BAB II NILAI-NILAI PENDIDIKAN HUMANIS DAN NOVEL
A. Nilai dan Pendidikan Humanis 1. Pengertian Nilai Nilai adalah keyakinan yang membuat sseorang bertindak atas dasar pilihannya.1 Menurut pandangan Brubacher yang dikutip oleh Abdul Khobir, bahwa nilai tak terbatas ruang lingkupnya, karena nilai sangat erat hubungannya dengan pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks. Nilai bersifat ideal, abstrak, dan tidak dapat disentuh oleh panca indera sedangkan yang dapat ditangkap hanya tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai bukan merupakan fakta yang berbentuk kenyataan dan konkrit, sehingga nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya pada diri yang menilai.2 Menurut Runes Dagobert yang dikutip oleh Achmadi, berdasarkan tinjauan aksiologi, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak, nilai intrinsik (dasar), dan nilai instrumental.3 Menurut pandangan Ducasse yamg dikutip oleh Muhson dan Samsuri bahwa nilai itu sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu: pertama nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka juga tidak ada nilai. Kedua, nilai tampil dalam suatu konteks praktis dimana subjek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan
1
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Al-Fabeta, 2011),
2
Abdul Khobir, Filsafat pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press, 2007), hlm.
3
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm,
hlm. 10. 35-36. hlm. 121.
21
22
yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya.4 Abdul Khobir menyebutkan, nilai dari segi orientasi sistem nilai dikategorikan menjadi empat bentuk, yaitu: nilai etis yang mendasari orientasinya pada nilai baik buruk, nilai pragmatis yang mendasari orientasinya pada berhasil dan gagalnya sesuatu, nilai efek sensorik yang mendasari orientasinya pada yang menyenangkan atau menyedihkan, dan nilai religius yang mendasari orientasinya pada dosa dan pahala, halal dan haram.5 Perbedaan cara pandang tersebut dalam memahami istilah nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan empat definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. 1) Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. definisi ini dikemukakan oleh Gerdon Allport sebagai seorang ahli psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai terjadi pada sebuah keyakinan. 2) Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Pandangan ini lebih mencerminkan pandangan sosiolog.
4
Muhson dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Jogjakarta: Ombak, 2013),
5
Abdul Khobir, Op.Cit, hlm. 39.
hlm. 23-24.
23
3) Hans Jonas menyatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata “ya” (value is address of a yes), atau secara kontekstual nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya”. 4) Nilai sebagai konsepsi( tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Definisi ini dirumuskan oleh Kluckohn. Dari keempat definisi nilai tersebut dapat ditarik definisi baru agar lebih sederhana dan mencakup keempat definisi tersebut, yaitu: nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.6 2. Pendidikan Humanis Pendidikan yang dipandang sebagai upaya memanusiakan manusia.7 Pada dasarnya adalah upaya mengembangkan potensi individu sehingga dapat hidup secara optimal baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dari makna tersebut maka secara otomatis yang menjadi sasaran pendidikan adalah manusia.8 Manusia disebut sebagai “Homo Sapiens” yang berarti mahluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu mengetahui sebagai salah satu insting manusia yang selalu ingin mengetahui segala sesuatu disekelilingnya yang belum diketahuinya. Berasal dari rasa ingin tahu
6
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan PENDIDIKAN NILAI, (Bandung:Alfabeta, 2004), hlm. 7-8 7 Chabib Thoha, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1996) hlm.21. 8 Umar Tirta Raharja dan Ia Suto, Pengantar Pendidikan, (Jakarta, Grasindo, 1995) cet.2, hlm, 19.
24
maka tumbuh ilmu pengetahuan.9 Oleh sebab itu, untuk menjadikan anak manusia menjadi manusia yang sempurna, mutlak diperlukan pendidikan.10 Pengertian istilah pendidikan Abuddin Nata telah menjelaskan panjang lebar dalam salah satu bukunya bahwa secara kebahasaan pendidikan kita berarti tarbiyah dalam bahasa Arab11, selain kata tarbiyah, terdapat pula kata ta’lim dari ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut kata yang paling populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.12 Dalam istilah Inggris, pendidikan juga disebut dengan istilah “education” adapun definisi pendidikan menurut Frederick Y. Mc Donald adalah, ”Education is the process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being.”13 (Pendidikan adalah proses atau aktivitas yang diarahkan untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah laku manusia). Walaupun telah sama-sama mengarah kepada suatu tujuan tertentu para ahli masih belum seragam dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa pendapat dari pakar pendidikan yang mendefinisikan makna pendidikan seperti berikut ini:
9
Jahar Laris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Pusat Pembukuan Dekdikbud dengan PT Rineka Cipta, 2000) hlm.1. 10 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997) hlm.4. 11 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm.5. 12 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2002), hlm.25. 13 Frederick J. McDonald, Educational Psychology,( Tokyo: Overseas Publications, LTD.1954). Hlm. 4.
