BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengukuran waktu Jam Henti Untuk mendapatkan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan maka tidak cukup sekedar malkukan beberapa pengukuran dengan jam henti (stopwatch), apalagi jam biasa. Banyak faktor yang harus diperhatikan agar diperoleh waktu yang pantas untuk pekerjaan yang bersangkutan seperti yang berhubungan dengan kondisi kerja, cara pengukuran, jumlah pengukuran, dan lain-lain. 2.1.1 Langkah-langkah sebelum melakukan pengukuran Langkah-langkah yang perlu diikuti agar hasil yang diinginkan dapat dipertanggung jawabkan : a. Penetapan tujuan pengukuran Dalam pengukuran waktu perlu ditetapkan dan diketahui tujuan hasil dari pengukuran, tingkat kerelitian, dan tingkat keyakinan yang diinginkannya. b. Melakukan penelitian pendahuluan Tujuan dari pengukuran adalah memperoleh waktu yang pantas untuk diberikan kepada pekerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Tentu suatu sistem kerja dengan kondisi yang telah ada selama ini termasuk diantara yang dapat dicarikan waktu yang pantas tersebut. Waktu kerja sebaiknya dilakukan apabila kondisi kerja dari pekerjaan yang diukur sudah baik. Jika belum maka kondisi kerja yang ada sebaiknya diperbaiki terlebih dahulu. 8
9
c. Memilih Operator Waktu kerja yang diukur bukanlah waktu kerja dari operator yang diambil begitu saja, melainkan memenuhi beberapa persyaratan tertentu agar pengukuran dapat berjalan dengan baik dan dapat diandalkan hasilnya. Jika jumlah pekerja yang tersedia di tempat kerja yang bersangkutan banyak dan berkemampuan yang bervariasi, maka perlu didekatkan dalam distribusi normal dalam statistik distribusi. Kemampuan operator yang diambil bukanlah yang dapat mengerjakan dengan kemampuan tinggi atau rendah tetapi dengan kemampuan normal dan wajar. Disamping itu operator yang dipilih adalah orang yang pada saat pengukuran dilakukan mau bekerja secara wajar.
Kemampuan kerja
Kemampuan kerja
Rendah
Rata-rata
Tinggi
Gambar 2.1 Distribusi kemampuan pekerja d. Melatih Operator Pelatihan masih perlu dilakukan bagi operator terutama jika kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak sama dengan yang biasa dijalankan operator. Hal ini
10
terjadi jika yang akan diukur adalah sistem kerja baru,sehingga operator tidak berpengalaman menjalankannya. Bahkan bila sistem kerjanya adalahyang sudah ada selama ini, operatorpun bisa kurang menguasai pekerjaannya terutama bila banyak perubahan rancangan yang dilakukan. e. Mengurai pekerjaan atas elemen pekerjaan Pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan, yang merupakan gerakan bagian dari pekerjaan yang besangkutan. Waktu siklusnya adalah waktu penyelesaian satu satuan waktu produk penyelesaian ini. Waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produk sejak bahan baku mulai diproses di tempat kerja yang bersangkutan. Ada beberapa pedoman untuk menguraikan pekerjaan atas elemenelemennya : 1. Sesuai dengan ketelitian yang diinginkan, uraikan pekerjaan menjadi elemen-elemennya serinci mungkin, tetapi masih dapat diamati oeh indera pengukur dan dapat direkam waktunya oleh jam henti. 2. Untuk memudahkan, elemen-elemen pekerjaan hendaknya berupa satu atau gabungan beberapa elemen gerakan, misalnya seperti yang dikembangkan Gilbert. 3. Jangan sampai ada elemen yang tertinggal; jumlah dari semua elemen harus tepat sama dengan keseluruhan pekerjaan yang bersangkutan. 4. Elemen yang satu hendaknya dapat dipisahkan dari elemen yang lain secara jelas. f. Menyiapkan perlengkapan pengukuran Sebelum melakukan pengukuran ada hal yang perlu disiapkan yaitu :
11
1. Jam Henti 2. Lembaran-lembaran pengamatan 3. Pena atau pensil 4. Papan Pengamatan
2.1.2
Melakukan pengukuran waktu Pengukuran waktu yang dimaksudkan adalah pekerjaan mengamati dan
mencatat waktu-waktu kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan
alat-alat
yang
sudah
disiapkan
sebelumnya.
Pengukur
menempatkan posisi dimana operator tidak terganggu kegiatannya dan dalam posisi memeudahkan pengukur dalam melakukan pengukuran. Untuk mengetahui jumlah pengukuran yang harus dilakukan, diperlukan beberapa tahap pengukuran pendahuluan seperti dijelaskan berikut
Pengukur
menentukan jumlah awal pengukuran, yang selajutnya pengukur melakukan tahap pengujian keseragaman data dan menghitung julah pengukuran yang harus dilakukan. Pemrosesan hasil pengukuran dilakukan dengan langkah-langkah berikut : 1. Mengelompokkan hasil pengukuran ke dalam subgrup-subgrup yang masing-masing berisi beberapa harga pengukuran yang diperoleh secara berturut-turut, dan hitung rata-ratanya. 2. Hitung rata-rata sub sub grup dengan:
= Dimana :
12
adalah harga rata-rata dari subgrup ke-i k adalah harga banyaknya subgrup yang terbentuk 3. Hitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian dengan
Σ= Dimana : N adalah jumlah pengamatan pendahulunya yang telah dilakukan adalah waktu penyelesaian yang teramati selama pengukuran pendahuluan yang telah dilakukan. 4. Hitung standar deviasi dan distribusi harga rata-rata subgrup dengan : = Dimana: n adalah besarnya subgrup 5. Tentukan batas kendali atas (BKA) dan batas kendali bawah (BKB) dengan : BKA = BKB = 6. Tentukan jumlah pengukuran dengan :
N’ =
Rumus ini adalah untuk tingkat ketelitian 5% dan tingkat keyakinan 95% Dimana: N adalah jumlah pengukuran yang telah dilakukan.
13
Pada rumus ini jika nilai N’>N maka perlu diadakan pengambilan data sampai nilai besaran N’
Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini adalh waktu
yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Yang ideal tentunya dilakukan pengukuran-pengukuran yang sangatbanyak (sampai tak terhingga kali, misalnya), karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karen keterbatasan waktu, biaya dan tenaga. Namun, sebaliknya jika dilakukan hanya beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga hasilnya sangat kasar. Dengan demikian yang diperlukan adalah jumlah pengukuran yang tidak dapat dipercaya. Jadi walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa kali saja. Tingkat
ketelitian
menunjukkan
penyimpangan
maksimum
hasil
pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya yang diharuskan dicari). Sementara tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperolah memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10 % dari rata-rata sebenarnya.
2.1.4
Pengujian keseragaman data
Sekelompok data dikatakan seragam bila berada diantara kedua batas kontrol. BKA =
14
BKB = Bila diluar batas-batas itu, yang secara statistika disebut berasal dari sistem sebab yang berbeda, dikatakan sebagai data-data yang tak seragam.
