BAB II LATAR BELAKANG PERNYAIAN DI JAWA A. Kedatangan Pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tahun 1595 dan berhasil membawa cukup banyak rempah-rempah ke negeri Belanda. Sejak saat itu banyak perusahaan-perusahaan Belanda yang melakukan ekspedisi untuk mencari rempah-rempah Indonesia. Pada tahun 1601 empat belas buah ekspedisi yang berbeda diberangkatkan dari Belanda setelah armada dibawah pimpinan Jacob van Neck berhasil memperoleh keuntungan sebanyak 400 persen pada tahun 1599. 1 Hal ini membuktikan bahwa wilayah Indonesia sudah mulai menjadi tujuan utama dan incaran tokoh imperialisme yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya demi industri negerinya. Banyaknya kedatangan para pedagang Eropa ke Indonesia menyebabkan persaingan yang sangat ketat antar pedagang dan perusahaan. Persaingan ketat antara perusahaan pelayaran niaga dalam mengklaim monopoli perdagangan di Asia, khususnya Nusantara menyebabkan keuntungan yang diperoleh merosot. Untuk mengatasi hal itu pihak pemerintah Belanda memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga tersebut dalam satu perusahaan saja. Pada tanggal 20 Maret 1602 dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye (Pangeran Mauritz), Staten General mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada
1
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hlm. 51.
32
33
sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur). 2 Perkembangannya, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak hanya menciptakan jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani secara lebih tegas lagi urusan-urusan VOC di Asia, tetapi juga mempunyai sebuah markas besar yang tetap yaitu di Jayakarta. Nama Jayakarta sendiri kemudian diubah menjadi Batavia 3 setelah Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta dari Pangeran Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama adalah seorang pangeran beragama islam yang memerintah Jayakarta sebagai wakil dari kerajaan Banten. Coen
kemudian
membangun
benteng-benteng
pertahanan
dan
membangun sebuah kota baru yang memiliki pola dan tata letak meniru kotakota di negeri Belanda di kota Batavia. Sejak saat itu Batavia menjadi pusat persekutuan dagang VOC untuk wilayah Hindia bagian timur. Pembangunan pusat pemerintahan Belanda di wilayah koloni ini menyebabkan mulai berdatangannya bangsa Belanda untuk mengadu nasib di negeri jajahan Nusantara.
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 29. 3
Batavia diambil dari nama suku bangsa Jerman Kuno di negeri Belanda, lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia (17001900). Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 45.
34
Perkembangan VOC sejalan dengan pembangunan kota Batavia. VOC yang dibekali dengan hak istimewa 4, menjelma menjadi sebuah pemerintahan yang mempunyai struktur yang rapi bak sebuah negara bagian dari Kerajaan Belanda. Padahal pada awal pembentukannya, VOC hanyalah sebuah perusahaan yang dirancang untuk melakukan perdagangan secara monopoli antara Asia dan negeri Belanda. Pembangunan kota Batavia berjalan dengan sangat pesat. Jumlah penduduk kota Batavia meningkat sampai tiga kali lipat dalam jangka waktu delapan tahun, meskipun pembangunan kota baru selesai pada tahun 1650. 5 Penduduk yang terdapat di kota Batavia pada masa itu pun semata-mata terkait dengan kegiatan VOC yang monopolistik. Menurut R. Z. Leirissa penduduk kota Batavia pasa masa itu dapat dibagi menjadi enam katagori, yaitu: 6 1. Pegawai dan tentara VOC; 2. Vrijburger atau bekas pegawai atau tentara VOC yang tidak mau kembali ke tanah airnya; 3. Mestizo atau orang yang berdarah campuran Belanda-Asia; 4. Mardijker atau bekas budak yang telah dibebaskan; 5. Orang-orang Asia (sebagian besar adalah orang Cina); 6. Berbagai etnis lain dari Nusantara.
4
Hak istimewa yang dimiliki VOC disebut juga hak Octrooi, yang berisi wewenang VOC untuk mendaftar personel atas dasar sumpah setia, melakukan peperangan, membangun benteng-benteng, dan mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia, lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008, hlm. 51. 5
Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 4 No. 2, 2002, hlm. 5. 6
Ibid., hlm. 6.
35
Kedatangan sejumlah pegawai-pegawai VOC ke Hindia Belanda inilah yang mempengaruhi lahirnya sistem pernyaian di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kebanyakan dari pegawai-pegawai Eropa itu datang ke Hindia Belanda sebagai perjaka. Alasannya adalah adanya peraturan yang tidak memperbolehkan untuk menikah, selain itu juga karena pegawai-pegawai Eropa baru tersebut belum mempunyai pendapatan yang memadai untuk menanggung sebuah keluarga Eropa. Mereka memang bermaksud untuk menikah dengan seorang wanita Eropa begitu mereka kembali ke tanah airnya. Karena itu perkawinan dengan wanita pribumi tidak biasa terjadi, walaupun bukan tidak pernah terdengar. 7 Diantara pegawai-pegawai Eropa tersebut memilih untuk tinggal dengan nyai pribumi sebagai gundik. The more well-to-do officials and estate-owners could have more than one concubine, at least at the beginning of the nineteenth century: Van Reede tot de Parkeler, Governor og Java’s Northeast Coast had twenty ‘favourites’, Van Bronckhorst, Resident of Juwana, had a ‘serail’, and Van Lawick van Pabst, Commissioner of Native Affairs in Buitenzorg and the Priangan, was reported to have inspected his district with his concubines in attendance (all examples between 1800 and 1810) 8 Pernyataan Peter Boomgard diatas membuktikan bahwa pengambilan seorang nyai oleh para pegawai Eropa sangat digemari, mereka tidak hanya akan mengambil seorang nyai saja, tetapi bahkan lebih dari satu. Hal ini dipicu pemikiran bahwa memelihara seorang nyai dianggap lebih bermanfaat dan menguntungkan. Tidak semua orang Jawa bisa menganggap bentuk 7
Peter Boomgard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV, 2004, hlm. 276. 8
Peter Boomgard, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java 1795-1880. Amsterdam: Free University Press, 1989, hlm. 159.
36
pernyaian ini sebagai hal yang tepat, tetapi perilaku ini tidak mengalami perlawanan secara terang-terangan. Nyai merupakan lambang romantisme seksual yang memberi kunci suksesnya kolonialisme. Sampai abad ke 20, menurut dongeng orang-orang kaya Belanda yang menetap atau bertugas ke Hindia Belanda dinasehatkan selekas mungkin memelihara Nyai sehingga si “majikan” dapat mempelajari bahasa, adat istiadat, dan misteri di “Timur” dengan cepat. 9 Negeri “Timur” adalah sebutan untuk wilayah koloni di Asia Timur yang jaraknya sangat jauh dari negeri Belanda, memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat sampai ke sana. Selain menghabiskan banyak waktu dalam perjalanannya, kondisi wilayah koloni juga masih sangat jauh terbelakang bagi bangsa Belanda. Berbagai fasilitas publik yang sudah ada di Belanda tidak dapat dijumpai di sana. Politik Pintu Terbuka juga turut andil dalam mempengaruhi jumlah pegawai-pegawai Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Pembangunan ekonomi dalam bentuk perkebunan-perkebunan, industri-industri manufaktur, maupun industri pertambangan mengakibatkan dibutuhkan lebih banyak lagi tenaga kerja. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 mendukung migrasi para pegawai Eropa ke Hindia Belanda menjadi semakin mudah. Awalnya sebagian besar imigran Eropa terdiri atas golongan militer, yang besar kecil jumlahnya tergantung pada keadaan peperangan yang terjadi di Hindia
9
Onghokham, “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam Prisma No. 7 Tahun XX, Juli 1991, hlm. 18.
