebabnya. Tetapi setidaknya ada dua sumber masalah yang mengakibatkan lahirnya bank gagal, yaitu : 1.
Faktor internal bank. Pada bagian ini bisa saja terjadi adanya tindak kecurangan yang dilakukan pengurus bank atau pemegang saham pengendali (PSP) yang memanfaatkan tangan direksi. Atau, karena salah urus (mismanagement). Selain itu bisa juga karena kekeliruan penetapan strategi yang membawa konsekuensi kerugian pada bank. Bila membuka lembar hitam sejarah perbankan nasional, kehancuran banyak bank di tahun 1997, adalah karena begitu besar campur tangan pemilik bank kepada jajaran direksi.
2.
Faktor eksternal yang diluar kendali manajemen bank. Faktor eksternal seperti terjadinya krisis ekonomi yang mempengaruhi makro ekonomi yang bermuara pada melemahnya kemampuan debitur memenuhi kewajibannya sehingga menjadi kredit macet. Atau bisa juga karena bencana alam seperti lumpur lapindo, Tsunami ataupun Gempa Bumi yang membuat debitur tak sanggup lagi membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman. Kenyataan ini memaksa bank melakukan penyisihan yang menggerus struktur permodalan.25
24
Usman, Rachmadi. Aspek‐aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.2001. Hal 143 25 Maqdir Ismail, Bank Indonesia Dalam Perdebatan politik dan Hukum, Navila idea, Jogjakarta, 2009, hlm.21
Universitas Sumatera Utara
24
Selain sumber masalah di atas, ada 5 (lima) permasalahan bank yang berpotensi menyebabkan bank gagal, yaitu: 1.
Bank melakukan ekspansi kredit dan pembelian surat-surat berharga secara besar-besaran tanpa menjaga cadangan likuiditas dan tidak sebanding dengan pertumbuhan sumber dana. Dampaknya apabila bank tidak dapat memenuhi penarikan likuiditas (gagal bayar kepada nasabah), maka bank menghadapi permasalahan likuiditas (illiquid) dan dapat menjadi penyebab bank gagal.
2.
Bank memberikan kredit secara tidak hati-hati sehingga kredit banyak yang macet. Jika kredit macet, maka salah satu sumber likuiditas bank yang berasal dari pembayaran dan pelunasan kredit juga terganggu. Disamping itu, karena bank harus membentuk cadangan kerugian karena kredit macet, akibatnya bank kemungkinan akan rugi dan modal bank akan bekurang. Dampaknya Kredit macet mengakibatkan bank tidak memiliki cukup dana untuk membayar sumber dana yang jatuh tempo. Apabila bank gagal bayar kepada nasabah, maka bank menghadapi permasalahan likuiditas (illiquid) dan dapat menjadi penyebab bank gagal. Namun pada saat bersamaan, apabila modal bank menjadi negatif karena menutup kerugian akibat tidak tertagihnya surat berharga yang macet, maka bank juga menghadapi masalah permodalan (insolvent) sehingga dapat menjadi penyebab bank gagal. Bisa illiquid dan insolvent secara bersamaan menjadi penyebab bank gagal.
3.
Bank membeli surat berharga dengan kualitas rating yang buruk (noninvestment grade),sehingga pada saat jatuh tempo, penerbit surat berharga tidak bisa membayar (wanprestasi) dan surat berharga tidak laku dijual ke
Universitas Sumatera Utara
25
pasar. Seperti kasus kredit diatas, likuiditas bank terganggu dan modal bank berkurang karena menutup kerugian. Dampaknya Surat berharga yang macet mengakibatkan bank tidak memiliki cukup dana untuk membayar sumber dan yang jatuh tempo. Apabila bank gagal bayar kepada nasabah, maka bank menghadapi permasalahan likuiditas (illiquid) dan dapat menjadi penyebab bank gagal. Namun pada saat bersamaan, apabila modal bank menjadi negative karena menutup kerugian akibat tidak tertagihnya kredit dan surat berharga yang macet, maka bank juga menghadapi masalah permodalan (insolvent), sehingga dapat menjadi penyebab bank gagal. Bisa illiquid dan insolvent secara bersamaan menjadi penyebab bank gagal. 4.
