BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Tweet War Tweet war merupakan sebuah kejadian yang melibatkan beberapa pihak yang berinteraksi melalui jejaring sosial twitter yang bersifat saling menyerang dan menjatuhkan. Tweet war dalam hal ini masuk dalam konsep agresi verbal, dikarenakan tweet war menggunakan kata-kata dalam bentuk tulisan yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan untuk menyakiti orang lain. Dalam penulisan teori ini, penulis akan menggunakan istilah tweet war secara bergantian dengan konsep agresi verbal. II.A.1. Definisi Agresi Verbal (Tweet War) Krahe (2005) menyatakan definisi agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek, yaitu akibat yang merugikan/menyakiti, niat dan harapan untuk merugikan, serta keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang merugikan itu, dalam hal ini kemudian Krahe (2005) membagi agresi berdasarkan modalitas respon kedalam dua bentuk yaitu agresi fisik dan agresi verbal. Menurut Buss & Perry (dalam Yaratan & Uludag, 2012) agresi verbal adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Bila seseorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal. Sedangkan menurut Atkinson
Universitas Sumatera Utara
(1999) agresi verbal adalah agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita.
Selain dari beberapa tokoh di atas, ada juga Reitman & Villa (2004) yang mengartikan agresi verbal sebagai perilaku verbal berbahaya yang secara sengaja dilakukan serta beralasan dan berulang kali dilakukan. Ini adalah penyalahgunaan kekuasaan yang disengaja, seperti menggoda, mengejek dan mengancam, yang dilakukan oleh satu atau lebih individu dengan status dan kekuasaan yang relatif lebih tinggi (berdasarkan jumlah atau ukuran tubuh mereka) terhadap korban dengan status atau kekuasaan yang lebih rendah. Menurut Infante & Wigley (dalam Lippert dkk, 2005) trait agresi verbal adalah kecenderungan untuk menyerang konsep diri orang lain, atau posisi seseorang dalam sebuah topik pembicaraan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa agresi verbal adalah suatu bentuk agresi yang ditunjukkan dalam bentuk kata-kata seperti mengumpat, mengejek, debat, mengancam, memaki, dan sebagainya yang bertujuan untuk menyakiti dan menyerang orang dan dilakukan dengan sengaja. II.A.2. Aspek-Aspek Agresi Verbal (Tweet War) Krahe
(2005) merangkum
sembilan aspek perilaku agresi
untuk
mengkarakteristikkan berbagai macam bentuk agresi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Modalitas respon (Response modality), meliputi tindakan agresi secara secara verbal dan fisik. 2. Kualitas respon
(Response quality),
meliputi tindakan agresi yang
berhasil mengenai sasaran atau tindakan agresi yang gagal mengenai sasaran. 3. Kesegeraan (Immediacy), meliputi tindakan agresi yang dilakukan individu langsung kepada sasaran atau yang dilakukan melalui strategistrategi secara tak langsung. 4. Visibilitas (Visibility), meliputi perilaku agresi yang tampak dari perilaku individu atau yang tak tampak dari luar namun dirasakan oleh individu. 5. Hasutan
(Instigation), meliputi perilaku agresi yang terjadi karena
diprovokasi atau yang merupakan tindakan balasan. 6. Arah sasaran (Goal direction), meliputi perilaku agresi yang terjadi karena adanya rasa permusuhan kapada sasaran (hostility) atau yang dilakukan karena adanya tujuan lain yang diinginkan (instrumental). 7. Tipe kerusakan
(Type of damage),
meliputi perilaku agresi yang
menyebabkan kerusakan fisik atau yang menyebabkan kerusakan psikologis pada sasaran agresi. 8. Durasi akibat (Duration of consquences), meliputi perilaku agresi yang menyebabkan kerusakan sementara atau yang menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
9. Unit-unit sosial yang terlibat (Social unit involved), meliputi perilaku agresi yang dilakukan secara individu atau yang dilakukan secara berkelompok. Aspek-aspek di atas menjelaskan aspek-aspek perilaku agresi secara umum, namun penelitian ini memfokuskan pada agresi verbal sehingga modalitas respon yang dimasukkan hanya berupa agresi verbal. Modalitas respon yang berupa agresi verbal akan menjadi payung utama yang akan dimasukkan dalam setiap aitem dalam dimensi selanjutnya, sehingga kemudian pada aspek tipe kerusakan (Type of damage) juga tidak memasukkan kerusakan fisik karena agresi verbal tidak dapat menyebabkan kerusakan fisik. II.A.3. Faktor-Faktor Penyebab Agresi Verbal (Tweet War) Agresi disebabkan oleh berbagai faktor, menurut beberapa tokoh faktorfaktor yang dapat menyebabkan munculnya agresi verbal adalah sebagai berikut: a) Faktor Biologis 1) Genetik Penelitian pada kembar identik dan fraternal mengusulkan bahwa agresivitas individual yang kita miliki dipengaruhi oleh genetik (Baker; Miles & Carey dalam Franzoi, 2009). Kembar identik yang memiliki gen yang sama cenderung untuk memiliki kecenderungan agresi yang sama dibandingkan dengan kembar fraternal.
