JURNAL
RETHINKING KETENTUAN PERSENTASE SEBAGAI SYARAT PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM. 1190561045
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
RETHINKING KETENTUAN PERSENTASE SEBAGAI SYARAT PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
Oleh I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA
Percentage provisions have a substantial part in the electoral law reform, especially for mathematical formulation. This research, that uses normative legal research method, showed that a legitimacy of percentage provision for candidacy requirement in President and Vice President Election is based on the legal authority of The House of Representatives. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and most constitutions of other countries are not setting up a rigid formal requirement, like a minimum percentage, for presidential candidacy. A legal term has an important position in the making of law. A convention that uses “presidential threshold” as a term should be justified within a legal theoritical framework. Meanwhile, the perpetual discussion to create presidential system of government can works effectively, with a good support from the House of Representative, has always been a spirit but also a debatable material in every political acts in Indonesia. Legal formulation that used in Law No. 42-2008 must be viewed comprehensive so that justice and fairness in this political institutionalization process can be realized.
Keywords : Percentage provision, Presidential Election, Presidential Threshold, Presidential System of Government.
Di dalam pemilihan Presiden
BAB 1
dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut
PENDAHULUAN
pemilihan I.
digunakan tidak hanya
PENDAHULUAN
pemilihan
diselenggarakan
umum
secara
persentase dalam
hal
menentukan pasangan yang terpilih,
1.1. Latar Belakang Masalah Sejak
Presiden),
namun
juga
digunakan
sebagai
langsung
prasyarat dalam pencalonannya. Pasal 9
sebagaimana amanat prinsip kedaulatan
UU No. 42 Tahun 2008 tentang
rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Negara
Tahun
Presiden menentukan bahwa pasangan
1945, penormaan yang menggunakan
calon Presiden diusulkan oleh Partai
persentase angka menempati kedudukan
Politik atau Gabungan Partai Politik
yang sentral dalam reformasi sistem
peserta
pemilihan umum di Indonesia. Sistem
persyaratan, yakni memperoleh kursi
pemilu merupakan penyaluran suara
minimal 20% (dua puluh persen) dari
untuk memilih partai atau kandidat
jumlah kursi DPR atau memperoleh
dengan salah satu variabel kunci adalah
25% (dua puluh lima persen) suara sah
formulasi matematis pemilu.1 Pemilu
nasional dalam Pemilu anggota DPR,
sebagai prosedur pelembagaan politik
sebelum
menggunakan
sebagai
Presiden. Adapun ketentuan tersebut
formulasi matematis seperti misalnya
menggantikan Pasal 101 UU No. 23
dalam hal mekanisme kalkulasi alokasi
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
suara dan kursi. Ketentuan-ketentuan
Presiden dan Wakil Presiden yang
yang menggunakan persentase dalam
berlaku sebelumnya pada pemilu tahun
pemilu
mengalami
2004 dengan mensyaratkan perolehan
regenerasi dalam perundang-undangan
kursi DPR minimal 3% (tiga persen)
sebagai
atau perolehan suara sah nasional
Republik
secara
upaya
Indonesia
persentase
intensif
konsolidasi
sistem
pemilihan umum.
pemilu
yang
pelaksanaan
memenuhi
pemilihan
sebesar 5% (lima persen). Persentase ambang batas tersebut menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi partai politik atau gabungan partai
1
Andrews Reynlods et al, 2005, Electoral System Design : The New International IDEA Handbook, International IDEA, Stockholm, hal.5.
1
politik agar dapat mengusulkan calon
No.
dalam pemilihan Presiden.
melegitimasi
Ketentuan
Tahun
2008.