37
Belanda. Akan tetapi semenjak perdagangan, perkebunan, dan industri di Hindia Belanda mengalami pertumbuhan pesat di akhir abad 19 dan awal abad 20, maka kehadiran imigran para kapitalis dan profesional sipil Eropa semakin banyak jumlahnya. 10 Meningkatnya arus kedatangan orang-orang Eropa ke Jawa baik sebagai pejabat pemerintah kolonial maupun sebagai pengusaha swasta penenaman modal pada industri perkebunan, telah menimbulkan derasnya arus modernisasi gaya hidup. Sebenarnya praktik pernyaian sudah banyak terjadi di kalangan para pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada.11 Jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang jauh lebih sedikit mengakibatkan
semakin
maraknya
praktik
pernyaian
pada
masa
pemerintahan Belanda di Hindia Belanda sejak dibentuknya VOC di Batavia. Memang harus diakui bahwa kebutuhan seksual menghadirkan nyai di daerah perkebunan, di dunia sipil, maupun dalam tangsi-tangsi militer. B. Kondisi Jawa pada Tahun 1870-1942 Pada tahun 1870 hingga 1942 terjadi beberapa tahap peristiwa yang penting bagi negara Indonesia. Walaupun Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk, namun pada sekitaran tahun inilah mulai terjadi perubahan besar bagi rakyat pribumi. Peristiwa awal adalah dihapuskannya
10
Bedjo Riyanto, Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang Press, 2000, hlm. 40. 11
Ibid., hlm. 7.
38
cultuurstelsel 12 (Sistem Tanam Paksa) dan digantikan dengan politik kolonial Liberal. Politik kolonial Liberal ditandai dengan dikeluarkannya UndangUndang Agraria pada tahun 1870, kemudian disusul politik Ethis dan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia pada 1942. 1. Politik Kolonial Liberal Tahun 1870 menjadi masa yang penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pada tahun ini menjadi tonggak awal modernisasi di Hindia Belanda khususnya di Jawa. Masa antara 1870 sampai dengan 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa Liberal. Artinya
masa
dimana
pemerintah
melepaskan
peranan-peranan
ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli rempah-rempah) dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui birokrasi dan tentaranya. 13 Dimulai dari tahun inilah Hindia Belanda mengalami perubahan yang sangat besar, banyaknya pihak swasta yang datang ke Hindia Belanda membawa pengaruh modernisme dari berbagai negara. Rakyat
mengalami
masa
penderitaan
sangat
berat
akibat
Cultuurstelsel hingga tahun 1870, yang banyak merenggut nyawa rakyat
12
Cultuurstelsel disebut juga Sistem Tanam Paksa yang dicetuskan oleh Van den Bosch, yang hakikatnya adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang niainya sama dengan pajak tanah itu, lihat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. hlm. 13. 13
Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009, hlm. 230-231.
39
pribumi.
Permasalahan
yang
timbul
akibat
Cutuurstelsel
ini
mengakibatkan munculnya pertentangan di negeri Belanda. Melalui sistem ini Belanda mengalami surplus keuangan tetapi ini tidak dibenarkan karena dianggap melakukan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Penindasan ini dianggap tidak manusiawi karena mempekerjakan rakyat pribumi tanpa memberikan upah, rakyat pribumi diharuskan terus bekerja tanpa imbalan yang setimpal. Tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max Havelaar dengan nama samaran ‘Multatuli’. 14 Buku ini mengisahkan tentang keadaan pemerintah kolonial atas penindasannya terhadap rakyat pribumi melalui sistem Tanam Paksa di Jawa. Ternyata buku ini menjadi senjata ampuh dalam menentang rezim penjajahan pada abad ke-19 di Jawa. Munculnya novel yang berlatar keadaan nyata rakyat Hindia Belanda telah memberikan opini masyarakat dunia khususnya kaum liberal. Tanam Paksa ini dianggap perbuatan yang telah melanggar hak-hak asasi manusia, hingga banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak. Perdebatan yang terjadi antara kaum liberal yang menginginkan dihapuskannya sistem Tanam Paksa dan kaum Konservatif, akhirnya mencapai kesepakatan yaitu dengan dihapuskannya sistem Tanam Paksa ini sedikit demi sedikit. Kaum Konservatif merupakan kelompok yang tetap ingin mempertahankan sistem Tanam Paksa karena telah berhasil 14
Ricklefs, op.cit., hlm. 270.
40
memberikan keuntungan yang besar kepada negeri Belanda. Penghapusan dilakukan mulai dari komoditi yang paling sedikit mendatangkan keuntungan atau yang tidak menguntungkan sama sekali. Perubahan besar terjadi dalam masyarakat pribumi setelah golongan liberal yang didukung oleh orang-orang borjuis menduduki posisi ekonomi dan politik yang kuat sampai dengan tahun 1880-an. kerja paksa kemudian dihapus dan digantikan dengan kerja bebas. Kepentingan politik golongan liberal membawa dampak ekonomi di wilayah koloni dengan didirikannya infrastruktur kolonial seperti jalan kereta api dan trem, dinas pos, bank, dan perusahaan swasta. Usaha golongan liberal berjalan lancar dan keuntungan juga diperoleh dengan mudah. 15 Seiring dengan pembangunan yang dilakukan di Hindia Belanda, modernisasi mulai terasa di wilayah koloni. Modernisasi ini didukung dengan kedatangan para pegawai Eropa dalam jumlah banyak ke Hindia Belanda setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869. Usaha golongan liberal mendapat jalan setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang ini pada dasarnya melarang penjualan tanah kepada orang asing tetapi mereka hanya diperkenankan menyewanya dalam waktu 75 tahun. 16 Setelah itu pihak-pihak swasta berbondong-bondong datang ke Hindia Belanda untuk membangun berbagai pusat ekonomi seperti 15
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 14. 16
Ibid.
41
perusahaan-perusahaan
perkebunan
(onderneming),
industri-industri
manufaktur, industri pertambangan, serta jaringan distribusi perdagangan. Sejak
diterapkannya
Undang-undang
Agraria,
terjadilah
proses
swastanisasi dan modernisasi perekonomian dalam masyarakat di Hindia Belanda. 17 Maka semakin kuatlah peranan pengusaha ataupun investor swasta dalam perekonomian kolonial di Hindia Belanda. Pulu Jawa yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda menjadi wilayah yang mengalami perubahan yang sangat besar. Hutanhutan dibabat dan digantikan dengan perkebunan-perkebunan yang didirikan di beberapa wilayah Jawa. Pabrik-pabrik gula dibangun dengan megah, rel kereta api, dan jalan raya yang menghubungkan antar kota semakin banyak hingga mobilisasi menjadi lebih mudah. Seiring dengan pembangunannya yang sangat pesat, Pulau Jawa berubah menjadi pusat kegiatan pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Perkembangan sejak tahun 1870 menimbulkan banyak perubahan berikutnya. Jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Akibat sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau lainnya, terutama antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia dan barang dapat diangkut dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dibanding dengan zaman-zaman sebelumnya. 17
Bedjo Riyanto, op.cit., hlm. 31.
42
Sejak saat itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah-daerah perkotaan. Perpindahan penduduk dari pulau lainnya menuju pulau Jawa atau dari desa ke pusat-pusat perekonomian seperti perkebunan dan pabrik mengalami kenaikan tajam. Perpindahan penduduk ini dilakukan sebagian besar oleh laki-laki lajang yang bertekad ingin mendapatkan pekerjaan. Jumlah laki-laki lajang di perkebunan-perkebunan inilah yang menimbulkan adanya praktik pernyaian di perkebunan swasta. Orang-orang Belanda juga makin banyak dan makin sering dilihat di lingkungan pedesaan, jaringan administrasi makin diperluas ke daerah pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. Tampak secara jelas bahwa sejak tahun 1870 modernisasi dan kemajuan di dalam kehidupan ekonomi merupakan akibat yang nyata, 2. Politik Ethis Fase penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah dicetuskannya politik Ethis yang berdampak besar dalam pergerakan nasional Indonesia. Politik ini juga sering dinamakan Politik Etika, yang dicanangkan pada tahun 1901 oleh Van Deventer 18 setelah Ratu Belanda melontarkan pernyataan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta pengembangan sosial dan 18
Orang sering mengaitkan timbulnya sistem Politik Etis dengan tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (Nomor 63, tahun 1899) yang berjudul Een Eereschuld atau “Hutang Budi”, lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 32.
