BAB II PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian HAM Hak Asasi Manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang dipahami sebagai Natural Rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan kenyakinan dan praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat luas. 21 Praktik memanusiakan manusia itu menjadi tanggung jawab utama negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Tugas negara ini sama artinya dengan mengimplementasikan perlindungan hak asasi manusia melalui hukum, artinya di dalam hukum itu terumus ketentuan yang memerintahkan perlindungan hak asasi manusia. Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang 21
Slamet Warta Wardaya, Hakekat, Konsepsi Dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 22 Menurut Mahfud MD, hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara. 23 2. Pengaturan HAM dalam Peraturan Perundang-Undangan a. Dalam Pembukaan UUD 1945 Pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 sarat dengan pernyataan (deklarasi) dan pengakuan yang menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan sangat asasi. Antara lain ditegaskan hak setiap bangsa (termasuk individual) akan kemerdekaan, berkehidupan yang bebas, tertib dan damai, hak membangung bangsa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, berkedaulatan, bermusyawarah/ berperwakilan, berkebangsaan, berprikemanusiaan, berkeadilan dan berkeyakinan ke-Tuhan-nan Yang Maha Esa. 24 Pernyataan-pernyataan yang padat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas mengandung jiwa dan semangat yang tidak jauh berbeda dengan Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) yang diterima dalam sidang
22
Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 127. 24 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal.54. 23
Universitas Sumatera Utara
umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. kesamaan-kesamaan tersebut antara lain terlihat dalam hal-hal sebagai berikut: 25 a) Pernyataan di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Bahwa identik dengan pernyataan di dalam alinea pertama “preambule” UDHR yang berbunyi: “Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world”. Dan juga dengan Pasal 1 UDHR yang berbunyi: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. b) Pernyataan pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang dihubungkan dengan pernyataan atau proklamasi “kemerdekaan” dan “keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas” di dalam alinea ketiga, identik pula dengan pernyataan di dalam Pasal 15 (1) UDHR, bahwa “Everyone has the right to a nationality”. c) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan berbagai tujuan dibentuknya negara Indonesia, yaitu : (1) “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Imdonesia” ;
25
Ibid
Universitas Sumatera Utara
(2) “untuk memajukan kesejahteraan umum” ; (3) “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” ; (4) “ikut dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Di dalam pernyataan tujuan-tujuan tersebut, jelas terkandung di dalamnya juga hak sebagaimana dinyatakan di dalam UDHR sebagai berikut : a) Pasal 22 : “Everyone as a members of society, has the right to social security”; b) Pasal 25 : “Everyone has the tight to a standard of living adequate for the health and well being of himself and of his family, including food, clothing, hausing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control” ; c) Pasal 26 : “Everyone has the right to education”’ ; d) Pasal 28 : “Everyone is entitled to a social and international order in which the right and freedoms” ; e) Alinea keempat “Prembule” : “Whereas it si essential to promote the development of friendly relation between nations”. b. Di Dalam Batang Tubuh UUD 1945 Walaupun tidak secara menyeluruh dan terperinci seperti UDHR, namun di dalam batang tubuh UUD 1945 juga dijumpai pasal-pasal yang dapat
Universitas Sumatera Utara
diselaraskan dengan hak asasi yang tercantum dalam UDHR. Antara lain dapat dikembangkan sebagai berikut: 26 a) Ketentuan Pasal 1 (2), bahwa “kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, identik dengan Pasal 21 (1) UDHR : “Everyone has the right to take part of the government of his country, directly or throught freely chosen representative”. b) Juga Pasal 3, bahwa MPR yang menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, identik dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas. c) Pasal-pasal yang berhubungan dengan kewenangan DPR (antara lain Pasal 5 (1), Pasal 11, 20, 21, 22, dan hak warga Negara yang sama di bidang pemerintan (Pasal 27), identik pula dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas. d) Ketentuan Pasal 27 (1) UUD, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, identik dengan UDHR : (1) Pasal 6 (recognition as a person before the law) ; (2) Pasal 7 (equal protection of the law) ; (3) Pasal 21 ayat (2) (equal access to public service in one’s country) ; (4) Pasal 1 (equal in dignity and rights) ; (5) Pasal 2 (entitled to all rights and freedoms without distinction).