Mahkamah
konstitusionalias
syarat
ketentuan persentase syarat pencalonan
Wakil
Presiden dan Wakil Presiden atas dasar
Presiden tersebut menimbulkan suatu
delegasi kekuasaan yang diberikan oleh
problematika
UUD 1945 kepada pembentuk undang-
pencalonan
persentase
42
Presiden
dan
pertentangan
norma
(conflict of norm). Apabila meninjau
undang
ketentuan dalam UUD 1945, Pasal 6A
ketentuan dalam undang-undang pemilu
ayat (2) hanya sebatas menentukan
sepanjang tidak melanggar moralitas,
perihal pengusulan pasangan calon
rasionalitas, dan ketidakadilan yang
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
tidak dapat ditoleransi.2 Namun sebagai
oleh partai politik atau gabungan partai
hal yang patut untuk dicermati bahwa
politik yang tercatat sebagai peserta
terdapat pendapat berbeda (dissenting
pemilu legislatif dan secara gramatikal
opinion) dalam putusan Mahkamah
tidak ditentukan secara formal adanya
tersebut,
prasyarat
sesungguhnya
persentase
yang
harus
untuk
mengatur
dimana
UUD
dianggap
setiap
1945 tidak
dipenuhi. Pengaturan persentase syarat
memberikan kekuasaan untuk mengatur
pencalonan
Wakil
lebih lanjut syarat pencalonan Presiden
Presiden sebagaimana diatur dalam
dan Wakil Presiden, serta perihal
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008
pemilu legislatif dan pemilu Presiden
menimbulkan kesan adanya konflik
yang seharusnya diselenggarakan dalam
norma secara vertikal dikarenakan pasal
waktu
Presiden
dan
yang
bersamaan.3
Silang
tersebut memperluas syarat pengajuan 2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5152-59/PUU-VI/2008, hal 187. 3 Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, hal 189-194. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar memberikan satu pandangan berbeda (dissenting opinion) atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-5259/PUU-VI/2008 perihal ketentuan syarat persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaiana diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 yang dianggap inkonstitusionalitas. Selain itu dipaparkan pula bahwa apabila pemilu legislatif dan eksekutif diselenggarakan bersamaan maka akan menyebabkan ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
calon dari apa yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Terkait dengan permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah menegaskan justifikasi ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dimana Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menolak pengujian terhadap Pasal 9 UU
2
pendapat
tersebut
memperlihatkan
seakan
bahwa
Presiden
ketentuan
dan
menyisakan
Wakil
sejumlah
Presiden
permasalahan
persentase syarat pencalonan Presiden
yang elementer, sehingga konstruksi
dan Wakil Presiden dalam pemilihan
ulang secara teoritis agar mendapatkan
Presiden masih menempatkan sejumlah
pemahaman
permasalahan sistemik yang belum
menjadi penting untuk dilakukan.
yang
komprehensif
terselesaikan. Kemudian terkait dengan adanya
1.2. Rumusan Masalah
tarik ulur wacana revisi UU No. 42
Berdasarkan
pemaparan
Tahun 2008, substansi persentase syarat
belakang
pencalonan yang akan diatur menjadi
masalah yang dapat disusun adalah
salah
sebagai berikut :
satu
perumusan dilakukan. segenap
penyebab
berlarutnya
undang-undang Partai
politik
bargaining
yang
maka
1. Bagaimanakah
dengan
position
masalah,
latar
ketentuan
yang
rumusan
legitimasi
persentase
syarat
pencalonan Presiden dan Wakil
dimilikinya berusaha untuk menegaskan
Presiden
dalam
politik hukum individunya. 4 Persentase
hukum
syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Indonesia?
yang
penciptaan
demokratis
di
Presiden pada akhirnya akan selalu memperlihatkan adanya resistensi, baik bagi
warga
negara
dalam
1.3. Tujuan
rangka
Tujuan
penelitian
ini
mempertahankan hak dan kepentingan
diklasifikasikan menjadi tujuan umum
politiknya,
perbedaan-
dan tujuan khusus. Tujuan umum
perbedaan pandangan hukum di antara
penelitian ini adalah dalam rangka
Hakim Mahkamah Konstitusi sendiri.
pengembangan
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis
terutama hukum tata negara dan politik
berpendapat
ketentuan
hukum perundang-undangan. Sementara
persentase ambang syarat pencalonan
tujuan khusus dalam penelitian ini
maupun
bahwa
ilmu
pengetahuan
adalah untuk mendapatkan pemahaman komprehensif
menjadi tidak bermakna karena ketentuan tersebut hanya dapat diberlakukan sebelum pemilu diselenggarakan. 4 Revisi UU No 42 Kental Kepentingan diakses dari http://www.pikiranrakyat.com/node/242350 tanggal 22 Juli 2013.
perihal
ketentuan
persentase syarat pencalonan pemilu Presiden dari perspektif teori hukum
3
METODE PENELITIAN
pencalonan dalam pemilihan Presiden.6
Penelitian hukum ini merupakan
Istilah Presidential berasal dari kata
penelitian hukum normatif (normative
President, dimana Kamus Black Law
legal research) yang mengkaji hukum
memberikan
tertulis
hukum,
eksekutif dari suatu bangsa khususnya
sistematik hukum, sinkronisasi vertikal
pada pemerintahan yang berbentuk
dan horizontal, perbandingan hukum,
demokrasi.7 Sementara threshold yang
dan sejarah hukum.5 Pendekatan yang
berasal dari Bahasa Inggris memiliki
digunakan
pendekatan
arti ambang pintu atau ambang batas,8
perundang-undangan, analisis konsep
dimana Kamus Besar Bahasa Indonesia
hukum, dan pendekatan perbandingan.