Universitas Sumatera Utara
2) Insting Freud (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa agresivitas manusia muncul dari adanya ‘death instict’ atau yang disebut Thanatos, seperti halnya dorongan seksual, agresivitas juga muncul dari adanya tegangan pada tubuh yang perlu diekspresikan. 3) Hormonal Sistem kimia dalam darah dikatakan hormon, Gladue (dalam Hogg & Vaughan, 2002) melaporkan bahwa pria memiliki agresi overt yang lebih besar dibandingkan wanita, hal ini dikarenakan level testosteron yang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Banyak ahli percaya bahwa tingginya level testosteron pada manusia dapat meningkatkan kecenderungan munculnya perilaku agresi, dan agresi menyebabkan meningkatnya level testosterone (Franzoi, 2009) b) Faktor Kepribadian 1) Irritabilitas Menurut Caprara (dalam Krahe, 2005) irritabilitas adalah kecenderungan seseorang untuk beraksi secara impulsif, kontroversial, dan kasar terhadap provokasi yang mereka terima bahkan pada provokasi yang bersifat ringan. Orang-orang yang dalam keadaan irritable memperlihatkan tingkat agresi yang meningkat dibandingkan dengan individu-individu yang nonirritable. 2) Kerentanan Emosional Kerentanan emosional adalah kecenderungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, dan ringkih (Caprara dalam Krahe, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kerentanan emosional tinggi akan lebih mudah untuk merasa frustrasi karena peristiwa yang dialaminya. 3) Pikiran kacau vs perenungan Krahe (2005) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang dipenuhi oleh pemikiran agresi setelah mendapatkan suatu stimulus yang berhubungan dengan agresi. Orang dengan perenungan yang tinggi akan merenungkan dengan baik stimulus agresi yang ia terima, sehingga lebih berkemungkinan untuk melakukan tindakan yang lebih terencana dan terelaborasi. 4) Kontrol diri Konstruk ini mengacu pada adanya kontrol dalam diri atau hambatan internal yang dapat mencegah keluarnya respon-respon negatif yang tidak diingingkan. Penelitian yang dilakukan oleh Baumeister & Boden (dalam Krahe, 2005) juga mendukung hal ini dimana banyak penjahat yang melakukan berbagai macam penyerangan, bersama dengan temuan bahwa perilaku yang berhubungan dengan kriminalitas seringkali dibarengi dengan kurangnya kontrol diri pada aktivitas lainnya seperti mereka adalah perokok berat atau alkoholik. 5) Self esteem Secara tradisional, diasumsikan bahwa rendahnya self-esteem akan memicu perilaku agresi, bahwa orang yang memiliki perasaan negatif mengenai dirinya akan berkemungkinan menyerang orang lain. Namun, dari penelitian
Universitas Sumatera Utara
yang lebih baru yang dilakukan oleh Baumeister & Boden (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa individu dengan self esteem yang tinggi lebih rentan terhadap perilaku agresi, terutama dalam menghadapi stimulus negatif, yang dipersepsikan oleh mereka sebagai ancaman bagi self esteemnya. 6) Tendensi atribusi bermusuhan Konsep ini mengacu pada kecenderungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara yang bermusuhan. Dill (dalam Krahe, 2005) mendeskripsikan orang dengan tendensi atribusi bermusuhan tinggi adalah orang yang cenderung memandang dunia melalui kacamata berwarna merah darah. c) Faktor Lingkungan 1) Penyerangan Adanya aksi menyerang dari orang lain baik berupa serangan verbal atau serangan fisik akan menimbulkan agresi dari diri seseorang, dimana penyerangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresi (Krahe, 2005). 