43
ekonomi penduduk pribumi. 19 Politik Ethis mencoba mengubah sistem liberal menjadi sebuah sistem yang dapat dijadikan media pemerintah agar dapat turut campur urusan-urusan masyarakat. Politik Ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi. 20 Perkebunan tebu menghendaki irigasi yang intensif. Pabrik-pabrik yang banyak jumlahnya, kantor-kantor dagang, dan cabang-cabang perusahaan lainnya menyebabkan timbulnya kebutuhan manusia dan tenaga kerja yang lebih murah. Tenaga kerja ini dibutuhkan tidak hanya di Pulau Jawa tetapi di propinsi-propinsi luar Jawa, sebagai daerah-daerah baru yang dibuka untuk perkebunan modern. Perluasan dan pembesaran birokrasi pemerintah kolonial membutuhkan adanya lapisan pegawai-pegawai rendahan dalam lembaga pangreh praja (Binnenlands Bestuur) atau Departemen Dalam Negeri Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Kebutuhan dan desakan kuat golongan Liberal dan Kaum Ethis mempercepat pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah-sekolah yang berderajat rendah bagi masyarakat pribumi. 21 Pada akhir abad 19 mulai bermunculan sekolah pribumi atau sekolah desa, dan baru pada awal abad 20 dibuka sekolah-sekolah tingkat menengah serta tingkat tinggi.
19
Encyclopedia, Politik Etis. Tersedia www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2406/Politik-Etis, diakses tanggal 10 Mei 2014, pukul 14.35 WIB. 20
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 32.
21
Bedjo Riyanto, op.cit., hlm. 41.
pada pada
44
Penerapan sistem pendidikan Barat semakin mempercepat laju proses modernisasi yang merubah secara struktural lapisan-lapisan sosial tertentu di masyarakat Jawa pada masa itu. Terbentuklah pola-pola hubungan sosial
dalam
jaringan
yang
baru
karena
proses
industrialisasi,
komersialisasi pertanian dan perkebunan, perubahan sistem birokrasi, urbanisasi, perluasan infra struktur, maupun mobilisasi sosial. Akhirnya stratifikasi tidak hanya terjadi dalam hubungan sosial, tetapi juga dalam lapangan pekerjaan. Pada jabatan-jabatan tertinggi dalam birokrasi pemerintahan diduduki oleh golongan masyarakat Eropa, sedangkan masyarakat pribumi terkonsentrasi pada jabatan-jabatan yang lebih rendah. Pada awal abad ke-20, tingkat interaksi antara warga kulit putih dengan masyarakat pribumi yang semakin tinggi menyebabkan munculnya golongan Indo Eropa. Golongan tersebut merupakan hasil keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda/Eropa asli dengan wanita pribumi yang berstatus gundik atau nyai. 22 Golongan Indo secara yuridis formal termasuk dalam status golongan Eropa, akan tetapi pada kenyataannya golongan Eropa totok tidak mau dipersamakan statusnya dengan golongan mestizo ini. Masyarakat Indo sendiri dalam kehidupannya lebih berorientasi kepada budaya Eropa. Mereka berusaha mengingkari garis asal keturunan dari ibunya yang berasal dari masyarakat pribumi.
22
Bedjo Riyanto, op.cit., hlm. 49.
45
C. Munculnya Pernyaian di Jawa Praktik pernyaian pada masa penjajahan sudah bukan menjadi hal tabu lagi, status nyai bahkan menjadi idaman para gadis-gadis pribumi agar dapat merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi. Walaupun masih ada sekelompok masyarakat dari kalangan pribumi maupun kalangan kolonial yang menentangnya. Terutama dalam masyarakat desa yang menganggap perkawinan adalah hal yang sangat penting bagi masyarakat yang tertata baik, harmonis, dan produktif. Seperti yang diungkapkan oleh Peteer Boomgard; In such a society concubinage, at least among the indigenous population, was taboo. Erlier writers do not mention it all, either because it was too absurd a notion, or because it had escaped their attention. Later no a number of authors stated that concubinage was not permitted, but other sources suggest that it was much in evidence. It could be that concubinage was restricted to specific groups: Poensen, whose material came from Kediri, mentioned it as a typical urban phenomenon, and Krawang, where the Resident reported the frequent occurrence of unlawful unions, had a large proportion of people engaged in fishing, slat-making, industry, commerce and trade. Concubinage, no doubt as much a source of trouble as the presence of many bachelors, may indeed have been virtually absent from most villages. 23 Masyarakat desa menginginkan suatu masyarakat yang harmonis seperti yang dijelaskan sebelumnya, memelihara seorang selir atau gundik dianggap sesuatu yang tabu. Sejumlah pengarang menyatakan bahwa memelihara selir atau gundik tidak diperbolehkan, tetapi sumber lain menunjukkan bahwa ternyata banyak yang melakukannya. Bahwa memelihara seorang nyai hanya terbatas pada kelompok tertentu. Di daerah perkotaan dan sejumlah tempat
23
Peter Boomgard, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java 1795-1880. Amsterdam: Free University Press, 1989, hlm. 143.
46
indutri, memelihara seorang gundik tidak dapat disangkal lagi, yang merupakan sumber keresahan bagi banyak laki-laki lajang. Sejak awal abad 17 banyak pejabat-pejabat kolonial bahkan memelihara lebih dari satu nyai. Seorang gubernur pesisir laut Jawa dikatakan memiliki dua puluh orang perempuan “kesayangan” bangsa pribumi. Kemudian disebut-sebut pula nama pejabat lain yang memelihara nyai, yaitu Van Reed, Residen Juwana, Van Lawick, dan seorang pejabat Komisi Urusan Bumiputra di Buitenzorg. Semua contoh ini diambil dari tahun 1800-1810. 24 Terdapat beberapa penyebab mengapa praktik pernyaian tumbuh begitu kuat di tanah jajahan, antara lain; 1. Jumlah Laki-laki Eropa atau Belanda Lebih Banyak Dibandingkan Jumlah Perempuan Eropa atau Belanda. Pada awalnya sistem pernyaian mulai marak di Batavia pada masa pemerintahan VOC meskipun sesungguhnya jauh sebelum Belanda tampil di Asia. Praktik pergundikan sudah banyak terjadi di kalangan para pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada. 25 Hal tersebut menjelaskan bahwa kaum pendatang dari Eropa adalah laki-laki, baik laki-laki yang masih bujangan atau laki-laki yang sudah berkeluarga tetapi tidak menyertakan istri dan anak-anaknya untuk ikut ke negeri jajahan. Menyertakan seorang istri Eropa dianggap akan 24
Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, dalam Prisma, No. 10 Tahun XXIII Oktober, 1994, hlm. 25. 25
Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 7.