mendefiniskan ambang batas sebagai
Adapun bahan hukum yang digunakan
tingkatan batas yang masih dapat
adalah bahan hukum primer berupa
diterima
peraturan
undang-undang
II.
dari
aspek
asas
adalah
perundang-undangan
dan
definisi
atau
yaitu
kepala
ditoleransi.9
Adapun
pemilihan
Presiden
Putusan Mahkamah Konstitusi, bahan
Indonesia
hukum sekunder berupa liteatur hukum,
terminologi
dan bahan hukum tersier menggunakan
secara eksplisit sebagai bahasa hukum,
kamus Black’s Law, Kamus Bahasa
namun hal tersebut telah dianggap
Inggris, dan Kamus Besar Bahasa
sebagai suatu kebiasaan umum dalam
Indonesia.
pemilihan Presiden Republik Indonesia.
III.
tidak presidential
menegaskan threshold
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Tinjauan Ulang Nomenklatur
6
Lihat dalam Kacung Marijan, 2010, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana, Jakarta, hal. 107. 7 Henry Campbell Black, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition), West Publishing Co, St. Paul Minn, hal. 1348. 8 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English – Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 589. 9 Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.48
Presidential Threshold Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 sering dikorelasikan presidential
dengan
threshold
istilah sebagai
terminologi ketentuan persentase syarat
5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
4
Penggunaan istilah threshold,
2. Sistem pemilihan Presiden di
dalam hal ini presidential threshold,
Indonesia tidak menggunakan
untuk
sistem perwakilan proportional,
mendeskripsikan
persentase
sebagai syarat pencalonan Presiden dan
melainkan
Wakil
pluralitas/mayoritas.11
Presiden
menimbulkan
sistem
kerancuan. Secara teoritis, threshold
Perihal kriteria yang pertama,
merupakan tingkat minimal dukungan
bahwasanya persentase sebesar 20%
yang
dapat
(dua puluh persen) jumlah perolehan
menempatkan perwakilan dan pada
kursi DPR atau 25% (dua puluh lima
umumnya dikembangkan pada negara-
persen) jumlah perolehan suara sah
negara
nasional
pemilu
harus
diperoleh
yang
agar
menggunakan
perwakilan
(proportional
sistem
adalah
ditujukan
untuk
proporsional
menentukan syarat kontestasi, bukan
representation).10
sebagai syarat keterpilihan. Persentase
Penggunaan istilah threshold dalam hal
yang
persentase syarat pencalonan Presiden
kontestasi
dan Wakil Presiden menjadi rancu
menjadikannya sebagai ambang batas
dikarenakan ketentuan tersebut tidak
atau threshold. Sama halnya dengan
memenuhi dua kriteria yang ditentukan
kebijakan afirmatif 30% (tiga puluh
tersebut, yakni :
persen) keterwakilan perempuan pada
1. Persentase
ditegaskan tidak
sebagai
syarat
serta
merta
sebagaimana
kepengurusan partai politik sebagai
dimaksud dalam Pasal 9 UU No.
syarat partai politik dalam pendaftaran
42 Tahun 2008 tidak ditujukan
menjadi calon peserta pemilu (vide
sebagai harus
ambang batas dipenuhi
menentukan
siapa
yang 11
Lihat dalam Andrews Reynlods et al, op.cit, hal.35 dijelaskan bahwa sistem pluralitas/mayoritas merupakan sistem yang sederhana dimana pemenang ditentukan oleh perolehan suara terbanyak diantara pada kandidat, dengan kemungkinan adanya aturanaturann tambahan yang sifatnya kondisional. Sistem pluralitas/mayoritas pemilihan Presiden di Indonesia sebagaima diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 bahwa Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
untuk Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
10
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal. 19.