26
Ibid. hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
(6) Pasal 27 ayat (2) UUD, bahwa tiap warga negara “berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, identik dengan ketentuan UDHR, antara lain : (a) Pasal 23 (1) : the right to work and free choice of employment ; (b) Pasal 23 (2) : the right to equal work ; (c) Pasal 25 (1) : the right to a standard of living. (7) Pasal 28 UUD yang menjamin “kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, identik dengan ketentuan UDHR : (a) Pasal 18 : the right to freedom of thought ; (b) Pasal 19 : the right to freedom of opinion and expression. (8) Pasal 19 ayat (2) UUD yang menjamin kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu, identik dengan ketentuan UDHR Pasal 18 : the right to freedom of thought, conscience and religion (includes freedom to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. (9) Pasal 30 ayat (2) UUD, bahwa “tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”, identik dengan Pasal 26 (1) UDHR yaitu “the right to government of his country”. (10)
Pasal 31 (1) UUD menjamin hak warga negara untuk mendapat pengajaran (pendidikan), identik dengan Pasal 26 (1) UDHR yaitu “the right to education”.
(11)
Pasal 32 UUD, bahwa “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, mengandung di dalamnya hak warga negara
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 (1) UDHR, yaitu “the right to participate in the culture life of the community”. (12)
Kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (3) memberikan hak kepada warga negara untuk memperoleh kemakmuran sosial yang sebesar-besarnya. Hal ini identik dengan ketentuan-ketentuan UDHR antara lain :
(a) Pasal 22 : the right to social security ; (b) Pasal 25 : the right to a standard of living and right to security. (13)
Pasal 34 UUD 1945 mengandung hak fakir miskin dan anak-anak terlantar untuk dipelihara oleh negara. Hal ini pun sesuai dengan ketentuan UDHR :
(a) Pasal 22 : the right to social security ; (b) Pasal 25 : the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, age or other circumstances beyond one’s control ; (c) Pasal 25 (2): motherhood and children are entitled to special care and assistance. All children, wheather born in or out of wedlock, shall the same social protection.
Universitas Sumatera Utara
c. Peraturan Perudang-Undang Lainnya Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap perundang-undangan apakah pada level nasional atau pun internasional ada mencantumkan hak dan kewajiban setiap kelompok atau individu. Karena hak dan kewajiban tersebut menjadi pedoman bagi setiap kelompok atau individu itu untuk mendapatkan sesuatu dan lainnya. Bahkan kitab suci semua agama di dunia ini ada mencantumkan hak dan kewajiban bagi para umatnya. Begitu juga produk undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen terutama di Indonesia. Artinya undang-undang itu tidak menciderai hak dan kewajiban setiap warganya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal-pasal yang bermaksud melindungi kehidupan, kebebasan dan keamanan seseorang (antara lain, pasal-pasal mengenai pembunuhan, perampasan kemerdekaan, perampasan dan pengancaman, penculikan dan sebagainya ; vide pasal-pasal 338-340, 333334, 368-369, 328). Ketentuan-ketentuan demikian identik dengan Pasal 3 UDHR. Juga di dalam KUHP ada larangan untuk perdagangan budak (Pasal 324327)
yang
identik
memeras/memaksa
dengan Pasal 4 pengakuan
atau
UDHR,
keterangan
dan ada pula dari
seseorang
larangan dengan
menggunakan sarana paksaan (422) dan pasal-pasal penganiayaan (Pasal 351, dst) yang dapat diselaraskan dengan Pasal 5 UDHR. Delik-delik terhadap harta benda dan pencabutan hak hanya berdasarkan undang-undang, identik dengan Pasal 17 UDHR. 27
27
Ibid, hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