2) Efek senjata Efek senjata dalam hal ini adalah salah satu stimulus agresi yang dapat mengaktifkan skema kognitif yang berhubungan dengan agresi. Anderson (dalam Krahe, 2005) memperlihatkan bahwa adanya senjata dapat meningkatkan aksesibilitas terhadap kognisi-kognisi yang berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan agresi, bahkan pada subjek-subjek yang tidak dibuat marah atau frustrasi. 3) Karakteristik target Krahe (2005) mengungkapkan bahwa ada karakteristik atau ciri tertentu yang mempuyai potensi sebagai target agresi, misalnya anggota kelompok yang tidak disukai atau orang yang tidak disukai. 4) In group vs out group conflict Agresi seringkali muncul karena adanya prasangka yang muncul karena perasaan in group vs out group. Perasaan yang menyatakan bahwa kelompok dimana kita ada di dalamnya adalah yang paling benar dapat membuat kita berkonflik dengan kelompok lain dan meningkatkan munculnya perilaku agresi (Krahe, 2005). 5) Alkohol Ketika seseorang berada dalam pengaruh alkohol, ia akan menunjukkan perilaku agresi yang lebih tinggi, dimana alkohol mengganggu fungsi kognitif sehingga menyebabkan hambatan dalam pemrosesan informasi, termasuk kesadaran akan adanya aturan dan norma yang dapat menekan munculnya perilaku agresi (Krahe, 2005). 6) Temperatur Ada suatu hipotesis yang dikenal dengan heat hypothesis yang menyatakan bahwa temperatur yang tinggi yang menyebabkan seseorang tidak nyaman dapat meningkatkan motif dan perilaku agresi (Krahe, 2005).
Universitas Sumatera Utara
7) Penolakan Sosial Hasil penelitian dan observasi harian mendapatkan bahwa manusia secara secara akut memperhatikan bagaimana orang lain mempersepsikan dan mengevaluasi mereka (Baumeister & Leary; Hogan, Jones, & Cheek; Leary; Schlenker dalam Leary, 2001). Penolakan sosial terjadi ketika seorang individu sengaja dikeluarkan dari hubungan sosial atau interaksi sosial. Penolakan sosial dapat mengakibatkan perilaku agresi, dimana seseorang mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam, sikap bermusuhan dengan dunia luar serta mencari keenakan hidup dengan caracara yang mengundang perhatian. II.B. Penolakan Sosial II.B.1. Definisi Penolakan Sosial Leary (2001) mendefinisikan penolakan sosial adalah keadaan dimana individu mempersepsikan bahwa orang lain memiliki evaluasi relasional yang rendah terhadap dirinya; merasa tidak termasuk dalam bagian suatu kelompok atau komunitas dan merasa dirinya terasing serta tidak memiliki hubungan yang dirasa berharga dan penting. Penolakan dari orang lain atau kelompok dapat terjadi secara ekstrim dimana seseorang yang ditolak akan dikucilkan dan diabaikan. Penolakan yang menengah terjadi saat hubungan yang terjalin dinilai sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting dan tidak patut dipertahankan. Berdasarkan hal di atas, penolakan sosial adalah rendahnya tingkat penilaian seseorang terhadap evaluasi yang dilakukan oleh orang lain terhadap
Universitas Sumatera Utara