5
Pasal 15 huruf d UU No. 8 Tahun 2012
ambang
tentang Pemilihan Umum
Anggota
pemilihan Presiden yakni lebih dari
DPR, DPD dan DPRD). Pemberlakuan
50% yang harus dipenuhi oleh pasangan
ambang batas atau threshold secara
calon dalam suara pertama (first ballot)
konsekuen
sebagai
agar dapat ditetapkan sebagai pasangan
syarat keterpilihan adalah sebagaimana
terpilih. Meskipun demikian terdapat
yang diterapkan dalam Pasal 208 UU
pula negara yang tidak menentukan
No. 8 Tahun 2012 dimana Partai politik
persentase angka formal seperti dalam
dapat menempatkan calonnya dalam
Pasal 77 ayat (2) Konstitusi Republik
kelembagaan
Federal Brazil (Article 77 Paragraph 22
yang
ditujukan
DPR-RI
apabila
memenuhi persentase 3,5%. Apabila terminologi
batas
perolehan
suara
Constitution of the Federative Republic
konsisten
dengan
threshold,
maka
of Brazil) yang hanya merumuskan perolehan
suara
mayoritas
sesungguhnya ketentuan dalam Pasal
dalam pemilihan Presiden.
6A ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 159
Kemudian
perihal
absolut
kriteria
ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 yang
kedua, agar persentase pemilu dapat
dapat
presidential
diterjemahkan sebagai threshold adalah
threshold. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945
ketentuan tersebut digunakan dalam
jo Pasal 159 ayat (1) menentukan
sistem
ambang batas lebih dari 50% (lima
Andrew Reynolds memaparkan bahwa
puluh persen) jumlah perolehan suara
ambang batas yang secara formal diatur
dalam pemilihan Presiden yang harus
dan
dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai
berdasarkan konstitusi atau ketentuan
pasangan calon yang terpilih. Ambang
perundang-undangan digunakan untuk
batas formal tersebut menjadi tingkat
membatasi
dukungan minimal yang harus dipenuhi
proporsional.12 Dalam hal ini, sistem
oleh
dapat
pemilihan legislatif yang menggunakan
ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil
sistem perwakilan proporsional adalah
Presiden terpilih. Sebagai perbandingan,
berbeda
Pasal 97 Konstitusi Argentina (Section
kepala eksekutif yang mencari suara
97 Constitution of the Argentine Nation)
mayoritas.
disebut
pasangan
sebagai
calon
agar
perwakilan
dipaksakan
proporsional.
secara
sistem
dengan
sistem
Pemilihan
hukum
perwakilan
pemilihan
Presiden
juga menentukan secara formal besaran 12
6
Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 83.
ditentukan dalam Pasal 159 ayat (2) dan
perwakilan proporsional dan sistem
ayat (3) UU No. 42 Tahun 2008
campuran, sementara sistem mayoritas
menggunakan
sistem
tidak termasuk di dalamnya. 15 Ambang
varian
batas digunakan untuk mengurangi
sistem dua putaran (two round system)13
fragmentasi aspirasi yang ada dalam
dikombinasikan dengan syarat disribusi
sistem
persebaran suara berdasarkan Pasal 159
sementara
rezim
ayat (4) dan ayat (5) UU No. 42 Tahun
Presiden
adalah
2008.14
terbanyak dengan prinsip pemenang
pluralitas/mayoritas
Tracy
dengan
Quinlan
berpendapat
perwakilan
proporsional,
dalam
pemilihan
mencari
memenangkannya
suara
secara
bahwa adanya ambang batas dalam
keseluruhan.Penggunaan
terminologi
pemilu merupakan sebagai suatu aturan
threshold menjadi tidak sesuai dengan
yang bersifat eksklusif bagi sistem
sistem yang digunakan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
13
Two Round System atau sistem dua putaran merupakan sistem yang menggunakan perolehan suara mayoritas absolut atau harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara sah (50%+1). Lihat Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 117. Sistem pemilu dua putaran ditentukan berdasarkan Pasal 159 ayat (2) dimana dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta ketentuan Pasal 158 ayat (3) dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 14 Syarat disribusi (distribution requierment) persebaran suara sebagai mana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (4) ditentukan bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Kemudian dalam Pasal 159 ayat (5) : Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Penggunaan tidak
tepat
terminologi
dapat
yang
menimbulkan
kesesetan dalam penafsirannya. Jumly Asshiddiqie
memaparkan
bahwa
penggunaan istilah yang sama sekali bertentangan umum
harus
perumusan Istilah
dengan
pengetahuan
dihindarkan
suatu
presidential
dalam
undang-undang.16 threshold
yang
digunakan selama ini dalam sistem pemilu Indonesia memiliki konsekuensi 15
Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent. cgi?article=1060&context=respublica tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois, hal 21. 16 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, hal. 172.
