BAB II MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK A. Pembelajaran Matematika 1.
Pengertian Matematika Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya
diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan cara bernalar, yang konsepnya tersusun secara terorganisasi serta sistematik, memiliki pola dan hubungan antar konsep yang saling terkait, dan berkaitan dengan pemecahan masalah bilangan. Terdapat berbagai macam definisi matematika dari para ahli diantaranya. Menurut Ruseffendi, dkk. (1992), “matematika sebagai ilmu deduktif, bahasa, seni, ratunya ilmu, ilmu tentang struktur yang terorganisasikan, dan ilmu tentang pola dan hubungan”. Matematika disebut ilmu deduktif karena proses mencari kebenarannya tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang lain. Dalam matematika, proses menarik simpulan harus benar-benar hati-hati, tidak hanya mengira-ngira, tidak bersifat kemungkinan, dan harus dibuktikan secara deduktif.
Sebagai
bahasa, matematika merupakan bahasa internasional dan umum digunakan oleh semua negara di dunia, simbol-simbol dalam matematika berlaku secara universal dan disepakati oleh orang-orang yang mempelajari matematika. Matematika juga disebut sebagai ratunya ilmu karena matematika tidak tergantung pada bidang studi lain yang ada, dalam bahasa dan simbol yang berlaku. Matematika merupakan seni, karena dalam matematika terdapat banyak keteraturan dan keterurutan seperti halnya dalam seni. Keindahan dalam matematika tidak terbantahkan, misalnya dalam keterurutan angka dan dalam keteraturan bangun geometri. Dalam matematika dipelajari keterurutan suatu konsep dan hubungan
12
13
antar konsep tersebut, sehingga terlihat antara satu konsep dengan konsep lain yang saling berkaitan. Pendapat lain dikemukakan oleh Reys, dkk. (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2010), “matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat”. Selain itu, Menurut Sujono (dalam Fathani, 2008) mengemukakan beberapa pengertian matematika diantaranya sebagai berikut. 1) Matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak yang terorganisasi secara sistematik. 2) Matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. 3) Matematika sebagai ilmu bantu dalam menginterpretasikan berbagai ide dan simpulan. Dari beberapa pengertian matematika yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat diambil suatu pengertian dari matematika itu sendiri. Matematika merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis yang didalamnya mempelajari pola dan hubungan yang dalam pencarian kebenarannya tidak dapat disamakan dengan ilmu pengetahuan yang lain. Matematika memerlukan suatu sikap hati-hati dalam mengambil simpulan yang akan dikomunikasikan kepada dunia dengan suatu bahasa yang disebut bahasa matematika. 2.
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Menurut Dananjaya (2012), “pembelajaran merupakan proses aktif peserta
didik yang mengembangkan potensi dirinya”. Selanjutnya Corey (dalam Sagala, 2006, hlm. 61), “pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan”. Sementara pendapat lain dikemukakan oleh Fontana (dalam Sudirjo dan Sutardi, 2007), “pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal”. Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan yang didalamnya terdapat upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik melalui pengelolaan lingkungan agar tercapai tujuan dari pembelajaran. Sementara itu,
14
pembelajaran matematika merupakan suatu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik terhadap ilmu pengetahuan matematika melalui pengelolaan lingkungan yang mempunyai keterkaitan dengan matematika agar tercapai tujuan dari mempelajari matematika. 3.
Karakteristik Pembelajaran Matematika di SD Karakteristik pembelajaran matematika di SD menurut Suwangsih dan
Tiurlina (2010), pembelajaran matematika di SD berbeda dengan pembelajaran ilmu pengetahuan yang lain. Oleh karena itu, seorang guru SD atau calon guru SD perlu mengetahui beberapa karakteristik pembelajaran matematika di SD. 1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan dimana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengkaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya akan menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari suatu topik matematika sesudahnya. 2) Pembelajaran matematika bertahap. Materi pelajaran matematika diajarkan dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit. Pembelajaran matematika juga dimulai dari konsep yang konkret, ke semi konkret, kemudian konsep abstrak. 3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif. Pembelajaran matematika di SD menggunakan metode induktif karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik meskipun matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif. 4) Pembelajaran matematika menganut ilmu konsistensi. Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada kebenaran yang bertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. 5) Pembelajaran matematika sebaiknya bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian daripada menghafal. Dalam belajar bermakna, aturan-aturan sifat-sifat, dan dalil-dalil ditemukan oleh peserta didik melalui contohcontoh induktif di SD kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya. Berdasarkan uraian diatas maka pembelajaran matematika harusnya merupakan pembelajaran yang bermakna sehingga membuat peserta didik memaknai pembelajaran dan memahami materi yang diajarkan melalui konsep matematika yang diberikan mulai dari benda-benda konkret kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum.
15
4.
Tujuan Pembelajaran Matematika di SD Tujuan mata pelajaran matematika di SD dapat dilihat pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (BSNP, 2006, hlm. 30), yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan pertanyaan dan pernyataan matematika. c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditemukan tujuan mempelajari matematika yang lain yaitu agar peserta didik dapat berkomunikasi tentang matematika dengan baik dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, tujuan mempelajari matematika menurut KTSP akan membuat peserta didik menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi yang meliputi pemahaman, penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, dan koneksi.
5.
Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di Kelas IV SD Ruang lingkup pembelajaran matematika menurut Adjie dan Maulana (2006)
meliputi tiga bidang, yaitu sebagai berikut. a. Bilangan, kajian bilangan di SD meliputi melakukan dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah dan menaksir operasi hitung. b. Pengukuran dan Geometri, kajiannya di SD meliputi mengidentifikasi bangun datar dan bangun ruang menurut sifat, unsur, atau kesebangunannya, melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling, luas, volume, dan satuan pengukuran, menaksir ukuran (misal: panjang, luas, volume) dari benda atau bangun geometri, menentukan dan menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem koordinat. c. Pengolahan Data di SD, pengolahan data meliputi: mengumpulkan, menyajikan, dan menafsirkan data (ukuran pemusatan data).
16
Dari ketiga bidang tersebut, penelitian yang dilakukan termasuk kepada bidang kajian bilangan. Lebih tepatnya, pada subpokok bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan. Yang tercakup dalam subpokok bahasan ini adalah menjumlahkan pecahan dan mengurangkan pecahan. Penelitian
yang dilakukan
dalam
upaya
meningkatkan
kemampuan
komunikasi matematis peserta didik SD kelas IV terhadap materi pecahan yang terdapat pada standar kompetensi nomor 6 yakni menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah dengan kompetensi dasar nomor 6.3 menjumlahkan pecahan dan 6.4 mengurangkan pecahan. Berikut ini merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran matematika untuk kelas IV semester 2 yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006, hlm. 34-35).
6.
Pecahan Pecahan adalah nilai bilangan antara dua bilangan cacah yang ditulis
a b
dengan a dan b bilangan cacah dan bersyarat b ≠ 0, dalam hal ini a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Oleh karena itu, pecahan bukan merupakan bilangan cacah. Pecahan terdiri dari dua jenis, yaitu pecahan senilai dan pecahan campuran. Pecahan senilai merupakan suatu bentuk pecahan yang dalam penulisannya berbeda tetapi mempunyai nilai yang sama, sedangkan pecahan campuran merupakan pecahan yang memiliki campuran nama bilangan bulat dan nama pecahan biasa.
a
b
merupakan pecahan campuran karena a merupakan nama
c
bilangan bulat,
b
merupakan nama pecahan biasa. Pecahan campuran dengan
c a
b
dengan c ≠ 0 dapat dinyatakan dengan pecahan biasa.
c
a.
