BAB II LANDASAN TEORI
2.1. 2.2.1.
Tinjauan Perilaku Prososial Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang
muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Asih & Pratiwi, 2010). Adapun perbedaan perilaku prososial dengan altruism adalah perilaku sosial ditekankan karena adanya penghargaan karena menolong, sedangkan altruism adalah tindakan prososial sebagai tujuan itu sendiri, tanpa memberi keuntungan bagi si altruis (Mercer & Clayton, 2012). Sears dkk (Spica, 2008) berpendapat bahwa perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu untuk diri si penolong itu sendiri. Perilaku prososial dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Psikolog biasanya menggunakan istilah tingkah laku yang mementingkan orang lain selain istilah tindakan yang membantu orang lain, menunjukkan bantuan yang diberikan pada orang lain tanpa mengharapkan keinginan-keinginan sendiri. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan
tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. (Baron &
6
Byrne, 2005) Sedang istilah altruisme (altruism) kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005). Menurut Bar-Tal (Spica, 2008) para psikolog menggunakan teori belajar sosial dalam mempelajari tingkah laku prososial yaitu melalui prinsipprinsip modeling dan reinforcement. Modelling adalah proses saat individu belajar tingkah laku, khususnya tingkah laku prososial dengan mengamati dan meniru tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Reinforcement adalah proses penguatan yang bertujuan untuk memperkuat tingkah laku prososial. Sarwono (1997) menjelaskan beberapa teori psikologi yang menjelaskan mengapa orang lain menolong: 1)
Teori Behaviorisme Kaum behavioris murni mencoba menjawab pertanyaan ini melalui proses kondisioning klasik dari Pavlov. Menurut pendapat mereka, manusia menolong karena dibiasakan oleh masyarakat untuk menolong dan untuk perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif.
2)
Teori Pertukaran Sosial Dalam perkembangannya yang lebih baru, teori Behaviorism ini tidak hanya mengandalkan proses pembiasaan yang sederhana. Teori yang lebih dikenal dengan sebutan teori pertukaran sosial (Social Exchange Theory) itu dasarnya adalah prinsip sosial ekonomi, dimana setiap tindakan yang dilakukan manusia dipertimbangkan aspek untungruginya. Tak hanya berupa material ataupun financial, melainkan pula
7
psikologis. Masih dalam Sarwono (1997), yang dimaksudkan dengan keuntungan adalah hassl yang diperoleh lebih besar daripada usaha yang dikeluarkan, sedangkan yang dimaksudkan dengan rugi adalah jika hasil yang diperoleh lebih kecil dari usaha yang dikeluarkan. Berdasarkan prinsip tersebut, setiap perilaku pada dasarnya dilaksanakan dengan menggunakan strategi minimax, yaitu meminimalkan usaha (cost atau ongkos) dan memaksimalkan reward agar diperoleh profit yang besar. 3)
Teori Empati Dalam empati, fokus usaha menolong terletak pada penderitaan orang lain, bukan pada penderitaan sendiri.
4)
Teori Norma Sosial Menurut teori ini, perilaku orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat. Terdapat tiga macam norma sosial yang biasa dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong, yaitu: (a)Norma Timbal Balik, Dalam teori ini menjelaskan bahwa kita harus membalas pertolongan dengan pertolongan; (b)Norma Tanggung Jawab Sosial, kita wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun di masa depan. Akan tetapi penetapan tentang siapa yang sungguh-sungguh memerlukan pertolongan tergantung kepada pemberian atribusi ekternal terhadap orang yang bersangkutan; dan (c) Norma Keseimbangan, Sarwono (1997) menjelaskan bahwa norma ini berlaku di dunia Timur. Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras.
8
5)
Teori Perkembangan Kognisi Menurut paham ini, tingkat perkembangan kognitif (dari Piaget) akan berpengaruh pada perilaku menolong, Pada anak-anak perilaku ini lebih didasarkan kepada pertimbangan hasil (gain). Karena itulah banyak orang tua jengkel melihat anaknya yang masih taman kanak-kanak meminjamkan sepeda mainannya yang mahal kepada kawannya hanya untuk menyenangkan hati temannya agar mendapatkan pinjaman komik murah dari teman anak itu. Orang tua sudah berpikir untung rugi, sementara anak hanya memikirkan untungnya saja (Sarwono, 1997).