2.2
Melakukan perhitungan waktu baku
Jika data yang didapat memiliki tingkat keseragaman yang dikehendaki, dan jumlahnya sudah memenuhi tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan, makakegiatan pengukuran telah selesai. Selanjutnya adalah mengolah data yang sudah didapatkan tersebut menjadi waktu baku. Untuk mendapatkan waktu baku tersebut dilakukan langkah sebagai berikut : a. Hitung waktu siklus, yang adalah waktu penyelesaian rata-rata selama pengukuran:
b. Hitung waktu baku normal Wn = Ws x p Dimana p adalah faktor penyesuaian c. Hitung waktu baku Wb = Wn (1 +1) Dimana 1 adalah kelonggaran atau allowance yang diberikan kepada pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal. Kelonggaran ini diberikan untuk tiga hal, yaitu kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatigue, dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan oleh pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatan dalam persen dari waktu normal.
15
2.3 Penyesuaian Dalam bekerja, ketidak wajaran dapat terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau menjumpai kesulitankesulitan seperti
kondisi
ruangan
yang buruk. Penyebab-penyebab ini
mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu lambat atau cepatnya penyelesaian suatu pekerjaan. Hal ini jelas tidak diinginkan karena dalam waktu baku, kondisi dan cara kerja secara wajar. Penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau waktu yang normal. 2.3.1 Penyesuaian Menurut Westinghouse Cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu Keterampilan, Usaha, Kondisi kerja, dan Konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing. Keterampilan atau Skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Untuk keperluan penyesuaian, keterampilan dibagi menjadi enam kelas dengan ciri-ciri dari setiap kelas seperti yang dikemukakan berikut ini. Super skill : 1. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya. 2. Bekerja dengan sempurna. 3. Tampak seperti telah terlatih dengan baik.
16
4. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sangat sulit untuk diikuti 5. Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin. 6. Perpindahan dari suatu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak terlampau terlihat karena lancarnya. 7. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berfikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjakan (sudah sangat otomatis). 8. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah pekerja yan gsangat baik. Excellent Skill : 1. Percaya peda diri sendir 2. Tampak cocok dengan pekerjaannya 3. Terlihat telah terlatih dengan baik. 4. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran atau pemeriksaan lagi. 5. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urut-urutannya dijalankan tanpa kesalahan. 6. Menggunakan peralatan dengan baik 7. Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu 8. Bekerjanya cepat tapi halus 9. Bekerjanya berirama dan terkoordinasi Good Skill : 1. Kualitas hasil baik.
17
2. Bekerjanya tampak lebih baik daripada kebaynakan pekerja pada umumnya. 3. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya lebih rendah. 4. Tampak jelas sebagai pekerja yan cakap 5. Tidak memerlukan banyak pengawasan. 6. Tidak ada keragu-raguan. 7. Bekerjanya “stabil” 8. Gerakan – gerakannya terkoordinasi dengan baik. 9. Gerakan-grakannya cepat. Average Skill : 1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri. 2. Gerakannya cepat tetapi tidak lambat. 3. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan perencanaan. 4. Tamapak sebagai pekerja yang cakap 5. Gerakan-gerakan cukup menunjukkan tidak adanya keragu-raguan. 6. Mengkoordisnasi tangan dan pikiran dengan cukup baik. 7. Tampak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk pekerjaanya. 8. Bekerja cukup teliti. 9. Secara keseluruhan cukup memuaskan. Fair Skill : 1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik. 2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya
beluk
18
3. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakangerakan. 4. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup. 5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah dipekerjakan dibagiannya telah sejak lama. 6. Mengetahui apa yang dilakukan dan harus dilakukan tapi tampaknya tidak selalu yakin. 7. Sebagian waktunya terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri. 8. Jika tidak bekerja secara sungguh-sungguh outputnya akan sangat rendah. 9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya Poor Skill : 1. Tidak bisa mengkoordinasi tangan dan pikiran 2. Gerakan-gerakannya kaku 3. Kelihatan ketidak yakinan pada urutan-urutan gerakan. 4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan. 5. Tidak terlihat kecocokan dengan pekerjaannya. 6. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan-gerakan kerja. 7. Sering melakukan kesalahan-kesalahan. 8. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri. 9. Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri. Untuk usaha atau effort, cara westinghouse membagi juga kelas-kelas dengan ciri-ciri tersendiri. Yang dimaksud adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya. Berikut ini ada enam usaha dengan ciri-cirinya, yaitu;
19
Excessive effort : 1. Kecepatan sangat berlebihan 2. Usahnya sangat bersungguh-sungguh tetapi
dapat membahayakan
kesehatanya. 3. Kece[atan yang ditimbulkan tidak dapat dipertahankan sepanjang hari kerja. Excellent effort : 1. Jelas terlihat kecepatannya sangat tinggi 2. Gerakan-gerakan lebih ekonomis daripada operator-operator biasa 3. Penuh perhatian pada pekerjaannya 4. Banyak membarikan saran. 5. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang 6. Percaya pada kebaikan dengan maksud pengukuran waktu. 7. Tidak bertahan lebih dari beberapa hari 8. Bangga atas kelebihannya 9. Gerakan-gerakan yang salah terjadi jarang sekali 10. Bekerjanya sangat sistematis 11. Karena lancarnya, perpndahan dari suatu elemen ke elemen yang lain tidak terlihat. Good effort 1. Bekerja berirama 2. Saat-saat menganggur sangat sedikit. 3. Penuh perhatian pada pekerjaannua 4. Senang pasa pekerjaaannya.
20
5. Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari. 6. Percaya pada kebaikan waktu pengukuran waktu. 7. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang. 8. Dapat memberikan saran-saran untuk perbaikan kerja. 9. Tempat kerjanya diatur dengna baik dan rapi. 10. Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik. 11. Memelihara dengan baik kondisi peralatan. Average effort : 1. Tidak sebaik good, tetapi lebih baik dari good. 2. Bekerja dengna stabil. 3. Menerima saran-sran tapi tidak melaksanakannya. 4. Set-up dilaksanakan denan baik. 5. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan. Fair effort : 1. Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal. 2. Kadang-kadang perhatian tidak ditunjukkan pada pekerjaannya. 3. Kurang sungguh-sungguh. 4. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya. 5. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku 6. Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik. 7. Terliahat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya. 8. Terlampau hati-hati 9. Sistematika kerjanya sedang-sedang saja. 10. Gerakan-gerakannya tidak terencana
21
Poor effort: 1. Banyak membuang-buang waktu. 2. Tidak memperhatikan adanya minat bekerja 3. Tidak mau menerima saran-saran. 4. Tampak malas dan lambat saat bekerja. 5. Melakukan gerakangerakan yang tidak perlu untk mengambil alat-alat dan bahan. 6. Tempat kerjanya tidak diatur dengan rapi. 7. Tidak perduli pada cocok/baik tidaknya tempat kerja yang telah diatur 8. Set up kerjanya terlihat tidak baik. Yang dimaksud dengan kondisi kerja dalam westing house adalah kondisi fisik lingkungannay seperti keadaan pencahayaan, suhu, dan kebisingan ruangan. Dibagi dalam enam kelas yaitu ; Ideal, excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah Konsistensi. Karena pada setiap pengukuran waktu tidak pernah sama, waktu penyelesaian pekerjaan selalu berubah-ubah dari satu siklus ke siklus lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari. Dibagi dalam enam kelas yaitu ; Ideal, excellent, Good, Average, Fair, dan Poor. Seseorang bekerja perfect adalah yang dapat bekerja dengan waktu penyelesaian yang boleh dikatakan tetap dari saat ke saat. Secara teoritis mesin atau pekerja yang waktunya dikendalikan oleh mesin merupakan contoh variasi waktu yang tidak diharapkan terjadi. Kebaliknya konsistensi poor terjadi bila waktu-waktu penyelesaian berselisih jauh dari rata-rata secara acak. Konsistensi Average adalah bila seliasaih antara waktu dan penyelesaian dengan rataratanyatidak besar walaupun ada satu dua yang “letaknya” jauh.
