BAB II PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mengenai Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maka kehidupan bernegara di Indonesia haruslah mencerminkan adanya suatu demokrasi. Menurut Abraham Lincoln, ciri dari suatu negara demokrasi adalah adanya suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara menurut International Comission of Jurist, demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana hak dalam membuat suatu keputusan politik harus diselenggarakan oleh rakyat melalui wakil yang terpilih dalam suatu proses Pemilihan Umum.1 Berbicara mengenai Pemilihan Umum atau pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tentu kita tidak bisa terlepas dari umbrella law (payung hukum) utama yaitu dasar konstitusional yang mengaturnya. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen III UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 9 November 2011, dapat diuraikan sebagai berikut: Pasal 6A ayat (1) menyatakan: ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Dalam hal ini terdapat hubungan antara rakyat dan sistem pemilihan umum Peresiden dan Wakil Presiden memiliki hubungan yang bersifat interpendensi, artinya keduanya memiliki kedudukan yang saling berkaitan dan memengaruhi kekuatan legitimasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Selain itu Pasal 6A ayat (2) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat dinyatakan sebagai pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil
1
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006,
hlm. 38
5
6
Presiden jika mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh persen) secara nasional dan 20% (dua puluh persen) di separuh keseluruhan provinsi di Indonesia. Letigimasi keterpilihan pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ini dirumuskan didalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, sehingga pemenang pemilihan mum Presiden dan Wakil Presiden (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih) mendapatkan letigimasi untuk menjalankan kekuasannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi. Rumusan pada Pasal 6 A ayat (2) mengisyaratkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden jika diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, namun konstitusi tidak memberikan ketentuan partai politik atau gabungan partai politik yang mana yang dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.2 Namun dalam perkembangannya, lahirlah undang-undang organik yang mendapatkan atribusi langsung dari Pasal 6A ayat (5) untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu dalam Pasal 22 E ayat (2) dinyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam beberapa ketentuan yang termuat dalam undang-undang organik sebagai amanat dari Pasal 6A ayat (5) diatur mengenai syarat pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah harus memenuhi syarat ambang batas atau Presidential Thereshold. Munculnya thereshold bukan merupakan hal baru dalam tatanan perpolitikan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam Pasal 39 ayat (3) Undangundang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum disebutkan: “Untuk 2
Moh. Mahfud MD, 2011, Predebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Rajawali Press, jakarta, 2011, hlm. 137
7
dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurangkurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD 1 atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah Provinsi dan ½ (setengah) jumalah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilu.” Pilpres 2004 dilaksanakan berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, pada Pasal 5 ayat (4) bahwa pasangan calon Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memperoleh minimum 15% kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Selanjutnya pada Pilpres 2009 dan 2014 melalui Pasal 9 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pilpres.3 Merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Jika ketentuan tersebut disandingkan dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur mengenai Presidential Threshold (ambang batas syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang harus dipenuhi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik), nampaknya terjadi perubahan makna dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut. Perubahan makna berarti perubahan pengertian atau arti. Dalam hal ini perubahan yang terjadi adalah berupa penyempitan makna asal. Dimana dalam
3 Fanny A.P Nindiyapuri, Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUXI/2013 tentang Pemilihan Umum Serentak terhadap Presidential Threshold, FH Universitas Mataram, Mataram, 2014, hlm. v
8
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang dapat mencalonkan anggotanya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi ambang batas atau persentase syarat pencalonan atau lazim dikenal dengan istilah Presidential Threshold. Namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak mengatur secara tegas bahwa syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah harus atau tidak harus menggunakan ambang batas atau persentase syarat (Presidential Threshold) atau bisa menggunakan alternatif lain. Artinya penentuan Presidential Threshold tidak memiliki pijakan hukum yang kuat. Hal ini sejalan dengan alasan permohonan pengujian Pasal 9 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra pada tanggal 13 Dember Tahun 2013 namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013.