Operasi Hitung Pecahan Operasi hitung pada pecahan tidak berbeda dengan operasi hitung pada
bilangan lainnya. Operasi hitung pada pecahan di antaranya yaitu operasi
17
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dalam penelitian ini akan dilakukan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pada pecahan. 1) Penjumlahan Pecahan Terdapat empat hal penting dalam operasi hitung penjumlahan pecahan yang harus diperhatikan di antaranya yaitu sebagai berikut. a)
Operasi penjumlahan pecahan dengan pembilang dan penyebut sama dapat dilakukan
dengan
cara
langsung
menjumlahkan
pembilang
dengan
pembilangnya namun penyebutnya tetap. Contoh:
6
6
6
6
6
6
12
6
2
6
b) Operasi penjumlahan pecahan dengan pembilang berbeda dan penyebut sama dapat dilakukan dengan cara menjumlahkan pembilang-pembilangnya saja. Contoh: c)
1
5
4
4
1
5
=
4
6 4
Operasi penjumlahan dengan pembilang sama dan penyebut berbeda dapat dilakukan dengan cara mengubah dahulu pecahan yang akan dijumlahkan dengan cara menyamakan penyebutnya menjadi penyebut yang baru. Menyamakan penyebut dengan cara mencari KPK dari penyebut-penyebutnya semula. Setelah penyebutnya sama barulah dijumlahkan dengan pembilangpembilangnya. Contoh:
2
2
2
4
2
3
8
6
14
3
4
3
4
4
3
12
12
12
d) Operasi penjumlahan dengan pembilang berbeda dan penyebut berbeda dapat dilakukan dengan cara mengubah dahulu pecahan yang akan dijumlahkan kemudian disamakan penyebutnya menjadi penyebut baru. Contoh:
1
3
14
28
2
3 28
5 28
2) Pengurangan Pecahan Seperti halnya dengan operasi penjumlahan pecahan, operasi pengurangan pada pecahan juga mempunyai hal yang harus dipehatikan di antaranya yaitu sebagai berikut.
18
a)
Mengurangkan pecahan dengan pembilang berbeda dan penyebut yang sama, maka dapat dilakukan dengan mengurangkan pembilang-pembilangnya sedangkan penyebut tidak dikurangkan. Contoh:
3
1
5
5
3
1
4
5
5
b) Mengurangkan pecahan dengan penyebut berbeda, maka dapat dilakukan dengan cara menyamakan penyebut dengan mencari KPK kedua bilangan atau mencari bentuk pecahan senilai kemudian kurangkan pecahan baru seperti pada operasi hitung pengurangan pecahan berpenyebut sama. Contoh: 5
1
8
6
8
2
9
3
(5
3)
(1
4)
15
24
4 24
11
(dengan KPK).
24
(dengan pecahan senilai).
.....
Bentuk pecahan senilai
8
adalah
9
Bentuk pecahan senilai
2
16 18
adalah
3
Pecahan
8
senilai
9 8
2
16
9
3
18
16
dan pecahan
18
-
12 18
=
,
24 27
,
32 36
,
40 45
4 6 8 10 12 14 , , , , , 6 9 12 15 18 21 2 3
senilai
12 18
4 18
B. Komunikasi Matematis 1.
Pengertian Komunikasi Matematis Secara umum, banyak aktivitas pembelajaran yang dialami oleh peserta didik
melalui komunikasi. Dalam melakukan komunikasi, peserta didik membutuhkan suatu alat yang dinamakan bahasa. Matematika merupakan salah satu bahasa yang dapat digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa dalam matematika bersifat universal. Berikut pengertian komunikasi matematis menurut para ahli. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online secara terminologi ”komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak.
19
Komunikasi adalah cara untuk berbagi (sharing) ide, gagasan dan mengklarifikasi pemahaman kepada sesama”. Effendy (2006) mengemukakan bahwa “komunikasi adalah
suatu proses
menghasilkan kesamaan makna antara dua orang atau lebih yang saling bertukar informasi”. Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Nangoy (2005) bahwa “komunikasi adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal maupun nonverbal”. Schoen, Bean, dan Ziebarth (dalam Anggoro, 2014) menyatakan bahwa, komunikasi matematis adalah kemampuan peserta didik dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan peserta didik mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan peserta didik memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan antara peserta didik dengan peserta didik lain dalam menerima atau mengirim infomasi. Dalam hal ini informasi yang dikirim maupun diterima peserta didik dapat berupa kata-kata, grafik, persamaan, dan sajian dalam bentuk gambar serta peserta didik mampu menjelaskan suatu bahasa matematika dengan caranya sendiri untuk memecahkan masalah karena telah tercapainya suatu proses yang menghasilkan kesamaan makna. 2.
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Mengukur suatu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta
didik dapat dilihat dari indikator kemampuan yang akan diukur tersebut. Begitu juga dengan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Berikut ini merupakan indikator kemampuan komunikasi peserta didik menurut Maulana (2011). a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan grafik ke dalam ide matematika. b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis, secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar. c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematka. d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
20
f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi. g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. Dengan kemampuan komunikasi matematis, peserta didik akan memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan. Selain itu, pembelajaran materi pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk mengasah kemampuan komunikasinya dengan cara melakukan suatu aktivitas komunikasi yang terdapat dalam turnamen pada saat proses pembelajaran.
C. Model Pembelajaran Kooperatif 1.
Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Suwangsih dan Tiurlina (2010) mengemukakan bahwa, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih untuk memecahkan masalah. Menurut Sanjaya (2006) ”pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil secara heterogen”. Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Huda (2012) “pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengacu pada metode pembelajaran dimana peserta didik bekerjasama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar”. Suprijono (2012) mengemukakan bahwa: model pembelajaran kooperatif adalah suatu konsep pembelajaran kelompok yang diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan pertanyaanpertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang harus dipecahkan. Hal senada dikemukakan oleh Majid (2014) “pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran”.
21
Dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik simpulan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil secara heterogen. Dalam pengelompokkan ini, guru memfasilitasi peserta didik untuk dapat bekerjasama dalam menyelesaikan masalah. 2.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif Suatu model pembelajaran yang digunakan untuk membelajarkan peserta
didik pada dasarnya memiliki tujuan. Tujuan pembelajaran kooperatif menurut Majid (2014), di antaranya sebagai berikut. a. Meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik. b. Agar peserta didik dapat menerima teman-temannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda. c. Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. Pembelajaran kooperatif akan meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik karena peserta didik akan terbiasa untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
yang
berbeda
yang
diberikan
oleh
guru.
Permasalahan yang mampu diselesaikan oleh peserta didik selanjutnya akan mengasah kemampuan peserta didik dan kinerja dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Pembelajaran kooperatif akan membuat peserta didik mampu menerima teman-temannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Peserta didik akan terbiasa bergaul dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang. Pembelajaran kooperatif akan mengembangkan keterampilan sosial peserta didik.
Keterampilan
sosial
tersebut
berkembang
dikarenakan
aktivitas
berkelompok yang dilakukan oleh peserta didik selalu melibatkan peserta didik lain. Selanjutnya Sadker dan Sadker (dalam Huda, 2012) mengungkapkan tujuan pembelajaran kooperatif di antaranya sebagai berikut. a. Agar peserta didik memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi. b. Peserta didik akan memiliki sikap harga diri yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar. c. Peserta didik akan lebih peduli kepada teman-temannya dan akan timbul rasa ketergantungan yang positif. d. Akan meningkatkan rasa penerimaan peserta didik terhadap temantemannya yang berasal dari latar belakang dan etnik yang berbeda.