2.1.2
Aspek-Aspek dalam Perilaku Prososial Bringham (Spica, 2010) menyatakan bahwa perilaku prososial
meliputi beberapa aspek antara lain: 1)
Altruisme, yaitu kesediaan untuk menolong orang lain secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan.
2)
Murah hati, yaitu kesediaan untuk bersikap dermawan kepada orang lain.
3)
Persahabatan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain.
4)
Kerjasama, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan.
5)
Menolong, yaitu kesediaan untuk membantu orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.
9
6)
Penyelamatan, yaitu kesediaan untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan.
7)
Pengorbanan, yaitu kesediaan untuk berkorban demi orang lain.
8)
Berbagi, yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana duka. Wispe (Farikha, 2011) menjelaskan beberapa bentuk perilaku
prososial, diantaranya : 1)
Empati Perilaku yang didasarkan atas perasaan positif serta memahami perasaan orang lain.
2)
Kerja Sama (Cooperating) Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain.
3)
Menolong (Helping) Perilaku membantu orang lain dalam mengambil keputusannya.
4)
Memberi (Donating) Perilaku memberikan sumbangan pada orang lain (beramal).
5)
Altruisme Perilaku menolong orang lain tanpa imbalan, biasanya dalam situasi yang berbahaya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
yang terdapat dalam perilaku prososial yaitu Altruism, Empati, Menolong, Kerjasama, dan Memberi.
10
2.1.3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu: 1)
Self-gain Harapan
seseorang
untuk
memperoleh
atau
menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pengakuan, penghargaan, pujian, atau takut dikucilkan. 2)
Personal Values and Norms Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama bersosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, misalnya seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
3)
Empathy Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Prasyarat untuk mampu melakukan empati individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran. Sarwono (1997), menjelaskan bahwa perilaku menolong juga
dipicu oleh faktor dari luar atau dari dalam diri seseorang, dijelaskan sebagai berikut:
11
1)
Pengaruh Situasi a.
Bystander Faktor utama dan pertama, menurut penelitian psikologi sosial, yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya orang lain yang kebetulan berada bersama kita di tempat kejadian (bystander).
b.
Menolong jika orang lain juga menolong. Sesuai dengan prinsip timbal balik dalam teori norma sosial, adanya seseorang yang sedang menolong orang lain akan memicu kita untuk juga ikut menolong (Sarwono, 1997), mengadakan percobaan di Los Angeles. Ternyata, para pengemudi di Los Angeles tidak mau berhenti untuk menolong seorang pengendara wanita (anggota tim peneliti) yang mengalami (seakan-akan) ban kempes. Akan tetapi, lebih banyak pengendara yang menolong wanita dengan ban pecah tersebut saat ada dua orang anggota peneliti yang menolong wanita tersebut.
c.
Desakan Waktu Biasanya orang-orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung untuk tidak menolong, sedangkan orang yang santai lebih besar kemungkinannya untuk memberi pertolongan kepada yang memerlukannya.
12
d.
Kemampuan yang Dimiliki Kalau orang merasa mampu, ia akan cenderung menolong, sedangkan jika merasa tidak mampu ia tidak akan menolong. (Sarwono, 1997) mengungkapkan di Taiwan, terdapat norma masyarakat yang mengharuskan anak-anak yang sudah dewasa untuk mendukung ekonomi orangtuanya yang sudah lanjut usia, tetapi hanya orang-orang yang kemampuan ekonominya cukup yang melaksanakan ketentuan tersebut.
2)
Pengaruh dari Dalam diri a) Perasaan Perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi perilaku menolong. Menurut Sarwono (1997), kurang ada konsistensi dalam hal pengaruh perasaan yang negatif (sedih, murung, kecewa, dan sebagainya) terhadap perilaku menolong. Sedang di pihak lain, perasaan yang positif (gembira, senang, bahagia menunjukkan hubungan yang lebih konsisten dengan perilaku menolong. b) Faktor Sifat (trait) Guagano (Sarwono, 1997) menjelaskan bahwa jawaban terhadap pertanyaan tentang pribadi yang mau membantu orang lain tanpa mengharapkan balasan sama sekali, kemungkinana adalah karena adanya sifat atau trait menolong yang sudah tertanam pada orang yang bersangkutan.