B. Urgensi Penerapan Presidential Threshold Pada Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden Argumentasi hadirnya ketentuan Presidential Threshold ini didasari oleh urgensi penyaringan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang kuat dari rakyat, angka 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional merupakan kesepakatan politik yang tercapai dari berbagai fraksi di parlemen, tujuannya adalah agar dapat tercapainya fungsi pemerintahan negara yang efektif, karena tidak dapat dipungkiri, sistem presidensial yang efektif mewajibkan Presiden memiliki basis suara di parlemen,
karena
pemerintahan
negara
dalam
perjalanannya
akan
bersinggungan langsung dengan Dewan Perwakilan Rakyat, ini juga memperkecil resiko terjadinya divided goverment (pemerintah yang terbelah)
9
akibat persinggungan antar Presiden dan parlemen yang secara legitimasi samasama memperoleh kekuasaan dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan.4 Pada intinya urgensi adanya Presidential Threshold adalah supaya terwujudnya tujuan Pemilihan Umum, sebagaimana diutarakan oleh Miria Budiarjo bahwa untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan Pemilihan Umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah5: 1. memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; 2. untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan 3. dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Selain itu, ambang batas partai politik atau gabungan partai politik dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dianggap penting untuk menyederhanakan sistem kepartaian kita yang terkenal dengan multipartai. Banyak Partai Politik peserta pemilihan umum dikhawatirkan akan menyebabkan berbagai macam konflik dalam dunia pemerintahan Indonesia. Dengan adanya Presidential Threshold ini Partai Politik dipaksa untuk berkoalisi karena diyakini tidak akan ada Partai Politik peraih suara mayoritas. Sehingga akan meminimalisir terjadinya pembludakan Partai Politik peserta Pemilu. Tradisi Berkoalisi juga sesuai dengan nilai bangsa Indonesia yang tercermin dalam ideologi Pancasila yaitu gotong royong. Keempat, dengan adanya Presidential Threshold dianggap dapat memperketat penyeleksian Partai atau Gabungan Partai mana yang dianggap mampu dan pantas untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu setelah melalui pengujian yang ketat. Hal tersebut selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU/-XI/2013 atas perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra pada tanggal 13 Desember Tahun 2013. Dalam permohonannya, salah satu
4 Ziffany Firdinal, Pengaruh Makna Pasal 6A ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lantai II Dekanat Fakultas Hukum Unversitas Andalas, Padang, 2015, hlm 5 Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 1983, hlm. 330
10
pasal yang diajukan oleh Yusril adalah Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur mengenai Presidential Threshold yang akan diberlakukan pada Pemilu serentak Tahun 2019. Pemilu serentak disini maksudnya adalah pemilihan umum serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden yang akan dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan sebagai konsekuensi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa Presidential Threshold adalah penting untuk diterapkan dan tidak ada hubungannya dengan Pemilihan Umum serentak atau terpisah antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Selain itu dalam pertimbangannya merujuk pada ketentuan pasal 9 tersebut, Mahkamah Konstitusi menyebutkan ketentuan a quo merupakan kebijakan terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Sehingga Mahkamah Konstitusi menolak untuk membatalkan Pasal 9 tersebut karena dinilai tidak inkonstitusional dengan UUD 1945. Namun menurut Yusril, jika berdasarkan pengalaman dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 lalu, Partai Politik peserta Pemilu yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjumlah 12 (dua belas) Partai Politik yang bertarung ditingkat nasional dan 3 (tiga) partai lokal yang bertarung di Aceh. Jumlah ini masih bisa diterima dan tidak menunjukan suatu urgensi penerapan Presidential Threshold pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Disisi lain ketentuan mengenai adanya Presidential Threshold cenderung mencedari dan mereduksi hak rakyat. Melihat mekanisme penerapan Presidential Threshold pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terkesan ada monopolitik oleh Partai Politik besar secara prosentase Pemilihan Legislatif. Hal ini semakin mereduksi hak partai politik kecil untuk mengusungkan calonnnya pada Pemillu Presiden.
11
C. Konsekuensi Penerapan Presidential Threshold Pada Pemilu Serentak Tahun 2019 Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUXI/2013 Perlu ditegaskan kembali bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 adalah merupakan putusan atas Perkara Permohonan pengujian Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra. Permohonan
tersebut
dilatarbelakangi
dengan
adanya
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU/-XI/2013 atas perkara permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali, mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dengan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini membawa konsekuensi bahwa sejak adanya Putusan tersebut, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan dilaksanakan secara serentak, dengan catatan putusan a quo berlaku untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019.6 Dalam salah satu permohonannya, Yusril memohon agar Mahkamah membatalkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur mengenai Presidential Threshold dengan pertimbangan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden akan dilaksanakan secara serentak. Namun dalam Putusan Mahkamah Kontititusi Nomor 108/PUUXI/2003 tersebut Mahkamah tidak membatalkan Pasal 9 tersebut. Hal ini berarti ketentuan mengenai Presidential Threshold tetap diberlakukan pada Pemilu serentak 2019 nanti. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan jika Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilaksanakan secara bersamaan, karena cara untuk mengetahui ambang batas tersebut adalah dari perolehan hasil Pemilu Legislatif yang dilaksanakan sebelum Pemilihan Umum Presiden. Maka dapat
6
Fanny A.P Nindiyapuri, Opcit., hlm. 6
12
disimpulkan bahwa penentuan Presidential Threshold pada Pemilu Presiden tidak memiliki relevansi sama sekali jika Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 nanti. Namun dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan pendapat berbeda, Mahkamah berpendapat bahwa Presidential Threshold harus tetap dilaksanakan dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara serentak atau tidak. Hal tersebut merupakan kebijakan bagi para pembuat undang-undang untuk mengaturnya dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).