25
1. Dalam pengertian yang luas Ahmad Tafsir mendefinisikan makna pendidikan sebagai pengembangan pribadi dalam semua aspeknya14 2. M. Ngalim Purwanto, juga berpendapat, makna pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan.15 3. Zahara ldris mengatakan dalam buku pengantar pendidikan bahwa pendidikan ialah serangkaian kegiatan interaksi yang bertujuan, antar manusia dewasa dan secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik seutuhnya16 Humanisme berasal dari kata latin humanis dan mempunyai akar kata “homo” yang berarti manusia. Humanis berarti ‘bersifat manusiawi’ sesuai dengan kodratnya. Semula humanisme adalah sebuah gerakan yang memperomosikan harkat,
martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai
aliran pemikiran kritis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan dan tanggung jawab manusia.17 Humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi renaisans, yaitu aspek yang dijadikan para pemikir
14
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,1994), cet. 2 hlm.26. 15 Ngalim Purwanto, op.cit, hlm.10 16 Zahara Idris, dan Jawal Lisma, Pengantar Pendidikan ( Jakarta: Garamedia widiasarana Indonesia, 1992), hlm 4. 17 A Mangunhadjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius,1997) , hlm. 93.
26
sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah, sekaligus meriset interpretasi tentang ini.18 Memanusiakan dunia secara sederhana berarti mengisi dunia dengan kehadiran manusia yang sengaja dan berdaya cipta, menanamnya dengan karya manusia. Manusia adalah penguasa atas dirinya. Oleh karena itu, fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Hal ini merupakan tujuan akhir dari humanisasi. Karenanya, humanisasi juga berarti memerdekakan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi yang menindas di luar kehendaknya.19 Meskipun dalam sejarah pemikirannya paham humanisme berbedabeda, pada dasarnya semua pandangan tersebut memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut adalah konsentrasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan dimaksudkan untuk mengangkat karkat dan martabat manusia, serta mengandung tiga unsur, sebagai berikut:20 1. Humanum Humanum,
yaitu
gambaran
manusia
dalam
hakikat
dan
kedudukannya di dunia. Hakikat manusia sering dikatakan sebagai pribadi merdeka, makhluk Tuhan, bahkan dalam islam di sebut khalifah atau wakil Tuhan di dunia. Kedudukannya selaku individu disebut animal rational (hewan berakal), zoon politicon (binatang yang berpoltik), animal symbolicum (binatang yang menggunakan simbol-simbol), homo faber
18
Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.71. Umiarso dan Zamroni, op.cit. hlm. 138. 20 Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.79-80. 19
27
(makhluk yang senang bekerja), homo eroticus (makhluk yang senang bercinta-cintaan), dan lain sebagainya. 2. Humanitas Humanitas, yaitu hubungan baik dan harmonis antara seseorang dengan manusia lain yang ditandai oleh kehausan budi pekerti dan adab, pengertian, apresiasi, simpati, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan sebagainya. 3. Humaniora Humaniora, yaitu sarana pendidikan untuk mencapai humanitas berupa ilmu pengetahuann budaya warisan berbagai bangsa, termasuk budaya warisan bangsanya sendir. Termasuk bidang humaniora ialah ilmu sejarah, antropologi budaya, bahasa, kesustraan, seni, arkeologi, filsafat, ilmu-ilmu keagamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan humanis adalah pola pendidikan yang memfokuskan pada peran peserta didik, yaitu pola pendidikan yang menghargai keragaman karakteristik peserta didik dan berupaya untuk mengembangkan setiap potensi peserta didik secara optimal sehingga mereka memiliki kecakapan untuk hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungannya.21 Ranah aktualisasi manusia tidak hanya terbatas pada satu aspek, tetapi banyak aspek yang tersedia sebagai arena determinasi konseptual dan praktik dalam aktualisasi potensi tersebut. Pendidikan sebagai salah satu aspek determinasi
21
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 190.
28
harus menepatkan manusia sebagai makhluk yang bebas dalam menentukan pilihan hidupnya.22 Menurut Paulo Freire yang dikutip oleh Umiarso dan Zamroni bahwa dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan, terdapat tiga unsur fundamental yang mempengaruhi, yaitu pendidik, peserta didik, dan realitas dunia. Unsur pertama dan kedua merupakan hubungan yang saling melengkapi.23 Pendidikan humanis sangat menghormati harkat dan martabat manusia (peserta didik), termasuk apa yang ada di dalam diri peserta didik. Pendidikan humanis memberi kemerdekaan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri sendiri secara penuh. Orientasi utama dari pendidikan humanis adalah untuk memanusiakan manusia, yaitu menbantu peserta didik untuk mengembangkan dan mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mereka untuk dapat mengembangkan
potensinya
secara
optimal.