22
Melalui pembelajaran kooperatif, peserta didik akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi. Hal tersebut meliputi produktivitas belajar yang semakin meningkat, daya ingat yang lebih lama, motivasi dari dalam peserta didik lebih besar, motivasi peserta didik untuk berprestasi lebih tinggi, lebih disiplin, dan mempunyai keterampilan berpikir kritis yang lebih baik. Pembelajaran kooperatif akan membuat peserta didik memiliki motivasi belajar yang bertambah karena didorong oleh rasa ingin bersaing dengan temantemannya. Persaingan tersebut muncul karena ingin mempertahankan harga diri. Ketika peserta didik tersebut dapat menyelesaikan suatu permasalahan kemudian di presentasikan di depan teman-temannya, secara tidak langsung akan memunculkan rasa bangga dari dalam diri peserta didik yang merupakan harga diri peserta didik. Tanggung jawab yang diberikan kepada tiap tim akan membuat peserta didik lebih peduli kepada teman-temannya terutama ketika peserta didik di dalam tim diberi suatu permasalahan yang harus dicari solusinya bersama dengan teman satu timnya. Dengan pembelajaran kooperatif akan membuat peserta didik mampu menerima temannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Penerimaan tersebut berkaitan dengan saling ketergantungan antara peserta didik di dalam tim agar menjadi tim yang terbaik. 3.
Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Suatu model yang digunakan dalam rangka membelajarkan peserta didik
tidak terlepas dari karakteristik yang dimiliki oleh model pembelajaran tersebut. Salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif. Menurut Lie (2005), terdapat lima karakteristik dalam pembelajaran kooperatif, di antaranya sebagai berikut. a. Saling ketergantungan positif. b. Tanggung jawab perseorangan. c. Interaksi tatap muka. d. Partisipasi dan komunikasi. e. Evaluasi proses tim. Saling ketergantungan positif adalah perasaan di antara anggota tim dimana keberhasilan peserta didik yang satu merupakan keberhasilan peserta didik lainnya dalam satu tim. Semua anggota di dalam kelompok harus merasakan tenggelam
23
dan berenang bersama. Saling ketergantungan positif dapat menciptakan suasana dimana peserta didik dapat melihat bahwa hasil kerjanya bermanfaat bagi semua anggota timnya dan hasil kerja anggota timnya juga dapat bermanfaat bagi dirinya, bekerjasama dengan tim kecil dengan saling berbagi sumber-sumber yang didapat agar seluruh anggota di dalam tim dapat saling mendukung, mendorong, dan merayakan keberhasilan bersama. Setiap peserta didik dalam tim harus meyakini bahwa mereka dapat mencapai tujuan belajar jika semua anggota dalam tim juga dapat mencapai tujuan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu perlakuan yang akan menimbulkan peserta didik di dalam tim memiliki rasa tanggung jawab terhadap timnya. Dalam pembelajaran kooperatif dilakukan interaksi tatap muka untuk meningkatkan kemampuan komunikasi di antara peserta didik. Interaksi tatap muka yang dilakukan akan memecahkan suatu permasalahan yang akan diselesaikan. yang harus dilakukan di antaranya yaitu ikut serta membantu anggota timnya untuk mencari alternatif jawaban yang mungkin untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ketika peserta didik di dalam tim berpartisipasi maka sudah dipastikan bahwa peserta didik tersebut juga melakukan suatu komunikasi. Evaluasi proses tim dalam pembelajaran kooperatif yaitu dengan cara mengevaluasi hasil belajar tim peserta didik. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara memberikan soal tertulis maupun lisan agar peserta didik juga terampil dalam melakukan komunikasi. 4.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran yang digunakan pada saat pembelajaran memiliki
kelebihan dan kekurangan. Menurut Sanjaya (2006, hlm. 247), kelebihan dari model pembelajaran kooperatif di antaranya adalah sebagai berikut. a. Peserta didik tidak terlalu menggantungkan pembelajaran kepada guru. b. Model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan peserta didik. c. Membantu peserta didik untuk memberikan respon kepada orang lain dan menyadari segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. d. Membantu memberdayakan peserta didik agar bertanggung jawab dalam belajar. e. Model pembelajaran kooperatif ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial.
24
f. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri. g. Meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menggunakan informasi dan kemampuan yang abstrak menjadi nyata. h. Meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. i. Penilaian yang diberikan berdasarkan pada hasil kerja tim. j. Mengembangkan kesadaran berbentuk belajar tim memiliki periode yang cukup panjang. Melalui belajar tim, peserta didik dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari peserta didik lain sehingga tidak menggantungkan pembelajaran kepada guru. Model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan individu. Misalnya, peserta didik dapat mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide peserta didik lain. Model pembelajaran kooperatif melatih peserta didik untuk menerima orang lain dari berbagai latar belakang menjadi teman satu timnya. Misalnya, terdapat peserta didik yang berasal dari Sumatra yang dikelompokkan dengan anggota yang kebanyakan berasal dari Cirebon. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik yang berasal dari Cirebon tidak boleh mengucilkan temannya yang berasal dari Sumatra. Model pembelajaran kooperatif membantu peserta didik untuk bertanggung jawab dalam belajar. Untuk memastikan bahwa peserta didik bertanggung jawab dalam pengerjaan tugas timnya, guru perlu menilai seberapa banyak kontribusi yang diberikan oleh setiap anggota dalam timnya, memberikan umpan balik atas hasil penilaiannya, membantu setiap tim menghindari usaha yang berlebihan yang dilakukan oleh para anggotanya, dan memastikan bahwa setiap anggota bertanggung jawab atas hasil akhir timnya masing-masing. Pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan prestasi akademik karena pembelajaran kooperatif banyak dilakukan dengan berinteraksi dengan orang lain sehingga peserta didik banyak menemukan atau mendalami suatu konsep pada saat mereka berada dalam tim. Hal tersebut akan disimpan pada memori jangka panjang peserta didik. Melalui model pembelajaran kooperatif, peserta didik dapat menguji ide dan pemahamannya sendiri dengan cara mencari alternatif jawaban yang mungkin
25
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diselesaikan. Meningkatkan kemampuan peserta didik yang pada awalnya bersifat abstrak seperti soal-soal matematika yang berbentuk pecahan akan diinformasikan ke dalam bentuk yang konkret atau nyata yang berupa manfaat belajar pecahan untuk kehidupan seharihari. Misalnya, membagi pizza menjadi enam bagian. Pembelajaran kooperatif meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Dalam pengerjaan tugas dalam tim yang membutuhkan waktu yang cukup panjang, peserta didik akan mendapat rangsangan untuk berpikir. Ketika peserta didik terbiasa dengan proses yang dijalani dalam timnya, maka peserta didik tersebut akan termotivasi untuk belajar. Hal senada dikemukakan oleh Tamsyani (Tanpa tahun) mengenai kelebihan model pembelajaran kooperatif di antaranya sebagai berikut. a. Dapat mengurangi rasa kantuk dibandingkan dengan belajar sendiri. b. Dapat merangsang motivasi belajar. c. Ada tempat bertanya. d. Kesempatan melakukan resitasi oral. e. Membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat. Pembelajaran kooperatif dapat mengurangi rasa kantuk dibandingkan dengan belajar sendiri. Ketika peserta didik belajar sendiri dengan mempelajari pelajaran yang kurang menarik atau pelajaran yang sulit dapat menimbulkan rasa bosan dan mengantuk. Hal tersebut akan berbeda ketika peserta didik belajar bersama dengan orang lain. Dengan belajar bersama dengan orang lain, akan memaksa peserta didik untuk aktif dalam belajar. Ketika mengalami kebosanan dalam belajar, peserta didik mempunyai kesempatan untuk bercanda dengan temannya. Melalui kerja tim, akan menimbulkan perasaan saingan di antara peserta didik. Setiap anggota dalam tim pasti ingin mendominasi timnya. Ketika temannya mendapatkan nilai yang lebih baik, maka peserta didik akan berusaha mengejar ketertinggalannya. Bekerja secara tim memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya. Apabila peserta didik belajar sendiri, ketika terdapat permasalahan yang sulit dipecahkan sendiri maka peserta didik tersebut akan kesulitan untuk mencari solusi. Hal demikian akan berbeda ketika peserta didik bekerja dalam tim. Dalam belajar tim seringkali dapat memecahkan permasalahan
26
yang sebelumnya sulit untuk dipecahkan sendiri. Jika dalam satu tim terdapat lima anggota. Maka untuk menyelesaikan permasalahan yang sulit akan ada lima ide yang diperoleh untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dalam bekerja secara tim, peserta didik akan dapat melakukan resitasi oral. Resitasi oral merupakan cara peserta didik dalam mengekspresikan apa yang telah dipelajari dan diketahui dengan menggunakan bahasa sendiri. Bahasa yang dikemukakan oleh peserta didik akan dengan mudah dipahami oleh peserta didik yang lain. Melalui kerja tim, akan dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat. Misalnya, ketidaksepakatan yang terjadi didalam tim. Ketidaksepakatan
ini
akan
menimbulkan
suatu
perdebatan.