13
c) Agama Faktor agama ternyata juga dpat mempengaruhi perilaku menolong pada seseorang. Akan tetapi, menurut penelitian Sarwono (1997) yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang yang bersangkutan tentang pentingnya menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama. Sejalan dengan meluasnya penelitian
terhadap tingkah laku
prososial yang melampaui pertanyaan dan penelitian awalnya, formulasi teoritis juga meluas untuk memperhitungkan faktor-faktor tambahan yang mempengaruhi mengapa pertolongan diberikan atau tidak diberikan (Baron & Byrne, 2005). Di samping model prososial dalam dunia nyata, model-model yang menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung tingkah laku prososial. (Baron & Byrne, 2005). Forge & Phemester (Baron & Byrne, 2005) dalam penelitian lanjutannya telah mengonfirmasikan pengaruh posited televisi pada anak-anak. Misalnya anakanak prasekolah yang menonton program prososial – seperti Mister Rogers’ Neighborhood, Sesame Street, atau Barney and Friends – lebih cenderung berespons secara prososial daripada anak-anak yang tidak menonton acara semacam itu.
14
Di antara fakor-faktor kepribadian lainnya yang merupakan karakteristik dari mereka yang paling cenderung menolong orang lain adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu-individu yang tinggi kebutuhannya dalam hal ini berespons pada reward seperti pujian dan tanda-tanda penghargaan lainnya (Baron & Byrne, 2005). Froming,
Masby,
&
McManus (Baron &
Byrne,
2005)
mengungkapkan bahwa penelitian pada anak-anak menunjukkan bahwa kecenderungan prososial dapat menjadi bagian dari skema diri, dan kemudian diaplikasikan pada situasi spesifik di mana pertolongan dibutuhkan. Baron & Byrne (2005) menjelaskan faktor disposisional yang menyusun kepribadian altruistik (altruistic personality) sebagai berikut: 1)
Empati, yaitu kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Mereka yang menolong ditemukan mempunyai empati lebih tinggi daripada mereka yang tidak menolong (Baron dan Byrne, 2005).
2)
Tanggung
Jawab
Sosial.
Mereka
yang
paling
menolong
mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan. 3)
Egosentrisme rendah. Mereka yang menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris, self-absorbed, dan kompetitif.
15
2.2.
Tinjauan tentang Intensitas Penggunaan Gadget Teknologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu techno yang berarti
keterampilan atau seni. Teknik artinya cara atau metode untuk memperoleh keterampilan dalam bidang tertentu, sedang teknologi mempunyai arti; (1) penerapan ilmu untuk petunjuk praktis, (2) cabang ilmu tentang penerapan tersebut dalam praktek dan industri, dan (3) kumpulan cara untuk memenuhi obyek dari kebudayaan (Andiyati, 2012). Teknologi juga memudahkan manusia untuk melakukan komunikasi., baik komunikasi jarak jauh maupun dekat. Menurut O’Brein, perilaku manusia sosioteknologi ada 5 komponen manusia dan teknologi dalam berinteraksi meliputi: (1) struktur masyarakat, (2) sistem dan teknologi informasi, (3) masyarakat dan budaya, (4) strategi komunikasi, dan (5) proses sosial (Andiyati, 2012). Media teknologi komuni`kasi merupakan perangkat teknologi (hardware maupun software) yang dipergunakan untuk mendukung proses informasi dan komunikasi (Andiyati, 2012). Dalam
perkembangannya,
teknologi saat
ini sudah beragam
bentuknya. Tidak hanya handphone, namun beragam gadget lainnya saat ini sudah menjamur hampir di seluruh dunia. Seiring berkembangnya gadget, muncul pula beragam bentuk media sosial yang semakin mempermudah manusia dalam berkomunikasi maupun menjalankan aktifitas sehari-harinya. Bagaimanapun, perkembangan teknologi sudah membawa perubahan yang cukup dramatis bagi dunia (Gunn and Donahue, 2008).