Diantara
karakteristik
kemanusiaan yang penting dikembangkan adalah pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, penumbuhan kesadaran diri dalam pemahaman terhadap orang lain, kepekaan perasaan dan emosi yang manusiawi, keterlibatan peserta didik secara aktif dalam kegiatan pengajaran dan efisien dalam cara belajarnya.24 Pendekatan pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subjek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran humanistik 22
Umiarso dan Zamroni, op.cit. hlm. 145. Ibid, hlm.145 24 Haryanto Al-Fandi.op.cit. hlm.191. 23
29
adalah dialogis. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Fungsi pendidik tidak semata-mata sebagai guru melainkan sebagai fasilitator dan partner dialog dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan humanis tidak hanya memperhatikan sisi intelektual (kognitif), tetapi juga sisi fisik (psikomotorik), perasaan dan emosi (afektif). Pendidikan humanis menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan. 3. Nilai-nilai Pendidikan Humanis a. Membebaskan Pendidikan merupakan proses bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal-hal paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Sejatinya setiap manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dianugerahi sebuah kebebasan. Dengan demikian antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan untuk saling mengekang dan menindas.25 b. Memanusiakan Manusia merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik, makhluk multidimensi, makhluk yang serbameliputi, sangat terbuka dan mempunyai beragam potensi. Sebagai makhluk unik, manusia
25
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 9.
30
berada pada posisi antara hewan dan malaikat, ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu syaitoniah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur). Manusia bisa diposisikan sebagai hewan, bahkan lebih rendah dari hewan ketika hanya memperturutkan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Begitupun sebaliknya, manusia akan menempati posisi yang jauh lebih mulia dari malaikat ketika ia sukses melaksanakan tugas kehidupannya, yaitu sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi dan hamba Allah (abdullah).26 Sebagai abdi, manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada Tuhannya yang menciptakan dan memberinya kehidupan di dunia ini. Pengabdian manusia kepada Tuhannya adalah pengabdian yang murni, yakni tidak menyekutukan-Nya. Disinilah sesungguhnya manusia hanya patuh dan tunduk kepada Tuhannya. Segala aturan yang membuatnya tidak patuh dan tunduk kepada Tuhannya atau bahkan menyekutukan-Nya, tentu sama sekali tidak boleh dilakukan. Sebagai abdi yang hanya patuh dan tunduk kepada Tuhannya, disini posisi manusia sesungguhnya mempunyai kemerdekaan dan setara dengan sesama manusia yang lain.27 Selain sebagai abdi, peran manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah atau wakil Tuhan di bumi ini. Sebagai khalifah, manusia diberi kebebasan sepenuhnya oleh Tuhan agar dapat menjadi wakil-nya dalam mengelola dan membuat kemakmuran di muka bumi ini. Sungguh, ini bukan peran yang main-main dan rendahan. Ini adalah peran yang besar 26
Ibid , hlm. 181. Haryanto Al-Fandi, op. cit , hlm. 40.
27
31
dan mulia. Tidak mungkin peran yang besar dan mulia ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang terbelenggu atau bahkan tertindas oleh makhluk lainnya. Peran yang besar membutuhkan manusia yang merdeka. Berdasarkan peran manusia di dunia yang sedemikian rupa, pendidikan yang diberikan atau dijalani oleh manusia haruslah senantiasa berorientasi kepada penyadaran yang membebaskan.28 c. Demokratis Hal yang paling pokok dari persoalan pendidikan humanis adalah pandangan bahwa ada kesetaraan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Pelaksanaan pendidikan yang demokratis adalah hal penting yang mesti dilakukan agar anak manusia tidak tersingkirkan dari hakikat kemanusiaannya.29 d. Dialogis Pendidikan yang dialogis dapat dilakukan jika seorang guru berpandangan bahwa tugasnya adalah mendampingi anak didik dalam proses belajar mengajar. Pada saat seorang guru berpandangan bahwa tugasnya mendampingi, yang ada dalam pola hubungan ini adalah kesejajaran. Guru tidak hanya
menjadi subjek, sedangkan murid
diperlakukan sebagai objek. Bila sudah ada pola sejajar, dialog dalam proses belajar mengajar adalah hal yang niscaya.30
28
Ibid, hlm. 41. Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit. hlm. 52. 30 Ibid, hlm. 62. 29
32
B. Novel sebagai Bentuk Sastra Dunia kesustraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra disamping genre-genre sastra yang lain.31 Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Kata novel berasal dari bahasa Italia Novella yang secara bahasa berarti barang baru yang kecil, dari, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa,32 dalam buku “Tifa Penyair dan Daerahnya”, H.B Jassin sebagaimana disampaikan Suroto dalam bukunya “Teory Dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia”, Mengemukakan bahwasanya novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang di luar biasa dalam kehidupan orang-orang, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.33 Ristri Wahyuni mengemukakan bahwa novel adalah prosa baru yang menceritakan tentang kisah perjalanan hidup pelaku utamanya yang mengandung konflik dan sangat menarik minat pembaca lebih lanjut ceritanya. Novel lebih panjang dan kompleks, setidaknya mencapai