Setelah
perdebatan ini peserta didik akan dengan mudah mengingat apa yang diperdebatkan dibandingkan dengan peristiwa lain. Dari peristiwa tersebut ada telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, emosi, dan tangan yang menulis. Semuanya akan teringat dikepala dibandingkan dengan belajar sendiri yang hanya rekaman dari mata ke otak. Disamping kelebihan yang dimiliki oleh model pembelajaran kooperatif, terdapat
juga
kekurangannya.
Tamsyani
(Tanpa
tahun)
mengemukakan
kekurangan model pembelajaran kooperatif, antara lain sebagai berikut. a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang. b. Membutuhkan dukungan fasilitas dan biaya yang memadai. c. Memerlukan banyak waktu. d. Dominasi seseorang dalam tim yang membuat peserta didik lainnya pasif. Untuk memulai belajar tim, guru harus mempersiapkan segala sesuatu secara matang. Ketika peserta didik belajar di dalam tim akan membutuhkan lebih banyak tenaga, waktu, dan pikiran. Selain itu, memulai belajar tim membutuhkan dukungan dari sekolah seperti fasilitas, alat, dan biaya yang mumpuni. Ketika kegiatan belajar tim berlangsung, tak dapat dipungkiri akan menimbulkan kecenderungan mengenai topik yang dibahas. Jika topik tersebut meluas, maka akan timbul berbagai kemungkinan terhadap pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, waktu yang melebihi target yang ditentukan.
27
Belajar secara bertim akan memerlukan banyak waktu. Misalnya, untuk memecahkan suatu konsep tentang pecahan yang sebelumnya tidak diberikan penyajian materi terlebih dahulu akan membuat peserta didik tidak memfokuskan diri pada permasalahan yang akan diselesaikan. Untuk mengatasinya, guru harus tegas dalam memberikan tenggang waktu yang diberikan kepada peserta didik. Untuk mengatasi dominasi oleh salah satu peserta didik saja yang aktif dalam tim dapat dilakukan dengan cara membagi tugas kepada setiap anggota tim. Pembagian tugas yang diberikan secara bergantian akan mengurangi dominasi di dalam tim. 5.
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Slavin (2005) mengemukakan bahwa, TGT merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang sama dengan STAD, kecuali TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan akademik, dimana para peserta didik berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya sama seperti mereka. Menurut Suwangsih dan Tiurlina (2006), “pembelajaran kooperatif tipe TGT
merupakan pembelajaran yang membuat peserta didik belajar dalam timnya untuk mempersiapkan diri agar soal-soal yang diberikan melalui turnamen dapat terselesaikan”. Selanjutnya Huda (2012) mengemukakan bahwa “TGT merupakan salah satu strategi pembelajaran kooperatif yang berguna untuk membantu peserta didik mereview dan menguasai materi pelajaran”. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan seluruh aktivitas peserta didik tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran peserta didik sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan peserta didik dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
28
6.
Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe salah satunya yaitu
tipe TGT. Untuk melaksanakan pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT ini harus memahami benar sintaks pembelajarannya. Berikut ini terdapat beberapa pendapat para ahli mengenai sintaks model pembelajaran kooperatif tipe TGT. a.
Menurut Saco (dalam Rusman, 2013, hlm. 224) Saco
mengungkapkan
bahwa
pembelajaran
kooperatif
tipe
TGT
memungkinkan peserta didik memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan ini dapat disusun oleh guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Namun, dapat diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan tim. Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaanpertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Turnamen harus memungkinkan seluruh peserta didik dari semua tingkatan kemampuan kepandaian untuk menyumbangkan poin bagi timnya. b.
Menurut Slavin (2005) Slavin mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TGT sama saja
dengan STAD kecuali dua hal yaitu dalam TGT terdapat turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis untuk mendapatkan skor kemajuan individu sehingga peserta didik harus berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara. Sintaks dari pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berikut. 1) Presentasi di kelas. 2) Tim. 3) Turnamen. 4) Rekognisi tim.
Presentasi di kelas, materi yang akan digunakan untuk model pembelajaran kooperatif tipe TGT pertama-tama diperkenalkan oleh guru dalam presentasi di kelas. Presentasi ini merupakan pengajaran langsung kepada peserta didik yang dipimpin oleh guru. Presentasi ini harus benar-benar fokus pada materi yang akan
29
digunakan dalam TGT. Sadarkan peserta didik agar harus benar-benar memperhatikan presentasi yang diberikan agar mereka dapat menjawab soal yang berbentuk games yang terdapat pada turnamen akademik. Tim, guru mengelompokkan peserta didik ke dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima peserta didik yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal prestasi akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis. Fungsi utama dari tim ini yaitu untuk
memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan
mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan soal games dan turnamen dengan baik. Turnamen adalah tempat dimana games berlangsung. Biasanya dilakukan pada akhir unit atau akhir minggu setelah guru melakukan presentasi di kelas dan tim telah melakukan kerja tim. Penempatan peserta didik menurut Slavin tampak seperti gambar 2. 1 berikut ini. A-1 Tinggi
TIM A
Meja Turnamen 1
A-2 Sedang
A-3 Sedang
Meja Turnamen 2
B-1 B-2 B-3 B-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
TIM B
A-4 Rendah
Meja Turnamen 3
Meja Turnamen 4
C-1 C-2 C-3 C-4 Tinggi Sedang Sedang Rendah
TIM C
Gambar 2.1 Penempatan Peserta Didik pada Meja Turnamen Rekognisi tim, tim akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan yang lain apabila skor rata-ratanya mencapai kinerja tertentu. Skor tim peserta didik akan menentukan 20% dari peringkat peserta didik. Berdasarkan kedua pendapat para ahli di atas, sintaks model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang diambil yaitu pendapat Slavin. Sintaks yang telah
30
dirancang oleh Slavin dapat diterapkan dengan mengalami sedikit perubahan dikarenakan terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu ingin mendapatkan kekhasan dari model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang berbeda dan penyesuaian model dengan materi yang akan dikaji yaitu mengenai penjumlahan dan pengurangan pecahan. Perbedaan tersebut terdapat pada ketentuan pelaksanaan dan aturan turnamen. Perubahan sintaks yang dirancang bertujuan agar peserta didik dapat menguasai materi penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan benar sehingga dapat dikomunikasikan kepada peserta didik lainnya. Gambaran sintaks yang telah dirancang seperti berikut. a.
Presentasi di kelas.
b.
Tim.
c.
Turnamen.
d.