47
menimbulkan kesulitan ekonomi maupun sosial bagi mereka nantinya di tanah koloni. Anggapan ini semakin memberikan alasan pegawaipegawai Belanda atau Eropa memilih berangkat sendiri ke daerah koloni tanpa didampingi oleh istri atau keluarganya. Mereka hanya ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, sehingga apabila pulang kembali ke negeri asal kelak dapat menikmati sisa-sisa umur mereka dengan berleha-leha bersama istri Eropa yang mereka dambakan. Alasan lain para lelaki Eropa enggan membawa keluarga mereka ke daerah koloni adalah perbedaan iklim Eropa dengan daerah tropis seperti Indonesia yang mencolok. Selain itu, perjalanan melalui laut yang memakan waktu sangat lama, sekitar 7-10 bulan, dan melelahkan, bahkan terkadang disertai cuaca yang tidak baik dan penuh bahaya. Perjalanan seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi seorang perempuan, apalagi perempuan Eropa yang sangat rentan dan tidak terbiasa dengan iklim tropis. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, pemerintahan diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem eksploitasi dan monopoli peninggalan VOC tetap diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan penyempurnaan kekuasaan di Nusantara. Perluasan tersebut baik dalam bidang ekonomi, politik, militer, maupun penyebaran agama Nasrani. Untuk kepentingan tersebut, maka dibutuhkan personil tambahan dalam militer dan pegawai sipil baik yang didatangkan dari negeri Belanda, Eropa lainnya, atau pun dengan jalan perekrutan tenaga pribumi.
48
Pada abad ke-19, kota pelabuhan Batavia menyambut para pendatang dengan iklim kota yang buruk, kabut menggelantung rendah yang beracun, parit yang tercemar, dan penyakit-penyakit aneh dengan nama seram, seperti remitterende rotkoortsen (demam maut), roode loop (berak-berak merah), febre ardentes, malignae et putridae, dan mort de chien (demam parah, jahat dan busuk, dan mati mendadak). 26 Karena itu, pendatang Eropa yang datang ke Batavia mayoritas adalah kaum lakilaki, walaupun sudah ada peningkatan jumlah pendatang kaum perempuan Eropa dari sebelumnya. Jumlah wanita asing yang tidak sebanding dengan jumlah lelaki asing di Hindia Belanda dapat dilihat dari sensus penduduk yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Berikut ini merupakan tabel sensus penduduk pada tahun 1860 hingga 1930. TABEL 1. JUMLAH WANITA ASING PADA SETIAP 1000 PRIA DI HINDIA BELANDA DARI TAHUN 1860-1930 Tahun
Eropa
China
Arab
1860
-
590
809
1880
481
620
830
1900
636
548
857
1905
672
526
890
1920
800
563
865
1930
884
646
841
Sumber : Creutzberg dan van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 1987, hlm. 33. 26
Linda Christanty, op.cit., hlm. 29.
49
Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1920 dan 1930 juga masih menunjukkan bahwa jumlah laki-laki Eropa lebih banyak dibanding perempuan Eropa. Meskipun jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia telah mengalami peningkatan, tetapi dalam hal jumlah laki-laki Eropa d Hindia Belanda lebih banyak. Dari tiga buku sensus penduduk Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dapat disimpulkan sebagai berikut. TABEL II JUMLAH PENDUDUK LAKI-LAKI EROPA DAN PEREMPUAN EROPA DI BATAVIA PADA TAHUN 1920 DAN 1930 Wilayah Batavia
Tahun 1920 L 13.390
P 11.290
Tahun 1930 L 16.179
P 15.243
Sumber: Volkstelling 1930, Deel II Inheemsche Bevolking Van WestJava en Batavia, Census of 1930 In Netherlands India, Volume I, 1934, Batavia: Departement Van Economische Zaken. Batavia merupakan wilayah penting dalam pertumbuhan penduduk Eropa di Hindia Belanda. Kota yang yang menjadi pusat pemerintahan Belanda di wilayah koloni Hindia Belanda ini menjadi basis pertumbuhan penduduk Eropa. Terbukti jumlah penduduk Eropa di wilayah Jawa Barat, hampir 50 persen penduduk Eropa berada di Batavia. Batavia bukan hanya menjadi tempat peristirahatan bangsa Eropa yang datang ke Hindia Belanda, tetapi juga menjadi tempat menetap para kulit putih tersebut. Jumlah perempuan di Batavia dari tahun 1920 sampai tahun 1930 mengalami meningkatan, karena memang sejak dibukanya terusan Suez
50
perempuan Eropa lebih banyak dikirim ke wilayah koloni. Dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah perempuan meningkat tajam, dari 11.290 hingga 15.243. Peningkatan jumlah perempuan Eropa yang datang ke Hindia Belanda ternyata masih belum bisa mengimbangi jumlah laki-laki Eropa. Jumlah kaum perempuan Eropa tetap lebih sedikit diantara jumlah lakilaki Eropa. Perbandingan jumlah perempuan Eropa dan laki-laki Eropa di Jawa Barat pada sensus penduduk tahun 1930 adalah sebagai berikut. TABEL III JUMLAH PENDUDUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN EROPA DI JAWA BARAT PADA TAHUN 1920 DAN 1930 Wilayah Jawa Barat
Tahun 1920 L 30.098
P 24.329
Tahun 1930 L 42.606
P 38.168
Sumber: Volkstelling 1930, Deel II Inheemsche Bevolking Van WestJava en Batavia, Census of 1930 In Netherlands India, Volume I, 1934, Batavia: Departement Van Economische Zaken. Perbandingan jumlah perempuan Eropa dan laki-laki Eropa di Jawa Tengah pada sensus penduduk tahun 1930 adalah sebagai berikut. TABEL IV JUMLAH PENDUDUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN EROPA DI JAWA TENGAH PADA TAHUN 1920 DAN 1930 Wilayah Jawa Tengah
Tahun 1920 L 14.726
P 13.229
Tahun 1930 L 18.313
P 16.313
Sumber : Volkstelling 1930, Deel II Inheemsche Bevolking Van Midden Java, Census of 1930 In Netherlands India, Volume II, 1934, Batavia: Departement Van Economische Zaken.
51
Sedangkan perbandingan jumlah perempuan Eropa dan laki-laki Eropa di Jawa Barat pada sensus penduduk tahun 1930 adalah sebagai berikut: TABEL V JUMLAH PENDUDUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN EROPA DI JAWA TIMUR PADA TAHUN 1920 DAN 1930 Wilayah Jawa Timur
Tahun 1920 L 23.254
P 19.219
Tahun 1930 L 33.169
P 30.130
Sumber : Volkstelling 1930, Deel II Inheemsche Bevolking Van OostJava, Census of 1930 In Netherlands India, Volume III, 1934, Batavia: Departement Van Economische Zaken.
Pada 4 tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah lelaki Belanda atau Eropa jauh lebih besar daripada jumlah perempuan Belanda atau Eropa. Jumlah penduduk Eropa di atas telah ditotal dari jumlah penduduk Eropa di setiap kota di wilayah masing-masing, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari tahun 1920 hingga 1930 memang terjadi kenaikan jumlah penduduk perempuan Eropa di Pulau Jawa. jika dibandingkan pada awal kedatangan bangsa Eropa ke Hindia Belanda jumlah perempuan Eropa ini sangatlah berbeda. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah, hal ini didukung sejak tahun 1869 dibuka terusan Suez. Karena perjalanan menuju wilayah koloni di Asia menjadi lebih cepat dan lebih mudah, maka pengangkutan perempuan-perempuan Eropa ke wilayah Timur menjadi lebih besar jumlahnya. Perbandingan jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang tidak seimbang, dimana laki-laki Eropa jauh lebih banyak mengakibatkan
52
permasalahan tersendiri bagi laki-laki lajang yang berada di Hindia Belanda. Bagi seorang laki-laki Belanda atau Eropa, mempunyai istri seorang Belanda atau Eropa adalah dambaan. Karena kebutuhan perempuan Eropa tidak sebanding dengan jumlah lelaki Eropa, maka beberapa lelaki Eropa memilih untuk hidup bersama nyai atau gundik selagi menunggu seorang perempuan Eropa. Pengambilan seorang nyai ini menjadi solusi atas jumlah laki-laki Eropa dan perempuan Eropa yang tidak seimbang. 2. Peraturan gereja yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan beda keyakinan. Pada zaman kolonial hingga tahun 1848, keagamaan dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa, agama Nasrani, dijadikan pedoman atau pegangan. 27 Agama digunakan untuk melindungi golongan Belanda. Agama Kristen merupakan trait d’union dalam masyarakat kolonial. Pemerintah VOC menginginkan penduduk yang penurut, sesuai dengan norma-norma Kristen sebagai penduduk Belanda di dalam Republik. Tugas gereja menjadi sangat kompleks, yaitu mencatat kelahiran, perkawinan, kematian, penyelenggaraan pendidikan dan kesejahteraan, semuanya termasuk di dalam tanggung jawabnya. Akibatnya gereja
27
Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran (Staatsblad 1898 No 158), Bandung: Penerbit Alumni, 1973, hlm. 3.