31
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gajah MadaUniversity Press, 2013), hlm. 1. 32 Ibid, hlm. 11-12. 33 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta : Erlangga, 1989), hlm. 19
33
40.000 kata bahkan lebih.34 Dalam perjalanannya, istilah novel sering dirancukan dengan istilah fiksi lainnya seperti roman, novelet dan cerpen. Kata roman sendiri berasal dari kata romance yaitu kisah panjang, kepahlawanan dan percintaan.35 Jika novel lebih dikonsentrasikan, dipusatkan pada satu krisis dalam satu segi kehidupan, maka roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Roman biasanya mencakup pengertian sebuah karya prosa yang menceritakan kehidupan tokoh dari kecil sampai meninggal.36 Diantara contoh roman Indonesia adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan Atheis karya Akhdiyat Karta Miharja. Berbeda dengan pendapat sebelumnya Jacob Sumarjo, dalam bukunya “Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen” menyatakan bahwasanya antara roman dan novel adalah sama. Pada awalnya, semua fiksi panjang yang diterbitkan Balai Pustaka pada masa penjajahan Belanda disebut Roman, karena di Belanda pada saat menyebut semua fiksi panjang dengan istilah roman. Namun pasca perang dunia ke-2, orientasi sastrawan Indonesia mulai beralih dari Belanda ke Inggris dan Amerika yang menyebut fiksi yang panjang dengan sebutan novel.37 Sementara novelet adalah bentuk fiksi yang panjangnya antara novel dan cerpen. Novelet tampil dalam bentuk buku setebal antara 50 sampai 75 34
Ristri Wahyuni, Kitab Lengkap Puisi, Prosa dan Pantun Lama ( Jogjakarta: Saufa, 2014), hal. 181. 35 Tim Penulis, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta : PT Cipto Adi Pustaka, 1990), hlm. 196 36 Suroto, op.cit., hlm. 20 – 22. 37 Jacob Sumarjo, Catatan kecil tentang Menulis Cerpen, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997), hlm. 183
34
halaman.
Pada dasarnya novelet adalah contoh karya sastra yang
dimaksudkan untuk dibaca dalam satu waktu sekaligus (sekali duduk). Novelet memiliki jumlah tokoh dan tema terbatas. Penguraiannya agak luas dalam dan watak.38 Beberapa novelet Indonesia antara lain : “ Aki” karya Idrus, “Sri Sumarah” karya Umar Kayam dan “Koong” karya Iwan Simatupang. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra:39 a. Nilai Sosial Nilai sosial ini akan membuat orang lebih tahu dan memahami kehidupan manusia lain. b. Nilai Ethik Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri yaitu novel yang isinya dapat memausiakan para pembacanya, Novel-novel demikian yang dicari dan dihargai oleh para pembaca yang selalu ingin belajar sesuatu dari seorang pengarang untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia. c. Nilai Hedorik Nilai hedonik ini yang bisa memberikan kesenangan kepada pembacanya sehingga pembaca ikut terbawa ke dalam cerita novel yang diberikan.
38
Tim Penulis, op.cit., hlm. 197 Arianto Samier Irhash ( di akses 28 maret 2015) Pengertian Novel. Di akses dari http://www.sobatbaru.blogspot.com 39
35
d. Nilai Spirit Nilai sastra yang mempunyai nilai spirit isinya dapat menantang sikap
hidup
dan
kepercayaan
pembacanya.
Sehingga
pembaca
mendapatkan kepribadian yang tangguh percaya akan dirinya sendiri. e. Nilai Koleksi Novel yang bisa dibaca berkali-kali yang berakibat bahwa orang harus membelinya sendiri, menyimpan dan diabadikan. f. Nilai Kultural Novel juga memberikan dan melestarikan budaya dan peradaban masyarakat, sehingga pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat lain daerah.
C. Novel sebagai Media Pendidikan Humanis 1. Media Pendidikan Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan sebagaimana yang telah diterangkan panjang lebar dalam pembahasan yang sebelumnya, mutlak diperlukan berbagai alat dan metode. Istilah lain dari alat pendidikan biasa dikenal sebagai media pendidikan. Dalam sejarah umat manusia ada berbagai peristiwa yang dianggap pakar sejarah sebagai pertanda era baru. Hal tersebut diawali oleh penemuan tulisan paku pada zaman mesir kuno, penemuan tulisan paku pada zaman Assyria kuno, serta penemuan alat percetakan pada abad ke 15 di Jerman. Semuanya merupakan peristiwa penting yang membuat revolusi terhadap kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa penting itu tidaklah
36
mengubah hakikat dari tujuan pendidikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan dari dahulu hingga sekarang intinya tidak berubah, yang berubah adalah teknik, teknologi, metode dan medianya.40 Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kara medium yang secara harfiah berarti peranan atau pengantar.41 Berikut definisi-definisi yang pernah dikemukakan para pakar tentang alat atau media pendidikan : a.