Bank telah berhati-hati dalam memberikan kredit dan membeli surat berharga. Namun kondisi ekonomi makro yang kritis telah memukul usaha kreditur bank dan perusahaan penerbit surat berharga (bisa bank maupun non bank), sehingga debitur dan penerbit surat berharga (bisa bank maupun non bank),
sehingga
debitur
dan
penerbit
surat
berharga
tidak
dapat
menyelesaikan kewajiban membayarnya sesuai dengan perjanjian. Kondisi ini akan mengakibatkan likuiditas bank terganggu dan modal bank ber kurang karena menutup kerugian. Dampaknya Kredit dan surat berharga yang macet karena krisis ekonomis, mengakibatkan bank tidak memiliki cukup dana untuk membayar sumber dana yang jatuh tempo. Apabila bank gagal bayar kepada nasabah, maka bank mengahadapi permasalahan likuiditas (illiquid) dan dapat menjadi penyebab bank gagal. Namun pada saat bersamaan, apabila modal bank menjadi negatif karena menutup kerugian akibat tidak
Universitas Sumatera Utara
26
tertagihnya kredit dan surat berharga yang macet, maka bank juga menghadapi masalah permodalan (insolvent), sehingga dapat menjadi penyebab bank gagal. Bisa illikuid dan insolvent secara bersamaan menjadi penyebab bank gagal. 5.
Prinsip dasar bisnis bank adalah kepercayaan, meskipun bank telah berhatihati dalam mengelola usahanya, tetap karena suatu kondisi tertentu yang mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank, maka masyarakat yang sudah tidak percaya lagi pada bank tersebut. Hal tersebut akan dipastikan bank akan mengalami kesulitan likuiditas karena mismatch. Karena dana yang ditanamkan bank kepada nasabah atau pihak ketiga belum jatuh tempo, tetapi bank dipaksa harus membayar atas penarikan dana nasabahnya yang sudah tidak percaya tersebut (krisis kepercayaan). Dampaknya apabila bank telah kehabisan alat likuiditasnya namun terus menerus\ di-rust oleh nasabah, pada akhirnya bank tidak mampu lagi memenuhi penarikan likuiditas (gagal bayar kepada nasabah), maka bank menghadapi permasalahan likuiditas (illiquid) dan dapat menjadi penyebab bank gagal.26
C. Penyelesaian Bank Gagal Dalam penanganan bank gagal lembaga yang pertama kali mengetahui terjadinya potensi bank gagal adalah Bank Indonesia, karena Bank Indonesia 26
Ibid, hlm.23
Universitas Sumatera Utara
27
merupakan otoritas pengawas keuangan yang mempunyai tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah.Undang-Undang Perbankan Pasal 37 ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan terhadap suatu bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. Adapun tindakan dimaksud adalah: 1.
Pemegang saham menambah modal.
2.
Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau dewan direksi bank.
3.
Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya.
4.
Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.
5.
Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh kewajiban.
6.
Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain.
7.
Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban bank kepada bank lain atau pihak lain. Apabila tindakan-tindakan di atas ternyata belum cukup untuk menghadapi
kesulitan yang dihadapi bank gagal tersebut maka berdasarkan penilaian Bank Indonesia dianggap keadaan bank tersebut dapat membahayakan sistem perbankan, pimpinan bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) , guna membubarkan badan hukum dan membentuk tim likuidasi.
Universitas Sumatera Utara
28
Sebelum memberikan bantuan kepada bank yang mengalami kesulitan yang dapat berakibat menjadi bank gagal, maka berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.6/9/PBI/2004, Bank Indonesia akan menetapkan status kesehatan bank, yaitu menjadikan bank dalam pengawasan intensif (Intensive Supervision), bank dalam pengawasan khusus (Special Surveilance), bank berdampak sistemik Proses penanganan dan penyelesaian bank gagal diawali adanya pemberitahuan dari Lembaga Pengawas Perbankan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Selanjutnya dalam melakukan penyelesaian atau penanganan bank gagal tersebut LPS menempuh dua cara sebagai berikut: 1.
Penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap bank gagal dimaksud.
2.
Penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
3.