22
Dalam menghitunga faktor penyesuaian, bagi keadaan yang dianggap wajar diberi harga p=1, sedangkan terhadap penyimpangan dari keadaan ini harga p ditambah dengan angka-angka yang sesuai dengan ke-empat faktor diatas.
2.4 Kelonggaran Keloggaran di berikan untuk tiga hal yaitu unutk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatigue, dan hambatan-hambatan yang tifak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur dicatat ataupun dihitung. 2.4.1
Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi
Kebutuhan pribadi seperti minum, ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekerja sekedar untuk melepaskan ketegangan maupun kejemuan dalam bekerja. Perhitungan khusus perlu dilakukan untuk menentukan besarnya kelonggaran ini secara tepat dengan sampling maupun secara fisiologis. Tabel Kelonggaran dapat dilihat di tabel 2.1 2.4.2
Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatigue
Rasa fatigue tercermin ketika menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Karenanya salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat apabila terjadi penurunan kerja. 2.4.3
Kelonggaran untuk hambatan-hambatan yang tak terhindarkan. Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak bisa terlepas oleh
“hambatan”. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol berlebihan
23
dan menganggur secara sengaja. Ada juga hambatan yang tidak bisa dihindarkan karena berada diluar kemampuan pekerja. Besarnya hambatan bervariasi dari suatu pekerjaan ke perkerjaan lain atau bahkan satu sistem ke sistem yang lain.
2.5 Peramalan (Forecasting) Peramalan (forecasting) merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien khususnya dalam bidang Ekonomi. Peramalan mempunyai peranan langsung pada peristiwa eksternal yang pada umumnya berapda di luar kendali manajemen, seperti : Ekonomi, Pelannggan, Pesaing, Pemerintah dan lain sebagainya. Peramalan(forecasting) adalah prediksi, proyeksi atau perkiraan akan suatu peristiwa yang tidak pasti di masa mendatang. Aktivitas peramalan merupakan suatu fungsi bisnis yang berusaha memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat dibuat dalam kuantitas yang tepat. Tujuan dari peramalan sendiri adalah untuk dapat menentukan atau membuat suatu perencanaan dalam pemenuhan permintaan di masa mendatang dengan memperkirakan besarnya penjual an dan penggunaan produk, sehingga produk dapat diproduksi dalam jumlah yang tepat Peramalan permintaan dalam bidang produksi mengambil peranan penting terutama
yang
menyangkut
perencanaan
skedul
produksi,
perencanaan
pemenuhan bahan, perencanaan kebutuhan tenaga kerja, perencanaan kapasitas produksi, perencanaan layout fasilitas, penentuan lokasi, penentuan metode proses, penentuan jumlah mesin, dasain aliran barang dan lain sebagainya.
24
2.5.1 Model Peramalan Secara umum model-model peramalan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok utama : (Vincent Gasperz:PPIC, hal 85) 1. Model Kualitatif Pada dasarnya metode kualitatif ditunjukkan lebih berdasarkan intuisi atau pertimbangan. Beberapa model peramalan yang digolongkan kualitatif adalah ; Dugaan manajemen, riset pasar, metode kelompok terstruktur, dan analogi historis. 2. Metode kuantitatif Metode kuantitatif lebih berdasarkan analisis hubungan numerik dari data. Metode ini dibagi menjadi dua : a. Intrinsik Model kuantitatif Intrinsik sering disebut model-model deret waktu (time series model). Beberapa model deret waktu yang populer adalah; rata-rata
bergerak
(exponential
(moving
smoothing),
average),
dan
proyeksi
pemulusan
eksponensial
kecenderungan
(trend
projection). b. Ekstrinsik Model kuantitatif ekstrinsik disebut juga model kausal, dan yang populer adalah model-model regresi (regression causal model)
Karakteristik/pola permintaan : 1. Rata-rata, permintaan yang konstan selama periode tertentu
25
2. Trend, merupakan penyesuaian terhadap pengaruh musiman, cyclical dan kejadian lain yang mungkin mempengaruhi hasil akhir peramalan. 3.
Seasonality, peramalan yang dipengaruhi oleh faktor musiman
4. Random variation disebabkan oleh suatu kesempatan peristiwa. 5. Cyclical, sulit ditentukan, karena dipengaruhi oleh beberapa hal di luar kendali seperti pemilihan umum, perang, kondisi ekonomi atau tekanan sosial (Presentasi
kuliah
Perencanaan
dan
Pengendalian
Produksi,
Yovanka
Produksi,
Yovanka
Rumondang) Pemilihan model peramalan tergantung pada: 1. Rentang waktu forcast. 2. Ketersediaan Data 3. Akurasi/ketepatan 4. Budget forcast 5. Ketersediaan qualified personnel (Presentasi
kuliah
Perencanaan
dan
Pengendalian
Rumondang) Tahapan dalam menentukan peramalan : 1. Plot data pada diagram (grafik) 2. Pilih min 2 macam metode peramalan 3. Hitung parameter masing-masing fungsi 4. Hitung kesalahan peramalan masing-masing 5. Pilih peramalan dengan nilai kesalahan peramalan terkecil 6. Verifikasi terhadap fungsi peramalan terpilih
26
7. Tentukan nilai ramalan di masa datang (Presentasi
kuliah
Perencanaan
dan
Pengendalian
Produksi,
Yovanka
Rumondang)
2.5.2
Model Rata-Rata bergerak (Moving Average Model) Dalam penelitian ini penulis akan mencoba menggunakan 2 metode yang
dalam perhitungannya tidak menggunakan tren, dikarenakan pola data yang digunakan penulis tidak menunjukkan kecenderungan atau tren. Model rata-rata bergerak menggunakan data aktual yang baru untuk membangkitkan nilai ramaln untuk permintaan dimasa yang akan datang. Metode rata-rata bergerak menggunakan formula sebagai berikut :
Rata-rata Bergerak n-Periode =
Dimana n adalah banyaknya periode dalam rata-rata bergerak.
Ft
At
1
At
2
At n
3
... At
n
Dimana : Ft
= Peramalan untuk periode mendatang
n
= jumlah periode pengamatan
A t-1
= data aktual satu periode yang lalu
27
2.5.3
Model Rata-Rata Bergerak Terbobot ( Weighted Moving Average Model)
Model rata-rata bergerak terbobot lebih responsif terhadap perubahan karena data dari periode yang baru biasanya diberi bobot lebih besar. Model rata-rata bergerak terbobot memiliki formula :
Weighted MA(n) =
F1 = W A At-1 + W2At=2 + ... + Wn At-n Dimana : W1
= bobot yang diberikan pada periode t-1
W2
= bobot yang diberikan pada periode t-2
Wn
= bobot yang diberikan pada periode t-n
n
= Jumlah periode
2.5.4
Mean absolute deviation (MAD)
Nilai kesalahan peramalan merupakan hasil perhitungan rata-rata nilai absolute dari selisih antara kondisi aktual dengan hasil peramalan. MAD = Dimana : t
= Period Number
A
= Actual demand for the period
F
= Forecast demand for the period
28
2.5.5
Tracking Signal (TS)
Suatu cara pengukuran kesalahan peramalan yang mengindikasikan bagaimana suatu nilai peramalan memperkirakan nilai aktual. TS = TS = Tracking Signal yang positif, menunjukkan bahwa nilai aktual permintaan lebih besar dari peramalan. Tracking Signal yang negatif, menunjukkan bahwa nilai aktual permintaan lebih kecil dari peramalan. Tracking Signal yang “baik” yaitu apabila memiliki nilai Run Sum of Forecast Error (RSFE) yang rendah dan mempunyai positif error yang sama banyak atau seimbang dengan negatif error, sehingga pusat dari tracking signal mendekati nol. Langkah-langkah menggunakan model rata-rata bergerak : 1. Identifikasi pola histotis dari data aktual permintaa 2. Memilih model peramalan yang sesuai dengan pola historis dari data aktual permintaan 3. Melakukan analisis data berdasarkan model peramalan yang dipilih 4. Memilih model peramalan yang tepat berdasarkan MAD terkecil 5. Memeriksa kandalan model peramalan yang dipilih berdasarkan peta kontrol traking signal.