53
menjadi benar-benar berakar di dalam masyarakat, lebih dari yang diduga oleh para pengamat di abad ke-20. 28 Proses peng-Kristenan bagi masyarakat pribumi pun diusahakan dengan mengeluarkan beberapa peraturan-peraturan serta iming-iming keuntungan. Pribumi yang telah bertaubat akan menerima tunjangan uang barang sedikit. Lebih dari itu, pemeluk-pemeluk Kristen pribumi tidak bisa dijual sebagai budak lantaran utang, dan budak-budak Kristen tidak bisa dijual kepada tuan-tuan budak yang tidak beragama Kristen. Hanya sesudah pindah agama perempuan pribumi bisa menikah dengan laki-laki Belanda atau Eropa. 29 Bahkan dapat dikatakan bahwa orang golongan rendahan dapat beralih kepihak atasan dengan jalan memeluk agama Kristen ini. Sebelum tahun 1848 sebuah pernikahan antara seorang Eropa Kristen dengan seorang perempuan pribumi non-Kristen merupakan hal yang dilarang. 30 Namun sesuai dengan perubahan zaman, lambat laun kriteria agama dan larangan perkawinan campuran ini tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pernikahan campuran bukan berarti dilarang sama sekali, hanya menjadi hal tidak dikehendaki. Perkawinan campuran menjadi sebuah fenomena sosial yang banyak terjadi antara laki-laki Eropa dengan
28
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS, 2004, hlm. 311. 29 30
Ibid.
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Jakarta: Komunitas Bambu. 2010, hlm. 71.
54
perempuan pribumi dalam hubungan pergundikan. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar terjadi, tetapi kenyataannya segolongan masyarakat Eropa masih tetap menentang perkawinan campuran. Seorang laki-laki Eropa Kristen harus menikahi seorang perempuan Kristen pula. Jadi jika laki-laki Eropa Kristen menginginkan menikah dengan seorang perempuan pribumi, perempuan tersebut haruslah beragama Kristen. Apabila perempuan tersebut adalah seorang budak, maka si lelaki harus menebus kemerdekaan perempuan pilihannya kemudian dibaptis, baru setelah itu boleh menjadi istri laki-laki bersangkutan. Sebagai ganti peralihan agamanya, ia memperoleh kewarganegaraan suaminya. Anak-anak mereka hanya boleh dibaptis jika ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya. 31 Rezim semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara lakilaki Eropa dengan perempuan Asia. Praktik pernyaian semakin diminati oleh lelaki Eropa ketika perempuan yang ingin mereka nikahi adalah seorang Islam. Perempuanperempuan pribumi yang beragama Islam lebih enggan untuk pindah agama ke Kristen. Karena keadaan itu, banyak lelaki Eropa yang tak pernah menikahi secara resmi perempuan pribumi, melainkan hidup dengannya sebagai gundik atau nyai.
31
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor, 2007, hlm. 35.
55
3. Memelihara seorang nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan dibandingkan menikah secara resmi dengan seorang perempuan pribumi. Pegawai-pegawai Eropa yang datang ke daerah koloni di Asia berarti mempunyai tekad dan keberanian yang sangat tinggi. Selain melalui perjalanan laut yang sangat jauh hingga berbulan-bulan, perbedaan iklim dengan negara asal yang sangat mencolok menjadi satu tantangan berat tersendiri. Tidak hanya perbedaan iklim saja, tetapi perbedaan bahasa, adat, dan budaya antara negara asal dengan daerah koloni menjadi alasan seorang pegawai Eropa harus berpikir matang untuk mau dikirim ke daerah koloni tersebut. Obsesi mengumpulkan harta sebanyak mungkin menyebabkan seorang pegawai Belanda atau Eropa tidak hanya sekedar tinggal beberapa bulan lamanya di tanah jajahan. Pegawai Eropa akan meniti karirnya hingga bertahun-tahun bahkan bisa saja seumur hidup, karena itu mereka harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru di tanah jajahan, Hindia Belanda. Keadaan dipersulit karena kebanyakan dari mereka datang sendiri tanpa didampingi seorang istri atau pun keluarga. Sebagian besar pegawai Eropa yang datang adalah seorang bujangan. Akhirnya mereka harus berjuang sendiri di tanah baru yang sangat berbeda dengan negara asal mereka yang sudah maju. Tanah jajahan di Asia oleh orangorang Eropa dianggap daerah terbelakang dan sangat minim fasilitas.
56
Memilih hidup membujang di tanah koloni dianggap sebagai keputusan yang tepat mengingat kondisi finansial para pegawai Eropa ini belum memungkinkan untuk menanggung sebuah keluarga. Apalagi sebuah keluarga yang bergaya hidup Eropa yang senang dengan kemewahan. Fasilitas-fasilitas hidup di tanah jajahan seperti sekolah untuk anak-anak yang sangat terbatas, kondisi rumah sakit, dan tempattempat hiburan juga tidak sesuai dengan ukuran kehidupan orang Eropa. Alasan tersebut semakin memperkuat alasan seorang pegawai Eropa memilih untuk tidak menikah. Bukan berarti para pegawai Eropa ini tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah dan melayaninya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasinya mereka biasanya mengambil seorang perempuan pembantu rumah tangga dari kalangan pribumi. Semakin lama, perempuan pribumi itu tidak hanya membantunya dalam mengurus rumah tangga, tetapi juga melayani kebutuhan biologis sang tuannya. Perempuan-perempuan pribumi inilah yang dipanggil dengan nyai. Memelihara nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi dengan seorang perempuan Eropa. Memelihara nyai lebih mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan sekehendak hati. Nyai juga dapat dimanfaatkan dalam hal menjaga kesehatan tuan Eropanya dibandingkan dengan jika harus berhubungan dengan pelacur yang tidak terjamin kebersihannya dari berbagai macam penyakit kelamin menular seperti syphilis, gonorhae dan sebagainya. Hal
57
ini dikarenakan semakin maraknya praktik pelacuran di masa itu yang ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah kompleks pelacuran terutama di sekitar barak-barak tentara Belanda. Memelihara nyai juga dianggap lebih terhormat bagi seorang pejabat tinggi dibandingkan jika ia berkunjung ke kompleks pelacuran. 32 Reggie Baay (2010:4) menjelaskan dalam bukunya dengan lebih rinci: Gubernur Jenderal yang memimpin dari 1650 sampai 1653, Carel Reyniersz, dan penggantinya, Joan Maetsuyker, merupakan pendukung kuat perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia. Menurut mereka ada berbagai keuntungan dari hal tersebut. Para perempuan Asia lebih menguntungkan daripada perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suaminya mereka untuk hal serupa. Jelas bahwa pengambilan seorang nyai atau perempuan pribumi pada waktu itu sangat menguntungkan bagi seorang pegawai koloni di tanah jajahan. Namun kelemahannya dalam paparan keuntungan diatas adalah bahwa hubungan pernyaian haruskan dilandasi atas ketertarikan antara keduanya. Padahal hanya sedikit hubungan pernyaian yang didasari atas rasa cinta antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi. Hubungan yang terjadi dalam praktik pernyaian adalah mutualisme. Baik lelaki Eropa-nya maupun perempuan pribuminya mendapatkan keuntungan, walaupun memang tidak sebanding tentunya lebih banyak keuntungan untuk sang lelaki Eropa. 32
Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 15.