7
normatif
yang
berbeda
dengan
sebagai
superior.17
norma
Jimly
penggunaan terminologi threshold pada
Asshiddiqie memaparkan hal tersebut
umumnya. Terminologi threshold harus
sebagai
digunakan secara tepat dalam rangka
menimbulkan
menjaga esensi pembangunan hukum
kekuasaan untuk membentuk suatu
pemilu yang konsekuen.
peraturan perundang-undangan (power
delegated
legislation
proses
yang
penyerahan
of rule-making).18 Apabila merujuk ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU
3.2. Legitimasi Persentase Syarat Pencalonan
No.
Pemilihan
12
Tahun
2011
Presiden dan Wakil Presiden
Pembentukan
Pertentangan norma yang terjadi
undangan, materi muatan yang harus
perihal pengaturan persentase syarat
diatur dengan undang-undang adalah
pencalonan
Wakil
berisi pengaturan lebih lanjut mengenai
Presiden seyogyanya telah ditegaskan
ketentuan UUD 1945. Oleh karena itu,
konstitusionalitasnya
Putusan
DPR-RI memegang kekuasaan untuk
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
menentukan substansi hukum perihal
59/PUU-VI/2008.
syarat
mekanisme pemilihan presiden dan
Wakil
wakil presiden dalam undang-undang,
pencalonan
Presiden
dan
dalam
Persentase
Presiden
dan
Peraturan
tentang
Perundang-
Presiden timbul sebagai bagian dari ius
termasuk
constituendum yang diwujudkan oleh
kontestasinya sepanjang konstitusional.
pembentuk
undang-undang
setiap
syarat-syarat
dengan
Adapun secara teoritis Hans
dasar adanya penyerahan kekuasaan
Kelsen memaparkan perihal mekanisme
oleh UUD 1945 untuk mengatur lebih
derogasi
lanjut ketentuan tata cara pemilihan
permasalahan
norma
Presiden sebagaimana diatur dalam
bertentangan.
Derogasi
UUD 1945.
apabila terdapat norma-norma yang
dalam
menyelesaikan yang
saling
dilakukan
Kedudukan UU No. 42 Tahun
saling berkonflik antara yang satu
2008 dalam tata peraturan perundang-
dengan yang lainnya, dimana konflik
undangan Indonesia didasarkan pada
tersebut terjadi jika dalam menerapkan
ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
17
Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 mengatur bahwa “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” 18 Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal. 264.
8
norma yang satu, maka norma yang lainnya terlanggar.
19
Pada
dasarnya
UUD
1945
Dalam hal ini
memang
tidak
bermaksud
UUD 1945 tidak mengatur secara detil
menjadi
suatu
bentuk
perihal persyaratan persentase syarat
perundang-undangan
pencalonan, namun UU organis yang
kaku. Penjelasan UUD 1945 angka IV
mengatur lebih lanjut mengatur syarat
pada
kontestasi
yang
politik hukum dari the founding fathers
mengikat setiap partai politik atau
yang menginginkan UUD 1945 tidak
gabungan
menjadi
tambahan
partai
tersebut
politik.
Kelsen
berpendapat
bahwa
norma
yang
mengalami
konflik
membutuhkan
hakikatnya
untuk
peraturan
yang
bersifat
menggambarkan
penghalang
bagi
perkembangan dan dinamika kebutuhan hukum
masyarakat
dengan
secara
proses derogasi yang didasarkan pada
gegabah memberikan bentuk yang pasti
tindakan kemauan dari pihak yang
atas pengaturannya. Pada hakikatnya
20
mempunyai otoritas hukum.
Adapun
setiap konstitusi yang berlaku di setiap
pihak yang yang mempunyai kapasitas
negara
hukum disini adalah DPR sebagai
kontenstasi pemilihan Presiden dan
lembaga yang menerima penyerahaan
Wakil Presiden secara sumir tanpa
kekuasaan untuk mengatur substansi
disertai
undang-undang pemilu lebih lanjut
ditegaskan secara formal, sehingga
sebagaimana yang diamanatkan oleh
diharapkan
UUD
perkembangan dan kebutuhan yang ada.
95.