Meski norma-norma hak asasi manusia (HAM) sudah sejak lama menjadi spirit dan dasar bernegara, tetapi secara formal pengakuan dan upaya penegakannya baru dilakukan sejak dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang ini adalah pembuka bagi penegakan HAM yang lebih terkonsentrasi. Meski undang-undang ini mereduksi banyak hak yang termuat dalam Hukum Internasional HAM, kehadirannya memberi optimisme bagi penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. UU ini juga memandatkan terbentuknya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sebagai lembaga independen yang memiliki seperangkat kewenangan bagi penegakan HAM. Satu tahun setelah undang-undang tentang HAM lahir, diproduksi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Undang-undang ini dimaksudkan menjadi semacam hukum acara atau hukum formal bagi penegakan hukum yang termuat dalam UU No 39/1999 itu. Sejak itu Komnas HAM dan lembaga peradilan memiliki prosedur kerja yang tersistematis dan formal. Sejak awal kelahiran, undang-undang ini menimbulkan kontroversi. Sebab, secara substantif undang-undang Pengadilan HAM mengadopsi Statuta Roma, suatu statuta internasional yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC). Pendasaran pada Statua Roma tidak saja salah kaprah, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki pengadilan HAM. Lahirnya undang-undang Pengadilan HAM merupakan kesuksesan negara memanipulasi dan membiaskan Hukum Internasional HAM menjadi kian absurd. Absurditas yang diidap hukum HAM Indonesia inilah yang mengakibatkan kinerja Komnas HAM dan perangkat peradilan lain, yang
Universitas Sumatera Utara
mengadili aneka perkara kejahatan kemanusiaan menjadi sia-sia, tidak konstruktif bagi pemajuan HAM di Indonesia. 28 Daftar kegagalan yang bisa dirujuk misalnya, dari sekian banyak pelaku kejahatan kemanusiaan yang dalam bahasa publik Indonesia dianggap pelaku pelanggaran HAM, tidak satu pun pelaku menerima hukuman seharusnya. Bahkan, Abilio Soares, satu-satunya terdakwa yang masuk bui, akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung dalam sidang Peninjauan Kembali. Korban sama sekali tidak ada yang menerima hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. 29 Semua proses panjang pengadilan HAM yang pernah dilakukan di Indonesia tidak memberi implikasi apapun, baik untuk korban, publik, maupun efek jera untuk aparat negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM. Bahkan dunia internasional pun justru semakin kecewa dengan proses yang terjadi di Indonesia. 3. Penegakan HAM di Indonesia Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajiannya menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memiliki kemampuan optimal mengintegrasikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Hal itu diduga akibat tingginya politik transaksional antar fraksi di DPR. Akibatnya sebagian besar produk undang-undang belum ramah terhadap pemajuan dan penegakan HAM. Selama periode 2005-2008, dari 129 produk undang-undang yang dihasilkan, hanya 34 undang-undang yang dinilai berelasi dengan HAM.
28
Ismail Hasani, Deviasi Hukum HAM. Diaskses dalam situs : http://ismailhasani.wordpress.com.2008.11.29.deviasi-hukum-ham-bag-2. akses terakhir pada tanggal 5 April 2011. 29 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Namun, dari jumlah itu, hanya 18 undang-undang yang sejalan dengan HAM, yang separuh diantaranya adalah undang-undang tentang ratifikasi. Sisanya sebanyak 16 undang-undang justru tak sejalan dengan HAM. 30 Pada tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia melalui kekuatan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru yang sangat kokoh selama tiga puluh dua tahun menggengam kekuasaan dengan otoriter. Pada zaman orde baru, hukum dijadikan alat kontrol untuk mempertahankan kekuasaannya. Ekses dari kebijakan itu adalah timbulnya sikap skeptis dari masyarakat. Keadilan sangat sulit ditemukan. Kondisi menjadi bertolak belakang dari cita-cita negara hukum yaitu cita keadilan, cita ketertiban dan cita kepastian. Tiga cita-cita ini dikuasai oleh masyarakat umum, bukan mereka yang berkuasa. Tetapi apabila timbul gap antara dua kutub itu, maka yang menjadi barometer adalah kepentingan masyarakatnya. Sejak 2000 tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah ” sumum ius suma iuria”. Artinya adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Pihak korban pemerkosaan akan merasa tidak adil apabila tersangka dibebaskan dan kebebasan tersebut akan dirasakan adil oleh tersangka. Dengan demikian keadilan dapat diumpamakan sebagai pedang bagi siapapun. Keadilan akan dirasakan tajam pada saat dipergunakan namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan.