2.6 Rencana Produksi Agregat Perencanaan produksi agregat adalah perencanaan yang dinyatakan pada tingkat kasar untuk memenuhi total kebutuhan permintaan dari seluruh produk yang bersama-sama saling menggunakan sumber daya terbatas.
29
Pada dasarnya perencanaan manufacturing (manufacturing planning) mencakup perencanaan terhadap output dan input dari operasi manufakturing yang dikelompokkan dalam dua jenis perencanaan, yaitu: perencanaan prioritas (priority planning) yang berkaitan dengan perencanaan output dan perencanaan kapasitas (capacity planning) yang berkaitan dengan perencanaan input. Perencanaan prioritas menentukan produk-produk atau prioritas-prioritas dari operasi manufakturing untuk memenuhi permintaan pasar. Sedangkan perencanaan kapasitas menentukan sumber-sumber daya input atau tingkat kapasitas yang dibutuhkan oleh operasi manufakturing untuk memenuhi jadwal produksi atau output yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal produksi. Perencanaan kapasitas mencakup kebutuhan sumber-sumber daya. Dalam sistem MRP II, perencanaan kapasitas tidak mencakup material, karena perencanaan material ditangani oleh fungsi perencanaan prioritas melalui penjadwalan produksi induk dan perencanaan kebutuhan material. Keberhasilan
perencanaan
dan
pengendalian
manufakturing
membutuhkan perencanaan kapasitas yang efektif, agar mampu memenuhi jadwal produksi yang ditetapkan. Kekurangan kapasitas dapat menyebabkan kegagalan memenuhi target produksi, keterlambatan dan kehilangan kepercayaan dalan sistem formal yang mengakibatkan reputasi perusahaan menurun. Pada sisi lain kelebihan kapasitas dapat menyebabkan tingkat utilisasi sumber-sumber daya yang rendah, biaya meningkat dan menyebabkan harga tidak kompetitif, kehilangan pangsa pasar, penurunan keuntungan, dan lain-lain. Sistem manufakturing tidak dapat memproduksi output yang diinginkan tanpa memiliki
30
input yang cukup Oleh karena itu aktivitas perencanaan prioritas sejajar dengan aktivitas perencanaan kapasitas, sehingga terdapat suatu hierarki dari rencanarencana kapasitas yang sejajar dan sesuai dengan hierarki dari rencana-rencana prioritas. Hierarki Tingkat Perencanaan Strategik
Perencanaan Strategik Bisnis Manajemen Permintaan
Tingkat Perencanaan Taktikal
Perencanaan Prioritas
Perencanaan Kapasitas
Perencanaan
Perencanaan Kebutuhan
Produksi
Sumber Daya (RRP)
Penjadwalan
Rough-Cut
Produksi Induk
Capacity Planning (RCCP)
Perencanaan
Perencanaan
Kebutuhan
Kebutuhan
Material (MRP)
Kapasitas(CRP) Pengendalian Kapasitas
Pengendalian
Operations Sequencing
Aktivitas
Sequencing
Produksi (PAC) Outgoing
Pengendalian Input/Output
Products
Keterangan : RRP MPS CRP MRP PAC
= Hubungan dua arah, termasuk umpan balik = Resources Requirement Planning = Master Production Planning = Capacity Requirement Planning = Material Requirement Planning = Production Activity Control Gambar 2.2 Sistem Manufacturing Resource Planning
31
Terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanan prioritas dan kapasitas yang terintegrasi, antara lain : 1. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya. 2. Penjadwalan Induk Produksi (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP) 3. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP). 4. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operation Sequence.
Pada dasarnya proses perencanaan produksi dapat dikemukanan dalam empat langkah utama, sebagai berikut: Langkah 1 : Mengumpulkan data-data relevan bagi perencanaan produksi. Seperti; Sales Forecast yang bersifat tidak pasti dan pesanan- pesanan yang bersifat pasti selama periode tertentu. Yang perlu diperhatikan juga adalah Back Log, kuantitas produksi di waktu yang lalu yang masih kuran dan masih harus diproduksi. Langkah 2 : Mengembangkan daya yang relevan itu kedalam sebuah informasi yang teratur seperti di dalam tabel.
32
Deskripsi 1. Ramalan Penjualan 2. Pesanan (orders) 3. Permintaan Total = (1)+(2) Rencana Produksi Inventory
Tabel 2.1 Tabel rencana produksi Periode Waktu (Bulan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
9
10
11
12
Langkah 3 : Menentukan kapabilitas produksi, berkaitan dengan sumbersumber daya yang ada. Langkah 4 : Melakukan partnership meeting.
Pada dasarnya dalam sistem MRP II terdapat tiga alternatif strategi perencanaan produksi, yaitu: level method, chase strategy, dan compromise strategy sebagai berikut: 1. Level Method Didefinisikan sebagai metode perencanaan produksi yang memiliki distribusi
produksi
yang
merata.
Pada
strategi
ini
akan
mempertahankan tingkat kestabilan produksi sementara inventory akan mengalami variasi. 2. Chase Strategy Didefinisikan
sebagai
metode
perencanaan
produksi
yang
mempertahankan tingkat kestabilan inventory, sementara produksi bervariasi mengikuti permintaan total. 3. Compromise Strategy
33
Didefinisikan sebagai strategi yang menjadi kompromi diantara kedua metode perencanan produksi diatas.
2.7 Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Perencanaan
kebutuhan
sumber
daya
(resource
requirement
planning=RRP) merupakan tingkat atau level tertinggi dalam hierarki perencanan kapasitas. Terdapat perbedaan antara perencanan kebutuhan sumber daya pada level satu dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
No 1
2
3 4
Tabel 2.2 Perbedaan antara RRP dan RCCP Deskripsi RRP RCCP Input Kelompok produk Produk-produk atau item-item dan komponenkomponen Periode Triwulan atau Mingguan atau perencanaan bulanan harian No offset Lead-time offset Output Resource plan Rough cut capacity plan Metode Bill of resource Detailed product load profile
Pada dasarnya perencanaan sumber daya (RRP) dapat dilakukan lima langkah berikut: Langkah 1 : Memperoleh rencana produksi seperti telah dikemukakan dalam proses perencanaan produksi. Apabila menggunakan sistem MRP II, kita dapat memilih salah satu dari tiga strategi perencanaan produksi, yaitu : Level Method, Chase strategy, dan compromise. Langkah 2 : Menentukan struktur produk Langkah 3 : Menemukan bill of resource
34
Bill of resource tergantung pada struktur produk yang berada dalam langkah 2 untuk product mix dan juga tergantung pada tingkat penggunaan dari sumbersumber daya kritis Langkah 4 : Menghitung kebutuhan sumber daya total. Langkah 5 : Mengevaluasi rencana yang telah dilakukan. Dalam langkah ini setiap rencana dievaluasi performansinya berkaitan dengan biaya dan tingkat efisiensi, karena setiap rencana membutuhkan tingkat inventory maupun penggunaan tenaga kerja yang berbeda. Eveluasi terhadap setiap rencana juga penting untuk mengetahui apakah rencana itu memenuhi kendala yang ada. Apabila perencanaan produksi dan perencanan kebutuhan sumber daya pada level satu (tertinggi) dan perencanaan fasilitas ini telah dapat diselesaikan, kita dapat masuk dalam tahap perencanan selajutnya yaitu penjadwalan master production schedule (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP).