Konstitusi
Selain
itu
sebagai
Mahkamah
pihak
hanya
menentukan
adanya
syarat
persentase
dapat
yang
mengikuti
setiap
yang
Sebagai contoh dalam Bab 7 Bagian 2
memegang kekuasaan untuk menguji
Konstitusi Republik Filipina Tahun
undang-undang terhadap UUD 1945
1987 (Article VII Section 2 The 1987
juga
menegaskan
Constitution of the Republic of the
sehingga
Philippines) hanya mengatur syarat-
memperlihatkan adanya kesepahaman
syarat umum agar dapat dipilih sebagai
dari
Presiden,
telah
konstitusionalitasnya,
pihak-pihak
yang
mempunyai
otoritas hukum.
yakni
berkewarganegaraan
perihal Filipina
sejak
kelahirannya, terdaftar sebagai pemilih, 19
Hans Kelsen, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, hal 114. 20 ibid, hal. 118.
mampu membaca dan menulis, syarat umur
9
sekurangnya
40
tahun,
dan
bertempat tinggal sekurangnya 10 tahun
keseluruhannya
di Filipina. Sementara dalam Pasal 77
semangat untuk menciptakan sistem
ayat (2) Konstitusi Brazil menegaskan
presidensial
yang
efektif
bahwa calon Presiden harus didaftarkan
memperoleh
basis
dukungan
oleh Partai Politik dalam mengikuti
mumpuni pada lembaga legislatif dalam
pemilihan
rangka check and balances.
Presiden,
namun
tanpa
merasionalisasikan
dengan yang
disertai adanya ketentuan persentase dukungan di legislatif secara spesifik.
3.3. Persentase Syarat Pencalonan
Apabila menilik lebih dalam,
Pemilihan Presiden dan Wakil
bahwa secara filosofis UUD 1945
Presiden Yang Demokratis
menanamkan hal yang paling penting
Penyelenggaraan pemilu yang
dalam pemerintahan adalah kesatuan
tidak demokratis sepanjang era Orde
semangat
Baru
dari
negaranya.
21
penyelenggara
pembangunan hukum yang responsif
dibentuk umumnya memiliki dasar
pada era reformasi, terutama dalam
teleologis sebagai tujuan atau maksud
pemilihan
dari
undangan
aturan
harapan
hukum
suatu
Suatu
merefleksikan
kepala
pemerintahan.
peraturan
perundang-
Triwahyuningsih memaparkan bahwa
dibentuk.22
Paradigma
mekanisme pencalonan Presiden dan
penyelenggaraan
negara
di
era
Wakil
Presiden
yang
demokratis
reformasi berusaha mengharmoniskan
ditentukan oleh dua prosedur. Pertama,
bagaimana kekuasaan legislatif dan
kontestasi yang adil dengan diimbangi
eksekutif dapat berjalan dengan efektif.
dengan kesempatan yang sama dan
Setidaknya hal tersebut terlihat dalam
sarana yang relatif seimbang. Kedua,
Penjelasan Umum tiga undang-undang
partispasi publik terkait dengan hak
politik Indonesia (UU No. 42 Tahun
warga negara untuk memilih calon
2008, UU No. 8 Tahun 2012, dan UU
tersebut.23 Hal ini juga sejalan dengan
No. 2 Tahun 2012 tentang Partai
pendapat
Politik)
bahwa
dimana
secara
teleologis
Yudi
Latif
demokrasi
memaparkan
permusyawaratan
sebagaimana yang menjadi esensi dari 21
Dahlan Thaib et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.135 22 Amiruddin, Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Persada/ Jakarta, hal. 163 – 166
23
Triwahyuningsih, 2001, Pemilihan Presiden Langsung Dalam Kerangka Negara Demokrasi Indonesia, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, hal. 148
10
Demokrasi
Pancasila
membutuhkan
lemah, adanya formulasi dua jenis
empat prasyarat, yaitu berdasar pada
persentase dan frase “gabungan partai
asas
politik” dalam pengaturannya berusaha
rasionalitas
dan
keadilan,
didedikasikan bagi kepentingan banyak
untuk memaktubkan teori
orang, berorientasi jauh ke depan, dan
tersebut.25
bersifat imparsial dengan melibatkan
diberlakukan untuk membuka peluang
semua pihak.24 Segenap elemen tersebut
bagi
mendeskripsikan bahwa unsur keadilan
mendapatkan kursi di lembaga legislatif
dan
akibat pengaturan ambang batas formal
unsur
partisipatif
menjadi
Dua
partai
kristalisasi cita hukum yang harus
pemilu
tertanam
menggunakan
dalam
setiap
ketentuan
perundang-undangan pemilihan umum.