Arief S. Sadiman dkk, kalau media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.42
b.
Makna media bila mengarah pada tujuan pendidikan; Zakiah Daradjat menyimpulkan inti pendapat dari Rostiyah NK., dkk, dan pendapat Vernon S. Berlack dan Donald P. Ely bahwa media pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan.43 Berpedoman pada kesimpulan dari Zakiyah Daradjat tentang fungsi
dari pengadaan media sebagai proses untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan demikian media pendidikan tidak hanya sebatas dalam pengertian media kapur, papan tulis, meja, kursi, kelas dan sebagainya, namun media cetak dan elektronik juga bisa menjadi salah satu media belajar bagi peserta didik pada zaman sekarang. Salah satu yang bisa didapatkan dari media tersebut diantaranya terdapat pada buku novel.
40
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-12, (Jakarta : Radar Jaya Offset, 1988), hlm. 168-169. 41 Arief S. Sadiman, dkk, Media pendidikan, (Jakarta : CV Rajawali, 1990), cet iv, hlm. 6 42 Ibid. 43 Zakiyah Daradjat,op.cit., hlm. 80
37
2. Novel sebagai media pendidikan Humanis Sebuah karya sastra memiliki hubungan yang khas dengan kenyataan. Oleh karena itu melalui karya sastra dapat diperlihatkan dunia-dunia lain dengan norma-norma yang dianutnya. Pembaca secara interpretative dapat menggali norma-norma dan ajaran yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.44 Dengan begitu ada konsepsi bahwa sastra dapat digunakan sebagai media pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Nilai-nilai pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan melalui media sastra (novel). Karena salah satu metode pengajaran adalah dengan menggunakan metode cerita, maka melalui media sastra (novel) ajaran-ajaran dapat disampaikan kepada peserta didik dengan lebih kreatif. Metode cerita merupakan metode pengisahan peristiwa sejarah hidup manusia masa lampau yang menyangkut ketaatannya atau kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah Allah yang dibawa oleh Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka45 Cerita merupakan salah satu media yang digunakan dalam al-Qur'an untuk membangkitkan dorongan berzikir, maka melalui cerita-cerita al-Qur'an, berusaha menanamkan nilai-nilai spiritual Islam baik berupa aqidah, muamalah, keteladan, sosial dan lain sebagainya.
44
Jan van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta : Gramedia, 1986), hlm. 85. 45 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 70.
38
Sejalan dengan al-Qur'an, Rasulullah juga menjadikan cerita sebagai salah satu sarana untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam kepada umatnya. Cerita yang berasal dari Nabi berbeda dengan cerita manusia umumnya. Cerita beliau mempunyai keistimewaan yakni didasarkan pada kejujuran, bukan rekaan dan merupakan wahyu yang disampaikan kepadanya. Prof.Dr.M Alwi al- Maliki dalam buku “Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah” menyebutkan tiga contoh cerita yang disampaikan nabi kepada para sahabatnya, yakni cerita tiga bayi bicara, ashabul ukhdud dan si botak, si gelang dan si buta.46 Metode cerita kemudian digunakan juga oleh para Walisongo dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat, dan juga media cerita ini masih dapat kita jumpai sampai sekarang aitu pada wayang kulit, yang dulu digunakan oleh Sunan Kalijogo. Meskipun tidak satu-satunya media, novel dapat diambil sebagi pelengkap media-media lain seperti televisi dan surat kabar dalam membentuk sistem nilai yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pemanfaatan novel sebagai media pembelajaran ilmu sosial merupakan upaya baru yang perlu dilakukan agar pembelajaran menjadi lebih bermakna. Setidaknya ada sisi positif dari novel yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran itu dapat diambil dari contoh cerita, yaitu lewat pemaparan kisah-kisah dalam novel. Dari novel kita tidak hanya belajar tentang cinta, tepapi kita bisa belajar tentang banyak hal. Kisah dalam novel “Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” menjelaskan bahwa sebuah novel tidak
46
M. Alwi al-Maliki, Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 94-114.
39
hanya menghibur, namun juga menawarkan nilai-nilai humanis, sebagai alternatif dari nilai-nilai yang berkembang secara umum di dalam masyarakat. Nilai-nilai pendidikan dalam novel digunakan saat pembaca bisa menangkap momentum tepat yang ada pada peran novel dengan tuntutan kreativitas dan problematika pembelajaran secara umum. Pembelajaran mempunyai peran sebagai sarana penyampai informasi, novelpun tidak diragukan lagi juga mempunyai peran tersebut. Jadi jelas bahwa upaya umtuk memanfaatkan media yang ada untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna itulah yang disebut momentum kreatifitas guru dalam pembelajaran, dan momentum itu dinamakan kreatifitas pembelajaran untuk mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna.