Rekognisi tim. Presentasi di kelas, pertama-tama guru menyampaikan kepada peserta didik
bahwa pada proses pembelajaran mereka akan melakukan turnamen antar tim sehingga mereka harus memperhatikan dengan baik presentasi tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan yang dijelaskan oleh guru. Tim, guru mengelompokkan peserta didik ke dalam tim secara heterogen yang terdiri dari lima peserta didik sehingga terbentuk tujuh tim. Alasan membentuk tim dengan jumlah ganjil yaitu agar peserta didik di dalam tim mudah mencari solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Solusi dapat dengan mudah di ambil dengan cara menghitung suara terbanyak yang memilih alternatif solusi yang dipilih. Pengelompokkan peserta didik ke dalam tim ini berdasarkan tingkatan akademik peserta didik. Tingkatan akademik tersebut dapat dilihat dari hasil pretest yang telah dilakukan diluar pertemuan dalam pembelajaran. Peserta didik dapat melihat teman satu timnya berdasarkan lembar penempatan tim yang telah ditempel oleh guru dipojok ruang kelas. Peserta didik yang telah berkumpul dengan timnya diberikan kesempatan untuk memberikan nama untuk timnya. Lembar penempatan tim ini tercantum dalam Lampiran. Turnamen adalah tempat ketika peserta didik melakukan games. Turnamen dilakukan ketika guru telah selesai menyampaikan materi ajar dan pembentukan
31
tim. Turnamen diikuti oleh semua tim dengan masing-masing anggota tim. Langkah-langkah turnamen yang harus disampaikan oleh guru yaitu sebagai berikut. a.
Menentukan urutan peserta didik dari masing-masing tim yang akan maju sebagai perwakilan tim untuk mengambil gulungan kertas bernomor yang terdapat di dalam boks yang diletakkan pada meja guru.
b.
Guru memberitahukan kepada peserta didik yang menjadi wakil tim untuk tidak membuka gulungan kertas bernomor sebelum peluit dibunyikan oleh guru.
c.
Setelah guru meniup peluit, peserta didik yang menjadi wakil tim boleh membuka gulungan kertas bernomor kemudian mengambil kartu soal dengan nomor yang sesuai pada gulungan kertas bernomor.
d.
Peserta didik yang menjadi wakil tim harus membawa kartu soal yang telah didapat kepada timnya untuk dapat diselesaikan secara bersama-sama.
e.
Waktu yang diberikan guru kepada peserta didik untuk mengerjakan yaitu selama 60 detik.
f.
Guru memberitahukan bahwa tim yang telah selesai mengerjakan harus menempelkan jawaban dari kartu soal pada papan jawaban yang telah disediakan.
g.
Guru meniup peluit yang menandakan waktu untuk mengerjakan soal telah habis.
h.
Tim yang menempelkan setelah peluit dibunyikan tidak mendapat skor.
i.
Peserta didik dengan bantuan guru membahas jawaban yang telah dikerjakan dengan cara mencocokkannya dengan lembar jawaban yang telah di tempelkan oleh guru.
j.
Tim yang jawabannya sesuai dengan lembar jawaban dan menempelkan sebelum peluit dibunyikan akan mendapat skor 100.
k.
Lakukan langkah-langkah TGT sebanyak tiga kali putaran dengan pergantian wakil tim.
l.
Rekognisi tim dilakukan untuk menentukan tim yang terbaik. Penentuan tim yang terbaik berdasarkan skor tim yang diperoleh hasil dari turnamen. Menentukan skor tim dapat dilakukan dengan cara memeriksa skor yang
32
diperoleh keseluruhan pada saat turnamen kemudian dibagi dengan jumlah anggota tim. Setelah itu, skor yang diperoleh diberikan tiga tingkatan penghargaan yang didasarkan pada skor rata-rata tim. Tingkatan penghargaan menurut Slavin (2005) terdapat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Kriteria Penghargaan Kelompok Kriteria (rata-rata tim) Penghargaan
7.
50
TIM SUPER
45
TIM SANGAT BAIK
40
TIM BAIK
Pembelajaran Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Pecahan merupakan salah satu materi matematika yang masuk ke dalam
bidang kajian bilangan. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai pecahan. Dengan mempelajari pecahan peserta didik dapat mengenal konsep keadilan. Dimana peserta didik dituntut untuk membagi semangka menjadi empat bagian yang sama besar untuk dibagikan kepada empat orang temannya. Dalam pecahan terdapat operasi hitung yaitu operasi penjumlahan dan pengurangan. Penjumlahan dan pengurangan merupakan operasi yang mendasar untuk peserta didik. Operasi penjumlahan dan pengurangan yang telah dipelajari oleh peserta didik berkaitan dengan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat sangat berbeda dengan operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan sehingga peserta didik mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Konsep penjumlahan dan pengurangan pecahan yang kurang dapat dikomunikasikan dikarenakan pembelajaran yang dilakukan tidak melibatkan peserta didik ke dalam tim untuk belajar. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, pembelajaran akan lebih bermakna karena peserta didik beraktivitas seperti biasa dengan temantemannya tanpa sadar kalau sebenarnya mereka sedang mempelajari suatu konsep. Ketika peserta didik menemukan suatu konsep dapat dipastikan bahwa peserta
33
didik tersebut telah mendapatkan makna dalam pembelajaran. Kemampuan komunikasi matematis peserta didik akan meningkat dengan adanya kerja tim. Berikut ini merupakan langkah-langkah pembelajaran penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran koopertif tipe TGT. a.
Guru mengkondisikan peserta didik agar siap belajar dengan cara merapikan tempat duduk, penampilan peserta didik, berdoa, dan memotivasi peserta didik.
b.
Guru mengecek kehadiran peserta didik. Guru melakukan apersepsi dengan bertanya “Siapa yang suka makan kue?” lalu memberikan pertanyaan lanjutan dengan bertanya “Kalau kuenya dibagi untuk Ibu, Memei, dan Santi boleh tidak?” “Kira-kira dipotong jadi berapa bagian ya?”
c.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan prosedur pembelajaran yang akan dilakukan.
d.
Tahap presentasi di kelas. 1) Guru menyampaikan kepada peserta didik materi pecahan yang akan dipelajari, dan mengapa pecahan penting untuk dipelajari. 2) Guru menyampaikan kepada peserta didik bahwa mereka harus memperhatikan dengan baik materi yang disampaikan oleh guru karena pada proses pembelajaran peserta didik akan dibentuk ke dalam tim untuk mengikuti turnamen. 3) Guru menumbuhkan rasa ingin tahu peserta didik dengan cara penyampaian yang dikaitkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, memotong semangka menjadi delapan bagian yang sama besar kemudian dikaitkan dengan hal-hal yang ingin dipelajari yaitu penjumlahan dan pengurangan pecahan. 4) Guru menanamkan makna pecahan pada peserta didik. 5) Guru mendemonstrasikan konsep penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan menggunakan media gambar pizza. 6) Guru memberikan banyak pertanyaan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan komunikasi lisan peserta didik.
34
7) Guru menjelaskan jawaban yang benar ketika terdapat peserta didik yang menjawab kurang tepat. e.
Tim 1) Guru mengelompokkan peserta didik ke dalam tim yang terdiri dari lima peserta didik. 2) Guru memberikan lembar yang berisi urutan peserta didik yang menjadi perwakilan tim untuk dipelajari dan dipahami peserta didik di dalam tim. Format lembar urutan perwakilan peserta didik terdapat pada Lampiran.
f.
Guru mengingatkan peserta didik bahwa setiap anggota mempunyai tanggungjawab untuk mempelajari materi yang telah dipresentasikan oleh guru. 3) Guru memberikan LKPD untuk dikerjakan peserta didik di dalam tim. 4) Guru menyampaikan kepada peserta didik agar saling berkomunikasi dengan anggota timnya ketika ada yang belum dimengerti dengan suara pelan sebelum menanyakan kepada guru. 5) Guru mengingatkan lagi bahwa tidak ada yang boleh berhenti mempelajari materi sampai semua anggota tim memahami materi dan siap untuk mengikuti turnamen.
g.