jenis
politik
DPR,
keadilan persentase
yang
sehingga ketentuan
tidak
dapat
persentase
perolehan suara. Kemudian perihal
Dalam rangka memenuhi aspek
frase
“gabungan
partai
politik”
keadilan, ketentuan Pasal 9 UU No. 42
mengupayakan terwujudnya keadilan
Tahun 2008 pada dasarnya berusaha
yang imparsial dengan memberikan
menentukan persyaratan yang sama
peluang yang relatif sama bagi setiap
untuk setiap subyek hukum
yang
partai politik, termasuk bagi partai
adil
politik dengan perolehan suara dan
ditunjukkan bahwa sebelum pemilihan
kursi yang minim untuk terlibat dan
umum presiden diselenggarakan, semua
dapat
partai politik atau gabungan partai
pencalonan
politik terikat kepada persyaratan yang
Presiden. Perihal apakah nanti aspirasi
sama, yakni 20% jumlah perolehan
mereka terpilih atau tidak tergantung
kursi atau 25% jumlah perolehan suara
dari bagaimana konfigurasi politik yang
sah. Apabila mengacu pada teori justice
terjadi dikarenakan penyelenggaraan
as fairness dari John Rawls dimana
pemilu pada dasarnya merupakan suatu
keadilan yang fair terwujud dengan
kompetisi.
terikat.
Kontestasi
memberikan
aturan
yang
menyalurkan Presiden
aspirasi dan
dalam Wakil
menguntungkan
bagi pihak yang berada pada posisi 25
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 162-163.
24
Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 478.
11
Perihal
rasionalitas
besaran
pencalonan presiden tidak hanya terkait
persentase yang diatur dimana telah
dengan bagaimana proses kompetisi
terjadi
politik itu sendiri, melainkan juga
peningkatan
dibandingkan
pada
persentase penyelenggaran
mempertimbangkan
jalannya
pemilihan Presiden tahun 2004, hal ini
pemerintahan
sangat
Presiden terpilih ditetapkan. Sejarah
bergantung
dari
bagaimana
kedepannya
pasca
konsensus yang terjadi dalam lembaga
mengajarkan bahwa
perwakilan dalam merumuskan undang-
tidak diusung oleh partai politik yang
undang pemilihan Presiden. Namun
memperoleh
pada hakikatnya, adanya ketentuan
kesulitan menjalankan pemerintahan,
persentase syarat pencalonan presiden
sebagaimana yang terjadi pada masa
yang didasarkan atas perolehan suara
pemerintahan
atau
kursi
pada
suara
Presiden yang
mayoritas
akan
Presiden
K.H.
pemilu
legislatif
Abdurahman Wahid. Scott Mainwaring
merupakan
rasionalisasi
untuk
memaparkan sebuah tesis bahwa sistem
menghindari
terpilihnya
kepala
presidensial
yang
disertai
eksekutif yang minim dukungan dari
multipartai
legislatif. Hal tersebut juga menjadi
perwakilannya menyebabkan terjadinya
dasar
apabila
instabilitas dalam pemerintahan. Sistem
eksekutif
multipartai, baik yang diterapkan pada
pemilu
pertimbangan legislatif
dilaksanakan
secara
bahwa dan
serentak
dan
sistem
dalam
sistem
presidensial
lembaga
atau
sistem
membutuhkan
adanya
persentase syarat pencalonan presiden
parlementer,
menjadi tidak berlaku, maka akan
koalisi
mengakibatkan
tersebut disadari lebih sulit untuk
kerumitan-kerumitan
partai
politik,
namun
hal
maupun
dilaksanakan pada sistem presidensial.27
kencenderungan untuk menghasilkan
Tiga argumentasi yang dibangun adalah
pemilu dengan kualitas yang rendah 26
sebagai berikut :
baik
dari
segi
teknis
Rasionalitas
tersebut
dapat
diejawantahkan dalam hal pengaturan yang
bersifat
pengaturan
futuristik, persentase
dimana 27
syarat
Scott Mainwaring, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press, London, hal. 270.
26
Ibnu Tricahyo, 2009, Reformasi Pemilu – Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, In-TRANS Publishing, Malang, hal. 98
12
1.
Penentuan kabinet pada sistem
terjadi merupakan sebagai suatu akibat
presidensial
pemilihan langsung dalam penentuan
menjadi
kewenangan Presiden dan bukan
legislatif
ditentukan oleh parlemen seperti
menimbulkan legitimasi yang sama kuat
pada
diantara keduanya. Akibatnya, kesulitan
sistem
Walaupun
parlementer.