hubungan mereka, dimana seseorang merasa tidak dimasukkan dalam suatu kelompok tertentu dan ia merasa bahwa orang lain memandang hubungan yang terjalin antara mereka bukan sebagai sesuatu yang berharga. II.B.2. Dimensi-Dimensi Penolakan Sosial Leary (2004) mengungkapkan dimensi-dimensi penolakan sosial, yaitu: 1. Status belongingness sebelumnya (prior belongingness status) Dimensi ini mengacu pada apakah seseorang telah mengalami penerimaan sebelum terjadinya penolakan. Artinya, apakah individu ditolak dari kelompok atau hubungan sosial yang telah ia masuki sebelumnya (adanya penerimaan sebelum penolakan), atau tidak diterima masuk dalam kelompom sejak awal. Pada kasus dimana seseorang ditolak setelah adanya penerimaan sebelumnya, individu mengalami kehilangan belongingness yang besar, dan pada kasus dimana ia tidak diterima sejak awal (nonacceptance) tidak ada yang hilang namun juga tidak adanya peningkatan belongingness. Kedua episode ini dapat menimbulkan efek yang besar, namun kehilangan keanggotaan atau hubungan dirasa lebih buruk dibandingkan nonacceptance, contohnya dipecat dari pekerjaan lebih buruk dibandingkan dengan tidak diterima bekerja. 2. Evaluative Valence Seseorang ditolak berdasarkan fakta bahwa orang lain mempersepsikan mereka memiliki atribut yang tidak diinginkan untuk menjadi anggota kelompok. Contohnya, seseorang biasanya ditolak karena ia adalah orang
Universitas Sumatera Utara
yang sulit berinteraksi, tidak menyenangkan, kurang memiliki kemampuan, atau tidak memiliki fisik yang menarik. Selain itu, orang-orang yang sangat kompeten, berbakat, atraktif, atau kaya juga mungkin ditolak atau dikucilkan karena memberikan ancaman bagi mereka. 3. Disasosiasi (Disassociation) Disasosiasi mengacu pada apakah orang lain melakukan penarikan diri baik secara fisik ataupun psikologis pada individu yang merasa ditolak. Dalam banyak kasus, orang-orang menunjukkan evaluasi relasional yang rendah dengan menghindar, mengucilkan, menolak, atau disasosiasi lainnya dari orang tersebut, namun kasus lainnya, evaluasi relasional yang rendah tidak diikuti dengan perilaku disasosiasi. Artinya, perasaan ditolak muncul dari perepsi kita bahwa niai relasional yang ada tidak setinggi yang diinginkan. 4. Comparative vs noncomparative judgmenet Terkadang, penolakan terjadi ketika seseorang “kehilangan” penawaran untuk penerimaan karena satu atau lebih individu lainnya. Contohnya adalah orang yang tidak lulus dalam melamar pekerjaan, politikus yang tidak menang dalam pemilu, atlet yang tidak terpilih masuk kedalam tim, dan lainnya. Pada kasus-kasus ini, penolakan melibatkan penilaian komparatif dimana satu orang ditolak karena adanya orang lain yang dianggap lebih pantas. Namun, dalam kasus dimana satu-satunya pelamar pekerjaan tidak diterima pada sebuah posisi, atlet yang dikeluarkan dari tim, termasuk dalam penolakan noncomparative.
Universitas Sumatera Utara
II.B.3. Kategori Penolakan Sosial Ada beberapa kategori penolakan sosial menurut Leary (2001) yaitu: a) Maximal exclusion Seseorang dalam kategori ini telah ditolak, dihindari, diusir dan diasingkan oleh orang lain, dimana ia merasa bahwa hubungan mereka tidak lagi dianggap penting dan berharga oleh orang lain. b) Active exclusion Seseorang dalam kategori ini dihindari oleh orang lain dalam pergaulan mereka. c) Passive exclusion Seseorang dalam kategori ini dikesampingkan oleh orang lain dalam kelompok sosialnya, tidak dianggap lebih penting dari orang lain. d) Ambivalence Seseorang dalam kategori ini keberadaannya membingungkan dimana orang lain tidak peduli apakah ia masuk dalam kelompok atau tidak. e) Passive inclusion Seseorang dalam kategori ini diperbolehkan oleh orang lain untuk masuk dan terlibat dalam kelompok. f) Active inclusion Seseoang dalam kategori ini disambut untuk masuk dan terlibat dalam kelompok, namun tidak sampai pada taraf dicari dan dibutuhkan keberadaannya.