2.8 MPS dan RCCP Sebuah sistem manufaktur tidak dapat memiliki output yang diinginkan tanpa memiliki kapasitas input yang memadai. Karena itu, dalam sistem manufaktur modern aktivitas perencanaan prioritas sejajar dengan aktivitas perencanaan kapasitas, sehingga terdapat suatu hierarki dari rencana-rencana kapasitas yang sejajar dan sesuai dengan hierarki dari rencana-rencana prioritas. Menurut Gasperz, pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanaan prioritas dan kapasitas yang terintegrasi, antara lain: 1. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya.
35
2. Penjadwalan Produksi Induk (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP). 3. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP). 4. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operations Sequencing. Perencanaan produksi merupakan suatu proses penetapan tingkat output manufaktur secara keseluruhan guna memenuhi tingkat penjualan yang direncanakan dan inventory yang diinginkan. Rencana produksi mendefinisikan tingkat manufaktur, biasanya dinyatakan sebagai tingkat bulanan untuk periode satu tahun atau lebih, untuk setiap kelompok produk. Rencana produksi harus konsisten dengan rencana bisnis, yang dalam sistem MRP II merupakan input bagi proses perencanaan produksi. Perencanaan produksi merupakan tanggung jawab manajemen puncak (top management) yang membutuhkan konsumen dari semua departemen fungsional, terutama dari departemen pemasaran, keuangan, PPIC, dan produksi. Perencanaan produksi menetapkan kerangka kerja untuk penjadwalan produksi induk (MPS) dan pelaksanaan manufaktur. Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP) merupakan suatu proses yang mengevaluasi Rencana Produksi guna menentukan sumber daya jangka panjang, seperti: tanah, fasilitas, mesin-mesin dan tenaga kerja adalah tersedia. Pada tingkat RRP, produk-produk sering diagregasikan ke dalam kelompok atau family dari item-item serupa, dan suatu item typical dalam kelompok digunakan untuk menghitung beban (load) untuk kelompok secara keseluruhan. Apabila sumbersumber daya itu telah tersedia, rencana produksi dapat dilaksanakan. Namun
36
apabila sumber-sumber daya itu tidak cukup, rencana produksi harus diubah, atau mencari tambahan sumber daya tersebut. Apabila sumber daya yang direncanakan dan yang dibutuhkan adalah sama, Rencana Produksi dianggap layak untuk diteruskan ke tingkat hierarki berikut, yaitu MPS, untuk dilaksanakan. Penjadwalan Produksi Induk (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP) merupakan perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada hierarki level taktikal (level 2). MPS menguraikan Rencana Produksi untuk menunjukkan kuantitas produk akhir yang akan diproduksi untuk setiap periode waktu (biasanya mingguan apabila menggunakan sistem MRP II atau harian bila menggunakan sistem JIT) sepanjang horizon perencanaan takttis (biasanya satu tahun). Apabila rencana produksi menunjukkan tingkat produksi untuk kelompok produk, MPS menjadwalkan kuantitas spesifik dari produk akhir dalam periode waktu spesifik. Rough Cut Capacity Planning (RCCP) menentukan tingkat kecukupan sumber daya yang direncanakan untuk melaksanakan MPS. RCCP menggunakan definisi dari unit product loads yang disebut sebagai: profil produk-beban (product-load profiles, bills of capacity, bills of resources, atau bill of labor). Penggandaan beban per unit dengan kuantitas produk yang dijadwalkan per periode waktu akan memberikan beban total per periode waktu untuk setiap pusat kerja (work center). RCCP lebih terperinci dari RRP, karena RCCP menghitung beban untuk semua item yang dijadwalkan dan dalam periode waktu aktual. Apabila proses RCCP mengindikasikan bahwa MPS adalah layak, MPS akan diteruskan ke proses MRP guna menentukan bahan baku atau material, komponen, dan subassemblies, yang dibutuhkan. Dalam perusahaan yang berorientasi pada kapasitas seperti industri
37
kimia, apabila RCCP mengindikasikan terdapat masalah dengan MPS, perencana harus mengubah MPS melalui salah satu penjadwalan ulang pesanan-pesanan pelanggan (costumer orders) atau melalui pemberitahuan ke bagian pemasaran untuk tidak menjual melebihi kapasitas yang ada. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) merupakan perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada hierarki level operasional (level 3). MRP mengembangkan pesanan-pesanan yang direncanakan untuk bahan baku, komponen dan subassemblies yang dibutuhkan untuk memenuhi MPS. MRP juga merekomendasikan penjadwalan ulang terhadap open orders apabila due dates dan need dates tidak sama. MRP menggunakan data inventory dan Bill of Material (BOM) sebagai tambahan pada MPS untuk dijadikan sebagai input. Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) membandingkan kapasitas yang dibutuhkan terhadap projected available capaity untuk open manufacturing orders dan planned manufacturing orders yang dihasilkan oleh sistem MRP. CRP menggunakan routing files dan informasi pusat kerja untuk menghitung beban yang dijadwalkan pada pusat-pusat kerja, dengan mengasumsikan infinite capacity. Jika projected capacity berbeda dengan yang dibutuhkan oleh projected load, perencana dapat merekomendasikan tindakantindakan korektif kepada manajemen puncak termasuk mengurangi atau menjadwalkan ulang pesanan-pesanan, merekrut atau mengurangi tenaga kerja, mengalihtugaskan pekerja, mensubkontrakkan, atau melakukan alternate routings. Apabila CRP mengindikasikan bahwa beban dari pesanan yang dikeluarkan ditambah jadwal MRP dari pesanan yang direncanakan adalah layak dari sudut
38
pandang kapasitas, pesanan-pesanan yang direncanakan itu dikeluarkan ke Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) untuk dilaksanakan. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC), Pengendalian Input/Ouput, dan Operations Sequencing merupakan perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada hierarki level pelaksanaan dan pengendalian (level 4). PAC mengembangkan jadwal jangka pendek yang terperinci dengan menggunakan component due dates dari MRP dan detailed routings. Jadwal PAC biasanya dalam bentuk hari atau kadang-kadang jam, dan cenderung mencakup waktu dari satu sampai tiga bulan. PAC melibatkan perencanaan, pengeluaran, dan pengendalian pesanan-pesanan manufaktur. Pengendalian input/ouput memantau kuantitas dari pekerjaan yang datang pada pusat kerja dan yang meninggalkan pusat kerja tersebut. Perencana produksi membandingkan aktual pekerjaan yang tiba dan banyaknya yang diselesaikan, kemudian mengambil tindakan korektif seperti menambah jam kerja lembur (overtime), mentransfer pekerja di antara pusat-pusat kerja, alternate routings terhadap transfer beban ke pusat kerja lain, atau melakukan splitting dan/atau overlapping operations. Operations Sequencing merupakan suatu teknik simulasi untuk perencanaan jangka pendek dan priority dispatching dari pekerjaanpekerjaan yang dikerjakan pada setiap pusat kerja, berdasarkan pada kapasitas sekarang, prioritas, routings, dan informasi lain. PAC mewakili pelaksanaan dan pengendalian dari rencana-rencana manufaktur yang telah dikembangkan dalam tingkat perencanaan yang lebih tinggi. Pada level ini, pekerjaan benar-benar secara aktual diselesaikan, juga memberikan umpan balik yang bermanfaat untuk
39