Penyelesaian dan penanganan bank gagal berdasarkan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan dibedakan berdasarkan kondisi masing-masing bank sebagai berikut: Apabila ada bank dikategorikan sebagai bank gagal, maka penyelesaian
menjadi wewenang Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia akan memutuskan mekanisme apa yang tepat untuk penanganan bank tersebut. Sejak Lembaga Penjamin Simpanan berdiri sampai dengan saat ini Lembaga Penjamin Simpanan baru melakukan penyelamatan terhadap 1 (satu) bank yaitu Bank Century, yang
Universitas Sumatera Utara
29
sekarang bergantinama dengan Bank Mutiara, penyelamatan dapat dilakukan dalam bentuk penyertaan modal sementara kepada bank. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan, Bank Indonesia diberikan kewenangan sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit pada bank yang mengalami pailit (masalah).Kewenangan yang diberikan kepada Bank Indonesia ini menurut pemerintah karena berhubungan dengan tugas pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia terhadap dunia perbankan nasional. Apabila melihat kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan, baik dalam Undang-Undang Bank Indonesia maupun Undang-Undang Perbankan sudah jelas kewenangannya mengikuti sebagaimana yang dilakukan oleh negaranegara lain, yaitu: mengatur, mengawasi, memberikan dan mencabut izin usaha bank dan juga mengenakan sanksi dalam hal bank melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Bank Indonesia dapat berperan secara aktif maupun pasif.Aktif dalam hal melakukan pemeriksaan langsung kepada objek, langsung kepada bank atau berperan pasif. Bank Indonesia melakukan analisis berdasarkan laporan yang disampaikan oleh bank dan juga tidak tertutup kemungkinannya berdasarkan laporan-laporan pihak ketiga lainnya mengenai bank tersebut. Dibidang pengaturan, tentunya dalam rangka upaya agar bank yang terkait tetap sehat maka Bank Indonesia juga mengeluarkan serangkaian peraturan dibidang kehati-hatian artinya ada rambu-rambu yang harus diikuti oleh bank agar bank tersebut tetap dalam kondisi sehat.
Universitas Sumatera Utara
30
Upaya jangan sampai bank tersebut mengarah kepada penutupan, hal ini tentu saja harus dihindari sebagai pengawas. Dalam hal bank sebagai debitor, tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit disebabkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan pada bank adalah Pasal 2 ayat (3) UU kepailitan tahun 2004 serta Pasal 9 ayat (3) UU perbankan tahun 1992, yang landasan hukum yang cukup kuat bagi bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan bagi bank bermasalah. 1.
Perlindungan hukum kreditor oleh LPS jika terjadi likuidasi ialah berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU LPS yaitu hasil pencairan asset dan/ penagihan piutang didistribusikan oleh tim likuidasi dengan urutan sebagai berikut: (a) Pembayaran gaji pegawai yang terutang;
2.
Pesangon pegawai;
3.
Biaya perkara, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;
4.
Biaya penyelesaian yang dilakukan oleh LPS dan atau pembayaran klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS;
5.
Pajak Terutang;
6.
Bagian
simpanan
dari
nasabah
penyimpan
yang
tidak
dibayarkan
penjaminanya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan 7.
Hak kreditor lain. Perlindungan hukum terhadap nasabah oleh Lembaga Penjamin Simpanan jika terjadi likuidasi LPS akan menjamin simpanan
Universitas Sumatera Utara
31
nasabah yang layak bayar dan untuk simpanan yang tidak layak bayar atau dijamin pembayarannya melalui mekanisme likuidasi. Pada saat nasabah menyimpan dananya pada salah satu bank seketika itu terjadi hubungan hukum antara keduanya, mengenai hubungan hukum ini terdapat beberapa pendapat, namun yang bisa dijadikan acuan adalah hubungan hukum sebagaimana disebut dalam UU Pokok Perbankan, yaitu berupa hubungan hukum penitipan/penyimpanan dana.27 Dalam Pasal 1 UU Perbankan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan simpanan adalah: dana yang dipercayakaan kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,deposito, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Hubungan antara bank dengan nasabah dalam menjalankan kegiatan usahanya, menimbulkan dua sisi tanggung jawab, yaitu kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah penyimpan dana sebagai akibat hubungan hukum dengan bank. Hak dan kewajiban antara bank dengan nasabah diwujudkan dalam suatu bentuk prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah. Nasabah penyimpan dana perlu mendapatkan perlindungan hukum atas dana yang disimpannya tersebut, karena masyarakat menyimpan dananya hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa nasabah percaya dana yang disimpan akan digunakan oleh bank sesuai dengan usaha bank dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan usaha bank. Pada kondisi yang demikian ini perlu ada suatu pengawasan terhadap bank tersebut agar dengan pengawasan tidak mengakibatkan timbulnya 27
Dewi Chyntiawati, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam penyelesaian bank gagal, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makasar, 2010.