D. Jenis-jenis Novel Dalam dunia kesustraan, novel memiliki berbagai jenis yang berbeda, diantaranya, yaitu: 1. Jenis Novel Berdasarkan isi dan tokoh. Burhan
Nurgiyantoro
dalam
bukunya
yang
berjudul
“Teori
Pengkajian Fiksi” membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu:47 a.
Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel populer menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman,
47
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 19-28.
40
namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Agar mudah dipahami plot sengaja dibuat lancar dan sederhana, perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja pada kemauan pengarang dan bertujuan memuaskan pembaca. Adapun contoh novel populer, yaitu: Karmila, Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Cewek Komersil, dan lain-lain. 2. Novel Serius (literer) Novel serius adalah novel yang menampilkan permasalahan kehidupan yang secara lebih intens dan berusaha meresapi hakikat kehidupan. Dalam novel serius diperlukan daya konsentrasi yang tinggi untuk bisa memahaminya dengan baik. Berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar dan lain lain selalu memiliki pembaharuan. Perwatakan tokoh selalu berkembang dan tidak akan terjadi sesuatu yang stereotip. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Adapun contoh novel serius, yaitu: Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati, Pada sebuah Kapal, Burung-burung Manyar, Supernova, Ayat-ayat Cinta, dan lain-lain. 3. Novel Teenlit Novel Teenlit adalah novel yang selalu berkisah tentang tentang remaja, baik yang menyangkut tokoh-tokoh maupun permasalahannya. Para tokoh remaja itu hadir lengkap dengan karakter dan masalahnya. Tokoh utama cerita yang pada umumnya perempuan adalah tokoh yang
41
dapat diidolakan, tokoh yang berkarakter khas remaja, tokoh yang dapat dijadikan ajang pencarian identitas diri dan kelompok. Novel Teenlit juga memiliki karakteristik novel populer. Novel-novel Teenlit berkisah tentang dunia remaja dengan bahasa gaul yang khas remaja karena pada umumnya ditulis oleh remaja. Adapun contoh novel Teenlit, yaitu: Dylan Nuranditya (18 tahun) menulis DeaLova (2014), Maria Ardelia (16 tahun) menulis Me vs High Heels! Aku vs Sepatu Hak Tinggi! (2004), Gisantia Bestari (13 tahun) menulis Cinta Adisty (2004). 4. Jenis novel berdasarkan kebenaran cerita a.
Novel fiksi adalah novel yang tidak nyata atau tidak ada kejadian di dunia. Novel ini hanya fiktif (karangan) dari pengarang. Contohnya Harry Potter
b.
Novel non-fiksi adalah novel dari kejadian yang pernah ada atau ilmiah. Contohnya adalah Laskar Pelangi.
5. jenis novel berndasarkan genre cerita a.
Novel romantis. Cerita yang digambarkan dalam novel ini berupa kasih sayang dan cinta. Contohnya Ayat-ayat cinta
b.
Novel horor/menyeramkan. Novel ini berisi tentang cerita yang menakutkan. Contohnya Bangku Kosong
c.
Novel misteri. Novel ini berisi tentang misteri. Contohnya novel Agatha Christie
42
d.
Novel komedi. Novel ini berisi tentang cerita komedi yang membuat kita ketawa. Contohya Kambing jantan.
e.
Novel inspiratif. Berisi tentang cerita kisah inspiratif. Contohnya Negeri 5 Menara.48
E. Unsur-unsur Intrinsik Novel Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya satra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrisnsik inilah yang membuat novel berwujud.
49
Adapun unsur-unsur
intrinsik yang terdapat di dalam novel, yaitu: 1. Tema Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yangmendasari suatu karya sastra.
50
Sedangkan Burhan Nurgiyantoro menyebut tema sebagai
gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur
semantis
dan
bersifat
abstrak
yang
secara
berulang-ulang
dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.51
48
Guru IPA Purwokerto, (di akses 20 April 2015), Ciri-ciri Novel dan Jenis-jenis Novel, diakses dari http://laportadoradesuenos.blogspot.com/2015/02/ciri-ciri-novel-dan-jenis jenis-novel.html 49 Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 30. 50 Sudjiman, Panuti, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988),hlm.50 51 Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 115.