16
Televisi sudah mendominasi dunia sejak pertengahan 1990. Saat ini, persaingan teknologi sedang ramai dengan adanya telepon seluler, iPod, video games, instant messanging, interactive multiplayer video games, situs nyata dunia maya, web social networks, dan e-mail. (Brooks-Gunn and Donahue, 2008) Media teknologi saat ini pun sudah menjadi bagian dari anak-anak di abad-21 (Brooks-Gunn and Donahue, 2008). Tidak mengherankan, jika hal tersebut menaikkan proporsi usia anak untuk lebih cepat menjadi dewasa. Terlihat berdasarkan penelitian, lebih dari 80 persen anak usia 8 sampai dengan 18 tahun sudah memiliki radio dan CD atau kaset pribadi (dimana 92 persennya menyatakan menyukai musik jenis medium); 31 persen sudah memiliki komputer pribadi, dimana setengahnya memiliki pemutar video didalamnya, dan 49 persen lainnya memiliki video game konsol di kamar mereka. (Roberts and Foehr, 2008). Perkembangan gadget tentunya akan terus berlangsung dan tidak akan berhenti di satu titik saja. Tentunya hal tersebut membawa beberapa dampak bagi manusia pada umumnya, anak-anak dan remaja pada khususnya. Intensitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya sebuah penggunaan dalam keseharian. Jika membahas perihal gadget, tentu tak terlepas dari fasilitas-fasilitas yang ada dalam aplikasi gadget tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumen kini dapat memilih dari berbagai perangkat yang mampu memuaskan kebutuhan mereka untuk "kapan saja, di mana saja" akses ke berita, informasi, teman-teman dan hiburan (Smith, 2010).
17
Nielsen (Murisha dan Gilang, 2012) telah melakukan riset terhadap pengguna internet di Indonesia, dari riset tersebut ditemukan bahwa penggunaan internet untuk email, mayoritas responden (76%) mengakses internet setiap hari. Adapun untuk instant messaging, 55% responden mengatakan mengakses internet setiap hari. Selain itu, 28% responden Indonesia juga membaca blog setiap harinya, sedangkan untuk chatting, 34% responden Indonesia mengakses internet setiap hari. Horrigan (2000) menjelaskan aspek paling mendasar jika dalam penggunaan gadget yaitu frekuensi dan lama (durasi) penggunaan yang dilakukan. Berdasarkan dua aspek tersebutlah penulis mengadaptasi terhadap penelitian ini. Jordan (2008) dalam penelitiannya mengemukakan beberapa faktor yang mendukung anak dalam menggunakan gadget : 1)
Rasa tertarik anak terhadap aplikasi yang terdapat pada gadget. Aplikasi yang terdapat pada gadget menarik anak untuk mencoba dan kemudahan dalam mengakses membuat anak leluasa untuk menggunakan gadget dalam mengisi waktu kesehariannya.
2)
Motivasi yang didukung oleh observasi anak terhadap orangtua yang menggunakan gadget. Dalam hal ini, peran orangtua dalam menggunakan gadget juga menjadi salah satu faktor mengapa anak menggunakan gadget. Modelling
yang
dilakukan
terhadap
orangtuanya,
semakin
mendorong anak untuk mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya.
18
3)
Penggunaan yang dimotivasi dari observasi penggunaan gadget pada orang dewasa. Tak hanya orang tua, lingkungan sekitar juga menjadi salah satu faktor motivasi anak menggunakan gadget.
4)
Motivasi yang didukung faktor interaksi. Interaksi yang dilakukan anak dengan teman sebayanya atau lingkungan sekitarnya yang juga menggunakan gadget juga menjadi salah satu faktor, ditambah kebutuhan interaksi pun menjadi motivasi anak dalam menggunakan gadget. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa intensitas
penggunaan gadget adalah sebuah keadaan tingkatan atau seberapa sering seseorang menggunakan fasilitas yang ada dalam gadget dengan frekuensi waktu tertentu. Dimana terdapat dua aspek yang paling mendasar, yaitu frekuensi dan durasi yang nantinya akan digunakan penulis untuk menyusun skala intensitas penggunaan gadget. Serta terdapat faktor yang mendukung anak dalam menggunakan gadget adalah rasa tertarik/ingin tahu anak terhadap gadget, motivasi yang didukung observasi terhadap orangtua, penggunaan gadget yang termotivasi oleh orang dewasa, dan motivasi yang didukung faktor interaksi anak dengan lingkungannya. 2.3.