Turnamen 1) Menentukan urutan peserta didik dari masing-masing tim yang menjadi perwakilan tim untuk mengambil gulungan kertas bernomor yang terdapat di dalam boks yang diletakkan pada meja guru. 2) Guru memberitahukan kepada peserta didik yang menjadi wakil tim untuk tidak membuka gulungan kertas bernomor sebelum peluit dibunyikan oleh guru. 3) Setelah guru meniup peluit, peserta didik yang menjadi wakil tim boleh membuka gulungan kertas bernomor kemudian mengambil kartu soal dengan nomor yang sesuai pada gulungan kertas bernomor. 4) Peserta didik yang menjadi wakil tim harus membawa kartu soal yang telah didapat kepada timnya untuk dapat diselesaikan secara bersamasama.
35
5) Waktu yang diberikan guru kepada peserta didik untuk mengerjakan yaitu selama 60 detik. 6) Guru memberitahukan bahwa tim yang telah selesai mengerjakan harus menempelkan jawaban dari kartu soal pada papan jawaban yang telah disediakan. 7) Guru meniup peluit yang menandakan waktu untuk mengerjakan soal telah habis. 8) Tim yang menempelkan jawaban setelah peluit dibunyikan tidak mendapat skor. 9) Peserta didik dengan bantuan guru membahas jawaban yang telah dikerjakan dengan cara mencocokkannya dengan lembar jawaban yang telah di tempelkan oleh guru. 10) Tim yang jawabannya sesuai dengan lembar jawaban dan menempelkan jawaban sebelum peluit dibunyikan mendapatkan skor 100. 11) Langkah-langkah turnamen dapat diulangi untuk peserta didik yang menjadi perwakilan tim selanjutnya. h.
Rekognisi tim 1) Guru dengan bantuan peserta didik menghitung skor yang diperoleh masing-masing tim pada saat turnamen. 2) Guru menentukan tim super, tim sangat baik, dan tim baik. 3) Guru memberikan sertifikat penghargaan dan hadiah. 4) Di
akhir
pembelajaran
guru
membimbing
peserta
didik
untuk
menyimpulkan pembelajaran hari ini.
D. Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dalam Pembelajaran Matematika Dalam rangka membelajarkan peserta didik diperlukan teori belajar yang melandasi untuk menata pembelajaran. Teori belajar tersebut berkaitan dengan model pembelajaran yang digunakan serta mata pelajaran yang akan diajarkan. Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan oleh peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan
36
peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Berikut ini dijelaskan beberapa teori belajar tersebut di antaranya sebagai berikut. 1.
Teori Piaget Teori belajar yang mendukung model pembelajaran kooperatif yaitu Teori
Piaget. Menurut Piaget (dalam Maulana, 2011), proses berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungan. Baik lingkungan fisik maupun sosial. Terdapat empat perkembangan kognitif anak menurut Piaget, di antaranya sebagai berikut. a. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun). b. Tahap praoperasi (sekitar umur 2 tahun sampai sekitar 7 tahun). c. Tahap operasi konkret (sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 12 tahun). d. Tahap operasi formal (sekitar umur 12 tahun sampai dewasa). Pada tahap sensori motor, anak mengembangkan konsep dasar melalui interaksi dengan dunia fisik. Guru tidak terlibat secara langsung dengan anak. Namun, dasar-dasar matematika sudah terlihat. Misalnya, anak mulai mengotakatik benda. Pada tahap praoperasi, anak sudah menggunakan bahan untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsi anak. Pada tahap operasi konkret, anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan modelmodel ide abstrak. Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir logis karena kegiatan anak memanipulasikan benda-benda konkret. Tahap operasi formal merupakan tahapan dari perkembangan intelektual manusia. Kaitan dengan kegiatan pembelajaran dalam penelitian ini yaitu pembelajaran yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik di SD. Peserta didik usia SD termasuk ke dalam tahap operasi konkret sehingga diperlukan suatu pembelajaran yang menggunakan media. Media dalam hal ini yaitu gulungan kertas bernomor dan kartu soal dalam
37
turnamen. Begitu juga dengan media yang digunakan sebagai pendukung untuk menyampaikan materi pecahan yang berupa gambar pizza yang dipotong menjadi beberapa bagian sehingga akan mengantarkan proses berpikir peserta didik. 2.
Teori Vygotsky Pada dasarnya, peserta didik dapat belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa maupun dengan teman sebayanya. Interaksi ini akan memunculkan ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik. Melalui pembelajaran kooperatif, peserta didik diharapkan mampu belajar melalui interaksi dengan teman sebayanya Menurut Vygotsky (Huda, 2012), interaksi yang dilakukan sangat efektif dalam mendorong pertumbuhan daerah perkembangan proximal (Zone of Proximal Development) peserta didik. Vygotsky yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika peserta didik belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan orang saat ini. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual, yang ditentukan
melalui
penyelesaian
masalah
secara
mandiri
dan
tingkat
perkembangan potensial peserta didik yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik bekerja di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan orang dewasa atau teman sebaya. Kaitan dengan model pembelajaran yang digunakan yaitu dengan dibentuknya tim yang terdiri dari lima peserta didik. Tim ini kemudian diberikan tanggung jawab masing-masing untuk saling bekerjasama untuk menyelesaikan suatu permasalahan. 3.
Teori John Dewey Guru perlu menciptakan kelas yang demokrasi dan proses yang alami dalam
lingkungan belajar peserta didik di dalam kelas. Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara kooperatif dan memikirkan
38
masalah-masalah sosial yang penting setiap hari. Bersamaan dalam aktivitas memecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Dewey (Tamsyani, Tanpa tahun) yang mengemukakan bahwa “kelas seharusnya merupakan cermin dari masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata”. Dewey menegaskan bahwa berdasarkan teori Dewey tersebut maka pembelajaran yang dilakukan
di
dalam
kelas
seharusnya
merupakan
pembelajaran
yang
mencerminkan kehidupan sehari-hari peserta didik. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT, peserta didik difasilitasi untuk bekerja dalam tim sehingga akan terjadi komunikasi antar peserta didik untuk mencari solusi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam proses mencari solusi yang diambil akan terjadi perbedaan pendapat antar peserta didik. Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut maka diperlukan suatu sikap demokrasi yang telah dipaparkan Dewey. 4.