58
Jika dibandingkan dengan perempuan Belanda atau Eropa, perempuan Asia (dalam hal ini adalah pribumi) tidak terlalu serakah. Memperoleh gaji yang kecil pun mereka sudah puas, dengan demikian bahaya akan para pegawai untuk memperkaya diri dengan jalan korupsi dianggap berkurang. Perkawinan campuran ini akan menghasilkan anak-anak kelak, dimana laki-laki akan menjadi calon pegawai dan anak perempuan akan menjadi calon pengantin idaman bagi angkatan baru pegawai dari Belanda. Kehadiran nyai pribumi juga dimanfaatkan untuk memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan Melayu, baik dalam bidang bahasa, kebiasaan, maupun adat istiadatnya. 33 Dalam dunia perdagangan maupun pergaulan resmi, seorang Belanda atau Eropa mau tidak mau harus berhubungan dan berinteraksi dengan penduduk pribumi. Hadirnya seorang nyai dapat membantunya untuk mengerti dan menyelami kehidupan masyarakat serta alam pikiran bangsa Indonesia. Seorang nyai merupakan kamus berjalan tentang budaya pribumi bagi tuan Eropanya. Keuntungan lainnya adalah diperoleh pengetahuan mengenai obat-obatan tradisional dari seorang nyai. Nyai dapat membantu para tuan Eropa menghadapi ancaman serangan penyakit tropis karena masih terbatasnya jumlah obat-obatan yang ada. Bahkan saat menderita sakit ringan, orang Eropa umumnya akan lebih mengggunakan obat-obatan tradional daripada berkonsultasi pada 33
Ibid.
59
dokter yang mendalami ilmu kedokteran Barat. Ahli obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami, baik yang betul-betul ahli atau hanya sekedar pengetahuan secara turun temurun, sebagian besar adalah seorang perempuan. Melalui para nyai, orang-orang Belanda atau Eropa mendapat kesempatan untuk tetap bertahan di lingkungan yang baru. 34 Melalui bantuan para nyai itu pula tuan-tuan Eropa memperoleh pengertian tentang kehidupan masyarakat serta alam pikiran bangsa Indonesia. Selain itu kita perlu tahu bahwa nyai juga berperan sebagai agen budaya. Nyai menjadi sebuah mata rantai antara dua kelompok masyarakat di mana ia memindahkan pengetahuan kebudayaan secara spesifik dan nilai-nilai serta perilaku atau tabiat dari satu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, 35 sehingga mereka juga memiliki peranan yang penting. Terdapat satu kelebihan lain ketika seorang laki-laki Eropa memilih hidup bersama seorang perempuan pribumi, hal ini merupakan kenyataan pahit yang harus diterima oleh pemerintah Hindia Belanda yang melarang adanya pernyaian. Perkawinan suami istri Belanda di Hindia ternyata sering mandul, keguguran dan kematian anak-anak sering terjadi. Heren XVII menambahkan “padahal sebaliknya yang kita jumpai manakala lakilaki kita mengawini perempuan pribumi lahirlah anak-anak yang kuat dan 34
Susan Abeyesakere, dalam Hayu Adi Darmarastri, Nyai Batavia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006, hlm. 65. 35
Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 89.
60
tegap serta panjang umur”. Angka kematian rata-rata para perempuan Eropa di daerah Timur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kaum lakilaki Eropa. D. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Praktik Pernyaian Kedatangan bangsa Barat ke Nusantara, baik sejak bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, hingga Inggris tidak dapat dilepaskan dari munculnya nyai, seorang perempuan pribumi yang hidup bersama lelaki Eropa dalam hubungan pernyaian. Tumbuh kuatnya praktik pernyaian di Hindia Belanda bukan berarti karena didukung oleh pemerintah maupun masyarakat. Justru dikarenakan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu itu yang kemudian mempengaruhi pesatnya pertumbuhan pernyaian hingga berabad-abad lamanya. Peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda pun sering berubah-berubah dan tidak konsisten. Ada masanya praktik pernyaian benar-benar ditentang dengan keras, namun dengan alasan menguntungkan pihak kolonial praktik pernyaian tidak dilarang atau bahkan dianjurkan. Kebijakan yang berubah-ubah itu tentunya dilihat dari sudut pandang keuntungan yang diperoleh oleh pihak kolonial. Telah dijelaskan bahwa fenomena pernyaian muncul jauh sebelum VOC didirikan, yaitu pada masa kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke Nusantara pada abad ke 16. Dapat dikatakan bahwa pernyaian adalah wajah utama dalam masyarakat kolonial Portugis. Tetapi mutlak hal itu harus terjadi, karena jumlah perempuan Portugis yang dikirim ke Timur sangatlah sedikit.
61
Pemerintah Portugis justru menggalakkan perkawinan serdadu-serdadu dengan perempuan-perempuan setempat sejak sekitar tahun 1505 sampai 1515 semasa Rajamuda Dom Fransisco de Almeida dan penggantinya, Alfonso de Albuquerque. 36 Pernyaian semacam ini masih bertahan hingga datangnya bangsa Belanda ke Nusantara. 1. Kebijakan Jan Pieterszoon Coen terhadap Praktik Pergundikan Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri Batavia setelah pada tahun 1619 Djakarta berhasil diduduki oleh VOC. Coen adalah Gubernur Jenderal VOC pada saat itu. Jabatan Gubernur Jenderal adalah sorang pemimpin umum yang berkuasa dan mengurus semua kepentingan VOC di Asia. Setelah mendirikan Batavia, Coen berusaha untuk membangun koloni kulit-kulit putih di tanah jajahan. Berbeda dengan usaha pemerintah Portugis yang menggalakkan perkawinan para serdadu dengan perempuanperempuan pribumi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di Asia dan membangun sebuah koloni di tanah jajahan, Coen tidak terlalu berharap dari serdadu-serdadu. Bagi Coen, para serdadu bukanlah jenis yang tepat untuk pembangunan sebuah koloni. Maraknya pernyaian pada masa itu yang terjadi di kalangan lelaki Belanda atau Eropa dengan perempuan pribumi sangat ditentang dan dibenci oleh Coen karena dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Coen memang seorang yang terkenal sangat keras terhadap pelanggaran
36
Leonard Blusse, op.cit., hlm. 300.
62
seksual. 37 Kekerasannya ini terlihat pada sebuah kasus skandal seks di kalangan kastil Batavia, yakni hubungan gelap antara seorang serdadu bawahan berbangsa Belanda dengan Sara Specx, putri Jacques Specx 38 dari selir Jepangnya. Ketika skandal tersebut terbongkar, serdadu yang melakukannya dihukum mati, sedangkan Sara Specx dihukum cambuk di muka umum. 39 Coen menganggap bahwa perkawinan campuran yang terjadi antara orang Belanda atau Eropa dengan orang pribumi bukanlah jalan yang tepat untuk membangun sebuah koloni kulit putih di tanah jajahan. Dalam beberapa suratnya yang ditulis untuk dewan pengurus di Amsterdam, Coen menguraikan gagasannya mengenai bagaimana mengisi kota Batavia. Ditegaskannya bahwa ia terpaksa mengambil langkah sementara dan membeli perempuan-perempuan budak dari pantai India, karena pengurus agaknya tak berminat untuk membangun sebuah koloni. 40 Menurut Coen, perempuan adalah prasyarat dalam berdagang, “dasar negara di Hindia. Jika perempuan tersedia pasar-pasar perdagangan Hindia adalah milik Anda”, tulisnya kepada Heren XVII (Opkomst IVxxxiv).41 37
Onghokham, op.cit., hlm. 18.