Anak Usia Middle Childhood Periode masa
kanak-kanak
menengah dan
akhir
melibatkan
pertumbuhan yang lambat dan konsisten. Dimana pada masa ini adalah periode tenang sebelum terjadi pertumbuhan yang cepat pada masa remaja (Santrock,
19
2011). Dilihat dari perkembangan motoriknya, Santrock (2011) menjelaskan bahwa selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, perkembangan motorik anak-anak menjadi lebih lancar dan lebih terkoordinasi daripada ketika masa kanak-kanak awal. Ketika anak-anak bergerak menjalani tahun-tahun sekolah dasar, mereka pun mampu memperoleh kontrol seluruh tubuh mereka dan mampu untuk duduk dalam jangka waktu yang lebih lama. Anak-anak usia sekolah pun dapat berkonsentrasi lebih lama dari anak-anak yang lebih muda dari mereka dan dapat memusatkan pada informasi yang mereka perlukan dan inginkan seraya menyaring informasi yang tidak relevan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Piaget (1952), pemikiran anak prasekolah adalah sebuah pemikiran praoperasional. Dimana pada anak usia prasekolah tersebut, anak dapat membentuk konsep yang stabil dan mereka mulai berpikir secara logis, namun pemikiran mereka masih dipengaruhi oleh egosentrisme dan sistem keyakinan magis (Santrock, 2011). Piaget mengemukakan bahwa tahap operational konkret akan berlangsung pada sekitar usia 7-10 tahun. Ada pun pada tahap ini, anak sudah dapat melakukan tindakan konkret, dan mereka mampu berpikir secara logis selama mereka dapat menerapkan penalaran mereka pada contoh yang konkret dan spesifik. (Santrock, 2011). Dimana operasi adalah suatu tindakan mental yang dapat dibalik, sedang operasi konkret adalah tindakan yang terdapat pada objek dan bersifat konkret dan nyata. Pada
tahap
operasional
konkret,
anak-anak
sudah
memiliki
pemahaman yang lebih baik daripada anak-anak praoperasional mengenai konsep spasial, sebab-akibat, pengelompokan, penalaran induktif-deduktif, konservasi,
20
serta angka (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal tersebut menjadi sebuah kemajuan dalam perkembangan kognitif anak usia middle childhood. Selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, sebagian besar anak secara dramatis meningkatkan kemampuan mereka dalam mengendalikan dan mempertahankan perhatian (Santrock, 2011). Santrock (2011) menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik perkembangan emosional dan kepribadian pada masa kanak-kanak menengah, yaitu: 1)
Diri Pada masa kanak-kanak menengah, peningkatan pemahaman diri anak meliputi faktor sosial dan psikologis. Pada usia 8-11 tahun, anak-anak
semakin
menggambarkan
diri
mereka
dengan
karakteristik dan trait psikologis yang berlawanan dengan deskripsi diri yang lebih konkret pada anak-anak yang lebih muda. Pada masa ini pula anak-anak menunjukkan perspective taking, yaitu kemampuan untuk mengasumsikan perspektif orang lain serta memahami pikiran dan perasaan mereka. Dalam perspective taking pula Santrock (2011) menjelaskan bahwa hal tersebut dianggap sangat
penting
dalam
mengetahui
apakah
anak-anak
mengembangkan sikap dan periaku prososial atau antisosial. Dimana hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan anak-anak untuk bersimpati dengan orang lain yang membutuhkan.
21
2)
Perkembangan Emosional Perubahan perkembangan dalam emosi meliputi peningkatan pemahaman seseorang terhadap emosi yang kompleks seperti rasa bangga ataupun rasa malu, pemahaman bahwa lebih dari satu emosi yang dapat dialami dalam situasi tertentu, kecenderungan untuk mengetahui peristiwa yang menyebabkan reaksi emosional, kemampuan untuk menekan atau
menyembunyikan
reaksi
emosional yang negative, serta sebuah kemampuan untuk berempati. 3)
Perkembangan Moral Kohlberg menggambarkan tiga tingkatan pemikiran moral, dan masing-masing ditandai dengan dua tahap, yakni: a)
Penalaran prekonvensional. Pada tingkat ini baik dan buruk diinterpretasikan dengan reward dan punishment. • Tahap 1. Heteronomous Morality, merupakan tahap pertama dalam penalaran prekonvesional dimana pada tahap tersebut pemikiran moral terkait dengan hukuman, sehingga pada tahap tersebut anak-anak mulai berpikir bahwa ada hukuman untuk ketidaktaatan. • Tahap 2. Individualism, instrumental purpose, and exchange, pada tahap tersebut alasan individu untuk melakukan sesuatu merupakan sebuah hal yang benar untuk dilakukan, namun tetap membiarkan orang lain
22
melakukan hal yang sama. Sehingga mereka pun berpikir bahwa apa yang benar melibatkan sebuah pertukaran yang sama. b)
Penalaran Konvensional. Pada tingkat ini anak mulai menerapkan standar tertentu, tetapi mereka adalah standar yang ditetapkan oleh orang lain, seperti orangtua atau pemerintah. • Tahap 1. Mutual interpersonal, expectation, relationship, and interpersonal conformity. Pada tahap ini, nilai kepercayaan,
kepedulian,
dan kepercayaan individu
kepada orang lain menjadi sebuah dasar penalaran moral. • Tahap 2. Moralitas sistem sosial, pada tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman tatanan sosial. hukum, keadilan, dan tugas. c)
Penalaran Pascakonvensional. Pada tingkat ini anak mengakui ajaran moral alternative, mengeksplorasi pilihan, dan kemudian memutuskan pada kode moral pribadi.