Presiden
membuat
akan terjadi
kesepakatan
apabila
sehingga
partai
politik
pendukung Presiden tidak menguasai mayoritas
yang
namun
perwakilan.29 Adapun tujuan diaturnya
tidak
persentase pencalonan Presiden dan
mendukungnya, tersebut
suara
lembaga
Wakil
Komitmen individu legislator
efektivitas
sistem
untuk mendukung kesepakatan
presidensil
Indonesia
yang telah dinegosiasikan oleh
dengan
pimpinan partai politik kurang
politik
dapat
perwakilan, sehingga ketentuan tersebut
dijamin
dalam
sistem
Presiden
dalam
mengikat dengan tegas.
presidensial. 3.
eksekutif
sebelumnya dengan partai-partai
kesepakatan
2.
dapat
dan
jumlah yang
dibutuhkan
Dorongan
yang
kuat
memecah
koalisi
untuk
dikarenakan
agar
pemerintahan berkorelasi
fragmentasi
ada
faktor
dalam
dapat
partai lembaga
mengukur
besaran dukungan yang dimiliki oleh
cenderung
Presiden
lebih besar terjadi pada sistem
terpilih
dalam
lembaga
legislatif.
presidensial terutama menjelang pemilihan umum.28 Kondisi
ini
IV.
memperlihatkan
PENUTUP Berdasarkan
pembahasan
bahwa Presiden yang tidak berasal dari
tersebut di aas, maka pada bagian dapat
partai pemenang pemilu legislatif, atau
dikemukakan simpulan dan saran dari
setidaknya
penulus sebagai berikut :
mendapatkan
dukungan
yang cukup dari partai politik dalam
4.1. Simpulan
lembaga perwakilan akan menyebabkan
Ketentuan
terjadinya
ketidakstabilan
pencalonan
pemerintahan. Adnan Buyung Nasution
persentase
Presiden
dan
syarat Wakil
Presiden sebagaimana diatur dalam
menegaskan adanya deadlock yang 29
28
Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta, hal. 118
ibid, hal. 270-271
13
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008
DAFTAR PUSTAKA
merupakan kewenangan dari DPR-RI
BUKU
untuk
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
mengaturnya
berdasarkan
penyerahan kewenangan dari UUD 1945 yang bersifat tidak kaku dan pada
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta.
dasarnya setiap kontitusi tidak mengatur syarat kontestasi secara lebih spesifik. Ketentuan persentase syarat pencalonan
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat HukumApa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Presiden dan Wakil Presiden berusaha mengupayakan keadilan dapat terwujud secara
imparsial
dengan
formulasi
bahasa hukumnya dan dapat menjadi
Kelsen, Hans, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy” Terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung.
pengaturan yang bersifat futuristik. Adapun penggunaan istilah presidential threshold
dalam konteks persentase
syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Presiden adalah tidak tepat.
4.2. Saran
Mainwaring, Scott, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press, London.
Diharapkan penggunaan suatu istilah
hukum
digunakan
secara
konsekuen untuk menghindari adanya kerancuan dalam pemaknaannya. Selain itu kedepannya diperlukan kajian yang lebih mendalam perihal parameter yang
Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca – Orde Baru. Kencana. Jakarta.
dapat digunakan dalam menentukan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang digunakan
Nasution, Adnan Buyung, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta.
agar dapat menjadi ketentuan hukum yang berkelanjutan.
Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan
14
Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta. Reynlods, Andrews, et al, Electoral System Design New International Handbook, International Stockholm.
INTERNET Revisi UU No 42 Kental Kepentingan diakses dari http://www.pikiranrakyat.com/node/242350 tanggal 22 Juli 2013.
2005, : The IDEA IDEA,
Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cg i/viewcontent.cgi?article=1060&c ontext=respublica diakses tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Thaib, Dahlan, et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta. Tricahyo, Ibnu, 2009, Reformasi Pemilu – Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, In-TRANS Publishing, Malang
Biodata Penulis : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya, SH, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (Konsentrasi Hukum Pemerintahan) Pascasarjana Universitas Udayana. Bertempat tinggal di Jalan Kertaneragara IX/4 Ubung Kaja Denpasar, 80116. Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta. Penulis apat dihubungi melalui email :
[email protected] atau melalui telepon 08873498707
Triwahyuningsih, 2001, Pemilihan Presiden Langsung Dalam Kerangka Negara Demokrasi Indonesia, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta KAMUS Black, Henry Campbell, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition),West Publishing Co, St. Paul Minn. Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta.
15