43
Tema cerita dapat dinyatakan dengan jelas artinya dinyatakan secara eksplisit atau disebut juga tema tersurat. Tema semacam ini dapat terlihat dari judul karya atau dinyatakan secara simbolik. Tema tersurat relatif mudah ditemukan. Tema suatu cerita novel juga dapat dinyatakan secara implisit atau tersirat, artinya tema tidak dinyatakansecara tegas tetapi terasa dalam jalinan cerita suatu karya sastra novel. Tema dalam karya sastra novel dapat dibedakan atas tema mayor atau tema pokok dan tema minor atau tema bawahan. Tema mayor atau tema pokok disebut juga tema sentral, merupakan permasalahan yang paling dominan menjiwai suatu karya sastra novel. Sedangkan tema minor atau tema bawahan disebut juga tema sampingan, merupakan percabangan dari tema mayor. Tema yang menjadi permasalahan dalam karya sastra novel sangat beragam, namun kenyataannya sering terlihat bahwa ada pengarang yang selalu menggarap tema yang sama dalam setiap karya novelnya. Hal ini menunjukkan bahwa tema suatu karya novel dipengaruhi oleh pilihan atau selera pribadi pengarang, di mana pengarang akan selalu menulis cerita-cerita yang diakrabinya dan menghindari hal-hal yang tidak disukainya. 2. Alur Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.52 Dalam sebuah
52
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 167.
44
cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur.53 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berupa binatang atau benda.54 Sudjiman membagi tokoh cerita berdasarkan fungsinya menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan.
55
Tokoh sentral atau tokoh utama merupakan
tokoh yang memegang peran sebagai pimpinan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu tokoh termasuk tokoh utama tidak semata-mata frekuensi kemunculan tokoh tersebut, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Tokoh utama yang mewakili sifat-sifat terpuji biasa disebut tokoh protagonis.
Tokoh
utama
penentang
utama
dari
protagonis
adalah
antagonis/atau tokoh lawan. Di samping protagonis dan antogonis, termasuk tokoh sentral adalah wirawan atau wirawati, yaitu tokoh yang mempunyai keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan tindakannya. Sedangkan yang dimaksud dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh bawahan yang protagonis disebut tokoh andalan. Tokoh-tokoh bawahan tidak
53
Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.29. Ibid, hlm. 16. 55 Ibid, hlm. 17. 54
45
memegang peranan di dalam cerita disebut tokoh tambahan. Penyajian watak dan penciptaan citra tokoh disebut penokohan.56 Menurut Abrams yang dikutip oleh Nurgiyantoro bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.57 Penokohan perlu dilakukan, karena tokoh-tokoh yangada dalam cerita merupakan rekaan pengarang sehingga yang mengenal mereka hanya sang pengarang saja. Agar tokoh dikenal oleh pembaca, maka perlu digambarkan ciri dan sikap,baik lahir maupun batinnya. Ada dua cara untukmenggambarkan tokoh cerita, yaitu cara langsung dan cara tak langsung. Penokohan secara langsung dilakukan oleh pengarang dengan cara memaparkan saja watak tokohnya baik secara fisik atau ciri lahiriyah maupun batin atau watak tokoh,dan dapat pula menambahkan komentar tentang watak tersebut. Sedangkan cara tak langsung watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, dapat pula dari penampilan fisiknya serta gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan dan lakuan serta pikiran tokoh yang dipaparkan pengarang dapat menyiratkan sifat watak tokoh tersebut.58 4. Latar atau seting Latar atau seting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu 56
Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.19-23. Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 247. 58 Sudjiman, Panuti, op.cit.hlm.23-27. 57
46
karya sastra membangun latar cerita. 59Suatu cerita tak lain merupakan lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat. Dalam suatu sastra novel, latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya. Di samping itu, latar juga berfungsi sebagai proteksi keadaan batin paratokoh, latar menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh. Hudson melalui Sudjiman membagi latar menjadi latar sosial dan latar fisik/material.60 Latar sosial menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, dan bahasa yang melatari suatu peristiwa. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya seperti bangunan, daerah, dan waktu yang melatari suatu peristiwa. Secara sederhana latar dapat dikatakan segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yangberkaitan dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Di samping itu, aspek ruang dalam menggambarkan tempat/lokasi terjadinya peristiwa dalam cerita adalah sangat penting. Aspek waktu adalah seluruh rentangan waktu atau jangkauan yang digambarkan dalam cerita. Adapun aspek suasana adalah aspek yang melukiskan suasana sekeliling saat terjadinya peristiwa yang menjadi pengiring atau latar belakang kejadian yang pentingmenentukan latar cerita.Tokoh dan latar merupakan dua unsur yang erat hubungan dan tunjang menunjang. Untuk membuat tokoh-tokoh yang meyakinkan, pengarang harus 59
Ibid, hlm. 44 Ibid, hlm. 44
60
47
melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas tentang sifat manusia, serta kebiasaan bertindak dan berujar dalam lingkungan masyarakat yang dijadikan latar cerita. Latar dalam fiksi bukan hanya sekedar background yang menunjukkan tempat dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen dan novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam suatu waktu, harus ada tempat dan ruang kejadian. Dengan kata lain, latar tidak hanya terbatas pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi terdapat beberapa unsur lain yang termasuk di dalamnya antara lain suasana, alam atau lingkungan, dan periode.