digunakan oleh tingkat yang lebih tinggi dalam meningkatkan proses perencanaan mereka. 2.9 Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule) Pada dasarnya jadwal produksi induk merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu pernyataan industri manufaktur yang merencanakan produksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. Apabila rencana produksi yang merupakan hasil dari proses perencanaan produksi (aktivitas pada level 1 dalam hierarki perencanaan prioritas) dinyatakan dalam bentuk agregat, maka jadwal produksi induk (MPS) yang merupakan hasil dari proses penjadwalan produksi induk dinyatakan dalam konfigurasi spesifik dengan nomor-nomor item yang ada dalam Item Master and BOM (Bill of Material) files. Namun langkah agregat dilakukan hanya untuk perusahaan yang bersifat make to stock. Bila perusahaan make to order, maka peramalan tidak perlu dilakukan (cukup dengan daftar order pelanggan saja). Aktivitas penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan proses penyusunan dan perbaharuan jadwal produksi induk (MPS), memproses transaksi dari MPS, memelihara catatan-catatan MPS, mengevaluasi efektivitas dari MPS, dan memberikan laporan evaluasi dalam periode waktu yang teratur untuk keperluan umpan balik dan tinjauan ulang. Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa MPS berkaitan dengan pernyataan tentang produksi, dan bukan pernyataan tentang permintaan pasar. MPS sering didefinisikan sebagai anticipated build schedule untuk item-item yang disusun oleh perencana jadwal produksi induk (master scheduler). MPS membentuk jalinan komunikasi antara
40
bagian pemasaran dan bagian manufakturing, sehingga bagian pemasaran juga harus mengetahui informasi yang ada dalam MPS terutama berkaitan dengan ATP (Available To Promise) agar dapat memberikan janji yang akurat kepada pelanggan. Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama, yaitu: 1. Data Permintaan Total Merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecast) dan pesanan-pesanan (orders). 2. Status Inventory Berkaitan
dengan
informasi
tentang
on-hand
inventory,
stok
yang
dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat jumlah inventory yang tersedia dan menentukan jumlah yang harus dipesan. 3. Rencana Produksi Memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkan semua rencana produksi untuk menentukan tingkat produksi, inventory, dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu. 4. Data Perencanaan Berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time)
41
dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master File). 5. Informasi dari RCCP Berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. Pada dasarnya RCCP dan MPS merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada level yang sama (level 2) dalam hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada sistem MRP II. RCCP menentukan kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS, menguji kelayakan dari MPS, dan memberikan umpan balik kepada perencana atau penyusun jadwal produksi induk (Master Scheduler) untuk mengambil tindakan perbaikan apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penjadwalan produksi induk dan kapasitas yang tersedia.
Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
INPUT: 1. Data Permintaan Total 2. Status Inventory 3. Rencana Produksi 4. Data Perencanaan 5. Informasi dari RCCP
PROSES: Penjadwalan Produksi Induk (MPS)
OUTPUT: Jadwal Produksi Induk (MPS)
Umpan Balik
Gambar 2.3 Proses Penjadwalan Produksi Induk (Vincent Gasperz, PPIC, hal 143) Penjadwalan produksi induk (Master Production Scheduling = MPS) merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada level 2 dalam hierarki
42
perencanaan prioritas, sedangkan perencanaan produksi (Production Planning) merupakan aktivitas perencanaan yang berada pada level 1 (level yang masih tinggi) dalam hierarki perencanaan prioritas. Pada dasarnya terdapat sejumlah perbedaan antara rencana produksi (production plan) dan jadwal produksi induk (Master Production Schedule = MPS) yang merupakan hasil dari kedua aktivitas perencanaan tersebut. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada tabel 2.3. berikut: Tabel 2.3 Perbedaan antara Rencana Produksi dan MPS Jadwal Produksi No.
Deskripsi
Rencana Produksi Induk (MPS) Tingkat produksi Anticipated build
1
Definisi
berdasarkan kelompok atau schedule family produk
2
Item yang
Tingkat produksi
Produk akhir atau
direncanakan
berdasarkan family atau
item spesifik dalam
(BOM)
kelompok produk
bill of materials Waktu tunggu
Sumber daya dengan waktu Horizon 3
kumulatif tunggu terpanjang (longest
Perencanaan
(cumulative lead lead time) time)
4
Kapasitas peralatan dan
Rencana produksi,
pabrik dan material
kapasitas
Batasan-batasan
Disagregasi rencana 5
Hubungan
Agregasi MPS produksi
(Vincent Gasperz, PPIC, hal 144)
43
2.9.1. Beberapa Pertimbangan dalam Desain JIT/MPS Ketika akan mendesain MPS, perlu diperhatikan beberapa faktor utama yang menentukan proses penjadwalan produksi induk (MPS). Beberapa faktor utama tersebut adalah: 1. Lingkungan manufaktur 2. Struktur produk dan Bill of Material (BOM) 3. Horizon Perencanaan, waktu tunggu produk (product lead time) dan production time fences. 4. Pemilihan item-item MPS. 2.9.1.1 Lingkungan Manufaktur Lingkungan manufaktur sangat menentukan proses penjadwalan produksi induk (MPS). Lingkungan manufaktur yang umum dipertimbangkan ketika akan mendesain MPS adalah: make to stock, make to order, dan assemble to order. Produk-produk dari lingkungan make to stock biasanya dikirim secara langsung dari gudang produk akhir, dan karena itu harus ada stok sebelum pesanan pelanggan (customer order) tiba. Hal ini berarti produk akhir harus dibuat atau diselesaikan terlebih dahulu sebelum menerima pesanan pelanggan. Produkproduk dari lingkungan make to order biasanya baru dikerjakan atau diselesaikan setelah menerima pesanan pelanggan. Seringkali komponen-komponen yang mempunyai waktu tunggu panjang (long lead time) direncanakan atau dibuat lebih awal guna mengurangi waktu tunggu penyerahan kepada pelanggan, apabila pelanggan memesan produk. Pada dasarnya produk-produk dalam lingkungan assemble to order adalah make to order product, yaitu semua komponen
44
(semifinished, intermediate, subassembly, fabricated, purchased, packaging dan lain-lain) yang digunakan dalam assembly, pengepakan, atau proses akhir, direncanakan atau dibuat lebih awal, kemudian disimpan dalam stok guna mengantisipasi pesanan pelanggan. Tabel 2.4 Karakteristik dari Lingkungan Manufaktur No. Karakteristik
1
2
3 4
5
6 7 8
Keterkaitan antara pemasok (perusahaan industri) dan pelanggan (customer) Waktu penyerahan produk ke pelanggan Volume produksi untuk setiap unit penjualan Range dari product line Basis untuk perencanaan dan penjadwalan produksi Seasonalitas (pengaruh musiman) Stabilitas produk Penanganan ketidakpastian permintaan
9
Final assembly schedule
10
Bill of Material (BOM) atau struktur produk (product structure)
Make stock
to
Assemble to order
Make to order
Rendah
Sedang
Tinggi
Singkat
Sedang
Panjang
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Ramalan
Ramalan Backlog
Tinggi
Sedang
Tinggi
dan
Backlog
Rendah
Sedang Rendah Over-planning dari Stok Hanya sedikit komponen dan pengaman ketidakpastian yang ada subassemblies Terkait Digunakan untuk erat Ditentukan oleh kebanyakan operasi dengan pesanan pelanggan assembly MPS BOM standar BOM unik untuk setiap untuk Planning BOM pesanan setiap produk
45
2.9.1.2 Struktur Produk dan Bill of Material (BOM) Struktur produk atau Bill of Material (BOM) didefinisikan sebagai cara komponen-komponen itu bergabung ke dalam suatu produk selama proses manufakturing. Struktur produk typical akan menunjukkan bahan baku yang dikonversi ke dalam komponen-komponen pabrikasi, kemudian komponenkomponen itu bergabung secara bersama untuk mebuat subassemblies, kemudian subassemblies bergabung bersama membuat assemblies, dan seterusnya sampai produk akhir. Struktur produk sering ditampilkan dalam bentuk gambar (chart format). Kebanyakan produk memiliki struktur standar, yaitu memiliki lebih banyak subassemblies daripada produk akhir, dan lebih banyak komponen daripada subassemblies (berbentuk segitiga dengan puncak adalah produk akhir, bagian tengah adalah assemblies, dan bagian bawah atau dasar adalah komponen dan bahan baku). 2.9.1.3 Horizon Perencanaan, Waktu Tunggu Produk (Product Lead Time) dan Production Time Fences Di samping faktor lingkungan manufaktur dan struktur produk, ada faktor-faktor utama yang perlu mempertimbangkan dalam mendesain MPS, yaitu horizon perencanaan, waktu tunggu, dan production time fences.