30
Indriaswati Dyah Saptaningrum, UU Tak Ramah HAM, Kompas, Jum’at 5 Desember 2008, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan ”barang’ yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Insonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Insonesia dalam tiga orde, yakni: 31 a. Penegakan HAM Pada Orde Lama Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti UU No. 1964 yang memungkinkan campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai dengan HAM. b. Penegakan HAM Pada Orde Baru Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971. Akan tetapi, setelah lebih dari 1 (satu) dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa.
31
Muladi, Op. cit, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktivis pro demokarasi (penghilangan orang secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebagai pundaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntuan adanya reformasi di segala bidang. c. Penegakan HAM Pada Masa Orde Reformasi Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN. Pada zaman orde baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN-nya pembangunan fisik lembaga penegak hukum (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian) sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum sangat fantastis hasilnya, hanya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial yang belum diganti.
Universitas Sumatera Utara
Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah pranata, produk, substansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya atau law enforcement. Jadi tanpa penegakan hukum bukan apa-apa. Yang memberi makna kepada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum (Pasal 14 dan 27 UU Nomor 14 Tahun 1970). 32 Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat. Sifat baik dari aparatur tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang ke luar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan, adalah bahwa penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan
32
Suwandi, Instrumen Dan Penegakan HAM Di Indonesia, dalam Muladi, Ibid, hal. 46
Universitas Sumatera Utara
tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system. Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup: 33 a) Penyidik (kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil) ; b) Kejaksaan (penuntut umum) ; c) Penasihat hukum (korban/pelaku) ; d) Pengadilan (hakim) ; e) Pihak-pihak lain (saksi/ahli/pemerhati). Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak-tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum. Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah cukup memadai apakah dalam bentuk perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, sistem manajemen atau pembangunan fisiknya. Persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah krisis moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum.
33
Ibid, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
Akibat dari semua itu, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum itu sendiri. 34
B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia HAM termasuk harga warga negara melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban manusia, maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu (manusia) dan adanya kewajiban pada pemerintah (negara). HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada pemeirntah atau negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintah sendiri. 35 Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merumuskan tentang HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin (spirit) peraturan perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Secara implisit, KUHAP telah mengatur Hak-hak tersangka/ terdakwa sebagai berikut:
34
Ibid, hal. 48. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 47-48 35
Universitas Sumatera Utara
1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan. 36 Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hokum, adanya perlakuan sewenangwenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ini berdasarkan pada Pasal 50 KUHAP. 2. Hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti. 37 Pengertian atau pemahaman terhadap penggunaan bahasa menduduki posisi yang penting terhadap proses hokum. Mulai penyelidikan hingga penuntutan, seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan bahsa yang dimengerti oleh tersangka atau terdakwa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 51 KUHAP. Dengan diketahuinya serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, ia akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam usaha pembelaan. Dengan demikian, ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan
terhadap
dirinya
sehingga
selanjutnya
ia
akan
dapat
mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan.
36 37
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 50. Ibid, Pasal 51
Universitas Sumatera Utara
3. Hak memberikan keterangan secara bebas. 38 Hak ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP, yaitu "dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim". Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. 4. Hak mendapatkan juru bahasa. 39 Ketentuan hak untuk mendapatkan juru bahasa diatur dalam pasal 177 dan 178 KUHAP. Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 53 KUHAP yang menyatakan bahwa tidak semua tersangka terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau didakwakan. Oleh karena itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa. 5. Hak mendapatkan bantuan penasehat hukum. 40 Hak bantuan hokum dimiliki setiap orang, khususnya orang tidak mampu agar ia mendapatkan keadilan. Jaminan hak ini terdapat dalam standar hokum Internasional dan Nasional sebagai bentuk pemenuhan hak dasar yang telah diakui secara universal.