Teori Skinner Peserta didik pada saat pembelajaran membutuhkan suatu hal yang dapat
menimbulkan semangat dalam belajar. Hal tersebut dapat berupa penghargaan atau hal lain yang dapat diberikan oleh seorang guru kepada peserta didiknya. Burrush Frederich Skinner mengatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. Pitajeng (2006) berpendapat bahwa “penguatan dibagi atas dua bagian yaitu penguatan positif dan penguatan negatif”. Penguatan yang diberikan kepada peserta didik memperkuat tindakan peserta didik sehingga peserta didik cenderung untuk sering melakukannya. Menurut Maulana (2008b) yang termasuk penguatan yang bersifat positif di antaranya adalah hadiah atau pujian yang diberikan kepada peserta didik sedangkan penguatan yang bersifat negatif biasanya ditunjukkan dengan pemberian hukuman yang proporsional jika peserta didik melakukan kesalahan. Penguatan yang diberikan kepada peserta didik baik penguatan positif maupun negatif sangat berpengaruh dan memberikan dampak kepada peserta didik. Salah satu dampak yang mungkin terjadi yaitu penguatan yang diberikan
39
oleh guru tersebut selalu diingat oleh peserta didik. Oleh karena itu, guru harus memberikan penguatan secara tepat sasaran, baik penguatan yang bersifat positif maupun negatif. Dalam proses pembelajaran, peserta didik akan memiliki semangat yang lebih besar dan termotivasi untuk belajar ketika diberikan penguatan yang bersifat positif. Misalnya, peserta didik diberikan ucapan semangat, pemberian pujian, hadiah dan lain-lain. Pemberian penguatan positif tersebut akan memperkuat tindakan peserta didik yang baik menjadi lebih baik dan cenderung mengulang tindakan tersebut sehingga dapat meningkatkan kemampuannya. Kaitan teori ini dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT yaitu terdapat pada fase rekognisi tim, peserta didik dalam tim yang mendapatkan skor rata-rata yang telah ditentukan akan mendapatkan penghargaan yang berupa sertifikat dan hadiah. Pemberian sertifikat dan hadiah ini merupakan suatu bentuk penguatan yang bersifat positif untuk peserta didik agar lebih termotivasi lagi untuk belajar sehingga akan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
E. Metode Pembelajaran Konvensional Metode pembelajaran konvensional merupakan metode pembelajaran yang biasa dilakukan di SD yang menjadi kelas kontrol dalam penelitian. Pembelajaran yang biasa dilakukan di SD yang menjadi kelas kontrol yaitu dengan menggunakan metode ekspositori. Berikut dijelaskan metode pembelajaran ekspositori menurut para ahli. 1.
Pengertian Metode Pembelajaran Ekspositori Menurut Sanjaya (2006) “metode pembelajaran ekspositori adalah metode
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada peserta didik”. Pendapat lain dikemukakan oleh Maulana (2011) bahwa “metode ekspositori merupakan suatu metode dalam pembelajaran yang dilakukan dengan cara guru menjelaskan suatu konsep kepada seluruh peserta didik di dalam kelas secara langsung”. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran ekspositori merupakan suatu metode pembelajaran yang digunakan
40
oleh guru dalam menyampaikan materi ajar kepada seluruh peserta didik yang dilakukan melalui interaksi secara langsung antara guru dan peserta didik. 2.
Karakteristik Metode Pembelajaran Ekspositori Suatu metode pembelajaran tentunya mempunyai karakteristik yang melekat
di dalam metode pembelajaran tersebut. Begitu juga dengan metode pembelajaran ekspositori. Menurut Sanjaya (2006), terdapat tiga karakteristik metode pembelajaran ekspositori di antaranya adalah sebagai berikut. a. Metode ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal. b. Materi pelajaran yang disampaikan dengan menggunakan metode ekspositori merupakan materi pelajaran yang sudah jadi. c. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan terhadap materi pelajaran itu sendiri. Guru yang menggunakan metode ekspositori, menyampaikan materi ajar dengan cara bertutur secara lisan kepada seluruh peserta didiknya. Materi pelajaran yang disampaikan dengan menggunakan metode ekspositori berbentuk materi yang sudah jadi. Misalnya, guru memberitahukan kepada peserta didik mengenai konsep pecahan. Peserta didik langsung diberikan contoh soal penjumlahan dan pengurangan pecahan tanpa melihat apakah peserta didik mengerti makna yang terdapat dalam pembelajaran yang sedang dilakukan. Tujuan utama dari penggunaan metode ekspositori yaitu penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah diajarkan. Peserta didik banyak diberikan soal atau pertanyaan terkait dengan penjumlahan dan pengurangan pecahan untuk dicari jawabannya sehingga peserta didik hanya menghafalkan cara mengerjakannya saja dan kurang mampu mengaitkannya dengan kehidupan sehari-harinya. 3.
Hal-Hal
yang
Perlu
diperhatikan
dalam Metode
Pembelajaran
Ekspositori Untuk menggunakan suatu metode dalam pembelajaran, alangkah baiknya diperhatikan terlebih dahulu apa saja yang diperlukan ketika menggunakan metode tersebut sehingga dalam penyampaiannya tidak menemui kendala yang berarti.
41
Menurut Maulana (2011), terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam metode ekspositori di antaranya adalah sebagai berikut. a. Konsep disajikan secara lisan. b. Pelajaran terarah, terpusat atau berorientasi kepada guru. Penyampaian konsep pada metode pembelajaran ekspositori dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara. Metode pembelajaran ekspositori berorientasi kepada guru. Maksud berorientasi kapada guru yaitu guru bertindak sebagai sumber utama tentang materi yang akan dipelajari. Walaupun metode ekspositori ini terarah kepada guru, proses dan hasil pembelajaran bisa tetap efektif tergantung dari pengalaman guru itu sendiri. 4.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Ekspositori Suatu metode dalam pembelajaran tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan. Menurut Sanjaya (2006), kelebihan metode pembelajaran ekspositori yaitu sebagai berikut. a. Guru dapat mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran yang telah disampaikan. b. Efektif untuk membuat peserta didik menguasai materi yang luas dengan waktu yang terbatas. c. Peserta didik dapat mendengar melalui penuturan dan melihat atau mengobservasi melalui demonstrasi. d. Dapat digunakan untuk peserta didik dalam jumlah yang banyak. Dengan menggunakan metode pembelajaran ekspositori, guru dapat mengontrol urutan materi apa saja yang telah diajarkan dan yang belum diajarkan. Guru dapat mengatur sejauh mana materi yang akan disampaikan kepada peserta didik. Metode ini efektif untuk membuat peserta didik memahami suatu materi ajar yang banyak dengan waktu yang sebentar. Ketika guru mengalami suatu ketertinggalan materi yang harus disampaikan kepada peserta didik, maka metode ini sangat tepat digunakan. Dengan metode ekspositori, peserta didik dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan oleh guru. Hal tersebut dapat dilakukan oleh peserta didik karena posisi guru yang berada di depan peserta didik dan menjadi pusat pembelajaran.
42
Metode ini dapat digunakan untuk peserta didik dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut dikarenakan untuk mengefektifkan waktu yang digunakan dalam pembelajaran dan mengefektifkan tenaga yang dikeluarkan oleh guru pada saat pembelajaran. Disamping kelebihan yang dimilikinya, suatu metode pembelajaran tentunya memiliki kekurangan. Kekurangan metode pembelajaran ekspositori menurut Sanjaya (2006) adalah sebagai berikut. a. Hanya dapat dilakukan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. b. Tidak dapat melayani perbedaan individu peserta didik. c. Sulit mengembangkan kemampuan sosialisasi peserta didik. d. Keberhasilan metode sangat tergantung kepada kemampuan guru. Metode ekspositori ini sulit diterapkan kepada peserta didik yang kemampuan mendengar dan menyimaknya rendah sehingga diperlukan metode lain yang cocok untuk dipadukan dengan metode ekspositori agar semua peserta didik dapat memahami materi yang telah disampaikan. Metode ini tidak dapat melayani perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik baik perbedaan kemampuan pengetahuan, bakat, dan minat yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan metode ini, kemampuan peserta didik untuk bersosialisasi menjadi berkurang. Hal tersebut dikarenakan kurangnya interaksi yang dilakukan pada saat pembelajaran. Keberhasilan metode ini sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam penyampaian pembelajaran. Kemampuan guru tersebut meliputi kemampuan menyiapkan peserta didik untuk belajar, pengetahuan guru, rasa percaya diri, semangat, antusias, motivasi, dan kemampuan guru untuk bertutur kepada peserta didik. 5.
Sintaks Metode Pembelajaran Ekspositori Dalam menggunakan suatu metode untuk membelajarkan peserta didik maka
guru harus memahami sintaks dari metode yang akan digunakan tersebut. Terdapat tiga sintaks metode pembelajaran ekspositori menurut Maulana (2011) di antaranya sebagai berikut. a. Sebelum menjelaskan dan menyampaikan pesan atau konsep, guru menuliskan topik, menginformasikan tujuan pembelajaran, menyampaikan dan mengulas materi prasyarat, serta memotivasi peserta didik.