46 AKTIVITAS OPERASI HORIZON
PLANNING VISIBILITY
Waktu tunggu perolehan material dan rekayasa Waktu tunggu assembly komponen
FREE Make-to-Stock
Waktu tunggu final assembly Waktu tunggu proses pesanan dan pengiriman
PLANNING FENCE FREE
FIRM
SLUSHY Assemble-to-order
DEMAND FENCE FIRM DEMAND FENCE
SLUSHY PLANNING FENCE FREE
FIRM
SLUSHY Make-to-order DEMAND FENCE
PLANNING FENCE
Gambar 2.4 Horizon Perencanaan, Waktu Tunggu, dan Time Fences (Vincent Gasperz, PPIC, hal 155)
Terdapat tiga aspek yang berkaitan dengan manajemen waktu dalam proses desain MPS, yaitu: 1. Panjang horizon perencanaan. Horizon perencanaan didefinisikan sebagai periode waktu mendatang terjauh dari jadwal produksi. Biasanya ditetapkan dengan memperhatikan waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time) ditambah waktu untuk lot-sizing komponen-komponen level rendah dan perubahan kapasitas dari pusat-pusat kerja utama (primary work centers). Perlu diperhatikan bahwa dalam menetapkan horizon perencanaan harus dipertimbangkan aspek-aspek berikut:
47
horizon perencanaan paling sedikit sepanjang waktu tunggu produk kumulatif, additional visibility lebih disukai, panjang dari horizon perencanaan harus sama dengan banyaknya periode dikalikan dengan panjang dari setiap periode (H = L x N, dimana: H = Horizon, L = Lenght of Period, dan N = Number of Periods).
Assembly
Fabrikasi
Procurement
Visibility (3-6 bulan)
Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)
MPS Planning Horizon
Today
Future
Gambar 2.5 MPS Planning Horizon (Vincent Gasperz, PPIC, hal 156)
2. Waktu tunggu produksi. Waktu tunggu didefinisikan sebagai lama waktu menunggu sejak penempatan pesanan (memesan) sampai memperoleh pesanan tersebut. Dalam sistem produksi, waktu tunggu berkaitan dengan waktu menunggu diproses, bergerak atau berpindah, antri, setup, dan run time untuk setiap komponen yang diproduksi. Pada dasarnya horizon perencanaan dibagi ke dalam empat aktivitas operasi, yang masing-masing mempunyai waktu tunggu. Waktu tunggu dari keempat aktivitas operasi itu adalah: waktu tunggu proses pesanan dan pengiriman, waktu tunggu final assembly, waktu tunggu component assembly, dan waktu tunggu perolehan material dan rekayasa.
48
3. Time Fences Perubahan-perubahan dalam MPS akan menjadi sulit, kacau (disruptive), dan mahal (costly), apabila dibuat pada saat mendekati waktu penyelesaian produk. Untuk menstabilkan jadwal dan memberikan keyakinan bahwa perubahan-perubahan telah dipertimbangkan secara tepat sebelum perubahanperubahan itu disetujui, MPS dapat dibagi ke dalam beberapa zona waktu dengan menetapkan prosedur berbeda dalam mengatur perubahan-perubahan jadwal dalam setiap zona waktu (time zone). Time fences memisahkan zona waktu tersebut. Dengan demikian time fences dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan atau petunjuk yang ditetapkan untuk mencatat ketika (dalam zona waktu) terdapat berbagai keterbatasan atau perubahan dalam prosedur operasi manufaktur. Batas-batas diantara periode horizon perencanaan akan membantu penyusun MPS dengan cara mengijinkan petunjuk yang berbeda guna mengatur modifikasi jadwal. Perubahan-perubahan terhadap MPS dapat dilakukan dengan relatif lebih mudah apabila mereka terjadi pada saat melewati waktu kumulatif. Bagaimanapun perubahan-perubahan akan menjadi sulit dan tidak efisien apabila terjadi dalam time fences. Time fences yang paling umum dikenal adalah demand time fence (DTF) dan planning time fence (PTF), yaitu DTF dapat ditetapkan pada waktu final assembly sedangkan PTF ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif. Demand time fence (DTF) didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS yaitu ketika dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal. Sedangkan planning time fence (PTF)
49
didefiniskan sebagai periode mendatang dari MPS yaitu ketika dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPOS biasanya dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF. Berdasarkan dua jenis time fences tersebut, didefinisikan tiga periode manajemen waktu untuk MPS, yaitu: firm (or frozen) period, slushy period, dan free (or liquid period). Dalam firm (or frozen period), yaitu periode di dalam DTF, tidak boleh ada perubahan-perubahan terhadap MPS. Apabila dibutuhkan perubahan-perubahan yang bersifat sangat darurat (emergency changes) yang harus dibuat, penyusun MPS hanya boleh mengubah setelah memperoleh persetujuan dari manajemen puncak atau manajer manufaktur. Dalam slushy period, yaitu periode diantara DTF dan PTF, penyusun MPS dapat mengubah product mix, dengan tetap memperhatikan ketersediaan dari material dan kapasitas. Dalam periode ini, penyusun MPS tidak dapat mengubah tingkat produksi tanpa menjamin bahwa material dan sumber-sumber daya lain dapat disesuaikan untuk mengakomodasi tingkat produksi baru. Dalam free (or liquid) period, yaitu periode di luar PTF, penyusun MPS dapat secara bebas mengubah tingkat produksi untuk memenuhi perubahan-perubahan yang diantisipasi dalam permintaan oleh bagian pemasaran.