Universitas Sumatera Utara
32
suatu kerugian bagi nasabah. Berbeda halnya dengan hubungan hukum antar bank dan nasabah debitor yang dapat diartikan bahwa bank berkedudukan sebagai lembaga penyedia dan bagi para debitornya.berdasarkan hubungan kontraktual antara nasabah penyimpan dana dengan suatu bank dilihat dari segi aspek hukumnya bisa dikaji tentang bagaimana sifat dari hubungan ini dengan melihat asas-asas dasar sebagaimana halnya dalam hukum perjanjian. Definisi bank gagal dapat juga ditemukan pada Pasal 1 angka 9 Perpu No. 4 tahun 2008 dikatakan bahwa “bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indo nesia sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya”. Menurut George G. Kaufman dalam presentasinya di conference on Public Regulation of Depository Institutions, Koc University, Istanbul, Turkey, November 1995 “A bank fails economically when the market value of its assets declines below the market value of its liabilities, so that the market value of its capital (net worth) becomes negative. At such times, the bank cannot expect to pay all of its depositors in full and on time”28 Bentuk-Bentuk Penanganan Bank Gagal, dalam penanganan bank gagal lembaga yang pertama kali mengetahui terjadinya potensi bank gagal adalah Bank Indonesia, hal ini dikarenakan Bank Indonesia, merupakan otoritas pengawas keuangan yang mempunyai tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah. Deteksi awal yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui mekanisme sistem
28
George G. Kaufman, Bank Failures, Systemic Risk, and Bank Regulation,
http://www.cato.org/pubs/journal/cj16n1-2.html, diakses tanggal 1 April 2014
Universitas Sumatera Utara
33
pembayaran, dimana bank yang berpotensi menjadi bank gagal akan mengalami kesulitan keuangan. Apabila tindakan-tindakan diatas belum cukup untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi bank maka berdasarkan penilaian Bank Indonesia dianggap keadaan bank tersebut dapat membahayakan sistem perbankan, pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham, guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi Jika RUPS tidak diselenggarakan oleh direksi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh Bank Indonesia, maka pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bank gagal yang menurut penilaian Bank Indonesia dapat membahayakan perkekonomian nasional, maka atas permintaan Bank Indonesia, pemerintah setelah berkonsultasi kepada DPR RI dapat membentuk suatu badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.Hal ini, termanatkan dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Perbankan. Bank Indonesia dalam penyelesaian krisis perbankan mempunyai peran sebagai The Lender of the Last Resort. Dimana bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akan memohon bantuan kepada Bank Indonesia. Berdasarkan PERPU RI No.2 Tahun 2008 Tentang Bank Indonesia, pada Pasal 11 diamanatkan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
34
1.
Bank Indonesia dapat meberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.
2.
Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
3.
Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik, dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya mejadi beban pemerintah. Suatu bank akan dimasukkan sebagai bank dalam pengawasan intensif
apabila bank dimaksud memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: 1.
Memiliki predikat kurang sehat atau tidak sehat dalam penilaian tingkat kesehatan bank.
2.
Memiliki permasalahan actual dan/atau potensial dibidang likuiditas, profitabilitas, solvabilitas berdasarkan penilaian terhadap nilai keseluruhan resiko.
3.
Terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan bank menurut penilaian Bank Indonesia dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai.
Universitas Sumatera Utara
35
4.