F. Nilai-nilai Pendidikan Humanis dalam Novel 1. Membebaskan Di dalam pendidikan humanis, anak diarahkan untuk memahami potensi dasar yang ada di dalam dirinya sendiri. Setiap anak dihargai kelebihannya dan di pahami kekurangannya. Mereka diarahkan untuk belajar secara aktif, dimana guru berperan sebagai fasilitator. Siswa belajar tidak mungkin mengejar nilai, tetapi untuk memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan anak memiliki logika berpikir yang baik.,mencermati alam lingkungannya menjadi media belajarnya dengan media action learning dan diskusi. Anak-anak tidak hanya belajar dikelas, tetapi mereka belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Mereka tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar dari alam sekelilingnya.
48
Menurut teori belajar Rogers mengatakan bahwa keinginan untuk belajar anak diberikan kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka tanpa di halangi oleh ruang kelas, pakaian, tempat duduk, peraturan sekolah yang mematikan daya kreativitas maupun guru yang mengatur. Belajar atas inisiatif sendiri, anak-anak belajar tidak hanya selama jam belajar sekolah tetapi juga pada waktu jam bermain mereka.61 Menurut Jahja bermain sangat penting bagi anak karena mengandung dua fungsi, yaitu (1) fungsi kognitif. Melalui bermain, anak-anak dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objekobjek di sekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Melalui permainan memungkinkan anak untuk mengembangkan kopetensi dan keterampilan yang diperlukannya dengan cara yang menyenangkan, dan (2) fungsi emosi. Permainan memecahkan sebagian emosi anak, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan anak untuk melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan terpendam karena tekanan batin terlepaskan dalam permainan, sehingga anak dapat mengatasi masalahmasalah dalam kehidupannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan waktu penting bagi anak karena mampu memberikan dampak positif pada perkembangan kognitif dan perkembangan emosi anak.62
61
Eve Nelindhy, Strategi Pembelajaran Matematika Sekolah Alam, (Surakarta: Skripsi UMS, 2010), hlm. 16 62 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan ( Jakarta:Kencana, 2011), hlm.192.
49
2. Memanusiakan a. Memberikan Sugesti sebagai Bentuk Motivasi Sugesti merupakan pengaruh dari jiwa atau perbuatan seseorang sehingga mempengaruhi pikiran, perasaan, dan kemauan.63 b. Menanamkan Rasa Percaya Diri Untuk menghilangkan rasa minder pada anak juga dapat dilakukan dengan menanamkan rasa percaya diri yang mantap.64 3. Demokratis a. Menggunakan Sistem Pendidikan yang Inklusif Sistem merupakan seperangkat peraturan, prinsip, fakta, dan sebagainya yang digolongkan atau disusun dalam bentuk yang teratur untuk menunjukkan rencana logis yang berhubungan dengan berbagai bagian.65 Dalam hal ini, sistem pendidikan di Sekolah Tomoe menggunakan sistem pendidikan inklusif. Sistem pendidikan inklusif adalah pelayanan pendidikan kelompok anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama anak lain yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah anak penyandang cacat.66 Sistem pendidikan inklusif berbeda dengan sistem pendidikan reguler dan abnormal. Sistem pendidikan reguler merupakan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang normal, sedangkan 63
64
Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta:Rineka Cipta,2003), hlm. 161.
Mohammad. Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta:Bumi Aksara,2006), hlm. 20. 65 Peter Salim, dkk. Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 325. 66 Mohammad. Efendi, Op.Cit, hlm. 23
50
sistem pendidikan abnormal merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena adanya kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial.67 Dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang menggabungkan antara anak-anak normal dengan anak-anak yang menderita kelainan dalam satu sistem pendidikan. Tujuan dari sistem pendidikan ini adalah menghapuskan perbedaan antara anakanak normal dengan anak-anak yang memiliki kelainan sehingga anakanak yang memiliki kelainan dapat merasakan pendidikan yang sama dengan anak-anak normal lainnya. 4. Dialogis a. Pembelajaran Mandiri Pembelajaran mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut anak didik yang menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab.68 Pembelajaran mandiri diawali dengan konsep yang sanget sederhana, yakni bagaimana seorang guru bisa membangkitkan selera belajar peserta didik. Cara belajar yang akan membawa siswa ke dunianya sendiri, yaitu dunia belajar yang menyenangkan, bebas, dan tanpa tekanan dari siapapun. Peserta didik benar-benar dituntut untuk berusaha secara mandiri dalam memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya.
Jika
mendapat
kesulitan,
barulah
mendiskusikannya dengan teman, guru atau orang lain.69
67
Ibid, hlm. 1. Haryanto Al-Fandi, Op.Cit. hlm. 252 69 Ibid, hlm. 253. 68
dapat
bertanya
atau
51
b. Mendampingi Belajar Peserta Didik Haryanto
mengungkapkan
seorang
pendidik
harus
lebih
meningkatkan perhatiannya terhadap hubungan dengan peserta didik seperti halnya terhadap bahan pembelajaran.70
70
Ibid, hlm. 232.