d)
Tahap 1. Kontrak sosial atau kegunaan dan hak-hak individu, pada tahap ini alasan individual bahwa nilainilai,
ha.k-hak, dan
prinsip-prinsip
mendasari
atau
melampaui hukum. • Tahap 2. Prinsip etika universal, pada tahap ini orangorang sudah mengambangkan sebuah standar moral
23
berdasarkan hak asasi manusia yang universal. Ketika ada dilemma antara hukum dan hati nurani, individu mulai untuk mengikuti hati nurani. 4)
Gender Stereotip gender yang semakin meluas terhadap kategori yang mencerminkan kesan dan keyakinan mengenai laki-laki dan perempuan. Pertimbangan perilaku menolong, stereotipenya adalah bahwa perempuan lebih baik daripada laki-laki (Santrock 2011). Eagly dan Crowley (Santrock, 2011) mengungkapkan dalam situasi ketika orang merasa berkompeten dalam situasi yang melibatkan bahaya, laki-laki lebih mungkin untuk menolong dibandingkan dengan perempuan. MacGeorge (Santrock, 2011) pun mengatakan sebuah studi mencatat bahwa laki-laki lebih mungkin untuk menolong ketika terdapat konteks maksulin.
Dalam perkembangan perilaku sosial dimana merujuk pada tahapan perkembangan psikososial dari Erikson, pada usia middle childhood seorang anak akan memasuki tahap industry versus inferiority dengan kompetensi sebagai nilai (virtue) yang harus dicapai (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dimana pada rentang usia tersebut, konsep diri seorang anak akan berkembang dan semakin meluas hingga mengembangkan nilai “kompetensi” diri mereka agar terhindar dari sifat inferiority terhadap lingkungan. Dari tahap krisis itulah rasa malu, bersalah, empati, dan tanggung jawab semakin matang dalam diri anak. Dan hal
24
tersebut menjadi salah satu aspek sebuah sikap prososial yang terjadi dalam diri anak. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak pada usia kanak-kanak tengah sudah mulai memasuki tahap operational konkret dimana pada tahap ini, anak sudah dapat melakukan tindakan konkret, dan mereka mampu berpikir secara logis selama mereka dapat menerapkan penalaran mereka pada contoh yang konkret dan spesifik. Dan hal ini berkaitan dengan mulai berkembangnya perilaku-perilaku pada anak, dimana salah satunya adalah perilaku prososial. Perilaku prososial merupakan perilaku meolong yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun. Dimana perilaku prososial memiliki aspek-aspek antara lain altruisme, memberi, menolong, kerjasama, dan empati. 2.4.
Kerangka Berpikir Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki keterbatasan,
sehingga manusia memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat berbagai faktor saat ini untuk seseorang melakukan perilaku prososial, khususnya anak-anak. Salah satunya yaitu melalui media. Dimana media saat ini sangat mudah di akses melalui teknologi gadget yang sudah tersebar di berbagai daerah. Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa adanya hubungan antara intensitas penggunaan gadget dengan perilaku prososial pada anak usia middle childhood.
25
Kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu :
Intensitas Penggunaan Gadget
2.5.
Perilaku Prososial Anak Usia Middle Childhood
Hipotesis Ada hubungan positif yang signifikan antara intensitas penggunaan gadget dengan perilaku prososial anak usia middle childhood.
26