43
b. Guru menjelaskan dan menyajikan pesan atau konsep kepada peserta didik dengan lisan atau tertulis. Supaya konsep yang dijelaskan dapat dipahami oleh peserta didik, guru biasanya memberi contoh dan mengajukan pertanyaan secara lisan serta meringkas konsep yang telah disajikannya. c. Guru meminta peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok untuk menggunakan konsep yang telah dipelajari dengan cara mengerjakan soal yang disediakan. Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka sintaks pembelajaran yang disusun adalah sebagai berikut. a.
Tahap pertama 1) Guru melakukan apersepsi dengan bertanya “Siapa yang suka makan kue?” lalu memberikan pertanyaan lanjutan dengan bertanya “Kalau kuenya dibagi untuk Ibu, Memei, dan Santi boleh tidak?” “Kira-kira dipotong jadi berapa bagian ya?” 2) Guru menuliskan topik yang akan dipelajari. 3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. 4) Guru mengulas materi yang menjadi prasyarat pecahan, yaitu materi KPK, perkalian, dan pembagian bilangan bulat. 5) Guru memotivasi peserta didik.
b.
Tahap kedua 1) Guru menjelaskan materi pecahan kepada peserta didik secara lisan dengan menggunakan media gambar pizza. 2) Guru menuliskan apa yang disampaikannya di papan tulis. 3) Guru memberikan contoh soal dari materi pecahan yang telah di jelaskan. 4) Guru melakukan tanyajawab dengan peserta didik mengenai contoh soal yang diberikan. 5) Guru meringkas konsep dari materi yang telah disajikan secara lisan.
c.
Tahap ketiga 1) Guru memberikan latihan soal secara individu kepada peserta didik untuk dikerjakan.
6.
Pembelajaran Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan dengan Metode Pembelajaran Konvensional Pembelajaran penjumlahan dan pengurangan pecahan yang digunakan di
kelas yang menjadi kelas kontrol yaitu dengan menggunakan metode ekspositori.
44
Pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori mempunyai langkahlangkah sebagai berikut. a.
Guru mengucapkan salam.
b.
Guru mengkondisikan peserta didik agar siap belajar.
c.
Guru memimpin do’a.
d.
Guru mengecek kehadiran peserta didik.
e.
Tahap pertama 1) Guru melakukan apersepsi dengan bertanya “Siapa yang suka makan kue?” lalu memberikan pertanyaan lanjutan dengan bertanya “Kalau kuenya dibagi untuk Ibu, Memei, dan Santi boleh tidak?” “Kira-kira dipotong jadi berapa bagian ya?” 2) Guru menuliskan topik yang akan dipelajari. 3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. 4) Guru mengulas materi yang menjadi prasayarat pecahan, yaitu materi KPK, perkalian, dan pembagian bilangan bulat. 5) Guru memotivasi peserta didik.
f.
Tahap kedua 1) Guru menjelaskan materi pecahan kepada peserta didik secara lisan dengan menggunakan media gambar pizza. 2) Guru menuliskan apa yang disampaikannya di papan tulis. 3) Guru memberikan contoh soal dari materi pecahan yang telah di jelaskan. 4) Guru melakukan tanyajawab dengan peserta didik mengenai contoh soal yang diberikan. 5) Guru meringkas konsep dari materi yang telah disajikan secara lisan.
g.
Tahap ketiga 1) Guru memberikan latihan soal secara individu kepada peserta didik untuk dikerjakan.
h.
Di akhir pembelajaran guru menyimpulkan materi yang telah diajarkan hari ini.
i.
Guru memberikan PR kepada peserta didik.
j.
Menyampaikan materi yang diajarkan pada pertemuan selanjutnya.
k.
Mengucapkan salam.
45
7.
Perbandingan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Metode Pembelajaran Konvensional Metode
konvensional
yang
digunakan
yaitu
metode
ekspositori.
Perbandingan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan metode ekspositori dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Perbandingan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Metode Pembelajaran Ekspositori Model Pembelajaran Kooperatif
Metode Pembelajaran Ekspositori
Tipe TGT Berpusat pada peserta didik
Berpusat pada guru
Peserta didik menemukan konsep Peserta didik langsung diberitahukan dengan berinteraksi di dalam tim
konsep oleh guru
Peserta didik melakukan diskusi di Peserta didik belajar secara individu dalam tim Peserta didik menjelaskan konsep Peserta didik mendengarkan guru yang secara lisan
menjelaskan konsep secara lisan
Peserta didik hanya memperhatikan Guru memberikan contoh soal untuk presentasi yang dilakukan oleh guru dipahami oleh peserta didik kemudian mengerjakan soal yang terdapat pada kartu soal. Peserta didik mengerjakan soal secara Peserta didik mengerjakan soal secara diskusi dengan tim
individu
F. Hasil Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian relevan yang digunakan dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut. Rohidah (2009) pernah melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT pada pembelajaran Pecahan untuk Meningkatkan Pemahaman Peserta Didik di Kelas IV SD Negeri Babakan Kecamatan Kadugede Kabupaten
Kuningan”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata hasil tes peserta didik selalu meningkat tiap siklusnya. Pada siklus I rata-rata hasil tes peserta didik sebesar 61,5 dengan persentase 55%, pada siklus
46
II naik menjadi 71,5 dengan persentase 75% dan pada siklus III mengalami kenaikkan kembali menjadi 85,5 dengan persentase 100%. Penelitian lain dilakukan oleh Egih Hidayat Permana (2011) dengan judul “Perbedaan Hasil Belajar Matematika Peserta Didik SD antara yang Memperoleh Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Pembelajaran Biasa di Kelas IV SD Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa independent sample test terhadap kedua kelompok yang berasal dari populasi berdistribusi normal adalah 2,737. Dengan taraf signifikansi 0,021 sehingga kurang dari 0,05 maka H0 ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara peserta didik yang diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan peserta didik yang menggunakan pembelajaran biasa. Secara signifikan kelompok yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik daripada peserta didik yang menggunakan pembelajaran biasa. Uji-t yang telah dilakukan menunjukkan bahwa taraf signifikansi 0,05 dan H0 ditolak. Artinya, sikap belajar peserta didik pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik dibandingkan dengan sikap belajar peserta didik pada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran biasa. Mintarwati, Triyono, Suryandari (2012) dengan judul penelitian “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Peserta didik Kelas IV SDN 1 Lemburpurwo Tahun Ajaran 2012/2013”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes peserta didik selalu meningkat setiap siklusnya. Pada siklus I rata-rata hasil tes peserta didik sebesar 74 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 86%, pada siklus II naik menjadi 75 dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 87%, dan pada siklus III mengalami kenaikkan kembali menjadi 76,5 dengan persentase ketuntasan sebesar 90%. Nurul Qomar (2013) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif
Tipe
TGT
untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Komunikasi Matematis Peserta didik SMP”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang mendapatkan
47
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih tinggi daripada peserta didik yang mendapatkan pembelajaran secara langsung. Penelitian lain dilakukan oleh Yanti Wijanarti (2013) dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT untuk Meningkatkan Hasil Belajar Sifat-Sifat Operasi Hitung Bilangan Bulat Peserta Didik SD”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terhadap peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dibandingkan dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti, model pembelajaran kooperatif tipe TGT ternyata dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan di kelas IV.
G. Hipotesis Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada materi pecahan di kelas IV.
2.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode pembelajaran konvensional berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada materi pecahan di kelas IV.
3.
Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan peserta didik yang menggunakan metode pembelajaran konvensional di kelas IV.