Universitas Sumatera Utara
g) Maximal inclusion Seseorang dalam kateori ini dibutuhkan dan orang-orang mencarinya untuk masuk dan terlibat dalam kelompok sosial mereka. II.B.4. Dampak Penolakan Sosial Leary (2001) mengemukakan beberapa dampak yang muncul akibat adanya penolakan sosial, yaitu: a) Self-Esteem rendah Adanya penolakan sosial seperti feedback negatif dari orang lain, penolakan orangtua, pengabaian teman sebaya, dan lainnya dapat menurunkan selfesteem seseorang. b) Kesepian Perasaan kesepian muncul ketika seseorang menilai hubungan mereka dengan orang lain tidak menunjukkan adanya interaksi sosial dan dukungan. c) Social anxiety Social anxiety, yaitu perasaan gugup dan tidak nyaman dalam situasi sosial yang baru, tidak biasa, dan mengancam (seperti kencan pertama, wawancara pekerjaan, pidato, dan percakapan biasa) adalah respon antisipatori pada kemungkinan evaluasi relasional yang rendah. d) Depresi Kupersmidt dan Patterson (dalam Leary, 2001) menunjukkan rendahnya penerimaan sosial menjadi prediktor utama munculnya depresi.
Universitas Sumatera Utara
e) Cemburu Seseorang merasa cemburu ketika mereka percaya bahwa orang lain tidak cukup menilai hubungan mereka karena kehadiran atau gangguan dari pihak ketiga. Secara berbeda, cemburu muncul ketika seseorang mempersepsikan bahwa orang lain mengurangi nilai hubungan dengannya karena orang tersebut menilai hubungannya dengan pihak ketiga lebih berarti. f) Agresi Adanya penolakan sosial menyebabkan seseorang memiliki kecenderung untuk mengeluarkan perilaku agresi, lebih dekat dengan perilaku mengindar dan bermusuhan. II.C. Tendensi Atribusi Bermusuhan II.C.1. Definisi Tendensi Atribusi Bermusuhan Krahe
(2005)
menyatakan
tendensi
atribusi
bermusuhan
adalah
kecenderungan kebiasaan seseorang untuk menginterpretasi stimulus ambigu dengan cara bermusuhan. Tokoh lainnya yaitu Dodge (dalam Godleski dkk, 2010) mendefinisikan tendensi atribusi bermusuhan sebagai proses atribusi berlebihan terhadap niat bermusuhan pada perilaku orang lain, bahkan saat berada pada situasi dimana atribusi bermusuhan tidak dibenarkan, misalnya ketika maksud sebenarnya adalah baik atau berada pada situasi yang ambigu. Jin, Eagle, & Keat (2008) mendefinisikan tendensi atribusi bermusuhan sebagai kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan perilaku orang lain memiliki niat bermusuhan ketika perilakunya ambigu.