38
Jacques Specx merupakan seorang Gubernur Jenderal yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi VOC di samping sebagai anggota Dewan Hindia. Lihat Onghokham, “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, dalam Prisma No, 7 Tahun XX, Juli 1991, hlm. 18-19. 39
Onghokham, op.cit., hlm. 18-19.
40
Leonard Blusse, op.cit., hlm. 298.
41
Ibid., hlm. 301.
63
Maka, Coen meminta kiriman anak-anak gadis serta mengusulkan agar banyak keluarga Belanda dari kalangan yang baik-baik untuk beremigrasi ke Batavia. Bersama keluarga dan anak-anak mereka ini disertakan pula sekitar empat sampai lima ratus anak laki-laki dan perempuan berusia 10 sampai 12 tahun, yang diambil dari semua rumah-rumah yatim-piatu di Verenigde Provincien, dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan diusulkannya 2:1. 42 Para yatim-piatu Belanda tersebut memenuhi kriteria Coen untuk membangun masa depan koloni. Coen mendukung terciptanya wilayah pendudukan permanen bagi imigran dari Belanda. Bersama para pedagang dan serdadu, para imigran dapat membentuk kelompok masyarakat yang akan memberi tempat bagi para petani, pengrajin, agamawan dan guru. Para yatim-piatu, baik laki-laki maupun perempuan, menurut Coen sangat cocok untuk menjadi penduduk baru di daerah koloni karena tidak mempunyai keluarga maupun ikatan dengan tanah air mereka. Karena itu, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengikat diri dengan tempat tinggal di dalam koloni. Coen memahami bahwa para laki-laki dalam wilayah jajahan harus memperoleh alternatif mendapatkan pasangan hidup selain dengan melakukan praktik pergundikan. Coen menganggap pernyaian sebagai penyebab dari timbulnya kasus pengguguran kandungan, pembunuhan bayi, dan terkadang aksi peracunan terhadap si tuan Eropa yang dilakukan 42
Ibid.
64
oleh gundik yang cemburu. 43 Ia pun meminta calon-calon pengantin perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie. 44 Calon-calon pengantin perempuan kulit yang diminta oleh Coen haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah dididik dengan ketat dip anti asuhan. Sebelumnya sudah banyak wanita lajang dibawa ke Hindia Belanda. Mereka diwajibkan untuk menikah dengan para pegawai VOC di Timur dan sebagai gantinya mereka mendapat pelayaran gratis beserta mas kawin. Gagasan tersebut pada awalnya tidak mendapat tanggapan dari Hereen XVII sehingga Coen harus merintis sendiri usahanya dengan jalan membeli perempuan-perempuan budak dari pantai India. Tahun 1620, barulah Hereen XVII mengabulkan permintaan Coen ditandai dengan adanya pengiriman sejumlah perempuan Eropa melalui kapal-kapal laut ke wilayah Timur. 45 Anak-anak perempuan ini ditempatkan pada keluarga-keluarga, atau di sekolah-sekolah khusus yang dibiayai kompeni dan di sanalah mereka diasuh, dirawat, dididik, dan diajar sampai menjadi akil balig dan dapat dikawinkan dengan calon suami yang baik, agar dari perkawinan mereka itu bisa diturunkan keluargakeluarga yang terhormat. Gagasan pokok rencana ini ialah agar semua sifat-sifat baik keluarga Belanda dan kaum wanita Belanda khususnya,
43
Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm 8.
44
Reggie Baay, op.cit., hlm 2.
45
Hayu Adi Darmarastri, loc.cit.
65
misalnya kesopanan, kebersihan dan kesalihan. Usaha ini dilakukan agar bisa mendesak istri-istri dari keturunan Asia atau Indo yang sudah di sini. Permintaan dan peraturan-peraturan oleh Coen ternyata tidak terlalu efektif. Jumlah pergundikan di wilayah pendudukan tidak berkurang secara signifikan. Maka Coen mengeluarkan larangan bagi kaum lelaki Belanda atau Eropa untuk menikahi kaum perempuan pribumi seperti yang tercantum pada Regering bij Plakaat pada tahun 1625. 46 Larangan Coen ternyata tidak dapat menghapus pergundikan di Hindia Belanda, kebutuhan biologis telah mengalahkan kebijakan pemerintah. Pergundikan baru benar-benar hilang berabad-abad setelah kepemimpinan Coen, yaitu seiring dengan perginya bangsa Eropa dari Indonesia. Sesudah masa Gubernur Jenderal Coen, sanksi terhadap hubungan di luar perkawinan yang sah pun sangat longgar. 47 Ketika masa kompeni berganti dengan masa pemerintah Hindia Belanda, pernyaian semakin meningkat. Kedatangan laki-laki Eropa dalam jumlah besar telah memperpanjang sejarah pernyaian di Hindia Belanda. 2. Peraturan Kolonial tentang Perkawinan Campuran Peraturan perkawinan campuran di Hindia Belanda diatur dalam Staatsblad 1898 No. 159. Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No 23, S 1898/158. Peraturan tersebut memberikan definisi sebagai berikut; perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang
46
Ibid., hlm. 9.
47
Linda Christanty, op.cit., hlm. 25.
66
dibawah hukum yang berlainan yang ada di Indonesia. Hukum yang berlainan ini antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai wilayah, golongan rakyat, tempat kediaman, atau agama. Maka perkawinan campuran dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu perkawinan campuran internasional, perkawinan campuran antar-regio, perkawinan campuran antar-tempat, perkawinan campuran antargolongan, dan perkawinan campuran antar-agama. Praktik pernyaian yang terjadi antara laki-laki Eropa dengan seorang perempuan pribumi tentu adalah sebuah perkawinan campuran. Karena keduanya
dipisahkan
tidak
hanya
karena
perbedaan
ras
dan
kewarganegaraan saja, tetapi golongan dan agama yang berbeda. Hukum kolonial tentang perkawinan campuran ini merupakan salah satu peraturan yang dikeluarkan untuk menanggapi banyaknya perkawinan laki-laki Eropa yang ada di Hindia Belanda dengan perempuan pribumi, baik itu yang dimulai dengan hubungan pernyaian atau pun tidak. Penulis akan hanya membahas lebih lanjut tentang perkawinan campuran
antaragama,
perkawinan
campuran
antargolongan,
dan
perkawinan antara orang-orang yang berkewarganegaraan berbeda. Hal ini dikarenakan mengingat bahwa bagi Indonesia sebagian besar terjadi hubungan semacam ini. 1) Perkawinan Campuran antartempat (interlocaal) Perkawinan
campuran
antartempat
dimaksudkan
terutama
perkawinan antara orang-orang Indonesia sendiri yang berasal dari
67
suku bangsa atau daerah yang berlainan dan hidup dalam berbagai lingkungan hukum. Misalnya perkawinan antara orang Batak dengan perempuan Sunda, seorang Jawa dengan wanita Lampung, dan sebagainya. 2) Perkawinan Campuran Antaragama (interreligieus) Mengenai perkawinan antara mereka dari satu golongan rakyat tetapi berlainan agama, termasuk istilah perkawinan campuran dari GHR 48. Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848, keagamaan dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa adalah agama Nasrani, yang kemudian dijadikan pegangan. Agama dipakai untuk melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah dengan seorang bukan Kisten. Karena tak sesuai dengan keadaan zaman, pendirian ini dilepaskan dengan diterimanya pasal 15 Ov 49 dari 1848. Bahwa perbedaan agama tak dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap suatu perkawinan campuran. Sumber lain dari perkawinan campuran antaragama adalah Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani Djawa, Minahasa, dan Amboina, S. 1933/74 (HOCI). Bahwa GHR berlaku pula untuk
48
GHR adalah singkatan dari Regeling op de Gemengde Huwelijken, Koninklijk Bsluit van 29 December 1898 No 23, Staatsblad 1898 No 158. 49
Ov : Bepalingen omtrent de invoering van-en den overgang tot de nieuwe wetgeving.