Terdapat pelanggaran posisi devisa netto (PDN) dan menurut penilaian Bank Indonesia, langkah penyelesaian yang diusulkan bank dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai.
5.
Memiliki rasio giro wajib minimum (GWM) dalam rupiah lebih besar dari 5% namun bank dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar.
6.
Dinilai memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar.
7.
Memiliki kredit bermasalah (Non-perfoming Loan) secara netto lebih besar dari 5% dari total kredit. Terhadap bank dengan status bank dalam penanganan intensif, Bank
Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: 1.
Meminta bank melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia.
2.
Melakukan Peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja (Bussines Plan) dengan penyes uaian terhadap sasaran yang akan dicapai.
3.
Meminta
bank
untuk
menyusun
rencana
tindakan
sesuai
dengan
permasalahan yang dihadapi. 4.
Menempatkan Pengawas dan/atau pemeriksan Bank Indonesia pada bank apabila diperlukan. Sedangkan suatu bank dapat dikelompokkan sebagai bank dalam
pengawasan khusus menurut PBI No. 7/38/PBI/2005,apabila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: 1.
Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam perseratus);
Universitas Sumatera Utara
36
2.
Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan;
3.
Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan tidak melaksanakan rencana perbaikan permodalan;
4.
Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus) dan Bank Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan; dan atau diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). Bank dengan status dalam pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: 1.
Memerintahkan bank atau pemegang saham bank untuk mengajukan rencana perbaikan modal secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum kurang dari 8%.
2.
Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan segera setelah diterimanya surat pemberitahuan dariBank Indonesia yang menyatakan rasio kewajiban penyediaan modal minimum mencapai sama dengan atau kurang dari 6%.
3.
Dapat memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank untuk melakukan tindakan: a.
Mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank.
Universitas Sumatera Utara
37
b.
Menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modal bank.
c.
Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.
d.
Menjual bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank.
e.
Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain.
f.
Menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban kepada bank atau pihak lain.
g.
Membekukan kegiatan usaha tertentu bank. Khusus bagi bank yang memiliki rasio kewajiban penyediaan modal
minimum lebih dari 6% dan kurang dari 8%, selain memenuhi ketentuan tersebut diatas diwajibkan pula melakukan tindakan perbaikan yang diperintahkan oleh Bank Indonesia yang meliputi: 1.
Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal.
2.
Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan/atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
3.
Bank dikenakan pembatasan untuk melaksanakan rencana ekspansi usaha atau kegiatan baru yang sebelumnya tidak dilakukan.
4.
Bank dikenakan pembatasan untuk membayar gaji, kompensasi, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada pengurus, atau kompensasi kepada
Universitas Sumatera Utara
38
pihak terkait yang terjadi satu tahun sebelum kondisi bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum dibawah 8%. 5.
Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman sub-ordinasi.
6.
Bank wajib melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham dengan jumlah kurang dari 10%.
7.
Bank dilarang melakukan perubahan kepemilikan dari : a.
Pemegang saham yang memiliki saham sama atau lebih dari 10%, atau
b.
Kelompok pemegang saham yang terkait atau pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain (share holder acting in concert) dengan kepemilikan sama atau lebih dari 10%. Dalam rangka memantau pemenuhan action plan yang dilakukan oleh
bank dalam pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat menempatkan pengawasan dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada bank (On-site supervisory presence). Pada bank gagal berdampak sistemik, pada prinsipnya adalah bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus namun ditengarai berdampak sistemik sehingga Bank Indonesia harus melaporkan kepada komite koordinasi ( Komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS). Berdasarkan Pasal 11 PBI No. 7/38/PBI/2005, Bank dikelompokkan sebagai bank berdampak sistemik apabila: 1.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui namun kondisi Bank menurun dengan cepat; atau
Universitas Sumatera Utara
39
2.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan; atau
3.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui namun jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat yang diterima oleh Bank telah jatuh tempo dan tidak dapat dilunasi. Mengenai jangka waktu dalam Pasal 8 PBI No. 6/ 9 /PBI/2004 adalah
mengenai jangka waktu pencapaian rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan atau Giro Wajib Minimum, yaitu : 1.
Selambat-lambatnya 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di pasar modal;
2.
Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di pasar modal atau kantor cabang bank asing, sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia;
3.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam hal penanganan Bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik,
Bank Indonesia akan meminta Komite Koordinasi untuk melaksanakan rapat guna memutuskan langkah-langkah penanganan Bank dimaksud. Dalam hal Bank yang ditempatkan dalam pengawasan khusus yang tidak berdampak sistemik, Maka berdasarkan Pasal 13 PBI No. No. 7/38/PBI/2005, kriterianya adalah: 1.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui, namun kondisi Bank menurun sehingga;
Universitas Sumatera Utara
40
a.
Memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus); atau
b.
Memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku; atau
2.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan, Terkait proses penanganan Bank gagal yang tidak berdampak sistemik, Bank Indonesia kemudian akan memberitahukan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan meminta keputusan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank yang bersangkutan. Kemudian dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank Indonesiamelakukan pencabutan izin usaha Bank yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga mitra Bank Indonesia terkait penanganan bank gagal adalah
lembaga penjamin simpanan (LPS).Lembaga ini terbentuk berdasarkan UU No. 24 tahun 2004 (selanjutnya disebut UU LPS).Berdasarkan Pasal 4 UU LPS mempunyai fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dalam
Universitas Sumatera Utara
41
rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS mempunyai tugas berdasarkan Pasal 5 ayat 2 UU LPS adalah : 1.
Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara sistem perbankan.
2.
Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik.
3.
Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Lembaga penjamin simpanan dalam melakukan tugasnya terkait
penyelesaian dan penanganan bank gagal berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UU LPS memiliki kewenangan sebagai berikut: 1.
Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
2.
Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
3.
Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
4.
Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur. Proses penanganan bank bermasalah dalam upaya penyelamatannya
dilakukan oleh LPS setelah mendapatkan pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas perbankan, bahwa ada suatu bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Kemudian LPS akan melakukan tindakan
Universitas Sumatera Utara
42
konkret setelah Komite Koordinasi menetapkan suatu bank menjadi bank gagal berdampak
sistemik
atau
bank
gagal
tidak
berdampak
sistemik
dan
menyerahkannya kepada LPS. Lembaga penjamin simpanan (LPS) berdasarkan Pasal 22 UU LPS dalam penyelesaian atau penanganan bank gagal adalah dengan cara: 1.
Penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap bank gagal dimaksud;
2.
Penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama. Dasar LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan atau tidak
melakukan penyelamatan suatu bank gagal, sekurang-kurangnya didasarkan pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank gagal dimaksud. Perkiraan biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU LPS meliputi penambahan modal sampai bank tersebut memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas dan Perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan, memperhitungkan biaya pembayaran Simpanan nasabah yang dijamin, biaya talangan gaji terutang, talangan pesangon pegawai, dan perkiraan penerimaan LPS dari penjualan aset bank yang dicabut izin usahanya. Penyelamatan Bank Gagal yang Tidak Berdampak Sistemik oleh LPS jika bank gagal tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UU LPS, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
43
1.
Perkiraan biaya penyelamatan secara signifikan lebih rendah dari perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank dimaksud;
2.
Setelah diselamatkan, bank masih menunjukkan prospek usaha yang baik;
3.
Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk: a. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS; b. Menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS; dan c. Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
4.
Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai: a. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia; b. Data keuangan Nasabah Debitur; c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan d. Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban termasuk permodalan bank, yang dibutuhkan oleh LPS. Setelah persyaratan sebagaimana yang diatur dalam 24 UU LPS terpenuhi.
Dan RUPS telah menyerahkan hak dan wewenangnya kepada LPS, maka LPS berdasarkan Pasal 26 UU LPS dapat melakukan tindakan-tindakan, : 1.
Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas asset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank;
Universitas Sumatera Utara
44
2.
Melakukan penyertaan modal sementara;
3.
Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah Debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan Nasabah Kreditur;
4.
Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain;
5.
Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
6.
Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan
7.
Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank. Dana dalam rangka penyelamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS
menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Kemudian dalam hal tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 UU LPS atau LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan, maka LPS meminta pencabutan izin usaha bank dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian mengenai penanganan Bank Gagal berdampak sistemik yang dilakukan oleh LPS terbagi dalam dua bentuk. Yaitu dengan mengikutsertakan pemegang saham (open bank assistance) dengan cara penyetoran modal oleh pemegang saham atau tanpa menyertakan pemegang saham. Berdasarkan Pasal 33 UU LPS, dalam upaya mengikutsertakan pemegang saham, hanya dapat dilakukan apabila: 1.
Pemegang saham Bank Gagal telah menyetor modal sekurangkurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari perkiraan biaya penanganan;
Universitas Sumatera Utara
45
2.
Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk: a.
Menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS;
b.
Menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank; dan
c.
Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3.
Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai: a.
Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
b.
Data keuangan Nasabah Debitur;
c.
Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan
d.
Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank, yang dibutuhkan LPS. Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank
Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UU LPS, maka berdasarkan Undang-Undang ini pemegang saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hal, kepemilikan, kepengurusan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud; dan pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
46
Dalam hal penanganan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, maka berdasarkan Pasal 40 UU LPS dikatakan bahwa LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Kemudian Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk oleh LPS dalam hal penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pasca LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU LPS.Adapun mengenai biaya yang dikeluarkan terkait penyelamatan bank gagal berdampak sistemik, merupakan penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Selain LPS, kaitannya penanganan bank gagal berdampak sistemik, lembaga lain yang merupakan mitra Bank Indonesia dan LPS adalah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).KSSK berdiri berdasarkan Perpu No. 4 tahun 2008 mengenai Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).Adapun JPSK adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. KSSK merupakan suatu lembaga untuk mencapai tujuan JPSK yaitu menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis.KSSK keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Universitas Sumatera Utara
47
7, KSSK dibantu oleh sekretariat. Fungsi dari KSSK berdasarkan Pasal 6 Perpu No. 4 tahun 2008 adalah menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, KSSK mempunyai tugas: 1.
Mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik.
2.
Menetapkan
permasalahan
likuiditas
dan/atau
masalah
solvabilitas
bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan 3.
Menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Dalam hal terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang
ditengarai berdampak sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan kondisi bank tersebut berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. Apabila diputuskan berdampak sistemik KSSK memutuskan pemberian fasilitas pembiayaan darurat.FPD adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang dijamin oleh pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik dan berpontensi krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas. Jangka waktu pemberian FPD paling lama 90 hari kalender sejak penandatangan perjanjian pemberian FPD dan dapat diperpanjang 1x dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender. Dengan diberikannya FPD kepada bank, maka berdasarkan Pasal 12 PERPU No.4 Tahun 2008 Bank Indonesia berwenang:
Universitas Sumatera Utara
48
1.
Mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris bank;
2.
Menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris bank; dan
3.
Menempatkan bank dimaksud dalam status pengawasan khusus. Dalam hal terjadi keadaan yang dinilai membahayakan stabilitas sistem
keuangan dan perkekonomian nasional KSSK menetapkan: 1.
Pemberian FPD kepada bank yang mengalami kesulitas likuiditas oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari pemerintah
2.
Melakukan penambahan modal berupa penyertaan modal sementara (PMS) kepada bank yang mengalami masalah solvabilitas yang pelaksanaan dilakukan LPS/Pemerintah. Dalam memutus mengenai pencegahan krisis, penanganan krisis terkait
penanganan Bank gagal berdampak sistemik dilakukan oleh KSSK melalui mekanisme rapat. Berdasarkan Pasal 10 PERPU No.4 Tahun 2008, dikatakan bahwa: 1.
Rapat KSSK diselenggarakan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
2.
Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan berdasarkan mufakat.
3.
Dalam hal tidak tercapai mufakat, Ketua KSSK menetapkan keputusan.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme rapat KSSK ditetapkan dengan keputusan KSSK.
Universitas Sumatera Utara
49
Dalam rapat KSSK untuk memutuskan kondisi bank berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai permasalahan likuiditas bank dan tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi permalsalahn likuiditas tersebut oleh bank sebagaimana diminta oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya berdasarkan UU Bank Indonesia, UU Perbankan, dan UU tentang Perbankan Syariah.
Universitas Sumatera Utara