Melewati PTF, terdapat dua fungsi yang diberikan MPS, yaitu: (1) memberikan suatu input kepada Rough Cut Capacity Planning (RCCP) dan dengan demikian memberikan dasar bagi pembuatan keputusan tentang perolehan sumber daya jangka panjang yang membutuhkan waktu tunggu panjang, serta (2) memberikan visibility yang lebih besar atas bahan baku dan komponen yang
50
mempunyai waktu tunggu panjang (long-lead-time components and raw material), sehingga memberikan kemampuan kepada fungsi pembelian untuk berhubungan lebih erat dengan pemasok (suppliers). Apabila manajemen industri ingin mengadopsi sistem Just In Time, di sinilah peranan bagian pembelian untuk membina hubungan jangka panjang dengan pemasok-pemasok bahan baku atau komponen yang memiliki waktu tunggu panjang. Dalam bentuk yang lebih sederhana, MPS time fences dapat diilustrasikan dalam gambar 2.12 berikut:
DTF
PTF
Emergency Changes
Assembly
Mix Changes Only
Rates and Any Changes
Procurement
Visibility (3-6 bulan)
Fabrikasi
Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)
MPS Planning Horizon Future
Today
Gambar 2.6 MPS Time Fences (Vincent Gasperz, PPIC, hal 157)
2.9.1.4 Pemilihan Item-item MPS Faktor utama lain yang perlu diperhatikan dalam mendesain MPS adalah pemilihan item-item MPS. Pemilihan item-item yang dijadwalkan melalui MPS juga perlu mendapat perhatian khusus. Pemilihan item-item ini penting, karena tidak hanya mempengaruhi bagaimana MPS beroperasi, tetapi juga mempengaruhi sistem perencanaan dan pengendalian manufaktur secara keseluruhan beroperasi.
51
Terdapat beberapa kriteria dasar yang mengatur pemilihan item-item dalam MPS, yaitu: 1. Item-item yang dijadwalkan seharusnya merupakan produk akhir, kecuali ada pertimbangan yang jelas menguntungkan untuk menjadwalkan item-item yang lebih kecil daripada produk akhir seperti: modular or inverted planning bills, atau lebih besar daripada produk akhir seperti: super family, super modular, atau super planning bills lainnya. Penjadwalan produk-produk akhir dalam MPS menyebabkan hal tersebut menjadi sama seperti : final assembly schedule (FAS). 2. Jumlah item-item MPS seharusnya sedikit, karena manajemen tidak dapat membuat keputusan yang efektif terhadap MPS apabila jumlah item MPS terlalu banyak. 3. Seharusnya memungkinkan untuk meramalkan permintaan dari item-item MPS (kecuali item tersebut adalah made-to-order). Item-item yang dijadwalkan harus berkaitan erat dengan item-item yang dijual. 4. Setiap item yang dibuat harus memiliki BOM, sehingga MPS dapat explode melalui BOM untuk menentukan kebutuhan komponen dan material. 5. Item-item yang dipilih harus dimasukkan dalam perhitungan kapasitas produksi yang dibutuhkan. 6. Item-item MPS harus memudahkan dalam penerjemahan pesanan-pesanan pelanggan ke dalam pembuatan produk yang akan dikirim.
52
2.10 Rough Cut Capacity Planning (RCCP) Seperti pada MPS dalam hubungannya dengan spesifikasi produk akhir, RCCP dapat mempertimbangkan perubahan pada product mix. Bagaimanapun, RCCP tidak mempertimbangkan inventories dari komponen yang siap untuk diproduksi dan dalam penyimpanan atau pekerjaan dalam proses, gambaran singkatnya adalah kapasitas diperlukan mungkin salah. Sumber lainnya dari kesalahan potensial adalah bahwa MPS tidak secara akurat merefleksikan pengaruh dari ukuran lot. RCCP digunakan untuk membuat keputusan pada penyesuaian kapasitas pada rentang waktu medium. Keputusan mungkin melibatkan penyesuaian dari standar mesin, pengaturan sub kontrak, atau relokasi kekuatan kerja. Teknik yang digunakan dalam RCCp terdiri dari bill of capacity dan time-phased bills of capacity. Rough Cut Capacity Planning (RCCP) merupakan urutan kedua dari hierarki perencanaan prioritas-kapasitas yang berperan dalam mengembangkan MPS. RCCP melakukan validasi terhadap MPS yang juga menempati urutan kedua dalam hierarki perencanaan prioritas produksi. Guna menetapkan sumbersumber spesifik tertentu, khususnya yang diperkirakan akan menjadi hambatan potensial (potential bottleneck), adalah cukup untuk melaksanakan MPS. Pada dasarnya RCCP didefinisikan sebagai proses konversi dari rencana produksi dan/atau MPS ke dalam kebutuhan kapasitas yang berkaitan dengan sumbersumber daya kritis seperti: tenaga kerja, mesin dan peralatan, kapasitas gudang, kapabilitas pemasok material dan parts, dan sumber daya keuangan. RCCP serupa
53
dengan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (Resource Requirements Planning, RRP), kecuali bahwa RCCP adalah lebih terperinci daripada RRP dalam beberap hal, seperti: RCCP didisagregasikan ke dalam level item atau sku (stockkeeping unit); RCCP didisagregasikan berdasarkan periode waktu harian atau mingguan; dan RCCP mempertimbangkan lebih banyak sumber daya produksi.
Pada dasarnya terdapat empat langkah yang diperlukan untuk melaksanakan RCCP, yaitu: 1. Memperoleh informasi tentang rencana produksi dari MPS. 2. Memperoleh informasi tentang struktur produk dan waktu tunggu (lead times). 3. Menentukan bill of resources. 4. Menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan RCCP.
RCCP (perencanaan kapasitas kasar) ini termasuk dalam perencanaan kapasitas jangka panjang. RCCP menentukan kebutuhan kapasitas yang diperlukan untuk melaksanakan MPS. Horizon waktu sama dengan MPS, biasanya 1 sampai dengan 3 tahun. Terdapat tiga teknik RCCP yaitu: 1. Pendekatan total faktor (Capacity Planning Using Overall Factor Approach, CPOF). CPOF membutuhkan tiga input yaitu MPS, waktu total yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk dan proprosi waktu penggunaan sumber. CPOF
54
mengkalikan waktu total tiap family terhadap jumlah MPS untuk memperoleh total waktu yang diperlukan pabrik untuk mencapai MPS. Total waktu ini kemudian dibagi menjadi waktu penggunaan masing-masing sumber dengan mengkalikan total waktu terhadap proporsi penggunaan sumber. 2. Pendekatan daftar tenaga kerja (Bill of Labour Approach, BOLA) Jumlah kebutuhan kapasitas yang diperlukan diperoleh dengan mengkalikan waktu tiap komponen yang tercantum pada daftar tenaga kerja dengan jumlah produk dari MPS. 3. Pendekatan profil sumber (Resource Profile Approach, RPA) Merupakan teknik perencanaan kapasitas kasar yang paling rinci tetapi tidak serinci perencanaan kebutuhan kapasitas (Capacity Requirements Planning, CRP). Pada penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan daftar tenaga kerja (Bill of labour Approach,RPA)
55