68
perkawinan orang-orang Kristen dengan bukan Kristen segolongan rakyat Indonesia. Agama Nasrani dapat dianggap sebagai agama yang dianut oleh kasta tertinggi dalam masyarakat Hindia Belanda sebelum perang. Agama Nasrani dapat menggantikan status keturunan, orang golongan rendahan dapat beralih ke pihak atasan dengan jalan memeluk agama Kristen. Orang Indonesia Kristen seolah-olah berdiri pada perbatasan antara golongan. Jarak pemisah antara orang Eropa dan Indonesia Nasrani tidak begitu jauh. Posisi agama di sini dianggap sesuatu yang penting untuk menentukan status sosial bagi masyarakat Eropa. Seorang pribumi Kristen akan lebih mendapatkan posisi di mata masyarakat Eropa, begitu pula dalam hal perkawinan. Praktik pergundikan menjadi semakin berkembang juga karena larangan menikahi perempuan pribumi non-Kristen. Karena dipersulit untuk melaksanakan sebuah perkawinan, seorang laki-laki Eropa Kristen dan seorang perempuan pribumi Muslim memilih untuk hanya berada pada hubungan pergundikan. 3) Perkawinan Campuran Antargolongan (intergentiel) Antargolongan diartikan dalam antar kasta, mengingat masyarakat kolonial adalah masyarakat kasta. Istilah kasta dalam ilmu sosiologi dipergunakan untuk menunjukkan adanya bendungan-bendungan yang hamper tak dapat ditembus dan menghalang-halangi kenaikan sosial dari seseorang. Bendungan yang dimaksudkan ialah color line, ciri
69
universal pertama dari kolonialisme. Tembok ini adalah alas dari segenap masyarakat kolonial. Penduduk asing yang menjajah terpisah dari rakyat asli oleh tembok sosial yang tebal serta tinggi, yang hampir tidak dapat dilewati. Akibat dari adanya tembok-tembok pemisah ini, masyarakat kolonial menyolok mata karena hanya sedikit hubungan sosial (sosial contact) antara kasta yang dijajah dengan kasta penjajah. Dalam pergaulan sehari-hari, di jalan-jalan, perkumpulan dan tempat-tempat bertamasya nampak dengan tegas, distansi antara golongan pribumi dan bangsa kulit putih. Sifat ini adalah suatu corak pula dari masyarakat kolonial. Corak-corak ini dapat dikatakan ada pada tiaptiap masyarakat jajahan, meskipun dengan berbagai variasi. Hal tersebut juga terdapat dalam masyarakat Hindia Belanda, khususnya dalam abad ke-19. Di Hindia Belanda pada zaman itu nampak tiga kasta yang hidup agak terpisah satu sama lain, yaitu kasta Eropa, kasta Timur Asing, dan kasta Inlanders (pribumi). Kasta Eropa diliputi dengan perlindungan, sistem hormat, kemewahan yang diperlihatkan, dengan banyak emas dan bordiran-bordiran, patung-patung, dan tanda-tanda kehormatan, bahasa Belanda yang hanya boleh dipergunakan oleh orang Belanda, pakaian dan kelakuan yang tidak dapat dipergunakan oleh kasta-kasta lain. Kasta Eropa juga identik dengan perkumpulan-perkumpulan eksklusif, tempat-tempat umum seperti penginapan-penginapan, dan
70
pemandian-pemandian yang hanya menerima orang-orang Eropa, penghargaan yang berlebihan. Cukup jelas bahwa dalam suasana demikian dengan batas-batas ras yang begitu kokoh dan kaku serta sedikitnya kontak sosial dari individu kasta-kasta yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena dianggap menyalahi hubungan antar kasta, maka perkawinan campuran secara terang-terangan tidak banyak terjadi. Seorang Eropa yang mengadakan perkawinan campuran tak dipandang lebih lama oleh golongannya. Jika seorang Eropa hendak mengadakan hubungan tetap dengan seorang perempuan Indonesia, ia tidak mengawininya, melainkan diambilnya sebagai nyai. Baru jika ia mengundurkan diri dari pergaulan masyarakat, dalam kepentingan anaknya dan supaya memperoleh pensiun janda, seorang Eropa tersebut berpikir untuk mengesahkan pergaulan campuran itu di hadapan umum. Hal ini terjadi karena adanya keberatan-keberatan sosial yang nyata di kalangan kasta Eropa jika ada seorang dari mereka berbaur apalagi melakukan perkawinan dengan kasta yang paling rendah, pribumi. Keberatan-keberatan tersebut dapat berupa resiko pemecatan dari jabatan-jabatan tinggi, misalnya terdapat seorang dokter militer pandai berpangkat kolonel, karena kawin dengan “ibu dari anakanaknya” 50 telah dipecat dari kedudukannya. Seorang residen yang 50
Istilah “ibu dari anak-anaknya” digunakan untuk menyebutkan seorang nyai, bahwa ia bukan isteri yang sah bagi Tuan Eropa-nya tetapi seorang nyai melahirkan anak-anak dari Tuan Eropanya tersebut.
71
hilang pamornya karena “ibu dari anak-anaknya” ini bertindak terangterangan sebagai isterinya pada resepsi-resepsi dan pertemuanpertemuan resmi hingga timbul ketegangan diantara isteri-isteri Eropa dari pejabat-pejabat pegawai negeri setempat. Hanya
lapisan-lapisan
bawah
dari
kasta
Eropa
yang
memberanikan diri untuk menikah dengan “ibu dari anak-anaknya”, mengingat tindakan ini seolah-olah merupakan penumpasan diri bagi kehidupan mereka. Perkawinan ini diatur dalam KB tanggal 29 Desember 1896 (S. 1896-158) yang telah beberapa kali diubah. Pasal 2 KB
tersebut
menentukan
bahwa
seorang
perempuan
yang
melangsungkan perkawinan campuran sejak saat perkawinannya itu mengikuti status suaminya, jadi seorang perempuan bukan Eropa yang kawin
dengan
seorang dari
golongan
Eropa,
selama dalam
perkawinannya tunduk pada hukum yang berlaku untuk suaminya, baik dalam hukum publik maupun dalam hukum sipil/perdata. 51 Hal inilah
yang
dianggap
perkawinan
campuran
dengan
seorang
perempuan pribumi dianggap akan mengotori ras totok yang sangat menjunjung tinggi prinsip rasial mereka. Sedangkan perkawinan campuran antara perempuan-perempuan Eropa dengan lelaki bukan Eropa lebih jarang terjadi. Budaya patrilineal yang kuat di Hindia Belanda memaksa seorang perempuan
51
B. P. Paulus S.H., Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda. Bandung: Penerbit Alumni, 1979, hlm. 77.
72
Eropa yang harus ikut dalam kasta Inlander ketika ia berani melakukan perkawinan campuran dengan seorang lelaki Inlander. Bahkan perubahan status ini tetap berlaku setelah perkawinan itu terputus, apabila ia dalam waktu satu tahun setelah perceraian itu tidak menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintah setempat dimana ia bertempat tinggal, bahwa ia ingin kembali ke status semula. 52
52
Ibid.