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tendensi atribusi bermusuhan adalah kecenderungan seseorang dalam mengatribusikan atau mengartikan suatu tindakan orang lain pada dirinya sebagai suatu tindakan dengan tujuan bermusuhan dan disengaja, walaupun belum diketahui dengan jelas situasi serta maksud dan tujuan dari orang tersebut yang sebenarnya. II.C.2. Aspek-Aspek Tendensi Atribusi Bermusuhan Krahe & Moller (2004) dalam mengukur tendensi atribusi bermusuhan pada situasi yang ambigu melibatkan 3 aspek berikut : a) Mempersepsikan adanya permusuhan (Perceived Hostile Intens) Krahe & Moller (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang yakin bahwa tindakan tidak menyenangkan dari orang lain pada situasi ambigu merupakan kesengajaan untuk menunjukkan permusuhan. Orang yang memiliki tendensi atribusi
bermusuhan yang rendah akan
menyatakan bahwa mereka tidak yakin bahwa perilaku buruk orang lain kepadanya dilakukan sengaja dan memiliki niat bermusuhan, sebaliknya, orang dengan tendensi atribusi bermusuhan tinggi akan menyatakan sangat yakin bahwa tindakan buruk dari orang lain kepadanya merupakan kesengajaan orang tersebut untuk menunjukkan permusuhan kepadanya. b) Merasakan kemarahan (anger) Krahe & Moller (2004) menyatakan konsep ini mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan kemarahan pada saat ia diperlakukan secara tidak menyenangkan oleh orang lain, ketika situasi tersebut tidak jelas. Orang
Universitas Sumatera Utara
dengan tendensi atribusi bermusuhan rendah akan menyatakan bahwa ia tidak begitu marah atau bahkan tidak marah, namun orang yang memiliki tendensi atribusi bermusuhan tinggi akan menyatakan ia marah atau sangat marah. c) Keinginan membalas (wish to retaliate) Krahe & Moller (2004) menyatakan konsep ini adalah sejauh mana seseorang yang diperlakukan buruk oleh orang lain, walau dalam situsi yang belum jelas sekalipun memiliki keinginan untuk membalas tindakannya. Orang yang memiliki tendensi atribusi bermusuhan tinggi akan cenderung memiliki keinginan yang kuat untuk membalas. II.C.3. Faktor-Faktor Penyebab Atribusi Bermusuhan Stoff,
Breiling,
&
Maser
(1997) menyatakan beberapa faktor yang
menyebabkan munculnya tendensi atribusi bermusuhan. a) Family stressor Crittendon & Ainsworth (dalam menyatakan
anak
yang
Stoff, Breiling, & Maser, 1997)
terabaikan
mengarahkan
dirinya
untuk
mengembangkan suatu struktur pemikiran bahwa lingkungan sosialnya adalah lingkungan yang tidak ramah, sehingga hal ini juga akan mengarahkannya untuk mempersepsikan tindakan orang lain dalam situasi yang ambigu sebagai tindakan permusuhan. Dodge, Bates & Pettit (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan riwayat kekerasan yang dialami anak oleh orang dewasa mengarahkan anak
Universitas Sumatera Utara
untuk mempersepsikan secara bermusuhan tanda-tanda/aksi-aksi orang lain dalam lingkungan sosialnya, bahkan dalam situasi yang belum jelas sekalipun. b) Sosial ekonomi Dodge dkk (dalam Stoff, Breiling, & Maser, 1997) menyatakan anak-anak dengan latar belakang ekonomi yang rendah lebih sering menunjukkan tendensi atribusi bermusuhan. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial di masyarakat, anak-anak Afrika-Amerika yang beresiko mendapatkan diskriminasi ras dari penduduk kulit putih mayoritas merasakan perasaan tidak aman di lingkungannya sehingga anak-anak dari ras Afrika-Amerika lebih sering mempersepsikan aksi/tindakan orang lain sebagai permusuhan. II.D. Hubungan Penolakan Sosial, Tendensi Atribusi Bermusuhan dan Perilaku Tweet War Interaksi melalui dunia maya kini menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Salah satu fenomena yang muncul dari interaksi di media sosial adalah dijadikannya media sosial sebagai media katarsis bagi penggunanya, sehingga seringkali terlihat banyak orang yang memaki-maki dan mengeluarkan kata-kata kasar di media sosial. Salah satu media sosial yang kini sedang digemari oleh banyak orang di Indonesia salah satunya adalah twitter. Twitter juga tidak luput dijadikan sebagai media katarsis bagi para penggunanya. Pada interaksi di twitter, kata-kata kasar yang dikeluarkan seseorang untuk mengungkapkan perasaannya (katarsis) dapat memicu terjadinya sebuah pertengkaran yang dapat