38
Ibid, Pasal 52 Ibid, Pasal 53, 177 & 178. 40 Ibid, Pasal 54 39
Universitas Sumatera Utara
Hak bantuan hokum dijamin dalam Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945, yaitu; Pasal 27 ayat (1); pasal 28D ayat(1); Pasal 28I ayat(1); dan juga diatur dalam Pasal 17, 18, 19, dan 34 Undang-undang No39 tahun 1999 tentang HAM. Serta diatur juga oleh Pasal 54 KUHAP. Kemudian ditegaskan dalam pasal 56 KUHAP, bantuan hokum menjadi kewajiban khusunya terhadap tindak pidana tertentu. 6. Hak menghubungi penasihat hukum. 41 Setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk menghubungi penasihat hokum, apalagi yang bersangkutan diancam dengan hukuman di atas 5 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 57 KUHAP sebagai berikut: a. Tersangka
atau
terdakwa yang
dikenakan
penahanan
berhak
menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undangundang ini b. Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya. 7. Hak menerima kunjungan dokter pribadi. 42 Kesehatan jasmani dan rohani bagi tersangka atau terdakwa sangatlah penting, sebab seseorang yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana berpotensi mengalami gangguan kesehatan baik fisik dan mental. Untuk itulah hak menerima kunjungan dokter pribadi sangatlah manusiawi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 58 KUHAP. 41 42
Ibid, Pasal 57 Ibid, Pasal 58
Universitas Sumatera Utara
8. Hak menerima kunjungan keluarga. 43 Seorang tersangka atau terdakwa memerlukan motivator atau teman dalam menghadapi kasusnya. Pada umumnya keluargalah teman terbaik sebagai tempat curhat atau sekedar bermusyawarah dalam mencari jalan terbaik. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 60 dan 61 KUHAP 9. Hak menerima dan mengirim surat. 44 Meskipun terdakwa atau tersangka dikekang kebebasannya dalam berinterkasi dengan dunia luar, tersangka atau terdakwa masih memiliki hak berkomunikasi dengan bebas melalui surat. Ia berhak menerima dan mengirim surat sesuai dengan ketentuan berikut: a. Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagitersangka atau terdakwa disediakn alat tulis menulis. b. Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan Negara kecali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan c. Dalam hal surat menyurat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan Negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau 43 44
Ibid, Pasal 60 dan 61. Ibid, Pasal 62
Universitas Sumatera Utara
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbuni "telah ditilik" 10. Hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum. 45 Seorang tersangka atau terdakwa berpotensi mengalami gangguan secara psikis, sebab ia dihadapkan pada persoalan yang membelenggu kebebasannya. Oleh karena itu, ia membutuhkan terapi yang dapat menenangkan pikirannya. Pasal 63 KUHAP memberikan kepada tersangka atau terdakwa hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan. Dan juga tersangka atau terdakwa berhak diadili secara terbuka di Pengadilan. Ini ditujukan agar semua pihak dapat mengetahui apakah yang disangkakan atau didakwakan kepada orang tersebut terbukti atau tidak. 11. Hak mengajukan saksi yang menguntungkan. 46 Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakn dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Pada umumnya, pihak penyidik atau penuntut umum tidak memberikan informasi yang jelas bahwa tersangka atau terdakwa bahwa ia memiliki hak mengajukan saksi yang menguntungkan. 12. Hak menuntut ganti kerugian. 47
45
Ibid, Pasal 63 Ibid, Pasal 65 47 Ibid, Pasal 95 46
Universitas Sumatera Utara
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP. Tersangka atau terdakwa dapat menuntut pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai akibat kealpaan mereka. 13. Hak memperoleh rehabilitasi. 48 Rehabilitasi dalam proses perkara pidana lebih cenderung memberikan makna pemulihan nama baik. Hak memperoleh rehabilitasi ini diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Menurut pengertian rehabilitasi Pasal 1 butir 22 KUHAP, rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU.
48
Ibid, Pasal 97
Universitas Sumatera Utara