Universitas Sumatera Utara
melibatkan banyak pihak, yang disebut dengan tweet war. Winarno (2012), seorang dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiah Malang mengatakan bahwa media sosial seringkali dijadikan media katarsis oleh penggunanya, di tengah permasalahan hidup yang semakin rumit dan juga terjadinya kebuntuan komunikasi diantara orang-orang terdekat, media sosial hadir mengisi ruang itu. Kebuntuan komunikasi dalam lingkungan sosial berhubungan dengan penerimaan dan penolakan sosial. Leary (2001) menyatakan bahwa penolakan sosial adalah keadaan dimana individu mempersepsikan bahwa orang lain memiliki evaluasi relasional yang rendah terhadap dirinya atau hubungan yang terjalin di antara mereka. Diketahui bahwa manusia secara akut memperhatikan bagaimana orang lain mempersepsikan dan mengevaluasi mereka. Tentu, ketika seseorang merasa diterima atau ditolak, reaksi mereka tidak didasarkan pada tingkat objektif bagaimana orang lain menilai hubungan mereka, tapi lebih pada persepsi seberapa besar mereka dihargai orang lain. Sebagai hasil dari adanya penolakan sosial, maka seseorang akan mengarahkan dirinya untuk mengembangkan suatu struktur pemikiran bahwa lingkungan sosialnya adalah lingkungan yang tidak ramah, sehingga hal ini juga akan mengarahkannya untuk mempersepsikan tindakan orang lain dalam situasi yang ambigu sebagai tindakan permusuhan (Crittendon & Ainsworth dalam Stoff, Breiling & Masser, 1997). Kartono (dalam Soliha, 2010) menambahkan alasan hal ini terjadi adalah karena seseorang mengembangkan reaksi kompensatoris dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk dendam, sikap bermusuhan dengan dunia luar serta mencari keenakan hidup dengan cara-cara yang mengundang perhatian. Penelitian-penelitian juga mendapatkan bahwa kesepian yang dirasakan seseorang karena adanya penolakan menyebabkan seseorang mengembangkan suatu kecenderungan atribusi bermusuhan dalam dirinya, dimana orang yang kesepian akan cenderung membuat atribusi yang bersifat merugikan orang lain dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian (Snodgrass, Qualter & Munn, dalam Qualter dkk, 2012). Tendensi atribusi bermusuhan memainkan peranan yang penting dalam menghasilkan perilaku agresi. Dodge (dalam Leary, 2001) menyatakan bahwa perspektif atribusional menjadi salah satu hal yang berperan dalam munculnya agresi, dan Krahe (2005) menambahkan bahwa gaya atribusi yang dekat dengan agresi adalah atribusi bermusuhan. Proses atribusi sangat penting dalam menentukan muncul atau tidaknya perilaku agresi, kemungkinan individu bereaksi dengan respon agresi sangat bergantung pada interpretasinya terhadap stimulus yang ia terima. Kemudian penelitian lainnya oleh Crick, Dodge & Nelson (dalam Bailey & Ostrov, 2007) pada murid sekolah dasar dan menengah menunjukkan bahwa individu yang memiliki agresivitas tinggi dalam konteks sosial lebih cenderung menunjukkan bias atribusi bermusuhan ketika mengevaluasi provokasi yang ambigu. Jadi, penolakan sosial adalah salah satu faktor yang berperan dalam munculnya perlaku agresi, namun ada variabel mediator yang berperan dalam
Universitas Sumatera Utara
munculnya agresi tersebut, yaitu tendensi atribusi bemusuhan. Penelitianpenelitian juga mendapatkan bahwa tendensi atribusi bermusuhan sering menyebabkan munculnya respon agresif (Dodge & Frame dalam Godleski, 2010) atau memprediksi perkembangan perilaku agresif selanjutnya (Dodge dkk dalam Godleski, 2010) Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat peran tendensi atribusi bermusuhan dalam memediasi hubungan antara penolakan sosial dan perilaku tweet war. Hubungan antara penolakan sosial, tendensi atribusi bermusuhan dan perilaku tweet war dapat dijelaskan dalam Gambar 1 berikut:
Tendensi Atribusi Bermusuhan
Penolakan Sosial
Perilaku Tweet War
Gambar 1. Mediasi Tendensi Atribusi Bermusuhan dalam Hubungan Penolakan Sosial dengan Perilaku Tweet War. II.E. Hipotesa Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Tendensi atribusi bermusuhan memediasi hubungan antara penolakan sosial dan perilaku tweet war”.
Universitas Sumatera Utara